







untuk pengetahuan pembaca sehingga dapat mempermudah pemahamandanbergunauntukpembaca.
Kelompok kami mengucapkan terima kasih untuk seluruh
individu yang sudah terlibat dalam pembuatan majalah elektronik ini sehingga karya ini dapat disebarluaskan untuk kebutuhanyangakandigunakansecaraumum.
Dalam penyusunan E-magazine ini, kami menyadari sepenuhnya bahwa majalah elektronik ini belum mencapai kesempurnaan seutuhnyakarenapengalamandanpengetahuankelompokkami yangterbatas.
Olehkarenaitu,kamimengharapkankritikdansarandariseluruh pihak agar terciptanya sumber literasi yang lebih baik lagi untuk masayangakanmendatang.
Mely G Tan adalah anak ketiga dari lima bersaudara dari pasangan Tan Boen Am (WBA Tangay) dan Pouw Lian Nio (Sulianti Tangay) Ayahnya generasi kelima imigran China Indonesia yang bekerja pada perusahaan Belanda. Ibunya merupakan seorang ibu rumah tangga yang mempunyai kecerdasan bawaan. Kakek Mely dari pihak ibu yang imigran dari Provinsi Fulkien, China
Selatan, adalah pedagang besar di Sumatera
Selatan Di rumah, Mely dan saudarasaudaranya berbahasa Belanda dengan ayahnya. Ibunya berbahasa Melayu. Selain
bahasa Belanda, kemudian bahasa Mandarin, Mely juga belajar bahasa Perancis, Jerman, dan terutama Inggris Benih-benih penyerbukan silang budaya telah tumbuh sejak kecil dalam dirinya
Sejak masa mudanya, Mely bercita-cita menjadi Sinolog (ahli masalah Cina), sehingga kemudian belajar di Fakultas Sastra Universitas Indonesia jurusan Sinologi. Studi ini dirampungkannya pada 1959 Didorong oleh kegemarannya untuk bergaul dan mengamati perilaku manusia, ia mengembangkan bidang studinya kepada Sosiologi. Gelar MA diraihnya di Universitas Cornell, Ithaca Amerika Serikat (1961), dan selanjutnya meraih gelar doktor dari University California, Berkeley, Amerika Serikat (1968) Kesibukan yang dihadapinya masih ditambah dengan aktivitasnya dalam sejumlah organisasi
Mely Giok Tan adalah salah satu saksi penting sejarah perubahan politik di Indonesia, terkait pengakuan pemerintah terhadap masalah kekerasan terhadap perempuan, yang kemudian melahirkan Komisi Nasional AntiKekerasan terhadap Perempuan, Oktober 1998. Mely kemudian menjadi salah satu komisioner periode 1998-2003.
Beliau adalah salah satu dari 22 perempuan bersama, antara lain, Saparinah Sadli, Kuraisin Sumhadi (alm), Soewarni Salyo, dan Kamala Chandrakirana, yang tergabung dalam Masyarakat Anti-Kekerasan terhadap Perempuan di Indonesia yang menghadap Presiden Habibie pada 15 Juli 1998
Didorong temuan Tim Relawan Kemanusiaan tentang terjadinya pemerkosaan terhadap perempuan etnis Tionghoa dalam tragedi Mei 1998, mereka mendesak Presiden Habibie membuat pernyataan mengutuk peristiwa itu dan meminta maaf kepada masyarakat. Pemerintah kemudian membentuk Tim Gabungan Pencari Fakta untuk menginvestigasi tragedi yang merupakan lembar hitam sejarah negeri ini.
Hollandsche Chineseesche School
Sekolah bagi anak keturunan Tionghoa pada masa kolonial Belanda
Hoogere Burgerschool
Sekolah berbahasa Belanda untuk orang Belanda, Eropa, Tionghoa, pribumi elite pada masa Hindia Belanda
JURUSAN SINOLOGI (Studi tentang Tionghoa dan topik Tionghoa)
Cornell University, Itacha, US Meraih gelar Master of Arts (MA)
Berkeley University of California, US Meraih gelar Doktor
1959-1961 : belajar di Cornell University atas beasiswa Cornell Southeast Asia Program
1962 : Mengajar di Fakultas Ekonomi Unika
Indonesia Atma Jaya Jakarta
1963-1968 : Tugas belajar dari LIPI di University of California, Berkeley
1969-1997 : Menjadi peneliti, sejak 1985 menjadi
Ahli Peneliti Utama Pusat Penelitian dan Pengembangan Masyarakat dan Kebudayaan, LIPI Menjadi dosen di Program Kajian Wanita, Fakultas Pasca Sarjana, Universitas Indonesia
1997-2001 : Ketua Lembaga Penelitian, Unika
Indonesia Atma Jaya Saat ini : Dosen Program
Pascasarjana UI, Kajian Ilmu Kepolisian
The Chinese of Sukabumi, Cornell University 1963
The Chinese in the United States, The Orient Cultural Service, 1971
Sosial and Cultural Determinants of Family Planning Services, Leknas LIPI 1974
Golongan Etnis Tionghoa di Indonesia: Suatu
Masalah Pembinaan Kesehatan Bangsa, ed, Gramedia 1979
Ethnicity and Fertility in Indonesia, Institute of South East Asian Studies, Singapura, 1985, dll.
B
The Chinese Of Sukabumi: A Study Of Social And Cultural Accommodation
Author : Mely G. Tan, George McTurnan Kahin
Perempuan Indonesia: Pemimpin Masa Depan?
Author : Mely G. Tan
Author : Mely G. Tan, Budi Soeradji
Golongan Etnis Tionghoa di Indonesia: Suatu
Masalah Pembinaan KesatuanBangsa
Author:MelyG.Tan
Etnis Tionghoa di Indonesia: Kumpulan Tulisan
Author : Mely G. Tan
Mely Giok Tan memiliki banyak karya yang luar biasa menakjubkan dan patut untuk kita apresiasi. Karya yang ditulisnya merupakan fakta hasil pengamatannya terhadap tingkah laku masyarakat, bertopik kehidupan etnis Tionghoa yang tertulis dalam bahasa Internasional dan telah dipublikasikan di beberapa negara "Etnis Tionghoa di Indonesia" merupakan buku kumpulan 12 karya tulis terbaiknya.
The Chinese in the United States: Social Mobility & Assimilation
Author : Mely G. Tan
Buku ini berisi tentang sejumlah pemikiran Mely Giok Tan yang sungguh memesona Buku ini merupakan bukti konkret bahwa seorang wanita yang dianggap minoritas di Indonesia mampu mengungkapka peristiwa-peristiwa yang melukai kaum-nya, yakni Tionghoa, di masa sebelum Reformasi, terutama pada Orde Baru. Terbitnya buku ini menyebabkan pembacanya untuk menciptakan sudut pandang yang baru dalam melihat situasi di masa itu, sehingga kejadian tersebut tidak akan terulang kembali Kehadiran buku ini menyadarkan pembaca bahwa masih banyak isu sosial yang berhubungan dengan rasisme dan diskriminasi, sehingga buku ini mengajak pembaca untuk bersamasama memperbaiki negara Indonesia sehingga semua orang mendapatkan hak-nya sesuai dengan HAM.
MELAWAN
Mely Giok Tan yang memiliki etnis Tionghoa tinggal di Indonesia, di mana saat itu di Indonesia maraknya terjadi rasisme, diskriminasi, pelecehan, dan kekerasan terhadap etnis Tionghoa. Namun, meskipun tergolong sebagai minoritas, tetapi Mely Giok Tan tetap semangat berkarya dan berhasil memberikan dampak positif terhadap masyarakat di Indonesia.
TAHU GAK SIH?
APA YANG MENYEBABKAN
RAS TIONGHOA TIDAK DITERIMA DI INDONESIA?
Stereotype Orang Indonesia terhadap Etnis
Tionghoa
GenderInequalityIndex(GII)
NegaraASEAN(2019)
Kebencian rakyat Indonesia terhadap etnis Tionghoa sudah ada sejak lama, namun perselisihan ini ditambah saat Orde Baru. Penelitian Amy Freedman dari Franklin and Marshall College, Amerika Serikat menyatakan bahwa kebencian terhadap Etnis Tionghoa merupakan hasil dari politik pecah belah (Devide et Impera) Presiden RI kedua, Soeharto. Dalam penelitiannya yang berjudul “Political Institutions and Ethnic Chinese Identity in Indonesia,” Freedman menyebutkan Soeharto represif terhadap masyarakat Tionghoa untuk melakukan asimilasi sembari mengidentifikasi mereka bukan sebagai pribumi. Keputusan No. 14/1967 yang dikeluarkan oleh Presiden Soeharto dalam pemerintahan Orde Baru berisi tentang larangan untuk masyarakat keturunan Tionghoa melakukan kegiatan kebudayaan, linguistik, dan keagamaan di depan umum. Selain itu, undang-undang baru yang telah disahkan berisi tentang himbauan untuk mengganti nama China menjadi berkarakter Indonesia. Muncul juga Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia bagi keturunan Tionghoa, kebijakan tersebut disebut
sebagai kebijakan asimilasi, yang antara lain memuat bahwa perayaan-perayaan keagamaan dan adat istiadat Cina tidak boleh dilakukan secara mencolok di depan umum, melainkan di lingkungan keluarga Kebijakan tersebut secara jelas membatasi aktualisasi sifat-sifat ketionghoaan
masyarakat keturunan Tionghoa
Kejatuhan Presiden Soeharto pada tahun 1998 membuat perbedaan ini semakin rumit Hal ini menjadi
rantai yang menghasilkan stigma dan diskriminasi antara kaum Jawa dan Tionghoa Sebenarnya, kebencian terhadap etnis Tionghoa
merupakan konstruksi sosial yang dibuat oleh penguasa
Dalam artikel “Duka Warga Tionghoa” di majalah Historia, Hendri F Isnaeni, menyebutkan bahwa sejarah mencatat, etnis Tionghoa sudah menjadi sasaran untuk massa dari lama Tragedi Tionghoa berikutnya terjadi pada saat 1965 Negara Cina merupakan negara komunis besar yang saat itu dianggap memiliki peran dalam Gerakan 30 September 1965 Banyak masyarakat Tionghoa saat itu yang menjadi korban karena dianggap komunis atau mata-mata Tiongkok Kebencian ini tidak berhenti sampai situ saja, orang-orang Tionghoa dianggap sebagai cukong dan pemeras harta masyarakat lokal Dalam buku "Soeharto dan Bangkitnya Kapitalisme di Indonesia" karya Richard Robinson menyatakan adanya Program Banteng yang dilaksanakan pada September 1950 - 1955 untuk mendukung pengusaha pribumi. Namun, warga Tionghoa meskipun lahir dan beranak pinak di Indonesia tidak dimasukkan dalam program tersebut Mereka tetap diperlakukan sebagai orang asing Peristiwa Mei 1998, ratusan orang perempuan etnis Tionghoa mengalami pemerkosaan dan pelecehan seksual, demikian catatan sebuah tim relawan kasus Mei 1998, dan kasusnya tak juga kunjung terungkap hingga kini dan tak ada yang pernah disidangkan Sebagian bahkan diperkosa beramai-ramai, dianiaya secara sadis, kemudian dibunuh Tim Relawan untuk Kekerasan Terhadap Perempuan, Ita Fatia Nadia, pada Mei 1998 merekam kejadian tragis tersebut dengan matanya sendiri Dia menceritakan bagaimana para perempuan Tionghoa di Glodok 'kala itu' mendapat kekerasan seksual di jalanan saat kerusuhan terjadi Kerusuhan ini diawali oleh krisis finansial Asia dan dipicu oleh tragedi Trisakti di mana empat mahasiswa Universitas Trisakti ditembak dan terbunuh dalam demonstrasi 12 Mei 1998 Hal inipun mengakibatkan penurunan jabatan Presiden Soeharto, serta pelantikan B J Habibie Pada kerusuhan ini banyak toko dan perusahaan yang dihancurkan oleh amuk massa, terutama milik warga Indonesia keturunan Tionghoa Tak hanya itu, seorang aktivis relawan kemanusiaan yang bergerak di bawah Romo Sandyawan bernama Ita Martadinata Haryono, seorang siswi SMU yang masih berusia 18 tahun juga diperkosa, disiksa, dan dibunuh karena aktivitasnya Inilah yang menjadi suatu indikasi bahwa kasus pemerkosaan dalam kerusuhan ini digerakkan secara sistematis, tak hanya sporadis Amuk massa ini membuat para pemilik toko di kedua kota tersebut ketakutan dan menulisi muka toko mereka dengan tulisan "Milik pribumi" atau "Pro-reformasi" karena penyerang hanya fokus ke orang-orang Tionghoa.
Seperti pada data dari UNDP, Indonesia menjadi negara ASEAN dengan Gender Inequality Index (GII) tertinggi di tahun 2019. Lalu bagaimana dengan Indonesia pada masa-masa Orde Lama, Orde Baru, dan Reformasi? Tentu, ketidaksetaraan gender saat itu lebih marak dibandingkan sekarang.
"Kesetaraan laki-laki dan perempuan, dan aspek hak asasi manusia dalam one woman one man, serta kesempatan sama bagi laki-laki dan perempuan untuk memilih, adalah salah satu inti demokrasi substansial Di Singkawang, anak-anak perempuan Tionghoa keluarga miskin dikawinkan dengan lakilaki Taiwan karena tak punya pilihan Keluarganya miskin Kalau ia mau menikah, keluarganya dapat uang Kan, ada comblang"
Kita masih memiliki banyak masalah dengan kesetaraan. Di dokumen legal, perempuan harus memakai atribut ’nyonya’ kalau menikah, dan ’nona’ kalau tidak menikah Laki-laki, mau menikah mau tidak, tetap saja ’tuan’
Dilansir dari kompascom, Mely Giok Tan sangat menentang adanya poligami Ia berkata bahwa banyak orang mengatakan poligami sebagai sisasisa kebudayaan lama Namun, ia berpikir sebaliknya Katanya, terdapat pengaruh faktor demografi terhadap poligami dan asumsi demografi itu dapat dipecahkan apabila jumlah perempuan dan laki-laki usia menikah berimbang dan tetap ada perempuan muda, berpendidikan, mandiri, dapat mencari nafkah sendiri, dan mengetahui arti kesetaraan
Indonesia adalah negara dengan mayoritas penduduk beragama Muslim. Pada masa Orde baru yang dipimpin oleh Presiden Soeharto, terdapat diskriminasi terhadap etnis Tionghoa Tak hanya etnis, melainkan masalah agama dengan ajaran yang berbeda juga menjadi permasalahan di Indonesia Sejak awal, sejarah bangsa ini dipenuhi gejolak politik Kelompok-kelompok terfragmentasi begitu kental Masing-masing berupaya merebut pengaruh, menjadi yang paling dominan, apakah nasionalis, komunis, atau agamais
Di antara itu semua, kelompok Nasrani baik Kristen Protestan maupun Katolik menyimpan kekhawatiran tersendiri: menjadi minoritas yang tertindas Maka ikut berpolitik menjadi kewajiban untuk dapat memengaruhi kebijakan. Tujuannya: jaminan keamanan dan kebebasan beragama
dan
Je
"Saya ini minoritas empat lapis, ujarnya Saya perempuan, etnis China, beragama Katolik dan single "
Jadi, jika dikaitkan dengan Mely G. Tan…. Buku karangan Mely Giok Tan bertujuan untuk menghapus stigma kaum Jawa terhadap kaum Tionghoa.
Apa persoalan mendasar integrasi etnis
Tionghoa ke dalam masyarakat?
Bagaimana dengan stereotip terhadap orang
Tionghoa yang susah pudar?
"Mestinya bisa hilang, tetapi makan waktu Dasarnya, kita harus mengakui dan menerima masyarakat kita plural, beraneka ragam Tak ada negara di dunia ini yang homogen, baik dari sisi agama maupun etnis Kalaupun ada, sedikit sekali Kita harus menerima ini meski tidak mudah karena kita harus menghormati dan menghargai perbedaan Kalau tidak bisa sampai ke sana, sulit, karena selalu saja ada hal-hal untuk memperbedakan manusia"
Menurut buku “Mereka bilang aku China” karya Dewi Anggraeni, maksud dari buku tersebut adalah menunjukkan bahwa pada zaman dahulu lebih banyak persoalan ekonomi dan politis Tionghoa. Untuk budayanya, kurang ditunjukkan kepada publik, banyak stereotip bahwa orang Tionghoa mata duitan Dari buku tersebut, Mely G Tan bertujuan untuk membuktikan stereotip itu salah dengan mengumpulkan individu-individu untuk ikut serta membuktikan. Mely G Tan merupakan penyelamat dari maraknya rasisme dan seksisme terhadap etnis Tionghoa saat Orde Baru hingga Pasca Kemerdekaan Indonesia.
DID YOU KNOW?
Menyelesaikan berbagai masalah yang dihadapi oleh masyarakat
Tionghoa berkaitan dengan masalah pembangunan secara
menyeluruh. Hal ini dapat dilihat dari Nabil Awards yang diterima.
Dilansir dari http://lipigoid/berita/tiga-peneliti-integrasi-etnis-tionghoa-raih-nabil-award/3361
Menyarankan DPR untuk mengeluarkan UU mengenai ANTI
DISKRIMINASI AGAMA DAN GENDER, dan akhirnya disahkan
DPR Dan akhirnya, DPR mengeluarkan Permen PPPA No 13
Tahun 2020 tentang Perlindungan Perempuan dan Perlindungan
Anak Dari Kekerasan Berbasis Gender Dalam Bencana Saat itu
Mely G. Tan berani untuk berpendapat walau masih banyak
kebencian orang TIONGHOA di Indonesia dan ia merupakan seorang PEREMPUAN.
Dilansir dari https://kemenag.go.id/read/mely-g-tan-uu-anti-diskriminasi-agama-dan-genderperlu-dipikirkan-nezn
Mely Giok Tan bersama dengan Myra Sidharta (peneliti dari Indonesia) dan Charles A. Coppel (peneliti dari Australia).
meraih Nabil Awards pada tahun 2009 di Jakarta Mereka
adalah orang-orang yang mengupayakan perbaikan
kedudukan etnis Tionghoa dalam masyarakat Indonesia serta
bergiat dalam bidang-bidang lain yang berkaitan dengan
tantangan yang dihadapi pembangunan negara Indonesia dari dulu hingga sekarang
Dalam penganugerahan
tahun ini, untuk pertama
kalinya Nabil Awards
dianugerahkan kepada
sarjana
Indonesia
Ketiganya memenangi
penghargaan berdasarkan dedikasi dan produktivitas mereka dalam penelitian dan pengkajian etnis
Tionghoa di Indonesia.
Karya-karya mereka mampu menunjukkan
bahwa sejarah etnis
Tionghoa sama sekali tidak terpisahkan dari sejarah masyarakat
Indonesia secara keseluruhan.
Komnas Perempuan terbentuk dari tuntutan kaum
wanita kepada pemerintah Indonesia untuk meminta pertanggungjawaban Indonesia sebagai negara untuk menangani persoalan dan kasus
kekerasan baik secara fisik, verbal, maupun nonverbal terhadap wanita Tuntutan tersebut dipicu
oleh tragedi Mei 1998, peristiwa di mana terjadinya
tindakan kekerasan seksual massal terhadap
korban-korban wanita etnis Tionghoa.
Komnas Perempuan akhirnya tumbuh menjadi salah satu Lembaga Nasional Hak Asasi Manusia (LNHAM),
dan menjadi bukti konkret upaya untuk meningkatkan dan mengembangkan Hak Asasi
Manusia dalam bidang penghapusan tindakan kekerasan fisik, verbal, dan non-verbal terhadap wanita di kawasan
Indonesia manapun.
RUU TPKS resmi disahkan menjadi Undang-Undang pada hari Selasa, 12 April 2022 melalui Rapat Paripurna DPR RI. Tujuan dari UU TPKS adalah memberikan perlindungan komprehensif uoaya untuk mencegah
segala jenis tindakan kekerasan seksual dengan cara menangani, melindungi, memulihkan korban , menegaskan hukum sehingga mewujudkan negara tanpa kekerasan seksual kepada siapapun.
Mely Giok Tan merupakan
seseorang yang dapat dijadikan
panutan dalam kehidupan
masyarakat Indonesia Dalam
artikel yang dicantumkan oleh
Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia, dikatakan bahwa Mely
G Tan memiliki agama Katolik
Roma. Sebagai pejuang Indonesia
yang menganut agama Katolik, beliau menunjukkan pribadinya
yang 100% Katolik dan 100%
Indonesia dengan cara
memperjuangkan keadilan pada
masanya
Keadilan adalah sesuatu yang
diberikan kepada setiap individu
apa yang sudah menjadi haknya
sejak awal Keadaan Indonesia
pada zaman Mely G Tan
merupakan tragedi yang tak
terlupakan sepanjang sejarah
Indonesia, dimana maraknya
terjadi kekerasan atau
pemerkosaan terhadap wanita di Indonesia, serta permasalahan
diskriminasi etnis Tionghoa. Ia
sadar sebagai warga negara
Indonesia, munculnya tuntutan
untuk melakukan tekad utama
dalam membantu permasalahan
kekerasan wanita dan diskriminasi
etnis Tionghoa Hal tersebut
menunjukkan cinta dan belas
kasihnya yang tulus terhadap
etnis yang ia miliki
Perempuan yang sudah memiliki usia 92 tahun ini mengupayakan
adanya perjuangan terhadap
hukum negara Indonesia dengan
semangat melayani agar tidak
terjadinya eksploitasi perempuan yang dilakukan untuk kepuasan seksual Semangat pelayanan yang ia miliki dilakukannya secara tulus dan ikhlas untuk kebaikan dan kemajuan negara, tanpa mengharapkan sesuatu kembali.
Pelayanan yang dilakukan oleh
Mely G Tan untuk negara dapat
menjadi penerapan Core Value
Serviam dalam kehidupan seharihari dari perbuatan yang lebih kecil dan sederhana
Sebagian hidupnya, ia habiskan untuk menjadi saksi penting terhadap perubahan politik di Indonesia yang merupakan pengakuan pemerintah terhadap
masalah kekerasan pada perempuan yang melibatkan kesatuan dengan 22 perempuan
lainnya untuk menghapus segala hal yang menganggap "lemah"
perempuan Karakter kuat yang
dimiliki menghasilkan integritas yang dapat meningkatkan martabat seorang perempuan serta etnis Tionghoa dari stereotip negatif yang mengandung
pemikiran yang masih sempit.
Ia juga memiliki keberanian yang tinggi
untuk hidup dan berperan penting dalam
revolusi pada zamannya sebagai perempuan yang memiliki ras minoritas yaitu sebagai seorang “Etnis Tionghoa”. Salah satu bentuk
keberaniannya untuk memperjuangkan
haknya sebagai seorang yang memiliki etnis
minoritas adalah menghasilkan karya buku yang berjudul “Etnis Tionghoa di Indonesia”
sebagai upaya menghilangkan stereotipe negatif terhadap ras tersebut
Dalam upayanya untuk menciptakan perdamaian di Indonesia pada zamannya, ia membangun relasi dan persaudaraan dengan sesama warga negara Indonesia untuk menghasilkan kesadaran
pentingnya hak manusia untuk hidup
sebagai perempuan sesuai dengan citra Allah dan seseorang yang memiliki perbedaan di negara yang beragam ini.
resmi pensiun pada tahun 1997, namun Mely tidak pernah berhenti bekerja dan meneliti Ia tidak patah semangat dalam membekali diri sendiri. Ia bahkan menyelesaikan makalah untuk seminar di negara Singapura dan peranakan Tionghoa
Menyambut tahun pensiunnya, Mely juga merupakan saksi penting sejarah perubahan politik Indonesia Mely memutuskan untuk berkontribusi menjadi bagian dari salah satu Komisi Nasional Anti-Kekerasan terhadap Perempuan, dengan 22 perempuan lainnya
Pada tanggal 15 Juli 1998, Masyarakat AntiKekerasan menghadap presiden Habibie, mendesaknya untuk membuat pernyataan mengutuk peristiwa itu dan meminta maaf kepada masyarakat. Pada akhirnya, pergerakan ini didukung oleh pemerintahan yang membentuk Tim Gabungan Pencari Fakta untuk menginvestigasi tragedi pada tahun 1978.
Mely G Tan menghabiskan waktu pensiunnya dengan menulis untuk menggambarkan perasaan marah dalam menghadapi penolakan. Pada tahun 1999, beliau diundang United States-Indonesia Association untuk bicara mengenai perempuan Indonesia di beberapa universitas di AS
Tidak hanya sampai situ, beliau juga diundang United Nations Division for the Advancement of Women sebagai perwakilan dari Indonesia untuk menulis
masalah kekerasan terhadap perempuan dalam mempersiapkan sidang ke-45 dari UN Commission on the Status of Women.
Dalam proses mengenal dan menganalisis
tokoh Mely G Tan, seorang pejuang diskriminasi dan emansipasi pada
perempuan, kami takjub dengan
semangat totalitas beliau dalam menghadapi permasalahan sosial. Melalui
tindakannya yang berani dan tangguh
pada zamannya, permasalahan etnis
Tionghoa sudah berkurang dalam adanya
peningkatan penduduk etnis Tionghoa di Indonesia Selama kehidupannya, ia selalu
berupaya untuk menghilangkan
diskriminasi dan stereotip negatif
terhadap etnis Tionghoa. Perubahanperubahan yang ia upayakan untuk
kebaikan negara dahulu tetap tidak
menjamin tidak adanya kasus diskriminasi
terhadap etnis Tionghoa karena hal
tersebut berdasarkan pemikiran dan toleransi masyarakat yang hidup di zaman
sekarang ini
Sebagai pelajar SMA tahun terakhir, kami merasakan banyak perasaan baru termasuk suka maupun duka Tidak jarang rasa putus asa kami menguasai diri, dan membuat kami merasa hal yang kami lakukan tidak bermakna dan ingin cepat selesai Dalam meneladani karakteristik Mely G. Tan, kami merasa aspek yang kami ingin tingkatkan untuk kedepannya adalah totalitas Kami merasa totalitas memegang peran yang sangat penting dalam kehidupan beliau sendiri dalam membuat banyak usaha Begitupun dengan tantangan dan hambatan dalam kehidupan yang membutuhkan kesungguhan diri dan usaha yang maksimal Dengan mengaplikasikan sikap totalitas dalam setiap kegiatan yang kami lakukan, kami yakin hal tersebut dapat lebih bermakna dan berguna bagi diri kami masing-masing Sesuai dengan kutipan Yakobus 2 : 4, kami mengimplementasikan cerminan diri beliau dengan mengupayakan segala macam hal yang terjadi dalam diri kita (caci-maki, kritik, dan perbuatan negatif lainnya) ke arah yang baik Kami berusaha untuk tetap teguh memegang pedoman 'keadilan' dan 'perdamaian' yang ada dalam diri kita dengan merealisasikan bukti konkret seperti berani menentang apa yang berpengaruh negatif terhadap diri kita
Tetapi kita tidak dapat menyerukan nama Allah Bapa semua orang, bila terhadap orang-orang tertentu, yang diciptakan Allah Bapa dan hubungannya dengan sesama manusia saudaranya begitu erat, sehingga Alkitab berkata: "Barang siapa tidak mencintai, ia tidak mengenal Allah" (1 Yoh 4:8) Jadi tiadalah dasar bagi setiap teori atau praktik, yang mengadakan pembedaan mengenai martabat manusia serta hak-hak yang bersumber padanya antara manusia dan manusia, antara bangsa dan bangsa Maka Gereja mengecam setiap diskriminasi antara orang-orang atau penganiayaan berdasarkan keturunan atau warna kulit, kondisi hidup atau agama, sebagai berlawanan dengan semangat Kristus Oleh karena itu, Konsili Suci mengikuti jejak para Rasul Kudus Petrus dan Paulus, meminta dengan sangat kepada umat beriman Kristiani, supaya bila ini mungkin "memelihara cara hidup yang baik di antara bangsa-bangsa bukan Yahudi" dan sejauh tergantung dari mereka hidup dalam damai dengan semua orang, sehingga mereka sungguh-sungguh menjadi putera Bapa di Sorga
Kelompok kami memilih Dokumen ASG Nostra Aetate artikel 5 yang dikeluarkan oleh Konsili Vatikan II, karena dokumen ini fokus pada masalah diskriminasi antar manusia, dimana terdapat kalimat bahwa Gereja mengecam adanya setiap perbuatan diskriminasi Perbuatan tersebut dianggap berlawan dengan semangat Kristus yang telah diajarkan oleh Allah Dokumen ini pun mengajak kami sebagai umat Kristiani yang beriman untuk memelihara cara hidup yang baik (antidiskriminasiterhadapsesamamanusia)
"Bukankah kamu telah membuat pembedaan di dalam hatimu dan bertindak sebagai hakim dengan pikiran yang jahat?"
arti :
DalammenjadiumatKristianiyangberiman,kitaharusmengupayakanuntukmemiliki hatibaikdantidakmenghakimisesamadenganpemikiranjahatyangadadidalamdirikita
"Tetapi hendaklah kamu ramah seorang terhadap yang lain, penuh kasih mesra dan saling mengampuni, sebagaimana Allah di dalam Kristus telah mengampuni kamu."
arti :
Dimasayangakanmendatang,kitainginmengembangkansikapindividuyangramah kepadasesamadenganpenuhcintakasihsepertiyangKristusajarkan
"Dalam hal ini tidak ada orang Yahudi atau orang Yunani, tidak ada hamba atau orang merdeka, tidak ada laki-laki atau perempuan, karena kamu semua adalah satu di dalam Kristus Yesus."
arti :
satu sehingga kami tidak memandang perbedaan di antara manusia dan menjunjung tidak adanyadiskriminasidalammasyarakat
Anonim,2004.“ApadanSiapa-MelyG.Tan”.Diakses20Desember2022,pukul
15.00WIB.ApadanSiapa-MELYG.TAN(ahmad.web.id)
Anonim.“ApakataAlkitabmengenairasisme,prasangkadandiskriminasi?”.
Diakses1Januari2023pukul13.30WIB.ApakataAlkitabmengenairasisme, prasangkadandiskriminasi?(gotquestions.org)
Anonim.14Februari2006.“MELYGTAN:UUANTIDISKRIMINASIAGAMADAN
GENDERPERLUDIPIKIRKAN”.Diakses1Januari2023pukul12.00WIB.MELY
GTAN:UUANTIDISKRIMINASIAGAMADANGENDERPERLUDIPIKIRKAN (kemenag.go.id)
Anonim.“PerlindunganPerempuandanPerlindunganAnakDariKekerasan
BerbasisGenderDalamBencana”.Diakses4Januari2023pukul16.00WIB. PermenPPPANo.13Tahun2020tentangPerlindunganPerempuandan PerlindunganAnakDariKekerasanBerbasisGenderDalamBencana[JDIHBPKRI]
Frishka,Sondang."KerusuhanMei1998Fakta,Data&Analisa:MengungkapKerusuhanMei
1998 Sebagai Kejahatan Terhadap Kemanusiaan" Diakses tanggal 5 Februari 2023 pukul
17.00 WIB. Kerusuhan Mei 1998 Fakta, Data & Analisa : Mengungkap Kerusuhan Mei 1998
SebagaiKejahatanTerhadapKemanusiaan|PerpustakaanKomnasPerempuan
Guntoro,Heru.23Oktober2009.“TigaPenelitiIntegrasiEtnisTionghoaRaih
Indonesia(lipi.go.id) EtnisTionghoaRaihNabilAward|LembagaIlmuPengetahuan
NabilAward”.Diakses29Desember2022pukul20.00WIB.TigaPeneliti Integrasi
Hartiningsih,Maria,&Prambudy,NinukMardiana.1November2009.“MelyG
an: Saya Selalu Beruntung”. Diakses 18 Desember 2022, pukul 17.00 WIB. Mely G
Tan:SayaSelaluBeruntung|LembagaIlmuPengetahuanIndonesia(lipi.go.id)
Setyono,Agus.17Februari2009.“GerejaMengecamDiskriminasi”.Diakses19
Januari2023pukul16.37WIB.diskriminasi|AjaranSosialGereja
Sri,Lestari.20Mei2018."PerkosaanMei1998'takpernahterungkap,takpernah
terungkap, tak pernah dituntaskan'. Diakses 20 Januari 2023 pukul 16.30 WIB. Perkosaan Mei 1998 'tak pernah terungkap, tak pernah dituntaskan' - BBC News
Indonesia
Suditomo,Arief.8Februari2020.“MelawanLupa-WarisanStigmadariMasa
Penjajahan”.Diakses2Januari2023pukul13.00WIB.https://youtu.be/Mwi0PB9hdEc
Suditomo,Arief.15November2019.“MelawanLupa-GegerPacinan”.Diakses
tanggal2Januari2023pukul14.00WIB.https://youtu.be/s5hMVPMOn3c
Suprapto.6November2019."AwalKebencianterhadapEtnisTionghoadiIndonesia".
Diaksestanggal4Januari2023pukul13.00WIB.https://surabayapagi.com/read/awalkebencian-terhadap-etnis-tionghoa-di-indonesia
"Pahlawan yang setia itu berkorban bukan buat dikenal namanya, tetapi semata-mata membela cita-cita".
-Bung Hatta