
3 minute read
RAS TIONGHOA BERAGAMA KATOLIK BERGENDER WANITA
Stereotype Orang Indonesia terhadap Etnis
Tionghoa
Advertisement
GenderInequalityIndex(GII)
NegaraASEAN(2019)
Kebencian rakyat Indonesia terhadap etnis Tionghoa sudah ada sejak lama, namun perselisihan ini ditambah saat Orde Baru. Penelitian Amy Freedman dari Franklin and Marshall College, Amerika Serikat menyatakan bahwa kebencian terhadap Etnis Tionghoa merupakan hasil dari politik pecah belah (Devide et Impera) Presiden RI kedua, Soeharto. Dalam penelitiannya yang berjudul “Political Institutions and Ethnic Chinese Identity in Indonesia,” Freedman menyebutkan Soeharto represif terhadap masyarakat Tionghoa untuk melakukan asimilasi sembari mengidentifikasi mereka bukan sebagai pribumi. Keputusan No. 14/1967 yang dikeluarkan oleh Presiden Soeharto dalam pemerintahan Orde Baru berisi tentang larangan untuk masyarakat keturunan Tionghoa melakukan kegiatan kebudayaan, linguistik, dan keagamaan di depan umum. Selain itu, undang-undang baru yang telah disahkan berisi tentang himbauan untuk mengganti nama China menjadi berkarakter Indonesia. Muncul juga Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia bagi keturunan Tionghoa, kebijakan tersebut disebut sebagai kebijakan asimilasi, yang antara lain memuat bahwa perayaan-perayaan keagamaan dan adat istiadat Cina tidak boleh dilakukan secara mencolok di depan umum, melainkan di lingkungan keluarga Kebijakan tersebut secara jelas membatasi aktualisasi sifat-sifat ketionghoaan masyarakat keturunan Tionghoa
Kejatuhan Presiden Soeharto pada tahun 1998 membuat perbedaan ini semakin rumit Hal ini menjadi rantai yang menghasilkan stigma dan diskriminasi antara kaum Jawa dan Tionghoa Sebenarnya, kebencian terhadap etnis Tionghoa merupakan konstruksi sosial yang dibuat oleh penguasa
Dalam artikel “Duka Warga Tionghoa” di majalah Historia, Hendri F Isnaeni, menyebutkan bahwa sejarah mencatat, etnis Tionghoa sudah menjadi sasaran untuk massa dari lama Tragedi Tionghoa berikutnya terjadi pada saat 1965 Negara Cina merupakan negara komunis besar yang saat itu dianggap memiliki peran dalam Gerakan 30 September 1965 Banyak masyarakat Tionghoa saat itu yang menjadi korban karena dianggap komunis atau mata-mata Tiongkok Kebencian ini tidak berhenti sampai situ saja, orang-orang Tionghoa dianggap sebagai cukong dan pemeras harta masyarakat lokal Dalam buku "Soeharto dan Bangkitnya Kapitalisme di Indonesia" karya Richard Robinson menyatakan adanya Program Banteng yang dilaksanakan pada September 1950 - 1955 untuk mendukung pengusaha pribumi. Namun, warga Tionghoa meskipun lahir dan beranak pinak di Indonesia tidak dimasukkan dalam program tersebut Mereka tetap diperlakukan sebagai orang asing Peristiwa Mei 1998, ratusan orang perempuan etnis Tionghoa mengalami pemerkosaan dan pelecehan seksual, demikian catatan sebuah tim relawan kasus Mei 1998, dan kasusnya tak juga kunjung terungkap hingga kini dan tak ada yang pernah disidangkan Sebagian bahkan diperkosa beramai-ramai, dianiaya secara sadis, kemudian dibunuh Tim Relawan untuk Kekerasan Terhadap Perempuan, Ita Fatia Nadia, pada Mei 1998 merekam kejadian tragis tersebut dengan matanya sendiri Dia menceritakan bagaimana para perempuan Tionghoa di Glodok 'kala itu' mendapat kekerasan seksual di jalanan saat kerusuhan terjadi Kerusuhan ini diawali oleh krisis finansial Asia dan dipicu oleh tragedi Trisakti di mana empat mahasiswa Universitas Trisakti ditembak dan terbunuh dalam demonstrasi 12 Mei 1998 Hal inipun mengakibatkan penurunan jabatan Presiden Soeharto, serta pelantikan B J Habibie Pada kerusuhan ini banyak toko dan perusahaan yang dihancurkan oleh amuk massa, terutama milik warga Indonesia keturunan Tionghoa Tak hanya itu, seorang aktivis relawan kemanusiaan yang bergerak di bawah Romo Sandyawan bernama Ita Martadinata Haryono, seorang siswi SMU yang masih berusia 18 tahun juga diperkosa, disiksa, dan dibunuh karena aktivitasnya Inilah yang menjadi suatu indikasi bahwa kasus pemerkosaan dalam kerusuhan ini digerakkan secara sistematis, tak hanya sporadis Amuk massa ini membuat para pemilik toko di kedua kota tersebut ketakutan dan menulisi muka toko mereka dengan tulisan "Milik pribumi" atau "Pro-reformasi" karena penyerang hanya fokus ke orang-orang Tionghoa.
Ketidaksetaraan Gender
Seperti pada data dari UNDP, Indonesia menjadi negara ASEAN dengan Gender Inequality Index (GII) tertinggi di tahun 2019. Lalu bagaimana dengan Indonesia pada masa-masa Orde Lama, Orde Baru, dan Reformasi? Tentu, ketidaksetaraan gender saat itu lebih marak dibandingkan sekarang.
APA KATA MELY G. TAN?
"Kesetaraan laki-laki dan perempuan, dan aspek hak asasi manusia dalam one woman one man, serta kesempatan sama bagi laki-laki dan perempuan untuk memilih, adalah salah satu inti demokrasi substansial Di Singkawang, anak-anak perempuan Tionghoa keluarga miskin dikawinkan dengan lakilaki Taiwan karena tak punya pilihan Keluarganya miskin Kalau ia mau menikah, keluarganya dapat uang Kan, ada comblang"
Kita masih memiliki banyak masalah dengan kesetaraan. Di dokumen legal, perempuan harus memakai atribut ’nyonya’ kalau menikah, dan ’nona’ kalau tidak menikah Laki-laki, mau menikah mau tidak, tetap saja ’tuan’
Dilansir dari kompascom, Mely Giok Tan sangat menentang adanya poligami Ia berkata bahwa banyak orang mengatakan poligami sebagai sisasisa kebudayaan lama Namun, ia berpikir sebaliknya Katanya, terdapat pengaruh faktor demografi terhadap poligami dan asumsi demografi itu dapat dipecahkan apabila jumlah perempuan dan laki-laki usia menikah berimbang dan tetap ada perempuan muda, berpendidikan, mandiri, dapat mencari nafkah sendiri, dan mengetahui arti kesetaraan
Diskriminasi Agama
Indonesia adalah negara dengan mayoritas penduduk beragama Muslim. Pada masa Orde baru yang dipimpin oleh Presiden Soeharto, terdapat diskriminasi terhadap etnis Tionghoa Tak hanya etnis, melainkan masalah agama dengan ajaran yang berbeda juga menjadi permasalahan di Indonesia Sejak awal, sejarah bangsa ini dipenuhi gejolak politik Kelompok-kelompok terfragmentasi begitu kental Masing-masing berupaya merebut pengaruh, menjadi yang paling dominan, apakah nasionalis, komunis, atau agamais
Di antara itu semua, kelompok Nasrani baik Kristen Protestan maupun Katolik menyimpan kekhawatiran tersendiri: menjadi minoritas yang tertindas Maka ikut berpolitik menjadi kewajiban untuk dapat memengaruhi kebijakan. Tujuannya: jaminan keamanan dan kebebasan beragama dan
Je
"Saya ini minoritas empat lapis, ujarnya Saya perempuan, etnis China, beragama Katolik dan single "
APA SIH KORELASINYA?
Jadi, jika dikaitkan dengan Mely G. Tan…. Buku karangan Mely Giok Tan bertujuan untuk menghapus stigma kaum Jawa terhadap kaum Tionghoa.
Apa persoalan mendasar integrasi etnis
Tionghoa ke dalam masyarakat?
Bagaimana dengan stereotip terhadap orang
Tionghoa yang susah pudar?