Penggunaan GIS Dalam Analisis Spasial: Perubahan Guna
Lahan Sempadan Sungai Kota Banda Aceh

Syukur dipanjatkan kehadirat Allah SWT. yang telah melimpahkan rahmat dan hidayahNya, sehingga laporan yang berjudul “Penggunan GIS dalam Analisis Spasial: Perubahan
Guna Lahan Sempadan Sungai di Kota Banda Aceh” dapat diselesaikan tepat waktu. Shalawat dan salam selalu dicurahkan kepada junjungan umat Nabi Muhammad SAW. yang telah diutus untuk membawa ilmu pengetahuan ke tengah kehidupan manusia dan memberi syafaat kelak.
Penyelesaian penulisan laporan ini tidak terlepas dari bantuan dan dorongan berbagai pihak, baik secara moril maupun materil. Pada kesempatan ini, ucapan terimakasih diucapkan
kepada:
1. Bapak Arief Gunawan S.T., M.Sc. selaku dosen pengampu Mata Kuliah Sistem Informasi Perencanaan.
2. Semua pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan penulisan laporan ini.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam penulisan laporan ini masih banyak kekurangan. Hal ini tidak terlepas dari keterbatasan, kemampuan, dan ilmu pengetahuan penulis. Oleh karena itu, kritik dan saran dari berbagai pihak sangat dibutuhkan. Penulis berharap semoga laporan ini dapat menjadi kontribusi dalam perkembangan ilmu pengetahuan, selanjutnya bagi pembaca dan penulis sendiri. Akhir kata, hanya kepada Allah SWT. diri berserah, karena tiada satu pun yang terjadi atas kehendak dari-Nya.
Banda Aceh, 1 Desember 2021 Penulis
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Berkembangnya lahan perkotaan umumnya disebabkan oleh faktor-faktor seperti pertumbuhan penduduk secara keseluruhan, penguasaan atas alam lingkungan, kemajuan teknologi, kemajuan dalam organisasi sosial hingga angka urbanisasi yang jumlahnya semakin besar. Perkembangan kota seperti ini tentunya akan menuntut penyediaan fasilitas perumahan, perdagangan dan jasa, pelayanan kesehatan, sarana pendidikan, prasarana lalu lintas dan fasilitas lainnya. Melalui realitas tersebut, kompleksitas fungsi lahan perkotaan semakin meningkat sehingga memaksa kota berkembang menuju area pinggiran (fringe area) tanpa adanya batas pertumbuhan kota (urban growth boundary) yang jelas.
Kota-kota yang telah lebih dulu berkembang secara laissez-faire–tanpa dilandasi
perencanaan yang komprehensif–dapat memunculkan masalah-masalah perkotaan yang menjamah sistem sosial ekonomi, kemubaziran alokasi sumber daya dan degradasi lingkungan yang akan berimplikasi terhadap perubahan guna lahan dan alih fungsi lahan. Salah satu contoh yang lazim ditemukan dari fenomena perubahan guna lahan saat ini ialah tumbuhnya
permukiman yang terbentuk secara organik di kawasan sempadan, baik sempadan rel kereta api, saluran pengairan, mata air, pantai, waduk, danau, maupun sungai sehingga menggeser
kesesuaian lahan dari peruntukannya.
Ditinjau dari definisinya, kesesuaian lahan dimaknai tingkat kecocokan sebidang lahan
untuk penggunaan tertentu yang dapat dinilai melalui dua kondisi yakni aktual dan potensial. Kesesuaian aktual diartikan sebagai kesesuaian lahan berdasarkan sifat biofisik tanah atau sumber daya lahan, umumnya biofisik berupa karakteristik jenis tanah dan iklim. Sementara itu, kesesuaian lahan potensial dimaknai dengan kesesuaian lahan yang akan diperoleh setelah
dilakukannya proses evaluasi dan rehabilitasi lahan (Hamka, 2015). Kesesuaian lahan juga merupakan penggambaran tingkat kecocokan sebidang lahan yang dialokasikan untuk penggunaan tertentu yang sifatnya lebih spesifik dari kemampuan lahan (FAO, 1976). Kriteria
kesesuaian lahan dan kemampuan lahan disusun berdasarkan persyaratan penggunaan lahan
yang sesuai dengan kualitas karakteristik lahan pada suatu wilayah sehingga dapat memprediksi potensi suatu lahan yang ada pada wilayah tersebut (Wijaya, 2015).
Penilaian kemampuan lahan dilakukan dengan memperhatikan prinsip kesesuaian lahan menurut penggunaannya. Prinsip ini mewujudkan pengakuan akan fakta bahwa setiap jenis
guna lahan memiliki persyaratan yang berbeda. Aspek degradasi menjadi salah satu indikator
dalam menilai kemampuan lahan, terlebih banyak pihak sering kali hanya melihat keuntungan
jangka pendek dari penggunaan lahan tertentu tanpa memperhitungkan kecenderungannya
terhadap erosi, lahan kritis, sedimentasi, kekeringan dan lain-lain. Prinsip ini tidak memaksa
lingkungan harus dipertahankan dalam keadaan sama sekali tidak bisa diubah, tetapi lebih
menekankan pada konsekuensi bahwa berbagai bentuk penggunaan lahan bagi lingkungan
terlebih dahulu harus diasumsikan dan dinilai seakurat mungkin sebagai pertimbangan dalam menentukan kesesuaian lahan.
Ketidaksesuaian penggunaan lahan merupakan akibat dari adanya perubahan
peruntukan guna lahan yang biasanya disebabkan oleh faktor pemenuhan kebutuhan dasar
masyarakat yang jumlahnya tidak terbatas serta tuntutan untuk meningkatkan mutu dan kualitas
kehidupan. Perubahan penggunaan lahan dapat dipahami sebagai bentuk perubahan dari
penggunaan lahan yang satu menuju penggunaan lahan lainnya yang bersifat permanen maupun sementara, merupakan konsekuensi logis dari adanya pertumbuhan dan transformasi struktur sosial ekonomi masyarakat.
Sebagai contoh sungai dan area sekitarnya yang semula mengemban fungsi sebagai salah satu sumber penghidupan manusia, menjadi alternatif ruang aktivitas paling praktis atas keterbatasan lahan tinggal di perkotaan. Kondisi ini dapat memicu tercemarnya kualitas sungai, baik dari sisi kesehatan maupun estetika. Selain itu, pemanfaatan sempadan sungai oleh masyarakat dengan mendirikan bangunan juga dapat mengakibatkan terjadinya pendangkalan dan penyempitan lebar sungai. Dalam rangka mencegah lahirnya penguasaan sempadan sungai dari kegiatan yang mengganggu dan merusak, maka perlu dilakukan pengelolaan (pengawasan, pengendalian dan pengembalian) fungsi sempadan sungai.
Fenomena permukiman yang menempati kawasan sempadan sungai juga dapat ditemui
pada Daerah Aliran Sungai yang berada di Kota Banda Aceh. Berdasarkan hasil survey sekunder, diketahui bahwa dalam rencana tata ruang wilayah Kota Banda Aceh tahun 20092029 telah ditetapkan kawasan sempadan sungai tidak boleh dimanfaatkan untuk kegiatan dan bangunan yang berpotensi mengancam, merusak dan menurunkan kualitas sungai. Bahkan kepemilikan lahan yang berbatas langsung dengan sungai diwajibkan untuk menyediakan ruang terbuka publik minimal 3 meter sepanjang sungai untuk jalan inspeksi dan/atau taman. Namun, pada kondisi eksisting dapat dilihat bangunan-bangunan rumah dengan kerapatan sedang hingga tinggi telah berdiri di garis sempadan bahkan bantaran sungai tanpa adanya arahan
penataan yang jelas. Meskipun dilarang, masyarakat mengaku memiliki legalitas atas rumahrumah yang mereka tempati. Padahal kawasan sempadan sungai sangat berisiko terhadap bencana banjir.
Oleh karena itu, adanya Geographic Information System (GIS) sebagai sistem komputer digunakan untuk mengumpulkan, memeriksa, mengintegrasikan, dan menganalisa informasiinformasi yang berhubungan dengan kondisi geografis. Dalam penelitian ini, GIS digunakan sebagai metode analisis spasial yang membantu dalam menganalisis kondisi eksisting lahan terbangun yang berada di daerah aliran sungai 7 kecamatan Kota Banda Aceh. Melalui penelitian ini akan diidentifikasi jumlah bangunan berdasarkan jaraknya (3-100 meter) dengan sempadan sungai.
1.2 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi keberadaan permukiman sempadan sungai berukuran sedang baik bertanggul maupun tidak bertanggul di 7 kecamatan Kota Banda Aceh berdasarkan jarak bangunan dengan sempadan sungai yang mengakibatkan terjadinya perubahan guna lahan pada daerah aliran sungai di Kota Banda Aceh.
1.3 Lokasi Studi
Lokasi studi dalam penelitian ini adalah 7 kecamatan Kota Banda Aceh yakni Kecamatan Meuraxa, Kecamatan Baiturrahman, Kecamatan Kuta Alam, Kecamatan Banda Raya, Kecamatan Lueng Bata, Kecamatan Kuta Raja dan Kecamatan Jaya Baru. Ketujuh kecamatan ini merupakan kecamatan yang dilintasi oleh aliran sungai Kreung Aceh, Krueng Daroy, Krueng Neng, Krueng Doy, Krueng Lhueng Paga, Krueng Tanjung dan Krueng Titi Panjang.

1.4 Metodologi
Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini yakni melalui pengumpulan data shapefile batas kecamatan, jalur sungai dan footprint bangunan Kota Banda Aceh yang kemudian diolah menggunakan ArcGIS. Beberapa analysis tools dalam arctoolbox yang diterapkan terdiri atas:
Extract, analisis ini gunakan untuk mendapatkan data hasil potongan batas kecamatan Kota Banda Aceh.
Overlay, digunakan untuk menggabungkan shapefile batas kecamatan terpilih dan jalur sungai.
Proximity, dilakukan untuk melihat jarak antara bangunan dengan sempadan sungai.
Statistic, digunakan untuk menghitung jumlah bangunan pada jarak tertentu di tiap kecamatan di Kota Banda Aceh.
1.5 Data
Data yang digunakan dalam penelitian merupakan data vektor opensource yang berisi referensi geografis sebagai objek tunggal berupa batas administrasi, jalan, sungai, dan building footprint Kota Banda Aceh yang diperoleh secara online.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kesesuaian Lahan
Kesesuaian lahan merupakan tingkat kecocokan sebidang lahan untuk penggunaan tertentu yang dapat dinilai melalui dua kondisi yakni aktual dan potensial. Kesesuaian aktual diartikan sebagai kesesuaian lahan berdasarkan sifat biofisik tanah atau sumber daya lahan, umumnya biofisik berupa karakteristik jenis tanah dan iklim. Sementara itu, kesesuaian lahan potensial dimaknai dengan kesesuaian lahan yang akan diperoleh setelah dilakukannya proses evaluasi dan rehabilitasi lahan (Hamka, 2015). Kesesuaian lahan juga merupakan penggambaran tingkat kecocokan sebidang lahan yang dialokasikan untuk penggunaan tertentu yang sifatnya lebih spesifik dari kemampuan lahan (FAO, 1976). Kriteria kesesuaian lahan dan kemampuan lahan disusun berdasarkan persyaratan penggunaan lahan yang sesuai dengan kualitas karakteristik lahan pada suatu wilayah sehingga dapat memprediksi potensi suatu lahan yang ada pada wilayah tersebut (Wijaya, 2015).
Penilaian kemampuan lahan dilakukan dengan memperhatikan prinsip kesesuaian lahan menurut penggunaannya. Prinsip ini mewujudkan pengakuan akan fakta bahwa setiap jenis guna lahan memiliki persyaratan yang berbeda. Aspek degradasi menjadi salah satu indikator dalam menilai kemampuan lahan, terlebih banyak pihak sering kali hanya melihat keuntungan jangka pendek dari penggunaan lahan tertentu tanpa memperhitungkan kecenderungannya terhadap erosi, lahan kritis, sedimentasi, kekeringan dan lain-lain. Prinsip ini tidak memaksa lingkungan harus dipertahankan dalam keadaan sama sekali tidak bisa diubah, tetapi lebih menekankan pada konsekuensi bahwa berbagai bentuk penggunaan lahan bagi lingkungan terlebih dahulu harus diasumsikan dan dinilai seakurat mungkin sebagai pertimbangan dalam menentukan kesesuaian lahan.
2.2 Kesesuaian Lahan Permukiman
Permen PU Nomor 41/2007 mendefinisikan kawasan peruntukan permukiman sebagai kawasan yang diperuntukan untuk tempat tinggal atau lingkungan hunian dan tempat kegiatan yang mendukung bagi peri kehidupan dan penghidupan masyarakat dalam menciptakan interaksi sosial serta menjadi sarana bagi pembinaan keluarga. Kriteria umum yang dipakai dalam merencanakan kawasan permukiman agar selaras dengan kemampuan dan kesesuaian lahan ialah sebagai berikut
1. Memiliki topografi datar sampai bergelombang dengan kelerengan lahan 0 - 25%
2. Tidak berada pada daerah rawan bencana alam
3. Ketersediaan fasilitas fisik atau utilitas umum dan fasilitas sosial
4. Memiliki prasarana jalan dan akses untuk transportasi umum
5. Tidak berada pada wilayah sempadan sungai/pantai/waduk/danau/mata air/saluran pengairan/rel kereta api dan daerah aman penerbangan
6. Tidak berada pada kawasan lindung
7. Tidak mengganggu upaya pelestarian kemampuan sumber daya alam.
2.3 Faktor Penyebab Perubahan Guna Lahan
Ketidaksesuaian penggunaan lahan merupakan akibat dari adanya perubahan peruntukan guna lahan yang biasanya disebabkan oleh faktor pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat yang jumlahnya tidak terbatas serta tuntutan untuk meningkatkan mutu dan kualitas kehidupan. Perubahan penggunaan lahan dapat dipahami sebagai bentuk perubahan dari
penggunaan lahan yang satu menuju penggunaan lahan lainnya yang bersifat permanen maupun sementara, merupakan konsekuensi logis dari adanya pertumbuhan dan transformasi struktur sosial ekonomi masyarakat (Winoto, 2005).
Ketidaksesuaian penggunaan lahan yang selanjutnya disebut juga penyimpangan guna lahan umumnya disebabkan oleh beberapa faktor yang secara ringkas mencakup:
a. aspek fisik, penggunaan suatu lahan sangat bergantung pada kemampuan sebidang lahan dalam mengakomodasi kegiatan manusia. Keterbatasan lahan, jarak ke pusat kota, dan kelengkapan PSU (prasarana, sarana dan utilitas) telah mempengaruhi struktur permintaan untuk menempati ruang diluar fungsi peruntukannya. Salah satu indikator yang berkontribusi secara masif dalam ketidaksesuaian guna lahan ialah backlog, dimana ketidakmampuan pemerintah dan pengembang dalam memenuhi kavling perumahan dan menyediakan infrastruktur dasar yang layak mendorong masyarakat untuk membangun tempat tinggal secara bebas tanpa memperhitungkan kesesuaian lahan;
b. demografi, meningkatnya jumlah penduduk berimplikasi pada fluktuasi kebutuhan akan lahan sebagai pemenuhan hak dasar guna mewujudkan kesejahteraan masyarakat melalui penyediaan rumah. Urbanisasi menjadi faktor tersentralisasinya pertumbuhan penduduk pada ruang tertentu tanpa adanya batasan (boundary) terhadap kawasan mana saja yang seharusnya dilindungi dari perkembangan perumahan;
c. sosial ekonomi, perumahan mencerminkan wajah suatu ruang yang dapat dinilai dari kondisi sosial ekonomi masyarakatnya. Stratifikasi sosial yang tampak melalui derajat pendidikan, pengetahuan, kepekaan dan kultur yang berkembang melahirkan paradigma
yang berbeda di masyarakat terkait penggunaan ruang untuk hidup dan berkehidupan. Dari sisi ekonomi (economic determinant), ketidaksesuaian lahan merupakan akibat dari ketidakterjangkauan biaya perumahan oleh MBR (masyarakat berpenghasilan rendah) sehingga masyarakat terpaksa mengekspolitasi kawasan sempadan yang pemanfaatannya terbatas;
d. preferensi, kecenderungan masyarakat untuk menempati suatu lahan terkadang dipengaruhi oleh aspek psikososial terhadap ruang. Ruang yang dinamis mampu memberi persepsi adanya kerikatan antara pelaku dengan lingkungannya. Di samping itu, faktor yang mempengaruhi preferensi masyarakat menghuni suatu lahan ialah warisan (legacy), dimana bangunan umumnya ditempati secara turun menurun sehingga meninggalkan kesan yang mendalam terhadap subjek;
e. regulasi, kegagalan dalam implementasi rencana tata ruang bisa terjadi karena lemahnya kinerja peraturan terhadap proses monitoring, evaluasi dan pengendalian pemanfaatan ruang. Pertumbuhan permukiman yang cenderung lebih cepat dari penetapan RTRW (rencana tata ruang wilayah) juga turut mengubah pola penggunaan lahan yang pada akhirnya melahirkan konsekuensi ketidaksesuaian (mismatch) pola guna lahan di suatu kawasan; dan
f. sosialisasi tata ruang, sulitnya masyarakat untuk mengakses RTRW sangat relevan dengan tingkat pemahaman masyarakat tentang aturan tata ruang yang selanjutnya memunculkan paradoks berupa peran masyarakat sebatas objek yang sering kali tidak diuntungkan (disadvantage) oleh program-program perencanaan. Pada akhirnya, partisipasi masyarakat dalam proses perencanaan, pelaksanaan, pemanfaatan dan pemantauan mengalami penyusutan sebagai akibat dari munculnya persepsi yang salah pada kelompok masyarakat.
2.4 Geographic Information System (GIS)
Sistem Informasi Geografis (SIG) merupakan suatu set alat untuk mengumpulkan, menyimpan, memanggil dan juga memindah, dan mendisplay data spasial bumi (Djudrjani, 1995). Sistem ini merupakan sistem informasi yang mengacu pada lokasi geografi suatu informasi atau data dan dapat diolah dengan bantuan komputer untuk memperoleh hasil analisis peta atau data spasial yang sangat berguna dalam perencanaan pembangunan wilayah secara terpadu (Soendoro, 1995).
Proses membangun SIG terdiri dari pengumpulan data, pemeriksaan data, penyimpanan data, pemrosesan data, dan penyajian data (Soendjojo, 1995). Sehingga sebagai alat bantu,
SIG pada dasarnya dibuat untuk mengumpulkan, menyimpan, mengelola, menganalisis, dan menyajikan semua bentuk informasi geografis suatu wilayah/kota. Dengan adanya SIG ini informasi geografis dapat ditangani dan disajikan secara terpadu dengan cepat, tepat, dan efisien, baik dalam bentuk peta, statistik, maupun tabel. Selain itu dengan adanya SIG ini datadata tersebut mudah untuk diperbaharui (Chayaridipura, 1995). Jika data yang dibutuhkan dapat tersedia secara lengkap dan dengan cara yang mudah pula, maka langkah pertama dari sebuah perencanaan sudah dapat dipenuhi.
2.5 Analisis Spasial
Kelebihan lain yang dimiliki oleh SIG adalah sistem ini memungkinkan perencana untuk menentukan wilayah yang menjadi sasaran kegiatan. SIG membantu menayangkan wilayah mana yang memiliki karakteristik yang sesuai dengan kelompok sasaran, sehingga suatu program akan menjadi lebih efektif dan efisien karena dikenakan kepada kelompok sasaran yang tepat. Penentuan karakteristik kelompok merupakan hasil dari analisis terhadap data-data yang berkaitan dengan permasalahan. Setelah data disajikan dalam bentuk spasial, maka analisis dapat dilakukan secara spasial pula. Ini berkaitan dengan pemenuhan lingkup teritorial dari perencanaan.
Analisis spasial juga dapat memandu perencana dalam penentuan jenis pelayanan berdasarkan kondisi suatu wilayah, sehingga dapat dihasilkan suatu usaha pelayanan yang tepat dalam tempat yang tepat pula. Strategi yang diberikan oleh analisis spasial adalah menentukan pola spasial yang terbaik berdasarkan sekumpulan kriteria tertentu (Taylor, 1977:286). Konsep-konsep yang paling mendasar dari analisis spasial adalah jarak, arah, dan hubungan. Kombinasi dari ketiganya mengenai suatu wilayah akan bervariasi sehingga membentuk perbedaan yang signifikan yang membedakan satu lokasi dengan yang lainnya (Diamond, 1984:130). Jarak, arah, dan hubungan antara lokasi pelayanan dengan satu wilayah akan berbeda dengan wilayah lain
GIS juga dapat mempersentasikan suatu model “real world” (dunia nyata) di atas layer monitor komputer sebagaimana lembaran-lembaran peta dapat mempresentasikan dunia nyata di atas kertas dan menjelaskan hubungannya. dimiliki oleh unsur-unsurnya. Sebagai ilustrasi, berikut adalah contoh-contoh hubungan tersebut:
1. Bangunan yang terletak di dalam wilayah kecamatan tertentu.
2. Aliran sungai yang melintasi tiap kecamatan.
BAB III GAMBARAN UMUM
3.1 Letak Geografis
Secara geografis Kota Banda Aceh memiliki posisi sangat strategis yang berhadapan
dengan negara-negara di Selatan Benua Asia dan merupakan pintu gerbang Republik
Indonesia di bagian Barat. Kondisi ini merupakan potensi yang besar baik secara alamiah
maupun ekonomis, apalagi didukung oleh adanya kebijakan pengembangan KAPET (Kawasan
Pengembangan Ekonomi Terpadu) dan dibukanya kembali Pelabuhan Bebas Sabang, serta era globalisasi. Potensi tersebut secara tidak langsung akan menjadi aset bagi Kota Banda Aceh khususnya dan Provinsi Aceh secara umum untuk lebih membuka diri terhadap pengaruh
daerah sekitarnya maupun dunia luar atau lebih mengenalkan dan menumbuhkan citra serta
jati diri dalam ajang nasional maupun internasional. Letak geografis Kota Banda Aceh berada
antara 05º30′ – 05º35′ LU dan 95º30′ – 99º16′ BT, yang terdiri dari 9 kecamatan, 70 desa dan 20 kelurahan dengan luas wilayah keseluruhan ± 61,36 km².

Adapun batas-batas administrasi wilayah Kota Banda Aceh adalah sebagai berikut:
Sebelah Utara berbatasan dengan Selat Malaka
Sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Darul Imarah dan Kecamatan Ingin
Jaya, Kabupaten Aceh Besar
Sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Peukan Bada, Kabupaten Aceh Besar
Sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Barona Jaya dan Kecamatan
Darussalam, Kabupaten Aceh Besar
3.1 Kondisi Hidrologi


Terdapat 7 (tujuh) sungai yang melalui Kota Banda Aceh yang berfungsi sebagai daerah aliran sungai dan sumber air baku, kegiatan perikanan, dan sebagainya. Wilayah Kota Banda Aceh memiliki air tanah yang bersifat asin, payau dan tawar. Daerah dengan air tanah asin terdapat pada bagian utara dan timur kota sampai ke tengah kota. Air payau berada di bagian tengah kota membujur dari timur ke barat. Sedangkan wilayah yang memiliki air tanah tawar berada di bagian selatan kota membentang dari Kecamatan Baiturrahman sampai Kecamatan Jaya Baru, yang juga mencakup. Kecamatan Lueng Bata, Ulee Kareng, Banda Raya.
