TERAS Pers Edisi XXIX

Page 1

EDISI XXIX OKTOBER 2017

PENDIDIKAN ALTERNATIF: BELAJAR TANPA BATAS LIPUTAN UTAMA Menilik Sekolah Alternatif: Keprihatinan akan Pendidikan di Kota Pelajar 04

POLITIK KITA

SENI BUDAYA

Sudahkah UAJY Ramah Difabel?

Nyadran: Menziarahi Sejarah Diri

08

24


Anak-anak bermain air di Sendang Kasihan, kecamatan Kasihan, Bantul, Yogyakarta (25/05). Sehari sebelum memasuki bulan puasa, warga beramai-ramai melaksanakan ritual Padusan. Ritual ini merupakan simbol pembersihan diri untuk menyambut bulan puasa. Fotografer: Gregorius Christian H.


EDITORIAL Pendidikan saat ini telah menjadi kebutuhan yang harus dipenuhi. Pendidikan menjadi kunci bagi kemajuan sebuah bangsa. Pendidikan yang berkualitas memiliki kesempatan besar untuk dapat sejajar dengan negara-negara maju. Melihat kondisi ini, berbagai upaya dilakukan negara, untuk meningkatkan mutu pendidikan dalam menjawab tantangan globalisasi dan kemajuan IPTEK. Hal itu kemudian menuntut lembaga pendidikan berlomba-lomba untuk dapat menciptakan lulusan yang berkualitas. Besarnya tuntutan jaman membuat pendidikan konvensional mengikuti kebijakan yang telah dibuat pemerintah, dari perumusan ulang kurikulum hingga penetapan full day school untuk siswasiswanya. Namun disayangkan, pakem-pakem baru nampaknya belum dapat merubah proses belajar mengajar di kelas. Pendidikan konvensional masih kesulitan menerapkan hal-hal menarik dalam menyampaikan pendidikan. Sehingga beberapa anak, kerap mengeluh pergi ke sekolah adalah hal yang membosankan. Metode guru memberikan ceramah di kelas dan murid pasif masih sering ditemui. Bila melihat lebih dalam, tujuan pendidikan sebenarnya bukan hanya memperbanyak isi memori otak atau mencari tahu apa yang belum diketahui, namun sebagai upaya untuk menghubungkan semua yang sudah diketahui dengan hal yang masih menjadi misteri (Anatole France, 1817-1895). Di satu sisi, keberadaan pendidikan alternatif seolah memberi angin segar. Berani keluar dari pakem pembelajaran yang biasa, guru-guru menyampaikan materi melalui cara yang lebih variatif dan menarik. Ada semangat berpikir kreatif, menyenangkan yang ditanamkan dalam semangat pendidikan alternatif. Dinamika pendidikan di Yogyakarta merupakan hal yang patut diperhitungkan. Sebagai daerah yang dikenal dengan sebutan Kota Pelajar, perkembangan pendidikan menjadi hal yang menarik untuk ditelisik lebih dalam. Pertemuan orang-orang dengan berbagai karakter dan pemikiran baru kerap menjadi bagian dari lika-liku pendidikan di kota ini. Untuk itu, Teras Pers edisi kali ini berusaha menelusur lebih dekat bentuk-bentuk pendidikan di Yogyakarta, dalam hal ini difokuskan pada pendidikan alternatif dan kontribusinya dalam melahirkan manusia-manusia mandiri, kreatif, dan berdaya.

TIM REDAKSI PEMIMPIN UMUM

PEMIMPIN REDAKSI

Adi Surya Samodra

Ayumi Danuswari

WAKIL PEMIMPIN

WAKIL PEMIMPIN

UMUM

REDAKSI

Judith Brenda

Teresia Bela

EDITOR

FOTOGRAFER

Christina Tjandrawira

Gregorius Christian H.

Nicholas Ryan

Monang Widyoko Jeremy Thomas

REPORTER Gregorius Bramantyo

LITBANG

Odilia Fenta

Monica Kasihana D.

Cynthia Deavy Ardelia Karismurti

ILUSTRATOR

Nadia Fika Pradipta

Judith Brenda

Benedith Maria

Adi Surya Samodra

Stephanie Miranda Deasilda Amalo

DAFTAR ISI LIPUTAN 1 04-05

SEKITAR KITA 22-23

LIPUTAN 2 06-07

SENI BUDAYA 24-25

POLITIK KITA 08-09

KOMUNITAS 26-27

SOSOK 10-11

SUDUT 28-29

OPINI 12-13

CERPEN 30-31

LITBANG 14-17

KOMIK 32-33

DJENDELA RANA 18-21

MARCOMM Agustinus Negara

LAYOUTER

Natasha Deborah

Gregorius Bramantyo

Tieni Feranica K.

Email: redaksi.teraspers@gmail.com Contact Person: Agustinus Negara (085376307885) Alamat Redaksi: Jl. Babarsari no. 6 Yogyakarta 55281

teraspers

@TERASPersUajy


LIPUTAN UTAMA

MENILIK SEKOLAH ALTERNATIF: KEPRIHATINAN AKAN PENDIDIKAN DI KOTA PELAJAR Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy pada pertengahan tahun 2016 menawarkan sebuah sistem pendidikan baru Full Day School yang diyakini dapat menjauhkan siswa dari salah pergaulan. Kegiatan belajar mengajar di sekolah tak ubahnya dipadatkan menjadi lima hari per pekan dengan penambahan waktu belajar siswa menjadi pukul 17.00. Pada jam tambahan tersebut, anak didik mengikuti pelajaran agama yang nantinya diharapkan dapat membentuk karakter diri. Berbeda dengan sekolah formal di atas pada umumnya, lingkungan pergaulan anak nyatanya sudah lebih dulu menjadi concern sekolah-sekolah alternatif yang tumbuh subur di Yogyakarta. Sebuah sekolah alternatif berdiri akibat hilangnya ruang ramah anak. Hal ini menjadi keresahan tersendiri bagi empat orang mahasiswa di Yogyakarta dan mendorong mereka membentuk suatu rumah belajar yang memberikan kenyamanan dan kebebasan bagi anak-anak untuk belajar dan berekspresi. Rumah belajar itu lebih dikenal dengan sebutan Omah Pohon, atau sering disingkat dengan OP. Zita Wahyu Larasati, salah satu pendiri Omah Pohon, saat ditemui oleh awak Teras bercerita bahwa banyaknya rumah-rumah penduduk, tempat kos dan bangunan lainnya menyebabkan kurangnya lapangan bermain dan ruang untuk mengekspresikan diri yang dapat digunakan anak-anak. Selain itu, tindak kekerasan di daerah tersebut cukup tinggi, sehingga mereka rentan untuk meniru tindakan tersebut. “Kadang kala ketika mereka sedang bermain dengan temannya, mereka mencontoh kekerasan yang telah mereka lihat. Jadi kalau berantem, ya, dulu cukup beneran. Berantem, ya, berantem bener padahal masih anak kecil,” jelas Zita. Terletak di Gang Gathotkaca, Pringgondani, Sleman, Omah Pohon berdiri sebagai oase di antara padatnya bangunan-bangunan dan rumah-rumah bagi anak-anak sekitar. Bertempat di sebuah ruang sederhana milik

04

mantan ketua RT setempat, OP menyediakan tempat untuk belajar dan bermain bagi anakanak. Mulai dari usia belum sekolah sampai yang tertua kelas lima SD, berkumpul di Omah Pohon setiap seminggu sekali. Rumah belajar yang berdiri sejak tahun 2014 ini menjadi jawaban akan keresahan minimnya tempat yang bermain bagi anak di daerah Pringgondani. Berbeda dengan sekolah formal pada umumnya, sebagai sekolah alternatif, Omah Pohon memberikan tema dalam satu periode pembelajaran. Dalam setiap tema tersebut dilakukan kegiatan yang beragam. Dari kegiatan ini diharapkan dapat memberikan pemahaman tentang tema tersebut. Zita memberikan contoh tema lingkungan. ”Kalau untuk tema lingkungan ini kami kegiatannya sempat pergi ke komunitas lain, di sana kita belajar mengenai apa saja sih tumbuhan di sekitar kita, rerumputan yang bisa dimakan, kita juga belajar tentang lingkungan”. Kenia Intan Nareriska, mahasiswi Universitas Atma Jaya, merupakan salah satu volunteer di OP. Saat ditemui di Omah Pohon, ia sedang mendampingi anak-anak membuat sebuah peta. Kegiatan tersebut merupakan salah satu materi yang diberikan agar anak-anak dapat mengetahui tata letak rumah-rumah dan bangunan yang ada di sekitar mereka. Kenia menjelaskan dalam setiap kegiatan yang dilakukan selalu diberikan materi pembelajaran dalam konteks tertentu. “Ketika bikin jelly itu mereka belajar matematika, mereka belajar membaca komposisinya itu, mereka belajar proses juga, belajar bahasa Inggris juga karena nanti jelly-nya itu warna apa gitu kan dijelasin terus ditanya,” jelasnya sambil memberikan contoh. Berbeda dengan Omah Pohon, Rumah Belajar Indonesia Bangkit (RBIB) merupakan salah satu sekolah yang muncul akibat kurangnya kesadaran akan pendidikan bagi masyarakat sekitar. Yuniasri Maya Aisyah, koordinator RBIB mengungkapkan bahwa tak mudah untuk mengajak anak di sekitar bantaran Kali Code


Foto: Teresia Bela

Kanak (TK) yang turut dihadiri putri sulung Sri Sultan Hamengkubuwono X, GKR Pembayun dengan menandatangani batu peresmian sekolah tersebut. “Dengan adanya PAUD dan TK itu aktivitas anak di jalan bisa dikesampingkan dan lebih termotivasi untuk sekolah,” tandasnya. Dengan kondisi sosial seperti itulah, Sekolah yang terletak di Jalan Ganesha II, Umbulharjo ini memiliki kurikulum sendiri untuk mendidik anak-anak. “Tidak mungkin kita menyamakan kurikulum yang ada di sini dengan kurikulum yang biasa di luar sana. Karena kita ingin berpijak dari realita yang Yuniasri Maya Aisyah, Koordinator RBIB ada,” kata Vera lagi. Sesuai Selatan, tepatnya di Karanganyar untuk se- penuturannya, proses pembelajaran dalam kedar mengerjakan tugas sekolah bersama. satu tahun akan melewati berbagai macam “Saya juga bingung. Rumah itu 3x3, 3x4. Di- indikator perkembangan anak. Diawali dengan uwek-uwek lah ada kulkas segala macam. memahami kondisi emosional anak, seperMereka pada punya motor, tv flat. Sedangkan ti rasa tanggung jawab. Kemudian mengarah mereka kalau kita ada makan gitu langsung ke pada sisi kognitifnya, misal berapa kosa kata sini semua. Tapi kalau belajar kadang kita ha- yang sudah dimiliki. Lalu diturunkan menjadi rus samperin dulu,” ungkapnya ketika ditemui kurikulum kegiatan. Untuk mencapai indikator oleh awak Teras. tersebut, maka dari itu perlu memilih kegiatan Walaupun anak-anak yang dibina oleh yang nantinya dapat menggerakkan stimulan. RBIB sebagian besar mengikuti sekolah for- Sekolah alternatif muncul sebagai mal, karakter mereka menurut Yuni tak bisa bentuk gerakan dalam memperjuangkan hakdilepaskan dari pengaruh lingkungan keluar- hak anak yang hilang dan tidak dipedulikan. ga. “Rumah dempet-dempetan, cuma dibatasi Omah Pohon, RBIB, dan Gajah Wong, merupatripleks. Jadi di sana adanya marah-marah. kan beberapa sekolah alternatif yang hadir seOrang nonton tv kedengaran sampai dalam. bagai jawaban akan segelintir keresahan dan Orang suami istri berantem juga kedengaran masalah akan pendidikan anak di Kota Pelajar sampai dalam. Ya gimana wataknya nggak ma- ini. rah-marah sedangkan bising terus,” tambahn- “Harapannya mereka cukup memiliya prihatin. ki pengalaman yang baik, menyenangkan di Tak jauh berbeda dengan situasi so- masa kecilnya, jadi tidak ada trauma di masa sial yang berada di kampung Karanganyar, kecil. Dan mereka bisa bertahan hidup di Sekolah Gajah Wong didirikan sebagai ben- masyarakat ketika besar mereka mau sekolah, tuk keprihatinan terhadap anak-anak yang kuliah, kerja tapi mereka bisa menghadapi dipekerjakan oleh orang tuanya. “Mereka masa depan dengan penuh tanggung jawab” hidup di jalan. Anak-anak pun rentan terke- kata Vera menutup wawancara. na budaya yang sama dengan orang tuanya. Kemudian dari cara mendidiknya pun penuh (Ardelia Karismurti/Teresia Bela) kekerasan. Sang anak cenderung mencari uang di jalan dan harus sesuai target. Lalu seketika bangga saat anaknya mendapatkan uang 50.000 atau 100.000 sehari,” ungkap Vera, salah satu koordinator sekolah yang dulunya terkenal sebagai kampung pemulung itu. Sejak awal kemunculannya pada tahun 2011, Sekolah Gajah Wong pada mulanya adalah kelompok bermain. Hingga kemudian pada tahun ketiganya, diresmikanlah Pendidikan Anak Sekolah Dini (PAUD) dan Taman Kanak-

05


LIPUTAN UTAMA

Implikasi Pendidikan Alternatif: Belajar dan Menghargai Lingkungan Pendidikan alternatif kini mulai tumbuh bak jamur di Kota Yogyakarta. Tidak dapat dipungkiri lagi, pendidikan dengan jalur non-formal menjadi tempat anak-anak bisa menimba ilmu dengan lebih leluasa. Selain karena biaya sekolah formal yang kian melambung, ada beberapa alasan yang membuat sekolah alternatif jauh lebih memikat. Terang saja, anak-anak yang mengikuti sekolah alternatif biasanya berasal dari kelas ekonomi yang terbilang menengah ke bawah. Hal ini pula yang menjadi keresahan beberapa orang dan kemudian secara mandiri membuka wadah untuk anak-anak yang kesulitan biaya tetap bisa mengenyam pendidikan yang layak. Beberapa sekolah alternatif yang sempat disambangi oleh awak Teras di antara adalah Rumah Belajar Indonesia Bangkit (RBIB) dan Omah Pohon. RBIB berdiri di sebuah perkampungan di bantaran Kali Code, Yogyakarta, dan akrab dicap sebagai kampung preman. Tiga pentolan RBIB yang awalnya bertemu dengan ibu-ibu di perkampungan tersebut mendapat ajakan untuk membuat sebuah komunitas belajar yang bisa membantu anak-anak di sana terhindar dari perilaku yang tidak baik.

Omah Pohon

06

“Founder RBIB ada Kak Roy, David dan Lia. Saat ikut kegiatan bersih-bersih di Malioboro dan curhat ingin bantu sosial dengan bentuk yang konsisten. Bu Ruth, seorang penjual di AlunAlun Kidul mendengar curhat mereka bertiga, lalu menawarkan merekamengajar di kampungnya yang dikenal sebagai kampung preman tersebut,� cerita Yuniasri Maya Aisyah, Koordinator RBIB. Yuniasri juga menjelaskan bahwa anak-anak yang di sana susah untuk diajak belajar. Seringkali menangis dan lebih senang bermain. Maka metode pembelajaran pun tidaklah sama dengan sekolah formal pada umumnya yang harus terus belajar di dalam kelas. Di RBIB, anak-anak diberikan beberapa aturan yaitu bermain lalu belajar atau belajar sambil bermain, lebih menyesuaikan. Beberapa anak juga ternyata sudah mengenyam pendidikan formal secara gratis di sekolah dasar dekat dengan perkampungan tersebut. Materi di RBIB pun lebih banyak tentang keterampilan dan budaya beretika yang mungkin sudah mulai pudar di lingkup sekolah formal. Beberapa pengajar juga membantu anak-anak dalam mengerjakan tugas sekolah yang belum mereka pahami.

Rumah Belajar Indonesia Bangkit


Foto: Jeremy Thomas

Meski tidak besar, ada perubahan yang cukup signifikan walaupun hanya terlihat di lingkungan RBIB saja. “Sejauh ini sih mungkin kalau di RBIB nya, tidak tahu kalau di rumah mereka gimana. Kalau di RBIB, mereka sudah tahu cara meminta maaf, berterima kasih dan mengantre. Terus lumayan juga mengurangi kata-kata kasar,” ungkap Yuniasri. Beberapa orangtua yang anaknya diikutsertakan dalam RBIB juga merasa senang. Pun juga di rumah, anak-anak tersebut kurang mendapat pendidikan tambahan dari orangtua. Sehingga, ketika komunitas atau pendidikan alternatif seperti RBIB ini hadir, setidaknya mampu membantu orangtua yang tidak bisa memberikan pendidikan non-formal kepada anak-anak mereka. Cukup berbeda dengan RBIB, Omah Pohon, salah satu ruang alternatif anakanak untuk bermain sambil belajar ini berdiri sejak tahun 2014 di daerah Pringgondani, Yogyakarta. Omah Pohon hadir bukan karena lingkungan keluarga yang buruk, melainkan lahan anak-anak untuk bermain dan mengekspresikan diri yang minim. Apalagi saat ini Yogyakarta sudah menjadi kota yang ramah terhadap pembangunan dan kurang lahan untuk bermain. Zita Wahyu Larasati, yang merupakan salah satu pendiri Omah Pohon, menjelaskan bahwa materi pembelajaran yang dibawakan sesuai dengan tema. “Kalau untuk kegiatan kita tidak bisa diperhitungkan. Dalam satu periode bisa dilakukan dalam 3 sampai 8 bulan dengan satu tema. Apabila anak-anak merasa sudah cukup, maka kita akan mencari tema baru lagi,” terangnya. Tema yang diangkat juga beragam, seperti membahas tentang lingkungan. Beragam mengenai lingkungan, adapun lingkungan keluarga, rumah hingga sekolah yang kemudian didiskusikan bersama dengan para pengajar. Kegiatan belajar Omah Pohon juga hampir sama dengan di RBIB, di mana materinya bukan hanya soal kurikulum layaknya sekolah formal. Di Omah Pohon, anak-anak diajarkan untuk belajar mengenal alam, membuat peta, berburu harta karun dan berkunjung ke komunitas lainnya. “Kalau untuk tema lingkungan, kegiatannya kita sempat berkunjung ke komunitas lain. Di sana belajar tentang tumbuhan di sekitar kita, berburu harta karun dan mengenalkan ke anak-anak tentang peta daerahnya masing-masing,” tambah Zita. Adapun kegiatan yang ternyata merupakan ajakan dari anak-anak. Misalnya saja memasak. “Ada dua jenis kegiatan di Omah Pohon, yang satu biasanya

sudah kita rencanakan dan satunya lagi biasa ide dari anak-anak. Biasanya anak-anak nyeletuk untuk belajar memasak,” katanya. Selain itu juga pengajar Omah Pohon memancing satu hal yang kemudian membuat anak-anak nyeletuk untuk bikin sesuatu. Tanggapan orangtua yang anaknya turut bergabung dalam Omah Pohon ini justru sangat baik. Apalagi dengan adanya Omah Pohon, anak-anak mereka punya ruang untuk bermain yang lebih positif dan jauh dari kata perkelahian yang dulu kerap kali mereka lakukan. Bahkan, beberapa orangtua di daerah justru membantu mempersiapkan makanan atau snack. Ada juga di antaranya membantu mengantarkan pulang anak-anak yang tidak dijemput atau pulang sendiri. Beberapa orangtua juga memfasilitasi rumah mereka untuk diadakan home visit. Home visit bertujuan untuk melakukan kegiatan positif dan bermanfaat di rumah, bisa saja membuat karya kreatif atau keterampilan. Di rumah, para pengajar bisa sekaligus sharing dengan orangtua dan mengetahui bagaimana dampak langsung anak-anak mereka setelah mengikuti kegiatan di Omah Pohon. Yang pasti, anak-anak jadi lebih kreatif. Mereka jadi punya tempat untuk bisa bermain dan belajar dengan alam. Tidak melulu menonton televisi atau main gadget di rumah tanpa kontrol dari orangtua. (Stephanie Miranda/Cynthia Deavy)

07


POLITIK KITA

Sudahkah UAJY Ramah Difabel? Ki Hajar Dewantara pernah mengatakan “sebagai negara kesatuan, maka untuk seluruh Indonesia dan segenap rakyatnya harus ada kesatuan pendidikan dalam arti kesamaan dalam hak dan kesempatan untuk menuntut pelajaran yang sesuai dengan keinginan dan bakatnya sendiri” Tidak ada individu yang dilarang memperoleh pendidikan. Begitu pula kaum difabel. Sebagaimana dilansir oleh situs resmi World Health Organization (WHO), istilah difabel sendiri merupakan kependekan dari different ability. Lebih lengkap lagi, difabel merupakan istilah yang meliputi gangguan, keterbatasan aktivitas, dan pembatasan partisipasi. Penurunan nilai adalah masalah dalam fungsi tubuh atau struktur, pembatasan kegiatan adalah kesulitan yang dialami oleh individu dalam melakukan tugas atau tindakan, sementara pembatasan partisipasi adalah masalah yang dialamai oleh seorang individu terkait keterlibatannya dalam situasi kehidupan. Universitas Atma Jaya Yogyakarta (UAJY) merupakan salah satu penyelenggara pendidikan tingkat perguruan tinggi di kota pelajar ini. Empat pilar inti termuat dalam visi universitas yang berdiri sejak tahun 1965 ini, yakni unggul, inklusif, humanis, dan berintegritas. Konsistensi visi ‘humanis’ dibuktikan Atma Jaya dengan memberi kesempatan kepada para kaum difabel untuk menempuh pendidikan. Wakil Dekan 3 Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) UAJY, Pupung Arifin mengatakan, “Atma Jaya menerima pendaftar-pendaftar yang memiliki keterbatasan fisik atau yang kita kenal sebagai kaum difabel. Ini kan sesuai dengan visi kita, humanis.” Pemberian kesempatan bagi para penyandang disabilitas ini juga dilatarbelakangi oleh beberapa peraturan ter-

08

kait penyelenggaraan pendidikan yang telah dibuat pemerintah. “ UAJY memang membuka kesempatan bagi kaum difabel atas dasar Undang-undang No.8 tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, serta peraturan dari Kementerian riset, teknologi, dan pendidikan tinggi, yakni Permenristekdikti No: 44 Tahun 2015 Tentang Standar Nasional Pendidikan Tinggi pada pasal 37,” tegas Pupung. UAJY pun tak hanya membuka pendaftaran begitu saja bagi penyandang disabilitas, namun juga dibarengi dengan penyediaan fasilitas yang dibutuhkan. “Kan dalam penilaian akreditasi itu ada pertanyaan tentang bagaimana perguruan tinggi dalam men-treatment para mahasiswa penyandang disabilitas. Nah, Atma Jaya sampai saat ini telah menyediakan lift, lalu tanjakan datar bidang miring di beberapa titik di setiap kampus Atma Jaya, ada pula tombol-tombol khusus di lift bagi penyandang disabilitas, dan beberapa fasilitas lainnya,” jelas Pupung. Dosen FISIP UAJY ini juga menuturkan bahwa para dosen Atma Jaya siap memberikan strategi pengajaran khusus bagi para penyandang disabilitas jika memang dibutuhkan, hanya sampai sekarang, khususnya di FISIP memang belum ada mahasiswa penyandang disabilitas. “Kita akan memberikan pengajaran khusus bagi mereka yang membutuhkan, baik dalam pemberian tugas maupun evaluasi ujian. Kan nggak bisa disamain dengan mahasiswa lainnya. Misalnya juga bagi para tuna netra, kita akan lebih banyak menyampaikan materi dan memberikan ujian secara lisan, seperti itu sih,” tambah Pupung lugas. Hal serupa juga disampaikan oleh Birgitta Bestari Puspita, dosen FISIP UAJY. Menurutnya sarana untuk mahasiswa difabel sudah disediakan, namun memang masih


Ilustrasi Judith Brenda

terkhusus bagi penyandang disabilitas yang menggunakan alat bantu untuk berjalan. Ia pun membenarkan bahwa sejak mengajar selama enam tahun, ia belum pernah bertemu dengan mahasiswa difabel. Pandangan Mahasiswa Terhadap Kesempatan Pendidikan Bagi Penyandang Disabilitas Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) sebagai salah satu organisasi yang dimiliki oleh Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, ternyata juga menaruh perhatian terhadap kesempatan pendidikan bagi para penyandang disabilitas. Awak TERAS berkesempatan untuk mewawancarai ketua BEM yang sedang menjabat. Adalah Antonius Ferry Adrian atau akrab disapa Adrian yang berhasil Awak Teras wawancarai. “Asalkan penyandang difabel tersebut layak dan mampu kuliah di UAJY ketika tes dan hasilnya sesuai standar yang sudah ditentukan UAJY, why not,” jelas mahasiswa FISIP angkatan 2015 ketika ditanya perihal kelayakan penyandang disabilitas untuk menempuh pendidikan di UAJY. Adrian mengaku bahwa UAJY sudah terkategorikan sebagai universitas yang ramah difabel, terbukti dengan terbukanya kesempatan bagi para penyandang disabilitas untuk mendaftar, juga penyediaan fasilitas yang dibutuhkan oleh para penyandang disabilitas tersebut. “Bisa dilihat di depan perpus dan di tangga parkiran motor yang belakang itu ada jalan tanjakkan bidang miring. Itu bisa digunakan untuk yang menggunakan kursi

roda. Kemudian juga ada lift dengan dilengkapi tombol-tombol braile bagi para penyandang disabilitas yang tak bisa melihat, dan lain-lain,” tambah Adrian. Senada dengan pernyataan Wakil Dekan 3 FISIP, ketua BEM ini juga mengaku terbuka untuk membantu teman-teman penyandang disabilitas jika memang ada dan membutuhkan bantuan. Adrian menuturkan “Karena BEM memang menjadi wakil dari teman-teman semua, jadi jika memang dirasa butuh bantuan, pasti BEM akan turun tangan membantu. Jika kaitan langsung dengan akademis, BEM juga akan berkoordinasi dengan HMPS”. Ketika ditanya perihal program khusus yang mungkin dicanangkan BEM bagi para mahasiswa penyandang disabilitas, Adrian menjelaskan bahwa sampai saat ini BEM memang belum memiliki program khusus bagi para penyandang disabilitas karena mereka memang belum menemui keberadaan kaum difabel di kampus. Namun, jika memang dibutuhkan suatu program, BEM bersedia membuatnya dengan melihat pula kompetensi yang ada dan juga kebutuhan yang dimiliki. (Christina Tjandrawira/Odilia Fenta)

09


SOSOK

Setiap orang memiliki kesempatan yang sama untuk hidup dengan layak. Setidaknya itulah pendapat dari Triyono, seorang penyandang disabilitas yang sukses mendirikan Ojek Difa. Berangkat dari kepedulian Triyono terhadap kaum difabel yang kurang mendapat perhatian dari masyarakat, pria asal Solo ini berusaha untuk mengangkat martabat kaum difabel. Ia pun menciptakan layanan transportasi yang tidak hanya memfasilitasi kaum difabel, namun sebaliknya juga difasilitasi oleh kaum difabel. Bertepatan dengan Hari Disabel Internasional pada 3 Desember

10

2015 lalu, Triyono resmi mendirikan Difa Ojek. Perjuangan Triyono dalam mendirikan Difa Ojek tidaklah mudah. Dengan ramah, pria yang memakai penyangga kaki ini bercerita bahwa mendirikan layanan ojek pada awalnya bukanlah tujuan utama. “Awalnya cuma ingin memberikan fasilitas kepada temanteman difabel yang kurang mampu, supaya bisa mobilisasi dan punya jaminan transportasi,� tutur Triyono. Hal ini dilakukan Triyono, karena ia prihatin akan kondisi kaum difabel di Yogyakarta. “Diskriminasi pada kaum difabel itu tampak sekali. Misalnya, mereka tidak

Foto: Jeremy Thomas

Triyono: Berdaya Guna Lewat Ojek Difa


difasilitasi, yang penting diberi makan. Ada juga orang tua yang menyembunyikan atau menitipkan anaknya, karena malu punya anak difabel,” jelas Triyono. Hal ini sungguh berbeda dengan apa yang dialami oleh Triyono. Dibesarkan dari keluarga yang harmonis, Triyono bersyukur atas dukungan yang diberikan oleh kedua orang tuanya. “Bahkan saya lulus sebagai sarjana dari Universitas Sebelas Maret,” kenangnya. Melihat kondisi kaum difabel yang terabaikan, Triyono mulai mengunjungi satupersatu keluarga yang beranggotakan penyandang disabilitas. “Poin utamanya adalah memberi edukasi tentang bagaimana menangani difabel,” ujar pria berkaca mata ini. Menurut Trioyono, kurangnya dukungan dari keluarga membuat kaum difabel menjadi terisolasi. Melalui Difa Ojeklah, kaum difabel yang selama ini dipandang rendah, pelan-pelan mulai mendapat tempat di masyarakat. Kini, Difa Ojek memiliki 17 armada yang siap beroperasi. Berbeda dari ojek lainnya, Difa Ojek memberi ruang khusus bagi penumpang melalui motor yang sudah dimodifikasi. Maka siapa pun–terlebih kaum difabel–bisa duduk dengan nyaman dan aman. “Target kami saat ini, berupaya untuk mengubah pola pikir masyarakat, bahwa teman-teman difabel juga bisa berkarya,” terang Triyono dengan tegas. Bila dulu Triyono harus menawarkan jasa ojeknya ke berbagai komunitas seper-

ti PERTUNI (Persatuan Tunanetra Indonesia), PPDI (Perkumpulan Penyandang Disabilitas Indonesia), serta SLB (Sekolah Luar Biasa), kini Difa Ojek justru dicari oleh banyak orang. Namun semua itu tak lepas dari pengalaman tak mengenakkan yang dialami para supir Difa Ojek. Misalnya, ada saja perlakuan kasar dari sesama pengendara di jalan raya, karena Difa Ojek memang tak secepat motor biasa. Pernah juga dimarahi oleh polisi. Namun hal itu tak menghentikan semangat mereka. Kini, berbagai penghargaan dari dalam maupun luar negeri sudah Triyono terima. Dengan semangat pemberdayaan bagi kaum difabel, Triyono telah mengangkat martabat para penyandang disabilitas yang dulu dikucilkan oleh masyarakat. Pesan Triyono kepada sesama penyandang disabilitas hanyalah satu, “Biarkan orang lain menghukum dirimu, itu urusan mereka. Tapi janganlah kamu menghukum dirimu sendiri, sebab jika begitu, habislah kamu.” Bagi pria bertubuh pendek ini, Difa Ojek sudah seperti keluarga sendiri. Ia juga berharap agar kelak, jasa yang mereka tawarkan mampu menjangkau lebih banyak lagi orang-orang yang memang membutuhkan. “Saya percaya Difa Ojek bisa membawa perubahan,” tutup Triyono dengan senyuman. (Benedith Maria)

11


OPINI

MENINJAU KEMBALI PENERAPAN KURIKULUM BARU, DARI KEBIJAKAN KEY IN HINGGA PENETAPAN KUOTA DOSEN Tahun ajaran 2017/2018 Program Studi Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Atma Jaya Yogyakarta, mulai menerapkan kurikulum berstandar Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI). Beberapa kebijakan pun akhirnya kembali dirumuskan ulang. “Mahasiswa harus cepat lulus” mungkin adalah ide pokok dari perubahan kurikulum kali ini. Beberapa dosen pun mengamini, ketika mahasiswa protes mata kuliahnya tidak bisa diambil karena sudah penuh. Padahal pada pekan sebelumnya, mereka telah memeras otak untuk memilih mata kuliah pilihan sebelum bertemu dengan dosen pembimbing. Saat key in, nyatanya mereka diberi waktu sepuluh menit untuk memilih kelas pilihan lainnya yang masih kosong. Tanpa perlu bimbingan lagi. Loh kamu kan anak komunikasi, pilihan mata kuliah sudah dirancang dosen sesuai dengan kebutuhan kalian. Lalu apa yang salah? Apa guna bimbingan KRS untuk merancang kelas pilihan, sampai mahasiswa harus menyiapkan jadwal kuliah cadangan A, B, C. Bukankah seharusnya, saat bimbingan KRS, dosen atau bidang kurikulum bisa melihat mana kelas yang diminati lebih banyak? Lulusan ilmu komunikasi harusnya menguasai seutuhnya komunikasi, bukan lulus sebagai ahli jurnalistik atau humas. Iya betul, kami lulus dengan gelar S.Ikom bukan S.Jur atau S.PR atau S.Kamed dan S.Adv. Jadi menurut para perancang kurikulum, siapapun dosen pembimbing skripsi-nya bukan jadi masalah.

12

“Seperti MPK misalnya, semua dosen menguasai itu, jadi tidak masalah kan saat kalian mengambil mata kuliah MPK?”, kurang lebih ini argumen yang saya dengar. Bapak dan Ibu sepertinya lupa, kami terutama angkatan 2013 dan 2014 masuk di kurikulum dengan konsentrasi studi Public Relations, Periklanan, Jurnalistik dan Kajian Media. Iya, konsentrasi studi. Dalam pengertiannya, konsentrasi berarti pemusatan perhatian atau pikiran pada suatu hal. Selama empat semester kami, atau saya mahasiswa jurnalistik diberi mata kuliah pilihan jurnalistik. Memang dibolehkan lintas konsentrasi studi, namun dibatasi. Bapak dan Ibu mungkin juga lupa, bagaimana dosen yang berlatar belakang praktisi jurnalistik bisa memahami mahasiswa konsentrasi studi periklanan. Ya ambil saja topik komunikasi umum, jangan sesuai konsentrasi studi. Sedangkan saat menemui dosen pembimbing, mereka memberi pesan pada kami mahasiswanya untuk mencari topik yang kami minati. Sedangkan komunikasi umum, kami dapatkan di semester satu dan dua. Semester awal yang bisa kami sebut sebagai masa transisi, jika para pejabat kampus dan organisasi di bawahnya masih juga bersembunyi di balik “ini kan masa transisi kurikulum lama ke baru”. Akhirnya, kami yang sulit menyamakan paham dengan dosen pembimbing, harus mencari dosen pembimbing bayangan.


Kemudian, menurut Bapak dan Ibu, efektifkah sistem kuota dosen pembimbing yang saat ini berlaku? Menurut pendapat saya, sepertinya tim perancang kurikulum belum matang betul karena tuntutan kecepatan. Saya ingat betul, semasa saya masih menjabat sebagai Presiden BEM, saya pernah diajak berdiskusi mengenai kurikulum baru ini. Pada saat itu perwakilan mahasiswa banyak yang tidak setuju dengan perubahan kurikulum. Namun para dosen menenangkan kami dengan janji bahwa kurikulum ini tidak akan cepat dilaksanakan, karena

membutuhkan penyesuaian dan penggodogan yang lebih matang. Rupanya, hanya perlu waktu satu tahun sejak pertemuan itu, kurikulum baru dilaksanakan. Meskipun ini adalah tuntutan dari Kemenristekdikti, seharusnya tim kurikulum bisa menyiapkan dengan baik dalam tataran prakteknya. Sama seperti menanak nasi, waktu yang terlalu cepat membuat beras belum benar-benar berubah menjadi nasi. Meskipun sudah terlihat jadi nasi. Namun, tetap saja belum layak untuk dikonsumsi, dan belum nikmat untuk dimakan bersama lauk pauk yang ada.

Benedicta Alvinta Mahasiswi Ilmu Komunikasi 2013 Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Atma Jaya Yogyakarta

13


LITBANG

JAJAK PENDAPAT MAHASISWA TERHADAP MUNCULNYA KOMUNITAS PENDIDIKAN INFORMAL DI YOGYAKARTA Kota Yogyakarta tidak terlepas dari adanya permasalahan-permasalahan sosial. Permasalahan-permasalahan sosial yang terjadi seperti kurangnya lapangan pekerjaan, pendidikan yang rendah, bahkan kehidupan yang kurang layak dialami oleh sejumlah masyarakat di Yogyakarta. Melalui keadaan tersebut, terlihat sejumlah andil dari anak muda untuk mengurangi permasalahan ­sosial yang ada, khususnya dalam bidang pendidikan. Komunitas pendidikan informal merupakan sebuah inovasi pendidikan yang digerakkan oleh orang non profesional dan biasanya bersifat sukarela. Teras Pers tertarik melakukan riset sederhana dengan menyebarkan kuesioner secara online kepada 70 responden. Res­ponden yang dituju tentunya adalah mahasiswa yang belajar di Yogyakarta. Namun untuk memenuhi harapan, Teras Pers juga melakukan wawancara kepada beberapa mahasiswa yang mengaku tahu tentang munculnya komunitas pendidikan informal di ­ Yogyakarta. Hal ini dilakukan untuk menggali informasi-informasi mengenai komunitas pendidikan informal tersebut. Hasil riset Teras Pers m ­ engatakan sekitar 79,4% mahasiswa mengetahui ­munculnya komunitas pendidikan informal di Yogyakarta. Meski begitu, ternyata ada pula mahasiswa yang mengaku tidak tahu bagaimana komunitas pendidikan informal itu. Sebagian besar (56,9%) mahasiswa mendapat informasi terkait komunitas ­ pendidikan informal melalui teman-teman mahasiswa lain, sejumlah 25,5% mahasiswa mengaku mengetahui komunitas pendidikan informal melalui paparan media sosial. Riset ini juga menyatakan bahwa peran

14

dosen sebagai informan masih jarang ditemukan. Hal ini ditunjukkan dengan presentase ­angka yang didapat dari riset sejumlah 7,8%. Meski demikian, sekitar 9,8% mahasiswa masih bisa mendapatkan informasi tersebut dari beberapa kegiatan seminar yang pernah di­ ikutinya. Beberapa hal di atas terbukti ­dengan beberapa contoh komunitas pendidikan informal yang diketahui mahasiswa di ­Yogyakarta, seperti YSS Pingit, Komunitas Jendela, Komunitas Rumah Pohon, DAC, Sekolah Alam, Ketjil Bergerak, Tepus Story, Save Street Child, Yogyakarta Mengajar, Gajah Wong, Guru Hebat, Salam Cemara, Rumah Harapan, Komunitas Code, Sekolah Semangat Tuli Yogyakarta dan masih banyak nama komunitas pendidikan informal yang telah disebutkan para mahasiswa dalam riset Teras Pers. Sejumlah 44 orang mahasiswa memberi apresiasi tinggi kepada pihak-pihak dari komunitas pendidika informal tersebut. Hal tersebut dialaskan pada tujuan mulia para pihak atau volunteer dalam ikut me­ngasah kepekaan sosial kepada sesama, ada yang berpendapat bahwa pendidikan formal saja tidak cukup, bahkan ada juga yang me­nyatakan keberadaan komunitas pendidikan informal adalah bentuk sindirian bagi pemerintah dalam memperhatikan perkembangan pendidikan di Indonesia, terutama di Yogyakarta. Berdasarkan pengamatan dari hasil riset Teras Pers, mahasiswa di Yogyakarta cukup antusias dalam mengapresiasi keberadaan komunitas yang bergerak secara informal tersebut. Namun, data riset juga ditemukan masih sedikit mahasiswa yang memiliki pengalaman bergabung atau mendukung secara langsung


dengan komunitas tersebut. hasil riset menyatakan sejumlah 63,6% mahasiswa mengaku tidak memiliki pengalaman atau dukungan secara langsung terhadap perkembangan komunitas pendidikan informal. Hal ini memang diper­ tanyakan alasannya. Untuk menjawab pertanyaan besar tersebut, Teras Pers telah melakukan kegiatan wawancara bersama beberapa mahasiswa di Yogyakarta. Kezia Tiaraleeosha Boru Tambunan (21), seorang mahasiswi Teologi angkatan 2014 di ­Universitas Kristen Duta ­Wacana ­berpendapat bahwa memang sedikit ­mahasiswa yang mau turun ke dunia sosial pendidikan seperti komunitas pendidikan in­ formal dikarenakan keterbatasan waktu dan rasa minat masing-masing. “Mungkin karena kurang ada waktu ya atau kendala tidak bisa membagi waktunya juga bisa, karena sudah kuliah seharian tambah tugasnya yang gak main-main banyaknya,” kata Kezia. Sependapat dengan Kezia, Antonius Ferry Adrian (21), mahasiswa FISIP UAJY angkatan 2015 yang saat ini menjabat sebagai Presiden BEM FISIP UAJY mengakui keberadaan komunitas pendidikan informal adalah hal yang baik. “Menurutku keberadaannya adalah hal yang baik, karena pendidikan bisa kita dapatkan dimanapun, dengan siapapun. ­Artinya tidak hanya di sekolah formal,” kata laki-laki yang akrab disapa Adrian. Keberadaan komunitas pendidikan informal di Yogyakarta ternyata memang dinilai sebagai wujud dari rasa sosial yang tinggi bagi mahasiswa. Nawang Warih Wangi (21) mahasiswa FISIP UAJY angkatan 2014 juga me­ngutarakan kesannya akan kehadiran pihak komunitas yang dikenal memiliki nilai ­ sosial tinggi di masyarakat. Bagi Nawang, komunitas pendidikan informal adalah hal bagus dan keren karena mereka memiliki kepedulian kepada orang lain. “Bagus dan keren sih, mereka peduli dengan orang lain yang seakan tidak memiliki kekuatan dengan mengajarkan hal baik meskipun dalam mengajarkan beberapa hal, belum tentu peserta didik mengerti bahan yang disampaikan,” kata Nawang. Berdasarkan data yang sudah dikumpulkan, mahasiswa memang mendukung keberadaan komunitas pendidikan informal yang ada di Yogyakarta. Namun lebih banyak suara yang berpendapat bahwa mereka belum pernah memiliki pengalaman di dalam kegiatan tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat

partisipasi mahasiswa dalam kegiatan komunitas pendidikan informal masih perlu digalakkan lagi di kalangan mahasiswa bahkan masyarakat sekitar, agar kegiatan belajar mengajar di komunitas pendidikan informal semakin menginspirasi banyak kalangan, terutama masyarakat yang kurang mampu menikmati bangku pendidikan formal. Adrian mengatakan bahwa itu hal yang sah bagi mahasiswa yang setuju ­namun belum bisa ikut berkecimpung di kegiatan pendidikan informal. “Sah saja ketika mereka (para mahasiswa) setuju tapi tidak ber­gabung. Bukan masalah, karena setuju bukan berarti harus terjun di dalamnya”. Sama dengan Adrian, Nawang merasa wajar akan mahasiswa yang belum tertarik untuk membantu komunitas pendidikan informal. “karena bagiku, nggak masalah kalau mahasiswa belum bisa ikut, karena setiap mahasiswa memiliki minat dan ketertarikan yang berbeda,” kata Nawang. Berdasarkan data yang diperoleh, Teras Pers menyimpulkan bahwa denyut kehidupan komunitas pendidikan informal di Yogyakarta memiliki citra yang bagus di mata mahasiswa. Meskipun memiliki berbagai macam kelemahan, namun keberadaannya ternyata membawa hal baik bagi masyarakat di Yogyakarta. Nawang pun mengutarakan saran bagi mahasiswa yang telah ber­ gabung dengan komunitas pendidikan ­informal ­untuk lebih show off atau membuka stand supaya mahasiswa yang di kampus me­ ngenal lebih dekat akan komunitas pendidikan informal. ”Kalau mau lebih banyak volunteer, mungkin komunitas itu bisa show off dan membuka stand untuk menarik perhatian volunteer lebih banyak”. (Monica Kasihana D.)

15


HASIL DATA Nama Universitas 65 responses

Apa Anda tahu komunitas pendidikan informal? 65 responses

Apa contoh komunitas pendidikan informal yang Anda ketahui? (boleh isi lebih dari 1) 41 responses

YSS Pingit, Komunitas Jendela, Komunitas Rumah Pohon, Project Child, Camp Foundation Bulu Tangkis, DAC, Sigab Sekolah Alam, Sekolah Kolong Jembatan Ion, EF Ketjil Bergerak, Pingit Belajar di Pos ROnda, Japok, Titik Kumpul Bocah Glondong Tepus Story, Save Street Child, Yogyakarta Mengajar Pharmacy Youth Action Sekolah Alam Rumah Harapan, Sanggar Anak Alam, Sekolah Gajahwong

Darimana Anda mengetahui tentang komunitas pendidikan informal? 52 responses

Gajahwong, Salam, Cemara, Omah Pohon Guru Hebat Jogja English Club Tempat Les Basing LC Seminar, Pelatihan Rumah Baca AL Fatah Kursus Bahasa Asing Perkampungan Sosial Pingit, Dreamdlion Rumah DIfabel Yogyakarta Komunitas Akar Rumput Home Schooling Sekolah Gajahwong

16


Apa Anda pernah memiliki pengalaman bergabung dengan komunitas pendidikan informal? 56 responses

Bagaimana pendapat ANda tentang munculnya komunitas pendidikan informal di kota Yogyakarta? 45 responses

Bagus (2) Bagus, sangat bagus. Ini semacam gerakan untuk menjunjung optimalisasi dan pemerataan Pendidikan di Yogyakarta terutama untuk anak2 yang notabene berasal dr kalangan ekonomi keluarga kurang mampy. Bagi volunteer jg baik, untuk mengasah kepekaan sosial agar mau berbagi untuk sesama. Baik karena dengan komunitas tersebut mengajarkan arti hidup yang sebenarnya sehingga lebih dapat menyadarkan kita sebagai mahasiswa bahwa kita harus mensyukuri hidup dengan apa yang kita miliki sekarang. Pengetahuan menjadi bertambah, network meluas dan jadi banyak chanel2. Komunitas pendidikan informal perlu dikembangkan dan pemerintah perlu lebih memperhatikannya. Alasannya adalah komunitas informal tersebut lebih bisa menjangkau dan memahami kebutuhan-kebutuhan warga. Komunitas pendidikan informal ini lebih memperhatikan peraturan-peraturan seperti kewajiban berseragam dan membayar uang gedung yang kadang justru membuat siswa atau orang tua siswal lebih kepikiran dan menjadi beban. Bagus. Ken yang formal ga ckup. Bagus, karena dapat membantu teman2 yang kurang tersentuh pendidikan untuk dapat mengecap pendidikan itu sendiri tanpa harus bergantung pada pemerintah Alternatif yang bagus. Tinggal permasalahan ideologi yang ditanamkan di proses belajar mengajarnya. Hal ini sangat bagus, karena sangat membantu bagi anak-anak yang tidak dapat mengenyam pendidikan formal. Namun, disisi lain banyaknya komunitas pendidikan informasl di Yogyakarta sekaligus menimbulkan pertanyaan, bagaimana kinerja pemerintah Yogyakarta dalam mengamanahkan alinea ke-4 pada pembukaan UUD 1945. Di dalamnya tertulis bahwa pemeritah bertanggung jawab untuk mencerdasakan kehidupan bangsa. Apakah mereka kurang memperhatikan ataukah seperti apa. Bagus dong kan membantu teman-teman kita yg sulit dlm pendidikan Menarik. Cukup membantu teman teman yang mempunyai kemampuan dan ketertaikan yang berbeda Tanda ketidakmampuan Pemda dalam mengakomodir hak anak-anak dalam mengeyam pendidikan

17


Pieter Lennon, Pengamen Legenda Jalan Kaliurang Adzan maghrib baru saja berbunyi dari masjid dekat Jalan kaliurang. Waktu berbuka puasa telah dimulai ketika Pieter Budie Yatmo (61) muncul dari sebuah gang. Ia segera bergegas menyusuri pedestrian Jalan Kaliurang. Gitar string berwarna coklat tua terayun-ayun di punggungnya setiap kali ia melangkah. “Ayo gek ndang, mas. Waktu kita buat nyanyi cuma sebentar,� ujarnya sambil melangkah menuju sebuah warung makan yang menyediakan menu kuliner khas Padang. Orang-orang yang gemar jajan di warung makan di sepanjang Jalan Kaliurang mengenalnya sebagai Pieter Lennon. Bertahun-tahun lalu, sebelum ia dikenal sebagai pengamen legendaris di Jalan Kaliurang, ia mulai mengamen dari kota ke kota. Setelah beberapa tahun mengamen antar kota, ia kemudian memilih hanya mengamen di Yogya. Puluhan tahun menjadi pengamen, pengalaman-pengalaman menyeramkan di jalanan tidak menghentikannya. Suatu ketika, ia pernah nyaris digebuki dan dikeroyok saat mengamen di kampung. Nama Pieter Lennon yang saat ini dikenal oleh banyak orang, diperoleh Pieter Budi Yatmo karena penampilannya yang menyerupai gaya John Lennon, khususnya gaya rambut sutcliffe dan kacamata hitam berbentuk bulat. Begitu pula dengan lagu-lagu The Beatles yang selalu ia mainkan ketika mengamen. Latar belakang pendidikan tinggi di jurusan Ekonomi Universitas Pembangunan Nasional Yogyakarta yang tidak ia selesaikan karena masalah biaya ternyata ada kaitannya dengan konsepnya mengamen. Ia sengaja hanya memainkan lagu dan berpenampilan layaknya personel The Beatles agar menarik perhatian pengunjung warung makan tempatnya mengamen dan membedakannya dengan pengamen-pengamen lainnya. Ia memilih The Beatles karena banyak orang mengenal dan menyukai band asal Liverpool itu. Tidak hanya orang Jogja, tapi juga orang-orang dari negara-negara lain. Karena keunikannya, pria satu anak kelahiran tahun 1955 ini sering diundang ke berbagai event musik di berbagai daerah. Ia juga berkali-kali diajak bekerja sama oleh sejumlah musisi. Stars ‘N Rabbit misalnya, pernah mengajak Pieter ikut konser mereka dan menyanyi di panggung yang sama. selain itu, Steffi Kreamer, musisi asal Jerman itu juga pernah mengajaknya bekerja sama. Bersama Steffi Kreamer, Pieter Lennon membuat lagu berjudul “Perempuan Mulia� yang juga diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris. Melalui ketekunannya dalam mengamen dan menciptakan sesuatu yang orisinil yang tidak dimiliki orang lain, Pieter Lennon bisa terkenal dan mampu menarik perhatian orang yang mendengar. Ia ingin mengubah stigma negatif tentang pengamen yang selalu dianggap pengemis. Ia ingin membuat pengamen itu tidak selalu rusuh. Sehingga ia selalu memberikan kata-kata mutiara saat ia selesai mengamen dan doa-doa untuk para pendengarnya meskipun ia tidak diberi uang. (Gregorius Christian H.)


Pieter Budie Yatmo, pengamen yang juga dikenal sebagai Pieter Lennon, mengamen di dalam sebuah cafe. Berbeda dari pengamen lainnya, kedekatan dengan para pemilik memudahkannya memperoleh izin mengamen (26/05). (Gregorius Christian H.)

DJEN DELA RANA

Peter Budie Yatmo mengamen di sebuah warung makan di pinggir Jalan Kaliurang, Yogyakarta di hari pertama puasa. (26/05). (Gregorius Christian H.)

Peter Budie Yatmo mengamen di sebuah warung makan di pinggir jalan Kaliurang, Yogyakarta di hari pertama puasa. (26.05). (Gregorius Christian H.)


Berbeda dari pengamen lain yang biasa berkeliling di Jalan Kaliurang, Pieter Budie Yatmo memperoleh izin untuk mengamen di tempat-tempat yang biasanya menolak pengamen (26/05). (Gregorius Christian H.)

Pieter Budie Yatmo bergaya untuk sesi foto bersama Teras Pers. (01/06). (Monang Widyoko)


Pieter Budie Yatmo tengah merawat gitar string yang biasa digunakannya mengamen (01/06). (Monang Widyoko)

Koleksi album vinyl dan buku mengenai The Beatles yang dimiliki Pieter di rumahnya di Ngaglik, Sleman, Yogyakarta. (01/06). (Monang Widyoko)


SEKITAR KITA

Ancaman Pelecehan Seksual di Sekitar Kampus Kian Bernyali Raut keresahan beberapa mahasiswa mulai tampak ketika sebuah postingan video mulai beredar di media sosial. Di dalam video yang terekam oleh CCTV itu, tampak seorang pria tengah mengendari motor di sekitar Jalan Dirgantara, Babarsari. Dalam video tersebut terlihat pengendara motor itu mengurangi kecepatan motornya dan dengan sengaja menyentuh dada perempuan yang juga tengah berjalan di daerah Dirgantara. Setelah melancarkan aksinya, pria itu pergi dengan meningkatkan kecepatan motornya. Isu keamanan di Babarsari lagi-lagi dipertanyakan. Setelah sebelumnya marak dengan aksi kejahatan, kini tindak pelecehan seksual pun tak luput menjadi ancaman. Universitas Atma Jaya Yogyakarta (UAJY) patut peka terhadap isu keamanan yang meresahkan daerah Babarsari. Selain berada pada lingkup daerah Babarsari, ternyata ada beberapa mahasiswa UAJY yang pernah menjadi korban terkait isu ini. Awak Teras berhasil mewawancarai dua orang korban yang mengalami tindak pelecehan tersebut. Salah satu mahasiswi FISIP UAJY yang enggan disebut namanya, bersedia menceritakan pengalaman buruk yang menimpanya sekitar akhir tahun 2016. Ia menceritakan kronologi kejadian dengan cukup detail kepada awak Teras. “Waktu itu kejadiannya pagi, sekitar jam enam. Aku mau berangkat ke kampus. Kebetulan waktu itu, aku jalan dari kos yang ada di belakang Kampus 2 UAJY dan kondisi jalan masih sepi,” tuturnya perlahan. Tanpa ada perasaan takut ataupun curiga, perempuan berkacamata ini merasa aman-aman saja meskipun jalanan sepi. Tak lama setelah itu, ketika ia baru sampai di Jalan Dirgantara III sebelah barat, terlihat seorang pria membuntutinya menggunakan sepeda motor. “Di situ aku udah mulai curiga, tapi berusaha positive thingking, dan waktu itu motornya sudah jauh ngelewatin aku. Nah nggak lama setelah itu, dia malah putar balik, dan langsung nyamperin ke arah aku lalu tangannya memegang bagian dadaku,” tuturnya.

22

Mendapat perlakuan tidak menyenangkan, ia spontan berteriak dan menghardik si pelaku. Kemudian pelaku terlihat kembali memutar arah motornya. Karena merasa cukup terancam, akhirnya mahasiswi itu memilih untuk masuk ke salah satu kos terdekat untuk berlindung. Selama hampir beberapa minggu, ketika berangkat ke kampus, ia lebih memilih menghindari jalan itu karena masih trauma. Usai kejadian tersebut, mahasiswi berambut panjang itu mengatakan tidak melaporkan kejadian buruk yang menimpanya. Ia mengaku tidak tahu harus melapor ke mana dan pada siapa. “Ya, aku bingung mau lapor ke mana, dan aku takutnya kalau masalah ini dilaporkan nanti malah disangka terlalu berlebihan. Jadi, ya, lebih baik aku biarin aja dan lebih hati-hati aja ke depannya,” tuturnya. Ia menambahkan bahwa beberapa temannya juga pernah mendapati hal yang sama. Dari kejadian tersebut, mereka menggambarkan ciri-ciri pelaku yang sebagian besar diduga adalah orang yang sama. “Yang paling aku ingat itu motornya matic warna merah, badanya agak kurus dan kulitnya agak gelap. Dia nggak pakai jaket dan helm. Naik motornya juga ugal-ugalan”. Selain mahasiswa FISIP, ada juga beberapa mahasiswa fakultas lain yang menjadi korban dari tindak pelecehan seksual tersebut. Sama seperti narasumber sebelumnya, seorang mahasiswi yang enggan disebut namanya ini menceritakan bahwa ia juga pernah mendapat tindakan yang tidak menyenangkan tersebut. Namun, yang membedakan


Ilustrasi Adi Surya Samodra

adalah waktu si pelaku melakukan tindakan pelecehan tersebut. Ia menyatakan bahwa kejadian itu terjadi sekitar pukul enam sore, di daerah yang sama dan kondisi jalanan tidak terlalu sepi. Setelah melakukan aksinya, pelaku dengan gesit menaiki motornya sehingga tidak ada warga yang berhasil mengejar. Tindakan yang menimpa kedua narasumber tadi merupakan salah satu bentuk pelecehan seksual dan hal itu tentu harus disikapi lebih lanjut. Kejadian ini patutnya menjadi perhatian bagi semua pihak, baik dari mahasiswa, warga sekitar, kampus dan pihak keamanan. Pihak keamanan seharusnya dapat lebih siaga mengamankan lokasi-lokasi yang yang sering terjadi tindak pelecehan tersebut. Terkait isu keamanan di Babarsari, ketika awak Teras mendatangi kantor Kepolisian Sektor Depok Barat, tidak ada informasi yang didapatkan lantaran sulitnya birokrasi yang harus ditempuh. Kemudian awak Teras mencoba

menggali informasi melalui warga sekitar terkait keamanan di lokasi kejadian. Namun kembali tidak mendapat informasi yang lengkap karena tidak ada laporan terkait tindakan tersebut. Tidak adanya pelaporan terkait tindakan pelecehan tersebut, tentu akan menyulitkan petugas keamanan untuk mengambil tindakan. Awak Teras mencoba mewawancarai salah satu LSM yaitu Rifka Anissa dari Woman Crisis Center (WCC) untuk mencari laporan kekerasan dan pelecehan seksual yang terjadi di Yogyakarta, tercatat sebanyak 325 kasus kekerasan dan 12 kasus pelecehan seksual yang masuk. Rifka Anissa melihat, masih adanya kultur victim blaming kepada perempuan yang menjadi korban pelecehan sehingga mereka enggan melapor. “Alasan korban tidak mau melapor biasanya karena masih banyak orang menganggapp pelecehan seksual adalah hal yang biasa, sehingga ketika itu dilaporkan korban dianggap melebih-lebihkan, kedua korban khawatir disalahkan atas kejadian itu, misalnya ditanya menggunankan baju apa, pulang jam berapa dengan siapa� tutur Lutviah selaku divisi humas dan media Rifka Annisa WCC. Ia juga menambahkan menyatakan bahwa korban pelecehan seksual harus didampingi agar mereka tidak takut, tidak menyalahkan diri sendiri dan mau melaporkan apa yang dialaminya, karena tindak pelecehan seksual adalah masalah yang serius. Terkait dengan upaya pencegahan dan penanggulangan tindak pelecehan seksual, Lutviah menghimbau untuk selalu melibatkan masyarakat bahkan kampus terdekat, dan tentunya dikuatkan oleh keberanian korban untuk melapor. Mengingat kasus ini sering terjadi, sudah seharusnya menjadi perhatian besama. Dengan melibatkan banyak pihak, harapannya aparat hukum akan lebih terdorong untuk menyelesaikan kasus ini dengan menangkap pelaku pecehan seksual tersebut. (Ayumi Danuswari/Deasilda Amalo)

23


SENI BUDAYA

Nyadran: Menziarahi Sejarah Diri

Seorang wanita berjilbab mengenakan setelan dengan warna dominan putih itu berjalan memasuki area Balai Desa Singosaren, Banguntapan, Bantul dengan membawa empat nasi kotak. Di teras samping balai desa, dua orang pria yang berjaga di meja menerima kedatangan wanita itu. “Dari keluarga Jumadi Ahmad,” ujar wanita itu kepada dua orang pria yang berjaga. Salah satu dari pria tersebut terlihat mengecek daftar pada sebuah kertas, sedang pria yang lain mengambil empat nasi kotak itu dan mengumpulkannya bersama dengan makanan sumbangan yang lain. Suasana itu terjadi satu jam sebelum prosesi nyadran dilakukan. “Memang pada setiap nyadran warga kampung sini selalu menyumbangkan makanan untuk nantinya dibagikan kepada mereka (warga) sendiri. Jadi panitia yang mengundi ketika sudah terkumpul semuanya,” terang Haryono, salah satu panitia nyadran. “Upacara nyadran yang sudah menjadi tradisi dan warisan menjelang bulan Ram-

24

adhan ini dilaksanakan untuk mengirim doa sebagai wujud bakti terhadap leluhur,” kata Kepala Desa Singosaren, Sutarwoco di sela kegiatan itu, Minggu (21/5). Menurut dia, kegiatan nyadran sebenarnya tidak hanya diadakan di Singosaren, namun di tempat lain juga mengadakan kegiatan serupa karena kegiatan tradisi ini merupakan ajaran dari para wali, bahwa sebelum menghadapi bulan puasa umat Muslim harus membersihkan hati dan diri. “Jadi bukan hanya membersihkan hati antara hubungan kita dengan Tuhan, namun juga untuk hubungan kita dengan para leluhur dan orang tua yang sudah meninggal,” katanya. Pekan-pekan terakhir bulan Syakban, mayoritas umat Islam-Jawa, memiliki tradisi pembersihan makam leluhur. Tradisi ini disebut nyadran. “Istilah “nyadran” berasal dari bahasa Sansekerta, yakni “Sradha”. Istilah yang digunakan umat Hindu untuk upacara pemuliaan roh leluhur,” ungkap Markus Suwarisman, Seksi Seni dan Tradisi Dinas Kebudayaan DIY. Diawali di masa pemerintahan Raja Majapahit, Hayam

Foto: Gregorius Bramantyo

Gunungan berisi ube rampe yang akan diperebutkan oleh warga


Wuruk, ia menyelenggarakan upacara Sradha untuk memuliakan arwah ibunya, Tribhuwana Tunggadewi. “Masuknya Islam membuat ritual Sradha menjadi tradisi nyadran yang rutin diselenggarakan pada bulan Ruwah. Kosakata “Ruwah” merujuk pada kata “Arwah”, di mana bulan Syakban dianjurkan untuk memuliakan orangtua, termasuk yang sudah meninggal,” tambah Markus. Prosesi nyadran dilaksanakan tepat pada pukul 13.30. Tradisi nyadran diawali dengan gunungan hasil bumi. Kirab dimulai dari lapangan di depan Kantor Desa Singosaren ke halaman Balai Desa Singosaren. Kirab atau mengarak gunungan ini dikawal oleh bregada (prajurit) dari Kadipaten Puro Pakualaman dan dusun-dusun di Singosaren, Banguntapan. Gunungan yang dikirab dan dipikul sejumlah orang berisi ube rampe khusus seperti buah-buahan, sayur-sayuran dan makanan ringan. Setelah sampai di

balai desa, gunungan didoakan. Selesai doa dan kenduri, gunungan berisi hasil bumi dan makanan diperebutkan oleh ribuan warga yang sudah menunggu sejak siang. Hampir semuanya mengenakan pakaian Jawa, lengkap dengan blangkon, surjan bagi kaum pria dan kebaya bagi para wanita. Baik orang dewasa hingga anak-anak yang masih berpakaian seragam sekolah berkumpul di satu lokasi yang sama. Salah satu warga setempat, Herlinawati mengatakan selalu mengikuti tradisi nyadran, karena selain menjaga tradisi yang sudah turun temurun, kegiatan ini juga untuk mendoakan leluhur dan orang tua. “Selalu ikut setiap tahun jelang bulan puasa, karena makam orang tua juga di sini, jadi untuk mendoakan orang tua untuk memohonkan ampunan dosa sebelum menghadapi bulan Ramadhan,” katanya. (Gregorius Bramantyo)

Warga menyumbangkan makanan sebelum prosesi nyadran

Sutarwoco, Kepala Desa Singosaren

Bregada dari Kadipaten Pakualaman yang mengawal kirab gunungan

25


KOMUNITAS

Braille’iant Indonesia: Memperjuangkan Kesetaraan Bagi Difabel Netra Siang itu di Mardi Wuto, sekelompok orang tengah berkumpul dalam ruang kelas. Ada perbincangan dan perkataan yang menarik di sana. Mereka sedang belajar Bahasa Inggris bersama, menggunakan buku dengan huruf Braille.

Begitulah sedikit gambaran ketika awak Teras berkunjung ke komunitas Braille’iant Indonesia. Komunitas Braille’iant Indonesia barangkali masih asing di telinga warga FISIP dan warga civitas akademika UAJY. Komunitas yang berawal dari sekelompok anak muda yang peduli dengan difabel netra ini nyatanya ada di sekitar kita dan sudah berdiri sejak tahun 2012. Siang itu, awak Teras didampingi oleh Veronica Christamia Juniarmi (26), Ketua Komunitas Braille’iant Indonesia. Vero—sapaan akrab dari Veronica—dengan ramah menjelaskan komunitas yang terletak di kompleks Rumah Sakit Mata Dr.Yap Prawirohusodo dan termasuk dalam Badan Sosial Mardi Wuto, Jalan Cik Ditiro nomor 5 A Yogyakarta tersebut. Secara runut, ia menceritakan sejarah awal berdirinya komunitas ini tak lepas dari Prorgram Kreativitas Mahasiswa kegiatan Kemasyarakatan (PKM-M). “Awalnya dari PKM UNY itu lho, waktu

26

itu saya masih mahasiswa UNY terus lama-lama diminta lanjut oleh Mardi Wuto untuk mengisi di sini, akhirnya jadi kegiatan rutin dari Mardi Wuto juga,” terang Veronica. Pada bulan Februari hingga April 2010, program ini terlaksana hingga suatu ketika pada tahun 2012, berdirilah secara resmi komunitas Braille’iant Indonesia. Nama Braille’iant sendiri berasal dari Braille dan brailliant yang memiliki arti cemerlang. Jelas, nama ini diambil dengan harapannya komunitas ini dapat menjadi wadah bagi para difabel netra agar mempunyai masa depan yang cemerlang pula. “Kami yakin kalau kekurangan itu bukanlah halangan bagi mereka untuk terus belajar dan mencapai cita-cita,” kata Veronica. Ketika awak Teras berbincang-bincang dengan Vero terkait tujuan dari didirikannya komunitas Braille’iant Indonesia, ia begitu semangat dalam menjelaskan. Veronica menjelaskan bahwa awalnya komunitas ini bertu-

Foto: Gregorius Bramantyo

Salah satu kegiatan Braille’iant Indonesia, kursus bahasa Inggris


juan untuk lebih peduli terhadap difabel netra namun kini tujuan tersebut telah beralih lebih kepada memperjuangkan kesetaraan bagi difabel netra dengan non difabel netra. Kesetaraan yang dimaksud oleh Vero adalah suatu kondisi inklusi antara difabel netra dengan non difabel netra. “Inklusi itu menciptakan suasana di mana difabel netra dan non difabel netra bisa hidup berdampingan di dalamnya,” tegas Veronica. Selain ingin menciptakan kondisi inklusi bagi difabel netra dan non difabel netra, komunitas ini juga menginginkan sebuah cita-cita di mana difabel netra dalam hal apapun jangan menjadi objek. Seringkali penderita difabel masih menjadi objek di mata masyarakat dalam hal apapun. “Kan sering tuh teman-teman difabel dikasihani oleh non difabel, misalnya saja relawan yang baru pertama mengajar di sini tuh tertarik mengajar karena merasa kasihan dengan teman-teman difabel netra, nah kita masih sering kaya gitu,” jelas Veronica. Salah satu upaya untuk mewujudkan kedua tujuan dan misi tersebut adalah dengan memberikan pengajaran atau keterampilan bagi teman-teman difabel netra. “Kami berikan keterampilan dan pengajaran, misalnya pelatihan Bahasa Inggris, tujuannya ketika teman-teman difabel netra cari kerja ketika ditanya pake bahasa Inggris bisa menjawab dan punya keterampilan lainnya,” nilai Veronica. Rutinitas komunitas yang telah mengadakan charity consert pada 10 Juni lalu ini diadakan tiap minggu sebanyak dua kali. “Seminggu dua kali biasanya kami ngajar, nah itu di Mardi Wuto, kalau yang di Yaketunis itu 4 bulan, seminggu sekali,” kata Veronica. Kegiatannya adalah pengajaran atau

Veronica Christamia Juniarmi bersama anaknya

kursus bahasa Inggris yang dinamakan English for Specific Purpose for People with Visual Impairment (ESP). Tujuan pelatihan bahasa Inggris ini adalah untuk mempersiapkan teman-teman difabel netra dalam dunia kerja yang berbahasa Inggris. Selain itu, ada juga yang lebih dikenal luas begitu identik dengan komunitas ini yaitu Bisik atau Bioskop Bisik. Kegiatan satu ini bekerjasama dengan Movie Box Gejayan sejak 16 Agustus 2015. Di sini para relawan mendampingi teman-teman difabel netra dalam menonton film dengan cara membisikkan deskripsi adegan non dialog kepada difabel netra sehingga mereka mengerti jalannya film yang ditonton. Salah satu anggota komunitas ini adalah Muflihun (31). Pria asli Banyumas ini mengaku telah bergabung di Mardi Wuto sejak 2009. Sebagai difabel netra, dirinya bergabung di sini karena ingin mengembangkan kemampuannya dalam hal komputer dan Bahasa Inggris. Kini ia merasa telah bisa menggunakan komputer dan mengajari temanteman difabel netra lainnya dalam hal baca Al-Quran. Ia merasa senang ikut komunitas ini. “Pergaulan yang heterogen di sini juga membuat saling berbagi pengalaman dengan difabel netra lainnya maupun teman-teman relawan,” terang Muflihun. Muflihun memiliki harapan bagi komunitas Braille’iant Indonesia dan juga Mardi Wuto agar lebih ke depannya semakin mengembangkan potensi bagi difabel netra. “Harapannya menjadi badan sosial dan komunitas yang semakin maju dan semakin meningkatkan pengembangan pada potensi difabel netra,” pungkas Muflihun. (Nicholas Ryan)

Muflihun, salah satu anggota Braille’iant Indonesia

27


SUDUT

Terbatasnya Ruang UKM dan KPKS di FISIP UAJY Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) dan Kelompok Profesi/Konsentrasi Studi (KPKS) merupakan kegiatan yang diadakan oleh mahasiswa Universitas Atma Jaya Yogyakarta (UAJY) untuk meningkatkan prestasi di kegiatan non akademik. Termasuk di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) UAJY. Agar dapat melaksanakan kegiatan UKM dan KPKS tersebut, tentunya kampus memiliki peran yang cukup besar agar dapat mewujudkan hal tersebut. Salah satunya adalah dengan memberikan fasilitas ruang khusus UKM dan KPKS di FISIP UAJY. Namun, diberikannya fasilitas ruangan khusus UKM dan KPKS ini justru memberikan pertanyaan besar bagi para mahasiswa dan juga keluhan–keluhan bagi mereka. Tidak sedikit mahasiswa yang mempertanyakan keberadaan ruangan khusus UKM dan KPKS tersebut. Salah satu pertanyaan yang sering dilontarkan adalah, apakah ada ruangan itu sendiri di FISIP UAJY? Atau mungkin di manakah ruangan tersebut jika memang ada dan difasilitasi oleh kampus? Seperti dikatakan oleh Viesca, salah satu mahasiswa Ilmu Komunikasi angkatan 2014. Hingga saat ini dirinya masih kurang paham tentang lokasi ruang khusus UKM dan KPKS di FISIP UAJY. “Kalau ruangan khusus gak tau ya. Soalnya kan biasanya rapat juga di kelas gitu,” ungkapnya. Hal serupa juga dikatakan Dewa, mahasiswa Ilmu Komunikasi angkatan 2016 yang mengetahui bahwa ada tempat tersebut, namun dirinya beranggapan bahwa tidak untuk semua UKM di sana. “Kayaknya gak semua UKM, beberapa aja,” ujarnya. Ditemui di ruangannya, Wakil Dekan 2 FISIP UAJY, Anita Herawati menjelaskan bahwa di FISIP UAJY sendiri sudah disediakan ruangan khusus UKM dan KPKS tersebut, yaitu pada ruangan kemahasiswaan yang berada pada lantai

28

basement. Akan tetapi dijelaskan pula bahwa memang tidak diberikan satu persatu bagi setiap UKM-nya. Anita juga menjelaskan bahwa tidak disediakan satu persatu bagi setiap UKM yang ada dikarenakan masalah terbatasnya ruangan yang ada di FISIP UAJY. “Kan dulu kesepakatannya tidak satu UKM memiliki satu ruang karena kita tidak akan punya ruang,” jelasnya. Tidak hanya itu, Anita juga memberikan penjelasan bahwa keterbatasan ruangan yang ada di FISIP UAJY ini karena seluruhnya sudah digunakan untuk kegiatan perkuliahan dari pagi hingga malam. Di sini, kampus memprioritaskan dalam sisi perkuliahan dahulu, baru pada bagian UKM dan KPKS. “Kan kita prioritaskan kuliah dulu. Wong ruang kuliah aja kurang,” jelasnya. Saat ditanyai tentang rencana penambahan ruangan khusus UKM dan KPKS, Anita menjelaskan bahwa memang sudah ada rencana untuk menambahkan ruangan tersebut, tetapi pembangunan ini akan melalui beberapa tahapan proses nantinya. Hal ini dikarenakan kembali pada masalah keterbatasan ruangan yang ada pada FISIP UAJY. Saat ditanyai tentang adanya ruangan khusus pada taraf universitas, Anita memberikan penjelasan lebih lanjut. Menurutnya, alasan mengapa di UKM tingkat universitas memiliki ruang khusus UKM dibandingkan di tingkat fakultas adalah karena cakupan universitas jauh lebih luas dibandingkan dengan di fakultas. Selain itu, dari pihak fakultas juga mengharapkan agar setiap mahasiswa yang ada tidak hanya kumpul dan mengenal orang-orang di fakultas saja, melainkan dengan fakultas lain yang mana dapat ditemui pada UKM universitas tersebut. Alasan lainnya adalah UKM yang ada pada FISIP UAJY tergolong banyak jika dibandingkan dengan fakultas-fakultas lainnya di Universitas Atma Jaya Yogyakarta.


Hal tersebut juga berlaku bagi KPKS di FISIP UAJY. Anita menjelaskan, karena KPKS berada di bawah Himpunan Mahasiswa Program Studi (HMPS) maka ruangan bagi para KPKS di FISIP UAJY bersamaan dengan HMPS itu sendiri. Seperti UKM yang ada di bawah Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) dengan memiliki ruangan bersamaan juga berlaku bagi KPKS yang juga berada di bawah HMPS. Keberadaan ruangan khusus UKM dan KPKS ini juga diakui oleh Presiden BEM UAJY, Antonius Ferry Adrian atau yang akrab disapa Adrian. Dirinya menjelaskan bahwa memang ada ruangan khsusus UKM dan KPKS di FISIP UAJY. “Kalau yang aku tahu, UKM jelas ada, karena UKM jadi bagian di struktur BEM ruangnya juga di depan RK BEM. Kalau KPKS sejauh ini yang aku tahu jadi satu dengan HMPSKOM karena itu kelompoknya mengarah ke profesi di bawah prodi Komunikasi,” jelasnya. Tidak jauh berbeda dengan Adrian, Bernadeta selaku ketua HMPSKOM periode 2016/2017 juga menyetujui bahwa ruang KPKS ada di dalam ruang RK, tetapi karena cukup jarang digunakan karena ruangan cukup sempit. “Jadi, biasanya dipakai buat naruh barang saja. Jarang buat kumpul karena sempit,” jelasnya. Keberadaan ruang khusus UKM dan KPKS sendiri sebenarnya telah disadari juga oleh mahasiswa yang tergabung dalam UKM di FISIP UAJY. Sebut saja Imelda, mahasiswi Ilmu Komunikasi angkatan 2014. Dirinya megakui telah menyadari adanya ruangan khusus UKM dan KPKS, tetapi ia menyayangkan karena kecilnya ruangan

tersebut dan seperti tidak terurus. “Menurutku berantakan lalu kecil gitu kayak gak keurus,” ujarnya. Tidak hanya Imelda, hal serupa juga dikatakan oleh Hana, salah satu mahasiswi yang tergabung dalam KPKS di FISIP UAJY. Meskipun ia menyadari adanya ruangan khusus ini, tetapi ia menyayangkan karena terbatasnya ruangan, sehingga menjadi sangat sempit dan terkesan berantakan. “Nah menurutku tuh sempit banget ya, berantakan. Itu karena satu ruangan kecil dibagi sama KPKS lain,” jelas Hana. Selanjutnya adalah Fajar, mahasiswa Ilmu Komunikasi angkatan 2015 menjelaskan bahwa memang ada ruangan tersebut, tetapi ia hanya menyayangkan karena ruangan khusus tersebut tidak begitu memadai dan terawat. Di lain sisi, Fajar sadar bahwa dengan adanya keterbatasan ruangan ini menjadikan alasan mengapa ruangan khusus UKM dan KPKS di FISIP UAJY digabung dengan UKM dan KPKS lainnya. “Soalnya UKM di FISIP kan banyak jadi agak susah juga kalau mau bikin ruangan satu-satu untuk semua UKM FISIP,” jelasnya. Dirinya juga berharap agar ruangan bagi UKM dan KPKS tidak tergabung satu sama lain. “Harapanku semoga ruangan untuk UKM dan KPKS tidak tergabung, soalnya kalau digabung gitu nanti barang UKM satu dengan lain sering tertukar,” ungkapnya menutup wawancara. (Nadia Fika Pradipta)

Ilustrasi Judith Brenda

29


CERPEN

Elegi Perahu Kertas Arung melihatnya hari ini. Terik matahari menyihir tubuhnya menjadi gerah dan lengket. Buru-buru ia merapat ke jendela yang terbuka sembari mengipas wajahnya dengan kertas. Dari kamarnya yang berada di lantai dua matanya terpaku pada perempuan itu; sosok yang berdiri di depan selokan. Kulitnya yang gelap dan rambutnya yang terurai berantakan menarik atensi Arung. Perempuan itu mengenakan seragam SMA dan menyandang ransel yang usang. Arung memicingkan matanya. Ah, rupanya perempuan itu tengah menggenggam sebuah perahu kertas. Ia jongkok dan dalam satu gerakan yang hikmat, perahu kertas tersebut mencium permukaan air. Sama sekali tak bergeming menyaksikan perahu kertasnya berlayar mengarungi aliran selokan. Cukup lama ia berjongkok sebelum berdiri dan menapakkan kakinya ke arah yang berlawanan dari si perahu kertas. Berlalu hingga pandangan Arung tak lagi mampu menjangkaunya. “Apa yang perempuan itu lakukan?” dalam hati Arung mengira-ngira. Hanya saja pertanyaan tersebut terbentur ke langit-langit kamar dan lenyap oleh hawa panas yang menjemukan. Sebab tak lama kemudian Arung terusik oleh ponselnya yang berdering dan tak lagi mengindahkan pertanyaan tersebut. Membiarkan rasa ingin tahunya menguar dan menghilang. Hanya saja Arung melihatnya hari ini. Lagi. Dengan seragam SMA yang sama. Ransel usang yang sama. Kulitnya yang gelap dan rambutnya yang terurai berantakan terlihat kontras. Arung yang hendak mengambil motor di garasi langsung urung. Justru ia berjingkat-jingkat mengintip dari balik tirai di ruang tamu. Mengamati bagaimana perempuan tersebut mengulangi ritual yang serupa. Ia berdiri di depan selokan sambil memegang perahu kertas yang menyembul di balik tangan-

30

nya. Tercenung untuk waktu yang cukup lama. Mungkin di balik tatapannya yang nyalang ia tengah mencermati, pada ombak yang mana akan kutitipkan perahu kertasku? Pada arus yang keberapa akan kurelakan perahu kertasku? Lantas ketika ia berhasil menemukannya— lagi-lagi dengan sebuah gerakan yang hikmat— ia menghanyutkan perahu kertasnya. Jongkok dalam jeda sejenak sebelum berdiri dan pergi. Intuisi Arung mulai berbisik bahwa perahu kertas tersebut bukanlah perahu kertas biasa. Berbagai spekulasi menyeruak bahkan saling sikut-menyikut supaya diperhatikan. Namun pandangannya berlabuh pada jam dinding dan teringatlah ia bahwa ia tak boleh terlambat ke kampus. Maka, lagi-lagi, ia terpaksa membungkam suara-suara yang bergema di sanubarinya. Hingga Arung lupa. Hanya saja Arung tak mungkin lupa ketika ia melihatnya hari ini. Lagi. Nyaris sebulan Arung menjadi saksi bisu yang tak pernah lalai menghadiri “upacara” tersebut. Sebuah ritual yang bisa jadi hanya diketahui oleh tiga sosok; Arung, perempuan yang tak diketahui identitasnya dan perahu kertas yang terkulai dalam pelukan jemarinya. Dari jauh-jauh hari Arung mengumpulkan niat untuk bertanya kepadanya. Hanya saja ketika lelaki itu melihatnya, segalanya menjadi buyar. Hal serupa terulang kembali ketika Arung dalam perjalanan pulang dan menyadari kehadiran perempuan tersebut. Sontak pikirannya kosong hingga pertanyaan yang telah ia rapal tersangkut di ujung lidahnya. Ia malah tergesa-gesa bersembunyi di balik rumah tetangganya dengan perasaan yang berkecamuk. Entah kenapa. “Apa yang kau lakukan?” Sebuah pertanyaan mengusik benak Arung. Ia meremas ujung bajunya dengan gemas. Sungguh, ia ingin melangkah kesana. Namun ia tak sampai hati untuk mengganggu perempuan itu. Perasaan ragu sekaligus penasaran bergantian merongrong dalam sanubarinya. Gundah gulana Arung terusik oleh sebutir rintik mengecup


wajahnya. Ia mengusapnya dan menengadah untuk melihat ekspresi langit yang pekat dan kelabu. Guntur mulai saling menyahut bagai kawan akrab yang lama tak bersua. Pandangan Arung beralih ke perempuan itu yang tak juga beranjak. Sendu yang tersampir di cakrawala juga menghiasi wajahnya, seolah tengah berkabung untuk duka yang tak pernah selesai. Perahu kertasnya nyaris remuk dalam tangannya yang terkepal. Tanpa mengindahkan gerimis, tatapannya tetap melekat ke selokan yang mulai bergejolak. Perempuan itu mengamati perahu kertasnya dengan kerlingan yang penuh pilu. Lalu tanpa aba-aba ia hempaskan bak membuang sampah. Arung terkesiap. Belum pulih ia dari rasa terkejutnya, perempuan tersebut sudah lekas beranjak menjauh. Ketika Arung yakin perempuan tersebut takkan melihatnya, ia langsung berlari ke selokan dan mencari perahu kertasnya. Si perahu kertas tersangkut di antara bebatuan dengan bentuk yang mengenaskan dan nyaris tergenang. Dengan lembut Arung memungutnya sebelum membuka lipatan demi lipatan. Yang ia temukan adalah sebuah surat yang tulisannya tak lagi utuh namun masih bisa dibaca: Halo ibu, apa kabar? Nadin rindu. Sepuluh tahun bergulir... kenanganku tentangmu tetap terngiang jelas. Aku ingat hari dimana ibu pergi ke Arab untuk menjadi TKI. Aku menangis histeris sambil memeluk kakimu. Ayah sampai kewalahan membujukku. Sedangkan Mas Cahya hanya menggigit bibir sambil menahan tangis. Penumpang lain sampai iba dan berusaha menawariku permen. Aku menggeleng dan bersikeras kalau ibu tidak boleh pergi. Namun ibu, sungguh kau tak pernah kehilangan akal. Kau bilang padaku, jika aku rindu maka aku hanya perlu menulis surat. Lantas surat tersebut kulipat menjadi perahu kertas dan kuhanyutkan ke air yang mengalir. “Pasti sampai ke ibu. Karena air bermuara ke laut. Maka perahu kertas selalu menemukan jalannya,� katamu. Lalu kau elus pipiku dan kau kecup keningku. Tersenyum lebar dan melambaikan tangan. Aku hanya bisa diam dalam kelu memandangi punggungmu yang menjauh. Untuk yang terakhir kalinya. Kalau saja aku tidak percaya dan tetap merengkuhmu erat. Mungkin ibu takkan pergi. Ibu, apakah yang paling menyakitkan dari sebuah jarak selain jarak itu sendiri? Jawabannya adalah rindu yang tak kunjung tuntas, bu. Bagai luka yang belum kering dan disayat kembali. Di surat-surat yang lalu, kutulis bahwa

aku baik-baik saja. Tapi aku bukanlah pembohong yang ulung. Ah... mungkin aku tidak sedang berbohong, melainkan berdoa. Berdoa bahwa aku baik-baik saja. Tetapi senasib dengan rindu, doa yang kulayangkan melalui selokan tak pernah sampai. Mungkin tersangkut sampah. Mungkin diambil bocah yang usil. Mungkin ia tenggelam oleh keinginan takdir. Mungkin doa itu sampai, entah lewat samudra yang mana, lantas dibuang. Untuk alasan yang tidak akan pernah kumengerti. Ibu, betapa sendu wajah ayah di usianya yang senja. Dulu, dulu sekali, ketika ibu masih di sini, binar matanya menyaingi matahari. Walau ia harus rela berpuasa supaya ibu, aku dan Mas Cahya bisa makan, senyumnya sampai ke mata. Kini, walau tak ada lagi satu piring yang perlu diisi, senyum tak pernah hinggap di matanya yang kosong. Sesekali kudengar ia menggumamkan nama ibu. Mungkin ia rindu. Mungkin ia merasa bersalah telah mengizinkan ibu pergi. Mungkin ia mengulang-ngulang nama ibu supaya tidak lupa. Sebab satu-satunya foto ibu yang kami miliki hanyalah pas foto. Yang kerap kali dipandang Mas Cahya sedikit terlalu lama sebelum buru-buru menyangkal rindunya padamu. Ah, Mas Cahya, kita bukanlah pembohong yang ulung. Sebab aku mendengar tangis yang kau gaungkan kemarin malam. Tangis yang mengoyak sepi. Ibu, ini adalah surat terakhirku. Surat yang akan berumur singkat, bahkan terlampau singkat. Waktu yang bergulir telah mengkhianati harapanku akan kepulanganmu. 10 tahun aku tertatih-tatih menjawab rindu melalui wajahmu yang terpatri di pas foto yang kusam. Tapi tak mengapa. Kelak kita akan bertemu, jika semesta merestui. Namun sebelum waktu itu tiba, biarlah doaku yang senantiasa menyertaimu. Salam hangat Nadin untuk ibu, dimanapun ibu berada. “Nadin...� hanya itu yang bisa Arung ucapkan. Sebab separuh kata-katanya terbentur ke angkasa dan lenyap oleh hujan yang menitik. Luruh bersama tinta yang menjelma menjadi noda hitam di selembar kertas basah. Kuyu dalam rengkuhan jari-jari Arung. Hari ini Arung tak melihatnya. Juga hari ini. Sebab ia tak pernah datang. Lagi. (Natasha Deborah)

31


Ilustrasi Judith Brenda

32


33


Ilustrasi Adi Surya Samodra


Seorang pengayuh becak dengan semangatnya mencari penumpang di kawasan Titik Nol Kilometer Yogyakarta (08/08). Fotografer: Jeremy Thomas



Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.