9 minute read

Dominasi Antar Dominasi Antar Gender di Era Modern Gender di Era Modern

Penulis:LuciousFelixSasmita(2022),MelisaVitaliaFransiska(2022)

Designer:KimberlyBillyYulianto(2022),AstariArfiana(2020)

Advertisement

Editor:YustisiaKrisnawulandariP (2020)

Kalian tau gak sih, sekarang masih sering terjadi dominasi gender? Lalu, apa itu dominasi gender? Dominasi gender adalah suatu sistem sosial yang menggambarkan posisi dominasi gender tertentu. Dominasi gender terjadi karena perempuan dipandang sebagai sosok yang dikagumi, pendiam, dan berkomitmen secara seksual (Sanday, 2001). Tidak jarang perempuan dituntut untuk dapat bekerja, mengurus anak, dan sebagainya (Aljohani, 2016). Seringkali, laki-laki dianggap wajar jika mendominasi. Dalam sebuah hubungan, mungkin saja ada yang mendominasi hubungan tersebut, antara pria atau wanita. Menurut Maestripieri (2012), hubungan yang romantis biasanya akan terlihat dominasinya sejak awal. Namun, pasangan yang terlalu dominan dapat menyebabkan ketidakseimbangan hubungan (Maestripieri, 2012).

Dominasi gender dapat berdampak positif dan negatif. Dampak positif dari dominasi gender adalah tingkat pengakuan yang lebih tinggi ketika jenis kelamin seseorang sesuai dengan pekerjaan atau tugas dari gender tersebut (Pansky, Oren, Yaniv, Landa, Gotlieb, dan Hemed, 2018). Misalnya, seorang pria yang mendaftar kerja sebagai teknisi disebuah gedung perkantoran, kemungkinan untuk diterima akan lebih tinggi ketimbang perempuan yang mendaftar Hal jni terjadi karena profesi teknisi didominasi oleh pria Nah, selanjutnya, efek negatif dari dominasi gender adalah stereotip salah satu gender yang dianggap kurang mampu menjalani suatu profesi (Morgenroth & Ryan, 2018). Dampak negatif berikutnya, menurut Parker (2018), perempuan lebih mungkin dilecehkan secara seksual di tempat kerja. Tentu hal ini menjadi kekurangan dari adanya dominasi gender. Menurut Sanday (2001), terjadinya dominasi pria dapat menimbulkan konflik identitas yang mengakibatkan perasaan terhina bagi pria yang lain. Hal ini terjadi karena mungkin pria yang lain merasa minder dan merasa didominasi oleh pria yang lebih mendominasi.

Selain dalam hal pekerjaan, dominasi gender juga sering terjadi dalam sebuah hubungan. Menurut Seidman (2015), tidak jarang wanita memilih untuk mendominasi suatu hubungan. Secara umum, dalam sebuah hubungan akan dipimpin oleh laki-laki dan yang mengambil keputusan. Namun, hal ini ditentang oleh Female-Led Relationship atau biasa disingkat FLR (Davenport, 2022). Menurut FLR, wanita juga berhak untuk berekspresi akan keunikan mereka, seperti kasih sayang, empati, dan kesadaran emosional.

Salah satu hal yang memengaruhi munculnya dominasi gender adalah adanya budaya patriarki dalam kehidupan sehari-hari. Di budaya Indonesia, budaya dan ideologi patriarki masih sangat kental dan mewarnai berbagai aspek kehidupan dan struktur masyarakat, serta menciptakan ketimpangan gender

Patriarki adalah sebuah sistem sosial yang menempatkan laki-laki sebagai sosok otoritas utama yang sentral dalam organisasi sosial. Secara tersirat, sistem ini melembagakan pemerintahan dan hak istimewa laki-laki dan menuntut subordinasi perempuan (Bressler, Charles E. 2007). Istilah ini juga mengacu pada “kekuasaan laki-laki”, yaitu berlangsungnya dominasi lakilaki atas perempuan yang direalisasikan melalui berbagai cara (Kamla Bashin, 1996: 1). Oleh karena itu, tak jarang terjadi kekerasan dan eksploitasi pada perempuan.

Selain itu, terdapat juga kepercayaan bahwa Tuhan telah menetapkan adanya perbedaan laki-laki dan perempuan, sehingga perbedaan dalam kehidupan manusia pun diatur berdasarkan perbedaan tersebut. Secara biologis, perempuan dan laki-laki berbeda, sehingga fungsi-fungsi sosial maupun kerja dengan masyarakat juga berbeda. Laki-laki selalu dikaitkan dengan fungsi dan tugas di luar rumah dan publik, sedangkan perempuan yang berkodrat melahirkan ada di dalam rumah dan domestik. Oleh karena itu, dalam konteks masyarakat, di mana kontrol atau dominasi laki-laki lebih tinggi dibandingkan dengan kaum perempuan, ketidakadilan gender akan terus berlangsung. Ideologi ini dianggap sebagai salah satu dari basis penindasan perempuan, karena menciptakan watak feminisme dan maskulin yang melestarikan patriarki, membatasi gerak dan perkembangan perempuan, serta memproduksi dominasi kaum laki-laki (Nunuk P & Murniati A, 2004: 80).

Tentunya, untuk memerangi dominasi gender dalam kehidupan seharihari, kesetaraan gender menjadi kunci utamanya. Di Indonesia sendiri, terdapat juga peraturan perundang-undangan mengenai Kesetaraan dan Keadilan Gender (KKG) Tahun 2012 yang mendukung konsep kesetaraan gender. Upaya-upaya ini diharapkan dapat menjamin kesetaraan hak-hak asasi, penyusun kebijakan yang proaktif mengatasi kesenjangan gender, dan peningkatan partisipasi politik.

Meski demikian, keluarga juga memegang peranan penting dalam pengajaran konsep kesetaraan gender. Hal ini dikarenakan apa yang telah diajarkan dalam sebuah keluarga akan diterapkan oleh anak-anak mereka nantinya saat mereka dewasa. Berikut adalah beberapa upaya yang dapat dilakukan untuk mengurangi dominasi gender (Harvard, 2018):

Mengekspos anak-anak dengan hal-hal yang dapat bertentangan dengan stereotip yang ada di sekitar kita. Contohnya adalah menunjukkan wanita tidak harus selalu menjadi ibu rumah tangga, melainkan dapat bekerja di bidang konstruksi, salah satu bidang pekerjaan yang selalu dikaitkan dengan laki-laki.

Membagi tanggung jawab secara adil kepada anak laki-laki dan anak perempuan. Contohnya adalah anak laki-laki dan anak perempuan masing-masing mendapat kesempatan yang sama dalam mengerjakan pekerjaan rumah tangga.

Mengekspos diri dengan ras dan budaya yang berbeda dengan stereotip gender yang ada di sekitar kita melalui berbagai media, seperti buku atau media sosial. Selain itu, kita juga bisa berteman dengan teman yang berasal dari budaya dan ras berbeda.

Biarkan anak-anak untuk lebih mengeksplorasi dunia dan berekspresi secara bebas. Berikan aktivitas yang beragam kepada masing-masing anak. Anak laki-laki tidak harus selalu bermain sepakbola atau mobil dan anak perempuan tidak harus selalu bermain boneka atau rumahrumahan.

Ajarkan anak laki-laki untuk lebih berani dan terbuka dalam membicarakan kekhawatiran atau kesedihan mereka. Di sisi lain, kita juga tetap bisa mengapresiasi apa yang telah mereka lakukan.

Berikan juga kesempatan yang setara kepada anak-anak perempuan untuk mendapat pendidikan yang layak, beropini, berpartisipasi dalam membuat keputusan, dan bekerja.

Dapat disimpulkan bahwa dominasi gender merupakan salah satu permasalahan yang cukup serius. Bagi kedua belah pihak, masing-masing memiliki tanggung jawabnya sendiri. Namun, hal itu tidak berarti bahwa diskriminasi terhadap salah satu gender merupakan hal yang benar. Oleh karena itu, kesetaraan gender dapat menjadi kunci utama dalam mengatasi permasalahan ini. Keluarga menjadi pengajar pertama bagi anak-anak mereka yang nantinya apa yang telah didapatkan dalam keluarga mereka, akan diterapkan dalam kehidupan sehari-hari hingga mereka dewasa.

Tidak hanya itu, konsep pemahaman mengenai kesetaraan gender juga menjadi hal yang sangat penting dalam menciptakan integrasi dan memajukan negara. Karena itulah, mari kita bangun kesempatan yang sama dan adil bagi kedua gender demi menciptakan kehidupan yang lebih nyaman dan aman.

Daftar Pustaka

Aljohani, N (2016, April) Gender / Dominance; Gender Approach 7(4) Retrieved March 25, 2023, from https://www ijser org/researchpaper/GenderDominance--Gender-Approach pdf

Davenport, B (2022, November 22) Female-Led Relationship: All You Need to Know About This Shift Live Bold and Bloom Retrieved March 26, 2023, from https://liveboldandbloom com/05/relationships/female-led-relationships

Jacobsen, J (2022, August 4) 10 Ways to Deal With Alpha Males in Relationships Marriage com Retrieved March 26, 2023, from https://www.marriage.com/advice/relationship/how-to-deal-with-an-alpha-male-in-a-relationship/ Kesetaraan Gender Dalam Lingkup Organisasi Kehidupan Kemahasiswaan (2021, April 25) Retrieved March 25, 2023, from https://studentactivity binus ac id/tfi/2021/04/kesetaraan-gender-dalam-lingkup-organisasi-kehidupan-kemahasiswaan/ Maestripieri, D (2012, May 13) Are You Dominant or Subordinate in Your Romantic Relationship? Psychology Today Retrieved March 26, 2023, from https://www psychologytoday com/us/blog/games-primates-play/201205/are-you-dominant-or-subordinate-in-your-romantic-relationship Margono, A (2015) Perjuangan Kesetaraan Gender Tokoh Wanita pada Novel-Novel Karya Abidah El Khalieqy

Penulis: Ariellah Sharon Mohede (2021)

Designer: Adeline Natasha (2022), Astari Arfiana (2020)

Editor: Yustisia Krisnawulandari P. (2020)

Di zaman modern, identitas dan ekspresi gender menjadi h yang penting, terutama di negara-negara maju. Dengan semakin terbukanya masyarakat akan berbagai identitas gender di luar batas-batas tradisional, seperti pria dan wanita, tidak mengherankan bahwa semakin banyak orang yang akhirnya memutuskan untuk melakukan coming out. Coming out adalah istilah yang digunakan ketika seseorang mengakui dan mengungkapkan aspek tertentu dalam dirinya yang mungkin selama itu terselubung atau tidak diketahui oleh orang lain, antara lain seperti orientasi seksual dan romantis mereka, dan tentunya identitas gender mereka (UNC LGBTQ Center, n.d.).

Di sisi lain, peningkatan akan kesadaran dan penerimaan ini juga telah memicu semakin banyak orang untuk mempertanyakan aspek-aspek tersebut dalam diri mereka, tak terkecuali aspek gender.

Menurut WHO (n.d.), gender sendiri merupakan sekumpulan karakteristik pada pria dan wanita, atau laki-laki dan perempuan, yang dibentuk secara sosial. Karakteristik ini dapat mencakup norma, perilaku, dan peran tertentu, aupun hubungan yang mereka miliki dengan satu sama lain. Gender rhubungan dengan identitas gender, tetapi dua hal ini tidaklah sama. mentara gender lebih berkaitan dengan sex atau jenis kelamin yang didasari oleh fisiologi seseorang, identitas gender lebih mengacu pada gender yang dirasakan dan dialami oleh seseorang secara internal, yang dapat sejalan atau tidak sejalan dengan fisiologinya (WHO, n.d.). Pada sebagian orang, identitas gender internal yang tidak sejalan dengan gender fisiologis dapat mengarah pada apa yang disebut sebagai gender dysphoria Secara umum, gender dysphoria adalah sebuah kondisi psikologis ketika individu merasa bahwa perasaan dan pengalaman yang ia miliki atas gendernya tidak sesuai dengan gender yang sudah ditetapkan baginya saat lahir, yang kemudian dapat menimbulkan perasaan tidak nyaman atau emosi negatif (Magalhães & Magalhães, 2017). Oleh karena gender dysphoria merupakan pengalaman yang bersifat internal, gejalanya juga cenderung tidak terlihat langsung dan lebih memengaruhi perasaan dan keinginan dalam diri individu. Dilansir dari American Psychiatric Association (2022), gejala gender dysphoria dapat mencakup antara lain keinginan kuat individu untuk menghilangkan alat kelaminnya dan menekan perkembangan karakteristik jenis kelaminnya yang lain, untuk memiliki alat kelamin dan karakteristik jenis kelamin yang berbeda, dan untuk diperlakukan seperti orang dengan gender yang berbeda. Seseorang juga dapat memiliki keyakinan bahwa dirinya memiliki perasaan dan reaksi yang biasa dimiliki oleh orang dengan gender yang berbeda. Berhubung dengan itu, tidak jarang bagi orang dengan gender dysphoria untuk menginginkan operasi atau penggunaan hormon untuk mengekspresikan identitas gender yang mereka rasakan (NHS, 2020).

Di sisi lain, meskipun gejala-gejala ini berlangsung secara internal, mereka dapat berdampak pada berbagai aspek hidup dan memengaruhi kegiatan sehari-hari. Dalam konteks sekolah atau pekerjaan, gender dysphoria yang tidak tertangani dapat mengarah pada pemutusan hubungan studi atau kerja, bahkan pengangguran (Mayo Clinic, 2022). Gender dysphoria juga seringkali mengarah pada kesulitan dalam hubungan, kecemasan, depresi, self-harm (upaya untuk menyakiti diri sendiri), gangguan makan, dan penyalahgunaan zat, di antara lain. Selain itu, orang dengan gender dysphoria tidak jarang mengalami diskriminasi, yang tentunya dapat mengarah pada stres dan keraguan untuk mencari bantuan (Mayo Clinic, 2022). Mereka juga memiliki risiko lebih tinggi untuk melakukan tindakan bunuh diri (de Freitas dkk., 2020).

Singkatnya, gender dysphoria, jika tidak diatasi, dapat memberikan dampak yang besar pada individu. Lalu, apakah hal ini menandakan bahwa kondisi ini adalah sebuah gangguan mental? Faktanya adalah, gender dysphoria masih merupakan salah satu kondisi psikologis yang tercantum dalam standar klasifikasi diagnostik internasional, seperti International Classification of Diseases (ICD) dan Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM) (Rodríguez dkk., 2018). Namun, dalam beberapa tahun terakhir, makin banyak upaya yang telah dikerahkan untuk mengubah persepsi kondisi ini sebagai suatu penyakit. Misalnya, pada 2019, WHO memelopori upaya ini dengan menghapus gender dysphoria dari manual diagnostik mereka. Daripada menyebutnya sebagai suatu gangguan atau disorder, kondisi ini sekarang hanya dianggap sebagai suatu ketidaksesuaian atau incongruence (Haynes, 2019). Selain itu, banyak juga bermunculan gerakan-gerakan yang secara spesifik berupaya untuk “mendepatologikan” kondisi ini (Rodríguez dkk., 2018).

Salah satu hal yang mendorong hal ini adalah pertimbangan bahwa membiarkan gender dysphoria untuk tergolong sebagai suatu gangguan hanya menyebabkan stigma (BBC News, 2019), yang seperti telah disinggung sebelumnya, dapat mengarah pada diskriminasi. Sementara itu, setidaknya sebagian dari gejala psikologis dan dampak negatif dari kondisi ini justru dikarenakan stresor dan penilaian negatif dari lingkungan sekitar yang seringkali dialami oleh mereka yang memilikinya (de Freitas dkk., 2020). Hal ni sejalan dengan penemuan yang menunjukkan bahwa banyak dari upaya bunuh diri yang dilakukan oleh individu dengan gender dysphoria berhubungan dengan diskriminasi dari keluarga dan masyarakat (Kaptan dkk., 2021).

Sebaliknya, terdapat studi yang telah menemukan bahwa dukungan sosial dan penerimaan berhubungan positif dengan penurunan emosi negatif pada orang dengan gender dysphoria (Budge dkk., 2014 dari Romani dkk., 2021).

Terutama dalam masa transisi perubahan gender, dukungan dari keluarga juga ditemukan dapat meningkatkan resiliensi dan kualitas hidup individu, serta menurunkan gejala depresi dan kecemasan (Kaptan dkk., 2021). Hal ini pun menunjukkan bahwa dampak gender dysphoria dipengaruhi oleh lingkungan sosial dan perlakuan orang di sekitar individu, dan bahwa perlakuan yang positif dapat meringankan gejala-gejala negatif. Dalam kata lain, selama individu mendapatkan dukungan sosial yang cukup dan merasa diterima dengan pilihan-pilihan yang ia buat atas dirinya, gender dysphoria seharusnya tidak perlu di-label sebagai suatu “gangguan”.

Jika disimpulkan, gender dysphoria adalah suatu kondisi serius yang dapat memengaruhi berbagai aspek kehidupan individu. Apakah kondisi ini merupakan suatu gangguan mental masih merupakan isu yang diperdebatkan hingga sekarang, tetapi yang pasti adalah bahwa masyarakat modern sudah semakin dapat menerima dan menormalisasikan individu dengan gender dysphoria. Masyarakat modern sudah semakin menyadari bahwa me-label kondi i i i b i b h han ah ada k alah ahaman dan s bukti bahw gankan gejala a melabeln ima.

Bersa angun masya dan bantu pada merek

Kata-katanya:

“PandanganMahasiswaAtmaJaya tentangDominasiGender”

Penulis:RobertJohannesThianto(2021)

Designer:KarinaBerlianfa(2020), AstariArfiana(2020)

Editor:YustisiaKrisnawulandariP.(2020)

Apa kata mahasiswa UNIKA Atma Jaya mengenai dominasi gender?

Tim redaksi PSYGHT 22/23 melakukan wawancara singkat dengan mahasiswa dari berbagai fakultas mengenai pandangan mereka terhadap hal seputar dominasi gender.

“Dominasi gender adalah ketimpangan yang terjadi antara kedua gender karena salah satunya mendominasi yang lain, seperti misalnya pekerjaan pilot cenderung didominasi oleh pria.”

“Dominasi gender menurut aku adalah ketidakseimbangan antara gender yang satu dengan yang lain dan memberikan dampak negatif pada gender yang terdominasi.”

“Dominasi gender itu ketika suatu peran masyarakat lebih didominasi oleh satu gender. Misalnya, laki-laki lebih pantas untuk dijadikan sebagai seorang pemimpin ketimbang perempuan.”

- (Margareth Ade Lorna Benediksien Mendrofa, Ilmu Komunikasi, 2021)

Dominasi gender menurut aku sebuah pengaruh yang kuat dari salah satu gender, entah itu dari laki-laki atau perempuan, terhadap berbagai aspek kehidupan seperti politik, sosial, agama, dan ekonomi.”

- (Nicholas Hendra Saputra, Manajemen, 2021)

“Dominasi gender sebetulnya adalah sikap diskriminasi yang dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor yang ada seperti faktor lingkungan dan adat istiadat, sehingga adanya perbedaan kedudukan antara laki-laki dan perempuan baik dalam hal status sosial, pekerjaan, pendidikan, rumah tangga dan lain sebagainya. Contoh sikap ini seperti budaya patriarki yang memandang laki-laki sebagai tulang punggung, maka kedudukan kaum laki-laki itu di atas perempuan.”

- (Mauritius Vilkanova Malek, Ilmu Komunikasi, 2020)

This article is from: