7 minute read

Kekerasan dalam Kekerasan dalam Kekerasan dalam

Hubungan Romantis Hubungan Romantis Hubungan Romantis

Advertisement

Penulis: Shanes Felicia Chandra (2021)

Designer: Kimberly Billy Yulianto (2022), Astari Arfiana (2020)

Editor: Yustisia Krisnawulandari P. (2020)

Banyak sekali anak muda sekarang yang menjalin hubungan asmara atau berpacaran. Pacaran merupakan masa di mana dua orang saling mengenal satu sama lain, yang bertujuan untuk lebih memahami dan mengerti kepribadian pasangannya. Akan tetapi, mulai bermunculan kasus-kasus mengenai kekerasan dalam hubungan pacaran. Salah satu contoh kasusnya adalah seorang mahasiswi Universitas Pelita Harapan yang menjadi korban kekerasan dalam hubungan pacaran. Mahasiswi berinisial AS itu melaporkan laki-laki berinisial BJK atas tindakan aniaya disertai dengan ancaman yang dilakukan kepada dirinya sejak Juni 2022, ketika keduanya sedang menjalin hubungan. Korban mengatakan bahwa dirinya sudah mengalami kekerasan dari mantan kekasihnya itu sebanyak lima kali dan kasus tersebut dilaporkannya ke kepolisian dan Komnas Perempuan.

Dari contoh kasus di atas, sebenarnya kekerasan dalam berpacaran itu seperti apa sih? Kekerasan dalam pacaran atau dating violence adalah tindak kekerasan terhadap pasangan yang belum terikat pernikahan, meliputi kekerasan fisik, emosional, ekonomi dan pembatasan aktivitas (Kementerian Pemberdayaan Perempuan, 2018). Kekerasan ini merupakan kasus yang sering terjadi setelah kekerasan dalam rumah tangga, namun masih belum begitu mendapat sorotan jika dibandingkan kekerasan dalam rumah tangga, sehingga terkadang masih terabaikan oleh korban dan pelakunya. Menurut Wolfe dan Feiring (2000), kekerasan dalam pacaran sendiri didefinisikan sebagai segala usaha untuk mengontrol atau mendominasi pasangan secara fisik, seksual, atau psikologis yang mengakibatkan luka atau kerugian

Menurut Kemenpppa (2018), ada beberapa bentuk kekerasan dalam pacaran, di antaranya yaitu kekerasan fisik, seperti memukul, menampar, menendang, mendorong, mencekram dengan keras pada tubuh pasangan, dan serangkaian tindakan fisik yang lain. Kekerasan emosional atau psikologis, seperti mengancam, memanggil dengan sebutan yang mempermalukan pasangan, menjelek-jelekkan, dan lainnya. Kekerasan ekonomi, seperti meminta pasangan untuk mencukupi segala keperluan hidupnya, seperti memanfaatkan atau menguras harta pasangan. Kekerasan seksual, seperti memeluk, mencium, meraba, hingga memaksa untuk melakukan hubungan seksual di bawah ancaman

Kekerasan pembatasan aktivitas oleh pasangan banyak menghantui perempuan dalam berpacaran, seperti pasangan terlalu posesif, terlalu mengekang, sering menaruh curiga, selalu mengatur apapun yang dilakukan, hingga mudah marah dan suka mengancam. Tindak kekerasan ini dapat dialami oleh perempuan maupun laki-laki

Hampir setiap tahunnya terdapat angka kekerasan dalam pacaran yang dilaporkan oleh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), Perkumpulan

Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) dan Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan. Sebenarnya, siapa saja bisa menjadi korban KDP (Kekerasan Dalam Pacaran), baik laki-laki maupun perempuan, tetapi korban didominasi oleh kaum perempuan yang lebih banyak mengalami kekerasan dalam pacaran. Hal ini didukung dari sumber Komnas Perempuan (dalam Ridwan, 2006). Berdasarkan hasil penanganan kasus kekerasan di 14 daerah di Indonesia, tercatat bahwa dari 3.169 kasus kekerasan terhadap perempuan, kaum perempuan paling banyak mengalami kekerasan dan penganiayaan oleh orang orang terdekatnya (40%), serta tindak pemerkosaan di komunitasnya sendiri (32%). Pola ini berlaku di kota-kota besar, seperti Jakarta dan Yogyakarta, di daerah yang miskin dan penuh konflik, maupun di daerah yang diwarnai kedinamisan ekonomi serta budaya, seperti

Surabaya dan Sulawesi Selatan.

Data dari Youth Risk Behaviour Survey CDC dan National Intimate Partner and Sexual Violence Survey (Centers for Disease Control and Prevention, 2020) menunjukkan bahwa:

Hampir 1 dari 11 siswa perempuan dan sekitar 1 dari 14 siswa SMA laki-laki melaporkan pernah mengalami kekerasan fisik dalam pacaran pada tahun 2019.

Sekitar 1 dari 8 siswa sekolah menengah atas perempuan dan 1 dari 26 siswa laki-laki melaporkan pernah mengalami kekerasan dalam pacaran dalam setahun terakhir.

Sebanyak 26% perempuan dan 15% laki-laki yang menjadi korban kekerasan seksual, kekerasan fisik, dan/atau penguntitan oleh pasangan, mengalami kekerasan tersebut sebelum berusia 18 tahun.

Selain itu, Studi dari Amerika Utara menunjukan terdapat 76% siswa perempuan dan 85% siswa laki-laki mengalami kekerasan dari segi fisik, psikologis, atau seksual dalam hubungan berpacaran. (Amar & Gennaro, 2005; Forbes & Adams-Curtis, 2001; Simonelli, Mullis, Elliott, & Pierce, 2002; Smith, White, & Holland, 2003 dalam Rini, 2022). Temuan ini menunjukan bahwa kekerasan dalam berpacaran tidak hanya dialami oleh perempuan, namun juga oleh laki-laki, meskipun beberapa temuan menunjukkan perempuan menduduki angka kekerasan dalam berpacaran yang lebih tinggi dibanding dengan laki-laki.

Berdasarkan pemaparan di atas, kekerasan dalam pacaran merupakan salah satu bentuk kekerasan yang mengkhawatirkan, yang setiap tahunnya memiliki kenaikan dalam jumlah kasusnya. Hubungan berpacaran seharusnya diisi dengan sikap saling menghargai, menjaga, dan penuh dengan kasih sayang, tetapi, pada kenyataannya, sering kali diliputi oleh tindakan kekerasan. Hal tersebut menjadi penting untuk diketahui. Jika ada teman terdekatmu yang terkena kekerasan dalam hubungan atau kamu sendiri merasakannya, jangan sungkan menghubungi bantuan profesional, ya!

Daftar Pustaka

Centers for Disease Control and Prevention. (2020). Preventing teen dating violence. Factsheet. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia. (2018). Waspada Bahaya Kekerasan Dalam Pacaran https://www kemenpppa go id/index php/page/read/31/1669/waspadabahaya-kekerasan-dalampacaran#:~:text=Kekerasan%20dalam%20pacaran%20atau%20dating,masih%20belum%20begitu%20mend apat%20sorotan

Ridwan (2006) Kekerasan berbasis gender Purwokerto : Pusat Studi Gender

Rini, R (2022) Bentuk dan Dampak Kekerasan Dalam Berpacaran Perspektif Perbe Wolfe, D. A., & Feiring, C. (2000). Dating violence through the lens of adolescent romantic relationships. Child Maltreatment, 5, 360-363.

Pernahkah anda mendengar perkataan bahwa seorang laki-laki tidak boleh menangis? Jika pernah, maka kalimat tersebut merupakan salah satu contoh toxic masculinity yang terjadi di lingkungan anda. Lalu, apa itu toxic masculinity?

Menurut Putra (2023), toxic masculinity merupakan pemikiran sempit tentang sifat maskulinitas pada laki-laki. Toxic masculinity mengacu kepada maskulinitas, di mana seorang laki-laki harus menunjukkan dominasi, kekerasan, dan kontrol untuk menunjukkan kekuasaan dan kedudukan superior mereka secara asertif (Green Hill, 2022). Misalnya, stigma sosial bahwa laki-laki harus bersikap lebih kuat dari perempuan secara implisit menyatakan laki-laki harus memendam emosinya ketika menghadapi masalah. Bahkan, laki-laki yang sifatnya berbeda dengan kebanyakan lakilaki lain, seperti menyukai grup boyband dari Korea, akan dianggap kurang maskulin oleh orang di sekitarnya.

Konsep sosial terhadap gender bahwa seorang laki-laki tidak boleh menangis ada kalanya dapat membuat laki-laki cenderung memendam perasaannya. Frąckowiak-Sochańska (2021) mengatakan pola perilaku tersebut dapat menyebabkan efek negatif terhadap mental health.

Selain itu, toxic masculinity itu sendiri juga dapat menimbulkan social trauma terhadap laki-laki

(Frąckowiak-Sochańska, 2021). Pedović dan

Hedrih (2019) mengatakan bahwa social trauma yang belum dihilangkan hanya akan memberikan konsekuensi negatif tidak hanya dalam aspek sosial namun juga terhadap individu termasuk aspek fisik, kognitif, pola perilaku, dan emosional. Morrison (2020) menambahkan bahwa toxic masculinity menyebabkan proses penyembuhan trauma laki-laki terganggu.

Banyak sekali hasil dari penerapan toxic masculinity ke arah yang negatif. Tidak hanya pada laki-laki, tetapi toxic masculinity juga merugikan perempuan. Menurut Putra (2023), selain memberikan efek negatif terhadap mental health, membiasakan toxic masculinity dan tetap menjadikannya sebagai stigma sosial dapat berpotensi besar bagi seorang laki-laki yang mengikutinya untuk melakukan KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga), bahkan menganggap pelecehan seksual sebagai hal yang wajar. Hal ini dikarenakan laki-laki yang diperlakukan dengan toxic masculinity mengikuti sebagaimana ekspektasi lingkungan yang diinginkan banyak orang—menjadi dominan dan berkuasa sehingga individu tersebut dipengaruhi oleh perilaku negatif.

Dari segi mana pun, toxic masculinity merupakan asumsi tersembunyi yang tidak terpuji, meskipun realitanya banyak orang yang mewajarkan. Faktanya, banyak pihak yang dirugikan dari kedua gender akibat penerapan toxic masculinity. Oleh karena itu, laki-laki tidak boleh terjebak oleh stigma sosial yang merugikan kedua gender ini. Hanya karena berbeda gender saja, bukan berarti perempuan atau sesama laki-laki diperbolehkan menerapkan toxic masculinity pada laki-laki. abcdeKrupuk Podcast (KruPod) adalah sebuah podcast komedi yang dibawakan oleh sekumpulan lakilaki yang senang nongkrong dan bertukar pikiran mengenai beberapa topik yang tidak bermakna. Dengan filosofi kerupuk, topik yang dibawakan dianggap sebagai pelengkap dari hari-hari para pendengarnya. Walaupun demikian, setiap penyiar podcast ini memiliki pandangan masing-masing terhadap suatu masalah, terutama topik-topik sosial yang memiliki stigma. Hal inilah yang menjadi topik utama dari setiap podcast yang dibawakan oleh mereka. abcdeEpisode podcast yang akan dibahas saat ini berjudul “Pria Lebih

Dominan Dibanding Wanita?” yang disiarkan sejak Oktober 2020.

Pembicara dalam episode ini terdiri dari tiga sahabat karib, yaitu Yabes

Glenn, Rico Yehezkiel, dan Ketut

Surya Putra. Dalam episode ini, mereka bertiga membahas mengenai pengalaman mereka masing-masing mengenai dominasi gender. abcdeSalah satu permasalahan yang diangkat dalam podcast ini adalah dominasi gender dalam zaman sekarang dibandingkan dengan zaman dahulu. Salah satu caster menceritakan bahwa pada zaman ini, perempuan dianggap lebih barbar daripada perempuan dalam zaman dahulu. Jika membahas mengenai perempuan di zaman dahulu, tepat pada saat zaman Kartini, perempuan memang dianggap sebagai seseorang yang berada di belakang laki-laki.

Misalnya, perempuan dalam budaya Jawa diharuskan untuk berjalan jongkok. Ditambah lagi, pakaian pada zaman itu tidak nyaman untuk digunakan dalam beraktivitas, seperti kain jarit yang sangat ketat. Hal ini, menurut para caster dari podcast ini, menunjukkan bahwa adanya ketidaksetaraan gender dalam budaya Indonesia pada zaman dulu. Maka dari itu, emansipasi wanita sangatlah penting untuk dijunjung tinggi pada zaman itu. abcdeTidak hanya membahas mengenai masa lalu, dalam podcast ini, salah satu caster menceritakan pengalamannya berhadapan dengan perempuan di zaman sekarang. Pada zaman ini, perempuan dianggap lebih barbar dan bersikap lebih berani untuk melakukan sesuatu hal terhadap laki-laki pada saat ini

Contoh nyata yang dibawa dalam podcast ini adalah fenomena ketika seorang perempuan menampar seorang laki-laki Berbeda jika sebaliknya laki-laki melakukannya kepada perempuan, dalam kasus ini, perempuan dianggap sangat bagus melakukan tindakan pemukulan tersebut terhadap laki-laki abcdeMenurut para caster di podcast ini, terlihat bahwa laki-laki pada saat ini menjadi pengambil keputusan terbesar terutama dalam hubungan. Ada pula caster yang menceritakan pengalaman ketika seorang perempuan meminta untuk diperlakukan setara dengan laki-laki.

Namun, pada akhirnya, perempuan itu juga meminta laki-laki untuk bersikap lebih sopan dan lembut

Hal ini menurut para caster menciptakan standar ganda untuk para perempuan, berbalik daripada definisi kesetaraan dalam gender. abcdeDalam penghujung podcast, para caster mendapatkan ide baru mengenai dominasi gender. Jika membahas mengenai dominasi gender pada zaman ini, sebenarnya dominasi gender itu relatif bagi setiap orang. Manusia itu dapat berkembang, maka dominasi gender itu muncul sebagai hasil dari gender tertentu yang meningkatkan kompetensinya masing-masing.

Bagaimana suatu gender itu dapat mendominasi tergantung dari kemampuan gender tersebut untuk bisa lebih unggul daripada gender lainnya. Walaupun kata

“kesetaraan” pada intinya adalah bagaimana setiap gender bisa saling setara dan adil, menurut caster di podcast ini, kesetaraan tidak akan ada jika setiap gender masih tetap berkompetisi untuk menjadi lebih unggul dari satu sama lain. abcdeSecara kesimpulan, podcast ini sangatlah unik karena membahas mengenai kesetaraan gender dan dominasi gender dari kacamata lakilaki. Hal itu dapat menjadi keunggulan dari podcast ini karena pada zaman sekarang, lebih banyak literatur dan artikel yang membahas mengenai kesetaraan gender dari sudut pandang feminis atau sudut pandang perempuan. Jika temanteman ingin tahu lebih dalam mengenai podcast ini, bisa scan QR di bawah ini, ya!

Krupuk Podcast. (2020, Oktober). Pria lebih dominan dibanding wanita [Audio Podcast].

Topik #1:

This article is from: