
5 minute read
PARATANYA
Oleh: YM. Bhikkhu Dhammavuddho
1Namo Buddhaya, Bhante, dalam agama Buddha mungkin sudah tidak asing lagi dengan konsep anicca, atau ketidakkekalan. Namun, saya ingin bertanya, bagaimanakah seorang Buddhis hendaknya menanggapi atau menghadapi ketidakkekalan tersebut? Sekian dari saya, Bhante, terima kasih dan semoga sehat selalu.
Advertisement
Anicca ada dua; di dalam diri kita dan di luar diri kita juga. Pertama, kita akan mengalami anicca di dalam diri kita: Kita akan mengalami usia tua, perubahan, kita akan mengalami sakit, kita akan mengalami kematian; inilah anicca di dalam diri kita. Yang kedua, kita akan mengalami anicca yang di luar diri kita: Teman-teman kita, sahabatsahabat kita, mereka akan berubah. Ada yang berubah dari baik menjadi buruk, ada yang dari buruk menjadi baik. Ini semua adalah anicca. Umat Buddha melihat ini semua karena memang segala sesuatu tidak pantas untuk dilekati. Ini adalah perubahan, sehingga Buddha berkata, “Jangan melekat, karena melekat adalah sumber penderitaan.” Mengapa kita melekat? Karena kita memiliki konsep pikiran yang salah, menganggap segala sesuatu ini kekal, segala sesuatu ini baik adanya, dan segala sesuatu itu tidak berubah. Ini yang menyebabkan kita menderita. Oleh karena itu, hadapilah anicca dengan pemahaman Dhamma yang baik.
2Namo Buddhaya, Bhante, semoga Bhante selalu diberkati kesehatan sehingga dapat berbagi kebijakan dan wawasan dengan umat. Pertanyaan saya, apakah ada acara/latihan/praktik yang bisa dilakukan supaya bisa beradaptasi lebih mudah terhadap perubahan yang tidak bisa dihindari dalam kehidupan ini?
Di dalam Paritta, ada ditulis Abhiṇhapaccavekkhaṇapā haṁ. Di situ, umat Buddha merenungkan: “Aku akan menderita usia tua, aku belum mengatasi usia tua, aku akan menderita sakit, aku belum mengatasi penyakit, aku akan menderita kematian, aku belum mengatasi kematian. Segala milikku yang kucintai dan kusenangi, pasti akan berubah dan berpisah dariku.” Bila ketujuh poin ini direnungkan setiap hari, seharusnya dapat beradaptasi dengan perubahan yang ada dalam kehidupan ini.
3Selamat pagi/siang/sore/malam, Bhante, tergantung kapan Bhante membaca pesan ini… Saya ingin bertanya mengenai langkahlangkah yang harus dilakukan seorang praktisi Dhamma untuk mengubah dirinya menjadi pribadi yang lebih baik. Terima kasih banyak, Bhante.
Sebenarnya gampang. Buddha bilang, “Perbanyaklah berbuat baik, kurangi perbuatan jahat, sucikan hati dan pikiran.” Kenapa sucikan hati dan pikiran ini penting? Karena terkadang ada orang yang melakukan perbuatan baik dengan ego-nya, “Oh, hari ini saya menyumbang satu miliar,” dan sombong. Kemudian, penulisan namanya ternyata salah dalam sumbangan tersebut. Misalnya, seharusnya namanya Agus, tetapi dana mengatasnamakan Agush. Dia marah. Kenapa marah? Ada “aku” di situ. Kenapa ada “aku”? Karena belum membersihkan hati dan pikiran. Oleh karena itu, dalam perbuatan baik pun terdapat kesombongan, iri hati, dengki, dan niat jahat. Jadi menyucikan hati dan pikiran itu penting. Sehingga, langkahnya adalah untuk memperbanyak perbuatan baik, kemudian melakukan evaluasi apabila perbuatan baik yang sudah kita lakukan diliputi kilesa kita. Bila masih diliputi kilesa, maka semoga dalam perbuatan baik yang akan datang, tidak dicemari kilesa lagi.
4Namo Buddhaya, Bhante. Setiap kali saya bermeditasi, saya merasa pikiran saya tidak bisa tenang dan terus berubah-ubah, seberapa keras pun mencoba untuk memfokuskan pikiran, pikiran menjadi liar atau rasa kantuk … Bagaimana saya dapat menenangkan pikiran saya yang tiada henti berkeliaran, Bhante? Terima kasih, Bhante.
Ketika Anda bermeditasi, kita ibarat menjadi satpam yang ada di mal. Satpam ini berdiri di pos security di pintu tengah mal. Satpam ini tahu si A masuk, si B keluar, si C masuk, si D keluar. Dia cukup tahu, cukup berdiri di pos satpam. Tidak perlu kepo jika si A datang, “Mau belanja di mana?” Itu tidak perlu. Jadi, satpam adalah sati (kesadaran). Di dalam meditasi, hal yang kita kembangkan adalah kesadaran. Kita memperkuat satpamnya, bukan memperkuat pikirannya. Cukup mengetahui, masuk-keluar. Jika waktu napas masuk-napas keluar, pikiran kita muncul, bagaimana? Pikiran memang sejatinya seperti itu, dia akan muncul. Pikiran ini ibaratnya seperti awan, kesadaran seperti langit yang biru. Kita tidak bisa bilang langit harus tetap biru, tidak boleh ada awan. Sifat alami dari langit pasti ada awan, baik awan putih (pikiran baik) ataupun awan hitam (pikiran baik). Itu alami. Kita tidak boleh mengusir awan di dalam langit tersebut. Sama dengan kita tidak boleh mengusir pikiran yang ada di dalam kesadaran kita. Hal yang perlu dilakukan ketika bermeditasi hanya mengembangkan kesadaran. Ketika Anda mengembangkan kesadaran, Anda tahu, “Eh, ini ada pikiran buruk muncul, tidak boleh diteruskan.” That’s it. Cuma sampai di situ.
5Namo Buddhaya, Bhante. Apakah ada cara bagi kita untuk memutuskan rantai karma agar siklus bertemu dan menjadi musuh selama beberapa kehidupan dapat dihentikan? Sekian pertanyaan dari saya, Bhante, semoga Bhante diberkati kebahagiaan dan kesehatan selalu, saddhu saddhu saddhu.
Sebenarnya, musuh adalah orang yang paling kita sayangi. Musuh adalah orang yang paling kita cintai. Musuh adalah orang yang paling bermakna dalam kehidupan kita, karena ketika orang tersebut berubah tidak sesuai dengan kemauan kita, kita menjadi marah, benci, dan kita
lupa bahwa setiap manusia memiliki sifat anicca. Bagaimana cara memutus rantai karma dari musuh kita? Belajar memaafkan mereka. Terkadang ini tidak gampang, karena kita melekat dengan apa yang kita sukai dan melekat dengan apa yang kita benci. Makanya, Bhante ulangi lagi bahwa musuh adalah orang-orang yang kita sayangi dahulu. Bila tidak percaya, coba ehipassiko, orang yang menjadi musuh paling banyak adalah orang yang Anda dekati dahulu, yang pernah menjadi teman dekat kita dahulu. Untuk memutus karmanya, yang pertama, kita harus banyak berbuat baik kepada siapa pun. Kedua, setiap perbuatan baik kita lakukan harus tanpa pamrih. Ketika perbuatan baik kita tanpa pamrih, di situ tidak ada kekecewaan untuk diri Anda pada masa yang mendatang. Ketiga, apa pun yang dilakukan oleh orang lain, segalanya disebabkan oleh avijja (kebodohan batin) mereka. Jadi, kita memaklumi bahwa mereka masih memiliki kebodohan batin. Keempat, ketika memahami bahwa mereka memiliki avijja, maka Anda juga harus mengingatkan diri sendiri bahwa “Saya juga memiliki avijja,” Sesama orang bodoh, untuk apa saling sirik? untuk apa marahmarahan? Dengan demikian, Anda dapat mengurangi sifat marah dan sifat benci terhadap musuh-musuh kita.
6Namo Buddhaya, Bhante. Saya mohon izin bertanya. Apakah bijak lari (menghindari) dari orang yang menyebabkan masalah dalam hidup kita? Terima kasih Bhante. Semoga Bhante selalu sehat.
Buddha bilang, “Tidak di langit, tidak di dalam gunung, tidak di dalam dasar samudra, karma itu bisa mencari Anda.” Jadi, mau lari bagaimana pun, Anda tetap akan bertemu karma suatu saat nanti. Setiap bertemu dengan masalah di dalam kehidupan kita, tidak perlu lari dari masalah, tetapi kita harus menghadapinya. Kita harus menyadari bahwa kita tidak sempurna. Ketika kita ada masalah, berarti masalah memberitahu kita bahwa kehidupan kita tidak sempurna. Oleh karena itu, setiap masalah itu dapat dijadikan sebagai guru kita. Dengan demikian, ketika kita sadar bahwa masalah adalah guru, kita tidak perlu menghindar, dan masalah membuat Anda menjadi sempurna. Jadi, tidak perlu lari dari masalah. Terima kasih.
(NAT/FEL)