
4 minute read
AMARA
PARAFICTION
Amara
Advertisement
Oleh: Jaysen Ekajuve Thiadi (FIB 2020)
Dalam sebuah nama, terdapat suatu pengalaman, keinginan, dan harapan dari orang tua yang memberikan nama tersebut. Sayangnya, setelah kurang lebih 1516 tahun bernapas dan hidup dengan nama ini, aku mulai merasa bahwa makna yang tersembunyi tersebut tidak menjiwai identitasku. Namaku tidak cocok dengan pengalamanku, keinginanku, atau harapanku. Semua itu milik orang tuaku meskipun ini kehidupanku.
Amara. Nama yang cantik dengan makna yang sama cantiknya. Kecantikan yang abadi. Tanpa kejahatan. Sungguh ironis. 80% namaku perlu dieja dengan nama sang Iblis yang merupakan personifikasi kejahatan, sang pangeran jelmaan gangguan duniawi. Bagaimana mungkin satu huruf di depan itu dapat meniadakan itu semua? Apa pun yang dialami orang tuaku ketika aku lahir yang membuat mereka menamakanku Amara, pengalaman tersebut tidak pernah kualami. Aku tidak merasa cantik. Aku merasa telah melakukan banyak kejahatan. Lihat saja betapa beracun dan tajamnya kata-kata yang kulontarkan sekarang ke Ayah.
Dibalas kembali dengan teriakan yang meledak dalam rumah, bagaikan zona perang. Ibuku hanya dapat diam di satu sisi; itu bentuk perlawanannya, tanpa mengambil pihak putrinya atau suaminya yang panas berdebat tentang hal sekecil apa pun. Dalam zona perang yang berlautan api, Ibu bagaikan ratu dalam istana salju yang tiada meleleh. Dingin hingga damai.
Jika mereka menginginkan putri sempurna yang tidak ada, atau setidaknya tidak memperlihatkan kejelekannya, maka aku sudah mengecewakan mereka dengan sengaja. Jika mereka mengharapkan anak berbakti yang indah paras dan indah hati, maka aku hanya bisa mengatakan maaf. Maaf aku bukan boneka Barbie yang bebas dilepas bajunya, diganti kepalanya, dan diatur posenya. Semuanya dengan senyuman plastik yang abadi.
Tidak ada yang abadi di dunia ini; aku tahu fakta ini dari pengalaman. Dari hati yang dikhianati, dari senyuman yang dihapus dengan lelucon bagaikan piring yang pecah, kemudian keluarga yang tidak pernah sekali pun menanyakan kabarku atau mencoba berbicara denganku setiap kali aku pulang dari institusi yang harusnya mendidikku. Oh, tentu. Mereka memberikan pendidikan bahwa dunia itu kejam. Ya, maaf, aku Amara yang penuh dengan amarah setiap kali aku pulang dari sekolah, dan tidak bisa menjadi bidadari atau malaikat yang senyum, senyum, senyum, untuk menyembuhkan letih Ayah yang baru pulang dari kerja.
Terserahlah. Aku juga lelah berdebat setiap kali aku pulang. Biarkan aku tenggelam dalam musik dan suara seseorang yang bahkan belum pernah kutemui. Biarkan aku sendiri.
Kamu berpikir tidak adil bagiku untuk berpikir demikian, tetapi kamu harus mengakui bahwa dalam kehidupan ini, perubahan besar dapat terjadi karena hal sekecil angin yang dihempas oleh sayap kupu-kupu.
Senyuman putri cilik 7 tahun itu menghilang setelah 8 tahun menyadari dunia penuh dengan kejahatan, penuh dengan kekejaman, penuh dengan ... “kemanusiaan”. Setelah tidak hanya mengamati, tetapi juga mengalami kemanusiaan itu, aku tidak lagi bisa senyum dengan senyuman mentari yang menjadi sinar rumah ini sebelum menjadi zona perang.



Malam yang dingin, seperti biasa, setelah sore yang panas beradu suara dengan Ayah, aku menetap di atap rumah untuk menatap bintang-bintang... banyak, tetapi bertebaran, berada di langit yang sama, tetapi tetap kesepian.
Bunyi piano dari earphone-ku menemaniku dalam malam ini, seperti malam-malam sebelumnya. Hanya ini kedamaian yang dapat kurasakan dalam kehidupan ini.
Hal sekecil apa pun dapat menyebabkan perubahan besar dalam diri seseorang. Angin malam mulai menunjukkan sisi dinginnya, seperti Ibu. Waktunya untuk masuk kembali, meskipun lebih awal dari biasanya. Tidak masalah, asalkan musik tetap bermain.
2,3 detik keheningan sebelum sistem memainkan lagu baru.
2,3 detik yang menjadi sayap kupu-kupu kehidupanku.
“Amara...”
Itu yang terdengar, suara Ayah yang sudah biasa kudengar penuh amarah kini mengucapkan namaku dengan lembut. Tentu, aku marah. Mengapa dia tidak bisa biarkan aku sendiri saja? Mengapa harus mencoba membawa Ibu ke pihaknya pada malam hari? Berapa malam dia sudah mencoba menyudutkanku di rumah ini?
Aku melepas earphone, musik tetap bermain, tetapi amarah dan rasa penasaran menggerakkan badanku untuk menghampiri ruangan yang dahulu merupakan suakaku, tempat berlindungku, dan kini hanyalah gerbang menuju Istana Raja Gila.
“Anak itu,” Apa? Kesalahan apa yang mau kau bawakan, Ayah? “Setiap kali pulang marah-marah, apa ada masalah di sekolahnya?”
Apa.
“Kenapa tak kau tanyakan saja, tiap hari kau bertengkar, menjerit dengannya,” Ibu?
“Sulitlah, Mak. Coba berbicara dengan anak zaman sekarang. Jujur teriak itu hanya caraku bisa coba tanyakan kabarnya, cuman yah, gimana ya ... aku pun tahu itu tak bagus buat Amara, emosiku saja mudah terpancing.”
“Kau bisa saja lebih jujur, Pak. Itu tetap anak kau, bukan anak buah yang biasa kau jeritin di tempat kerja.”
“Yah, tapi ... sulit, begitu ... agak gimana saja.”
Aku membuka gerbang menuju Istana. Memang buah tidak jatuh jauh dari pohonnya. Wajah kaget mereka ditemui dengan dekapanku, setelah sekian lama tidak berbicara denganku.
Biarkanlah dunia murka terhadapku, asalkan keluargaku, orang tuaku, yang kini menangis bersamaku dapat mencintaiku, aku yakin aku bisa tangguh melawan itu semua.
Dan musik tetap bermain, tetapi telingaku hanya dapat mendengar isakan jelek dari tiga negara yang sudah berperang selama bertahun-tahun karena sekadar miskomunikasi.
(FEL/NAT)