
5 minute read
Chaeruddin Hakim
Tafsir Kelong (Bagian 2)
Oleh Chaeruddin Hakim
Advertisement
“Kedalaman” menurut Scheler dibagi atas tingkat kepuasan. Kepuasan menurut Scheler, berasal dari persepsi sentimentil atas satu nilai yang lebih dalam daripada nilai yang lain, manakala eksistensinya tampak tidak tergantung pada persepsi sentimentil atas nilai yang lain, dan ‘kepuasan’ dicapai sesudah
nikmatan. 3) Nilai spiritual. Dalam kehadiran nilai ini, nilai vital maupun nilai kenikmatan harus dikorbankan, (Frondizi, 2001: 138).
Nilai spritual dapat dibedakan atas tiga tingkatan, yakni: (1) nilai keindahan dan kejelekan dan berbagai nilai estetik
itu. Sekalipun relativitas demikian, yang belakangan tergantung pada yang terdahulu.
5) Relativitas
Scheler menyatakan bahwa meskipun objektivitas bersangkutan dengan semua nilai dan hubungan esensi mereka tidak tergantung, baik pada realitas maupun pada hubungan aktual dengan benda tempat nilai direalisasikan. Di antara berbagai nilai terdapat perbedaan skala relativitas. Menurut Scheler, nilai yang “relatif” tidak membuatnya “subjektif”. Satu objek yang berbadan yang tampak sebagai halusinasi adalah “relatif” bagi individu, tetapi tidak subjektif dalam arti perasaan. Nilai menjadi “relatif” bagi orang yang dikarunia perasaan sensitif. Sebaliknya, nilai adalah “mutlak” yang ada demi tujuan emosi murni, yaitu bagi satu emosi yang tidak tergantung pada esensi sensibilitas (hakikat indra) dan esensi hidup. Nilai moral termasuk dalam kategori yang terakhit ini. Semakin kurang keralitivan nilai, semakin tinggi keberadaannya. Nilai yang tertingi dari semua nilai adalah nilai mutlak, (Frondizi, 2001: 132-137). Preferensi (kecendrungan) penerapan kelima urutan kriteria yang telah diuraikan di atas, bagi Scheler diuraikan ke dalam tiga tingkatan nilai.
1) Nilai “kenikmatan” dan “ketidaknikmatan”, yang sesuai dengan suasana afektif nikmat dan rasa sakit yang bersifat indrawi. 2) Nilai vital. Nilai ini tidak tergantung dan tidak dapat direduksi dengan kenikmatan dan ketidak murni yang lain; (2) nilai keadilan dan ketidakadilan yang seharusnya tidak dikacaukan dengan “benar” dan “salah” karena ini mengacu pada satu iritan yang ditetapkan oleh hukum; (3) nilai “pengetahuan murni tantang kebenaran” yang diusahakan untuk direalisasikan oleh filsafat yang dilawankan dengan ilmu positif yang beraspirasi pada pengetahuan dengan tujuan untuk mengendalikan kajadian-kejadian. Di atas nilai spiritual, terletak kelompok nilai yang terkahir, yaitu nilai religius. Nilai religius tidak dapat direduksi menjadi nilai spiritual dan memiliki keberadaan khas yang menyatakan diri kepada kita dalam berbagai objek yang hadir untuk kita sebagai yang mutlak. Karena nilai pada umumnya tidak tergantung pada benda dan semua bentuk historis, sehingga Scheler menyatakan bahwa nilai religius sama sekali bersifat independen dalam kaitannya dengan segala sesuatu yang sejak semula dipandang suci dalam perjalanan sejarah, termasuk bagian “konsep Tuhan yang paling murni”. Menurut Frondizi, kondisi yang sesuai dengan nilia religius adalah kegembiraan yang luar biasa (ekstasi) dan kehilangan harapan (desperasi), yang diukur dari yang suci. Reaksi khusus yang sesuai adalah keyakinan, pemujaan, dan penyembahan. Sebaliknya, cinta merupakan aksi, yang dengan itu kita menangkap nilai kesucian, (Frondizi, 2001:139). Di manakah letak hubungan antara nilai dan kebudayaan dimana sastra, khususnya sastra
kelong Makassar sebagai salah satu bagian dari hasil kebudayaan itu sendiri? Menurut Ambo Enre (1992:2), pembicaraan mengenai kebudayaan dalam hubungannya dengan nilai-nilai, penekanannya terutama diletakkan pada unsur materialistiknya sesuai dengan idenya yang menonjol, yang dalam satu lingkungan masyarakat dipelihara dan diperlakukan sebagai suatu kebijakan, berupa ketentuan tentang cara berperilaku dan menetapkan sesuatu yang ideal mengenai bagaimana seseorang harus membawakan diri agar ia dapat diterima sebagai anggota masyarakat. Nilai-nilai menurut Ambo Enre 1992: 2), ialah: sesuatu yang sangat dihargai serta diyakini akan kebenarannya. Sebagai akibatnya, tentu sangat diharapkan pula perwujudannya dalam kehidupan sehari-hari melebihi hal-hal lainnya. Ia menyangkut masalah seleksi dan preferensi di antara banyak pilihan yang ada. Karya sastra sebagai hasil kebudayaan di dalamnya terkandung nilai-nilai kebudayaan masyarakat di mana karya sastra itu dilahirkan. Dalam kaitan itu, Rahim (1985: 164), mengatakan bahwa dasar esensial kebudayaan adalah ide-ide tradisional, terutama nilainilai yang melekat padanya. Dalam pengertian ini, kebudayaan merupakan reka bentuk bagi kehidupan yang secara relatif memuat ketentuan-ketentuan yang telah dijadikan dasar mengenai apa yang mesti, apa yang harus, apa yang boleh dikerjakan, apa yang tidak boleh dikerjakan, dan apa yang dilarang dikerjakan. Menurut Hasyim (1981:1), karya sastra sebagai karya seni yang bulat merupakan salah satu unsur kebudayaan. Di samping sastra sebagai hasil budaya manusia, sastra berisi pula masalah yang berhubungan dengan kebudayaan. Oleh karena itu, pembicaraan mengenai sastra – termasuk di dalamnya sastra kelong Makassar – tidak mungkin terlepas dari masalah kebudayaan. Kontjaraningrat (1984:8), mengatakan bahwa nilai budaya itu adalah tingkat pertama kebudayaan ideal atau adat. Nilai budaya adalah lapisan abstrak dan luas ruang lingkupnya. Tingkat ini adalah ide-ide yang mengoperasikan hal-hal yang paling bernilai dalam kehidupan masyarakat. Lebih lanjut dikatakan oleh Kontjraningrat bahwa suatu sistem nilai budaya terdiri atas konsepsi-konsepsi yang hidup dalam alam pikiran sebagaian besar warga masyarakat mengenai hal-hal yang harus mereka anggap sangat bernilai dalam hidup. Kluchkohn dalam Kontjaraningrat (1984:28), mengatakan bahwa sistem nilai budaya dalam semua kebudayaan terdiri atas lima masalah pokok. (1) Masalah hakikat hidup manusia; (2) Masalah hakikat karya manusia; (3) Masalah hakikat kedudukan manusia dalam ruang dan waktu; (4) Masalah hakikat hubungan manusia dengan alam sekitarnya; (5) Masalah hakikat hubungan manusia dengan sesamanya.
2. Konsep Dasar Religius Kata religiosity berarti religios feeling or sentimen atau perasaan keagamaan. Religi berasal dari akar kata religion yang sering disalin menjadi religi. Religi bukan agama, (Atmosuwito, 1989:123). Agama lebih menunjuk kepada kelembagaan penyembahan kepada Tuhan atau “dunia atas” dalam aspeknya yang resmi, yuridis, peraturan-peraturan dan hukum-hukumnya, serta keseluruhan organisasi tafsir alkitab. Religiositas lebih melihat aspek yang “di dalam lubuk hati”, riak getaran hati nurani pribadi, sikap personal yang sedikit banyak misteri bagi orang lain karena menapaskan intimitas jiwa, yakni cita rasa yang mencakup totalitas (termasuk rasio dan rasa manusiawi) kedalaman pribadi manusia. Karena itu, pada dasarnya religiositas mengatasi atau lebih dalam dari agama yang tampak, formal, dan resmi. Religiositas lebih bergerak dalam tata paguyuban yang cirinya lebih intim (Wijaya, 1982:11-12). Huston, dalam buku “The Psikology of Religion” (tanpa tahun:17-28) mengatakan bahwa sedikititnya ada tiga alasan kesulitan mendefinisikan kata religi. Pertama, pengalaman religius merupakan benda sibjektif dan batin, serta agak individual. Setiap orang yang membaca ungkapan pengalamannya sendiri, atau yang dia ambil karena pengalaman religius. Dengan demikian, tidak ada dua orang yang berubah pandangan tentang religi yang pernah dibicarakan menyangkut benda yang sama. Kedua, belum ada orang yang merasa lebih kuat dan mampu daripada religi mereka. Religi menurut orang, ratarata merupakan “kata kebajikan”. Kata kebajikan adalah seperti kata “demokrasi” dengan konotasi yang menguntungkan sehingga hampir setiap orangcendrung mau didentifikasi dengan kata itu, sehingga bertentangan dengan “kata-kata fitnahan” seperti “etheis” atau “komunis”. Ketiga, konsep religi akan dinegaruhi oleh maksud orang yang menyusun definisi. Setiap orang secara netral akan mendefinisikan religi menurut maksudnya sendiri. Tentu saja akan ditemukan permasalahan dalam mendefinisikan semua istilah itu. [] (Bersambung).



