
3 minute read
oleh Nawir Sultan
PEMEcaH BaTU GUNUNG
Oleh NaWIR SULTaN
Advertisement
Balaho berdiri tegak bertelekan pada sebuah tungkai palu. Sekujur tubuhnya yang berotot membuatnya kelihatan seperti tembaga. Apalagi saat sekujur tubuh itu basah bersimbah peluh. Sekarang saatnya Balaho beristrahat setelah bekerja beberapa jam di bawah terik matahari. Dipandangnya beberapa batu gunung rata–rata sebesar kepala kerbau, sebagai hasil kerjanya hari ini Sungguh, ia merasa perkasa demi menyaksikan batu gunung itu yang kini tergeletak di sana–sini tidak Cuma itu. Balaho malahan diliputi perasaan bangga. Bahwa sekecil apapun artinya ia merasa ikut berjasa dalam pembangunan ini . Bagaimanapun juga hasil kerjanya sebagai pemecah batu gunung sangat di butuhkan, khususnya untuk pembuatan pondasi bangunan Coba bayangkan, jika batu gunung Jika tak ada bagaimana mungkin membangun sebuah rumah permanen . Apalagi jika rumah itu bertingkat–tingkat pula.
“Hidup Ini memang keras seperti batu” Pikiran Balaho Semakin berkembang, sembari mengetuk sebongkah batu berwarna putih itu dengan palunya.“ Tetapi tidak melulu mesti disikapi dalam bentuk kekerasan pula. Karena betapapun kerasnya sebuah batu kadang–kadang hanya dengan beberapa pukulan
saja batu itu terurai dengan sendirinya. “Begitu kira–kira pendapat Balaho sendiri. I Balaho, tampak sumringah. Sesungguhnya ia tak habis pikir betapa batu itu tak ada habis–habisnya. Padahal Sudah di gempur sejak berabad–abad lamanya. Sejak masih moyangnya dahulu kala. Lihatlah, Bagaimana orang–orang membangun sekian banyak rumah batu di kota. Malahan sekarang rumah itu sudah berdiri sampai bertingkat–tingkat. Istilahnya bangunan pencakar langit. Seperti diketahui, semakin tinggi sebuah bangunan, makin diperlukan banyak batu gunung. Belum lagi yang dibuat sebagai jalanan sebagai pengerasan atau dasar jalanan itu sendiri. “Akh!! Kalau saja Gugusan gunung itu adalah milikku sendiri, betapa kayanya aku ini,“ Balaho membatin “Akan kupenuhi jari jari tanganku ini dengan cincin berlian, kayak pengacara kondang Hotman Paris punya. Lalu kukibas–kibaskan di depan pejabat yang usaha sudah besar masih mau disuap. Biar mata mereka belalak,“ demikian pikiran yang terus berkembang tidak keruan. “Tetapi toh gunung itu milik negara. dikuasai pemerintah untuk kepentingan orang banyak. Ya, untuk kepentingan pembangunan bangsa dan negara,” tegasnya juga kepada dirinya dengan penuh kesadaran. Dalam keseharian Balaho bekerja dengan mendapat upah harian. Biasa juga dalam bentuk upah borongan, bagi Balaho, upah itu cukup lumayan yang ia dapatkan dari seorang Toke. “Lebih penting aku tidak pernah kehilangan mata pencaharian,“ kilah Balaho dalam hati. “Hidup di kota, betapa ngerikan. Persaingan demikian ketat semua harus tertib dan antri meski di mana mana lebih banyak macetnya. Bahkan di jalan tol sekalipun sementara aku sendiri? Tidak ada yang bisa dibilang.“ Keluh Balaho pada dirinya sendiri. Sesungguhnya, Balaho selalu bersyukur . Ia percaya bahwa semua itu adalah karunia Tuhan yang tak pernah ada habisnya–habisnya. Makanya Balaho tidak pernah ambil pusing. Orang mau tinggal di Bukit Vila Mutiara, mau tinggal di Bukit Vila Mas atau apapun namanya, baginya meskipun hanya tinggal di gubuk reot tapi segalanya begitu enteng. Tak perlu pakai AC, tak perlu ada kulkas, bahkan tak perlu ada kendaraan. Sebab tempat tinggalnya itu tidak jauh dari tempat ia bekerja sebagai pemecah batu gunung. “Terimakasih Tuhan, Terima kasih.” sembah sujud Balaho tak putus–putus. “Ampunilah para leluhur kami yang telah mewariskan pekerjaan ini secara turun – temurun. Tempatkan mereka di tempat yang terbaik di sisiMu. Amiin.” Begitu kira–kira doa Balaho kemudian mengusap wajahnya yang hangat bau matahari, walau basah dengan keringat Balaho, Lalu melangkah di antara puing–puing batu gunung ia seperti menyeret sepatu laras yang kotor berdebu dan agak kebesaran di kakinya. Sebentar kemudian, ia sudah berada di bawah tenda biru yang dipasang begitu rupa. Sejak tadi sebenarnya Balaho sudah lapar dan bahkan sangat haus, namun karena terlalu berkeringat ia sedikit bertahan, membiarkan angin bertiup, walau terasa kering. Tanpa basa–basi lagi Balaho segera membuka bekal yang di bawa dari rumah. Sebungkusnya nasi campur ala isterinya dengan sayur kangkung, ikan goreng Cakalang kering, dan sebutir telur rebus berlumur tumis lombok. “Betapa sedapnya bau makanan yang dimasak isterinya.” Balaho seperti mengigau. Diam – diam ingat isteri di rumah yang saban hari melayani dengan sepenuh hati “ Sungguh! Aku sangat beruntung punya isteri selugu kamu, setulus kamu, sejujur kamu.” Pikiran Balaho melayang–layang ke puncak gunung.“ Sampai kapan pun aku tak pernah menyesali pertemuan kita Bau sama seperti ketika aku harus memilih bergumul dengan batu gunung setiap hari,“ kata seakan bicara dengan isterinya, Bau’ Meski adanya hanya batu gunung yang terkapar di sekitar laikya ikut menyanyi pula. Tetapi apapun Juga Balaho tak peduli lagi, ia makan dengan lahapnya. Demikian lahap sehingga ia benar–benar mandi keringat. Sekujur tubuhnya, basah kuyup lebih keras ketika ia bekerja memecahkan batu gunung selama berjam–jam! “Dunia ini ternyata begitu indah ketika bersamamu,” bisik Balaho pada akhirnya kepada isterinya Bau’, dan juga kepada batu–batu, tentunya. []
Maros, 2019
Nawir Sultan, pernah bekerja di perusahaan pembuka lahan, mantan manager Hotel Paris di Makassar serta banyak lagi pengalaman kerjanya. Ia seorang penyair. Puisinya banyak dimuat di antologi puisi dan beberapa bukunya sudah diterbitkan. Ia seorang penulis cerpen. Tinggal di Maros.