5 minute read

BUDI PEKERTI KI HaDJaR DEWaNTaRa

MENEROKa KEMBaLI PaWIYaTaN BUDI PEKERTI KI HaDJaR DEWaNTaRa

ARYA PANDHU Koordinator Bidang Kelembagaan dan Jejaring - Institute KAHADE Yogyakarta. Tinggal di Yogyakarta.

Advertisement

Adanya indikasi konsep budi pekerti dari Ki Hadjar Dewantara yang kini mulai memudar, serta kian ditinggalkan dan terpinggirkan di kalangan Dunia Pendidikan Nasional. Menjadi persoalan yang sangat dilematis hari ini. Pernyataan itu, menjadi tantangan tersendiri bagaimana gagasan pemikiran cemerlang dari seorang Tokoh Pendidikan dan juga Pahlawan Nasional ini sudah semakin tergerus oleh jaman yang kian terus berubah. Banyaknya persoalan bangsa yang silangsengkarut: sosial, moral, adab, etika, susila, kepedulian, dan sebagainya. Disinyalir menjadi indikator gagalnya pendidikan budi pekerti. Tak heran, jika Pendidikan Budi Pekerti sampai saat masih menjadi perbincangan yang menarik untuk kembali dikaji dan dicarikan solusinya. Mengingat, sejauh ini budi pekerti dalam pendidikan, lebih cenderung satu arah: kognitif - transfer knowledge. Apalagi dengan adanya informasi dan teknologi di era globalisasi saat ini. Konsep pawiyatan yang menjadi tempat pembelajaran atau penempaan yang diusung oleh Ki Hadjar inilah yang coba diteroka kembali dalam konteks kebijakan Pendidikan Nasional. Sosok pendiri Nationaal Onderwijs Instituut Tamansiswa atau Perguruan Nasional Tamansiswa (3 Juli 1922). Yang hari lahirnya, 2 Mei 1889, dijadikan sebagai Hari Pendidikan Nasional Indonesia. Gagasan pemikirannya yang spektakuler melampaui jamannya, membuatnya dikenal menjadi tokoh utama yang mengemukakan konsep: Tripusat Pendidikan, Sistem Among, Tut Wuri Handayani, Pancadharma dan lain-lainnya. Ki Hadjar juga disejajarkan dengan tokoh-tokoh pendidikan dunia lainnya, seperti Frobel, Montessorie, Peztalozzi, John Dewey, Rabindranat Tagore, dan lain-lain. Ketokohannya, di dunia pendidikan telah mewariskan tinta emas. Jasa dan jiwa kependidikannya yang tidak memihak pada kelompok, suku, dan golongan tertentu, akan tetapi bersifat nasionalistik, universal, dan multikultural menjadi tonggak penting perjalanan bangsa ini dalam hal memberantas kebodohan, kemiskinan dan keterbelakangan menjadi kekuatan dan semangat kita hari ini.

Pendidikan Karakter

Begitu pentingnya, landasan aspek Pendidikan Karakter, khususnya Budi Pekerti oleh Ki Hadjar, telah menjadikannya ruh dalam jiwa dari semua konsep pendidikannya selama ini. Bahkan pemerintah pun mengakui, hampir semua konsep Pendidikan Nasional merujuk pada pemikirannya. Metode yang digunakan adalah pendekatan sejarah, dengan teknik analisis isi, yang deskriptif dan komparatif. Data-data itu dianalisa untuk diambil kesimpulan dari setiap fenomena yang ada.

Menyikapi hal tersebut di atas, sekelompok pemerhati, pelaku dan praktisi dunia pendidikan, di Yogyakarta. Awal tahun ini, di era pandemi telah bersepakat. Untuk bersama menginisiasi dan menggagas lahirnya Institute KAHADE. Yang sekaligus di dukung dengan kehadiran Buletin Neng-Ning-NungNang sebagai media komunikasi di dunia pendidikan, sosial dan budaya yang terbit bulanan. Mengikuti, spirit yang ada dalam falsafah seputar perilaku manusia yang merujuk kepada kepribadian atau watak pemimpin yang tercermin dari pribadi Ki Hadjar Dewantara dalam Neng (Meneng) - Ning (Hening) - Nung (Hanung) - Nang (Menang). Tak pelak, filosofi itu menjadi semacam ruh dalam penguatan visi dan misi ke depannya dari buletin ini. Selain itu, secara aktif Institute KAHADE juga sudah langsung tancap gas, mengadakan berbagai agenda event, seperti serial daring - virtual Dialog Pendidikan yang rutin dihelat mingguan melalui aplikasi zoom, Festival Purbakala: Heritage Festival - Purba Mileniakala, Penerbitan Kumpulan Buku Puisi Nusantara, Seminar, FGD, dan Diskusi Kelompok Terpumpun - Pawiyatan Budi Pekerti untuk Indonesia menuju perhelatan akbar Satu Abad Tamansiswa.

Institusi baru yang dimotori oleh Aktivis LSM, Jurnalis, Seniman, Budayawan, Politisi ini, sangat diharapkan dapat ikut berperan dan berpartisipasi aktif dalam menyiapkan konsep dan strategi solutif yang lebih aspiratif dan aplikatif untuk meneroka: melihat, mengamati, memetakan, merangkai, mengartikan dan memaknai kembali setiap gagasan pemikiran revolusioner terkait Pawiyatan Budi Pekerti dari Sang Begawan Pendidikan menyambut Satu Abad Tamansiswa di tahun 2022 nanti. Hasil penelitian, pemikiran Ki Hadjar tentang karakter tidak ditemukan landasan yang bertalian erat dengan keimanan, melainkan berpijak pada kepribadian bangsa yang universal. Hal ini, dapat dikatakan bahwa sudah sejak awal Ki Hadjar memang menginginkan agar bangsa Indonesia memiliki sikap dan kepribadian yang baik dan tetap berpijak pada kepribadian bangsa Indonesia yang memiliki budaya dan kepribadian yang khas dengan kearifan lokalnya masing-masing. Dari beberapa penelusuran hasil penulisan yang dikumpulkan oleh beberapa pemerhati dan pratiksi yang datang dari lingkungan Tamansiswa. Sejauh ini, dapat disimpulkan bahwa keunggulan yang sekaligus menjadi kelebihan dari gagasan pemikiran Ki Hadjar. Adalah berbagai aspek yang terkait dengan pendidikan seperti visi, misi, tujuan, kurikulum, metode, dan tahapan pendidikan lainnya harus dirumuskan berdasarkan kemauan bangsa Indonesia yang berasal dari berbagai suku, etnis, dan budaya yang beraneka ragam. Sehingga gagasan pemikiran dari Ki Hadjar inilah yang kemudian menjadi acuan penyelenggaraan pendidikan nasional hingga saat ini. Apalagi, saat itu berbagai gagasan pemikiran pendidikan Ki Hadjar yang sudah ditulis dalam berbagai karangan, akhirnya mendapat sambutan hangat dari Presiden Republik Indonesia pertama Ir. Soekarno. Menurut Soekarno, “Kalau dulu tak ada seorang yang bernama Ki Hadjar Dewantara, keadaan pergerakan kebangsaan Indonesia tak akan cemerlang. Seperti yang kita alami”.

Jiwa Kepemimpinan

Sebagaimana gagasan yang sarat makna filosofis tentang prinsip pendidikan yang berbunyi Ing Ngarso Sung Tulodo, Ing Madya Mangun Karso, Tut Wuri Handayani yang arti intinya Ketika berada di belakang, pengajar atau guru harus bisa memberikan semangat maupun dorongan kepada para muridnya. Ketiga semboyan yang mengulas bagaimana hakikat jiwa kepemimpinan dari peran seorang pemimpin seutuhnya ini. Adalah berasal dari buah pemikiran seorang Ki Hadjar Dewantara atau juga dikenal sebagai Raden Mas Soewardi Soerjaningrat. Turunan Bangsawan Jawa dari Kadipaten Puro

(Foto dokumentasi penulis).

(Foto dokumentasi penulis).

Pakualaman Yogyakarta yang semasa hidupnya suntuk berkutat di Dunia Pendidikan Nasional hingga akhir hayatnya. Sumbangsih pendidikan ketamansiswaan Ki Hadjar pada hakekatnya adalah Pendidikan Budi Pekerti. Seperti halnya dalam kedua bukunya tentang Pendidikan dan Kebudayaan yang melegenda itu. Baginya, pendidikan adalah usaha kebudayaan yang bermaksud memberi bimbingan dalam hidup dan tumbuh kembangnya jiwa peserta didik, agar dalam menjalani garis kodrat pribadinya serta dalam menghadapi pengaruh lingkungannya peserta didik mendapat kemajuan hidup lahir dan batin.

Karenanya, tujuan pendidikan itu bisa bersikap Nrima Ing Pandum, merasa tercukupi kebutuhan lahir dan batinnya dari hasil usahanya yang optimal. Bebas merdeka untuk berpikir dan berbuat sejauh tidak mengganggu kebebasan orang lain. Bertindak Swadisiplin yaitu disiplin atas kesadaran sendiri. Selalu menyeimbangkan Hak dan Kewajiban asasinya. Saling kasih sayang, saling menghormati dan menghargai perbedaan, tolong-menolong dan gotong-royong, serta bersatunya Pemimpin dengan yang Dipimpin. Karena sejatinya, mengutip ulasan dari salah satu Pamong Jiwa Merdeka, PPIKJ DIY, Ki Sutikno, “Dengan berilmu mulia dan berbudi pekerti luhur menjadi intisari atau esensi yang paling hakiki dalam hidup bermasyarakat di negeri yang ber-Bhinneka Tunggal Ika ini.” Dan sebagai aplikasinya adalah ketika kita sudah memiliki bekal Ilmu - Keahlian - Agama sebisa mungkin juga dapat mengedepankan nilai-nilai sportivitas dalam hidup dan kehidupan. Di sini, nilai-nilai budi pekerti yang menjadi tolak ukur adalah Berjiwa Nasionalis, Agamis, Santun yang Komunikatif, Berintegritas Tinggi, Berlaku Jujur, Berprestasi Tinggi, Istimewa Jiwanya, Aktif Bekerjasama, Suka Menolong, Penuh Toleransi, Memiliki Keyakinan yang Tinggi, Menjadi Manusia yang Bertanggungjawab, Menjadi Manusia yang Merdeka: Batin - Pikiran - Tenaga, Serta selalu tanggap, tanggon dan trengginas. Akhir kata, mengutip dari Sastra Herjendrayuningrat Pangruwating Dyu: Lawan Sastra Ngesti Mulya yang artinya Dengan Ilmu Pengetahuan Kita Menuju Kemuliaan. Ilmu yang luhur dan mulia menyelamatkan dunia serta melenyapkan kebiadaban. Sejalan dengan tema HUT RI ke-76 tahun ini: Indonesia Tangguh, Indonesia Tumbuh. []

This article is from: