MAJALAH Edisi 37 LPM aL-Millah IAIN Ponorogo

Page 1



Daftar Isi

Salam redaksi 4 Editorial 4 Aspirasi 6 Isu 8

SIKAP SETENGAH HATI NEGARA DAN KAMPUS, ATAS RUU PKS Bahasan Utama 13

GERAKAN PEREMPUAN DARI MASA KE MASA: MELAWAN DOMESTIKASI, MENUMBANGKAN PATRIARKI Laporan Utama 19

POLEMIK PEMENUHAN HAK PEKERJA PEREMPUAN, SUDAHKAH DILAKUKAN (?)

Kolom 53 budaya 57 Kampusiana 61

Liputan Khusus 27

Berdiri Megah, Material Gedung FEBI Belum Lunas Dibayar

Khazanah 35 Kolom 42 SKSD 45

Sosok 66 Alamku 71 Puisi 75 Cerpen 77 Resensi film 80 Resensi Buku 83 Bilik Kampus 87 Komik Receh 89

Marak Kasus Pelecehan Seksual di Berbagai Kampus, IAIN Ponorogo Belum Aman

Majalah LPM aL-Millah Edisi 37

3


Salam Redaksi

Salam Persma..!!

L

ika-liku proses penerbitan Majalah edisi 37 LPM aL-Millah bukanlah hal yang mudah bak membalikkan telapak tangan, dalam prosesnya butuh andil dari tenaga, pikiran, waktu, dan juga menguras emosi. Oleh karena itu, rasa syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, atas limpahan karunia dan ridho-Nya kami dapat menyelesaikan penerbitan Majalah edisi 37 LPM aL-Millah. Semoga karya jurnalistik ini bisa bermanfaat bagi pembacanya. Rasa terimakasih kami sampaikan kepada segenap kru atas segala kontribusi yang telah dicurahkan hingga rampungnya penggarapan majalah ini. Pun kepada tim editor yang turut memberikan andil dalam setiap rubrik yang disajikan. Berbincang mengenai perempuan, tak heran jika yang terbesit adalah kaum yang lemah, tugasnya hanya di rumah dan ruang geraknya terbatas. Padahal perempuan bisa lebih dari itu, banyak hal yang bisa dilakukan oleh perempuan. Bahwa perempuan juga berhak untuk speak up, berhak mengeksplor dirinya, dan perempuan juga harus percaya bahwa ia bisa. Ia berhak untuk merdeka. Dalam karya ini, kami mengambil judul yaitu “Perempuan Bicara Atas Nama Merdeka”. Judul tersebut dilatarbelakangi karena perempuan kerap diidentikkan dengan kehidupan yang serba lemah, mulai tingkah laku hingga perlakuan masyarakat terhadapnya. Dalam lingkup masyarakat modern, perempuan tidak lagi dikenal sebagai manusia yang lemah, tetapi juga bisa segala hal oleh karenanya perempuan lambat laun memperoleh ruang bicara di masyarakat dan memperjuangkan hak-haknya untuk meraih kemerdekaan. Kami menyadari bahwa penulisan majalah kali ini tak luput dari kekurangan, oleh karena itu kritik dan saran yang bersifat konstruktif sangat kami harapkan demi sempurnanya karya ini. Besar harapan kami, dari terbitnya majalah ini semoga bisa membuka pandangan dan pikiran semua terkait perempuan, sekaligus menjadi pemantik atau bahan diskusi selanjutnya. Selamat membaca…!!!

4

Majalah LPM aL-Millah Edisi 37

SUSUNAN REDAKSI MAJALAH MAHASISWA IAIN PONOROGO EDISI 37 Diterbitkan oleh: LPM aL-Millah IAIN Ponorogo Pelindung: Rektor IAIN Ponorogo Pemimpin Umum: Umi Ula Romadhoni Pemimpin Redaksi: Dendy Pramana Putra Layouter: Irfan Waskito Wicaksono Erfin Wisda Ardiyan Aliffanda Nur Fitriandini Desain Grafis: Agus Musthofa Ilustrator: Chandra Nirwana Harsono Putri Fotografer: Tim Fotografer Editor: Tim Editor Staf Redaksi: Umar Alix Nasuha, Siti Umi Nafi’ah, Fanisa Rifda Saliimah, Dwi Aziz Azizah Agustina, Ahmanda Fitriyana Fauzi, Lia Hikmatul Maula, Eka Purwaningsih, Ririn Suhartanti, Yulia Aswaty, Shofia Mar’atus Sholikhah, Nur Khayati, Intan Sulistyana, Titis Sediyani, Syamsulhadi, Dhamuri, Zanida Iqra Minati, Tri Budi Utami, Nafiatul Mualifah, Rista Purnamasari, Rian Fergi Zakarya, Titah Gusti Prasasti, Hanifa Faizul Huda, Roudlotul Husna, Afriana Dwi Utami, Anggi Irnandia Ivandia Putri, Anis Sarifatul Maisaroh, Mustika Ratri, Ika Rochmawati, Febri Lorenza Alamat Redaksi: Jl. Pramuka No. 156 Gd. BEM Lt. 2 Ronowijayan, Siman, Ponorogo Email: lpmalmillah@gmail.com Contact Person: 087888502657 (Ula) 085735340866 (Dendy)


Editorial K

edudukan kaum perempuan dari zaman dahulu dianggap sebagai subordinasi kedua setelah laki-laki. Tentunya hal ini bertentangan dengan hakikat manusia yang dilahirkan sama. Seiring berjalannya waktu, Indonesia telah melaksanakan berbagai konvensi PBB dalam berbagai kebijakan publik yang berisikan perjuangan kesetaraan gender. Ada pun kebijakan tersebut antara lain Undang-Undang Republik Indonesia No. 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita dan Undang-Undang Republik Indonesia No.34 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Makna kebijakan tersebut mewakili kedudukan perempuan yang seharusnya diperlakukan secara adil. Ada pun kebijakan tersebut berbunyi: “Bahwa segala warga Negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintah, sehingga segala bentuk diskriminasi terhadap wanita harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945”. Dengan ratifikasi Konvensi Wanita tersebut, maka segala bentuk diskriminasi harus dihapuskan.

Misalnya seorang pemimpin yang tak melulu dipegang oleh laki-laki, perempuan pun berhak mendapatkan posisi tersebut. Dalam ranah publik pun perempuan harus diberikan kebebasan untuk duduk di jajaran penting dalam lembaga pemerintahan. Dengan demikian perempuan mampu mengembangkan produktivitasnya dan kesejahteraan masyarakat akan tercapai. Akan tetapi perempuan masa kini masih mengalami berbagai rintangan dalam mewujudkan kedudukannya. Walaupun kebebasan telah digaungkan, masih banyak diskriminasi perempuan yang menghambat gerak serta kinerja para perempuan. Di

samping itu perempuan tidak berpikir secara rasional terhadap keadaaan yang terjadi. Selalu mengumandangkan emansipasi wanita tetapi tidak membuktikan dirinya layak untuk berkontribusi di dalam ranah publik dan kehidupan masyarakat. Redaksi majalah edisi 37 LPM aL-Millah mencoba melakukan analisis terhadap keadaan perempuan masa kini. Ada beberapa pokok penting yang perlu diketahui mengenai perempuan. Seperti gerakan perempuan dalam memperjuangkan hak-hak dan kesetaraan gender. Kondisi pekerja perempuan saat ini dan perlindungan yang semestinya didapat, serta berbagai kekerasan yang menimpa perempuan dan penanganan kekerasan seksual tersebut. Walaupun kebebasan perempuan gencar dikumandangkan dan berbagai kebijakan telah ditorehkan, namun masih dijumpai ketimpangan perempuan yang tidak bisa dianggap sepele. Ketimpangan pada perempuan tidak hanya sebatas kekerasan, tetapi juga dalam bentuk marginalisasi, subordinasi dalam keputusan politik dan ketimpangan dalam sosial. Lalu, apakah perempuan masa kini sudah merdeka? Majalah LPM aL-Millah Edisi 37

5


Aspirasi

Keresahan yang saya sampaikan di sini yaitu ingin belajar langsung di kampus, dan sebaiknya pembelajaran online ini segera berakhir. Mencari ilmu lebih baik dengan tatap muka, sehingga bisa ditanyakan masalah yang belum jelas terkait mata kuliah dan cara agar pembelajaran lebih efektif (Diyah Rahmawati, Hukum Keluarga Islam semester 1)

Ya, itulah keterbatasan yang namanya online. Sebenarnya semua juga ingin tatap muka. Memang kalau online, nilai itu tidak dapat tersampaikan dengan maksimal yang bisa hanya ilmunya saja. Tetapi kalau menggunakan E-learning saya jamin insyaallah semua akan tersampaikan. Kami di LPM (Lembaga Penjamin Mutu) kenceng menggunakan E-learning, insyaallah semua unsur pembelajaran ada di situ. Tetapi memang karakter nilai itu menjadi tereduksi, dan itu nanti bisa diatasi dengan Zoom. Tidak dipungkiri, masa pandemi ini serba keterbatasan tidak hanya di kampus IAIN Ponorogo tetapi juga dimana-mana. Kemudian sebagai langkah pertama pembelajaran di E-learning, dengan dibelinya beberapa perangkat TB (tera-byte) yang harganya ratusan juta. Namun, dalam perjalanannya kebutuhan masih kurang besar, sehingga ketika digunakan bersama-sama di waktu paginya menjadi lemot atau error, itu yang bermasalah server-nya bukan aplikasi. Semester yang akan datang kita tetap daring, maka akan diperkuat lagi untuk membeli alat semacam harddisk. Kami berusaha menangani bagaimana menjamin pembelajaran ke depan, dengan rencana membeli alat tadi dapat dimungkinkan kinerjanya akan lebih kuat. Semester genap nanti masih melanjutkan program E-learning. Dengan E-learning itu ternyata bisa meningkatkan webometrics. Oleh karena itu, sejak awal mahasiswa harus disiplin untuk mencoba masuk E-Learning. Seandainya di E-learning itu lemot bisa didukung oleh WAG (WhatsApp Group) dan lainnya agar saling melengkapi. Saya pun juga merasa tidak puas dengan pelaksanaan E-learning yang terus menerus. Dosen pun juga merasa kurang saat menyampaikan materi melalui aplikasi online. Apalagi, trend-nya itu semakin tidak disiplin dan semakin jenuh di akhir-akhir (pembelajaran). Kalau komunikasi antara dosen dan mahasiswa bagus insyaAllah tetap (lancar) kok. Kami juga sudah melaporkan pada forum PTKIN, bahwa ada penurunan kompetensi yang signifikan, karena tidak bisa mencapai 85% seperti yang diharapkan. Kemampuan menalar itu menurun, semua menurun. Sudah berbagai usaha untuk memperbaikinya. Kemarin sebenarnya diberi kesempatan untuk blended (daring dan luring), namun untuk menerapkan itu semua butuh energi yang luar biasa apalagi di IAIN Ponorogo jumlah mahasiswanya mencapai hampir puluhan ribu. Lebih baik mengikuti aturan yang ada, karena untuk melaksanakan kuliah luring perlu mendapatkan izin ke Satgas Covid-19. Setelah di survey terkait domisili mahasiswa, hampir 25% tinggal di luar daerah dan berada di zona merah. (Mukhibat, Ketua Lembaga Penjamin Mutu)

6

Majalah LPM aL-Millah Edisi 37


Aspirasi

Kampus 2 semakin bagus dan indah setelah mulai berbenah seiring waktu. Apalagi kampus 2 sudah ada kantin, area halaman sudah dipaving, sudah dibangun masjid dan gasebo, serta rumput di stadion juga selalu dirapikan. Namun, akses jalan masuk kampus 2 tolong untuk segera diaspal atau dipaving. (Amin Subakti, Pendidikan Agama Islam Semester 5)

Karena lahan kampus itu merupakan sawah, secara teknis pembangunan pasti ada tata caranya. Pertama dikeringkan, kemudian tanah yang masih memiliki tekstur berair diberi tanah (padat) supaya mengurangi daya serap air dari tanah. Maka, setelahnya baru bisa dibangun gedung-gedung yang ada di kampus 2 ini. Jika bertanya mengapa pembangunan jalan tidak didahulukan? Karena dalam teori pembangunan, semua diawali dari belakang kemudian ke depan. Jadi, secara teknis tidak mungkin paving jalan dibangun di awal pembangunan, sebab nantinya akan dilewati oleh truk yang membawa beban material sebesar 15.000 ton. Oleh karena itu, jalan pasti tidak bisa dilewati dan akan cepat menjadi rusak, itulah mengapa pembangunan kampus berawal dari belakang. Dengan demikian, jalan kampus akan dibangun seiring dengan pembangunan kampus yang dimulai dari belakang. Perencanaan pembangunan kampus sudah dilakukan dengan dicicil sedikit demi sedikit sampai terselesaikan. Sebelumnya sudah dilakukan juga pengerasan tanah agar akses jalan masuk kampus 2 bisa dilalui untuk sementara waktu selama pembangunan berlangsung. (Muhtadin, Kepala Bagian Sarana dan Prasarana)

Kenapa Sistem Informasi Akademik (Siakad) IAIN Ponorogo sering terjadi masalah atau error? Tolong berikan solusi agar bisa digunakan tanpa kendala. (Syifaul Ayuni, Hukum Keluarga Islam Semester 3)

Mengapa terjadi problem demikian? Jadi, terkait dengan error pada Siakad memang disebabkan karena website tersebut selalu dilakukan update seperti penyesuaian dengan kebutuhan-kebutuhan misalnya dengan (tambahan) kuesioner, perubahan tampilan dan lainnya, sehingga memang sering terjadi kendala. Tetapi terkait persoalan tersebut pihak kampus sedang berusaha untuk melakukan perbaikan pada sela-sela waktu ketika tidak ada keaktifan perkuliahan. Agar tidak mengganggu kegiatan perkuliahan yang sedang berlangsung. Apakah tidak akan membuat mahasiswa menjadi kebingungan, terlebih bila dalam penanganannya terkesan lambat? Iya memang, namun hanya mengganggu proses ketika melihat Kartu Hasil Studi (KHS), secara pokok tidak mengganggu materi-materi perkuliahan. Serta tetap akan adanya update yaitu penyempurnaan-penyempurnaan dalam website, dan penambahan-penambahan yang disebut dengan upgrade. Dua hal itu memang berkala setiap tahun yang dilakukan oleh kampus. Dengan begitu, perbaikan update tersebut bisa dikatakan selesai ketika semua fasilitas website siakad sudah berjalan dengan lancar, dan bisa digunakan oleh mahasiswa. (Ahmad Zainal Abdi, Kepala Bagian Akademik dan Kemahasiswaan).

Majalah LPM aL-Millah Edisi 37

7


Isu

SIKAP SETENGAH HATI NEGARA DAN KAMPUS, ATAS RUU PKS “Seharusnya kampus menindak tegas terhadap pelaku-pelaku KS, karena kampus merupakan lembaga/instansi pendidikan yang dinilai paling berspektif gender.” Haniek Hidayati.

H

ingga saat ini, kasus kekerasan seksual terhadap perempuan terus terjadi lonjakan kenaikan. Berdasarkan catatan tahunan Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), selama tahun 2019, ada setidaknya 431. 178 kasus kekerasan terhadap perempuan. Kasus atas kekerasan seksual ini naik sebesar enam persen dari tahun sebelumnya, yakni; 406. 178 kasus, pada tahun 2018. Lonjakan kasus kekerasan seksual terhadap perempuan yang semakin meningkat menunjukkan kegagalan negara dalam menjalankan kewajibannya atas penghapusan diskriminasi terhadap perempuan. Kewajiban ini merupakan komitmen yang harus dijalankan bagi negara yang telah meratifikasi konvensi CEDAW (The Convention on the 8

Majalah LPM aL-Millah Edisi 37

Elimination of All Forms of Discrimination against Women). Yang diratifikasi sejak 24 Juli 1984 melalui UU RI No.7 Tahun 1984. Konvensi ini menjabarkan tentang prinsip-prinsip hak asasi perempuan, norma-norma, dan standar kewajiban yang harus dilakukan negara atas penghapusan diskriminasi terhadap perempuan. Selain sebagai komitmen yang harus dijalankan bagi negara yang telah meratifikasi konvensi CEDAW. Kewajiban atas penghapusan diskriminasi terhadap perempuan juga termaktub dalam Undang-Undang dasar (UUD) 1945 Pasal 28 ayat 5 tentang pemenuhan hak asasi manusia. Karena kasus kekerasan seksual terhadap perempuan merupakan salah satu bentuk kejahatan kemanusiaan. Selain itu pemenuhan hak asasi manusia

pun tidak memandang jenis kelamin, agama, suku, kedudukan, dan golongan. Artinya, negara pun telah gagal dalam mengemban amanah menegakkan dan menjamin perlindungan hak asasi manusia melalui peraturan perundang-undangan yang ada. Lebih lanjut, berkaca pada jumlah kasus yang semakin meningkat, maka dibutuhkan payung hukum secara lebih spesifik mengatur tentang kasus kekerasan seksual, yang mampu memberikan efek jera terhadap pelaku serta terjaminnya hakhak korban untuk mendapatkan keadilan dan perlindungan atas tindakan kekerasan tersebut. Karena dalam peraturan perundang-undangan yang ada belum mampu mewadahi hal diatas. Bahkan di dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) pun belum mengenal istilah pelecehan seksual. Kondisi demikianlah yang kemudian mendorong Komnas


Isu

Ungkap Endrik kepada crew LPM aL-Millah, melalui wawancara online.

Ilus: Chandra

Perempuan dan Forum Pengada Layanan berinisiatif merumuskan Rancangan Undang-Undang Perlindungan Kekerasan Seksual (RUU PKS) ditahun 2012 dan diajukan ke DPR-RI pada 2014 setelah menjadi draf RUU secara utuh. Namun hingga kini hanyalah tinggal rancangan, karena belum juga disahkan. Urgensi RUU Kekerasan Seksual Lahirnya RUU PKS bertujuan untuk mengisi ketiadaan rumusan secara lebih spesifik tentang pendefinisian, pengkategorian dan pemidanaan terhadap bentuk-bentuk kekerasan seksual yang tidak diatur dalam KUHP, misalnya pelecehan seksual, eksploitasi seksual, pemaksaan pelacuran, perbudakan seksual, dan penyiksaan seksual. Dengan adanya RUU PKS yang bersifat khusus (lex specialist) juga bertujuan memberikan jaminan kepastian hukum

dan perlindungan bagi korban. Dari 15 (Lima belas) jenis kekerasan seksual, definisi setiap jenis kekerasan seksual diatur dalam sembilan pasal, dimana masing-masing pasal mengatur unsur perbuatan yang dikategorikan sebagai tindak pidana. (Dilansir dari lsc.bphn.go.id). Dengan adanya jaminan kepastian hukum serta perlindungan bagi korban, akan seirama dengan fungsi adanya hukum itu sendiri, yakni mampu memberikan jaminan serta kepastian hukum terhadap masyarakatnya. Seperti yang dikatakan Direktur Lembaga Konsultasi Bantuan Hukum Kajian Penelitian dan Pengembangan (LKBH kalitbang) IAIN Ponorogo, Endrik Safudin. “Hal ini agar lebih terjamin kepastian, kemanfaatan dan keadilan terutama bagi para korban. Selain itu, hukum harus memeberikan jaminan terhadap keamanan dan kenyamanan dalam lalu lintas pergaulan masyarakat”,

Kasus kekerasan seksual di Perguruan Tinggi (PT)? Sementara itu, di dalam lini terdekat mahasiswa, yakni perguruan tinggi (Baca: kampus). Kasus kekerasan seksual pun kerap terjadi, baik di Perguruan Tinggi Negeri maupun Swasta, entah perguruan tinggi Agama atau tidak. Diantaranya kasus kekerasan seksual yang menimpa Agni, dari kampus Universitas Gajah Mada (UGM). Dimana berupa pemaksaan perkosaan yang menimpanya ketika sedang melaksanakan kegiatan KKN Mahasiswa di Maluku pada tahun 2017 dimana pelakunya adalah salah satu mahasiswa peserta KKN itu sendiri. Satu tahun berselang, kasusnya baru diketahui publik melalui pemberitaan balairungpress.com di tahun 2018 dengan judul “Nalar Pincang UGM Atas Kasus Perkosaan”. Dan menyusul pada 2019, Tirto.id merilis kasus kekerasan seksual yang terjadi di Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang. Dalam kasus ini pelaku tak lain adalah salah satu dosen di kampus tersebut, dengan korbannya yang lebih dari satu mahasiswi. Berita yang bertajuk “Dosen Predator Yang Masih Berkeliaran di UIN Malang” itupun membuat gempar kampus Islam tersebut. Lebih jauh lagi, berdasarkan hasil testimoni, #atas nama baik kampus yang dilakukan oleh VICE Indonesia berkolaborasi Majalah LPM aL-Millah Edisi 37

9


Isu

10

Majalah LPM aL-Millah Edisi 37

Bukan malah melindungi pelaku. “Seharusnya kampus menindak tegas terhadap pelaku-pelaku KS, karena kampus merupakan lembaga/instansi pendidikan yang dinilai paling berspektif gender”, ungkapnya. Banyaknya kasus kekerasan seksual yang terjadi di perguruan tinggi, menunjukkan indikator minimnya kesadaran hukum di dalam perguruan tinggi tersebut, seperti yang disampaikan Endrik Safudin. “Banyaknya kasus yang

ada di perguruan tinggi, merupakan salah satu indikator minimnya kesadaran hukum. Sehingga menjadi tugas kita bersama untuk menumbuhkan kesadaran hukum itu”, ungkap Endrik. Dikeluarkan dari Prolegnas Prioritas Kendati telah rilis data kekerasan seksual dan testimoni tentang meningkatnya kasus kekerasan seksual, serta banyaknya diskusi tentang pentingnya

Ilus: cakrawalaide.com

dengan Tirto.id dan The Jakarta Post mendokumentasikan testimoni dari para penyintas kasus kekerasan seksual di kampus-kampus di Indonesia. Tim Nama Baik Kampus mendapati 207 orang yang memberikan testimoni. Dari data itu, 174 kasus di antaranya berkaitan dengan institusi perguruan tinggi. Artinya, kasus-kasus tersebut dilakukan oleh warga kampus, terjadi di kampus, atau di kegiatan di lu ar kam pu s yang m asi h berkaitan dengan kehidupan universitas. Dari kesaksian yang masuk, mayoritas pelapor berasal dari Pulau Jawa, mencapai 88 persen. Secara keseluruhan kasus pelecehan dan kekerasan seksual di kampus tersebar di 29 kota dari 79 perguruan tinggi berbeda. Dari total testimoni yang bisa dihimpun tim Nama Baik Kampus, hanya 29 orang atau tidak lebih dari 20 persen di antaranya yang berani melapor ke aparat hukum atau ke kampus. Alasan mereka yang tidak melapor kebanyakan malu dan takut disalahkan (victim blamming). Kendati pun demikian, PT belum mampu menindak secara tegas kepada pelaku kasus kekerasan seksual yang ada, seperti yang terjadi di UIN Maulana Malik Ibrahim Malang, dan kasus Agni di UGM. Ketua WCC (Woman Crisis Center) Ponorogo, Haniek Hidayati mengatakan, seharusnya kampus mampu menindak secara tegas pelaku kasus kekerasan seksual. Karena kampus merupakan salah satu instansi pendidikan yang dirasa mempunyai sikap sensitif gender.


Isu

RUU PKS tak membuat DPR-RI tergerak untuk membahas dan mengesahkannya. Meski telah bergulir sejak 2012 hingga 2021 saat ini. Malah di pertengahan tahun 2020, tepatnya pada tanggal 30 Juni 2020, DPR mengeluarkan RUU PKS dari Prolegnas prioritas 2020. Hal ini pun disayangkan oleh banyak pihak, khususnya aktivis perempuan, salah satunya dari ketua WCC Ponorogo. “Sangat disayangkan RUU PKS dikeluarkan dari Prolegnas karena kasus kekerasan seksual jumlahnya kian bertambah dan kekerasan seksual bisa menimpa siapa saja. Jadi turut prihatin karena RUU PKS dikeluarkan dari Prolegnas,” terang Hanik. Dikeluarkannya RUU PKS menambah rentetan prestasi buruk negara, karena selama ini tidak bersikap serius terhadap RUU PKS. Ketidakseriusan ini terlihat dari sikap tarik-ulur di tengah makin banyaknya kasus kekerasan seksual dan mengeluarkannya dari Prolegnas prioritas di saat pandemi COVID-19 ini. “Negara bersikap tarik ulur atau tidak serius dalam menangani RUU PKS. Karena RUU PKS justru ditarik dari prolegnas prioritas pada saat tingginya kasus kekerasan seksual di masa pandemi,” tambahnya. Lebih lanjut lagi, selain adanya tarik-ulur yang ada di dewan legislatif, juga timbul pro dan kontra. Seperti adanya anggapan bahwa RUU PKS pro zina, LGBT. Perihal ini pun Hanik menanggapi bahwa adanya anggapan RUU PKS pro zina, LGBT, serta bertentangan dengan syariat adalah karena belum memahami substansi pasal-pasal

dalam RUU PKS. “Pro zina, LGBT itu tidak ada, kekeliruan (hoax) belaka. Jika kita memahami substansi pada pasal-pasal RUU PKS, sebenarnya tidak ada pasal yang penafsirannya seperti itu,” ucap Haniek. Senada dengan itu, ketua Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA) IAIN Ponorogo periode 20172021, Evi Muaf iah mengatakan, pro kontra ini seolah seperti diada-ada saja, adapun timbulnya hal tersebut lantaran belum memahami secarara penuh substansi yang ada dalam RUU PKS, seperti yang dilakukan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang hanya mengkritisi judul dan pengertian kekerasan seksual (pada pasal 1) saja, tanpa melihat substansi yang terkandung di dalamnya. “Adanya pro kontra itu hanya dibuat-buat saja menurutnya, antara yang pro dan kontra sebenarnya kalau mau kita telisik lagi lebih jauh, sisi kemanusiaan dari RUU PKS lebih dominan daripada hanya sekedar mempertemukan/mempertentangkan antara yang sesuai syariat jadi seperti di ada-ada saja. Apalagi kemudian yang tidak setuju dari temen-temen PKS,” ujar Evi. Adanya sikap yang tak serius dari DPR-RI dalam memberikan regulasi hukum terhadap korban kasus kekerasan seksual dan kurang adanya dukungan secara penuh dari perguruan tinggi sangat disayangkan, mengingat kasus kekerasan seksual semakin meningkat di setiap tahunnya. Martha Eri Safira, dosen hukum di IAIN Ponorogo mengatakan bahwasanya RUU PKS adalah

suatu bentuk aturan yang dapat melindungi dan memberikan keadilan bagi semua kalangan, bukan hanya perempuan, namun juga laki-laki, baik anakanak atau mereka yang dewasa. Serta mampu mengakomodir semakin meluasnya makna, bentuk dan jenis kekerasan seksual. “Semoga pasal-pasal yang masih ambigu, belum sinkron dan harmonis, masih tumpang tindih bisa segera direvisi dan diperbaiki, sehingga bisa dimasukkan dalam Prolegnas tahun depannya kembali untuk mendukung aturan-aturan UU khusus yang sudah ada dan bersinergi satu dengan yang lainnya,” harapnya. Sikap Setengah Hati Negara dan PT Bergulir hingga tahun 2021 ini, RUU PKS belum ada pembahasan secara lebih lanjut oleh dewan legislatif. Dengan tersuguhnya data tentang naiknya kekerasan seksual, baik kekerasan seksual dalam bentuk verbal maupun nonverbal tak membuat anggota dewan tergerak untuk melakukan pembahasan yang lebih konprehensif. Bahkan di saat negara ini ditimpa bencana wabah COVID-19 yang mana semua aktivitas dialihkan secara online, kasus kekerasan seksual nonfisik, yang disebut sebagai Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO) semakin meningkat. Berdasarkan data dari Komnas Perempuan, bulan Januari hingga Mei tahun 2020, selama physical distancing diberlakukan rata-rata laporan yang diterima Komnas Perempuan adalah KBGO, beruMajalah LPM aL-Millah Edisi 37

11


Isu

pa kiriman gambar atau video bernuansa seksual via pesan langsung kepada korban di Instagram atau Twitter dari pelaku yang seringkali memakai akun palsu. Sementara itu, semakin meningkatnya kasus kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan perguruan tinggi. Komnas Perempuan membuat nota kesepahaman (MoU) dengan Direktur Jenderal Pendidikan Islam (Dirjen Diktis) Kementerian Agama (Kemenag) untuk menyusun aturan tentang Standar Operasional Prosedur (SOP) pedoman pencegahan dan penanggulangan kekerasan seksual pada Perguruan Tinggi Keagamaan Islam (PTKI). Tindak lanjut dari MoU tersebut melahirkan Surat Keputusan (SK) Nomor 5494 Tahun 2019. SK yang diharapkan bisa menjadi payung hukum bagi upaya pencegahan dan penanganan kasus kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan PTKI. Sebagai tindak lanjut dari dikeluarkannya pedoman tersebut, kepada PSGA masing-masing PTKI

diminta untuk menjadi leading sector terhadap teknis kelanjutan dari pedoman tersebut. Yakni mendorong Rektor untuk membuat peraturan turunan dari SK tersebut di masing-masing perguruan tinggi dan menyosialisasikannya kepada masyarakat kampus agar terciptanya pengarusutamaan kesadaran gender di PTKI. Akan tetapi, tak semua PTKI menyambutnya secara positif, demikian halnya yang terjadi di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Ponorogo. Kampus masih setengah hati untuk menerbitkan SK turunan, kendati telah didorong oleh PSGA untuk menandatangani aturan tersebut. “Ada dukungan dari kampus, tapi dari pihak bu rektor sendiri masih setengah hati karena saya paksa untuk menandatangani itu. Jadi, substansinya saya kira beliau belum memahami itu,” ujar Evi saat diwawancarai via WhatsApp (14/01/2021), selaku kepala PSGA IAIN Ponorogo. Kini Evi Muafiah menjabat sebagai Rektor IAIN Ponorogo periode 2021-2025.

Pernyataan itu dipertegas oleh Direktur LKBH Kalitbang IAIN Ponorogo, Endrik Safudin, ia mengatakan bahwasannya, sejauh ini belum ada peraturan rektor tentang pencegahan dan penanggulangan kekerasan seksual di IAIN Ponorogo. “Sejauh ini belum ada Peraturan Rektor tentang penanganan kekerasan seksual,” tegasnya. Sudah seharusnya, dengan adanya fakta, baik yang tersuguh di tulisan ini maupun di banyak media lain, tidak ada lagi alasan negara untuk mengulur pengesahan RUU PKS. Serta perguruan tinggi yang digadang sebagai agent of change memberikan dukungan penuh untuk segera disahkannya RUU tersebut, untuk terciptanya kesadaran hukum dan pengarusutamaan kesadaran gender (khususnya) di lingkungan perguruan tinggi. (Umar Alix Nasuha_26.17.180) (Titis Sediyani_27.18.187) (Erfin Wisda Ardiyan_28.19.199)

“Banyaknya kasus yang ada di perguruan tinggi merupakan salah satu indikator minimnya kesadaran hukum. Sehingga menjadi tugas kita bersama untuk menumbuhkan kesadaran hukum itu.” Endrik Safudin

12

Majalah LPM aL-Millah Edisi 37


Bahasan Utama

GERAKAN PEREMPUAN DARI MASA KE MASA:

MELAWAN DOMESTIKASI, MENUMBANGKAN PATRIARKI

Ia (perempuan) tidak wajib patuh kepada siapapun, siapapun juga, kecuali terhadap suara batinya, hatinya. (RA. Kartini)

Ilus: Chandra

K

iprah perempuan dalam memperjuangkan kemerdekaan tak bisa dipandang sebelah mata. Banyak tokoh perempuan ikut andil memperjuangkan berdirinya negeri ini. Upayanya dalam menghapuskan kolonialisme di Tanah Air merupakan kontribusi nyata yang perlu diperhitungkan. Kekuatan-kekuatan itu terhimpun dalam satu manuver yang muncul di berbagai penjuru atas nama gerakan perempuan. Narasi tentang gerakan perempuan tentu tak bisa lepas dengan latar belakang sejarah perempuan itu sendiri. Mengutip dari buku Perempuan & Hukum: Menuju Hukum yang Berperspektif Kesetaraan dan Keadilan karya Sulistyowati Irianto, sejarah perjuangan perempuan Indonesia sejak awal abad ke-19 sangat terkait dengan perjuangan meraih kemerdekaan dan kemandirian bangsa, termasuk kedudukan, peran dan kemajuan perempuan Indonesia. Kongres perempuan Indonesia pertama pada tanggal 28 Desember 1928 merupakan tonggak sejarah yang penting bagi ‘Persatuan Pergerakan Indonesia’ dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pergerakan kebangsaan Indonesia. Perjuangan Majalah LPM aL-Millah Edisi 37

13


Bahasan Utama

Gerakan Melawan Domestikasi Perempuan Dulu hingga kini, kaum perempuan masih terus berusaha mematahkan asumsi fungsi perempuan hanya sebagai sumur, dapur, kasur. Artinya gerakan perempuan masih banyak berkecimpung di wilayah domestik saja. Menurut Leela Gandhi dalam Teori Poskolonial: Upaya Meruntuhkan Hegemoni Barat, konstruksi budaya masyarakat pribumi selama ini menempatkan perempuan sebagai teman belakang laki-laki. Artinya, penempatan perempuan dianggap rendah dalam kehidupan keluarga. Kehidupan perempuan dikuasai oleh kaum laki-laki atas sistem patriarki. Patriarki dalam hal ini merupakan suatu jenis istilah keluarga yang dikuasai oleh laki-laki, sehingga perempuan memiliki keterbatasan ruang dalam bergerak. Hal ini senada dengan yang diungkapkan oleh Dosen Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan IAIN Ponorogo Lutfiana Dwi Mayasari. Dosen sekaligus pemerhati perempuan yang meraih penghargaan Kemenpora tahun 2019 ini menjelaskan secara luas mulai dari sejarah perempuan sejak awal kemerdekaan hingga pasca reformasi. Ia menjelaskan tentang gerakan perempuan di 14

Majalah LPM aL-Millah Edisi 37

awal kemerdekaan yang masih berkutat pada penolakan budaya patriarki. “Perempuan dahulu berusaha mematahkan asumsi fungsi perempuan sebagai sumur, dapur, kasur. Artinya saat itu gerakan perempuan masih sangat domestik sekali, dan ini tentunya juga merupakan sejarah panjang. Membuang mindset perempuan surgo manut neroko katut ini juga bukan hal mudah. Bahkan perjuangan sampai sekarang, sedikit demi sedikit mengurangi dominasi patriarkis,” terangnya. Sementara itu pada masa orde baru, pemerintah fokus pada pembangunan negara yang menganjurkan perempuan untuk mendukung program tersebut. Menggunakan doktrin yang disebut Women in Development (WID), pemerintah membuat kebijakan yang ditempuh dengan cara membentuk Kementerian Urusan Peranan Wanita, meningkatkan perempuan dalam sektor industri, menjalankan program Keluarga Berencana (KB), dan memberikan pendidikan melalui sektor informal. Kebijakan tersebut secara tidak langsung justru membuat eksistensi gerakan perempuan semakin melemah. Semula suara perempuan yang begitu vokal, menjadi tidak memiliki kekuatan

akibat kekangan pemerintah. Arah gerak organisasi perempuan saat itu dibentuk untuk mendukung pemerintah Orba, seperti PKK (Pemberdayaan dan Kesejahteraan Keluarga) yang isinya istri pejabat, Dharma Wanita yang diisi oleh istri PNS, Bhayangkari sebagai istri Polisi dan Persit yang anggotanya istri-istri TNI. Subordinasi perempuan pada masa itu semakin dilanggengkan dengan adanya Garis Besar Haluan Negara (GBHN). GBHN tersebut mendefinisikan perempuan sebagai pasangan yang tergantung kepada suami dan perempuan dilihat sebagai pembentuk bangsa. Selain itu juga dilihat sebagai ibu dan pendidik anak dan perempuan yang dipersiapkan sebagai pengurus rumah tangga serta bekerja hanya untuk memperoleh nafkah tambahan. Degradasi gerakan perempuan semakin terlihat dengan adanya kebijakan tersebut. Negara pun sangat otoriter memberikan aturan sehingga membatasi gerak yang responsif. Pemerintah orba membentuk organisasi perempuan yang legal namun dikendalikan oleh negara. Sebagai organisasi perempuan yang berlindung di bawah institusi kenegaraan, tentu saja pergerakannya dikontrol

Gambar: padamu.net

perempuan Indonesia yang sejak awal telah memperjuangkan hak asasinya serta penegakannya, d i n y a t a k a n m e l a l u i pengakuan persamaan hak dengan laki-laki dalam UUD 1945 serta amandemennya.


Bahasan Utama

oleh negara. Sementara kaum perempuan yang memiliki suami selain profesi-profesi tersebut pastinya akan merasa minder dan tidak berani membuat perkumpulan. “Pada titik inilah gerakan perempuan seakan-akan ada dan tiada. Organisasinya ada namun ruh perjuangannya tidak ada. Jangankan mau menuntut kesetaraan, yang ada organisasi tersebut justru malah memperkuat sistem patriarki di Indonesia,” jelas Luthfi. Merespon kebijakan tersebut, konsolidasi perempuan juga semakin menguat karena memiliki misi yang dominan yaitu menggulingkan rezim Soeharto. Lantas pada masa pasca reformasi, gerakan perempuan seolah kembali kepada ruhnya. Perempuan semakin berani menyuarakan kesetaraan dan perannya pada lembaga publik. Perempuan tak lagi dianggap sebagai pelengkap, namun diakui sebagai individu yang mandiri dengan fitrahnya sebagai perempuan. “Organisasi perempuan benar-benar terasa dampaknya terutama pasca reformasi. Masifnya gerakan perempuan ini berdampak pada beberapa kebijakan yang pro terhadap perempuan, seperti pemberian 1/3 kursi bagi perempuan di DPR, kebebasan untuk mencalonkan diri sebagai kepala daerah, dan lain sebagainya,” ungkapnya. Menelisik Gerakan Perempuan Masa Kini Setelah masa reformasi gerakan perempuan berkembang pesat. Akibatnya kini gerakan perempuan memiliki arah gerak yang

berbeda-beda. Hal inilah yang menyebabkan adanya perbedaan pandangan dalam mendefinisikan gerakan perempuan masa kini. Lantas bagaimana perspektif mereka dalam merespon eksistensi gerakan perempuan yang terbentuk di masyarakat? Ketua Women Crisis Center (WCC) Ponorogo Haniek Hidayah menyebut, gerakan perempuan kini sudah melewati proses panjang ke arah kemajuan. Sebab peluang perempuan untuk berperan dalam ranah publik sudah semakin terbuka. Konsep kesetaraan gender juga sudah jamak dipahami oleh masyarakat. Sebab, persepsi masyarakat soal kualitas kepemimpinan sudah tidak lagi dipandang berdasarkan jenis kelamin. Realitanya kini sudah banyak kepala suatu lembaga maupun daerah yang dipimpin oleh perempuan. “Buktinya sekarang di tingkatan desa banyak kepala desa yang perempuan. Artinya kan di situ masyarakat secara umum sudah menerima bahwa perempuan juga punya kualitas, kemampuan yang sama dengan laki-laki. Kalau dulu kepala desa ya laki-laki otomatis laki laki, tapi sekarang sudah ada yang perempuan, yang duduk di lembaga BPD juga ada sekarang,” tuturnya. Di samping itu, menurut Haniek perempuan di wilayah kota besar dan kecil memiliki perbedaan dalam memahami konsep mubadalah atau kesalingan. Jika dulu perjuangan perempuan masih berkutat pada pendidikan dan akses kesehatan, kini mereka sudah mendapat peluang yang

sama untuk memperoleh pekerjaan. Menurutnya pemahaman tentang kesetaraan hak-hak perempuan pada masyarakat kota besar seperti Jakarta dan Surabaya sudah tercapai. “Misalnya di kota modern ya, itu pemikiran kesetaraan sudah tercapai, jadi tingkatannya lebih atas, dan kesalingan, mubadalah itu,” terangnya. Lain halnya di wilayah kota-kota kecil salah satunya di Ponorogo ini, kon s e p mubadalah at au kesalingan antara laki-laki dan perempuan masih belum dipahami sepenuhnya oleh seluruh lapisan masyarakat. Sehingga kesetaraan gender di wilayah tersebut masih perlu diperjuangkan. Sebab pemikiran masyarakat dan kondisi psikososial menjadi faktor yang memberikan pe n gar u h paling dominan. Menurutnya pendampingan perempuan korban kekerasan dan sosialisasi tentang gender masih perlu diperjuangkan semaksimal mungkin dimulai dari kelompok masyarakat terkecil. “Tapi kalo kita lihat ukurannya di Ponorogo, Pacitan, tingkatan kesetaraan itu masih perlu disosialisasikan,” sambung Haniek. Senada dengan hal itu, Ketua Pimpinan Cabang Fatayat Ponorogo, Nurun Nahdliyah mengatakan, sejak munculnya Undang-Undang Pengarusutamaan Gender pada masa Presiden Gus Dur, perempuan sudah diberi ruang yang begitu luar biasa. “Saya melihat, sejak presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, perempuan sudah diberi ruang yang begitu luar biasa, ditandainya muncul Majalah LPM aL-Millah Edisi 37

15


Bahasan Utama

Undang-Undang Pengarusutamaan Gender,” ujarnya. Ia juga mengatakan sekarang ini sudah banyak peran perempuan yang menunjukkan hal konkret terhadap persoalan kehidupan. Menurutnya sumber daya perempuan perlu didukung dan dikembangkan. “Cuma, sekarang peran perempuan harus ditingkatkan, salah satu contoh perempuan yang duduk di ranah publik harus didorong bagaimana kapasitasnya dan bagaimana SDM-nya dan seterusnya,” imbuhnya. Sebagai organisasi perempuan, implementasi Fatayat fokus bergerak menanggapi isu-isu perempuan. Terutama pada persoalan kekerasan rumah tangga, kekerasan seksual, ketahanan keluarga dan mendampingi perempuan dalam hal perekonomian. “…berkonsentrasi menangkap isu-isu yang dihadapi perempuan seperti kekerasan dalam rumah tangga, kekerasan seksual, ketahanan keluarga dan mendampingi perempuan dalam hal perekonomian secara mandiri,” paparnya. Problem Kompleks Kesetaraan Gender Keleluasaan perempuan dalam memilih keputusan semakin memberikan kelonggaran untuk menentukan pilihannya di berbagai bidang. Pengembangan gerakan perempuan ini juga tak terlepas dari peran akademisi. Analisis terhadap fenomena yang terjadi di masyarakat diperlukan untuk membongkar problematika yang dialami perempuan. Penulis jurnal berjudul Pendi16

Majalah LPM aL-Millah Edisi 37

dikan Islam Berperspektif Gender, Evi Muafiah mengatakan saat ini perempuan sudah bebas menentukan pilihannya di berbagai bidang. Ia juga memaparkan pendidikan bagi perempuan kini sudah mengalami kemajuan. Dibuktikan dengan kebebasannya dalam menuntut ilmu setinggi mungkin. “Perempuan masa kini sudah bisa memilah dan memilih sesuai apa yang dilakukan, di antaranya bagaimana kiprahnya di bidang pendidikan, ekonomi dan sosial,” tuturnya. Tidak hanya berkutat pada aktivitas domestik, kini perempuan juga lebih kreatif dan mandiri dari segi ekonomi. Selain itu sekarang perempuan juga semakin aktif ikut serta dalam kegiatan sosial. “Perempuan itu paling rajin, semangat untuk ikut kegiatan sosial, contoh anak muda dan ibu-ibu aktif kegiatan di desa. Seperti senam ibu-ibu di lingkungan RT perempuan lebih atraktif. Namun, semua tergantung kontruksi masyarakat masing-masing,” terang Evi, rektor terpilih IAIN Ponorogo periode 2021-2025. Jika dibandingkan dengan perjuangan perempuan di masa

lalu, gerakan perempuan sedikit mengalami perkembangan. Dosen Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan IAIN Ponorogo Luthfiana Dwi Mayasari menyebut perempuan dari segi kuantitas diakui berkembang pesat. Namun secara substansi tidak banyak berubah dari periode sebelumnya. Salah satunya keterwakilan politik secara regulasi sudah terpenuhi dengan adanya aturan Undang-Undang Pemilu Nomor 7 Tahun 2017. Artinya bukan secara substansial ingin menghadirkan keterwakilan perempuan, namun hanya dimaknai sebagai pemenuhan kewajiban Parpol untuk mengisi kekosongan. “ M e m a n g b u k a n 1 0 0 % kesalahan dari gerakan perempuan, namun i’tikad dari pemerintah juga tetap harus dikawal. Apakah kebijakan tersebut benar-benar karena memberi ruang publik bagi perempuan ataukah hanya sebagai hiasan saja untuk menunjukan pro-gender,” tuturnya. Selain persoalan kebijakan pemerintah yang terkesan pro gender, kini gerakan anti kekerasan terhadap perempuan sedang mengalami problem serius. Mayoritas gerakan tersebut fokus pada penanganan kasus, namun


Bahasan Utama

cenderung mengabaikan upaya preventif. Begitu pula dengan Komnas HAM yang masih fokus pada penyelesaian kasus perkasus saja. “Naasnya organisasi yang fokus pada gerakan anti kekerasan terhadap perempuan lebih fokus pada penanganan kasus, bukan pada upaya preventif,” jelas Luthfiana. Ia menambahkan eksistensi gerakan perempuan terus berkembang dan bereksplorasi di wilayah publik, meskipun masih banyak terjadi diskriminasi, stigmatisasi, pelecehan dan kekerasan yang merugikan posisi perempuan. Pada masa orde baru pokok persoalan ada pada otoritas negara. Tetapi sekarang konflik itu juga muncul pada individu perempuan itu sendiri. Munculnya politik identitas berbasis agama dan gender yang semakin menjamur dijadikan penghambat kesetaraan. Sebab wanita berdaya dan produktif kerap diasumsikan sebagai wanita yang menyalahi kodrat. “Wanita yang berdaya juga sering kali dianggap perempuan yang ‘kurang bahagia’ karena harus bersusah payah berkarya di luar. Asumsi-asumsi yang lahir dari politik identitas inilah yang menjadi tantangan saat ini,” tambahnya. Melihat dari fenomena tersebut, ia mengajak perempuan untuk terus membangun kesadaran tentang gender dan isu perempuan sedini mungkin. Hal tersebut bisa menyadarkan perempuan bahwa ketimpangan sosial bukan suatu hal yang bisa dimaklumi. Jika tidak mampu berjuang melalui lembaga

resmi, maka bisa dimulai dengan hal yang paling sederhana yaitu women support women atau saling mendukung sesama perempuan. “Kontribusi lain yang bisa dilakukan adalah women support women,” pungkas perempuan lulusan Master Kajian Politik Timur Tengah di Universitas Indonesia tersebut. Sementara menurut Evi Muafiah, anggapan tentang posisi perempuan sebagai masyarakat kelas dua disebabkan oleh sistem dan pola pikir patriarki. Pola pikir semacam itu tidak hanya dialami laki-laki, tetapi juga jamak menimpa kaum perempuan. “Diskriminasi terjadi karena sistem dan pola pikir. Mungkin sistemnya masih perlu diperbaiki lagi karena kadang kita merasa bahwa hal kecil yang masih menimpa perempuan masih sepele. Jika perempuan diyakini mampu menduduki posisi tinggi namun ia kurang pede maka kita harus mendukung, jadi malah jangan cemburu. Itu yang perlu kita bantu bersama, agar perempuan tidak terdiskiriminasi,” tuturnya. Mahasiswa Berbicara Isu Perempuan Gerakan perempuan semakin hari semakin sentral terdengar. Mahasiswa yang digadang-gadang sebagai agent of change pun tak ketinggalan dalam mengawal isu perempuan. Kedudukan perempuan dalam ranah organisasi tidak diragukan lagi perannya. Banyak perempuan sudah mampu menduduki posisi penting dalam organisasi mahasiswa. Selain itu

beberapa organisasi juga membentuk divisi baru yang fokus terhadap isu perempuan. Ketua Pimpinan Komisariat Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah ( I M M ) A l Fat h R i n a Pu ji Lestari menyatakan, sekarang ini perempuan tinggal melanjutkan perjuangan pada masa lalu yakni akses menuju pendidikan dan kesetaraan. “Gerakan perempuan sekarang adalah lebih ke penguatan, perempuan itu sekarang dituntut untuk lebih totalitas di ranah kesetaraan antara laki-laki dan perempuan serta pendidikan. Apalagi permasalahan perempuan itu sekarang makin kompleks,” ungkap Rina. Menurutnya tantangan yang dihadapi perempuan saat ini semakin beragam. Perempuan nantinya akan menjadi ibu dituntut untuk mendidik dan mengembangkan karakter anak. Perempuan juga harus mengenali tanda-tanda kekerasan yang menimpanya. Sehingga, perempuan harus punya bekal untuk aktif bersosial, mengembangkan keilmuaan dan aktif mengedukasi diri tentang gender. Selain itu perempuan harus memiliki idealisme agar tidak terbawa arus negatif perkembangan zaman. “Tidak hanya ikut-ikutan ke sana ke sini tetapi harus memiliki idealisme yang kuat. Tunjukkan bahwa perempuan itu punya nilai sendiri,” sambung Rina. Pada dasarnya setiap organisasi memiliki tujuan dan fokus yang berbeda. Setiap organisasi boleh membawa isu yang beragam tetapi tujuannya harus sama. “Tujuannya seperti apa, Majalah LPM aL-Millah Edisi 37

17


Bahasan Utama

goals yang harus dicapai adalah menyadarkan mereka, jadi tidak acuh tak acuh dengan permasalahan yang menimpa dirinya,” pungkas Rina memberikan kesimpulan. Sekretaris Korps Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia Putri Pengurus Cabang Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (KOPRI PC PMII) Ponorogo Ina Imroatul mengatakan, gerakan perempuan saat ini sudah mengalami kemajuan. Hal itu dibuktikan dengan pendidikan yang setara antara perempuan dan laki-laki, sehingga diharapkan akan bermanfaat untuk mencerdaskan generasi berikutnya. Di samping itu, kini perempuan sudah berani mengutarakan pendapatnya di ruang publik salah satunya mengenai kekerasan seksual. “Apabila sesama perempuan saling bekerja sama dengan lebih baik, akan selalu ada kemajuan setiap tahun. Termasuk dinamika rintangan di dalamnya,” ucapnya. Sementara itu Esthi Kurnia Asih selaku Kabid Pemberdayaan Perempuan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Komisariat Syariah IAIN Ponorogo, memberikan pandangan menarik mengenai gerakan perempuan saat ini yang aktif mengawal isu gender dalam membela buruh perempuan. “Pandangan utama yang sangat menarik terhadap feminisme di Indonesia saat ini adalah pandangan terhadap kondisi kerja berbagai jenis seperti buruh industri, petani dan TKW. Nah kondisi tersebut memberikan pengaruh yang besar terhadap gerakan feminisme

18

Majalah LPM aL-Millah Edisi 37

di Indonesia,” kata Esthi. Ia menambahkan ranah perjuangan gerakan perempuan telah mengalami kemajuan. Kini perempuan telah mendapat kebebasan atas hak-haknya. Perempuan telah diberi ruang untuk berpendidikan, berorganisasi bahkan berpolitik. Hal tersebut dibuktikan dengan adanya berbagai organisasi perempuan yang ada pada saat ini. Pun kontribusinya dibuktikan dengan banyaknya perempuan yang menduduki posisi penting baik di lembaga pemerintahan maupun sebagai wakil rakyat. Jalan Tengah Gerakan Perempuan Namun dari semua opini di atas masih ada hal lain yang menggelisahkan. Organisasi perempuan pasca reformasi yang menjadi angin segar tersebut ternyata tidak serta merta diiringi pendidikan politik yang mumpuni. Hal itu senada dengan pernyataan yang diungkapkan Luthfiana Dwi Mayasari. Ia menyayangkan pada fenomena sikap apatis sebagian besar mahasiswa saat ini yang merupakan penerus gerakan perempuan. Anggapan bahwa gerakan sosial tak akan berdampak pada perubahan masyarakat mengakibatkan mereka fokus pada bangku perkuliahan dan mencari nilai IPK tinggi namun tutup mata pada isu sosial di sekelilingnya. “Bukan berarti IP itu nggak perlu ya, saya nggak setuju jika organisasi lebih penting dari kuliah. Namun harus seimbang, IP harus tinggi namun melek

pada isu sosial juga sangat diperlukan. Maka kesadaran tersebut harus dibangun dari semenjak bangku perkuliahan,” kata dosen yang pernah tergabung dalam organisasi Malang Corruption Watch tersebut. Selain itu fenomena munculnya banyak organisasi perempuan tidak serta merta membawa kabar baik. Gerakan-gerakan tersebut menjadi terkesan parsial dan berjalan sendiri-sendiri sesuai konteks isu yang dibawa serta kebutuhan organisasinya. Seperti PKK yang hanya fokus pada pelatihan ekonomi namun tidak ada tindak lanjutnya. Lalu organisasi anti kekerasan yang hanya mengakumulasi jumlah korban kekerasan saja. Kemudian organisasi yang mengaku feminis justru hanya disibukkan dengan propaganda kesetaraaan dalam rumah tangga namun tidak memberi solusi kemandirian. Hal itu menyebabkan munculnya masalah baru bagi gerakan perempuan secara umum. “Akhirnya ya tujuan utama dari gerakan perempuan tidak tercapai. Maka idealnya para organisasi perempuan tersebut harus bersinergi antara satu dengan yang lainnya. Isu yang dibawa boleh berbeda namun goal utamanya harus sama,” pungkasnya. (Siti Umi Nafi’ah_26.17.179) (Syamsul Hadi_27.18.186) (Fanisa Rifda S._26.17.173)


Laporan Utama

POLEMIK PEMENUHAN HAK PEKERJA PEREMPUAN, SUDAHKAH DILAKUKAN (?)

Ilus: Chandra

P

ekerja perempuan acap kali dipandang sebagai pekerja yang lemah. Tak jarang mereka didiskriminasi karena kemampuannya. Potensi perempuan sebagai pihak minoritas kerap dinilai sebelah mata oleh sebagian besar masyarakat yang mengakibatkan sulitnya menembus posisi strategis,

terutama yang besinggungan dengan peran dalam pengambilan keputusan. Bentuk-bentuk ketidakadilan gender melalui marginalisasi maupun beban kerja yang tidak proporsional kerap dilakukan oleh kaum mayoritas pada hampir semua lingkup yang ada. Seperti di lingkungan keluar-

ga, tempat kerja, maupun lingkungan lainnya. Pada hakikatnya, kesetaraan bukan berarti sama rata dan tidak ada perbedaan, namun kesetaraan tersebut dimaknai sebagai keadilan dan keseimbangan. Dalam konstitusi, hak pekerja laki-laki dan perempuan tidak dibedakan dan sudah diatur. UUD 1945 pasal 28 D ayat 2 menegaskan bahwa setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja. Dalam hal ini, negara menjamin adanya perlakuan yang adil terhadap para pekerja. Baik dalam hal jenis pekerjaan, penempatan jabatan Majalah LPM aL-Millah Edisi 37

19


Laporan Utama

dalam bekerja, maupun pemberian upah. Namun, apakah hakhak pekerja perempuan selama ini telah dipenuhi oleh perusahaan tempat ia bekerja sesuai aturan berlaku? Antara Regulasi dan Realitanya di Lapangan Ada hak-hak pekerja perempuan yang wajib diperhatikan oleh perusahaan dan untuk diakomodir dalam peraturan perusahaan. Hak-hak tersebut seperti, 1) Hak cuti hamil dan cuti melahirkan, 2) Hal perlindungan selama masa kehamilan, 3) Hak cuti keguguran, 4) Biaya persalinan, 5) Hak menyusui, 6) Hak cuti menstruasi, 7) Peraturan lembur, shift malam, dan jam kerja, 8) Pemutusan hubungan kerja dengan alasan khusus. Hak cuti hamil dan cuti melahirkan, diatur dalam UU ketenagakerjaan pasal 82. Pekerja perempuan berhak istirahat selama 1,5 bulan sebelum melahirkan dan 1,5 bulan setelah melahirkan. Dengan catatan pihak keluarga wajib memberi kabar ke perusahaan mengenai anaknya dalam tujuh hari setelah melahirkan, serta wajib memberikan bukti kelahiran kepada perusahaan dalam enam bulan setelah melahirkan. Ketetapan tersebut nyatanya belum sepenuhnya diterapkan oleh masing-masing perusahaan. Meski tidak dipungkiri jika sudah ada beberapa perusahaan ‘taat’ menjalankan regulasi tersebut sesuai ketentuan berlaku. Terlihat dari beberapa pernyataan para pekerja khususnya perempuan baik di Ponorogo hingga kota besar.

20

Majalah LPM aL-Millah Edisi 37

Menurut Maghfiroh, salah satu karyawati pabrik alas kaki (baca: PT IS) di Mojokerto mengaku jika kebijakan tentang cuti melahirkan tersebut sudah diterapkan di PT IS. “Cuti melahirkan di sini selama tiga bulan. Satu setengah bulan sebelum melahirkan dan satu setengah bulan setelah melahirkan,” jelasnya. Sedikit berbeda dengan yang diungkapkan Maghfiroh, Tri Giarti, salah satu karyawati pabrik kabel (baca: PT SA) Mojokerto mengatakan bahwa cuti sebelum melahirkan selama dua bulan. “Pemberian cuti hamil di sini selama tiga bulan, jadi dua bulan sebelum melahirkan dan satu bulan setelah melahirkan,” ungkapnya. Sementara itu, pernyataan berbeda justru diungkapkan oleh Ruliana (45), pekerja di PT KSM (Karya Sukses Mandiri), salah satu pabrik rokok di Ponorogo. Menurutnya tidak ada ketentuan mengenai cuti hamil dan melahirkan di PT KSM. “Di pabrik nggak ada ketentuannya mas, kalau pekerjanya pengen cuti 2 bulan sebelum melahirkan ya boleh saja. Kembalinya pun juga terserah, mau 2 bulan, 3 bulan juga nggak pa pa. Soalnya sistemnya borongan, jadi kalau nggak bekerja ya nggak digaji,” terangnya saat ditemui di kediamannya (24/01/2021). Eni (41) yang juga pekerja di PT KSM juga mengungkapkan hal yang sama. “Nggak ada ketentuannya berapa bulan, itu tergantung dari pekerjanya. Malah dulu saya pernah off bertahun-tahun karena anak saya tidak ada yang

ngasuh. Pihak pabrik juga tidak mempermasalahkan hal itu,” jelas perempuan yang pernah menjadi mandor tersebut. Walaupun pernah off bertahun-tahun, Eni mengaku jika tetap bisa bekerja kembali di PT KSM. “Iya, jadi meskipun saya pernah berhenti karena melahirkan dan harus mengurus anak, saya tetap bisa bekerja lagi di pabrik itu. Namun ketika dulu saya sudah jadi mandor, ketika berhenti dan kembali lagi maka saya menjadi pekerja biasa lagi,” ujarnya. Tak hanya itu, Wanti (60), pekerja di PT TKP (Tunas Karya Persada) yang juga merupakan pabrik rokok di Ponorogo mengatakan hal serupa. Menurutnya tidak ada patokan khusus untuk cuti hamil dan cuti melahirkan. “Untuk cuti melahirkan tidak ada patokannya, jadi terserah mau cuti berapa lama, yang penting matur (lapor.red) sama atasannya,” katanya. Perihal tidak adanya ketentuan cuti tersebut dibenarkan oleh Kun Hartono, penanggung jawab atau manajer di PT TKP. “Tidak ada cuti melahirkan di PT TKP, biasanya mereka (pekerja.red) sendiri yang sudah mengira-ngira kapan akan melahirkan. Jadi mereka bisa menentukan sendiri kapan mau cuti dan berapa lama cutinya,” terang Kun saat ditemui di kantornya (29/01/2021). Kun juga mengatakan jika pekerja yang sudah cuti lama karena melahirkan bisa tetap kembali bekerja. “Ya walaupun dia (pekerja.red) sudah cuti berbulan-bulan, kemungkinan dia bekerja di sini lagi dan diterima


Foto: Dendy

Laporan Utama

kembali sangat tinggi. Alasan diterimanya kembali karena dia telah memiliki pengalaman di sini,” jelasnya. Kun menambahkan jika ada alasan lain terkait diterimanya kembali pekerja yang sudah lama cuti. “Soalnya daripada kami merekrut pekerja baru lebih baik kami menerima yang lama, dari segi pengalaman dia lebih banyak dan juga cara kerjanya lebih cepat. Kalau pekerja baru, apalagi yang masih muda, kebanyakan dari mereka tidak betah sejak masa training,” tambahnya. Sebenarnya hak perlindungan selama masa kehamilan, diatur dalam UU Ketenagakerjaan pasal 76 ayat 2. Dalam pasal tersebut dijelaskan bahwa pengusaha dilarang memperkerjakan perempuan hamil yang bisa berbahaya bagi kandungannya dan dirinya sendiri. Oleh karena itu pengusaha wajib menjamin perlindungan terhadap perempuan hamil karena dalam kondisi rentan dan harusnya tidak dibebani pekerjaan berlebih. Tri mengiyakan pasal tersebut, bahwasannya di PT SA perempuan hamil diberikan pekerjaan yang ringan. “Biasanya untuk wanita hamil dikasih pekerjaan yang ringan-ringan, diberikan yang pekerjaannya duduk,” ujar Tri. “Untuk busui (ibu menyusui.red) juga diberikan waktu dan tempat untuk mompa ASI,” tambahnya. Hal itu sesuai dengan UU Ketenagakerjaan pasal 83, yang menyatakan bahwa pekerja yang menyusui diberi waktu untuk menyusui atau memompa ASI (Air Susu Ibu) pada jam kerja. Hak cuti keguguran, diatur dalam UU Ketenagakerjaan pasal

82 ayat 2. Dalam pasal tersebut disebutkan bahwa pekerja perempuan yang mengalami keguguran juga memiliki hak cuti melahirkan selam 1,5 bulan dengan disertai surat keterangan dokter. Di PT SA justru memberlakukan peraturan khusus bagi perempuan yang keguguran namun akan melakukan program hamil. “Di sini wanita yang mengalami keguguran diberi cuti satu bulan, bahkan jika ia akan melakukan program kehamilan setelah keguguran, maka diberi cuti selama satu tahun,” jelas Tri. Hak cuti menstruasi, tercantum dalam pasal 81 UU Ketenagakerjaan. Banyak pekerja perempuan yang belum mengetahui akan hal tersebut. Sebenarnya pekerja perempuan memiliki cuti menstruasi pada hari pertama dan kedua periode haidnya. “Ada cutinya, tapi satu hari saja,” kata Tri. Di PT KSM dan PT TKP ternyata tidak ada pemberlakuan cuti haid bagi karyawatinya. Padahal mayoritas pekerjanya perempuan. Menurut Wanti tidak ada pengaruhnya ketika haid maupun tidak haid saat bekerja. “Di sini, saat haid maupun tidak ya nggak ngaruh, karena sistemnya

borongan, jadi ya sesuai hasilnya,” ujarnya. Ruliana juga mengiyakan hal tersebut, di tempatnya bekerja juga tidak ada ketentuan cuti haid. “Kalau bekerja saat haid ya monggo, mau istirahat ya boleh. Ya kalau mau dapat gaji berarti harus masuk kerja,” ucap Ruliana. Ternyata hal tersebut kembali dibenarkan oleh Kun. “Di TKP tidak ada cuti haid. Ketika karyawati sakit ya boleh saja pulang tapi harus izin, itu tergantung pekerjanya. Karena sistemnya borongan, jika tidak masuk ya berarti tidak dibayar,” jelas Kun. Menurut Kun, pekerja bagian produksi di perusahaan yang ia handle harus diduduki oleh perempuan. Pasalnya output produksinya membutuhkan kerapian. “Di bagian produksi ini memang harus perempuan, ya karena perempuan lebih telaten dan rapi. Apalagi rokok produknya kecil-kecil,” terangnya. Ia menambahkan gambaran mengenai kegiatan produksi di PT TKP. “Di pabrik itu (bagian produksi) dibagi tim, satu tim terdiri dari 3 orang. Satu bagian nglinting, satunya bagian batil (merapikan Majalah LPM aL-Millah Edisi 37

21


Laporan Utama

ujung rokok yang telah dilinting. red), dan yang satunya lagi bagian packing. Memang semuanya itu butuh kerapian, makanya pekerjanya perempuan semua,” tambahnya. Tidak adanya kebijakan pemberian cuti terhadap pekerja perempuan ternyata juga terjadi pada Pabrik Minyak Kayu Putih (PMKP) Sukun yang juga terletak di Ponorogo. “Di sini tidak ada penerapan cuti haid maupun melahirkan, karena sistemnya borongan,” terang Gufronudin, bagian persediaan, data dan IT. Gufron juga menyampaikan alasan lain perihal tidak adanya cuti haid dan melahirkan. “Di sini pekerja perempuannya ibuibu, bahkan tak sedikit pula yang nenek-nenek. Tidak adanya pemberian cuti haid dan melahirkan karena pekerja perempuan di sini tugasnya hanya membuat bahan bakar (briket) untuk produksi minyak kayu putih. Bahan bakar tersebut terbuat dari limbah produksi, jadi proses kerja mereka yaitu menjemurnya dan mengikatnya sesuai ukuran yang telah ditentukan,” jelas Gufron saat ditemui di kantornya (22/02/2021). Dilansir dari rri.co.id, Mirah Sumirat, Presiden Asosiasi Serikat Pekerja Indonesia (ASPEK Indonesia), mengatakan bahwa pemberian hak cuti haid dan melahirkan seringkali tidak diindahkan oleh beberapa perusahaan. “Contohnya cuti haid yang tidak diperbolehkan kalaupun ada cuti haid namun gaji mereka dipotong, begitu pula dengan cuti hamil yang kadang dikurangi, yang seharusnya 1,5 bulan menjadi 1 bulan setelah melahirkan dan tidak

22

Majalah LPM aL-Millah Edisi 37

diberikan upah selama melahirkan,” terangnya. Peraturan lembur, shift malam, dan kerja, diatur dalam pasal 76 UU Ketenagakerjaan. Disebutkan bahwa pekerja perempuan berumur kurang dari 18 tahun dilarang dipekerjakan antara pukul 23.00 sampai pukul 07.00. Di waktu tersebut, perusahaan juga dilarang mempekerjakan perempuan hamil. Selain itu, perusahaan wajib menyediakan angkutan antar jemput bagi pekerja perempuan yang memiliki shift berangkat dan pulang antara pukul 23.00 sampai 05.00. Pemutusan hubungan kerja dengan alasan khusus, dicantumkan dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. Permen 03/Men/1989. Dalam Permen tersebut diatur tentang larangan PHK terhadap pekerja perempuan dengan alasan menikah, hamil, atau melahirkan. Hal tersebut juga diatur dalam konvensi ILO No. 183/2000 pasal 8 bahwa sekembalinya ke tempat kerja, perusahaan dilarang melakukan diskriminasi terhadap pekerja perempuan yang baru saja kembali setelah cuti melahirkan. Mereka berhak menduduki kembali posisinya serta mendapatkan gaji yang sama dengan gaji yang diterimanya sebelum cuti melahirkan. Urgensi Pemenuhan Hak Pekerja Perempuan dalam Industri Setiap perempuan mempunyai hak-hak khusus yang berkaitan dengan hak asasi manusia (HAM) yang diakui dan dilindungi oleh Undang-Undang. Hak

Perempuan, dimana perempuan dikategorikan dalam kelompok rentan yang mendapat tempat khusus dalam pengaturan jaminan perlindungan hak asasi manusia. Pada umumnya pemberian hak bagi perempuan sama dengan hak-hak lain seperti yang te l ah di s e b u t k an dal am pasal-pasal Undang-Undang HakHak Asasi Manusia. Asas yang mendasari hak bagi perempuan diantaranya hak perspektif gender dan anti diskriminasi, dalam artian memiliki hak yang sama seperti kaum laki-laki dalam bidang pendidikan, hukum, pekerjaan, politik, kewarganegaraan dan hak dalam perkawinan serta kewajibannya. Ada beberapa kasus pelang-


Foto: Titah

Laporan Utama

garan pemenuhan hak pekerja perempuan yang menjadi sorotan publik, salah satunya adalah kasus pabrik Aice. Dilansir dari regional.kompas.com, Sarinah selaku Juru Bicara Federasi Serikat Pekerja Demokratik Kerakyatan (F-SEDAR) mengatakan telah terdapat 15 kasus keguguran dan enam kasus bayi yang dilahirkan dalam kondisi tak bernyawa sejak tahun 2019 hingga Februari 2020 yang dialami pekerja perempuan di pabrik Aice. Pabrik Aice tetap memberikan shift malam pada pekerja perempuan yang hamil. Dilansir dari www.theconversation.com terabaikannya hak pekerja perempuan terjadi pada PT Alpen Food Industry atau yang biasa dikenal dengan Aice.

Pasalnya terdapat karyawati yang memiliki riwayat penyakit namun tidak ada pengecualian untuk karyawati tersebut. Ia adalah Elitha Tri Novianty, perempuan berusia 25 tahun yang memiliki riwayat endometriosis. “Saya sudah bilang ke HRD, saya punya riwayat endometriosis jadi tidak bisa melakukan pekerjaan kasar seperti mengangkat barang dengan beban berat,” terangnya. Endometriosis merupakan keadaan patologis terdapatnya jaringan selaput lendir rahim di luar anggota uterus. Itulah yang menyebabkannya tidak bisa mengangkat barang dengan beban berat. Namun usaha negosiasinya dengan HRD tak berbuah manis, ia malah mendapat ancaman

pemberhentian pekerjaan dari pihak perusahaan. Ia terdesak dan tak punya pilihan lain selain terus bekerja. Akhirnya ia mengalami pendarahan hebat akibat pekerjaannya yang berlebihan. Ia terpaksa melakukan operasi kuret yang artinya jaringan dalam rahimnya diangkat. Selain itu, para pekerja yang tergabung dalam serikat Gerakan Pekerja Bumi Indonesia PT. Alpen Food Industry (SGBBI PT AFI) juga menuntut perusahaan untuk tidak mempersulit pekerja untuk mendapatkan fasilitas kesehatan selain dari klinik dan dokter yang disediakan perusahaan. “Pekerja tidak dapat mengambil second opinion dari dokter atau klinik lain. Bisa dibayangkan, pekerja tidak mendapatkan layanan kesehatan secara demokratis karena satu-satunya dokter yang bisa memberikan izin sakit hanya dokter perusahaan saja,” ungkap Sarinah. Praktik ini tentu saja sangat merugikan pekerja perempuan. Meskipun demikian, pihak perusahaan merasa telah menjalankan kewajiban perihal pekerja perempuan yang sedang hamil. “Kami sudah lakukan itu. Kami selalu berikan susu kotak dan makanan yang bergizi setiap malam entah roti atau makanan lain dalam rangka suplai gizi ibu-ibu yang mengandung,” ungkap Simon Audry Halomoan Siagian selaku Legal Corporate PT AFI. Walaupun pemenuhan gizi terhadap pekerja perempuan yang sedang hamil dipenuhi, pemberian shift malam juga tidak bisa dibenarkan. Dalam Pasal 76 UU Ketenagakerjaan tahun 2003 sudah jelas tertulis bahwa memMajalah LPM aL-Millah Edisi 37

23


Laporan Utama

pekerjakan pekerja perempuan hamil pada shift malam (23.0007.00) dilarang jika menurut keterangan dokter berbahaya bagi kandungan. Menindaklanjuti terkait masalah keguguran yang terjadi diantara pekerja perempuan, pihak perusahaan memutuskan untuk melakukan medical check-up oleh RS Omni kepada pekerja yang mengalami keguguran. Hasilnya, menurut Simon, pihak rumah sakit menjelaskan bahwa keguguran para pekerja tidak berkaitan dengan kondisi kerja. “Kami pastikan semua pekerja hamil bekerja sesuai aturan perundang-undangan,” ungkap Simon. Akan tetapi, pernyataan tersebut tidak serta merta diyakini oleh para pekerja perempuan serta Sarinah selaku juru bicara F-SEDAR sebab tidak adanya bukti yang ditunjukkan oleh RS maupun pihak perusahaan. Pekerja perempuan yakin hal tersebut dikarenakan eksploitasi pihak perusahaan terhadap pekerja, salah satunya dirasakan oleh Dina Yulianti (23) yang pernah hamil dan keguguran dikarenakan sistem kerja di pabrik Aice. Dikutip dari suara.com, Dina sudah meminta non-shift pada pihak perusahaan karena memiliki riwayat rahim lemah, tapi perusahaan tidak mengabulkan permintaannya. “Waktu itu minta non-shift karena ada riwayat ra-

him lemah, tapi dari perusahaan enggak dikasih. Alasannya karena yang hamil bukan saya doang,” jelas Dina. Kemudian Dina merasakan sakit pinggang saat bekerja dan dilarikan ke IGD RS Kartika Husada, Setu, Kabupaten Bekasi dan mengalami keguguran saat usia kandungannya lima bulan. Sementara itu, kasus pelanggaran hak pekerja perempuan di pabrik garmen di Kawasan Berikat Nusantara (BKN) Cakung, Jakarta Utara juga tak jauh berbeda dengan yang dialami pekerja di pabrik Aice. Sempat mencuat di tahun 2018, pekerja perempuan di BKN Cakung pun mengalami keguguran akibat eksploitasi kerja di pabrik. Hermina, salah satu pekerja perempuan di BKN Cakung saat itu tengah mengandung usia 7,7 bulan ketika ia diberikan instruksi untuk mengambil setengah karung hasil cuci di laundry room, ruang khusus yang memuat berbagai bahan kimia untuk membersihkan baju sebelum dikemas. Setelah 12 jam bekerja, ketuban Hermina pecah dan anak pertamanya lahir secara prematur. Dengan kondisi kelahiran bayinya yang prematur, ia hanya bisa bertahan hidup selama empat jam dikarenakan paru-parunya tidak berkembang dengan sempurna. Alih-alih mendapatkan cuti keguguran, Hermina justru dihentikan

masa kerjanya dengan sisa kontrak 17 hari dan gaji UMR. Berdasarkan dua kasus tersebut, dapat disimpulkan bahwa beberapa hak pekerja yang awalnya dilanggar sudah dipenuhi oleh pihak perusahaan seperti pemberian tambahan suplai makanan bergizi pada pekerja perempuan yang hamil. Akan tetapi, pelanggaran terhadap hak lain juga masih terjadi, misalnya tidak diberikannya hak cuti hamil dan keguguran. Selain itu, pada kenyataannya di lapangan tindak lanjut pihak perusahaan dinilai masih belum maksimal. Pemenuhan hak-hak pekerja sudah seharusnya menjadi prioritas dalam praktik di dunia industri. Selain sebagai bentuk kewajiban perusahaan, pemenuhan hak-hak akan memberikan kenyamanan, keamanan, dan secara langsung membantu meningkatkan kesejahteraan pekerja. Meskipun demikian pada pelaksanaannya, seringkali hak-hak pekerja belum dipenuhi seluruhnya oleh pengusaha, padahal pemenuhan hak pekerja oleh pengusaha secara hukum telah diatur dalam Undang-Undang. Pentingnya pengakuan tentang hak-hak perempuan terkait dengan apa yang dicetuskan pada tahun 1979 pada sidang umum PBB yang mengadopsi CEDAW (Convention on the Elimination of All Form of Discrimination Against Women) yang membuka jalan bagi semua

Kesetaraan bukan berarti sama rata dan tidak ada perbedaan, namun kesetaraan tersebut dimaknai sebagai keadilan dan keseimbangan.

24

Majalah LPM aL-Millah Edisi 37


Laporan Utama

negara untuk meratifikasinya. Indonesia sudah meratifikasinya dengan menerbitkan UU nomor 7 tahun 1984 tentang pengesahan konvensi mengenai penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan. Dalam lingkungan kerja, terutama di industri, perempuan sering kali mendapat perlakuan diskriminasi. Padahal dalam pasal 28i ayat 2 UUD 1945 disebutkan bahwa “Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu”. Dewasa ini kaum perempuan juga turut mendukung pemenuhan kebutuhan dan kesejahteraan hidup keluarga. Tak sedikit dari mereka bekerja sebagai pegawai negeri, maupun sebagai pekerja swasta yang bekerja di industri. Hal tersebut dilakukan untuk menyokong penghasilan karena tuntutan ekonomi keluarga. Bahkan tak jarang ditemukan seorang perempuan menjadi tulang punggung keluarga. Keterlibatan perempuan bukan merupakan hal yang baru dalam dunia industri. Bahkan, dalam beberapa bidang tertentu pekerja perempuan lebih mendominasi daripada laki-laki, seperti dalam pabrik rokok dan garmen. Meskipun keterlibatan perempuan dalam dunia industri sudah menanjak tinggi, hal tersebut tidak serta-merta menghilangkan peran mereka sebagai ibu rumah tangga di rumah. Para pekerja yang khususnya

telah berkeluarga umumnya akan dituntut untuk tetap menyelesaikan pekerjaan rumah tangga yang dianggap sudah menjadi kewajibannya sebagai ibu, istri, dan perempuan dalam sebuah keluarga. Di sisi lain, mereka juga masih harus bekerja sebagai pekerja untuk menunjang perekonomian keluarga. Perempuan-perempuan ini dituntut untuk melakukan peran ganda yang tentu saja tidak bisa dianggap ringan, sebagai pekerja dan ibu rumah tangga. Terlebih, kerap kali pekerja perempuan masih tidak mendapatkan haknya secara maksimal ketika bekerja, seperti hak cuti haid, hamil dan melahirkan. Dalam praktiknya, masih banyak perusahaan yang tidak memberikan sosialisasi mengenai hak cuti haid. Hasilnya, hak cuti tersebut sangat jarang sekali diketahui dan dimanfaatkan oleh pekerja wanita. Padahal, dalam Pasal 81 Ayat 1 UU Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003 disebutkan bahwa pekerja perempuan yang dalam masa haid merasakan sakit dan memberitahukan kepada pengusaha, tidak wajib bekerja pada hari pertama dan kedua pada waktu haid. Dilansir dari sumbarsatu.com, salah satu pekerja di toko buku Gramedia Padang, Afri Serli Salmita, mengaku tidak mengetahui perihal hak cuti haid. “Ini beneran infonya? Kok aku nggak ada dikasih tahu sama bos kalau boleh cuti haid ya?” ungkapnya. Menanggapi hal tersebut, Haidil Putra dari pihak Gramedia Padang mengaku mengetahui perihal peraturan yang memperbolehkan

pekerja perempuan mendapatkan cuti haid. “Kami dari Gramedia mengizinkan jika ada karyawan yang sakit dan tidak bisa bekerja, namun ada syarat dan ketentuan yang berlaku,” jawabnya. Haidil juga menambahkan bahwa jika hak untuk cuti saat haid diberitahukan kepada karyawan, tentunya akan banyak yang meminta izin dengan alasan sakit pada saat haid yang akan membuat kinerja perusahaan kurang produktif. “Jika sejak awal diinformasikan, nanti banyak yang berbohong kalau ia sedang sakit haid, padahal tidak,” katanya. Haidil merasa bahwa perusahaannya tidak mengambil hak perempuan. Ia berkata bahwa akan mengizinkan pekerja yang meminta izin ketika haid. “Tidak ada yang mengambil hak perempuan. Hanya saja untuk cuti haid memang tidak diberikan informasi di awal, kalau ada yang meminta izin masih kami izinkan,” tuturnya. Ari Widiastri sebagai salah satu aktivis pekerja di Masinah FM menuturkan dalam sebuah webinar tentang eksploitasi terhadap manusia bahwa beberapa pekerja perempuan yang memanfaatkan hak cuti haidnya kepada perusahaan wajib menyertakan surat keterangan dokter. Beberapa kasus lain justru ada yang dibawa ke kamar mandi untuk benar-benar diperiksa dan ada pula pekerja yang mudah diberikan izin cuti haid, namun pada hari ketiga (ketika ia mulai masuk kerja) pekerja tersebut akan dikucilkan atau diasingkan dari lingkungan kerjanya. Dengan demikian, dapat diketahui bahwa pelaksanaan Majalah LPM aL-Millah Edisi 37

25


Laporan Utama

pemenuhan hak-hak pekerja perempuan di dunia industri masih sering dikesampingkan, dibuktikan dengan kurangnya sosialisasi perusahaan perihal hakhak apa saja yang bisa didapatkan oleh pekerja. Dengan minimnya pengetahuan pekerja mengenai hak-haknya, maka tidak menutup kemungkinan bahwa perusahaan bisa saja melanggar hak-hak mereka. Pekerja pun tidak akan banyak menuntut karena ketidaktahuannya. Lalu bagaimana dengan pekerja perempuan yang tidak mendapatkan hak-haknya secara maksimal di lingkungan kerja dan masih harus menjalankan peran sebagai ibu rumah tangga? Padahal sudah banyak hal yang harus mereka korbankan untuk bisa pergi bekerja dan memenuhi kebutuhan ekonomi keluarganya. Pemenuhan hak-hak pekerja perempuan di dalam industri akan ikut membantu perempuan dalam menjalankan perannya sebagai ibu rumah tangga. Ketika perusahaan memenuhi hak pekerja terkait upah, maka akan membantu menyejahterakan keluarga pekerja. Ekonomi yang mencukupi akan membuat keluarga menjadi lebih harmonis dan tenteram. Selanjutnya, pemenuhan hak cuti akan memberikan pekerja perempuan yang juga seorang ibu, istri dalam keluarga memiliki waktu yang cukup untuk melakukan banyak hal di rumah seperti mendampingi anak-anaknya. Pemenuhan hak-hak pekerja merupakan hal yang sangat penting bagi pekerja dan pengusaha selaku pemilik usaha. Dengan terpenuhinya hak-hak

26

Majalah LPM aL-Millah Edisi 37

pekerja, kualitas dan produktivitas bekerja akan meningkat sehingga target atau kuantitas yang diharapkan perusahaan pun dapat terwujud. Tentu saja hal ini juga harus dibarengi dengan kesadaran pengusaha maupun pekerja untuk melaksanakan kewajiban mereka. Komparasi Pemenuhan Hak Pekerja Perempuan di Ponorogo dan di Luar Kota Dapat diketahui bahwa beberapa pabrik yang berada di Mojokerto telah menerapkan kebijakan cuti walaupun tidak sepenuhnya sama dengan Undang-Undang yang mengaturnya. Sedangkan beberapa pabrik di Ponorogo tidak memberlakukan cuti sesuai undang-undang yang mengaturnya. Salah satu hal yang mendasari tidak adanya pemberian hak cuti terhadap pekerja perempuan di beberapa pabrik di Ponorogo karena sistem kerjanya Borongan. Jadi ketika para pekerja tidak masuk maka juga tidak dibayar. Sebaliknya, jika mereka bekerja dan bisa menghasilkan banyak produk, maka mereka juga akan mendapatkan upah sesuai hasil kerjanya. Menurut Endrik Safudin, dosen Fakultas Syariah IAIN Ponorogo, tidak adanya kebijakan pemberian cuti haid dan cuti melahirkan tersebut tidak masalah dari kacamata hukum. “Dari sisi saya, saya melihat keadilannya ada, karena sama-sama sepakat dengan kebijakan tersebut. Sistem borongan tidak mengikat setiap bulannya. Para pekerjanya pun dibayar sesuai porsi kerjanya,”

jelas Endrik yang juga merupakan seorang pengacara. Endrik kembali memperkuat argumennya bahwa kebijakan tersebut sah diberlakukan. “Nggak pa pa, yang penting rela sama rela. Kedua belah pihak juga sama-sama untung. Pekerja bisa mengambil cuti berapapun, namun konsekuensinya tidak mendapatkan gaji selama cutinya, berbeda. Perusahaan juga pasti untung, nggak mungkin jika sistemnya tidak menguntungkan namun tetap diberlakukan, pasti perusahaan itu mempertimbangkan untung rugi,” tambahnya. Endrik menggarisbawahi jika sama-sama sepakat maka tidak tidak apa-apa. “Kalau sudah sama sepakat maka sudah selesai, permasalahan yang muncul sudah selesai,” pungkasnya. Berbeda dengan Endrik, Budi Madyantoro, Kasie Bidang Hubungan Industrial Dinas Tenaga Kerja Ponorogo justru mengatakan bahwa hak pekerja harus tetap diberikan. “Harusnya hak-hak itu tetap diberikan walaupun sistemnya borongan, tapi ya karena sudah kadung (terlanjur menerapkan sistem borongan.red) itu yang agak susah, karena borongan itu fokusnya di hasil, bukan pada pekerjaannya,” tegasnya saat ditemui di kantor (09/03/2021). (Dendy Pramana Putra_26.17.170) (Titah Gusti Prasasti_28.19.205)


Liputan Khusus

Marak Kasus Pelecehan Seksual di Berbagai Kampus, IAIN Ponorogo Belum Aman

406.178 KASUS SEPANJANG 2019

K

ekerasan

seksual mengarah pada konteks seksualitas

merupakan tindakan yang mengarah pada aspek sensitivitas tubuh. Kekerasan seksual dapat dikategorikan seperti tindakan meraba, menyentuh, mencium dan perbuatan lain yang mengganggu, sebagaimana disebutkan pada laman yayasanpulih.org. Yayasan Pulih merupakan organisasi yang bergerak di bidang pemulihan korban kekerasan. Menurutnya kekerasan seksual tidak hanya terjadi pada ranah fisik saja, akan tetapi meliputi tindakan secara verbal bisa menjadi pemicu terjadinya kekerasan seksual. Seperti mengajak dengan paksa menonton konten pornografi, melontarkan ujaran seksis atau ucapan yang

dan memaksa berhubungan intim tanpa persetujuan, sehingga lawan bicara merasa direndahkan martabatnya. Apakah kekerasan seksual hanya menimpa perempuan saja? Korban kekerasan seksual tidak hanya menimpa kaum perempuan saja, akan tetapi laki-laki dan non biner (bukan laki-laki dan perempuan) bisa menjadi korban atas perilaku yang tidak menyenangkan itu. Di Indonesia perempuan bisa dengan mudah diakui sebagai korban kekerasan seksual karena perempuan diidentikkan dengan sifat feminin yang lemah lembut dan tidak bisa melawan perbuatan birahi pelaku kekerasan. Sedangkan laki-laki diidentikkan dengan sifat maskulin yang kuat, gagah, tidak

mudah menangis, jantan dan lain sebagainya. Hal ini menjadikan laki-laki memiliki stereotip bahwa dia tidak bisa dilecehkan sehingga korban laki-laki cenderung tidak berani untuk speak up (berbicara dengan terus terang) karena takut dianggap laki-laki lemah dan tidak pantas mendapat kekerasan. Menurut laman ksm.ui.ac.id berdasarkan survei dari Koalisi Ruang Publik Aman (KRPA) mengungkapkan tiga dari lima perempuan (64%) serta satu dari sepuluh laki-laki (11%) pernah mengalami pelecehan seksual di ruang publik. Survei ini dilakukan mulai tanggal 25 November hingga 10 Desember 2020 dan melibatkan 62.224 responden. Hal demikian juga terjadi pada jenis kelamin non biner, mereka mendapat kekerasan ganda. Pertama, mereka tidak diakui keberadaannya oleh masyarakat secara luas. Kedua, ketika mendapat kekerasan seksual dia tidak bisa menuntut hak sepenuhnya karena jenis kelaminnya yang dinilai tidak jelas. Dalam ranah pendidikan, kekerasan seksual dianggap sebagai hal yang tabu. Hal ini menjadikan kekerasan seksual di lingkup institusi pendidikan tidak banyak menyelesaikan kasus yang pro penyintas/korban. Bahkan kampus-kampus dengan nama besar seperti Universitas Gajah Mada (UGM), Universitas Diponegoro (Undip), Universitas Indonesia (UI) dan lain sebagainya, belum mampu membuat peraturan yang pro penyintas sesuai dengan prinsip penanganan kekerasan seksual. Majalah LPM aL-Millah Edisi 37

27


Liputan Khusus

Kekerasan seksual tidak memandang penampilan korban, cantik atau tampan, maupun status kampusnya yang berlabel Islam atau umum. Kasus di Universitas Islam Indonesia (UII) misalnya. Ibrahim Malik, alumnus UII Yogyakarta ini dilaporkan ke LBH Yogyakarta sebagai pelaku kekerasan seksual yang menimpa Lani (bukan nama sebenarnya). Padahal, Ibrahim dikenal oleh masyarakat luas sebagai ustaz muda atau pendakwah. Hal tersebut menjadi bukti bahwa pelaku kekerasan seksual tidak mengenal status dan citra baik pelaku. Tak sampai di situ, salah satu mahasiswa di Universitas Gadjah Mada (UGM) juga terlibat dalam kasus kekerasan seksual. Penyintas atas nama Agni (bukan nama sebenarnya), mahasiswi yang dilecehkan oleh teman satu kelompok (Kuliah Kerja Nyata) KKN pada tahun 2017. Perjuangan Agni tidaklah mudah. Selama dua tahun, ia berjuang demi memperoleh keadilan dari pihak kampus UGM. Barulah pada 4 Februari 2019 kasus tersebut dianggap selesai setelah melalui proses dan tuntutan yang panjang. (sumber: tirto.id) Dua kasus di atas merupakan sebagian kecil dari banyaknya kasus kekerasan seksual di lingkup perguruan tinggi Indonesia. Sebagaimana gunung es di tengah laut, besar kemungkinan lebih banyak kasus-kasus lain yang tidak terekspos media, bahkan tenggelam dan tidak diurus.

28

Majalah LPM aL-Millah Edisi 37

Tren Jumlah Kekerasan dan Pelecehan Seksual di Indonesia Meningkat Catatan Tahunan Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menyebutkan sepanjang tahun 2019 terdapat sebanyak 431.471 kasus, jumlah ini dinilai meningkat ketimbang tahun sebelumnya sebanyak 406.178 kasus. Penelitian ini pun mengalami peningkatan responden sebanyak 6%, hal ini dikarenakan turut bertambahnya kasus kekerasan. Penelitian ini dihimpun dari tiga sumber yakni: 1) Pengadilan Agama/Negeri sebanyak 421.752 kasus. 2) Lembaga Layanan Mitra Komnas Perempuan sejumlah 14.719 kasus. 3) Unit Pelayanan

Rujukan (UPR) merupakan layanan yang dibentuk Komnas Perempuan untuk menerima dan menampung pengaduan korban yang datang langsung ke Komnas Perempuan. Data yang terkumpul sejumlah 1.419 kasus, yang mana 1.277 kasus adalah kasus berbasis gender dan 142 kasus tidak berbasis gender. Berdasarkan data yang sama, 75% kasus paling banyak adalah Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT)/ Ranah Personal (RP), terbanyak kedua yakni Kekerasan Terhadap Perempuan di ranah publik/komunitas dengan persentase 24%, dan 0,1% untuk kasus kekerasan terhadap perempuan di ranah negara. Pada ranah KDRT/RP kekerasan yang paling banyak


Liputan Khusus

Ilus: Chandra

Kekerasan seksual tidak memandang penampilan korban, cantik atau tampan, maupun status kampusnya yang berlabel Islam atau umum.

terjadi bersinggungan dengan fisik sebanyak 4.783 dengan persentase kasus sebanyak 43%, disusul dengan kasus kekerasan seksual sebanyak 2.807 dengan persentase kasus sebanyak 25%, psikis 2.056 (19%), dan kekerasan ekonomi sebanyak 1.459 dengan persentase kasus sebanyak 13%. Sedangkan pada ranah publik, kekerasan terhadap perempuan tercatat sebanyak 3.602 dengan persentase 58%. Kekerasan terhadap perempuan di ranah publik atau komunitas adalah termasuk kategori kekerasan seksual dengan rincian: pencabulan sebanyak 531 kasus, perkosaan sebanyak 715 kasus dan pelecehan seksual sebanyak 520 kasus. Sementara itu persetubuhan terdapat sebanyak 176 kasus dan sisanya percobaan pemerkosaan dan persetubuhan. Pada tahun 2020, menurut catatan akhir LBH Apik Jakarta yang diunggah oleh akun Instagram @jakartafeminist, kasus kekerasan seksual naik menjadi 48,4%. Kasus kekerasan seksual meningkat dibandingkan dengan tahun 2019 yang berjumlah 794 pengaduan, sedangkan di tahun 2020 menjadi 1178 pengaduan. Selama pandemi covid-19, kasus-kasus yang ditangani LBH Apik Jakarta pun meningkat. Kasus kekerasan yang terjadi di luar Jabodetabek sebesar 18,1%, di Jakarta Barat sebanyak 6,2%, Jakarta Timur sebanyak 17,8%, Jakarta Selatan sebanyak 19,1%, Jakarta Utara sebanyak 7,2%, Depok sebanyak 9,5%, Tangerang 4,2%, Tangerang Selatan 6,4%, Bekasi 3,6%, Bogor 5,3%, Karawang 2,3%. Sama dengan penelitian sebelumnya, kasus ke-

kerasan tertinggi terjadi pada kasus KDRT. Sedangkan kasus kekerasan di dalam kampus tercatat sepanjang tahun 2019 terdapat 174 penyintas yang tersebar di 29 kota dan 79 perguruan tinggi seluruh Indonesia. Penelitian ini dipelopori oleh tiga media besar di Indonesia yakni Vice Indonesia, Tirto.id dan The Jakarta post. Penelitian ini mengampanyekan #namabaikkampus sebagai upaya mendorong kampus menjadi ruang aman bagi mahasiswa. Akan tetapi pada kenyataannya kampus menggunakan #namabaikkampus hanya sebagai dalih menutupnutupi kasus kekerasan seksual di lingkungan kampus. Jumlah kasus kekerasan seksual di kampus ini tidak pasti, pasalnya banyak sekali korban yang tidak mau speak up dikarenakan banyak hal. Beberapa faktor diantaranya, mereka takut apa yang mereka bicarakan dituduh sebagai salah satu bentuk fitnah karena tidak memiliki bukti yang kuat, takut dianggap lebay (berlebihan), membesar-besarkan masalah, dan lain sebagainya. Sehingga korban banyak mendapatkan victim blamming atau sikap menyalahkan korban. Bahkan dalam banyak kasus, ketika penyintas berani menuntut dan memidanakan pelaku, pelaku malah menuntut balik korban atas nama pencemaran nama baik. Alhasil, korban mendapat dua kali perlakuan tidak adil yaitu dilecehkan sekaligus disalahkan atau diintimidasi oleh orangorang di sekelilingnya. Majalah LPM aL-Millah Edisi 37

29


Liputan Khusus

Kenali Bentuk-Bentuk Kekerasan Seksual dan Modus Pelaku Berdasarkan laman Tirto.id (baca: Bentuk-bentuk P e l e c e h a n Seksual, Rayuan Hingga Perkosaan), pelecehan seksual dibagi menjadi dua macam, yaitu verbal dan non verbal. Pelecehan seksual verbal merupakan pelecehan yang berbentuk intonasi visual berupa kata/ kalimat tentang kehidupan pribadi atau bagian tubuh korban, lelucon dan komentar bernada seksual yang mengarah ke korban, baik itu dilakukan secara sengaja maupun tidak. Sedangkan, pelecehan non verbal merupakan pelecehan yang dilakukan secara fisik terhadap korban mengarah ke perbuatan seksual seperti mencium, menepuk, mencubit, melirik atau menatap penuh nafsu. Fenomena pelecehan seksual yang berada di institusi pendidikan menjadi topik hangat di media massa. Kasus kekerasan yang terjadi di institusi pendidikan mengindikasikan bahwa praktik kekerasan masih digunakan dalam pola pembelajaran di dunia pendidikan. Menurut Dzeich & Weiner (1990) ada tiga belas tipe kekerasan seksual di Institusi Pendidikan. Dari beberapa tipe ini menggambarkan pelecehan yang kerap terjadi di intitusi pendidikan. P e r t a m a , t i p e Pemain Kekuasaan (quid pro quo). Yaitu pelaku melakukan pelecehan untuk ditukar dengan suatu yang dibutuhkan penyintas.

30

Majalah LPM aL-Millah Edisi 37

Persoalan ketimpangan pemain kekuasaan baik perempuan dan laki-laki maupun relasi guru dan murid yang menjadi faktor penyebab kekerasan seksual di institusi pendidikan yang masih banyak ditemui. Hal ini terjadi ketika pendidik memperlakukan peserta didik dengan sewenangnya. Pendidik diberi kewenangan tersendiri seolah-olah ia berkuasa atas hak peserta didik. Sebagai contoh, seorang guru yang melakukan pelecehan terhadap peserta didik dengan imbalan nilai yang bagus. Kedua, tipe Mentor (berperan sebagai figur orang tua). Pelaku melakukan pelecehan dengan membuat hubungan seolah mentor dengan murid, sementara di balik itu ada niatan melakukan pelecehan terhadap murid yang dibimbingnya. Namun tindakan pelecehan tersebut bisa ditutupi dengan sikap pura-pura yang berkaitan dengan masalah akademik. Hal demikian, merupakan modus yang sering terjadi antara mentor dan muridnya. Ketiga, tipe Anggota Kelompok. Ini semacam ujian yang harus dijalani seseorang agar dianggap sebagai anggota dari suatu kelompok tertentu. Misalnya, seorang pemimpin memberi persyaratan ketika akan masuk di keanggotaannya, semua anggota harus sudah tidak perawan. Hal tersebut menjadikan pemimpin bisa sewenang-wenang melakukan pelecehan ini berulang-ulang, sebab dirinya merasa aman dilindungi oleh ikatan kelompok. Keempat, pelecehan di tempat tertutup. Pelecehan yang

dilakukan oleh pelaku secara tersembunyi, sehingga korban akan merasa tidak terancam dan dia pun tidak bisa menggugatnya, sebab tidak ada saksi untuk membuktikan perbuatan pelaku. Hal ini bisa terjadi ketika si pelaku dan korban berada di satu tempat yang sepi atau tersembunyi. Kelima, tipe Groper. Yakni pelecehan dengan modus pelaku kepada korban atau penyintas, memegang-megang anggota tubuh korban tanpa izin. Pelecehan jenis ini dapat dilakukan di tempat yang ramai maupun sepi. Keenam, tipe Oportunis. Pelaku mencari kesempatan untuk melakukan pelecehan kepada korban secara sengaja pada saat korban berada di situasi yang tidak kondusif. Misalnya pelaku dan korban sedang berada di tempat yang berdesakan. Kemudian pelaku seolah-olah memberikan pertolongan kepada si korban dengan duduk berdempetan. Lalu pelaku memanfaatkan keadaan dengan sengaja menempelkan tubuhnya ke korban. Rika Rosvianti, founder perempuan, sebuah organisasi yang tergabung dalam Koalisi Ruang Publik Aman (KRPA), pada satu seminar mengungkapkan beberapa pembagian kekerasan seksual. Pembagian ini berdasarkan sistem kelas dan relasi kuasa yang biasa terjadi dari kelompok dominan kepada kelompok rentan. Ketujuh, tipe Confidante. Yaitu pelaku memberi cerita kepada korban, guna menimbulkan simpati dan rasa percaya dari


Liputan Khusus

korban. Sehigga perhatian yang diberikan pelaku kepada korban dirasa berlebihan dan membuat korban merasa terganggu. Kedelapan, tipe Pelecehan Situasional. Yaitu ketika korban berada di situasi yang lemah atau mendapatkan masalah dalam keadaan cacat. Pelaku akan datang memanfaatkan kondisi korban untuk keuntungan/kepuasan si pelaku. Kesembilan, tipe Hama. Pelaku memaksa korban untuk menuruti apa yang dikatakan oleh pelaku. Misalnya, korban mengatakan “tidak” namun si pelaku tidak menerima jawaban si korban. Biasanya pelaku akan mengancam korban supaya menuruti apa yang dikatakan oleh pelaku. Pelaku cenderung

memikirkan kepuasannya sendiri tanpa peduli dengan perasaan korban. Kesepuluh tipe The Great Gallant, yaitu pelaku yang memuji korban secara berlebihan namun tidak pada tempatnya, sehingga dalam komentar pelaku akan menimbulkan rasa malu pada diri korban. Biasanya pelaku akan memujinya di tempat umum supaya orang lain mendengarnya. Namun hal itu akan memberi tekanan terhadap korban, sebab tidak sesuai dengan kondisinya. Kesebelas, tipe Penggoda Intelektual. Pelaku yang mempergunakan pengetahuan dan kemampuan untuk mencari tahu tentang kebiasaan atau pengalaman korban. Pelaku menyerang

Tabel Pembagian Kekerasan seksual

korban dengan cara menceritakan kebiasaan atau pengalaman korban, sehingga korban merasa tidak nyaman. Keduabelas, tipe Incompetent, yaitu orang yang secara sosial tidak kompeten dan ingin mendapatkan perhatian dari seseorang (tidak mempunyai perasaan yang sama terhadap pelaku pelecehan). Setelah ditolak, pelaku balas dendam dengan cara melecehkan si penolak. Ketigabelas, tipe lingkungan, yakni lingkungan korban lah yang menjadi ‘pelaku’ kekerasan seksual. Lingkungan dicemari oleh kultur seksual, lelucon seks dan cenderung memperlihatkan tipe pornografi. Hal ini akan ditunjukkan kepada korban supaya tertarik dengan ajakan pelaku. Pelaku lebih dominan menguasai keadaan di lingkungannya. Bagaimana menilai suatu perbuatan itu dapat dikatakan pelecehan? Pelecehan dapat ditentukan apabila pelaku mengarahkan tindakan tidak menyenangkan terhadap korban sehingga mengakibatkan rasa tersinggung, malu, takut dan tertekan. Formula pelecehan yaitu adanya aksi pelaku secara tidak pantas yang mengarah pada korban dan tanpa persetujuannya. Apalagi hal tersebut dilakukan di intitusi pendidikan. Kompak, Kampus Tak Punya Regulasi Penanganan Kasus Kekerasan Seksual, Mahasiswa Abai Tahun 2019, tepatnya pada tanggal 1 Oktober, Kementerian Majalah LPM aL-Millah Edisi 37

31


Liputan Khusus

32

Majalah LPM aL-Millah Edisi 37

Ponorogo juga belum memiliki regulasi khusus terkait dengan penanganan kekerasan seksual. Evi Muafiah selaku kepala Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA) periode 2017-2019 mengaku masih memiliki beberapa kendala terkait proses pengesahan Pedoman Penanggulangan kekerasan seksual di IAIN Ponorogo. Ia mengungkapkan bahwa pedoman penanganan kekerasan seksual di IAIN Ponorogo sudah disusun, akan tetapi tidak ada tanggapan serius dari pihak rektorat. “Saya sudah bilang ke bu rektor, regulasi sudah ditandatangani tapi katanya belum bisa diterapkan karena waktu beliau jadi rektor tinggal sebentar lagi,” tuturnya saat diwawancarai melalui telepon (27/01/2021). Tidak adanya regulasi khusus terkait penananganan kasus kekerasan seksual di kampus, tidak bisa menjadi rujukan bahwa kampus terbebas dari kekerasan seksual. Pasalnya kekerasan seksual di IAIN Ponorogo masih menjadi hal yang dianggap tabu atau dengan kata lain adalah hal yang dianggap tidak pantas dibicarakan. Seperti hasil wawancara yang dilakukan kru aL-Millah di kampus 1 IAIN Ponorogo. Sebanyak empat dari lima mahasiswa mengungkapkan bahwa kekerasan seksual yang mereka pahami hanya sebatas halhal yang berkaitan dengan kekerasan fisik, tindakan yang mengarah kepada pemerkosaan dan menyentuh area tubuh sensitif (seksual) perempuan. Sedangkan untuk hal-hal yang bersifat verbal, seksis atau intimidatif, mereka mengang-

Pendampingan terhadap korban harus disertai de ngan adanya reh abi l i tasi sehingga korban tidak kebingungan ketika membutuhkan bantuan

Agama (Kemenag) berkolaborasi dengan Komnas Perempuan menetapkan keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Islam Nomor 5494 tahun 2019 tentang Pedoman Pencegahan dan Penanggulangan Kekerasan Seksual di lingkup Perguruan Tinggi Keagamaan Islam (PTKI). Dalam keputusan tersebut, pedoman menyasar pada semua civitas akademika dan pihak-pihak yang berwenang menangani kasus kekerasan seksual di kampus. Pedoman ini memuat 33 halaman yang berisi prosedur pencegahan kekerasan seksual, pengadaan ruang untuk menangani pengaduan kasus kekerasan seksual, hingga pelayanan pemulihan korban. Pedoman ini dapat diakses melalui laman diktis.kemenag.co.id. Pedoman tersebut tidak ditanggapi begitu serius oleh beberapa kampus. Pasalnya masih banyak kampus yang belum memiliki regulasi khusus terkait penanganan kekerasan seksual. Seperti Universitas Islam Negeri (UIN) Antasari Banjarmasin, Anna Desliani alumnus sekaligus pegiat di Komunitas Jaringan Setara (komunitas yang bergerak di bidang penanggulangan kasus kekerasan seksual di kampus Indonesia) mengungkapkan belum adanya tindakan khusus terkait munculnya pedoman penanganan dari Kemenag, bahkan regulasi pun belum dibuat. “Kalau di kampusku, regulasi belum dikasih maksimal, padahal seharusnya menganggapi turunnya keputusan dari Kemenag disambut baik dengan membuat regulasi lagi,” jelasnya. Senada dengan itu, Institut Agama Islam Negeri (IAIN)


Liputan Khusus

gap bahwa itu bukan kekerasan seksual, mereka menganggap yang terjadi itu merupakan hal biasa. “Untuk hal-hal yang sifatnya pembicaraan mungkin itu sifatnya menasehati, agar perempuan berbenah diri,” tutur Lidiya mahasiswa PAI semester dua. Tak hanya Lidiya, Ayu (bukan nama sebenarnya) mahasiswa PGMI semester empat mengungkapkan hal yang sama bahwa kekerasan seksual hanya berkutat pada pelecehan saja, sedangkan untuk hal-hal yang bersifat verbal dia menganggap itu bukan kekerasan seksual. “Kalo disentuh dan akunya risih, itu bukan kekerasan. Kekerasan itu ya kayak ditampar, dipukul gitu,” ucapnya. Minim Pelaporan Bukan Jaminan IAIN Ponorogo Aman dari Pelecehan Seksual Dilihat dari beberapa pernyataan di atas membuktikan bahwa mahasiswa IAIN Ponorogo belum banyak yang mengerti dan paham mengenai kekerasan seksual seperti yang telah diuraikan sebelumnya. Evi Muafiah pun mengakui bahwa kajian terkait kekerasan seksual belum sepenuhnya dikuasai baik dari civitas akademika maupun mahasiswa. Masih dalam proses wawancara, ia mengungkapkan bahwa ada satu mahasiswa yang melaporkan kasus kekerasan seksual di IAIN Ponorogo. Mahasiswa tersebut dari Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan (FATIK), tidak disebutkan dengan jelas nama pelaku dalam pelaporan ini. Evi mengungkapkan bahwa pelaku

adalah seorang Dosen Pembimbing Lapangan (DPL) program magang. Sebagai tindakan atas pelaporan itu, pihak rektorat telah mengganti DPL korban. Evi juga mengungkapkan bahwa dirinya tidak diikutsertakan dalam penanganan kasus tersebut. Ia menduga bahwa kasus tersebut diselesaikan langsung oleh pihak rektorat. Dirinya hanya dimintai pertimbangan, bukan untuk memberikan sanksi kepada korban. Akan tetapi laporan tersebut dicabut setelah dua hari sejak pelaporan. “Kemarin sempat ada yang lapor tapi setelah dua hari laporan itu dicabut, karena korban terus disalahkan sama teman-temannya,” tutur perempuan yang sekarang menjabat sebagai rektor IAIN Ponorogo periode 2021-2025 tersebut. Pelaporan kasus kekerasan seksual kepada pihak yang berwenang seringkali malah menimbulkan tindakan kekerasan yang lain apabila tidak diikuti dengan persetujuan (consent) dari korban. Sudah jatuh, tertimpa tangga pula. Korban yang mengalami trauma karena telah mengalami pelecehan, bukannya memperoleh simpati malah disalahkan orangorang terdekatnya yang cenderung mengamini tindakan pelaku dan dianggap hal lumrah. Annisa Yovani dari Samahita Bandung (organisasi yang menyuarakan isu gender dan memerangi kekerasan seksual) pada sebuah seminar menggungkapkan bahwa banyak persoalan yang harus diperhatikan sebelum advokasi korban. Beberapa diantaranya: identitas korban harus dirahasiakan, tidak boleh mempertemu-

kan antara korban dengan pelaku karena akan menimbulkan trauma mendalam terhadap korban. “Pendampingan terhadap korban harus disertai dengan adanya rehabilitasi sehingga korban tidak kebingungan ketika membutuhkan bantuan,” jelasnya. Penanganan kasus kekerasan seksual tidak cukup dengan memberi efek jera kepada pelaku. Banyak prosedur dan langkah-langkah konkret yang seharusnya ada di setiap perguruan tinggi untuk menciptakan lingkungan yang aman. Menurut Anna Desliani, idealnya penanganan kasus kekerasan seksual harus mencakup beberapa hal diantaranya: Pertama, regulasi yang jelas, yakni kampus harus membuat peraturan baru terkait penanganan kasus kekerasan seksual dengan mengacu pada pedoman yang telah dibuat oleh Kemenag. Kedua, adanya pusat pengaduan yang ramah terhadap korban. Pusat pengaduan yang dimaksud tidak hanya dari dosen saja melainkan dari mahasiswa. Hal ini bisa mempermudah pemahaman terhadap kasus kekerasan seksual dan dibarengi kajian-kajian rutin dengan perspektif yang bagus. Ketiga, adanya kurikulum gender. Kurikulum gender ialah mata kuliah wajib yang harus dipelajari mahasiswa. Keempat, pemasangan plang atau papan spanduk paten layaknya peraturan berpakaian rapi, kampanye tentang stop kekerasan seksual juga harus ada di setiap sudut kampus. “Ditambah lagi kampus harus benar-benar konsisten, dibuktikan dengan melakukan monitoring dan evaluasi,” tegas Anna yang juga peMajalah LPM aL-Millah Edisi 37

33


Liputan Khusus

giat di Komunitas Narasi Perempuan. Jika ditarik dari pedoman penanganan kasus kekerasan seksual yang diedarkan oleh Kemenag, kampus harus memenuhi prinsip dan standar penanganan. Diantaranya: penanganan terhadap korban harus sesuai dengan jenis dan bentuk kekerasannya, menghargai keputusan korban, menjaga kerahasiaan, tidak menghakimi, non diskriminasi, berkeadilan gender, berkelanjutan, dan berempati. Sedangkan standar layanan korban mencakup: Pertama, ketersediaan layanan pengaduan yang meliputi tempat tinggal sementara, layanan medis dasar, bantuan hukum, layanan psikologi, penguatan spiritual, dan reintegrasi sosial. Kedua, akses. Yakni ketersediaan informasi yang memadai, anggaran penanganan yang mencukupi sehingga layanan yang diberikan bebas biaya, prosedur dan persyaratan penanganan tidak menghalangi akses. Ketiga, keberterimaan, yakni seluruh layanan baik sistem maupun prosedur harus menjaga dan melindungi korban, memiliki perspektif korban dan HAM, menghormati dan memberikan kebebasan untuk berkeyakinan dan beragama, mempertimbangkan kondisi kerentaan khusus bagi penyandang disabilitas, anak, lansia dan buta aksara. Ke-

empat, yakni kualitas, meliputi semua layanan yang disediakan harus berkualitas. Kelima, partisipasi yakni seluruh layanan yang dijalankan harus memastikan adanya pemberdayaan dan keterlibatan korban, keluarga, pendamping dan orang-orang yang dipercaya korban. Dilihat dari kepatuhan pedoman penanganan kasus kekerasan seksual yang dibuat oleh Kemenag, IAIN Ponorogo masih belum mencapai tahap standarisasi yang telah dijelaskan di atas. Pasalnya, tempat pengaduan belum tersedia dan berjalan sebagaimana mestinya. Ketika terjadi pelecehan/kekerasan seksual, lima mahasiswa yang diwawancarai oleh kru LPM aL-Millah, semuanya belum mengetahui arah dan prosedurnya. “Kalo tempat buat ngadu kayak gitu (kekerasan.red) belum tau harus kemana,” tutur Ninda mahasiswa Hukum Ekonomi Syariah semester empat. Tak hanya tempat pengaduan, IAIN Ponorogo belum memiliki perspektif yang tepat terhadap penanganan kasus kekerasan seksual. Dapat dilihat dari kasus yang pernah dilaporkan salah satu mahasiswa IAIN Ponorogo di atas. Civitas akademik IAIN Ponorogo belum mampu menciptakan ruang bagi korban agar

merasa aman. Alih-alih kasusnya diusut hingga benar-benar tuntas, korban malah terpaksa mencabut tuntutannya karena perbuatan orang-orang terdekat yang justru menyalahkannya. Selain itu, sanksi yang diberikan terhadap pelaku pun dirasa belum pro penyintas, sebatas memindahkan DPL ke kelompok lain dan mendapat teguran. Pasalnya tidak ada yang menjamin bahwa pelaku tidak akan mengulangi perbuatannya, karen a tidak ditetapkan sanksi yang dapat memberi efek jera bagi pelaku. Keseriusan dalam menangani kasus kekerasan seksual masih dipertanyakan. Hal ini dapat dilihat dari tanggapan rektorat terkait regulasi penanganan kasus kekerasan seksual di IAIN Ponorogo. Peraturan sebagai payung hukum atas penindakan kepada pelaku kekerasan seksual tersebut tak kunjung ditetapkan dan diterapkan, malah harus menunggu kepengurusan akademik yang baru. Memperhatikan berbagai indikator di atas, kampus IAIN Ponorogo masih belum mampu menjadi perguruan tinggi yang aman dari kekerasan seksual. (Umi Ula Romadhoni_26.17.181) (Dhamuri_27.18.184) (Hanifa Faizul Huda_28.19.201)

Apabila ingin konsultasi atau pengaduan layanan, bisa menghubungi Amita WCC Ponorogo. WhatsApp: 08886023333 Email: amitawccponorogo@gmail.com Amita WCC Ponorogo merupakan lembaga pendampingan korban kekerasan terhadap perempuan dan anak di Ponorogo.

34

Majalah LPM aL-Millah Edisi 37


Khazanah

KEPEMIMPINAN PEREMPUAN DALAM PERSPEKTIF ISLAM YANG DIPERDEBATKAN

Ilus: Chandra

N

a r a s i t e n t a n g kepemimpinan perempuan dalam Islam menjadi persoalan yang kerap diperdebatkan sepanjang masa. Persoalan tersebut didasarkan pada perbedaan metodologi berpikir dalam memberikan pemahaman dan interpretasi terhadap teks al-quran, hadist, serta penilaian terhadap ijma’ ulama sebagai sumber hukum dalam memecahkan persoalan menurut Islam. Sehingga implikasi dari ketiganya dapat menghasilkan konklusi hukum yang berbeda. Perbedaan pandangan mengenai kepemimpinan perempuan ini dijadikan sebagai dalih un-

tuk melegalkan kepentingan masing-masing pihak yang terlibat. Seperti perempuan yang menginginkan adanya kesetaraan dalam berbagai sektor utamanya pada bidang kepemimpinan politik serta laki-laki yang tetap mempertahankan posisi superior dirinya atas perempuan. Atau bahkan, kepentingan satu golongan di atas golongan lainnya. Hemat penulis, logis saja jika masing-masing pihak ingin memperjuangkan atau pun tetap mempertahankan posisi kekuasaan. Namun perlu diketahui bahwa dalam menghukumi suatu persoalan, penting kiranya

memperhatikan dan menyesuaikannya dengan konteks perkembangan waktu saat ini. Islam telah mengajarkan untuk mengutamakan kemaslahatan hidup bersama di atas segalanya dari pada kepentingan dan kepuasan ego semata. Islam tidak pernah melahirkan konsep yang membatasi peran perempuan untuk menjadi pemimpin. Sejarah telah membuktikan kedudukan perempuan pada masa Nabi Muhammad tidak hanya dianggap sebagai pelengkap laki-laki saja. Namun perempuan dianggap sebagai manusia yang memiliki kedudukan seMajalah LPM aL-Millah Edisi 37

35


Khazanah

tara di hadapan Allah. Seperti istri Nabi Sayyidah Aisyah yang pernah memimpin perang jamal dan sebagai perowi perempuan. Ummu Hani dan al-Syifa seorang perempuan yang memiliki kepandaian menulis kitab diperintahkan oleh khalifah Umar ibn Khathab sebagai petugas dalam mengatasi persoalan di pasar Madinah. Sejarah Islam pernah mencatat Syajarah tuddur sebagai ratu Dinasti Mamluk di Mesir. Contoh lainnya adalah Robiah al-Adawiyah yang mampu mendedikasikan dirinya sebagai seorang sufi terkemuka. Al-Quran telah menggambarkan Ratu Balqis sebagai simbol kepemimpinan perempuang dilukiskan memiliki kerajaan super power. Ratu Balqis merupakan figur perempuan pertama yang mampu memimpin sebuah kerajaan. Kerajaan Saba menjadi kerajaan yang makmur di bawah kepemimpinan Ratu Balqis. Berdasarkan uraian tersebut Islam telah mengakui sekaligus memberi ruang kepada perempuan untuk menjadi pemimpin. Masyarakat Indonesia sendiri telah menyaksikan kehebatan perempuan dalam memimpin suatu pergerakan atau organisasi. Tokoh perempuan termasyhur Indonesia ialah Raden Ajeng Kartini yang dikenal sebagai

pelopor dalam memperjuangkan pendidikan bagi wanita. Berkat jasanya R.A. Kartini dinobatkan sebagai pahlawan nasional perempuan Indonesia. Namun jauh sebelum R.A. Kartini dikenal sebenarnya Dewi Sartika sudah memulai pergerakan perempuan dalam memperjuangkan pendidikan. Dewi Sartika telah mendirikan “Sakolah Istri” di Jawa Tengah pada tahun 1903. Tokoh perempuan lainnya adalah Cut Nyak Dien yang menjadi komando perang Aceh pada masa kolonial, dilanjutkan oleh Cut Meutia, Christina Martha Tiahahu yang mengangkat senjata untuk melawan penjajah. Laksamana Malahayati yang turut hadir menjadi panglima perang dari Aceh. Melalui Surat Keputusan Presiden RI Nomor 115/ TK/TAHUN 2017 Laksamana Malahayati dinobatkan sebagai pahlawan nasional oleh Presiden Joko Widodo pada peringatan Hari Pahlawan 2017. Tokoh perempuan lainnya ada H.R Rasuna Said yang bergerak dalam bidang organisasi politik, pendidikan, dan Jurnalistik. H.R Rasuna Said aktif dalam pergerakan memperjuangkan agar perempuan memiliki kedudukan yang sejajar dengan laki-laki. Pasca reformasi, wacana hukum Islam tentang boleh tidaknya wanita menduduki jabatan

publik muncul setelah Megawati Soekarno Putri berhasil menduduki kursi presiden menggantikan Abdurrahman Wahid presiden ke-4 RI. Adanya perdebatan mengenai larangan perempuan dalam menduduki kepemimpinan secara tersirat tidak terlepas dari kepentingan politik pada saat itu. Meski kepemimpinan perempuan tengah didebatkan namun perempuan Indonesia telah berhasil menduduki strategis pada sektor pemerintahan. Dilansir dari tirto.id pada pemilihan umum DPR periode 2019 – 2024 persentase perempuan mengalami peningkatan sebesar 22 persen dari pemilihan sebelumnya. Sebanyak 118 kursi dari 575 kursi DPR sekitar 21 persen diisi oleh perempuan sedangkan pada pemilihan sebelumnya, perempuan hanya mampu mene m pa t i 9 7 k u r s i DPR. D a r i angka tersebut bisa dilihat bahwa kursi wakil rakyat masih diwarnai oleh laki-laki. Ini tentunya berdampak pada kebijakan yang ramah perempuan. Meskipun, banyaknya jumlah tidak bisa jadi parameter pemenuhan kebijakan ramah perempuan, jika tidak dibarengi dengan komitmen untuk mengakomodirnya. Meski perempuan telah diberikan ruang pada sektor publik namun peran perempuan

Islam tidak pernah melahirkan konsep yang membatasi peran perempuan untuk menjadi pemimpin. Sejarah telah membuktikan kedudukan perempuan pada masa Nabi Muhammad tidak hanya dianggap sebagai pelengkap laki-laki saja. Namun perempuan dianggap sebagai manusia yang memiliki kedudukan setara di hadapan Allah. 36

Majalah LPM aL-Millah Edisi 37


Gambar: glory-travel.com

Khazanah

masih sangat dibatasi. Penulis mengira pemberian kuota 30% pada kursi parlementer hanya sebatas formalitas simbolik dalam demokrasi. Bisa dilihat dari data Inter Parliamentary Union, bahwa Indonesia menduduki peringkat keenam di ASEAN dan ke-89 dari 168 negara dalam hal keterwakilan perempuan. Anggapan perempuan tidak patut dalam memposisikan diri sebagai pemangku kebijakan nampaknya masih berlaku. Potret singkat ini akan menarik apabila dikaitkan pada pembahasan mengenai kepemimpinan perempuan dalam Islam, mengingat Indonesia mayoritas penduduknya tercatat beragama Islam. Lantas

bagaimana Islam dalam menyikapi persoalan tersebut berdasarkan konteks yang terjadi di Indonesia sekarang ini? Kerancuan Legitimasi Hukum Islam dalam Memahami Kepemimpinan Perempuan K.H. Husein Muhammad, pengasuh pondok pesantren Darut Tauhid Arjawinangun Cirebon, Jawa Barat, aktif dalam memperjuangkan hakhak perempuan dengan melahirkan pemikiran yang dijadikan sebagai salah satu sumber rujukan mengenai persoalan Fikih. Pemikiran tersebut dituangkan dalam buku

yang berjudul Fiqih Perempuan: Refleksi Kiai atas Tafsir Wacana Agama dan Gender. Lahirnya buku tersebut tidak terlepas dari perhatian besarnya terhadap isu gender saat ini. K.H. Husein Muhammad selain menjadi pengasuh pondok, ia juga menjabat sebagai komisioner Komnas Perempuan Jakarta, Pendiri Institut Studi Islam Fahmina (ISIF) dan pendiri Fahmina Institut. Fahmina Institut bergerak dalam bidang keagamaan kritis berbasis tradisi keislaman pesantren. Berkat kiprahnya dalam memperjuangkan kesetaraan gender K.H. Husein Muhammad pernah menerima penghargaan dari bu-

Majalah LPM aL-Millah Edisi 37

37


Khazanah

berbeda dalam memberikan keputusan hukum. Golongan pertama yang mempercayai teks-teks Islam sebagai doktrin berlaku untuk keseluruhan kehidupan. Golongan kedua merupakan golongan reformis menyakini bahwa teksteks al-quran dengan praktik kultural harus dimaknai selaras. Pada buku Fiqih Perempuan: Refleksi Kiai atas Tafsir Wacana Agama dan Gender dijelaskan bawa pernyataan pemikir Islam yang melarang kaum perempuan menjadi pemimpin menggunakan dalih surat An-Nissa’ ayat 34. Ayat itu berarti “Kaum laki– laki adalah pemimpin atas kaum perempuan, disebabkan Tuhan telah melebihkan sebagian mereka atas sebagian yang lain, dan karena mereka telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.”

Berdasarkan ayat tersebut laki-laki adalah qowwam atas perempuan. Para ahli tafsir menyatakan bahwa qowwam berarti pemimpin, pelindung, penanggung jawab, pendidik, pengatur. Menurut Muhammad Abduh pemikir Islam kontemporer dan muridnya Muhammad Rosyid Ridha ayat di atas ditafsirkan bahwa laki-laki telah dianugrahi kekuatan yang tidak dimiliki oleh perempuan. Kelebihan tersebut yakni laki-laki diberikan tanggung jawab dan dianggap mampu untuk memberikan harta mereka sebagai nafkah kepada perempuan. Golongan tersebut memandang bahwa laki-laki menempati posisi superior atas perempuan. Hal itu berdasarkan pada pemikiran yang dikemukakan oleh Az-Zamakhsyari, muslim

Gambar: mantrasukabumi.pikiran-rakyat.com

pati Cirebon sebagai penggerak, pembina, dan pelaku pembangunan pemberdayaan perempuan. K.H. Husein Muhammad juga mendapatkan penghargaan Award for Heroism dari pemerintah Amerika Serikat untuk “Heroes Acting to End Modern Day Slavery”. Penghargaan yang didapat oleh K.H. Husein Muhammad merupakan sebuah apresiasi terhadap perannya yang diakui secara nyata baik pada tingkat Nasional dan Internasional. Dalam bukunya, alumni pondok Lirboyo, Perguruan Tinggi Ilmu Al-Quran (PTIQ), serta Al-Azhar ini banyak menyajikan penafsiran ulama yang kontra khususnya pada kepemimpinan perempuan. Menurutnya, perdebatan ulama megenai kepemimpinan perempuan melahirkan dua golongan yang

38

Majalah LPM aL-Millah Edisi 37


Khazanah

liberal. K.H Husein Muhammad menuliskan, Az-Zamakhsyari menyatakan bahwa kaum laki-laki memiliki sejumlah keahlian yang dapat diunggulkan. Di antaranya yaitu akal, ketegasan, semangat, keperkasaan, dan keberanian atau ketangkasan. Maka jika dilihat dari kenabian, keulamaan, jihad, dan kepemimpinan yang bersifat publik hanya diberikan kepada laki – laki. Dalam buku tersebut juga dijelaskan mengenai pemikiran Fakhruddin Razzi yang menguatkan pandangan bahwa perempuan tidak dapat dijadikan pemimpin sebab ilmu pengetahuan dan kekuatan perempuan jauh berada di bawah laki-laki. Fakhruddin Razzi menyatakan kelebihan yang dimiliki laki-laki bersifat hakiki. Golongan ini juga menggunakan hadist yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, Tirmidzi, an-Nasai, dan Ahmad bin Hambal untuk memperkuat argumennya. Hadist itu berbunyi “Tidaklah beruntung suatu kaum yang diperintah oleh perempuan.” Padahal berdasarkan sejarahnya, hadist tersebut disampaikan pada zaman kerajaan Persia. Menurut tradisi yang berlaku di Persia yang berhak menempati kepala negara adalah laki-laki. Namun diangkatnya kepala negara perempuan, Buwaran binti Syairawaihi bin Kisra bin Barwaiz telah menyalahi akar tradisi. Saat itu kerajaan Persia berada di ambang kehancuran sebab Buwaran membunuh raja Persia. Ia juga membunuh saudara laki-laki Buwaran sebab haus akan tahta. Malapetaka yang menimpa kerajaan Persia tersebutlah yang membuat sebagian pemikir Islam

menolak kepemimpinan perempuan. Berdasarkan sosio historis hadist tersebut tidak semata-mata memberikan larangan bagi semua perempuan untuk memimpin. Hadist di atas dikhususkan pada masyarakat Persia yang saat itu sedang dipimpin oleh Buwaran. Ketika Buwaran menjadi pemimpin, ia tidak memiliki kemampuan untuk menjadi adil, bijaksana, dan visioner melainkan hanya memiliki kepentingan untuk berkuasa. Untuk itu di dalam Fathul Baari dijelaskan b a h w a s a b da Rasullulah tersebut dijadikan s e b a g a i peringatan kepada masyarakat Persia. Penulis memandang bahwa pemikiran yang dihasilkan oleh tokoh muslim tersebut hanya memberikan dogma dan memperjelas adanya ketimpangan dan ketidakadilan gender. Hasil pemikiran tersebut membuat agama Islam terlihat menunjukkan keberpihakannya kepada laki-laki dalam konteks kepemimpinan. Perempuan mengalami diskriminasi karena perannya dalam hal ini masih sangat dibatasi. Pemikiran mengenai agama merupakan buah interpretasi para ulama terhadap makna teks. Maka hasil pemikiran tersebut tidak memiliki kebenaran yang absolut dengan demikian masih dapat ditafsirkan ulang sesuai dengan konteks zaman. Realitas sosial bersifat dinamis. Untuk itu perlu dalam menafsirkan suatu ayat tidak hanya melihat tekstualitas semata namun perlu menelisik lebih lanjut berdasarkan konteks ayat Al-Quran diturunkan. Amina Wadud, seorang filsuf

muslim menegaskan dalam memberikan penafsiran teks Al-Quran harus berdasarkan pada tiga hal yaitu ruang, waktu, budaya. Ketika menghukumi suatu perkara perlu menyesuaikan dengan zaman di mana persolan tersebut terjadi. Penafsir progresif ini berpendapat, penafsiran teks kitab suci bersifat relatif sehingga memunculkan rumusan baru yang dapat membedakan agama dengan pemikiran agama. Senada dengan Amina Wadud, K.H. Husein Muhammad juga memberikan kritik atas metode yang digunakan oleh sebagian pemikir Islam kontemporer dan liberal dalam memberikan penafsiran terhadap teks Al-Quran dan hadist Nabi. Ia berpendapat, untuk memberikan tafsir terhadap suatu persoalan hendaknya memperhatikan konteks zaman. K.H. Husein Muhammad menolak untuk menghukumi persoalan yang dihadapi pada masa kini dengan menggunakan hukum masa lampau secara tekstual. Kajian-kajian Islam yang lahir pada suatu masa tidak dapat ditarik dalam ruang dan waktu saat ini. Fakta terkini membuktikan bahwa banyak perempuan dapat menyelesaikan tugas kepemimpinan politik yang selama ini dianggap tidak mungkin untuk dikerjakan oleh mereka. Penulis mengira metode yang digunakan oleh K.H. Husein Muhammad tersebut telah selaras dengan perkembangan waktu saat ini. Namun tidak menutup kemungkinan pemikiran K.H. Husein Muhammad juga akan mengalami pergeseran seiring dengan perkembangan Majalah LPM aL-Millah Edisi 37

39


Khazanah

atau malah akan adanya kemunduran zaman di masa yang akan datang. Sehingga akan melahirkan pemikiran-pemikiran yang lebih baru dan sesuai dengan realitas mendatang. Konsep Islam dalam Menanggapi Dinamika Kepemimpinan Perempuan Kehadiran Islam telah berhasil mengubah tradisi Jahiliyah dimana pada saat itu perempuan tidak diberikan hak untuk hidup. Kelahiran bayi perempuan pada masa Jahiliyah dianggap tabu dan memalukan dengan alasan anak perempuan tidak dapat diajak untuk berperang. Kondisi tersebut membuat mereka dikubur secara hidup-hidup. Namun Islam datang dengan membawa angin ketenangan bagi perempuan sebab Islam menghormati serta menjunjung tinggi harkat dan martabat perempuan. Salah satunya dengan memberikan kedudukan yang setara dengan kaum laki-laki pada ranah kepemimpinan. Konsep kepemimpinan dalam Islam didasarkan firman Allah pada QS. Al–Baqarah ayat 30 yang berbunyi “Allah menciptakan manusia baik laki–laki dan perempuan untuk menjadi pemimpin.” Menurut Neng Dara Afifah, salah satu feminis muslim, kata pemimpin dalam ayat ini memiliki makna yang luas dapat diartikan sebagai pemimpin pemerintah, pemimpin pendidikan, pemimpin keluarga, dan pemimpin untuk dirinya sendiri. Artinya Islam tidak memberikan batasan mengen a i p era n perempuan untuk dapat menja40

Majalah LPM aL-Millah Edisi 37

di pemimpin. K.H. Husein Muhammad memberikan pendangan yang berbeda dalam menafsirkan posisi perempuan. Perempuan yang ditempatkan di bawah kedudukan laki-laki sebenarnya muncul dari peradaban yang dikuasai oleh laki-laki. Pada kebudayaan seperti ini perempuan tidak diberikan kesempatan untuk menduduki posisi strategis. Bagi K.H. Husein Muhammad, realitas sosial yang terjadi saat ini secara tidak langsung telah membantah tafsir pemikir Islam pada waktu lampau. Menelisik dari sejarah Islam sejak dahulu hingga sekarang perempuan telah memiliki kemampuan untuk memimpin seperti yang dimiliki oleh laki-laki. Ia menegaskan bahwa faktor utama keberhasilan seorang pemimpin adalah kemampuan dan intelektualitas. Pasalnya, saat ini kedua hal tersebut dapat dimiliki oleh siapa saja. Logika yang dibangun oleh K.H. Husein Muhammad dalam buku Fiqih Perempuan Refleksi Kiai atas Tafsir Wacana Agama dan Gender memberikan apresiasi kepada kepemimpinan perempuan. Terbukti dengan argumen yang ia lontarkan mengenai kesuksesan dan kegagalan dalam memimpin tidak dapat ditentukan berdasarkan jenis kelamin pemimpin negaranya. Ia juga memberikan gambaran bahwa dalam menjalankan kepemimpinan harus dilakukan dengan cara mewujudkan kepemimpinan yang bersifat demokratis serta menjunjung tinggi terhadap hak asasi manusia. Bu-

kan berdasarkan kepemimpinan yang merujuk pada kekuasaan tiranik, otoriter, dan sentralistik. K.H. Husein Muhammad menegaskan kembali dalam menjalankan kepemimpinan politik tidak terdapat kaitannya dengan jenis kelamin seseorang. Melainkan pada kualifikasi pribadi, integritas moral dan intelektual, serta sistem politik yang mendukung berjalannya roda kepemimpinan. Amina Wadud memberikan penafsiran yang berbeda tentang kata qowwam yang dijadikan senjata dalam melegalkan larangan pemimpin perempuan. Ia menafsirkan kata qowwam yang melekat pada diri laki-laki tersebut bersifat fungsional. Dalam hal ini fungsional berarti selama laki-laki tersebut memiliki sifat seperti yang dijelaskan oleh al-quran yakni mampu memberikan nafkah. Pandangan serupa juga disampaikan oleh Asghar Ali Engineer. Menurutnya, pernyataan tersebut tidak bersifat normatif yang dapat melekat pada perkembangan zaman dan keadaan. Neng Dara Afifah juga memberikan makna yang cukup netral dalam mengartikan kata qowwam. Qowwam dimaknai sebagai pencari nafkah, penopang ekonomi, atau mereka yang menyediakan sarana kehidupan. Ayat tersebut turun pada situasi saat perempuan sedang mengandung dan melahirkan. Sehingga tidak adil bila memberikan beban tambahan untuk mencari nafkah. Menurut pandangan Dara Afifah asbabun nuzul ayat tersebut berkaitan dengan hubungan suami istri bu-


Khazanah

kan pada konteks kepemimpinan publik. Ia juga mengungkapkan bahwa konsep kepemimpinan dalam Islam selain dijelaskan pada surah Al–Baqarah ayat 30 juga dijelaskan pada hadist yang diriwayatkan oleh Ibn Abbas. Hadist tersebut menyatakan bahwa “Masing-masing kamu adalah pemimpin, dan masing– masing kamu bertanggung jawab atas yang dipimpinnya.” Hadist ini memiliki makna penting dalam kepempinan yaitu setiap manusia adalah pemimpin bagi dirinya sendiri. Hendaknya setiap manusia dapat mengatur dan memberikan putusan terhadap dirinya masing – masing tanpa harus bergantung kepada orang lain. Neng Dara Afifah menolak dengan tegas bahwa al-quran dan hadist tidak membatasi peran perempuan untuk menjadi pemimpin. Kaum perempuan berhak mendapatkan kedudukan yang setara pada konteks kepemimpinan. Jika terdapat argumen yang menggunakan ayat al-quran untuk menggugat kepemimpinan perempuan maka ayat tersebut hanya dijadikan dalih dalam menjatuhkan perempuan. Pemikiran yang berbeda tentang kepemimpinan perempuan

juga diberikan oleh Siti Musda Mulia selaku Profesor Riset Bidang Lektur Keagamaan di Departemen Agama pada tahun 1999. Ia menegaskan tujuan terlibatannya kaum perempuan pada bidang kepemimpinan politik bukan untuk menjatuhkan dan merebut kekuasaan yang dimiliki oleh kaum laki-laki. Melainkan agar perempuan bisa menjadi mitra yang sejajar dengan laki-laki. Bagi Prof. Siti Musda Mulia, keterlibatan perempuan dalam bidang politik sangat penting untuk diperjuangkan. Sebab jika mereka tidak ikut andil maka aspirasi dan kebutuhan perempuan tidak akan didengar, diakui, bahkan dapat terabaikan. Pada konteks tersebut keterlibatan peran perempuan untuk memengaruhi keputusan akhir agar tercapainya kemaslahatan yang seimbang antara laki–laki dan perempuan. Terlepas dari kepentingan yang dibawa oleh masing-masing mufassir. Hadirnya pandangan pemikir terhadap Islam diharuskan dapat memberikan jaminan terhadap kemaslahatan dan keadilan dalam kehidupan sosial dan masyarakat. Bukankah agama Islam lahir sejatinya merupakan agama yang fleksibel yang

dapat memecahkan persoalan sesuai dinamika perkembangan zaman. K.H. Husein Muhammad telah memberikan pandangan terhadap kajian kepemimpinan perempuan yang lebih relevan, lebih berkeadilan, dan membawa maslahat berdasarkan realitas sosial sekarang. Berdasarkan perbedaan pemikiran mengenai kepemimpinan perempuan, penulis sepakat dengan pandangan yang dikemukakan oleh K.H. Husein Muhammad dan beberapa pemikir muslim progresif lainnya. Aktivitas dalam menjalankan roda kepemimpinan harus berdasarkan pada sistem yang diterapkan oleh nahkodanya. Bukan didasarkan kepada kualifikasi jenis kelamin seseorang. Jika perempuan saat ini memiliki kompetensi yang lebih baik dari laki-laki untuk menjadi pemimpin lantas kenapa laki– laki yang tetap dipilih. Stereotip yang berkembang di masyarakat mengenai keunggulan laki– laki menjadi pemimpin inilah yang membuat perempuan tidak diakui dan diberikan ruang dalam kepemimpinan. (Dwi Aziz Azizah A._26.17.171)

Tujuan terlibatannya kaum perempuan pada bidang kepemimpinan politik bukan untuk menjatuhkan dan merebut kekuasaan yang dimiliki oleh kaum laki-laki. Melainkan agar perempuan bisa menjadi mitra yang sejajar dengan laki-laki. Siti Musda Mulia

Majalah LPM aL-Millah Edisi 37

41


Kolom

Kekerasan Seksual dan Ilusi Kesempurnaan Manusia Oleh: Tsamrotul Ayu Masruroh (BP Advokasi Nasional PPMI) (Founder Santri Melawan Kekerasan Seksual (For Mujeres))

A

ktivitas seksual itu bisa menjadi suatu hal yang wajar dilakukan oleh manusia. Namun aktivitas seksual itu bisa menjadi sebuah problem atau masalah jika dilakukan dengan paksaan atau tipu daya tertentu, sehingga hal tersebut bisa dinilai sebagai kekerasan seksual yang berhubungan dengan hukum dan pelanggaran hak asasi manusia. Siapa pun bisa menjadi pelaku kekerasan seksual, baik laki-laki atau pun perempuan, namun sering kali yang menjadi korbannya adalah perempuan karena budaya patriarki yang berakar. Masyarakat kita pun sering tidak terima jika ada kerabat atau sosok yang dihormatinya dikatakan sebagai pelaku kekerasan seksual dan sering mengaggap tidak mungkin, bahkan mustahil, dan justru menyerang balik korban. Pada kesempatan ini saya ingin sedikit menulis tentang pelaku kekerasan seksual dan bagaimana kita sebagai manusia harus menyikapi hal tersebut.

42

Majalah LPM aL-Millah Edisi 37

Pada tahun 2017, di Indonesia m u n c u l isu tentang pesan berkonten pornogafi dan melecehkan yang melibatkan imam besar Front Pembela Islam (FPI) Rizieq Shihab. Para pendukung Rizieq menganggap isu tersebut sebagai upaya untuk menjatuhkan kredibilitas nama baik Rizieq sebagai pimpinan Ormas Islam sekaligus keturunan Nabi yang sangat dimuliakan. Bahkan lebih jauh, tak sedikit yang menganggap bahwa isu tersebut dihembuskan oleh musuh Islam untuk menjatuhkan agama Islam. Pada akhir tahun 2019, muncul pemberitaan di media, seorang putra kiai di Jombang, bernama M. Subchi Azal dikabarkan telah ditetapkan menjadi tersangka tindak pidana kekerasan seksual terhadap beberapa santriwatinya. Pihak pesantren tersebut merasa difitnah dan merasa ada pihak yang akan menghancurkan nama baik pesantren. Mei 2020, mencuat nama Ibrahim Malik alumni Universitas

Islam Indonesia (UII), yang dikabarkan melakukan kekerasan seksual terhadap 30 orang juniornya. Sosoknya yang tampil sebagai mahasiswa berprestasi, hafiz Qur’an dan pandai berceramah membuat banyak orang kaget, tidak percaya, bahkan pemberitaan tersebut dianggap menjatuhkan nama baik Ibrahim Malik. Diawal tahun 2021 ini, sosok yang sangat terkenal agamis dan dianggap intelektual di dunia, Harun Yahya dikabarkan ditangkap atas tuduhan berlapis mulai dari perbudakan kepada perempuan, pencucian uang, penyiksaan, penipuan, hingga membuat organisasi kriminal. Setelah menjalani persidangan sejak 2019, pengadilan kota Istanbul, Turki mengganjar lelaki ini dengan hukuman penjara selama 1.075 tahun. Di sini, saya tidak hendak menepis keyakinan kokoh pendukung Rizieq, Subchi Azal, Ibrahim Malik, atau Harun Yahya yang percaya bahwa mereka tak melakukan


Kolom

tindakan kotor. Wajar saja, dimana-mana kerumunan penggemar selalu menganggap idolanya selalu benar, sempurna dan tanpa cacat. Ini juga berlaku pada kerumunan penggemar lainnya. Tapi, tentu kita juga tak boleh naif dan kekanak-kanakan menanggapi hal tersebut. Sebisa mungkin kita harus angkat isu tersebut ke taraf yang lebih tinggi yaitu: pengetahuan tentang materialisme. Pada dasarnya, Rizieq, Subchi Azal, Ibrahim Malik, atau Harun Yahya adalah manusia sebagaimana manusia lainnya. Ia adalah makhluk sebagaimana makhluk lainnya yang bersifat material. Ia tersusun dari komponen yang sama dengan manusia dan makhluk lainnya. Komponen pembentuk manusia tak jauh berbeda dengan komponen semua hewan di dunia. Tak jauh berbeda dengan sapi, anjing bahkan babi. Tentu dengan tingkat dan kualitas yang mungkin berbeda-beda. Namun hal itu tak bisa dibantah bahwa tubuh kita memiliki bahan baku yang sama dengan hewan dan mempunyai perilaku yang sama pula yakni: makan, buang air, marah, senang dan berhasrat seksual. Dalam keterbatasan, ada dua hal yang hendak saya bahas dalam tulisan ini: pertama, tantangan pada diri saya sendiri untuk berani membongkar diri sendiri sebagai manusia yang seringkali menyembunyikan kedurjanaan diri dari balik topeng kebaikan. Jadi, sesungguhnya kita tak tengah membicarakan isu semata, tapi juga membicarakan yang lainnya, termasuk diri saya sendiri di dalam-

nya. Kedua, menunjukkan betapa pentingnya cara pandang materialis dalam melihat gejala dunia yang seringkali dioposisikan sebagai musuh iman dan semata cara pandang dunia kaum ateis, terlebih soal skandal kekerasan seksual. Dalam kesadaran kaum muslim, materialisme sering kali ditolak dan dituduh sebagai musuh keimanan. Meskipun sejatinya materialisme tak pernah bisa dilepaskan oleh manusia di dunia ini. Ia selalu melekat dan menjadi prasyarat hidup. Bahkan melekat dalam kehidupan itu sendiri. Pertama yang hendak saya katakan adalah apa pun argumentasi yang kita pakai, manusia tak bisa melepaskan dirinya dari yang materi, karena sesungguhnya ia adalah yang materi itu sendiri. Dengan demikian, maka wajar dan biasa saja jika manusia mempunyai hasrat libidinal pada manusia lainnya. Atau anggap saja ada manusia sempurna yang mampu dengan luar biasa mengekang hasrat libidinalnya, tapi apakah mampu ia tidak makan selama setahun sembari mempertahankan kesadaran dirinya. Apakah mungkin ada manusia beragama seperti saya ini mempertahankan kesadarannya akan Tuhan tanpa sama sekali makan? Jika meragukan, siapa pun boleh mencoba mempraktikkan. Minumlah racun dengan dosis yang tinggi, pasti kesadaran kalian akan hilang. Atau minumlah aspirin satu kilo pasti konslet kepala kalian, akan sulit bicara atau tubuh sulit beker-

Pertama yang hendak saya katakan adalah apa pun argumentasi yang kita pakai, manusia tak bisa melepaskan dirinya dari yang materi, karena sesungguhnya ia adalah yang materi itu sendiri.

Majalah LPM aL-Millah Edisi 37

43


Kolom

ja dengan benar seperti biasanya. Bahkan konsep Tuhan yang beragam dalam tradisi agama-agama juga dimungkinkan oleh pengalaman material yang berbeda. Problem materialisme menjadi penting untuk kita ungkap kembali dalam kesadaran kita di tengah tantangan yang ada pada hari ini, agar kita tetap hidup dengan waras sekaligus sebagai penangkal parade kebodohan yang tengah dipertontonkan di muka umum. Lagi-lagi Rizieq, Subchi, Ibrahim Malik, Harun Yahya dan siapa pun juga hanyalah manusia biasa sebagaimana umumnya. Maka kita tak perlu berlebihan memujanya, apalagi menganggapnya tak mungkin salah. Ia bukan manusia suci. Kalau pun ada manusia yang dianggap suci, bukan karena ia mampu keluar dari materialitas dirinya. Ia dianggap suci karena dimungkinkan oleh kemampuannya mendisiplinkan hasrat badaniahnya untuk menggayuh nilai hidup yang l e b i h t i n g g i . Tak lebih dari itu. Misalnya, ada orang bertapa, tidak melakukan hubungan seksual, tidak banyak makan, hidup sederhana, itu dilakukan semata-mata untuk melatih diri atau mendisplinkan diri agar tak terjatuh pada banalitas yang tak jauh beda dengan hewan. Dengan demikian, kaum muslim tak perlu marah dan mengira ada konspirasi kaum kafir untuk menghancurkan Islam, seandainya benar ada elit atau tokoh Islam yang terjatuh pada tindakan cabul atau menjadi pelaku kekerasan seksual. Ya, itu biasa saja. kalau ada seorang lelaki dewasa, siapa pun dirinya, apa pun jabatannya, berhasrat dengan

perempuan itu hanya menandakan satu hal: secara hormonal ia sehat. Hanya saja, yang menjadi persoalan adalah, seandainya ada seseorang yang gemar gembar-gembor soal moral justru dirinya sendiri bertindak amoral dan justru melanggar hak asasi manusia. Seandainya saja ia jujur bahwa sedang menuruti hawa nasfunya atau kesenangan dirinya, dan mengaku bersalah, tentu kita hargai. Karena sebenarnya ia mengakui bahwa dirinya hanyalah manusia sebagaimana manusia umumnya. Ia bukan orang sempurna yang selalu benar sebagaimana selama ini disangka banyak orang. S e k a l i lagi inilah pentingnya materialisme. Menganggap elit dan tokoh Islam otomatis benar, d a n t i dak mungkin salah, tentu menyalahi prinsip dalam Islam yang menganggap manusia sebagai rumah kesalahan. Menganggap keturunan para Nabi atau keturunan para ulama lebih tinggi derajatnya ketimbang manusia lainnya juga menyalahi prinsip dalam Islam yang memerintahkan untuk memuliakan semua manusia, tanpa memandang ras, keturunan dan agamanya. Terakhir, siapa pun bisa menjadi pelaku kekerasan seksual, kekerasan tetaplah kekerasan siapapun pelakunya, mendukung kerukunan bukan berarti mendiamkan adanya kekerasan seksual, semoga kita semua menjadi manusia yang adil sejak dalam pikiran.

Namun hal itu tak bisa dibantah bahwa tubuh kita memiliki bahan baku yang sama dengan hewan dan mempunyai perilaku yang sama pula yakni: makan, buang air, marah, senang dan berhasrat seksual.

44

Majalah LPM aL-Millah Edisi 37


SKSD Sapa Kota Sapa Desa

Mesin jahit dan ibu tak pernah menggerutu. Suara keduanya menyatu untuk menghidupiku dan menyekolahkanku. Rista Purnamasari Pasar Lanang Ponorogo

Menjadi perempuan bukanlah kekurangan. Melainkan, power tambahan untuk menyatakan bahwa kesempurnaan itu ada di dunia ini. Ahmanda Jalan Raden Katong Ponorogo

Suara perempuan tak boleh disubordinasi laki-laki, kedudukan dan politik. Perempuan harus merdeka dan ikut bicara tentang keputusan dan keadilan. Rista Purnamasari Pasar Legi Ponorogo


SKSD Sapa Kota Sapa Desa

Ibu terlihat kuat tapi semua dilakukannya itu “demi”, demi hidup cintanya, demi hidup cinta dari cintanya, barulah demi dirinya. Rista Purnamasari Pasar Legi Ponorogo

Aku ingin terbang. Aku ingin menyentuh angan. Angan milik ibu bapak tentangku yang ia gantungan pada doa-doa semalam. Rista Purnamasari Jalan Baru Ponorogo


SKSD Sapa Kota Sapa Desa

Dalam usaha dan do’anya, Ibu tak pernah berdusta. Aliffanda Pasar Stasiun Ponorogo

Harapan akan selalu mengikuti gerakmu. Rista Purnamasari Jalan Soekarno Hatta Ponorogo


SKSD Sapa Kota Sapa Desa

Di dapur, semua perasaan ibu tumpah. Dalam api, dalam asap, dalam kayu bakar, dalam masakan dan dalam peluhnya. Apabila aku dalam lapar dan sepi, kuingat ibu, tungku dan api. Rista Purnamasari Desa Tanjungsari, Jenangan, Ponorogo

Kau dan aku sahabat. Rista Purnamasari Desa Tanjungsari, Jenangan, Ponorogo


SKSD Sapa Kota Sapa Desa

Bukan menjadi tua yang membuatmu berhenti bermimpi tapi berhenti bermimpilah yang membuatmu tua. Rista Purnamasari Pasar Sri Rejeki, Jenangan, Ponorogo

Di pikulan ibu, rumput itu diam. Pasrah dan ikhlas mati demi kasih ibu pada penghidupan negeri. Rista Purnamasari Desa Tanjungsari, Jenangan, Ponorogo


SKSD Sapa Kota Sapa Desa

Senandung cinta selalu sederhana tapi terasa hebat jika ditafsirkan dengan rasa. Rista Purnamasari Jalan Baru Ponorogo

Membelah tanpa memandang rendah seseorang yang kau beri dan jangan pula merasa tinggi dari seseorang yang kau beri. Rista Purnamasari Pasar Stasiun Ponorogo


SKSD Sapa Kota Sapa Desa

Setiap satu langkah ibu adalah seteguk air untuk kita. Rista Purnamasari Pasar Sasiun Ponorogo

Banyak rezeki belum tentu membuat kepuasan hati. Sedikit rezeki belum tentu tidak kaya hati. Aliffanda Pasar Stasiun Ponorogo


SKSD Sapa Kota Sapa Desa

Atas nama kemanusiaan dan kemaslahatan, semua manusia wajib saling menjaga. Aliffanda IAIN Ponorogo

Perempuan yang terhormat adalah ia yang pandai menghormati, terutama menghormati dirinya sendiri. Ahmanda Bantarangin Ponorogo

Segala hiruk pikuk kabar dunia, tak menyurutkan wanita untuk berjuang mencari kehidupan yang layak dengan bekerja. Aliffanda Pasar Stasiun Ponorogo


Kolom

Jaminan Perlindungan Terhadap Pekerja Perempuan dalam Undang-Undang Cipta Kerja Oleh: Asit Defi Indriyani, S.H. (Divisi Hukum Amita WCC Ponorogo)

K

ondisi perempuan di bidang ketenagakerjaan secara umum sampai hari ini masih jauh dari harapan baik dari segi kualitas maupun kuantitas. Hal ini terlihat dengan adanya kesenjangan yang cukup tinggi antara tingkat partisipasi angkatan kerja perempuan dan laki-laki. Sesuai dengan data yang dicatat oleh BPS (Badan Pusat Satistik) pada Februari 2020 bahwa Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) secara nasional masih di dominasi laki-laki dengan jumlah sebesar 83,82%, sedangkan jumlah angkatan kerja perempuan hanya sebesar 54,56 %. Dibandingkan tahun 2019, TPAK laki-laki mengalami peningkatan sebesar 0,64% sedangkan TPAK perempuan justru mengalami penurunan sebesar 0,94 %. Melindungi dan menjamin perempuan dalam segala regulasi yang ada di setiap negara adalah menjadi suatu kewajiban bagi

negara-negara yang telah meratifikasi CEDAW (The Convention on the Elimination of all Forms of Discrimination Againts Women). Konvensi ini menjabarkan tentang prinsip-prinsip hak asasi manusia, norma-norma serta standar kewajiban yang mana seharusnya negara bertanggung jawab penuh dalam penghapusan diskriminasi terhadap perempuan. Indonesia sendiri telah meratifikasinya sejak 24 Juli 1984 melalui UU RI No. 7 Tahun 1984. Indonesia juga telah meratifikasi Konvensi Nomor 100 tentang Pengupahan yang sama bagi laki-laki dan perempuan untuk pekerjaan yang sama nilainya. Konvensi ini diratifikasi dengan Undang-Undang Nomor 80 Tahun 1957. Selain itu Konvensi Nomor 111 tentang diskriminasi dalam pekerjaan dan jabatan juga diratifikasi dengan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1999. Dan juga Konvensi ILO Nomor 183 Tahun 2000 tentang Maternity Protec-

tion atau mengenai perlindungan maternitas. Meratifikasi konvensi-konvensi tersebut berarti pemerintah wajib mengadopsi keseluruhan pasal di dalamnya untuk diimplementasikan ke dalam hukum nasional masing-masing hukum negara. Negara bertanggungjawab penuh dalam penghapusan diskriminasi terhadap perempuan, jaminan perlindungan perempuan pekerja dalam hal maternitas atau ketika menjalankan tanggung jawab reproduksinya serta perlindungan lainnya. Akan tetapi kondisi hari ini terus menunjukkan bahwa implementasi konvensi tersebut belum optimal. Faktanya optimalisasi undang-undang yang melindungi perempuan pekerja masih sangat lemah. Salah satunya dengan disahkannya Undang-Undang Cipta Kerja yang dilansir minim dan mengurangi jaminan perlindungan terhadap pekerja perempuan yang sudah ada dalam Undang-Undang Majalah LPM aL-Millah Edisi 37

53


Kolom

Ketenagakerjaan. Jika secara yuridis jaminan terhadap hak pekerja perempuan telah diatur dalam konstitusi internasional, maka yang menjadi pertanyaan adalah apakah kebutuhan dan kepentingan pekerja perempuan yang memiliki karakteristik yang berbeda dengan pekerja laki-laki yang sebelumnya telah diakomodasi oleh Undang-Undang Ketenagakerjaan dan kemudian diubah oleh Undang-Undang Cipta Kerja masih akan tetap terjamin perlindungannya ataukah justru mengalami penurunan. Undang-Undang Cipta Kerja berdampak pada perubahan beberapa undang-undang yang salah satunya adalah Undang-Undang No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Yang mana perubahan Undang-Undang tentang Ketenagakerjaan ada di dalam BAB IV Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Undang-Undang Cipta Kerja ini mengubah sebanyak 31 pasal, sebanyak 29 pasal dihapus dan 13 pasal baru disisipkan ke dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan. Sehingga membaca Undang-Undang Cipta Kerja harus bersandingan dengan Undang-Un-

dang yang bersangkutan. Secara otomatis bagian dari Undang-Undang Ketenagakerjaan yang dihapus oleh Undang-Undang Cipta Kerja tidak lagi berlaku dan yang diubah akan mengikuti perubahan dalam Undang-Undang Cipta Kerja. Kaitannya dengan ketenagakerjaan, sebelum adanya Undang-Undang Cipta kerja ini saja implementasi terkait pemenuhan hak bagi pekerja perempuan masih bisa dibilang kurang begitu maksimal karena masih ada di beberapa perusahaan yang tidak memberikan atau mengurangi hak cuti pekerja perempuan. Seperti yang dipaparkan oleh tirto.id bahwa pada 2018 lalu sebuah pabrik garmen di kawasan berikat nusantara Cakung Jakarta Utara melakukan sistem kerja yang eksploitatif yaitu mengabaikan hak cuti haid dan cuti hamil bagi buruh perempuan. Apalagi setelah adanya Undang-Undang Cipta Kerja ini justru semakin memperlihatkan bahwa semangat perlindungan terhadap perempuan kian menurun dan juga dinilai semakin melanggengkan diskriminasi hak khususnya pekerja perempuan. Hal ini akan membuat mereka

semakin terpinggirkan dan sulit mendapatkan akses terhadap haknya atas penghidupan yang layak. Hal pertama yang paling menonjol adalah terkait aturan upah satuan waktu atau bisa dikatakan perjam. Aturan ini terdapat dalam pasal 88 B Undang-Undang Cipta Kerja. Hal ini berimbas kepada pekerja perempuan yang menjalankan tanggung jawab reproduksinya. Perempuan yang kesakitan ketika masa haidnya datang, perempuan yang melahirkan, perempuan yang menyusui di sela-sela jam kerja, perempuan yang cuti karena keguguran kandungan. Mereka berpotensi untuk tidak dibayar upahnya secara penuh bahkan tidak dibayar jika sampai tidak masuk sama sekali. Pun dengan perempuan pekerja yang absen bekerja karena menikah atau menikahkan, mengkhitankan anaknya, membaptiskan anaknya, anggota keluarganya ada yang meninggal, serta pekerja perempuan yang absen karena menjalankan kewajiban ibadahnya pun juga berpotensi untuk tidak mendapatkan upah penuh. Undang-Undang Cipta kerja memang sama sekali tidak meng-

Sebelum adanya Undang-Undang Cipta kerja ini saja implementasi terkait pemenuhan hak bagi pekerja perempuan masih bisa dibilang kurang begitu maksimal karena masih ada di beberapa perusahaan yang tidak memberikan atau mengurangi hak cuti pekerja perempuan. 54

Majalah LPM aL-Millah Edisi 37


hapus atau mengubah pasal 81-83 Undang-Undang Ketenagakerjaan, akan tetapi ketentuan lain seperti ketentuan upah yang bersifat satuan tadi memunculkan potensi pekerja perempuan tidak mendapatkan hak-haknya ketika tidak masuk bekerja karena alasan-alasan yang diperbolehkan oleh pasal 81-83

Undang-Undang Ketenagakerjaan. Alasan-alasan itu adalah : Pekerja perempuan yang dalam masa haid merasakan sakit (pasal 81) Pekerja/buruh perempuan 1,5 (satu setengah) bulan sebelum saatnya melahirkan dan 1,5 (satu setengah) bulan sesudah melahirkan menurut perhitungan dokter

kandungan atau bidan (Pasal 82). Pekerja/buruh perempuan yang mengalami keguguran kandungan (Pasal 82). Pekerja/buruh perempuan yang anaknya masih menyusu harus diberi kesempatan sepatutnya untuk menyusui anaknya jika hal itu harus dilakukan selama

Majalah LPM aL-Millah Edisi 37

55

Ilus: Chandra

Kolom


Kolom

waktu kerja (Pasal 83). Kedua, adanya penambahan jam kerja lembur. Yang awalnya dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan pasal 78 ayat (1) diatur bahwa waktu jam kerja lembur maksimal adalah 3 jam dalam sehari. Diubah dalam Undang-Undang Cipta Kerja menjadi maksimal 4 jam kerja lembur dalam sehari. Jika ketentuan waktu kerja adalah 8 jam dalam sehari untuk lima hari kerja dalam seminggu, maka seorang pekerja bisa saja bekerja selama 12 jam dalam sehari jika sesuai dengan perubahan ketentuan baru dalam Undang-Undang Cipta Kerja. Tentunya hal ini akan mengancam karir pekerja perempuan. Bagaimana tidak, coba bayangkan saja ketika seorang perempuan pekerja tadi juga mendapatkan beban kerja di rumahnya, lalu kapan perempuan itu mempunyai waktu untuk pengembangan diri. Boro-boro waktu untuk pengembangan diri, waktu untuk istirahat saja sepertinya tidak cukup. Ketiga, dihapusnya pasal 162 Undang-Undang Ketenagakerjaan yang mengatur tentang pekerja yang mengundurkan diri atas kemauan diri sendiri tetap mendapatkan uang penggantian hak. Dengan dihapusnya pasal ini maka ketika ada pekerja yang mengundurkan diri dia tidak akan lagi mendapatkan uang untuk penggantian haknya (biaya atau ongkos pulang untuk pekerja dan keluarganya ke tempat di mana pekerja diterima bekerja, serta cuti tahunan yang belum diambil dan belum gugur). Keempat, dihapusnya pasal 167 Undang-Undang Ketenagakerjaan

56

Majalah LPM aL-Millah Edisi 37

yang mengatur mengenai aturan bagi pekerja yang memasuki usia pensiun. Dalam pasal ini mengatur bahwa bagi pekerja yang mengalami pemutusan hubungan kerja karena memasuki usia pensiun berhak mendapatkan pesangon dan jaminan hari tua. Ketika hak atas pesangon dan jaminan hari tua tadi ditiadakan, bayangkan saja jika ada pekerja perempuan yang kebetulan adalah seorang single parent. Yang mana satu-satunya sumber nafkah keluarga adalah dari satu orang saja, maka bagaimana jaminan terhadap kehidupan anak dan bagi pekerja itu sendiri dihari tuanya sedangkan masa sebelum pensiunnya telah habis untuk mengabdi bagi perusahaan tempat bekerja. Kelima, pasal 169 Undang-Undang Ketenagakerjaan dihapus, kemudian muatannya direduksi ke dalam pasal 154 A Undang-Undang Cipta Kerja. Pasal 169 Undang-Undang Ketenagakerjaan mengatur bahwa pekerja dapat mengajukan permohonan pemutusan hubungan kerja jika pengusaha melakukan perbuatan-perbuatan yang diatur dalam pasal ini termasuk jika pengusaha melakukan tindakan ancaman, penganiayaan, perlakuan kasar bahkan kekerasan seksual yang sering terjadi pada pekerja perempuan. Dalam pasal 169 ayat (2), pekerja yang mengajukan permohonan pemutusan hubungan kerja karena hal tersebut masih berhak mendapatkan uang pesangon. Aturan dalam pasal 169 ayat (2) ini ditiadakan dalam pasal 154 A Undang-Undang Cipta Kerja. Sehingga implikasinya adalah ketika ada seorang pekerja

yang mengajukan pemutusan hubungan kerja karena alasan yang ada dalam pasal 169 tadi tidak akan mendapatkan uang pesangon sama sekali. Secaragaris besar Undang-Undang Cipta Kerja memunculkan potensi mengurangi jaminan perlindungan pekerja pada umumnya dan perempuan pekerja khususnya yang sudah ada dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan. Hal ini tentunya merugikan para pekerja karena banyaknya pasal-pasal yang justru multitafsir sehingga menciptakan celah bagi hubungan kerja yang sifatnya lebih ke harian dan borongan. Selain itu beberapa aturan baru justru mereduksi serta membuat samar-samar untuk terpenuhinya hak bagi pekerja khususnya pekerja perempuan. Seperti pada aturan tentang pensiun, pesangon dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan yang sifatnya lebih rinci kini menjadi samar-samar. Entah bagaimana nasib para pekerja yang akan datang. Tentunya akan sangat besar kemungkinan terjadinya eksploitasi terhadap para pekerja diamanapun mereka bekerja. Selain para pekerja tidak bekerja dengan nyaman, juga akan membuat pekerja rentan untuk tidak mendapatkan hak-haknya sehingga akan jauh dari kata penghidupan yang layak.


Budaya

Jathil ditarikan oleh laki-laki untuk menciptakan kesan lemah, sebagai bentuk sindiran kepada prajurit Majapahit yang tidak cukup tangguh dalam berperang melawan musuh

D

alam kehidupan ini, manusia tidak terlepas dari sebuah budaya yang menjadi identitas. Termasuk Ponorogo, kota yang terkenal dengan kesenian Reyog dan berbagai budaya lain yang ada di dalamnya. Reyog sendiri menjadi identitas masyarakatnya sejak daerah ini disebut ‘Bumi Wengker’. Pada setiap penampilan Reyog sendiri, terdiri dari beberapa tarian yang dimainkan oleh masing-masing pemainnya, seperti Singo Barong,

Bujang Ganong, Warok, Kelono Sewandono dan Jathil. Jika kita mendengar kata “Jathil (Jathilan)”, langsung mempunyai bayangan seseorang penari yang menunggangi ‘kuda’ saat menari. Hentakan kaki yang begitu gagah, namun lemah gemulai merupakan ciri khas Jathil. Sebutan Jathilan adalah pasukan berkuda yang mengiringi pementasan Reyog. Dilansir dari Wikipedia, Jathil merupakan tarian yang menggambarkan ketangkasan prajurit berkuda yang Majalah LPM aL-Millah Edisi 37

57

Gambar: jatimnow.com

Menilik Jathil Dari Masa Ke Masa


Budaya

sedang berlatih di atas kuda. Tarian ini dibawakan oleh penari yang saling berpasangan dengan penari lainnya. Ketangkasan dan kepiawaian dalam berperang di atas kuda ditunjukkan dengan ekspresi sang penari. Sosok Jathil Ponorogo sendiri, digambarkan sebagai penari yang lemah gemulai, lincah sehingga mampu memikat antusias para penontonnya. Meskipun dahulunya tarian ini dibawakan oleh laki-laki, tetapi tidak menutupi kepiawaian dalam menari. Seiring dengan perkembangan zaman, Jathil ini sepenuhnya ditampilkan oleh seorang perempuan dalam setiap pementasan Reyog sendiri. Sejarah Jathil Tempo Dulu dan Sekarang Jathil dalam sejarahnya, termasuk bagian tarian dari pementasan Reyog. Pada awal mulanya, menurut versi Ki Ageng Kutu merupakan sebuah sindiran (satire) kepada prajurit Majapahit yang dilakukan oleh Suryo Ngalam atau Ki Ageng Kutu karena dianggap lemah atau tidak tangguh. Tarian ini dibawakan oleh seorang laki-laki. Sebab, perempuan dahulu jika menari dianggap tabu oleh masyarakat. Penari Jathil laki-laki ini biasanya merupakan anak asuh

dari Warok yang biasa disebut Gemblak. Menurut Sudirman selaku pegiat kesenian Reyog, kala itu, berkembanglah istilah Gemblak yang bersinggungan dengan Jathil. Gemblak merupakan sebutan dari anak laki-laki yang diasuh seperti anak sendiri dalam kurun waktu dua tahun. Ketika ingin menjadi Gemblak, dia harus diangkat anak oleh Warok dengan persetujuan orang tuanya dan dengan diberi imbalan seperti disekolahkan, diberi sapi atau hewan ternak dan juga tanah garapan. Dilansir dari Wikipedia, sejak tahun 1980-an, ketika tim kesenian Reog Ponorogo hendak dikirim ke Jakarta untuk pembukaan PRJ (Pekan Raya Jakarta), penari Jathilan diganti oleh para penari putri dengan alasan lebih feminin. Saat itulah, Gemblak mulai ditiadakan dan digantikan oleh perempuan. “Tahun 80-an, waktu pekan raya yang dibuka oleh Presiden Suharto kala itu, penari Jathil laki-laki digantikan oleh perempuan,” ungkap Sudirman, salah satu penggerak seni di Ponorogo. Pernyataan Sudirman ini juga dibenarkan oleh penjelasan dalam buku yang berjudul “Bila Seniman Melawan” karya Murdianto. Dalam buku tersebut mengatakan

bahwa, “Perkembangan Reyog pada awal-awal tahun 1980-an, tepatnya pada tahun 1984 menjadi contoh betapa pasar hanya mau mengadopsi kesenian lokal, apabila Reyog dieliminasi dari unsur spiritual dan magisnya. Hal

Tidak dipungkiri bahwa zaman mengubah sendi kehidupan manusia. 58

Majalah LPM aL-Millah Edisi 37


Gambar: Facebook Wenas Sudirman

Budaya

ini terjadi pada saat menjelang pementasan Reyog di panggung TMII, dimana panitia menginginkan penari Jathil diganti perempuan. Pergantian Jathil dari laki-laki menjadi perempuan ini bukan saja untuk melayani pasar namun juga merupakan bagian dari penertiban terhadap unsur-unsur subversif terhadap agama, kekuasaan negara dan moralitas dari kesenian”. Seiring dengan perkembangan zaman, seolah mulai paham akan kehidupan modern, muncullah berbagai perubahan dalam sendi kehidupan. Seperti Jathil misalnya, yang dulu dimainkan oleh

laki-laki dan sekarang dimainkan oleh seorang perempuan. Adapun jika Jathil tersebut dimainkan oleh seorang laki-laki tentu sangat jarang ada karena berkaitan erat dengan adanya edaran penertiban dari pemerintah. Jika pun, ada itu bukan seorang lelaki melainkan seorang waria. “Selain dalam pentas memang ada penari Jathilan laki-laki sekarang-sekarang ini. Tapi berbeda, zaman dahulu Gemblak tetaplah seorang laki-laki tulen yang menarikan tarian Jathil. Sedangkan zaman sekarang kebanyakan penari Jathil laki-laki merupakan seorang waria, kalau saya

amati,” tutur Sudirman, pemilik padepokan Seni Joglo Paju. Jika zaman dulu, Jathil ditarikan oleh laki-laki untuk menciptakan kesan lemah, sebagai bentuk sindiran kepada prajurit Majapahit yang tidak cukup tangguh dalam berperang melawan musuh. Namun, kesan lemah gemulai dianggap cocok jika ditarikan oleh Jathil perempuan yang memiliki gerakan lebih luwes. Tidak bisa dibandingkan antara Jathil laki-laki dan perempuan sendiri. Sebab, Jathil laki-laki lebih kepada kultur dan adat leluhur zaman dahulu. Sedangkan perempuan lebih kepada artistik dan menghibur. Hanya pada saat tertentu, Jathil laki-laki ditampilkan untuk upacara adat atau ketika ada turis yang datang. Senada dengan ungkapan Sudirman salah satu penari Jathil laki-laki. “Jathil laki-laki sendiri hanya ditampilkan ketika upacara adat seperti minta hujan dan ketika ada turis yang ingin melihat pertunjukkan tersebut,” ungkapnya. Ciri Pakaian yang Digunakan Dari segi pakaian atau kostum sendiri sangat berbeda. Jika kostum yang dipakai oleh Jathil laki-laki seperti wayang orang yaitu memakai kebaya, kekes atau jamang di kepala, sumping di telinga, properti eblek, selempang, kacamata, kaos kaki selulut, sandal lili. Sedangkan Jathil laki-laki sekarang yang dinamakan ludruk meskipun tariannya saat ini hampir sama dengan penari Jathil laki-laki dulu tetapi perbedaan ludruk memakai sempyok di bagian dada. Majalah LPM aL-Millah Edisi 37

59


Budaya

Sementara perkembangan sekarang, Jathil perempuan memakai baju putih, udeng di kepala, selempang di dada, properti eblek dan sebagainya. Senada dengan penari Jathil dulu, tetapi perbedaan terletak kepada pakaian yang digunakan. Jathil sekarang, biasa memakai sepatu pantofel atau sepatu sandal dengan kaos kaki sampai pergelangan kaki, bahkan terkadang tidak menggunakan alas kaki. Jika dibandingkan penari Jathil terdapat gaya pakaian yang berbeda. Di mana jika dilihat dari kostum pakaian Jathil dulu memakai kebaya yang menonjolkan tradisionalnya. Sedangkan sekarang memakai baju putih yang terkesan menampilkan modern. Perubahan pernak-perniknya sendiri, lebih disesuaikan dengan keadaan sekarang yang lebih modern. Perkembangan Jathil Sekarang Seiring perubahan zaman, Jathil dikemas dengan dibagi menjadi dua tarian yaitu obyok dan festival. Obyok lebih mengedepankan seni hiburan masyarakat semata. Sedangkan festival lebih kepada estetika dan edukasi yang diajarkan pada pendidikan formal serta sebagai acuan untuk menyelenggarakan festival Reyog. Acuan dalam festival, dikemas dengan menghadirkan koreografi yang telah dikonsep sedemikian rupa, sehingga tarian Reyog dapat ditampilkan dengan keindahan yang memukau penontonnya. Tak hanya itu, Jathil yang dahulu hanya ada dua orang sekarang berkembang menjadi 8 sampai 12 orang

60

Majalah LPM aL-Millah Edisi 37

untuk saling berpasangan. Perpaduan koreografi yang menarik tidak menciptakan kesan monoton dalam sebuah seni. Inovasi dalam festival juga ditampilkan karena mengedepankan koreografi yang sederhana. Dalam perkembangannya, Reyog dapat dijadikan hiburan untuk masyarakat sekitar dengan Reyog obyoknya. Selain itu juga sekaligus memiliki nilai seni dan estetika yang tinggi sehingga layak untuk ditampilkan dalam panggung festival dan dinikmati oleh seluruh masyarakat Indonesia bahkan manca negara. Tidak dipungkiri bahwa zaman mengubah sendi kehidupan manusia. Tak lain, dalam hal seni tarian yang dibawakan harus mengedepankan sebuah etika dan estetika. Etika dalam menari merupakan tata kesopanan saat menari. Sedangkan estetika menari adalah keindahan dalam menarikan sebuah tarian agar penonton menikmati bagus atau tidaknya sebuah pertunjukan. Pemain Jathil sekarang harus lebih memandang etika dan estetika dalam menari. Agar terlihat lebih baik dari sebelumnya yang kurang memperhatikan hal tersebut. “Saya prihatin, karena mereka hanya bermodal cantik, berani, dan mengesampingkan estetika dan etika, menari itu indah, baik dan harus bervariasi itu yang tidak mereka pikirkan, saya melihat dari kacamata tari, kemudian dari sisi etika mereka melakukan adegan-adegan yang di luar kepantasan misalnya dengan mengegolkan pantatnya di dekatnya wajah pria atau penari lain yang itu dilihat oleh banyak orang termasuk anak-anak, tidak sopan,

kreativitas yang kebablasan, meninggalkan tata kesopanan dan etika dalam berkesenian,” ucap Sudirman. Masalah di kalangan masyarakat saat ini, terletak pada kurangnya etika dan estetika dalam menari Jathil. Sebab, jika sebuah tarian tidak memandang kedua hal itu, akan menyebabkan hilangnya sebuah adab atau tata krama dalam masyarakat. Menjadi pekerjaan pemerintah untuk memberikan kebijakan dan pemahaman yang baik. “Pemangku kebijakan dan juga pembina kesenian untuk duduk bersama, memberikan pemahaman kepada mereka dan jangan disalahkan mereka, mereka selama ini menari hanya meniru saja, tidak belajar kepada siapa-siapa, meniru kepada yang sudah ada karena yang tahu tidak memberi tahu dan tidak diberi tahu. harus didudukkan, membuat format pemahaman dan pendidikan seni Reyog yang sebenarnya,” harap Sudirman. Dengan latihan yang giat, lebih mengembangkan seni dan memperlihatkan dasar kedaerahan akan menimbulkan daya tarik yang lebih baik lagi. “Luar biasa mereka beberapa fasilitas untuk mengembangkan seni agar lebih bagus, hanya saja, mereka harus memperlihatkan dasar-dasar ke-Ponorogo-annya yang kuat di dalam berkarya itu akan menjadi daya tarik yang luar biasa,” harap Sudirman. (Lia Hikmatul Maula_26.17.176) (Ahmanda Fitriyana Fauzi_26.17.169)


Kampusiana

Berdiri Megah, Material Gedung FEBI Belum Lunas Dibayar

Foto: Dendy

G

edung Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam (FEBI) merupakan gedung terbesar di Kampus II IAIN Ponorogo, minimal saat ini. Dibandingkan dua gedung yang lebih dahulu dibangun (gedung Fakultas Syariah dan Fakultas Ushuluddin, Adab dan Dakwah), gedung FEBI memiliki kapasitas lebih besar. Namun, gedung dengan anggaran sekitar 28 Miliar ini tidak bebas persoalan. Kerusakan gedung diketahui setelah mahasiswa mulai aktif kegiatan belajar-mengajar pada awal tahun 2019. Tak hanya itu, gedung yang dikerjakan PT Marga Madu Indah ini pun menuai kasus pada proses

pembangunannya. Material bangunan yang menopang gedung ini belum sepenuhnya terbayarkan. Rusak Sejak Awal Digunakan Gedung FEBI dibangun pada 15 Mei 2017 hingga tahun 2018. Satu tahun setelah peresmian, 2019, gedung itu baru ditata dan difungsikan untuk kegiatan mahasiswa FEBI. Beberapa kerusakan yang mulai terlihat seperti ambrolnya plafon pada jalan masuk gedung dan audiotorium, rusaknya pintu keluar masuk gedung, pintu kamar mandi yang mulai lepas, serta saluran air yang tidak lancar.

Agus Purnomo sebagai Wakil Rektor II bagian Perencanaan dan Keuangan menjelaskan sebab terjadinya kerusakan ada dua faktor, yakni faktor alam dan manusianya sendiri. “Jebolnya plafon itu disebabkan oleh faktor hujan lebat, yang ternyata paralonnya belum dilem atau dilem tapi masih kurang,” ujarnya. Senada dengan Agus Purnomo, Fachruddin Latief selaku Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) juga menanggapi kerusakan yang terjadi karena kedua faktor. “Mahasiswa kurang punya rasa memiliki, contoh pada toilet yang kita standarkan bandara,” katanya. Meski demikian, terdapat beberapa mahasiswa yang tidak Majalah LPM aL-Millah Edisi 37

61


Kampusiana

nyaman dengan standar kamar mandi kering. “Saya mending ke gedung FUAD atau FASYA, meski agak jauh hanya untuk buang air kecil,” ujar Kris Diana Jamayanti mahasiswa jurusan Perbankan Syariah. Pernyataan Fachrudin juga ditampik oleh Febriana Elsa Stefany mahasiswa FEBI semester 4. Ia berpendapat kerusakan gedung terjadi akibat kurangnya perawatan gedung. “Coba kalau perawatannya rutin, kalau ada kerusakan segera diperbaiki, sehingga tidak semakin memperburuk gedung,” ucap mahasiswa ini. Tentang perawatan gedung, Fachrudin Latif angkat bicara selaku Kepala Bagian Umum pada saat itu. Menurutnya, perawatan gedung sudah dilakukan beberapa kali. “Sudah beberapa kali, saya tidak menghitung, kalau ada yang rusak akan segera diperbaiki,” tandasnya. Senada dengan Fachrudin Latif, Agus Purnomo berpendapat kerusakan yang timbul itu merupakan hal yang wajar. Bukan hanya gedung FEBI, namun gedung FUAD dan FASYA dulu juga mengalami kerusakan. Ia melanjutkan, dalam rangka perawatan gedung, kerusakan akan diperbaiki. “Perbaikan akan dilakukan terus-menerus dan disempurnakan, semua butuh waktu dan proses tidak seper-

ti sulapan, hari ini jebol besok langsung dibenahi,” ujarnya. Ketika ditanya apakah kerusakan ini berkaitan dengan konstruksi gedung, Fachruddin menyangkalnya. Ia melanjutkan, penanganan pembangunan sudah diserahkan kepada pihak ketiga yakni PT Marga Madu Indah (PT MMI). Sedangkan pengujian kekuatan gedung diserahkan pada pihak Pengawasan dan Evaluasi yakni CV Konindo. “Sesungguhnya seluruh proses pembangunan tidak di kita, karena kita sebagai pihak pertama (user), tapi pihak ketiga/ rekanan, kalau prosesnya baik ya sudah terjadi, lalu pembangunan itu akan dinilai diteliti (audit) oleh pihak yang berwenang,” terangnya Fachrudin Latief. Begitu pun jika dibandingkan dengan desain bangunan yang dirancang oleh CV Artara, dimana sudah sesuai dengan miniatur bangunan kampus II yang berada di lantai satu gedung Syariah IAIN Ponorogo. Hal ini diungkapkan oleh Agus Purnomo. “Sudah sangat sesuai, saya sangat bangga selama kepengurusan ini sudah bisa membangun gedung sebesar itu,” ungkapnya. Selain desain bangunan yang sesuai, menurutnya, kualitas bahan-bahan yang digunakan untuk pembangunan gedung sudah standar. “Bahan-bahannya

sudah yang standar, bahkan gentingnya saja dilapisi keramik, jadi kalau ada burung yang hinggap pasti kepleset,” terang Fachrudin Latif. Ahmad Damar Samlani, Presiden Mahasiswa periode 20202021 menanggapi tentang kerusakan yang pernah terjadi di gedung FEBI sebelum pemberlakuan kuliah daring. “Gedung baru harusnya masih kokoh tapi pada kenyataanya sering terjadi kerusakan,” ujarnya. Sebelum membangun sebuah gedung, terlebih dahulu harus memperhitungkan untuk berapa lama gedung tersebut serta untuk kapasitas berapa orang. Novi Tri Hartanto selaku Direktur Alusicons Kontraktor and Suplier menyampaikan ini. “Setiap bangunan memiliki ukuran berapa beban yang akan ditopang,” tandas warga Tonatan Ponorogo ini. Adanya kerusakan saat awal pemakaian gedung masih belum menemukan sebab yang pasti. Apakah benar faktor alam, perawatan gedung, ataupun mahasiswa, pernyataan tersebut belum bisa dibuktikan. Benarkah kerusakan ini tidak berkaitan dengan proses pembangunan dan pemilihan material gedung? Pembangunan yang Tidak Sesuai Rencana Gedung yang dipergunakan untuk FEBI ini pada awal pem-

“Saya mending ke gedung FUAD atau FASYA, meski agak jauh hanya untuk buang air kecil,” 62

Majalah LPM aL-Millah Edisi 37


Kampusiana

bangunannya dinamai sebagai Gedung Syariah. Peletakan batu pertama Gedung Syariah dilakukan oleh Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin pada bulan Mei tahun 2017. Seperti dilansir dari lpmalmillah.com, peletakan batu pertama ini berbarengan dengan Launching alih status IAIN Ponorogo dan peresmian gedung kembar yang saat ini dinamai Gedung FASYA dan FUAD. Meski, pada saat peresmian masih bernama Gedung Fakultas Tarbiyah dan FEBI. Agus Purnomo mengiyakan bahwa memang awalnya diperuntukkan menjadi gedung Fakultas Syariah. Sedangkan menurut Fachruddin Latief penamaan Gedung Syariah itu hanya untuk sekadar penyebutan. “Karena melihat kebutuhan ternyata mahasiswa FEBI lebih banyak dibanding Syariah, jadi kita alokasikan untuk mahasiswa FEBI,” ucap Fachruddin Latief. Untuk menunjang pendanaan pembangunan Gedung Syariah, pihak kampus mengajukan proposal pembangunan gedung ke proyek Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) yang diadakan setiap tahunnya oleh Kementrian Keuangan. Menurut Proposal Pengajuan Pembangunan Gedung FEBI SBSN ini, dibutuhkan dana senilai Rp28.075.600.000,-. Anggaran tersebut dirinci sebagai berikut: 1. Jasa Konsultasi Perencanaan Nomor: R-330/In.32.1/ KS.01.7/02/2017 senilai Rp325.600.000,2. Jasa Konsultasi Pengawasan B-2070/In.32.1/KS.01.7/05/2017

dan 15 Mei 2017 s/d 10 Desember 2017 senilai Rp290.000.000,3. Fisik/Kontruksi Nomor: B-2068/In.32.1/KS.01.7/05/2017 dan 15 Mei 2017 s/d 10 Desember 2017 senilai Rp23.969.000.000,4. Administrasi Proyek dan Pengelolaan Kegiatan senilai Rp277.200.000,5. Meubelair Nomor: B-4522/ In.321/KS.01.7/08/2017 dan 21 Agustus 2017 dan 28 November 2017 senilai Rp3.014.000.000,6. Pemasangan Paving Halaman B-2304.a/In.32.1/KS.01.7/05/2017 23 Mei 2017 hingga akhir 16 Juni 2017 senilai Rp199.800.000,Dengan masuknya IAIN Ponorogo menjadi salah satu penerima SBSN 2017, maka pembangunan gedung dapat berlangsung. Dalam proses pembangunan gedung perlu adanya pemilihan kontraktor, dikarenakan pembangunan ini di atas 200 juta. Pihak kampus mengunggah berkas perencanaan pembangunan di alamat lpse.kemenag.go.id untuk menawarkan proyek pembangunan tersebut. Merujuk pada Surat Perjanjian Kerja (kontrak harga satuan) Nomor: B-2068/In.32.1/KS.01.7/05/2017, ada enam Perseroan Terbatas yang mengajukan penawaran untuk mengerjakan proyek Gedung Syariah. PT Marga Madu Indah, PT Sasmito, PT Wiratama Graha Raharja, PT Inti Jawa Teknik, PT Cipta Prima Selaras, dan PT Flaine Karya Abadi. Untuk menentukan PT mana yang akan mengerjakan proyek, pihak User melakukan beberapa evaluasi. Pada evaluasi administrasi,

semua PT yang mengajukan penawaran proyek dinyatakan lulus. Evaluasi yang kedua yaitu evaluasi teknis. Pada tahap ini PT Wiratama Graha Raharja, PT Inti Jawa Teknik dan PT Flaine Karya Abadi dinyatakan gugur. Sedangkan pada evaluasi ketiga (mengenai harga) PT Cipta Prima Selaras tidak memenuhi kriteria. Terakhir, PT Sasmito dihapus dari daftar pada tahap evaluasi kualifikasi. Sehingga yang dinyatakan lulus dari semua tahap adalah PT Marga Madu Indah, kontraktor asal Surabaya yang beralamat di Jln. Teknik Komputer II/03 Blok U-27 Perum ITS, Keputih, Sukolilo, Kota Surabaya. Menurut Surat Perjanjian Kerja (kontrak harga satuan) Nomor: B-2068/In.32.1/KS.01.7/05/2017, pembangunan dimulai pada 15 Mei 2017. Perjanjian kerja antara User dan Pihak Ketiga selama 7 bulan pengerjaan, yang seharusnya pada 10 Desember 2017 sudah habis masa kontrak. Namun, hingga waktu yang ditentukan, pembangunan belum terselesaikan. Berdasarkan Surat Perintah Mulai Kerja (SPMK) Nomor: B-2069/In.32.1/ KS.01.7/05/2017, kemoloran ini disebabkan karena kurangnya tenaga kerja, pengaturan material dan pelaksanaan yang tidak teratur, pelaksanan pekerjaan yang tidak benar dan sering terjadi pergantian pelaksanaan kerja. Akibat pengerjaan yang belum selesai, perlu adanya penambahan waktu yakni selama 90 hari sejak 10 Desember 2017. Untuk mendapatkan tambahan waktu, pihak kampus harus berupaya memenuhi ketentuan dari SBSN. Majalah LPM aL-Millah Edisi 37

63


Kampusiana

64

Majalah LPM aL-Millah Edisi 37

pada daftar hitam (blacklist). Jika hal itu terjadi maka PT/CV yang bersangkutan tidak dapat bekerja sampai 3 tahun ke depan dan akan dihapus riwayat pengalaman kerjanya. Namun, PT Marga Madu Indah menyetujui untuk melanjutkan pembangunan dengan menerima denda, sesuai dengan yang dicantumkan dalam Laporan Hasil Pemantauan dan Evaluasi. Seperti yang tertulis di Laporan Hasil Pemantauan dan Evaluasi, denda keterlambatan yang harus ditanggung oleh PT MMI adalah Rp 121.542.245,-. Nilai akhir yang harus diterima PT MMI sebenarnya senilai Rp 2.564.683.000 berdasarkan Surat Perintah Mulai Kerja (SPMK) Nomor: B-2069/In.32.1/

KS.017/05/2017 sebelum adanya potongan. Jumlah itu masih dipotong PPH Rp69.945.900,PPN Rp233.153.000,- serta denda Rp121.542.245. Sehingga, pada akhir proyek PT MMI hanya mendapatkan Rp2.140.041.860,-. Kasus Wanprestasi Pembangunan Gedung Syariah PT MMI bekerjasama dengan UD Abadi Alumunium dalam penyediaan barang jasa kusen dan pekerjaan Alumunium Composite Panel (ACP) Polos dan rangka dengan total nilai kerja sebesar Rp1.068.090.680,00. Adapun pihak yang bertandatangan pada Surat Perintah Mulai Kerja (SPMK) adalah Arie Setiawan dari PT MMI sebagai petugas lapangan pada proyek pembangunan dan Budi Nizar Ikhoironi dari pihak UD Abadi Alumunium sebagai mandor borong. Proses pembayaran pada proyek ini menggunakan sistem termin (bertahap) sesuai dengan pekerjaan yang telah dilakukan oleh penyedia jasa, namun pada tengah-tengah pekerjaan terjadi kemacetan pembayaran termin. Berdasarkan cek yang ada, PT MMI baru membayar sebesar 500 juta. Media Derap.id mengunggah berita yang berjudul Lunas Dibayar, Kontraktor Ponorogo Gugat PT MMI Surabaya dan IAIN Ponorogo pada tanggal 21 Maret 2019. Dalam berita ini disebutkan, Aziz Mustofa selaku pemilik UD Abadi Alumunium Ponorogo melalui ku asa hukumnya Suryajiyoso and Partners menggu-

Ilus: Chandra

Salah satu ketentuan yang harus dilakukan, pihak kontraktor akan mendapatkan denda atas keterlambatan pembangunan. Selain untuk penambahan waktu, kampus berupaya tetap mencairkan keseluruhan dana pembangunan, karena pembangunan SBSN dibayar dengan termin (bertahap). “Jika sampai batas waktu yang ditentukan dan tidak selesai (pembangunannya.red), bangunan akan mangkrak seperti yang ada di Kediri, Batusangkar dan UIN Malang,” ujar Agus Purnomo. Ia melanjutkan, jika pihak kontraktor PT/CV yang tidak menyetujui untuk mengerjakan proyek pembangunan sampai selesai, maka PT/CV akan berada


Kampusiana

gat perdata PT MMI dengan nomor perkara 7/Pdt.G/2019/PN Png. IAIN Ponorogo turut tergugat ke Pengadilan Negeri (PN) Ponorogo dengan maksud menagih haknya dari pengerjaaan proyek alumunium dan kaca untuk gedung baru IAIN Ponorogo. “Saya menggugat pihak PT MMI dan IAIN Ponorogo, yang sebelumnya sudah ada mediasi 5 kali dengan IAIN namun gagal,” terang Aziz Mustofa. Berita itu dibenarkan oleh Fachrudin Latif, bahwa IAIN menjadi turut tergugat dan akhirnya melaksanakan persidangan di Pengadilan Negeri Ponorogo. Namun gugatan tersebut ditolak oleh hakim karena Aziz Mustofa mengajukan dengan gugatan kasus pidana. “Persidangan ditolak karena pengajuan ke ranah pidana bukan perdata, kalau perdata harusnya wanprestasi,” ucapnya. Namun, pernyataan Fachrudin tidak bisa dibuktikan. Data Sistem Informasi Penelusuran Perkara di web sipp.pn-ponorogo.go.id menunjukkan, kasus tersebut terdata sebagai perkara wanprestasi. Nama Penggugat yang tercantum yakni Aziz Mustofa dan Tergugat PT Marga Madu Indah yang tanggal pendaftarannya 18 Februari 2019. Status perkara adalah minutasi (pemberkasan perkara yang sudah diputus baik yang telah atau belum berketetapan hukum tetap), dan proses persidangan selama 199 hari. Wanprestasi menurut pasal 1243 KUH Perdata adalah “penggantian biaya, rugi dan bunga karena tidak dipenuhinya suatu perikatan, barulah mulai diwajibkan, apabila si berutang, setelah

dinyatakan lalai memenuhi perikatannya, tetap melalaikannya, atau jika sesuatu yang harus diberikan atau dibuatnya, hanya dapat diberikan atau dibuatnya, hanya dapat diberikan atau dibuat dalam tenggang waktu yang telah dilampaukannya”. Pada kasus ini yang menjadi debitur adalah PT MMI, dikarenakan belum melaksanakan tugasnya/kurang dalam membayar pekerjaan yang telah dilaksanakan oleh penyedia jasa. Ketika UD Abadi Aluminium menagih haknya atas kekurangan pembayaran, pihak IAIN merasa tidak perlu bertanggung jawab. Fachrudin Latif berpendapat, pembayaran pembangunan seluruhnya sudah diserahkan ke pihak PT MMI. Sehingga ketika ada kekurangan pembayaran UD Abadi Aluminiun menagihnya ke pihak PT MMI. “Biaya sudah dibayar semuanya ke PT MMI. Perkara PT MMI memberikan ke supplier utuh atau tidak bukan wewenang kita. Kewajiban kita itu disini bahwa kita sudah membayar sesuai dengan nilai kontrak sampai dengan termin ke-7,” tegas Fachrudin Latif. Kru aL-Millah mencoba menghubungi PT MMI untuk meminta klarifikasi. Namun, manajemen PT MMI tidak memberikan respon meski sudah diulang beberapa kali. Begitupula ketika kru mencoba untuk menghubungi penanggungjawab pembangunan gedung yakni Arie Setiawan. Pesan via aplikasi WhatsApp dibaca dengan tanda dua centang biru dan via teleponnya ditolak serta tidak ada balasan atau respon apapun.

Selain kasus wanprestasi yang ada di IAIN Ponorogo, PT MMI mencatat riwayat yang serupa sebelumnya. Pada tahun 2015, PT MMI menggarap pembangunan Gedung Dinas Perhubungan Komunikasi dan Informasi daerah Kulonprogo Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Pembangunan kantor itu mengalami keterlambatan karena kurangnya tenaga kerja dan kemampuan finansial rekanan yang diragukan (https:// setwan.kulonprogokab.go.id/ detil/204/dewan-prihatin-pembangunan-gedung-dishubkominfo-tersendat). Aziz Mustofa tetap bersikeras untuk menagih haknya kepada IAIN Ponorogo. Ia melanjutkan, IAIN harusnya membantu menghubungi PT MMI. Karena menurutnya, saat kontrak kerja IAIN ikut dalam menyaksikan perjanjian kerja. “Harusnya IAIN membantu saya dalam penyelesaian pembayaran, bukannya mempersulit,” tambahnya. Di balik gedung FEBI IAIN Ponorogo yang terlihat megah dari luar, namun masih terdapat kecacatan sana-sini pada saat digunakan civitas akademika. UD Abadi Alamunium dari pihak luar kampus jadi salah satu pihak yang dirugikan secara tidak langsung oleh proyek pembangunan gedung ini. Di sisi lain, pihak PT MMI tidak merespon dan kampus lepas tangan atas kasus ini. Akankah kasus ini terselesaikan? (Tri Budi Utami_27.18.188) (Zanida Iqra Minati_27.18.189)

Majalah LPM aL-Millah Edisi 37

65


Sosok

HANIEK: PEREMPUAN HARUS BERDAYA

“ B

icara soal feminisme bukan hanya tentang pemberdayaan dan kesetaraan gender saja, melainkan juga tentang kekerasan yang seringkali menimpa perempuan. Kekerasan yang dimaksud bukan hanya kekerasan secara fisik, melainkan juga kekerasan yang meliputi kekerasan verbal, psikis, dan juga seksual. Terkait dengan persoalan kekerasan yang seringkali menimpa perempuan ini, dari tahun ke tahun kasusnya bukan semakin berkurang, malah sebaliknya, semakin bertambah. Berdasarkan laporan yang dihimpun oleh Komnas Perempuan terhitung mulai dari tahun 2017 hingga tahun 2019, jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan yang dilaporkan dan ditangani meningkat dari 348.446 kasus menjadi 431.471 kasus. Ironisnya, jumlah kasus yang tertera tersebut masihlah fenomena gunung 66

Majalah LPM aL-Millah Edisi 37

Perempuan itu tidak seharusnya hanya berkutat dengan anak, dapur, dan urusan rumah tangga saja karena pada dasarnya mereka bisa melakukan lebih dari pada itu

es, yang artinya masih banyak kasus yang terjadi dan belum terlaporkan juga tertangani. Dari sekian banyak laporan kasus tersebut, kasus terbanyak adalah kasus yang berhubungan dengan kekerasan seksual. Sepanjang tahun 2019 terdapat 3.062 laporan kasus kekerasan seksual yang dialami oleh perempuan di berbagai lapisan umur, mulai dari anakanak, pelajar, hingga Ibu Rumah Tangga. Kasus kekerasan seksual ini merupakan kasus yang kompleks dan bisa dibilang rumit. Sebab, kekerasan seksual tidak hanya menimbulkan trauma pada fisik korban tetapi juga psikis korban. Selain berdampak secara personal pada korban, kekerasan seksual secara khusus juga berdampak negatif secara sosial, terutama pada keluarga korban. Dampak negatif itu berupa munculnya stigma negatif, di mana keluarga korban dianggap tidak

bisa mendidik korban hingga bisa terjadi kekerasan tersebut, terutama dalam bidang moral. Di Ponorogo sendiri, telah cukup banyak pengaduan dari para korban kekerasan yang masuk ke lembaga-lembaga terkait. Mulai dari pelajar hingga ibu rumah tangga. Haniek Hidayah seringkali mendapat aduan secara personal dari orang-orang di sekitarnya, baik kekerasan seksual maupun kekerasan dalam rumah tangga. Sebagai seorang yang aktif dalam gerakan feminisme, tentu perempuan asal Campursari, Sambit, Ponorogo tersebut tidak tinggal diam mengetahui kondisi itu. Hati nuraninya tergerak untuk bisa membantu para korban. Bersama kawan-kawannya, Haniek membentuk lembaga perlindungan dan pendampingan perempuan agar lebih leluasa dalam memberikan perlindungan dan pendampingan kepada korban, khususnya perempuan.


Sosok

Perempuan Memiliki Potensi dan Kapasitas yang Sama dengan Lakilaki Bagi Haniek, perempuan itu tidak seharusnya hanya berkutat dengan anak, dapur, dan urusan rumah tangga saja karena pada dasarnya mereka bisa melakukan lebih daripada itu. Atas dasar argumen inilah, perempuan yang sekarang berusia 44 tahun ini bergerak dan terjun ke dunia pemberdayaan perempuan. Ia terjun ke dunia pemberdayaan perempuan sejak masih duduk di bangku kuliah sekitar tahun 2000-an, tepatnya ketika sedang libur semester. Pada waktu itu, Haniek diberi tawaran oleh perangkat kecamatan tempat tinggalnya untuk menjadi asisten fasilitator pada Program Pengembangan Kecamatan (PPK) yang kemudian di ganti nama menjadi Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM). Dalam program tersebut, Haniek ditugaskan dalam bidang pemberdayaan masyarakat. Berawal dari program PPK inilah muncul keinginan Haniek untuk lebih memperdalam lagi pengetahuan tentang pemberdayaan perempuan. Pada tahun 2004, Haniek mengikuti pelatihan pemberdayaan perempuan di Surabaya yang diadakan oleh Cakrawala Timur. Pada program pelatihan ini, peserta perwakilan setiap kota dibatasi hanya dua orang. Pada masa itu, pemerintah Kabupaten Ponorogo belum terlalu intens dalam bidang pemberdayaan perempuan sehingga tidak mengirimkan delegasi resmi.

Meski demikian, Haniek nekat mendaftarkan dirinya bersama seorang temannya dengan dana pribadi tanpa adanya dukungan dari pihak kabupaten. Pelatihan yang dijalani Haniek di bawah naungan Cakrawala Timur berlangsung selama dua bulan. Pelatihan pertama dilaksanakan pada tanggal 17-19 Maret 2005, dan pelatihan yang kedua pada tanggal 11-14 Mei 2005. Meskipun jangka waktu di setiap pelatihannya tidak terlalu lama, cukup banyak ilmu dan pengetahuan yang didapatkan oleh Haniek. Di tahun yang sama pula, selepas Haniek menjalani pelatihan bersama Cakrawala Timur, ia bersama Yeni Mariana membentuk Lentera Perempuan Ponorogo (LPP), yaitu komunitas yang bergerak dalam bidang pemberdayaan perempuan di lingkup Kabupaten Ponorogo. LPP ini merupakan output dari pelatihan yang dijalaninya bersama Cakrawala Timur waktu itu. Bersama Yeni, Haniek mulai menjalankan misi LPP, yaitu untuk memberdayakan kaum perempuan. Usahanya untuk memberdayakan perempuan diawali dengan mengajak perempuan-perempuan tersebut berkumpul dan berbagi pengalaman dan pengetahuan seputar kegiatan sehari-hari dan dunia perempuan. Selain itu, perempuan yang menyandang status sebagai ibu dari dua orang putri ini juga mendalami kebutuhan yang sekiranya diperlukan oleh mereka untuk berkembang yang nantinya akan diajukan ke pihak desa. Hingga akhirnya terbentuklah

Tirta Sari Pertiwi (TSP), komunitas swadaya masyarakat di Desa Campursari. Dengan tekad dan sem an gatnya dalam memberdayakan kaum perempuan, Haniek di bawah nama LPP berhasil membentuk komunitas swadaya tersebut dan membuat perempuan yang bukan termasuk pemuka desa di Desa Campursari menjadi lebih maju dalam hal pemikiran dan kreativitas. “Tujuannya ya untuk bisa berdaya, mampu menggali potensi dan mampu mandiri,” ujar perempuan yang murah senyum itu. Di TSP, Haniek tidak termasuk salah satu pengurusnya meskipun ia sendiri warga asli Desa Campursari dan salah satu tokoh penting serta pelopor berdirinya TSP. Di sini, Haniek berperan sebagai pendamping yang bertugas memantau dan memberikan solusi ketika terjadi masalah di TSP apabila anggotanya kesulitan mendapatkan jalan keluar. Hal ini dilakukan Haniek agar mereka bisa benar-benar menjadi perempuan yang mandiri dan tentu saja agar potensi mereka bisa terus berkembang. Haniek tak ingin orangorang merasa sungkan atau terlalu bergantung kepadanya jika ia masuk ke dalam struktur kepengurusan. Dalam pendampingannya, Haniek mengadakan pertemuan sebulan sekali untuk sharing antar anggota. Dalam pertemuan bulanan tersebut kebanyakan yang dibahas adalah masalah yang berhubungan dengan rumah tangga. Selain pertemuan dalam bentuk sharing, Haniek juga rutin Majalah LPM aL-Millah Edisi 37

67


Sosok

mengadakan forum diskusi yang membahas tentang gender, kodrat, dan kasus-kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) yang mana persoalan-persoalan tersebut merupakan persoalan yang sangat dekat dengan kehidupan sehari-hari. Dalam diskusi tersebut, Haniek akan memancing pengetahuan peserta diskusi dengan membahas kasus-kasus yang kerap terjadi dan menim68

Majalah LPM aL-Millah Edisi 37

pa perempuan. Setelah pembahasan kasus yang terjadi tersebut dirasa cukup, Haniek akan mengeluarkan pendapatnya tentang bagaimana sikap yang akan diambil ketika menemui masalah seperti itu. Bagi Haniek dan kawan-kawannya menyampaikan materi-materi yang menggunakan istilah asing semisal gender, kodrat, dan segala hal yang berkaitan dengan

feminisme bukanlah suatu hal yang mudah, terutama kepada mereka yang sama sekali belum pernah mendengar istilah-istilah tersebut. Perbedaan tingkat pendidikan dan lingkup pergaulan menjadi faktor penyebabnya, dimana sebagian besar anggota didominasi oleh ibu-ibu yang merupakan lulusan SD, SMP, SMA yang belum mengenal betul apa itu gender, apa itu kodrat, apa itu


Sosok

Haniek bercerita jika, kadangkadang, hal yang membuat perempuan tidak bisa diajak maju adalah dari diri mereka sendiri. “Contoh ya mbak, ketika diajak untuk berpikir maju berkegiatan ini itu, responnya ‘halah wong kita itu perempuan yowes ngene iki wae’ (halah kita itu hanya perempuan, yasudah begini saja),” ungkapnya ketika kami temui di rumahnya yang kedua di daerah Jeruksing.

KDRT. Alasan-alasan seperti itulah yang membuat Haniek harus pintar-pintar memutar otaknya dalam menjelaskan sesuatu hal yang sekiranya asing pada mereka dengan penjelasan yang sederhana dan mudah dipahami oleh mereka. Bukan hal yang mudah untuk bisa membangun kultur perempuan yang sadar akan potensi dan kemampuan dirinya sendiri.

Bukan Sebuah Akhir Melainkan Awal yang Baru Kegiatan-kegiatan yang berhasil dilaksanakan oleh Haniek di bawah nama LPP tidak terlepas dari campur tangan kedua rekannya yang berperan sebagai pengurus inti. Bersama-sama mereka secara perlahan berusaha untuk terus membuat perempuan semakin lebih maju dan potensinya bisa diakui. Perlu diketahui, sejak berdirinya LPP dan TSP, semakin banyak perempuan yang sadar akan potensi dalam diri mereka. Bahwa perempuan tidak seharusnya hanya berkutat pada urusan rumah tangga saja. Bahwa laki-laki juga seharusnya memiliki kewajiban yang sama seperti istri dalam mengurus urusan rumah tangga seperti mencuci, memasak, dan lain sebagainya. Akan tetapi, sejak beberapa tahun sebelum tahun 2018, kegiatan dan gerak LPP sudah tidak se-aktif dulu bahkan bisa dikatakan mati secara perlahan. Faktor yang mendasarinya tentu beragam, tetapi kebanyakan karena berbagai kesibukan para anggotanya. Satu persatu anggotanya mulai menghilang, dari yang awalnya hanya

dua pengurus inti lalu disusul oleh anggota-anggota yang lainnya, hingga akhirnya hanya tersisa Haniek seorang. Tidak dipungkiri jika Haniek merasa sedih dengan keadaan itu. Namun, meskipun ia dihadapkan pada kenyataan pahit tersebut, semangat Haniek untuk membantu perempuan untuk bisa berdaya tidaklah padam. Setelah LPP vakum total, pada tahun 2018 Haniek menemukan rekan baru yang sama-sama merasa prihatin akan minimnya kegiatan yang secara khusus dan mendalam membahas tentang perempuan dan gerakannya. Bersama-sama dengan keenam rekan barunya, Yeni Mualifah, Nadila Yusvita, Adzka Haniina, Asit Devi, Ratna Utami, dan Mufassirin, Haniek membentuk lembaga baru yang bernama Women’s Crisis Center Amita Ponorogo atau bisa disebut dengan WCC Amita Ponorogo. Baik LPP maupun WCC bergerak dalam ranah yang sama, yaitu mendampingi perempuan yang seringkali menjadi korban kekerasan. Pun demikian wilayah kerja WCC masih sama dengan LPP, yaitu se-kabupaten Ponorogo. Haniek lebih memilih menggunakan nama WCC daripada LPP sebab orang-orang yang tergabung dalam WCC semuanya adalah orang yang baru, tidak satupun dari mereka yang dulunya dari LPP selain Haniek sendiri. Penggunaan nama WCC dimaksudkan juga untuk membangun semangat yang baru. Sebagai Ketua WCC, tentu Haniek mengupayakan berbagai Majalah LPM aL-Millah Edisi 37

69


Sosok

macam cara agar lembaga yang telah dirintisnya bersama keenam kawannya itu benar-benar memberikan manfaat kepada masyarakat, khususnya pada perempuan-perempuan yang tinggal di Ponorogo. Sosialisasi baik melalui media sosial maupun langsung terus ia gencarkan. Begitu juga dengan diskusi-diskusi tentang gender. Meskipun sempat vakum selama beberapa saat setelah berdiri karena adanya pandemi Covid-19, Haniek dan kawankawan tidak putus asa untuk mencari alternatif lain untuk melaksanakan agenda tersebut, yaitu dengan cara daring. Salah satu agenda yang berhasil dilaksanakan dan baru saja selesai adalah Peringatan 16 HAKTP (Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan) yang dilaksanakan sejak 16 November sampai 23 Desember 2020. Namun, gerak yang dilakukan oleh Haniek dalam bidang advokasi sejauh ini masih berupa pendampingan dan rehabilitasi korban. Untuk sampai ke ranah hukum belum ada sama sekali karena belum ada korban yang meminta pendampingan sampai ke tahap tersebut. Meskipun selama pandemi Covid-19 banyak sekali pengaduan yang masuk, mulai dari KDRT karena faktor ekonomi hingga kekerasan seksual. Total ada sekitar 50-an kasus KDRT dan 36 kasus kekerasan seksual per Desember 2020. Sebenarnya, pada bulan Oktober 2020 kemarin, ada kasus kekerasan seksual yang seharusnya bisa diproses sampai ke ranah hukum. Akan tetapi, karena korban dan pelaku masih sama-sama be-

70

Majalah LPM aL-Millah Edisi 37

rada di bawah umur, maka hanya dilakukan mediasi antara kedua belah pihak. Tentu saja tidak mudah untuk masuk ke jalur mediasi tersebut. Haniek mengatakan jika pihak keluarga korban tidak terima anaknya dilecehkan dan meminta dibawa ke ranah hukum. Namun, setelah diberi penjelasan jika anak-anak/pelajar di bawah usia 18 tahun tidak bisa dijerat dengan Undang-Undang, akhirnya pihak keluarga korban bisa mengerti dan mau diajak untuk mediasi. Selain kasus kekerasan seksual, ada satu kasus KDRT yang sangat membekas bagi Haniek sepanjang waktu pendampingannya. Kasus KDRT tersebut dialami oleh seorang ibu rumah tangga. Pelaku adalah suaminya sendiri. Bukan hanya sang istri yang menjadi korban dari kasus KDRT ini, melainkan putri mereka yang masih duduk di bangku sekolah menengah pertama pun ikut menjadi korban. KDRT tersebut pun masih terus berlanjut meskipun si suami mengetahui si istri tengah hamil lagi. Bahkan si suami sempat mengancam akan membuang si calon bayi tersebut ketika lahir dan membuat si istri menjadi stress. Dari kasus ini, yang membuat Haniek semakin prihatin adalah ketika dia memikirkan nasib bayi yang ada dalam kandungan si istri korban KDRT, saat si jabang bayi lahir kelak. Hal ini karena tidak ada panti asuhan yang mau menampung bayi yang baru lahir. Hingga pada akhirnya bayi tersebut diadopsi oleh adik dari si suami (pelaku KDRT) yang kebetulan belum memiliki anak walaupun

sebelumnya harus melalui proses negosiasi yang panjang terlebih dahulu. Berkaca pada kasus tersebut, Haniek berpesan kepada semua perempuan untuk tidak memendam masalah sendirian agar kasus seperti itu tidak terulang. “Seyogyanya, carilah orang yang bisa dipercaya untuk menceritakan masalahmu agar bebanmu sedikit berkurang,” ucapnya. Melihat dari beberapa kasus yang telah ditangani oleh Haniek selama ia berkecimpung dalam dunia pemberdayaan perempuan, sosok yang sangat mencintai hewan kucing ini juga berpesan kepada kaum perempuan untuk berani berproses agar menjadi lebih baik dan tidak terlalu terpengaruh pandangan orang lain. Menurut Haniek, seringkali pandangan lingkungan menjadi hambatan perempuan untuk berkembang. Tak jarang demotivasi pada perempuan juga muncul dari sesama kaum perempuan. Namun dari semua faktor penyebab yang ada, motivasi dari pribadi perempuan itu sendiri lebih memiliki pengaruh yang signifikan atas perkembangan pada diri mereka. Dalam hidupnya, Haniek selalu memegang teguh prinsip jika laki-laki dan perempuan mempunyai hak-hak yang sama sebagai makhluk Tuhan. Di matanya, tidak ada yang lebih kuat di antara satu atas lainnya. Bagi Haniek, perempuan melakukan suatu kegiatan itu bukan untuk menentang atau melawan laki-laki, melainkan untuk memperjuangkan hak-hak yang sama. (Eka Purwaningsih_26.17.172)


Alamku

Foto: Afriana

M

MENGGALI KHASIAT WISATA PEMANDIAN AIR PANAS DI NGEBEL

engunjungi tempat wisata menjadi pilihan bagi semua kalangan. Berwisata menjadi momen untuk mengistirahatkan badan dan pikiran sejenak dari segala rutinitas. Apalagi mengunjungi tempat wisata alam dengan menikmati udara segarnya. Akhir pekan menjadi waktu yang dinanti-nanti untuk mengagendakan liburan bersama teman, saudara, maupun keluarga. Berkunjung ke Ponorogo tidak lengkap rasanya jika tidak singgah sebentar ke tempat wisatanya. Kota Reyog ini selain terkenal dengan budayanya, tetapi juga tidak kalah dengan tempat-tempat wisata yang menarik perhatian untuk dikunjungi. Berbicara tentang wisata alam di Ponorogo, kebanyakan wisatawan memilih berkunjung ke tempat wisata yang terkenal, apalagi kalau bukan wisata Telaga Ngebel. Namun tahukah kamu tempat wisata yang selain menyuguhkan keindahan alamnya tetapi juga bermanfaat bagi kesehatan? Ponorogo tidak hanya menyuguhkan keindahan telaganya tetapi juga menyuguhkan wisata alam yang unik. Tempat wisata itu tidak lain adalah Pemandian Air Panas Tirta Husada, yang terletak di Desa Wagir Lor, Kecamatan Ngebel. Air panas tersebut berasal dari sumber air yang mengalir dari Pegunungan Wilis dan satu-satunya pemandian air panas alami di Ponorogo. Tempat ini ramai dikunjungi wisatawan yang tidak sekadar penikmati panorama alam

Majalah LPM aL-Millah Edisi 37

71


Alamku

tetapi juga sebagai sarana untuk menyembuhkan segala jenis penyakit. Mulai dari dewasa, anak muda, bahkan anak-anak pun sangat antusias bermain di tempat wisata ini. Berbekal pengetahuan dari media sosial, juga dari teman yang sudah pernah berkunjung ke sana, maka untuk menjawab rasa penasaran kru aL-Millah, kami bersiap-siap menuju lokasi Pemandian Air Panas. Sebelum melakukan perjalanan, kami mempersiapkan bekal dan tak lupa berdoa terlebih dahulu, agar perjalanan berjalan dengan lancar. Setelah persiapan dirasa cukup dan tidak terasa waktu sudah mulai beranjak siang, kami pun berangkat menuju lokasi. Melangkahkan Kaki Menuju Pemandian Air Panas Perjalanaan dimulai dengan membuka aplikasi Google Maps, sebagai petunjuk arah kami. Kami berangkat mengendarai sepeda motor dari rumah salah satu dari kru aL-Millah menuju selatan ke arah Jalan Tangkuban Perahu. Ketika sudah sampai pada perempatan lampu merah, kami kemudian belok ke kiri menuju arah timur Jalan Batoro Katong. Kami terus ke arah Timur, hingga sampai pada simpang empat lampu merah Pasar Pon kemudian menyusuri Jalan Niken Gandhini. Kami melewati SMKN 1 Jenangan dan terus berjalan ke arah utara hingga sampai di lampu merah Sewelut. Kemudian kita belok kanan ke arah Jalan Raya Jenangan. Sepanjang perjalanan banyak sekali kendaraan

72

Majalah LPM aL-Millah Edisi 37

ramai berlalu lalang yang sudah akrab dengan keseharian kami. Selalu berhati-hati dan mawas diri menjadi bekal kami saat sedang melakukan perjalanan kali ini. Perjalanan berlanjut hingga sampailah di simpang tiga, lalu kami mengambil belokan ke selatan menuju daerah Sugihan. Sesampai di perempatan Pasar Sugihan, kami belok ke arah kiri Jalan Raya Pulung. Pasar ini sangat ramai, kami mengurangi kecepatan kendaraan dan berhati-hati saat melintasi Pasar Sugihan. Kami terus berkendara menuju arah timur hingga sampailah simpang tiga, kemudian kami berbelok menuju arah utara berada di Jalan Raya Pulung. Sekitar 10 menit perjalanan, kami kehilangan sinyal, alhasil Google Maps yang menjadi petunjuk arah kami mendadak kehilangan arah. Kami pun memutuskan untuk berhenti sejenak. Kemudian kami mencoba bertanya kepada seorang warga yang kebetulan sedang melintas. Setelah mengetahui arah yang benar, ternyata kami kehilangan arah cukup jauh, dan tidak menunggu lama kami putar balik mengikuti arahan dari warga. Panas begitu terik, rasa haus akhirnya menggoda kami untuk beristirahat sejenak di tengah perjalanan. Lain halnya dengan suasana jalanan di kota, ketika kami berhenti sejenak di Jalan Raya Ngebel, suasananya begitu asri dikelilingi hamparan sawah yang menghijau berbentuk terasering menjadi pemandangan yang dapat mengurangi rasa lelah. Meskipun area persawahan, tumbuh pula

pohon-pohon kelapa yang menjulang tinggi hingga menambah kesejukan tempat ini. Sembari meneguk air, kami mengecek rute demi rute untuk melanjutkan perjalanan. Akhirnya tenaga kami pulih dan bergegas menggerakkan langkah menuju Pemandian Air Panas. Perjalanan masih berlanjut, dan jalan yang kami lewati berkelokkelok karena sudah dekat dengan areal pegunungan. Kami terus mengikuti rute yang ada, akhirnya sampai pada banner besar bertuliskan “Wisata Pemandian Air Panas Tirta Husada”. Tidak berselang lama akhirnya kami menjumpai plang petunjuk arah menuju pemandian air panas, tidak lama lagi kami segera sampai pada tujuan. Setibanya di lokasi kami menuju tempat parkir untuk memarkirkan kendaraan. Lalu menuju loket untuk membayar karcis masuk ke tempat wisata. Hari itu cukup ramai, bahkan semakin siang pengunjung semakin banyak. Kami pun sudah tidak sabar untuk membuktikan rasa penasaran kami. Secuil Kisah Dibalik Nama “Tirta Husada” Di sebuah kedai makan kami berbincang-bincang sejenak dengan Ibu Susi, beliau adalah istri dari pengelola wisata pemandian air panas ini. Beliau sangat ramah dan mengizikan kami duduk sembari menunggu kedatangan suaminya, yang akrab disapa Suprapto, untuk berbincang seputar tempat wisata. Kisah ini bermula ketika Ibu Susi menderita penyakit alergi


Foto: Afriana

Alamku

di badannya. Pada waktu itu kebetulan Pak Suprapto masih berdomisili di Madiun. Menurut info yang didapatnya ada sumber air panas yang konon katanya mempunyai banyak manfaat. Akhirnya tanpa pikir panjang Pak Suprapto mengajak istrinya menuju lokasi pemandian air panas di Ngebel. Tanpa disangka-sangka penyakit yang diderita istrinya pun sembuh. Sejak saat

itu Pak Suprapto sering berkunjung di pemandian air panas tersebut. Tahun 2007 Pak Suprapto beserta istrinya, pindah ke Ponorogo, bahkan pada tahun 2013 beliau mendapat dukungan untuk mencalonkan menjadi Kepala Desa. Akhirnya setelah beliau menjadi Kepala Desa, beliau berinisiatif untuk mengelola potensi sumber air panas dan mengenalkannya kepada masyarakat luas.

Pak Suprapto juga menjelaskan bahwa dari awal pengelolaan wisata pemandian air panas ini inisiatif darinya. Semua biaya yang dikeluarkan diperoleh dan dilakukan secara mandiri oleh Pak Suprapto sekaligus bersama swadaya dari masyarakat. Pemandian ini diberi nama Tirta Husada yang mempunyai arti tersendiri yakni tirta berarti air, sedangkan husada yang mem-

Majalah LPM aL-Millah Edisi 37

73


Alamku

punyai arti menyembuhkan. “Ada air panas itu sudah lama sekali. Awalnya istri saya kan punya sakit di perut, kalau pergantian musim itu perutnya mlonyoh alergi. Akhirnya tak bawa ke sana sembuh tanpa minum obat,” jelas Pak Suprapto Pak Suprapto mulai mengelola pemandian air panas pada akhir tahun 2014. Pak Suprapto berupaya agar wisata pemandian air panas ini dikenal oleh masyarakat Ponorogo, juga masyarakat luas, meskipun saat itu belum banyak masyarakat yang mengunjungi wisata tersebut. Akhirnya pada tahun 2017 wisata mulai banyak dikunjungi oleh wisatawan. Pak Suprapto juga mengungkapkan hingga sekarang pengunjung tidak hanya datang dari Ponorogo, melainkan mancanegara. “Kami buka selama 24 jam. Pengunjungnya tidak hanya dari Ponorogo, mulai Tulungagung, Pacitan, Pasuruan, Surabaya, Trenggalek, Ngawi. Ada juga dari mancanegara, Thailand, Pakistan, China, Taipei, Jerman itu,” ungkapnya. Setelah cukup berbincang dengan Pak Suprapto, kami melihat tempat penampungan air panas yang mengalir seperti aliran sungai kecil. Di tengah-tengah sungai dibangun kolam-kolam kecil. Kolam-kolam tersebut terisi air panas yang memiliki suhu yang berbeda-beda. Ada yang panas, sedang dan hangat. Sambil berendam kami menikmati pemandangan area pemandian yang dikelilingi oleh hamparan sawah nan asri dan sejuk. Suasana yang dingin bercampur dengan

74

Majalah LPM aL-Millah Edisi 37

hangatnya berendam di air panas. Ehmm… tempat yang sempurna untuk melemaskan otot-otot badan. Menggali Khasiat Pemandian Air Panas di Ngebel Pemandian air panas Tirta Husada di Ngebel banyak mengandung belerang dan garam, maka dari itu air panas alami ini banyak sekali manfaatnya, diantaranya: mengeluarkan racun, menghilangkan stress, mengobati eksema (penyakit kulit), mengobati infeksi, flu dan sakit kepala, mengobati insomnia, melancarkan peredaran darah, mengobati jerawat, meringankan keluhan penyakit tulang seperti rematik dan air panas juga dapat menurunkan kadar kolestrol dalam darah, memulihkan kebugaran tubuh, meningkatkan vitalitas, memelihara kesegaran sendi-sendi dan otot, dan efektif menghilangkan pegal-pegal. Tidak hanya berendam, kami juga bercengkerama dengan pengunjung di sana. Mayoritas pengunjungnya memang dari kalangan dewasa, tetapi banyak anak muda yang tidak kalah antusias menikmati wisata pemandian air panas ini. Ibu Katiyem dan rombongan keluarganya yang berasal dari Pulung, secara rutin juga menyempatkan mengunjungi tempat ini. Ia mengungkapkan bahwa air panas di pemandian Tirta Husada dapat meredakan pegal-pegal di badannya. Ia mengaku jika berendam secara rutin akan mendapatkan hasil yang lebih baik. “Kula mriki niku rutin mbak, kalih yogane, mantu

kula, putu-putu kula. Kersane linu-linu niki ilang (Saya kesini itu rutin mbak, sama anak, menantu saya dan cucu-cucu saya. Supaya pegal-pegal di badan ini sembuh),” katanya. Serupa dengan warga dari Jenangan, Ibu Sutiya bersama suami dan anaknya setiap akhir pekan juga mengunjungi wisata tersebut. Bukan tanpa alasan, suaminya memang menderita rematik. Ia diberitahu oleh saudaranya untuk mencoba rutin berendam di pemandian air panas, agar penyakitnya segera sumbuh. “Niki ngrencangi Bapake menika gadah rematik, dadose rutin mriki mbak. (Ini menemani Bapaknya punya penyakit rematik, jadinya rutin kesini mbak),” jelas Ibu Sutiya. Bapak Suprapto berharap pengelolaan dari wisata ini dapat lebih baik lagi, lebih berkembang, serta lebih dikenal masyarakat. Pemerintah daerah juga dapat turun tangan membantu memperbaiki infrastruktur-infrastruktur untuk wisata ini. Salah satunya dengan membangun gapura sebagai pintu masuk wisata, agar menjadi penanda bahwa pemandian air panas tersebut adalah wisata permanen yang dimiliki oleh Kabupaten Ponorogo. Bagaimana, apakah kamu tertarik untuk berkunjung ke pemandian air panas ini? (Ririn Suhartanti_26.17.177) (Aliffanda Nur Fitriandini_27.18.194) (Afriana Dwi Utami_28.19.196)


Puisi

Suara Perempuan dan Kepemimpinannya *y.a ada waktu di mana aku begitu keras kepala dan terkesan egois mereka bahkan menyebutku tidak peduli dengan yang lain padahal kenyataannya; yang ku tahu tak mau mereka pahami boro-boro mau mengkajinya dengan lebih

aku selalu menolak menjadi selain diriku gamblang memberi kesempatan kepada diri sendiri untuk mengapresiasi pemikiranku yang kerap dianggap liar tak terkendali lalu mencoba menafsirkan segala yang kutahu dengan akal dan hati aku orang yang mudah sekali menyesali untuk itulah aku belajar berhati-hati agar segala yang kupikirkan dan yang kuputuskan tidak menghianati espektasi

aku tahu aku tak sekuat laki-laki tapi bukankah ada pula ratu yang berjaya memimpin negeri? aku percaya hal-hal baik akan tumbuh aku pasti juga akan menyesali jika tak melakukan sesuatu sebaik teori 2021

Majalah LPM aL-Millah Edisi 37

75


Puisi

Sampai Kapan? *y.a

ibuku dibilang pengangguran karena tidak bekerja padahal ia sangat repot mengurus rumah dan anak-anaknya

kakakku dibilang bodoh dan tak bisa mengurus rumah tangga karena ia menyewa pembantu dan baby sitter padahal ia sangat sibuk bekerja dan pandai dalam profesinya

temanku yang lain dibilang tidak tahu agama karena memakai kerudung dan terlihat rambutnya padahal memang ia mengikuti tafsir yang berbeda mengapa harus mengutuk ayam yang tidak bisa memanjat pohon seperti monyet? atau kucing yang tidak bisa berenang seperti ikan? sampai kapan kita harus fokus kepada kekurangan dan bukan pada kelebihan? sampai kapan kita harus menyamakan standart seluruh manusia? padahal semua hal memang diciptakan berbeda-beda

sampai kapan memilih menghakimi? padahal ada pilihan untuk mengapresiasi 2021 76

Majalah LPM aL-Millah Edisi 37


Ilus: twitter @empathosa

Cerita Pendek

GASLIGHTING Oleh: Yulia Aswaty

A

ku duduk di ruang ini, aku memejamkan mataku kemudian. Memikirkan mengapa aku berada di ruangan ini. Kuingat satu tahun lalu aku berjalan menyusuri

lorong parkiran. Seperti biasa, badanku kerap terasa pegal linu dan kepalaku begitu ngilu. Pulang habis beracara dan menangani kasus klien-klienku. Di hari itu aku berpikir; beta-

pa sial negeri yang mengklaim dirinya sendiri sebagai Negara Hukum, tapi justru hukumnya sendiri sulit berdiri tegak, bahkan banyak yang harus merangkak mengikutinya. Aku ingat dalam lamunanku, saat itu aku menginjak usia 27 tahun dan belum menikah, namun aku tak merasa bahwa aku telat untuk melakukannya. Meskipun begitu, saat itu aku memiliki seorang kekasih. Kekasihku seorang penegak hukum, tapi ia lebih mahir menodongkan senjatanya atas nama perintah. Meski sebenarnya perintah itu sendiri tak keluar dari mulut seseorang, melainkan dari uang dan kekuasaan. Ya, kekasihku seorang polisi, dan aku seorang pengacara. Kita sepasang kekasih yang tak pernah mencoba berkolaborasi atas nama kerja sama. Bukan ironis bagiku menjalin hubungan jarak jauh 9 tahun dan jarang sekali komunikasi karena kesibukanku atau kesibukannya. Mungkin di antara kami menganggap bahwa hal itu memang tak penting lagi hanya karena berpikir; “kami sudah lama bersama, ia juga tak akan ke mana-mana”. Padahal nyatanya tak seperti yang seharusnya. Kupejamkan mata makin dalam, kuingat lagi pertengahan tahun di dua tahun lalu, aku mendapat kabar dari kekasihku bahwa ia akan pindah tugas ke sini, ke tempat di mana seharusnya kita akan lebih sering bertemu. Sepekan setelahnya, aku cepat-cepat menjemputnya ke bandara, tapi ia lebih dulu beranMajalah LPM aL-Millah Edisi 37

77


Cerita Pendek

jak dari sana. Ternyata kata-kata atasannya untuk ‘menghadap’ lebih didengarnya daripada kekasihnya bahkan sebelum ia menjadi seorang polisi. Aku ingat celotehku pada diri sendiri saat perjalanan dari bandara ke kantor sambil membayangkan seseorang yang akan menikah; “Tak bisakah kau mencari alibi untuk tetap mempertahakan dirimu sendiri agar menepati janji, lebih-lebih pada orang yang ka u anggap berarti untukmu, seseorang yang sangat ingin kau temui?” “Kapan kau terakhir menggunakan sebuah alibi? Atau justru kau pakai hanya untuk sebuah maaf? Licik!” Begitu cara otakku bertanya sepanjang perjalanan pulang. Kubuka mataku dan aku mulai bercerita dengan seseorang yang memakai baju putih di hadapankanku. Kubilang; hubungan ini menjadi tak asik, tak ada lagi cemas dan kekhawatiran, hanya ada sebal. Mengapa tak satu pun dari kami lebih berusaha untuk yang lain. Sekali pun melakukannya, mengapa justru nampak sia-sia. Kurasa jawaban atas pertanyaan liar itu adalah pertanyaan pula; “Mengapa aku memaafkannya padahal aku tahu ia pernah tak setia.” “Apa kau mau mengakhiri hubungan kita selama 7..8..9 tahun ini, apakah selama ini tidak ada artinya lagi untukmu? Aku mohon jangan seperti ini. Kita bisa bicarakan lagi.” Bahkan kalimat itu lebih

78

Majalah LPM aL-Millah Edisi 37

banyak diucapkannya ketimbang maaf setiap ia melakukan kesalahan. Tiga kali ia berkhianat. Itu yang kutahu beserta bukti yang kudapat. Jika sebenarnya lebih, aku tak tahu. Air mataku menetes, seseorang di depanku mencoba menenangkanku. Aku lanjut bercerita kepadanya. Kubilang; sialnya aku selalu ingin percaya lagi, keyakinanku atas kebaikannya kepadaku dan keluargaku membuatku empati. Bahkan kesalahan yang dibuatnya justru membuatku berkata bahwa “Akulah penyebab kesalahannya.” Bahkan aku kerap meyakinkan diriku sendiri, memaksa untuk percaya pada hal-hal darinya yang kutahu itu adalah sebuah kebohongan. Mungkin dalam cinta yang menyakitkan bukanlah kebohongan itu sendiri, melainkan dampaknya, yakni kehilangan yang dicintainya. Seseorang di depanku berkata; “Namun bisa jadi perpisahan itu jalan yang terbaik, baik untukmu dan orang-orang di sekitarmu yang menyayangimu.” Kukatakan lagi padanya; kebohongannya dalam hubungan ini membuatku juga ikut melakukannya. Aku menjadi penipu dalam cinta. Aku berkata baikbaik saja, padahal tidak. Aku kerap meragukan kredibilitasku sendiri demi harga diri kekasihku. Kukatakan lagi, setiap kali ia melalukan kesalahan, aku selalu men-judge bahwa itu karena diriku juga. Ia selingkuh, karena aku jarang memperhatikannya. Aku memaafkannya, namun justru aku mengklaim kekasihkulah

di sini yang penyabar. Bukan aku. Entah mengapa aku mulai terisak, air mataku jatuh lagi, kupejamkan mata, dan memikirkan orang-orang terdekatku yang selama ini tak kugubris. Aku ingat betul kata sahabatku. Ia yang selalu bersamaku kini menjauh karena ia merasa aku tak mendengarkannya dan lebih mementingkan hubungan konyolku. Katanya waktu itu; “Jangan karna karena telah lama bersama kamu bertahan dalam hubungan toxic. Kamu sakit dan mengapa kamu malah meminum racun?” Kulanjutkan ceritaku kepada perempuan di hadapanku, aku selalu konsultasi kepadanya akhir-akhir ini. Setahun lalu ketika kekasihku dinas ke Papua, ia mulai mengabaikan pesan-pesanku. Ia tak membalas atau pun membaca pesanku, padahal aku tahu dia online. Lagi-lagi aku berpikir, mungkin dia sibuk, atau mungkin dia online karena ada pekerjaan yang menggunakan handphone. Hubungan ini juga menguji ketelitian dan kehati-hatianku. Ketika aku meneleponnya, ia sedang berada di panggilan lain. Kemudian aku mencoba check panggilan dengan menelpon ibunya, ayahnya, kakaknya, dan adiknya, ternyata semuanya “berdering” dalam WhatsApp. Sedangkan teleponnya masih berada dalam panggilan. Berarti ia tidak menelpon keluarganya, tapi mungkin rekannya. Sesaat setelah itu ia kembali menelepon balik. Kutanyakan,


Cerita Pendek

“Tadi telpon siapa?” jawabnya “Ibu”. “Ibu siapa?”, “ya ibuku”. Aku menutup telepon dan sempat menangis. Mencoba mengasihani diriku sendiri, mengapa tidak sejak awal aku memutuskan semuanya. Aku memutuskan komunikasi dengannya, ia memang mencariku. Tapi itu baru seminggu selang aku mematikan telepon saat itu. Sialnya ia tak merasa ada sesuatu, ia tak merasa bersalah, atau mungkin ia tak tahu apa yang kulakukan. Kukatakan dan kujelaskan yang terjadi dan ia kaget. Bertanya “Bagaimana bisa” berkali-kali dan lebih banyak dari kata “Maaf”. Aku sudah memutuskan matangmatang untuk mengakhiri 9 tahun hubungan ini. Ia menahanku dalam jaringan, dan karena dalam jaringan aku bisa mematikannya. Beberapa hari ia mencoba menghubungiku lewat telepon pribadi dan kantor pengacaraku. Kujelaskan keputusanku berkali-kali dan aku ingin ia menghargai keputusan itu demi kebaikanku. Kurasa ia mengerti, atau memang tak mencintaiku lagi. Hubungan kami akhirnya berakhir. Seorang psikiater di depanku mengangguk setelah mendengar ceritaku. Ia kemudian bertanya; “Apa kau kira hubungan yang terjalin lama itu begitu bisa adil? Kau mencintainya, dia mencintaimu? kau setia padanya, ia setia padamu? kau jujur padanya, ia jujur padamu?” Jawabku, “Sekarang tidak”. Satu tahun ini aku memasukkan bimbingan ke psikiater di sela-sela jadwal kerjaku. Aku ingin

sembuh, aku harus sembuh dari penyakit hati. Sebab pekerjaanku adalah pekerjaan yang memakai hati. Bagaimana mungkin banyak orang yang berada di bawah naunganku, sedangkan aku begitu rapuh sendiri. Satu minggu lagi mantan kekasihku akan menikah dengan seorang perempuan yang mengklaim di caption foto prewedding-nya di social media bahwa hubungannya terjalin 3 tahun. Padahal baru setahun kami berpisah. Sebagai pengacara, aku banyak menolong orang. Aku juga harus bisa menolong diriku sendiri. Aku tidak takut akan kesepian. Bagiku bertahan dalam kebohongan akan membawakan diri pada kegelapan. Gelap itu sepi, juga menakutkan. Hubungan yang baik bukan yang lama bersama, tapi seberapa sehat hubungan itu. Aku akan menghadiri pernikahan mereka dan mengucapkan selamat. Aku juga akan berkata pada mereka jika butuh kuasa hukum untuk menyelesaikan perkara cerai, mereka bisa menghubungiku.

Sebagai pengacara, aku banyak menolong orang. Aku juga harus bisa menolong diriku sendiri.

Januari 2021 #Hindarigaslighting Cinta itu yang membuat kita semangat belajar dan beraktivitas, naik kelas secara manusiawi dan berkualitas, temukanlah cinta yang seperti itu 

Majalah LPM aL-Millah Edisi 37

79


Resensi Film

Menilik Kisah Manis Empat Saudara dalam “Little Women” 80

Majalah LPM aL-Millah Edisi 37

Gambar: liputan6.com

S

ejarah mencatat, awal pergerakan wanita di dunia terjadi pada tahun 1800-an. Mereka menganggap ketertinggalan dan keterpurukan yang dialaminya diakibatkan dari masalah buta huruf, kemiskinan, dan minim keahlian. Basis dari gerakan ini berupa menuntut diberikannya kesempatan hak bersuara dalam pemilu bagi wanita. Hampir satu tahun kemudian, wanita-wanita pada era industrialisasi mulai menyadari akan kurangnya peran mereka di masyarakat. Mereka mengamati terjadi banyaknya ketimpangan sosial dengan wanita sebagai korbannya. Dari akar permasalahan itu munculah pemikiran-pemikiran sebagai reaksi kritis atas kesemerawutan sosial yang terjadi kala itu. Menghadirkan sosok Simon De Behavior dengan bukunya yang berjudul “Second Sex”. Hal ini memunculkan kesadaran akan hak-hak dan kesempatan yang setara bagi perempuan di ranah publik. Dua puluh tahun semenjak buku itu terbit, pergerakan perempuan barat semakin berkembang pesat. Permasalahan seperti upah rendah, cuti haid dan melahirkan, dan lain-lain, mulai didiskusikan secara terbuka. Perempuan mulai berkesempatan untuk berpartisipasi pada beragam sektor di ruang publik. Namun, bukan berarti perjuangan perempuan berhenti sampai di situ. Wacana-wacana tentang persoalan gender akan terus bermunculan, terutama mengenai persoalan perempuan. Jejak sejarah itu terekam dalam novel karya Louisa Mary


Resensi Film

Identitas Film Judul Film: Little Women Sutradara: Greta Gerwiq Producer: Amy Pascal, Denise Di Novi dan Robin Swicod Diproduksi oleh: Columbia Pictures, Regency Enterprises, Pascal Pictures Durasi: 135 menit Tahun rilis: 2019 Peresensi: Chandra Nirwana Harsono Putri._27.18.191 Alcott yang bertajuk “Little Women”. Terbit pada tahun 1868 yang terjadi tidak lama setelah gelombang pergerakan perempuan terjadi. Dengan mengemas dalam cerita yang sederhana, Alcott menghadirkan semangat itu dengan lebih hangat dan sarat akan kekeluargaan. Meskipun telah diadaptasi menjadi film berkali-kali, namun di tangan sutradara Greta Hedwig, “Little Woman” dan berada di naungan studio produksi Sony Pictures Entertaintment yang dirilis pada tahun 2019, masuk dalam nominasi Oscar 2020 pada enam kategori, termasuk Film Terbaik. Izinkan penulis mengulas

kembali sinopsis film tersebut. Film ini menceritakan kisah 4 saudara yang berada dalam satu atap bersama ibunya. Mereka adalah Jo (Ronan), Meg (Emma Watson), Amy (Florence Pugh) and Beth March (Eliza Scanlen). Masing-masing dari mereka memiliki impian yang berbeda-beda terlepas dari sistem patriarki yang kental pada masa-masa Perang saudara Amerika atau sekitar abad Ke-19 Masehi. Pilihan-pilihan mereka dibatasi, antara menikah atau mati. Ada Meg, kakak tertua bijaksana yang hobi teater. Jo dengan watak yang energik dan tomboy, memiliki impian kuat untuk menulis sebuah cerita atau novel. Beth si pendiam sakit-sakitan yang gemar bermusik. Dan Amy yang kekanak-kanakan namun mampu menjadi anggun dalam sekaligus. Setiap tokoh dengan permasalahan masing-masing memiliki porsi yang dalam ketika menyampaikan maksud dari film tersebut. Ditulis pada awal gerakan perempuan pada abad-19, tak mengherankan apabila setiap tokoh dibekali dengan woman empowerment. Sebagai contoh, Meg menolak tradisi bahwa perempuan harus menikahi pria kaya untuk menyelamatkan perekonomian keluarganya yang berada di jurang kemiskinan. Alih-alih menuruti tradisi patriarkis tersebut, Meg justru memilih John Brooke, tutor bahasa Latinnya yang kere. Pesan-pesan woman empowerment juga disampaikan dengan gamblang lewat adegan

saat Jo menolak untuk mengakhiri novelnya dengan dua pilihan; antara menikah, atau mati. Meski karya dengan ending sejenis sangat laku di zamannya. Greta juga dengan apik menggambarkan situasi dilematis struktur realitas yang dibangun oleh kultur maskulin. Suasana itu tergambar saat Amy mengatakan, “I’m just a woman. And as a woman, I have no way to make money, not enough to earn a living and support my family. Even if I had my own money, which I don’t, it would belong to my husband the minute we were married. If we had children they would belong to him, not me. They would be his property. So don’t sit there and tell me that marriage isn’t an economic proposition, because it is.” (Saya hanya seorang wanita. Dan sebagai seorang wanita, saya tidak punya cara untuk menghasilkan uang, tidak cukup untuk mencari nafkah dan menghidupi keluarga saya. Bahkan jika saya punya uang sendiri, yang tidak saya miliki, itu akan menjadi milik suami saya begitu kami menikah. Jika kita punya anak, mereka akan menjadi miliknya, bukan aku. Mereka akan menjadi miliknya. Jadi jangan duduk di sana dan katakan padaku bahwa pernikahan bukanlah proposisi ekonomi, karena memang demikian.” Penonton akan disuguhi suasana keluarga yang hangat di tengah perekonomian yang pas-pasan. Namun pada scene tertentu penonton akan dijungkirbalikkan dengan adegan lain yang lebih dalam dan sunyi. Penonton Majalah LPM aL-Millah Edisi 37

81


Resensi Film

Permasalahan seperti upah rendah, cuti haid dan melahirkan, dan lain-lain, mulai didiskusikan secara terbuka. Perempuan mulai berkesempatan untuk berpartisipasi pada beragam sektor di ruang publik.

Gambar: topcareer.id

untuk mereka yang sudah familiar dengan novel Little Women. Secara keseluruhan, film tersebut sangat direkomendasikan untuk dinikmati oleh berbagai kalangan. Dengan pembawaan yang intens dan berwarna, banyak nilai-nilai positif yang menggambarkan bagaimana perempuan mampu berdaya di atas kakinya sendiri. Dengan moral value dan seni penyampaian cerita, penulis berani menganggap Little Women layak menjadi film terbaik pada tahun 2019.

yang tidak jeli dengan alur cerita film tersebut akan dibuat kebingungan dengan alur cerita yang maju-mundur. Bagaimana basenya yang begitu cepat dan sering kali menukik secara tajam dengan dua linimasa yang berbeda namun ditampilkan secara paralel mampu menangkap kompleksitas cerita di novel dengan durasi yang begitu singkat. Dengan begitu bukan berarti tanpa resiko. Hedwig terkesan tergesa-gesa dan mengabaikan momen-momen untuk membangun ikatan yang lebih kuat antara jajaran karakternya dengan penonton. Dengan konteks tersebut, Hedwig seolah-olah secara khusus membuat film tersebut

82

Majalah LPM aL-Millah Edisi 37


Resensi Buku

Filsafat Feminis

Membongkar Hegemoni Pemikiran Filsuf Laki-laki

K

etika kita mempelajari ilmu filsafat, tidak akan lepas dari pemikiran tokoh-tokoh filsuf yang berperan di dalamnya. Sebut saja Plato, Aristoteles, Agustinus, Thomas Aquinas dan yang lainnya, mereka adalah beberapa filsuf besar yang menyumbangkan banyak karya dalam ilmu filsafat. Lantas apakah kalian pernah berpikir, mengapa mayoritas filsuf yang kita pelajari adalah laki-laki? Jika memang ada filsuf perempuan, mengapa hanya sedikit karya pemikiran filsuf perempuan yang dapat kita temui? Buku yang berjudul Filsafat Berperspektif Feminis karya Gadis Arivia merupakan salah satu buku yang dapat membantu kita untuk menemukan jawaban dari pertanyaan di atas. Selama ini pembahasan sejarah filsafat selalu mengarusutamakan tokoh-tokoh filsuf besar di masa lampau, terutama filsuf laki-laki. Hasil pemikiran yang dituangkan dalam karya filsafat yang dihasilkan filsuf laki-laki cenderung mempunyai rasa ‘sentimen’ terhadap

Judul Buku : Filsafat Berperspektif Feminis Penulis: Dr. Gadis Arivia Effendi Penerbit: Yayasan Jurnal Perempuan (YJP) Tahun Terbit: 2003 Tebal: 336 halaman Peresensi: Shofia Mar’atus Sholikhah_26.17.178 eksistensi perempuan. Sebagai contohnya terlihat pada beberapa karya Filsafat Barat. Jika ditelaah lebih lanjut terdapat berbagai karya Filsafat Barat bermuatan paham anti perempuan atau feminis yang dikenal dengan istilah misoginis. Mayoritas pandangan para filsuf Barat seringkali bias, seksis dan mengabaikan keberadaan perempuan. Hal itu sebagai bentuk upaya pemboikotan terhadap eksistensi perempuan yang pada dasarnya juga berfilsafat. Menurut Le Doeuff, seorang filsuf perempuan asal Perancis, dia berpendapat bahwa ada pengeksklu-

sian karya-karya para perempuan dalam tradisi Filsafat Barat. Kelangkaan karya filsafat yang dipublikasikan dari hasil pemikiran-pemikiran filsuf perempuan memperkuat adanya tendensi pandangan misoginis dalam pemikiran filsafat. Sebagaimana dalam cuplikan karya Aristoteles yang berjudul Politics; “…Antara laki-laki dan perempuan, yang terdahulu secara alamiah superior dan pemimpin, sedangkan yang satu inferior dan objek.” Pernyataan Aritoteles tersebut secara eksplisit mengandung contoh pernyataan misoginis dalam karya filsafatnya. Gadis Arivia, pendiri Yayasan Jurnal Perempuan (YJP) memaparkan persoalan-persoalan antara filsafat dan feminisme. Melalui bukunya ini, ia membuktikan bagaimana cara berpikir maskulin dioperasikan untuk ‘produksi’ filsafat. Perempuan yang meraih gelar Doktor Filsafat Universitas Indonesia ini sekaligus berhasil menyuarakan gagasan filsuf-filsuf perempuan dengan warna yang baru melalui pendekatan dekonstruksi. Karya ini juga mengaju-

Majalah LPM aL-Millah Edisi 37

83


Resensi Buku

kan beberapa konsep baru dalam filsafat untuk memandang bahwa filsafat itu memiliki tubuh dan bergender sehingga disebut filsafat feminis. Buku yang merupakan hasil penelitian disertasi Gadis pada sidang akademik Universitas Indonesia ini ditulis dengan latar belakang tiga pokok permasalahan. Pertama, adanya persoalan pengeksklusian filsafat perempuan dan diskriminasi perempuan dalam karya-karya filsafat. Kedua, adanya ketegangan antara filsafat dan feminisme. Permasalahan terakhir adalah adanya kemungkinan untuk menciptakan pemikiran filsafat yang memasukkan persoalan-persoalan gender. Tujuannya untuk membuat corak berpikir filsafat berperspektif feminis. Terdapat tujuh bab dalam buku yang ditulis perempuan kelahiran New Delhi ini. Bab pertama merupakan bagian pendahuluan yang berisi pemaparan hubungan antara filsafat dan feminisme. Pandangan seorang feminis radikal Amerika yaitu Solanas mengenai keterkaitan antara feminisme dengan filsafat telah memunculkan argumentasi ekstrim dari kelompok feminis. Argumentasi tersebut menolak adanya hubungan antar keduanya. Bagi kebanyakan kaum feminis, feminisme adalah murni praksis dan bila feminisme diteorikan maka mereka dianggap telah masuk dalam lingkaran maskulinitas. Argumentasi kedua adalah bahwa terdapat hubungan antara feminisme dan filsafat namun secara historis sangat menindas

84

Majalah LPM aL-Millah Edisi 37

perempuan. Sehingga dari hasil kedua argumentasi tersebut terlihat bahwa hubungan antara feminisme dan filsafat memiliki sifat yang disjungtif. Pada bab dua membahas tentang tradisi filsafat barat yang cenderung bias terhadap perempuan atau dapat dikatakan seksis. Hal itu untuk memahami subordinasi permasalahan perempuan dalam filsafat melalui pemaparan sejarah. Telaah karya-karya filsafat akan dibentangkan dalam pe metaan diskriminasi filsafat terhadap perempuan. Dari hasil pemikiran para filsuf laki-laki sepanjang zaman terlihat kecenderungannya memandang rendah perempuan. Pernyataan yang bias gender banyak ditemui sebelum pemikiran abad ke20. Meskipun pada abad tersebut sudah mulai gencar adanya gerakan perempuan. Sebenarnya dari 14 filsuf laki-laki sepanjang zaman yang m e n ge m u k a k a n pendapatnya tentang perempuan, perkembangan pemikiran mereka telah mengalami kemajuan. Bermula dari pernyataan-pernyataan yang

misoginis, lalu masuk pada fase pendefinisian secara ‘kodratiah’, kemudian masuk pada tahap penjelasan soal kendala-kendala yang dialami perempuan sampai akhirnya para filsuf kontemporer mengemukakan pendapat tentang ciri-ciri perempuan yang mempunyai nilai lebih sehingga bisa diakui eksistensinya. Bila sepanjang sejarah perempuan selalu didefinisikan oleh para filsuf laki-laki, maka pada abad ke-19 dan memasuki abad ke-


Resensi Buku

20 pergerakan perempuan mulai mengenal dan menawarkan definisi yang baru dari mereka sendiri. Selanjutnya di bab tiga, terdapat pembahasan teori feminisme dan beberapa persoalan perempuan. Teori-teori feminisme dibagi menjadi tiga gelombang. Gelombang pertama yaitu teori feminisme mengajukan beberapa pertanyaan yang bersifat sosiologis serta berhubungan dengan hak dan peranan perempuan di kehidupan sosial. Selain itu, mempermasalahkan kedudukan dan posisi perempuan di dalam masyarakat terutama pada persoalan hak sipilnya. Gelombang kedua teori feminisme memberikan penjelasan umum tentang konsep fundamental terhadap penindasan perempuan dan respon terhadap kritik marxisme. Pada gelombang kedua pemikiran feminisme tidak lagi berfokus pada beberapa pertanyaan melakukan pergerakan politis yang mempertanyakan peranan gender. Perspektif pada gelombang kedua ini melahirkan anggapan bahwa perempuan dan laki-laki adalah sama atau setara. Sementara itu pada gelombang ketiga terdapat beberapa teori yang muncul bersinggungan dengan pemikiran-pemikiran kontemporer. Gelombang ini dipengaruhi oleh pemikiran postmodernisme. Kemudian akibat dari pemahaman realitas postmodern ini melahirkan teori feminisme postmodernisme, postkolonial, multikultural dan global. Menurut perempuan yang mengajar program studi Filsafat

dan Kajian Perempuan di Universitas Indonesia ini, untuk mempertahankan feminisme, kalangan feminis harus menghindar dari jargon-jargon ortodoks. Hal itu akan memberi kemudahan kepada para perempuan muda yang menjadi generasi penerus feminis. Harapannya mereka mampu mengakses dan mempertahankan feminisme. Hal ini selaras dengan pernyataan Sheila Tobias, seorang feminis Amerika, bahwa apabila ingin mempertahankan feminisme maka harus ada perubahan gerakan feminisme ke arah yang lebih baik oleh milenium feminis mendatang. Kemudian pada bab empat dijelaskan bahwa peran dekonstruksi melahirkan wacana filsafat berperspektif feminis. Menurut Jacques Derrida, dekonstruksi harus selalu menempatkannya di antara posisi ontologis dan politis, bahkan mempunyai tujuan produk ontologis yang bersifat politis. Penggunaan metode dekonstruksi menguntungkan feminis. Melalui dekonstruksi, representasi perempuan muncul dan menunjukkan suaranya baik secara filosofis maupun feminis. Dekonstruksi merupakan alat yang mampu membongkar pemikiran-pemikiran konvensional dari para filsuf laki-laki yang misoginis. Pada bab selanjutnya, penulis yang pernah ‘berguru’ kepada Derrida di Prancis tahun 1992-1994 ini memaparkan suara-suara filsuf perempuan dan perhatian mereka terhadap masalah-masalah perempuan. Selama berabad-abad suara-suara filsuf perempuan ti-

dak pernah muncul. Itu akibat dari kondisi perempuan terkurung dalam masyarakat patriarki. Mereka terlalu disibukkan untuk melayani laki-laki dan keluarganya sehingga membuatnya tidak mendapatkan akses pendidikan. Implikasi dari fenomena tersebut membuat perempuan ‘menghilang’ dari sejarah. Sehingga karya pemikiran filosofis mereka tidak dapat diakses. Meskipun terdapat filsuf perempuan yang luar biasa seperti Heloise, Anne Conway, dan Mary Wollstonecraft, karya mereka tidak diterima oleh masyarakat yang pada saat itu masih sangat kental dengan budaya patriarki. Padahal mereka memiliki ide dan kemampuan berfilsafat yang mengesankan. Keberadaan metode dekonstruksi akhirnya dapat membongkar wacana arogan filsafat yang telah menindas filsuf perempuan. Para filsuf perempuan kembali menyuarakan cara pandang mereka yang bervariasi dan memiliki warna filsafat yang berbeda dari teman filsuf laki-lakinya. Semua ini berangkat dari pemahaman ‘perbedaan’ yang berhasil memunculkan suara-suara lain yang termarjinalkan. Buku yang diterbitkan oleh Yayasan Jurnal Perempuan ini menjelaskan bahwa karya para filsuf feminis biasanya berupa refleksi filosofis atas persoalan pribadinya sebagai perempuan. Oleh karena itu, karya filsafat yang dihasilkan sedikit banyak berasal dari hasil pengaruh emosinya sebagai perempuan. Namun, gaya berfilsafat demikian tidak lanMajalah LPM aL-Millah Edisi 37

85


Resensi Buku

tas dapat dikatakan sebagai cara analisa yang inferior atau lebih rendah dari para filsuf laki-laki. Kemudian pada bab enam, Gadis memaparkan konsep filsafat dengan spirit feminis yang dapat membawa perubahan dan wajah baru pada filsafat di masa depan. Janet Radcliffe Richards mengemukakan bahwa antara feminisme dengan sejarah filsafat memang selalu terjadi ketegangan pada teori masing-masing. Menurut Richards, filsafat dipakai sebagai teknik untuk memurnikan dan mengklarifikasi konsep feminisme. Sementara itu, feminisme dapat membumikan filsafat serta memeriksa ulang cara bekerja filsafat yang hanya menekankan koherensi dan cara berpikir logis yang abstrak. Kerjasama antara feminisme dan filsafat adalah untuk menghasilkan filsafat feminis. Pada bagian akhir buku, penulis menuangkan pemikirannya sebagai upaya untuk menegaskan transformasi filsafat ke arah yang baru. Seperti filsafat yang memperhitungkan suara-suara feminis, filsafat berperspektif feminis, dan filsafat yang membawa perubahan progresif. Upaya tersebut diperlukan mengingat pada masa silam filsafat penuh dengan pernyataan misoginis terhadap perempuan. Gadis menegaskan bahwa tujuan buku ini ialah untuk menunjukkan adanya cara berpikir alternatif dalam filsafat yang belum dimanfaatkan dan dijadikan rujukan untuk pengayaan filsafat sendiri. Tujuan itu dicapai

86

Majalah LPM aL-Millah Edisi 37

dengan membongkar pemikiran para filsuf besar pada setiap zamannya tentang perempuan. Hal itu dilakukan bukan sebagai bentuk pembelaan dari filsuf feminis terhadap pemikiran filsuf laki-laki. Akan tetapi sebagai penyedia bahan bacaan sarana refleksi diri dan keinginan penulis untuk berkontribusi pada transformasi sejarah filsafat dalam batasanbatasan kegiatan akademis. Melalui buku ini, aktivis yang pernah ditangkap aparat saat aksi demonstrasi di bundaran HI pada 1998 ini memaparkan bahwa masih ada sisa pertanyaan dalam epistemologi feminis. Persoalan itu adalah teori standpoint. Standpoint yakni keberpihakan pada pengetahuan yang didasarkan pada suatu kegiatan dengan posisi tertentu. Argumen standpoint bisa menjadi objektif ataupun relatif. Dikatakan objektif jika argumen didasari dengan penelitian yang dilakukan berorientasi pada sesuatu yang termarjinalkan. Karena apa yang dilakukan terdapat bukti-bukti yang dikumpulkan, ada persoalan yang dibahas dan diselidiki serta terdapat formulasi penelitian proyek. Akan tetapi, argumen standpoint juga dapat dikatakan sebagai sesuatu yang relatif. Itu terjadi bila kita menerima sesuatu yang didefinisikan sebatas bahasa dan apa yang dilihat tidak secara universal. Perbedaan argumen standpoint tersebut menjadi sebuah tantangan tersendiri para filsuf feminis sehingga menimbulkan perdebatan. Perempuan kelahiran 8 Sep-

tember 1964 ini menghadirkan konsep baru dalam filsafat yaitu filsafat yang bertubuh dan bergender. Konsep ini sebagai tanggapan dari adanya konsep individu (person) dari Filsafat Barat. Konsep individu dapat dikatakan memisahkan atau menjauhkan tubuh manusia (disembodiment). Di sisi lain tubuh merupakan bagian dari diri sehingga kesatuan seksualitas dan tubuh tidak dapat dipisahkan dari definisi diri sebagai individu (person). Secara filosofis konsep dan rasio yang dimiliki manusia tidak akan terlepas dari ketubuhan dan seksualitas manusia, termasuk ketubuhan dan seksualitas perempuan. Penulis menegaskan bahwa usaha pencarian spirit feminisme dalam filsafat pada masa silam tidak digunakan untuk menyalahkan dan mengisolasi filsafat. Tetapi hal itu dilakukan untuk menyelenggarakan dialog yang berorientasi sekaligus berkonsentrasi pada masa lalu dan masa sekarang. Hal itu karena filsafat sebagai ilmu yang berproses dan suatu aktivitas yang masih berlanjut sehingga tidak ada kata final dalam filsafat. Feminisme dalam filsafat ingin meyakinkan diri bahwa argumennya dapat direkam dan diterima oleh filsafat sebagai sebuah progres dalam filsafat.


Bilik Kampus

AVICOM: Wadah Pengasah Skill Jurnalistik bagi Mahasiswa KPI

A

udio Visual Islamic Communication (AVICOM) merupakan sebuah komunitas yang menampung minat dan bakat mahasiswa Komunikasi Penyiaran Islam (KPI) dalam bidang audio visual, utamanya bidang jurnalistik. Tujuan dari komunitas AVICOM sendiri yaitu untuk mengembangkan minat dan bakat mahasiswa jurusan KPI Fakultas Ushuluddin Adab dan Dakwah (FUAD) dalam bidang audio visual, sebagai wadah menyatukan ide-ide kreatif serta wadah implementasi atau penerapan dari ide-ide kreatif

dalam bentuk karya audio visual. Pada tahun 2015 AVICOM pertama kali dirintis, diketuai oleh Wahid Hasyim yang merupakan pengurus AVICOM angkatan pertama dan dibimbing langsung oleh Galih Akbar Prabowo yang merupakan dosen jurusan KPI. Uniknya, AVICOM merupakan satu-satunya komunitas jurusan KPI yang langsung di bawah naungan jurusan KPI serta bertanggung jawab kepada ketua jurusan, yaitu Iswahyudi (menjabat periode 2017-2021). Adapun anggota AVICOM ini dikhususkan untuk mahasiswa semester tiga, dengan tujuan un-

tuk mengembangkan serta mempraktikkan mata kuliah yang menjurus ke ranah KPI seperti halnya Jurnalistik, Teknik Meliput dan Menulis Berita serta Fotografi Dasar. Sedangkan kepengurusan dari AVICOM sendiri merupakan mahasiswa semester lima. “Mahasiswa semester 1 kalau mau bergabung belum bisa karena mata kuliahnya masih umum, sedangkan semester tiga mata kuliah sudah menjurus di KPI, seperti fotografi dasar sehingga di sini AVICOM mewadahi mereka yang ingin mengembangkan bakat dan skill lebih lanjut,” ungkap Adin Misbah selaku ketua komunitas AVICOM. Kegiatan yang dilakukan komunitas AVICOM antara lain liputan acara di lingkup kampus, pelatihan dan pengenalan alat yang dimiliki komunitas, pelatihan pemilihan angle foto maupun video, pelatihan penulisan script, pelatihan news anchor dan presenter, pelatihan editing video serta pembuatan film dokumenter dan video profile. Selain itu AVICOM juga telah menorehkan prestasi yang gemilang antara lain terlibat dalam pembuatan film dokumenter bersama dengan Dinas Kearsipan dan Perpustakaan Ponorogo, lomba film dokumenter tingkat nasional di Universitas Airlangga Surabaya dengan judul “Sebuah Kisah Menuju Perubahan” mampu menduduki 10 besar, film dokumenter dengan judul “Mengeja Beda” menduduki 15 besar lomba film dokumenter di Solo. (Anggi Irnandia Ivandia Putri_28.19.197) Majalah LPM aL-Millah Edisi 37

87


Bilik Kampus

Komunitas Kawah:

Pernah Redup untuk Menghidup

K

omunitas Kawah adalah Lembaga Pers Prodi Semi Otonom (LP2SO) yang bernaung pada Himpunan Mahasiswa Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam (HMJ KPI). Otonom yang dimaksud adalah p r o s e s produksi dilakukan tanpa campur tangan dari pihak lain. Kawah sebagai media pers mahasiswa mengusung semangat komunikasi, edukasi, dan dakwah. Kawah bercita-cita mampu memberi warna dan corak yang berbeda dalam rangka berkontribusi pada dunia pers mahasiswa khususnya di IAIN Ponorogo. Asal mula terbentuknya komunitas ini adalah sebagai ruang tampung akulturasi bagi mahasiswa KPI. Kawah berdiri sejak tahun 2013, akan tetapi sempat mengalami stagnan hingga pertengahan bulan Maret 2014. Meskipun sempat mengalami stagnan, akhirnya kawah bangkit lagi setelah merekam ulang semua gagasannya melalui penggodokan

88

Majalah LPM aL-Millah Edisi 37

oleh para anggotanya. Akhirnya pada tanggal 1 April 2014 menjadi hari lahir Kawah dalam dunia pers mahasiswa. Kata Kawah sendiri terinspirasi dari cangkir kopi yang notabenenya sebagai wadah untuk kopi itu sendiri, di dalam cangkir berisi letupan kopi hangat yang dipercayai banyak orang bahwa kopi mampu meningkatkan gairah, semangat, dalam rangka mengawali rutinitas yang akan mereka jalani, selain untuk menghangatkan tubuh. Dengan harapan yang sama bahwa kawah akan mampu menampung semangat membara generasi muda KPI dalam menciptakan karya-karya mereka. Seperti halnya visi Kawah “Menjadikan kawah sebagai media pembelajaran dan pembaharuan informasi yang intelektual dan islami”. Sistem kepengurusan Kawah terdiri dari Pimpinan Umum, Pimpinan Redaksi, Sekretaris dan Bendahara serta ada empat divisi di bawahnya. Setiap divisi ada koordinator yang meng-handle anggota-anggotanya.

Divisi di Kawah terdiri dari div. editing, div. layout, div. marketing, div. dokumentasi dan desain. Anggota kawah terdiri dari mahasiswa KPI semester 2 hingga 5, jadi pengurus Kawah akan demisioner pada semester 5 menuju 6. Kawah memiliki kegiatan yang terbagi atas kegiatan mingguan, bulanan serta semesteran. Kegiatan mingguannya seperti diskusi yang diisi oleh dosen dan alumni Kawah, ada juga pembagian kelompok untuk pembuatan cerpen, puisi, artikel, karikatur yang akan dimuat di media FUAD. Kegiatan bulanannya diisi dengan pembuatan buletin. Sedangkan kegiatan semesterannya berupa pembuatan film pendek yang bekerjasama dengan Manual Production. Ada pula produk yang dihasilkan Kawah antara lain Kording (Koran dinding) yang terbit dwimingguan, buletin dwibulanan, dan majalah terbit satu periode sekali. Selain prodak print-out, Kawah juga menyediakan produk online sebagai langkah untuk memperluas jangkauan. Produk Kordingnya yang dinamai “Kopi”, kawah mempunyai kreativitas tersendiri dengan memilih nama yang santai namun berkarakter, selain itu nama Kopi dipilih karena kopi telah bersahabat dengan nusantara sejak ribuan tahun lalu. “Kawah sebagai media suara mahasiswa tentunya tidak jauh dari tipikal mahasiswa. Sehingga pada akhirnya kawah tetap sebagai penyambung silatuhrahmi mahasiswa,” ucap Galih selaku ketua kawah periode 2018-2019. (Anis Sarifatul Maisaroh_28.19.198)


Bilik Kampus

Melalui Kopermu, Raih Juara I Hingga Juara Umum

T

erbentuknya Kopermu (Komunitas Peradilan Semu) Laboratorium Fakultas Syariah IAIN Ponorogo berawal dari suatu “ketidaksengajaan”. Akhir 2018, Fakultas Syariah IAIN Ponorogo mendapat kehormatan dan kepercayaan untuk mengikuti SFNMCC (Sharia Faculty National Moot Court Competition) yang diadakan oleh Kementerian Agama di IAIN Jember. Minimnya pengalaman dalam perlombaan peradilan semu, ternyata Fakultas Syariah IAIN Ponorogo mampu menorehkan prestasi yang membanggakan, yaitu juara II. Selanjutnya, dibentuklah suatu komunitas kecil yang berisi semua mahasiswa yang berpartisipasi pada kompetisi tersebut. Karena komunitas yang dibentuk dalam masa transisi, dibentuklah presidium yang mengurusi semua keperluan komunitas agar lebih mudah dalam mengkoordinasi setiap kegiatan. Sejak perolehan juara tersebut, pada 20 September 2018 Kopermu memproklamasikan diri sebagai komunitas mahasiswa otonom yang secara struktural berada di

bawah naungan Laboratorium Peradilan Semu Fakultas Syariah. Ali Rohmanudin Al-Asyhari adalah ketua umum pertama sebelum disahkannya Kopermu di Fakultas Syariah (FASYA). Visi Kopermu ialah mewujudkan komunitas peradilan semu yang profesional dan berintegritas dalam hukum yang unggul dan berdaya saing tinggi, serta berakhlakul karimah pada tahun 2025. Sedangkan misi Kopermu adalah meningkatkan kemampuan dan mewadahi pembelajaran praktik peradilan semu mahasiswa Fakultas Syariah IAIN Ponorogo. Selain itu Kopermu memiliki program kerja seperti kajian hukum dan simulasi sidang. “Program kerja yang ada di dalam Kopermu ini antara lain, kajian terkait hukum acara perdata, latihan simulasi sidang peradilan semu yang dilakukan di Lab. peradilan semu, dan juga ada yang mengikuti event-event debat hukum, LKTI (Lomba Karya Tulis Ilmiah), dan peradilan semu nasional,” jelas Yulia Aswaty selaku ketua Kopermu 2020. Yulia juga menjelaskan bahwasanya program kerja tersebut telah terlaksana semua.

Kegiatan-kegiatan tersebut diikuti oleh mahasiswa FASYA semester 3, 5 dan 7. Kopermu mempunyai tiga struktur keorganisasian atau divisi yaitu, divisi pendidikan dan penelitian, divisi praktikum, dan divisi Jarkom (Jaringan Komunikasi). Secara garis besar divisi pendidikan dan penelitian bertugas untuk membuat dan melaksanakan kegiatan yang berkaitan dengan bidang keilmuan dan penelitian hukum, divisi praktikum bertugas untuk membuat dan melaksanakan kegiatan di bidang praktik peradilan, divisi Jarkom bertugas untuk menjalin kerjasama dan komunikasi dengan civitas kampus dan komunitas peradilan semu lain di berbagai kampus. Walaupun Kopermu belum lama terbentuk, seiring berjalannya waktu komunitas ini mulai mengepakkan sayapnya di berbagai kompetisi. Komunitas ini aktif mengikuti berbagai perlombaan hukum di berbagai kampus bahkan berhasil memboyong berbagai penghargaan. Seperti tahun 2019 Kopermu berhasil menyabet juara I sekaligus mendapat juara umum Peradilan Semu Nasional SFNMCC di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Selain itu, Kopermu juga berhasil membawa pulang piala gubernur dan piala MA. Hal tersebut juga mendapatkan nobel penghargaan berkas terbaik, penuntut umum terbaik, dan penasehat hukum terbaik melawan 12 PTKIN se-Indonesia. Juara 3 peradilan semu di UTM 2019, Juara II peradilan semu di IAIN Jember tahun 2018, Juara I LKTI di Unida Gontor 2020, Juara I LKTI di UIN Semarang 2019, Juara III LKTI di UIN Sumatra Utara 2019. Eka Abriyani selaku ketua Kopermu 2021 memiliki harapan baru demi masa depan Kopermu selanjutnya. “Kopermu sama seperti komunitas atau kegiatan mahasiswa lainnya yang tak bisa memberikan apa-apa jika kita tidak mau berusaha sendiri untuk menggali ilmu di dalamnya. Karena Kopermu hanyalah jembatan, selebihnya mahasiswa itu sendiri yang menentukan jalannya. Harapan saya untuk Kopermu sendiri adalah dapat menjadi wadah bagi mahasiswa Fakultas Syariah untuk memperdalam ilmu-ilmu hukum baik secara teori maupun praktek,” terang Eka. (Roudlotul Husna_29.19.204)

Majalah LPM aL-Millah Edisi 37

89


Bilik Kampus

KSPM:

Komunitas Pengajaran tentang Investasi dan Pasar Modal

K

elompok Studi Pasar Modal (KSPM) IAIN Ponorogo merupakan salah satu komunitas yang ada di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam (FEBI). KSPM IAIN Ponorogo dibentuk pada tahun 2019 dan dibina langsung oleh Direktur Galeri Investasi (GI) Bursa Efek Indonesia (BEI) FEBI IAIN Ponorogo yaitu Yunaita Rahmawati di bawah naungan FEBI. Struktur kepengurusan KSPM IAIN Ponorogo terdiri dari Badan Pengurus Harian (BPH), yaitu ketua, sekretaris, dan bendahara, serta beberapa divisi, yaitu divisi administrasi, divisi acara, divisi R&D (Research & Development), dan divisi humas. Kesekretariatan KSPM ini biasa disebut dengan Laboratorium Galeri Investasi (Lab. GI) yang terletak di gedung FEBI lantai 2. KSPM IAIN Ponorogo dibentuk untuk menyalurkan minat mahasiswa dalam bidang investasi dan pasar modal. Organisasi ini dibentuk bukan hanya mengajarkan tentang 90

Majalah LPM aL-Millah Edisi 37

teori namun juga praktik. Selain itu, komunitas ini bergerak dalam bidang penelitian dan pengajaran tentang investasi dan pasar modal. Tujuannya untuk menambah pengetahuan dan wawasan dalam bidang pasar modal terutama aspek bisnis dan aspek sosial menjadi perusahaan go public serta prospek investasi pada saham perusahaan public. KSPM menggerakkan Bursa Efek Indonesia (BEI) untuk mensosialisasikan dan mengajak mahasiswa IAIN Ponorogo dan masyarakat luas untuk tahu dan ikut berpartisipasi dalam berinvestasi di pasar modal. KSPM IAIN Ponorogo memiliki program kerja antara lain, praktik analisis saham, bedah buku, pendampingan sosialisasi tentang GI ke fakultas lain, Sekolah Pasar Modal (SPM) serta seminar. Selama kepengurusan tahun 2020, program yang terlaksana yaitu webinar dengan tema strategi investasi saham di era new normal yang dilaksanakan pada 28 Juli 2020. Webinar

tersebut mengadirkan Dyan Fajar Mahardika dari PT Bursa Efek Indonesia dan Muhammad Wafi dari PT Bahana Sekuritas (Perusahaan Sekuritas yang merupakan mitra GI FEBI IAIN Ponorogo). Sedangkan SPM dan sosialisasi GI ke fakulas lain belum terlaksana karena adanya pandemi Covid-19. “Program kerja yang sudah terlaksana baru webinar sedangkan program kerja lainnya seperti sosialisasi ke fakultas lain belum dan SPM (Sekolah Pasar Modal) juga belum terlaksana, biasanya dilakasanakan secara offline karena ada praktiknya langsung,” kata Dendy selaku ketua KSPM IAIN Ponorogo 2020. “Untuk SPM biasanya diperuntukkan bagi mereka yang sudah membuka rekening efek, sedangkan selama pandemi tidak ada yang membuka rekening efek,” imbuhnya. Saat ini, KSPM beranggotakan mahasiswa FEBI, namun tidak menutup kemungkinan jika mahasiswa dari fakultas lain tertarik, maka diperbolehkan bergabung. “Anggota KSPM sendiri masih dari mahasiswa FEBI namun tidak menutup kemungkinan jika mahasiswa fakultas lain (bukan mahasiswa FEBI) yang ingin bergabung ya dipersilakan,” ujar Dendy. (Ika Rochmawati_28.19.202)


Bilik Kampus

Manual Production:

M

anual Production berdiri tahun 2013, diprakarsai oleh mahasiswa KPI yang ingin berkarya serta mengembangkan bakatnya di bidang perfilman. Komunitas Manual bersifat independen, namun secara formalitas yang berada di bawah naungan Himpunan Mahasiswa Jurusan Komunikasi Penyiaran Islam (HMJ KPI). Komunitas ini didirikan oleh Munawir dan Miftahul Huda yang juga berperan sebagai pengurus generasi pertama. Nama Manual Production sendiri terinspirasi dari salah satu mode dalam kamera yaitu mode manual. Di dalam mode manual, mengharuskan untuk mengatur aperture, shutter speed dan ISO secara manual, sementara kamera hanya melakukan pengukuran cahaya melalui skala metering saja. Melihat pengertian tersebut, diharapkan komunitas ini akan berjalan secara mandiri dan mencetak kader-kader unggul mahasiswa KPI. Selaras dengan yang dikatakan oleh Ulul Albab selaku ketua Manual 2020, “Harapannya semoga kedepannya bisa mencetak SDM yang kreatif dan inovatif,” katanya. Kepengurusan Manual Production terdiri dari BPH (Badan Pengurus Harian) dan beberapa koordinator. Posisi ketua dipegang oleh Muhammad Ulul Albab, Muhammad Reza Hidayat sebagai wakil ketua, Nur Azizah Istiqomah dan Fauza Ni’matul Mubarokah sebagai sektetaris, Putri Maharani Sekarbuana sebagai bendahara, serta ada lima mahasiswa KPI lainnya se-

Wadah Kreativitas Mahasiswa KPI di Bidang Perfilman

bagai koordinator. “Sebenarnya struktur kepengurusan ini sebagai formalitas, karena Manual Production sendiri berkonsep kekeluargaan yang dibangun dan dikerjakan secara bersama-sama,” tutur Ulul Albab. Regenerasi Manual diambil dari mahasiswa KPI mulai dari semester dua ke atas yang memiliki minat dalam bidang perfilman. Pergantian pengurus dilakukan setiap Maret bersamaan dengan anniversary Manual, namun tidak dipungkiri pada tahun 2020 pergantian pengurus harus diundur bulan Agustus karena Covid-19. Sehingga berpengaruh juga terhadap kegiatan dasar Manual yaitu Open Recruitmen yang melambat. Kegiatan utama Manual Production

adalah pembuatan film yang memakan waktu sekitar satu bulan. Dalam kegiatan ini, dilakukan berbagai tahap yakni pembuatan naskah film, casting, editing sampai ke eksekusi. Manual Production menerapkan kegiatan yang dilakukan secara langsung melalui praktik terjun lapangan serta show up film. Show up film bersifat umum dan terbuka untuk khalayak luar mahasiswa KPI di IAIN Ponorogo, yang secara tidak langsung juga akan menambah relasi untuk Manual Production. Manual Production telah menunjukkan eksistensinya dalam pembuatan film, belasan karya telah lahir dan kerap mengikuti berbagai kompetisi hingga mendapatkan penghargaan. (Anis Sarifatul Maisaroh_28.19.198)

Berikut daftar judul film yang pernah diproduksi oleh Manual Production: No

Judul Film

Tahun Produksi

Lokasi Pemutaran

1.

Mama

2015

Forkomnas IAIN Jember

2.

Tirta Sejati

2016

Forkomnas Unhasy Jombang

3.

Korban Perang

2016

Forkomnas IAIN Tulungagung

4.

Botol Kebencian

2016

Forkomnas IAIN Jember

5.

Anak Kecil di Senja Itu

2017

Forkomnas IAIN Jember

6.

Sewaktu Itu

2018

Forkomnas IAIN Kediri

7.

Sadewa

2019

BEM IAIN Ponorogo (Meraih Juara 3 lomba Film pendek di Institut KH. Abdul Chalim, Mojokerto)

8.

Bejate Kancaku

2019

BEM IAIN Ponorogo

9.

Senyummu yang Hilang

2019

BEM IAIN Ponorogo

10.

Lalaran

2019

Orientasi Jurusan KPI 2019, Ngebel, Ponorogo. (Mengikuti lomba di UIN Malang Pioner Se-Indonesia)

11.

Kejar Setoran

2019

Kintamani, Ponorogo

12.

Becak Moderat

2020

Kintamani, Ponorogo

Majalah LPM aL-Millah Edisi 37

91


Bilik Kampus

Ngaji Pramono Rogo:

Kajian Pengembangan Keintelektualan dan Keislaman

N

gaji Pramono Rogo merupakan kegiatan rutin mahasiswa Bimbingan Penyuluhan Islam (BPI) yang berorientasi pada pengembangan keintelektualan dan keislaman mahasiswa BPI. Ngaji Pramono Rogo yang mempunyai arti “Ngaji ngajeni awak” atau berarti mengkaji diri sendiri (mawas diri). Kegiatan ini bermaksud untuk memberikan kesadaran akan potensi-potensi diri terhadap pribadinya dan memberikan motivasi agar lebih percaya diri dalam menjalani hidup dalam bermasyarakat. Pramono Rogo yang juga berarti “Ngolah roso” yaitu cara untuk meningkatkan kesadaran diri dengan perbuatan yang baik atau buruk yang telah manusia lakukan untuk bertafakur diri dan mawas diri. Bentuk dari kajian ini adalah ngaji tasawuf, karena maha92

Majalah LPM aL-Millah Edisi 37

Penamaan Pramono Rogo terinspirasi kata dari Ponorogo Pramono yang berarti daya atau kekuatan, rahasia hidup Rogo berarti badan, jasmani siswa BPI basisnya psikologi dan mempunyai motto menciptakan keluarga yang sakinah. “Pramono Rogo adalah sebuah kelompok atau komunitas yang ada di FUAD IAIN Ponorogo, kegiatan yang ada di dalamnya memiliki artian ngaji tentang roso, tentang arti agar menjadi pribadi yang lebih baik,” ujar Juni Asrofi mahasiswa BPI. Pramono Rogo dibentuk tahun 2018 dan digagas oleh Ketua Jurusan BPI dan mahasiswa BPI angkatan pertama. Pembentukan Pramono Rogo didasari oleh pemberian bekal berupa pembentukan karakter kepada mahasiswa BPI yang akan bekerja di ranah sosial. Selain itu,

tujuan lain dari Ngaji Pramono Rogo adalah menambah wawasan atau ilmu pengetahuan, merekatkan tali silaturahmi dan keakraban, meningkatkan kedekatan kepada Sang Pencipta, dan menjadikan diri senantiasa bersyukur terhadap nikmat yang telah Allah berikan. Ngaji Pramono Rogo juga sebagai penyeimbang materi perkuliahan, karena tidak semua materi bisa didapatkan di dalam kelas. Kajian ini digelar setiap satu bulan sekali dan menghadirkan narasumber dari dosen IAIN Ponorogo. Pesertanya tidak hanya dari mahasiswa BPI saja, namun terbuka juga untuk seluruh mahasiswa IAIN Ponorogo. Tempat kajian ini biasanya berada di gedung Indrakila namun karena sedang pandemi Covid-19 kajian dilakukan dengan bersafari di rumah mahasiswa BPI. (Mustika Ratri_Crew)


Komik Receh

Majalah LPM aL-Millah Edisi 37

93





Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.