Majalah aL-Millah edisi 34 "Pluralisme: Antara Eksis dan Krisis"

Page 1

Majalah aL-Millah Edisi 34

1


BA HUT

N

egara Indonesia berdiri atas komponen masyarakat yang berbeda-beda. Berbeda dari segi agama, suku, budaya, ras, etnis, bahasa, pola pikir dan keragaman lainnya. Keadaan tersebut menjadikan Indonesia dikenal sebagai negara multikultural sekaligus pluralis......Baca Halaman 12.

LAPUT

K

eragaman merupakan sebuah keniscayaan yang terdapat dalam kehidupan. Perbedaan suku, agama, bahasa, ras, merupakan salah satu keragaman yang ada di Indonesia. Keragaman tersebut telah lama mewarnai sendi kehidupan dan menjadi bagian dari .... Baca Halaman 18.

I

M

enjadi mahasiswa Institut Agama Islam Negeri (IAIN) termasuk FEBI, memiliki sorotan berbeda dari masyarakat, karena terdapat kata “Islam� yang tersemat di pundaknya, sehingga dianggap sebagai mahasiswa yang menguasai segala perkara....Baca Halaman 53

KAMPUSIANA 2

LIP SUS

ndonesia dikenal sebagai negara multikultural karena memiliki keberagaman suku, bahasa, agama, kepercayaan, etnis, budaya dan adat. Menurut data sensus penduduk tahun 2010 dari Badan Pusat Statistik (BPS), Indonesia memiliki jumlah penduduk sekitar 237,6 juta jiwa, 1.340 suku bangsa, 6 agama, dan 546 bahasa. Dari segi geografis Indonesia termasuk negara kepulauan dengan jumlah pulau sekitar 17.500 yang tentu juga ...... Baca Halaman 25.

Majalah aL-Millah Edisi 34


Susunan Redaksi Majalah Mahasiswa IAIN Ponorogo Edisi 34

Staf Redaksi: Ulfa Nadiyah M., Iin Nur Indah F., Nurul Fatimah, Nuril Anwar, Rina Puji R., Rully Nor A., Arini Sa'adah, Muhamad Riza A., Zia Luthfiatur R., Adzka Haniina A., Irin Hamidah M., Ahmad Alwi M., Aji Wahyu W., Mufida Agustin S., Lailatul Restu S., Picy Lestari, Muhammad Rofi'udin Alamat Redaksi: Jl. Pramuka No. 156 Gd BEM Lt. 2 Ronowijayan Siman Ponorogo E-mail: lpmalmillah@gmail.com Contact Person : (Abidin) 0858 0840 8058 (Khusna) 0822 2812 5632

Ormas, Solusi atau Ancaman

(Masihkah) Indonesiaku Bhinneka?

‘Kampung Pluralis’

Mereduksi Egoisme Keberagaman Dengan Spirit Pluralisme

Menyibak Tabir Kehidupan Warok Ponorogo

Skripsi Terganjal Tes Ibadah?

Suwandi: Berderma Tanpa Memandang Agama

Sadranan: Antara Keindahan dan Jejak Tradisi Silam

Agama Untuk Manusia

18 LAPORAN UTAMA

25 LIPUTAN KHUSUS Sodong: Harmoni Agama dan Budaya 30 KHAZANAH

DAFTAR ISI

Diterbitkan Oleh: LPM aL-Millah IAIN Ponorogo Pelindung: Rektor IAIN Ponorogo Pemimpin Umum: Mohammad Zaenal Abidin Pemimpin Redaksi: Nurul Khusna Sekretaris Redaksi: Nining Khoiru Nisa Layouter: Moh. Taufiqul Fatakhi & Eko Prastyo Desain Grafis: Diah Permatakrisna Mustikasari Karikatur & Komikus: Chandra Nirwana Harsono Putri Fotografer: Tim Fotografer Editor: Tim Editor

2 SAJIAN 3 DAFTAR ISI 4 SALAM REDAKSI 5 ASPIRASI 7 ISU 12 BAHASAN UTAMA PERPPU NO.2 TAHUN 2017: ‘Aturan’ Baru

33 BUDAYA

37 KOLOM 1 42 KOLOM 2 45 SKSD 49 KOLOM 3 53 KAMPUSIANA 59 SOSOK

63 ALAMKU

68 FIKSI 73 RESENSI FILM PK dan Pencarian Tuhan 76 RESENSI BUKU 78 BILIK KAMPUS 88 KOMIK 90 TITIK KENANGAN

Majalah aL-Millah Edisi 34

3


Salam Redaksi Salam Persma!

Puji syukur kami haturkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat kuasa-Nya kami dapat kembali menyajikan mahakarya literasi berupa majalah aLMillah Edisi 34 di hadapan pembaca. Keselamatan semoga selalu tercurahkan kepada Rosulullah Saw. Penerbitan majalah aL-Millah Edisi 34 ini telah melalui proses yang begitu panjang. Maka tidak lupa kami ucapkan terimakasih kepada seluruh staf redaksi atas perjuangan dan pengorbanan waktu, tenaga serta pikirannya dalam menyelesaikan tugas sebagai pejuang pena. Semoga tinta yang tertoreh dalam setiap lembar karya dapat memberi manfaat bagi pembaca. Permasalahan pluralisme selalu hadir dalam wajah yang berbeda. Hal tersebut disebabkan oleh rancunya pemahaman masyarakat tentang makna pluralisme, sehingga dalam penerapannya pun belum begitu efektif. Pluralisme bukanlah sekedar paham yang mengakui, menyadari dan menerima atas fenomena kemajemukan, akan tetapi juga disertai dengan tindakan positif yang melegitimasi pemahaman atas pluralisme itu sendiri. Pun Indonesia sebagai Negara yang multikultur telah sering dihadapkan pada permasalahan pluralisme dari masa ke masa. Sehingga berbagai tindakan yang tidak mencerminkan sikap pluralisme dari

4

Majalah aL-Millah Edisi 34

masyarakat secara tidak langsung telah menciderai multikulturalisme yang dimiliki. Secara umum tindakan-tindakan tersebut berupa represif, rasisme, diskriminasi, intimidasi, intoleransi dan sebagainya. Indonesia yang terkenal dengan pluralitasnya ini sudah sepantasnya menjalankan makna pluralisme semaksimal mungkin demi persatuan dan keutuhan NKRI. Bahwasannya usaha para leluhur dalam merumuskan Pancasila bukan sematasemata untuk dasar negara, melainkan juga sebagai senjata peradaban dalam menjaga kebinekan yang ada. Berkaca pada kondisi tersebut, maka pada majalah aL-Millah Edisi 34 ini kami memutuskan untuk mengangkat tema “Pluralisme: Antara Eksis dan Krisis�, guna menyadarkan pembaca bahwa negara Indonesia yang dikenal pluralis ini memerlukan konsep pluralisme tidak hanya sebatas teori yang jauh panggang dari api, tetapi butuh penyempurnaan dalam bersikap sebagai bentuk implementasi. Kesempurnaan yang hakiki hanyalah milik Tuhan, sedangkan kekurangan senantiasa meliputi diri kita sebagai makhluk-Nya. Maka, kritikan dan saran yang membangun dari pembaca sangat kami harapkan demi perbaikan karya berikutnya. Selamat Membaca!


Aspirasi

“Apakah ada peraturan tentang etika berpakaian untuk dosen? Jika ada, kenapa masih terlihat dosen yang pakaiannya kurang patut “khususnya dosen perempuan”? Padahal dosen adalah teladan bagi mahasiswa tak terkecuali dalam hal berpakaian.” (Ahmad, semester 3)

“Kampus memiliki aturan mengenai etika berpakaian bagi dosen. Sebenarnya peraturan etika berpakaian yang terpampang di setiap gedung itu bukan terkhusus untuk mahasiswa saja, akan tetapi juga ditujukan untuk dosen. Bagi dosen sendiri, peraturan yang ada tidak hanya mengenai etika berbusana dalam perkuliahan saja, akan tetapi pada waktu-waktu tertentu pun ada ketentuannya. Berikut merupakan rincian dari busana yang harus dipakai oleh dosen: (1) pakaian dinas harian, yakni pada hari senin adalah atasan putih, (2) Pakaian perkuliahan dengan ketentuan islami (sopan dan santun), (3) Pakaian kerja lapangan, (4) Pakaian waktu ujian tengah semester, akhir semester, maupun uji skripsi menggunakan pakaian formal, khusus untuk dosen laki-laki menggunakan dasi. Telah dijelaskan sebelumnya bahwa etika berpakaian dosen dalam perkuliahan adalah sopan dan santun, istilahnya adalah islami. Akan tetapi, bagi dosen yang masih melanggar aturan tersebut, belum ada sanksi yang jelas dari pihak LPM (Lembaga Penjamin Mutu). Berhubungan dengan ini, Siti Maryam Yusuf selaku Rektor IAIN Ponorogo selalu mengingatkan dosen untuk berpakaian islami di kesehariannya pada saat perkuliahan atau mengajar. Peringatan atau pengarahan dari rektor ini diumumkan kepada seluruh dosen, tidak secara khusus atau secara pribadi pada dosen tertentu. Hal ini dilakukan dalam acara-acara tertentu, seperti saat upacara hari penting, hari Korpri dan acara lain yang dihadiri seluruh dosen IAIN Ponorogo. Untuk monitoring kinerja dosen, mulai dari kualitas dosen dalam mengajar hingga etika dosen dalam berbusana, pihak LPM selalu membuat kuesioner bagi mahasiswa di setiap akhir semester pada masa UAS (Ujian Akhir Semester). Hasil kuesioner tersebut akan dikumpulkan oleh pihak LPM untuk kemudian diberikan kepada dekan masing-masing fakultas. Jadi, wewenang untuk menindaklanjuti hasil dari kuesioner tersebut ada pada Dekan Fakultas. Sementara menurut dekan fakultas, hasil dari kuesioner nantinya akan dibahas dalam rapat dosen. Jika didapati dosen dengan penilaian yang kurang baik dari mahasiswa baik dari segi pengajaran hingga etika dalam berpakaian, akan mendapat teguran dan dimintai pertanggungjawaban atas kinerjanya selama periode tertentu oleh Dekan setiap Fakultas. Biasanya pengadaan kuesioner ini dilakukan tiap akhir semester, bertepatan dengan dilaksanakannya Ujian Akhir Semester (UAS).” Mukhibat, Ketua LPM (Lembaga Penjamin Mutu) IAIN Ponorogo Majalah aL-Millah Edisi 34

5


Aspirasi

"Kenapa gedung kampus II yang masih baru bangunannya sudah ada yang rusak? Selain itu fasilitas lain juga sudah ada yang rusak, Apakah pembangunannya tidak sesuai prosedur?" (Mahasiswi FEBI)

"Pembangunan gedung kampus II sudah sesuai dengan gambar perencanaan. Secara teknis pun tidak ada kesalahan dalam pengerjaannya. Jadi, tidak ada istilah pengerjaan gagal teknis atau gagal konstruksi. Akan tetapi, karena gedung kampus dua relatif besar dan merupakan gedung tertinggi saat ini yang dimiliki IAIN Ponorogo, maka kerusakan kecil seperti plafon yang rubuh itu bisa saja terjadi, karena struktur gedungnya beda dengan gedung di kampus I. Selain itu, kondisi wilayah sekitar yang merupakan daerah persawahan ditambah lagi konstruksi bangunan gedung yang ruang kelasnya menghadap ke luar membuat tekanan angin yang masuk lebih besar. Sebelumnya gedung kampus dibuat dengan sistem koridor. Akan tetapi stakeholder dan para dosen menilai bahwa sistem koridor kurang memberikan udara yang cukup dan membuat panas ruangan, sehingga dengan bantuan konsultan perencana dibuatlah konstruk gedung dengan sistem

6

Majalah aL-Millah Edisi 34

ruangan yang menghadap ke luar. Adapun dengan keputusan tersebut sebenarnya bukan tanpa antisipasi, tetapi kerusakan yang terjadi karena faktor alam menjadi suatu ketidakpastian. Misal saja pintu yang pecah karena tekanan udara yang sangat kuat. Dengan adanya peristiwa ini, maka akan dilakukan perbaikan dengan menggunakan door closing, sehingga pintu tidak akan menutup atau membuka sendiri tanpa adanya dorongan. Setelah melihat efek dari konstruk bangunan yang dibuat dengan ruang kelas menghadap ke luar tersebut, maka pembangunan gedung ketiga di kampus II kembali menggunakan sistem koridor. Hal ini bertujuan untuk menghindari kejadian yang sama seperti di gedung yang telah dibangun sebelumnya." Muhtadin, Kasubbag Tata Usaha Hubungan Masyarakat dan Rumah Tangga (TUHRT)


ISU

PERPPU NO.2 TAHUN 2017: ‘Aturan’ Baru Ormas, Solusi atau Ancaman “Kalo kita kaitkan antara Perppu dengan undang-undang HAM, ada beberapa gesekan dan benturan. Bukan sistemnya yang salah, tapi human eror, kepentingan politik oknum-oknum yang mengatasnamakan stake holder,” Lia Noviana

S

emua sepakat bahwa Pancasila m e r u p a k a n ideologi negara Indonesia. Dengan demikian siapa saja yang menjadi warga negara Indonesia wajib tunduk dan patuh terhadap nilai-nilai Pancasila. Selain itu, Indonesia terdiri atas masyarakat yang bersuku-suku dari berbagai daerah. Masyarakat Indonesia dapat dikatakan sebagai masyarakat yang majemuk. Catatan sejarah juga menyatakan bahwa, ideologi negara dirumuskan berdasarkan keadaan masyarakat yang majemuk tersebut. Konsep ideologi Pancasila juga dinilai sebagai rumusan yang sempurna, dengan memberikan ruang terhadap suku, ras dan golongan. Lebih dari itu, adanya berbagai organisasi masyarakat (Ormas) yang muncul di Indonesia juga bisa diterima selagi masih menjaga nilai-nilai Pancasila. Tentunya Ormas tersebut juga diatur dalam undang-undang Organisasi Kemasyarakatan— salah satunya adalah UU No.17 tahun 2013. Akan tetapi, akhir-akhir ini muncul problem yang berkaitan dengan ideologi

Pancasila, yaitu adanya ormas yang dinilai tidak sesuai dengan ajaran atau nilai-nilai Pancasila. Undang-undang yang ada UU ormas No.17 tahun 2013 secara detail belum mengatur ormas yang bertentangan dengan Pancasila. Keadaan tersebut dikhawatirkan akan mengganggu kesatuan dan keutuhan negara, sehingga pemerintah memutuskan untuk mengeluarkan Perppu no.2 tahun 2017 yang merubah undang-undang no.17 tahun 2013 meskipun UU no.17 tahun 2013 tetap berlaku selagi tidak bertentangan. Wacana tentang perubahan undang-undang ormas bukan cerita baru dan telah ramai dibicarakan. Akan tetapi, isu tersebut perlu diungkap ke permukaan memunculkan pro dan kontra di kalangan Ormas khususnya. Benarkah Perppu tersebut merupakan solusi atas kegentingan yang terjadi? Landasan Politis Sebagai Kebijakan Pemerintah Sebagaimana yang dijelaskan sebelumnya, pemerintah telah memutuskan untuk mengeluarkan Perppu no.2 tahun 2017 lantaran keadaan yang mendesak.

Keputusan tersebut juga didasarkan pada Putusan MK No. 138/PUU-VII/2009 dan Putusan MK No. 145/ PUU-VII/2009, menyatakan bahwa Mahkamah Konstitusi telah memberikan penjelasan mengenai syarat diterbitkannya Perppu, salah satunya adalah sebagai bentuk keadaan atau kebutuhan ‘mendesak’. Dalam menetapkan peraturan tersebut, pemerintah memiliki tiga jalan tempuh yakni landasan filosofis, landasan yuridis, dan landasan politis. Akan tetapi pemerintah sepakat memilih landasan politis. Ahmad Daroini selaku Kepala Sub Bidang (Kasubid) Hubungan Ormas, Profesi, dan LSM kantor Bakesbangpol wilayah Ponorogo, mengatakan bahwa pemerintah telah sepakat memilih kebijakan yang ketiga yaitu politis. Karena persoalan di masyarakat dinilai oleh pemerintah sebagai suatu kegentingan yang memaksa. Sehingga harus segera diatasi dengan pengkajian mendalam di kalangan eksekutif, legislatif, dan lembaga-lembaga pemerintahan serta Ormas-ormas yang juga terlibat di dalam kajian hukum. “Pencetusan Perppu itu tentunya sudah dikaji secara mendalam Majalah aL-Millah Edisi 34

7


8

Majalah aL-Millah Edisi 34

“Maka kemudian presiden punya cara bagaimana mengatasi sebuah keadaan. Jika melalui UU masalah akan lama terselesaikan. Satusatunya jalan yang cepat adalah pasal 22 UUD 1945 itu, dalam keadaan kegentingan memaksa presiden berhak membuat Perppu (Peraturan Pemerintah Pengganti Undangundang.red),” jelas Lukman. Lahirnya Perppu No.2 tahun 2017 sebenarnya dilatarbelakangi oleh pandangan pemerintah terhadap keadaan darurat. Hal tersebut ditandai dengan adanya Ormas yang dianggap anti Pancasila, anti

Ilus/Chandra

mbak, dan dari musyawarah tersebut pemerintah sepakat untuk menempuh jalur politis,” tegasnya. Menanggapi hal tersebut, sekretaris Lembaga Konsultan Bidang Hukum (LKBH) IAIN Ponorogo, Lukman Santoso, menyatakan bahwa presiden memiliki politik hukum untuk mengatasi sebuah keadaan. Berdasarkan keterangannya, apabila menempuh prosedur normal, maka problematika yang terjadi tidak segera terselesaikan, sehingga presiden menggunakan kewenangannya yang tercantum dalam pasal 22 UUD 1945.

UUD 1945 dan membahayakan stabilitas negara. Pemerintah juga berargumen bahwa terdapat kegiatan Ormas tertentu yang telah melakukan tindakan SARA antara lain, ucapan, pernyataan, sikap atau aspirasi baik secara lisan maupun tertulis, yang menimbulkan kebencian baik terhadap kelompok tertentu maupun terhadap mereka yang termasuk ke dalam penyelenggara negara. “Mereka jelas meresahkan masyarakat dengan isu SARA, menjelekkan kelompok lain bahkan dalam aktivitasnya mereka menganggap Pancasila itu taghut”, terang Daroini. Tindakan seperti itu dianggap sangat potensial menimbulkan konflik sosial antara anggota masyarakat sehingga dapat mengakibatkan keadaan chaos yang sulit untuk dicegah dan diatasi aparat penegak hukum. Di sisi lain asas yang dipakai dalam Perppu no.2 tahun 2017 ialah pencabutan status badan hukum dilakukan oleh pihak yang memberikan izin pendirian Ormas, maka Menkumham Yasonna Laoly memiliki kewenangan penuh untuk mencabut surat izin pendirian Ormas yang tidak sesuai dengan ajaran atau nilainilai Pancasila. Tujuan dikeluarkannya Perppu nomor 2 menurut pendapat Ahmad Daroini adalah untuk membuat peraturan baru yang lebih spesifik lagi bagi Ormas. Adanya Perppu tersebut diharapkan mampu menciptakan aktivitas Ormas


ISU yang lebih kondusif dan teratur. “Dalam Perppu itu juga sudah sangat spesifik laranganlarangannya, tentunya kalau ada aturan kan masyarakat lebih enak, mbak,” ungkapnya. Sasaran Perppu tersebut adalah seluruh Ormas di Indonesia yang berjumlah sekitar 344.000. Seperti yang dikutip dari nasional.kompas. com, Wiranto mengatakan bahwa Ormas di Indonesia berjumlah sekitar 344.000, yang telah beraktivitas dalam segala bidang kehidupan, baik dalam tingkat nasional maupun di tingkat daerah. Akan tetapi yang perlu dipertanyakan adalah benarkah ketika itu negara sedang berada dalam posisi kegentingan memaksa? Apakah tidak memungkinkan untuk menempuh mekanisme biasa dengan cara persidangan?

Multitafsir; Ancaman terhadap ‘Jantung’ Pluralisme

Dikeluarkannya Perppu ormas tersebut menegaskan bahwa negara memiliki posisi yang kuat di atas masyarakat. Hal ini ditandai dengan pembubaran Ormas, yang tidak lagi harus menunggu putusan pengadilan. Di sisi lain, Perppu no.2 ini dinilai sebagai pasal karet, karena larangan-larangan yang tercantum di pasal dan ayatayatnya ada yang bersifat

komulatif dan tidak spesifik, seperti pada pasal 59 ayat 4 huruf c. Akan tetapi, pernyataan tentang larangan dalam Perppu yang tidak spesifik tersebut ditentang oleh Bakesbangpol Ponorogo. Dia menjelaskan bahwa aturan dan paham yang tertulis sudah sangat spesifik untuk mengatur kegiatan ormas. “Ormas bertentangan dengan Pancasila maksudnya, tentu penekanannya pada laranganlarangan yang sudah tercantum dalam pasal 59,” tambahnya. Dalam penjelasan pasal 59 ayat 4 huruf c dituliskan tentang definisi ajaran atau paham terlarang. Penjelasan tersebut berbunyi "yang dimaksud dengan ajaran atau paham yang bertentangan dengan Pancasila antara lain ajaran ateisme, komunisme/ marxisme-leninisme, atau paham lain yang bertujuan mengganti/mengubah Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945." Ayat tersebut dinilai multitafsir karena tidak menjelaskan secara detail mengenai penafsiran paham yang bertentangan dengan Pancasila. Di sisi lain penafsiran sebuah paham tanpa melalui pengadilan akan memunculkan ‘tafsir tunggal’ dari pemerintah. Yang disebut sebagai paham bertentangan dengan Pancasila—menurut

tafsiran pemerintah— adalah yang mengancam eksistensi pemerintahan yang berkuasa. Mereka akan mudah menangkap lawan politik atau kelompok yang kritis terhadap pemerintah, dengan hukuman seumur hidup atau paling ringan 5 tahun dan paling lama 20 tahun penjara. Sanksi pidana yang tidak main-main tersebut tercantum pada pasal 82 A ayat 2 berbunyi, “Setiap orang yang menjadi anggota dan/atau pengurus Ormas yang dengan sengaja dan secara langsung atau tidak langsung melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal- 59 ayat (3) huruf a dan huruf b, dan ayat (4) dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun.” Bukankah hal semacam itu akan mengakibatkan masyarakat berpikir ulang untuk membebaskan pemikirannya? Karena ditakutkan cita-citanya yang secara lisan atau tulisan dianggap sebagai paham yang bertentangan. Selain itu pidana yang diberlakukan tidak main-main sehingga kemajemukan cita-cita atau pemikiran masyarakat semakin terbatas. Seperti yang diungkapkan Juru Bicara HTI– Ismail Yusanto, bahwa Perppu No. 2 juga membuka ruang bagi pengadilan pikiran dan keyakinan. “…..Sebagaimana

Di sisi lain, Perppu no.2 ini dinilai sebagai pasal karet, karena larangan-larangan yang tercantum di pasal dan ayat-ayatnya ada yang bersifat komulatif dan tidak spesifik, seperti pada pasal 59 ayat 4 huruf c. Majalah aL-Millah Edisi 34

9


“Tudingan anti Pancasila hanyalah kedok belaka dari maksud sesungguhnya, yakni memerangi dakwah Islam kaffah yang mereka sebut gerakan Islam radikal,” ISMAil (Jubir HTI)

disebut dalam Pasal 59 ayat 4, Ormas dilarang menganut….dst. Menganut itu kan sesuatu yang ada dalam pikiran dan keyakinan,” ungkapnya melalui email. Indonesia adalah negara hukum yang menjunjung tinggi nilai demokrasi dan menghormati pluralisme masyarakat— meskipun sebatas cita-cita. Secara teoritis pluralisme menjunjung tinggi nilai-nilai kemajemukan. Akan tetapi, dengan dikeluarkannya Perppu No 2 tahun 2017 tersebut memunculkan persoalan baru terhadap eksistensi pluralisme. Karena melihat contoh nyata di Indonesia, salah satu ormas berhasil dibubarkan oleh Menkumham akibat adanya aturan baru tersebut. Akan tetapi, dibubarkannya pasca diundangkan oleh Menkumham (Mentri Hukum dan Hak Asasi Manusia) pada 10 Juli 2017, sedangkan pengesahannya dilakukan pada 24 Oktober 2017. Hal tersebut ditanggapi oleh Jubir HTI, yang menganggap adanya tujuan tertentu. “Tudingan anti Pancasila hanyalah kedok belaka dari maksud sesungguhnya, yakni memerangi dakwah Islam kaffah yang mereka sebut gerakan Islam radikal,” terang Ismail. Keterangannya tersebut menyiratkan bahwa pemerintah belum mampu

10

Majalah aL-Millah Edisi 34

menghargai pluralisme dengan keberagaman organisasi dakwah. Adanya Perppu yang disahkan pada 24 Oktober 2017 tersebut, seakan menjadikan pluralisme terancam keberadaannya. Imbasnya—bisa jadi— melahirkan fobia baru bagi masyarakat untuk berserikat dan berorganisasi serta mengeluarkan pikiran sebagai hak dari negara demokrasi.

HTI Dibubarkan. ORMAS Lain Khawatirkah?

Di penghujung tahun 2017, Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) berhasil dibubarkan oleh Menkumham. Tidak menutup kemungkinan perlakuan yang sama kan terjadi pada Ormasormas lain. Kuasa hukum salah satu ormas yang dibubarkan, Yusril Ihza Mahendra mengatakan, semua organisasi kemasyarakatan (Ormas) berpotensi dibubarkan oleh pemerintah berdasarkan Perppu Ormas. "Jadi saya ingatkan ke semua pimpinan ormas jangan senang dulu. Sekarang ada yang senang kan, antusias. Ini bisa berbalik ke semua. NU (Nahdlatul Ulama) juga bisa bubar dengan Perppu Ormas, karena itu kita harus hati-hati dengan perkembangan ini," ujar Yusril yang dikutip nasional.kompas. com, Selasa (18/7/2017).

Pendapat Yusril tersebut dipertegas lagi dengan pernyataan Ismail. “Perppu ini bisa mengancam siapapun, khususnya Ormas Islam dan secara individu para dai dari kelompok manapun yang ingin mendakwahkan Islam kaffah. Bahkan menurut Wakil Ketua DPR, ada 15 Ormas serupa yang akan dibubarkan,” tegasnya. Akan tetapi, sekiranya masyarakat belum begitu paham akan ancaman yang akan datang. Beberapa Dewan Pimpinan Daerah Ormas di Ponorogo seperti LDII, Muhammadiyah, dan Nahdlatul Ulama, mengatakan tidak adanya ancaman terhadap pluralisme dari dikeluarkannya Perppu no 2 itu. Ketua LDII wilayah Ponorogo mengatakan bahwa anggota Ormas sudah diinstruksikan untuk tunduk pada pemerintah. Menurut penjelasannya jika tidak mau mengikuti aturan pemerintah, Ormas tidak bisa hidup di negara sendiri. Ia juga sepakat dengan pemerintah, bahwa Ormas harus dibubarkan dan dilarang melanjutkan aktivitasnya. “Insyaallah Perppu tersebut memang memiliki indikasi untuk mengancam pluralisme. Tapi peratutan dibuat tentu sudah dikaji, dan kondisi di Ponorogo sendiri juga kondusif. Lagipula kita sudah diinstruksikan untuk tunduk pada pemerintah,” ungkap Suyadi, DPD LDII saat kami temui di kantornya. Senada dengan hal itu, ketua NU Ponorogo Fatkhul Aziz juga mengatakan bahwa Perppu tidak mengancam


ISU kondisi kemajemukan masyarakat. Demokrasi di Indonesia bukan demokrasi yang sekuler-liberal, tetapi demokrasi Pancasila. “Meskipun ada kebebasan, namun kebebasan orang itu dibatasi dengan kebebasan orang lain, termasuk dalam berfikir sekalipun. Jadi Perppu tidak mengancam pluralisme-lah mbak,” ungkapnya. Di samping pendapatpendapat yang mendukung pemerintah, sebenarnya kasus seperti ini sudah pernah terjadi. Tahun 1965 terjadi pembubaran Partai Komunis Indonesia (PKI) karena dianggap memiliki ideologi terlarang dan mengkudeta pemerintah. Sedangkan pada tahun 1997, terjadi pembubaran Partai Rakyat Demokratif (PRD) yang dianggap bertentangan dengan orde baru. Tindakan seperti di atas sangatlah mengancam harmoni pluralisme di Indonesia. Bagaimana tidak, jika kebebasan masyarakat dalam berserikat dan mengeluarkan pikiran terhambat oleh adanya sanksi pidana yang setingkat terorisme?

Pluralisme dalam Ancaman Perppu

Lukman Santoso— sekretaris LKBH IAIN Ponorogo —memaparkan adanya sanksi pidana yang menakutkan, tentu menjadi sebab terlihatnya kualitas demokrasi yang buruk. Sebab adanya pasal 59 ayat 3 huruf b tentang sanksi pidana yang dijatuhkan bertentangan dengan KUHP pasal 156 a yang mengatakan maksimum pidana 5 tahun penjara.

Hal tersebut menjadikan kualitas demokrasi nampak buruk. Semestinya negara demokrasi adalah negara yang menjunjung tinggi HAM dan pluralisme warga negaranya. Kebebasan berserikat yang diwujudkan dalam bentuk organisasi kemasyarakatan adalah bukti dari negara demokrasi. Akan tetapi melihat kasus pembubaran Ormas yang terjadi tanpa persidangan akibat Perppu No. 2 tahun 2017, demokrasi tidak dapat bernapas secara bebas. Lia Noviana—akademisi bidang hukum Islam IAIN Ponorogo —mengatakan banyak asumsi yang dilontarkan, bahwa sebenarnya Perppu yang disahkan pada rapat paripurna DPR itu merupakan titipan politik, yang mengatasnamakan penguasa atau stake holder. Di sisi lain, terdapat benturan keras Perppu dengan Hak Asasi Manusia. “Kalo kita kaitkan antara Perppu dengan undangundang HAM, ada beberapa gesekan dan benturan. Bukan sistemnya yang salah, tapi human eror, kepentingan politik oknum-oknum yang mengatasnamakan stake holder,” jelasnya. Indonesia sangat erat sekali dengan pluralisme, payung hukum paling tinggi

adalah UUD 1945. Apabila ternyata Perppu bertentangan dengan UUD, maka ia bisa dibatalkan. Akan tetapi perlu klarifikasi dan kajian mendalam untuk mengumpulkan bukti yang otentik serta spesifik. Selain kaitannya dengan HAM, dosen yang kerap disapa Lia tersebut menerangkan adanya benturan antara Perppu No. 2 dengan pluralisme. Alasannya adalah karena masyarakat Indonesia ini ada tiga jenis, yaitu berlandaskan hukum negara, hukum adat, dan hukum agama. Ketiganya tidak bisa dipaksakan untuk menganut peraturan yang diciptakan pemerintah secara keseluruhan. Masyarakat Indonesia sangat plural, maka tidak bisa dipaksa untuk tunduk pada satu hukum mutlak. “Secara keseluruhan, intinya pembubaran salah satu Ormas tidak sesuai dengan pluralisme bermasyarakat di Indonesia dan UUD 1945 tentang beragama dan berorganisasi, karena kebetulan Ormas yang dibubarkan adalah organisasi masyarakat yang bercorak keagamaan. Padahal di negara kita pluralisme berorganisasi sangat dilindungi oleh UUD 1945 (tepatnya pasal 28 E.red),” paparnya. Arini Sa'adah_Crew/25.16.160

melihat kasus pembubaran ormas yang terjadi tanpa persidangan akibat Perppu No. 2 tahun 2017, demokrasi tidak dapat bernapas secara bebas. Majalah aL-Millah Edisi 34

11


Bahasan

UTAMA

(MASIHKAH) INDONESIAKU BHINHEKA ?

12

Majalah aL-Millah Edisi 34

(1) Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa. (2) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.

Meninjau Makna Pluralisme

Pernahkah anda mendengar kata plural, pluralis atau pluralisme? Kata-kata tersebut mungkin tidak asing lagi di telinga kita. Kata “pluralisme” berasal dari bahasa inggris “pluralism” yang merupakan gabungan dari dua suku kata plural dan ism. Plural memiliki arti jamak atau lebih dari satu, sedangkan ism bermakna aliran atau paham. Mengutip pendapat Andreas A. Yewangoe—dalam essainya yang berjudul “Regulasi Toleransi Dan Pluralisme Agama Di Indonesia”—bahwasannya istilah pluralisme berasal dari kata Latin, plus, pluris, yang berarti lebih dari satu. Dalam pengertian filosofisnya, pluralisme adalah paham atau ajaran yang mengacu kepada adanya kenyataan yang lebih dari satu (majemuk). Ia menganggap bahwa setiap individu memiliki keunikan masing-masing dalam berpikir, berpersepsi maupun bertindak.

Ilus/Chandra

N

egara Indonesia berdiri atas komponen masyarakat yang berbeda-beda. Berbeda dari segi agama, suku, budaya, ras, etnis, bahasa, pola pikir dan keragaman lainnya. Keadaan tersebut menjadikan Indonesia dikenal sebagai negara multikultural sekaligus pluralis. Dikatakan multikultural dikarenakan memiliki 1.340 suku —menurut sensus penduduk 2010 (bps.go.id)— yang tersebar di seluruh Indonesia. Tentunya mereka memiliki kebudayaan dan tradisi yang berbeda. Disebut juga pluralis karena Indonesia memiliki enam agama resmi, yaitu Buddha, Hindu, Islam, Katolik, Kristen dan Konghucu. Dengan demikian setiap masyarakat berhak menentukan kepercayaan dan memeluk agama masingmasing. Sebagaimana yang telah diatur dalam UUD ’45 pasal 28E ayat 1 yaitu, “Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali.” Di sisi lain, kebebasan beragama setiap masyarakat juga diatur dalam UUD’45 pasal 29.


Bahasan Mohamed Fathi Osman —Pemikir Islam— memiliki pandangan lain tentang pluralisme. Menurutnya pluralisme adalah bentuk kelembagaan di mana penerimaan terhadap kemajemukan terjadi dalam suatu masyarakat tertentu atau di dunia secara keseluruhan. Dalam pandangannya, Fathi Osman menganggap bahwa pluralisme tidak hanya menyangkut soal individu saja, melainkan secara keseluruhan. Semua manusia seharusnya menikmati hak dan kesempatan yang sama, serta memenuhi kewajiban yang sama sebagai warga negara dan warga dunia. Dia juga menganggap bahwa setiap kelompok semestinya memiliki hak untuk berhimpun dan berkembang, memelihara identitas dan kepentingannya, dan menikmati kesetaraan hak dan kewajiban dalam negara dan dunia. Sehingga, maksud kelembagaan dalam definisi pluralisme menurut Fathi Osman di atas merupakan bentuk perlindungan dari rasa persaudaraan seluruh umat manusia sebagai individu maupun kelompok. Nurcholish Madjid — salah seorang pemikir Islam yang populer dipanggil Cak Nur— juga memiliki pandangan tentang konsep pluralisme. Ia memandang pluralisme atau paham kemajemukan masyarakat pada hakikatnya tidak cukup

hanya dengan sikap mengakui dan menerima kenyataan bahwa masyarakat itu bersifat majemuk, tetapi harus disertai dengan sikap tulus menerima kenyataan kemajemukan itu sebagai nilai positif, dan merupakan rahmat Tuhan kepada manusia. Pada intinya paham pluralisme bagi Cak Nur harus disertai dengan sikap penerimaan, karena sikap menerima sebagai wujud terimakasih kepada Tuhan yang telah memberikan rahmat. Senada dengan Nurcholish Madjid, Alwi Shihab dalam bukunya Islam Inklusif juga menyatakan bahwa pluralisme bukan hanya sebagai paham, akan tetapi pluralisme juga harus disertai dengan tindakan. Bagi Alwi di manapun manusia berada, akan menjumpai keragaman. Akan tetapi, seseorang baru bisa dikatakan menerapkan pluralisme apabila ia mampu berinteraksi dengan positif di lingkungan tersebut. Aksin Wijaya —penulis buku-buku tentang pemikiran Islam— menyampaikan gagasannya tentang plural, pluralitas, dan pluralisme. “Plural itu berbicara tentang sifat, kalau Pluralitas membincang realitas, sedangkan pluralisme itu sudah sebagai pandangan dunia atau ideologi. Yaitu ideologi atau pandangan dunia tentang bagaimana kita mengakui, menoleransi, menerima adanya

UTAMA

pluralitas itu tadi,” papar Aksin. Dengan demikian, pluralisme bukan hanya sekedar paham yang mengakui, menyadari dan menerima kemajemukan, akan tetapi juga disertai dengan tindakan yang positif terhadap realitas perbedaan (pluralitas). Penekanannya di sini adalah pada makna pluralisme yang merupakan paham dan sikap terhadap keadaan majemuk dalam segala konteks, baik sosial, budaya, politik, agama, dan yang lainnya. Pluralisme hadir sebagai konsep atas pluralitas yang nyata.

Sebuah Kutipan Sejarah

Menurut Hariyono dalam buku “Ideologi Pancasila” bahwa sidang BPUPKI pada 29-05-1945 Dr. Radjiman Wedyodiningrat mempertanyakan masalah pokok dalam persiapan kemerdekaan Indonesia. Dalam pidatonya ia bertanya, “Apakah dasar dari negara yang akan kita bentuk ini?” Pada mulanya, anggota sidang terbagi menjadi dua kelompok. Kelompok pertama cenderung praktis dan realistis, mereka mengusulkan untuk langsung membahas naskah UUD dengan alasan situasi yang mendesak hanya perlu pembahasan yang relevan. Sedangkan kelompok kedua setuju dengan usulan Dr. Radjiman Wedyodiningrat, mereka menganggap Indonesia yang merdeka tidak akan bisa

“Pluralitas itu berbicara tentang realitas, kalau plural membincang sifat, sedangkan pluralisme itu sudah sebagai pandangan dunia atau ideologi." Majalah aL-Millah Edisi 34

13


Bahasan

UTAMA

Ditetapkannya Pancasila sebagai ideologi negara menjadi bukti bahwa para founding father telah memahami betul perbedaan yang ada. berdiri kokoh tanpa suatu dasar yang jelas dan mendasar. Kemudian, pertanyaan itu akhirnya memunculkan berbagai respon dari peserta sidang BPUPKI berikutnya pada 01-06-1945. Ada yang mengusulkan Islam sebagai dasar negara, ada pula yang menginginkan Indonesia merdeka berdasarkan pada prinsip kenegaraan yang sekuler. Akan tetapi kedua usulan tersebut ditolak oleh Soekarno. Ia memberikan jalan tengah dengan menawarkan solusi negara yang berdasarkan Pancasila. Melalui rumusan Pancasila yang ia usulkan, Soekarno menginginkan masyarakat di bumi Nusantara yang berlatar belakang etnis, budaya dan agama yang berbeda perlu mendapat perhatian yang sama. Dari situ lah Pancasila telah melalui berbagai proses perumusan yang akhirnya menghasilkan lima sila pada Piagam Jakarta. Ditetapkannya Pancasila sebagai ideologi bangsamenjadi bukti bahwa para founding father telah memahami betul keanekaragaman Nusantara. Lima falsafah yang lahir dari Piagam Jakarta tersebut kemudian mengalami perubahan redaksi pada sila

14

Majalah aL-Millah Edisi 34

pertama. Sila pertama awalnya berbunyi, “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemelukpemeluknya”. Menurut catatan sejarah dalam buku “Membangun Hukum Berdasarkan Pancasila” karya Teguh Prasetyo dan Arie Purnomosidi, kedelapan kata terakhir pada sila pertama mendapat penolakan dari rakyat Indonesia bagian Timur. Penolakan tersebut disampaikan oleh Muhammad Hatta dalam pidatonya pada sidang PPKI, ia menjelaskan bahwa rakyat Indonesia di bagian Timur mengusulkan agar delapan kata pada alinea keempat preambul UUD tersebut dihapus. Mereka menilai seolah-olah ada pembedaan antara warga negara yang beragama Islam dan warga negara yang beragama non Islam. Apabila delapan kata tersebut dibiarkan begitu saja, mereka mengancam akan memisahkan diri dari Negara Republik Indonesia yang baru saja diproklamasikan. Mengingat Indonesia yang baru saja merdeka, serta demi persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia, akhirnya seluruh peserta sidang sepakat bahwa delapan kata terakhir

dalam sila pertama dicoret dan diganti dengan kalimat “Yang Maha Esa” di belakangnya. Di sisi lain kita juga mengetahui, bahwa Indonesia pernah dijajah oleh bangsa asing. Penjajahan tidak hanya mewarisi sejarah kelam berupa penindasan, perampasan hingga pembunuhan. Akantetapi, penjajah juga mewariskan agama, budaya, bahasa, sistem pendidikan, politik dan sebagainya yang hingga kini masih melekat di Indonesia. Pun tidak bisa dipungkiri bahwa Indonesia memiliki banyak keaslian suku, budaya, ras, etnis, bahasa, agama, kepercayaan dan keragaman lainnya yang juga masih bertahan hingga sekarang. Dengan demikian, dapat dipastikan bahwa keragaman yang ada pada Indonesia ini adalah hasil dari proses akulturasi. Menurut I Made Pageh dalam jurnalnya tentang multikulturalisme Indonesia, secara historis terbentuknya multikulturalisme di Indonesia merupakan akibat dari pengaruh eksternal seperti pengaruh agama-agama besar, sosiokulturaldari luar, pengaruh kolonial, modernisme, dan terakhir globalisme yang tidak merata di Nusantara. Ia juga menyebutkan adanya faktor internal seperti keadaan geografis kepulauan, dan budaya serta bahasa daerah yang memiliki sistem otonom beragam. Sehingga I Made Pageh menyimpulkan bahwa kebinekaan Indonesia merupakan buah hasil dari akomodasi dan adaptasi bangsa Indonesia terhadap


Bahasan peradaban luar. Muhammad Irfan Riyadi —dosen mata kuliah sejarah di IAIN Ponorogo— membenarkan tentang adanya proses akulturasi di Indonesia. Ia mengatakan seluruh budaya merupakan hasil adopsi dari budayaan lain. “Jadi, kebudayaan di Indonesia sebenarnya sangat lentur, sehingga kebudayaankebudaan baru mudah sekali masuk kemudian diterima. Karena semakin banyak bersentuhan dengan budaya asing, maka akan semakin memperkaya kebudayaan yang ada. Meskipun ada beberapa kebudayaan asing yang memiliki nilai negatif dan tidak cocok dengan karakter kebudayaan orang Indonesia. Misalnya budaya menindas, budaya berfoya-foya, hedonisme itu kan budaya asing semua,” terangnya. Ia juga menambahkan, sejarah masuknya kebudayaan asing yang membentuk multikulturalisme di Indonesia terbagi menjadi tiga periode, yakni sejarah periode kuno, periode pertengahan dan periode modern. “Di abad kuno, keragaman Indonesia ini dibuktikan dengan penemuan candi Borobudur sebagai tanda masuknya agama

Buddha di Jawa. Dari ciri khas bangunannya itu sudah terbaca kalau Candi Borobudur merupakan hasil akulturasi dari kebudayaan asli Jawa dan asal agama Buddha. Buddha itu asalnya dari India. Maka sudah berbeda bangunan tempat ibadah agama buddha di India sana sama di Jawa. Kemudian disusul Candi Prambanan di sebelahnya, dari agama Hindu. Itu juga hampir-hampir mirip bangunannya dengan Candi Borobudur. Kemudian di periode pertengahan Islam mulai masuk. Islam asalnya dari Arab, tetapi Islam di sana sudah bereda dengan Islam di Indonesia. Makanya kan di Jawa itu banyak rutinitas-rutinitas orang Islam yang tidak ditemui di Negara Islam manapun. Ya karena akulturasi budaya itu tadi. Kemudian di era modern, saat Indonesia mulai dijajah bangsa asing, nah di situ kita kemasukan budaya-budaya baru lagi. Termasuk sistem demokrasi Pancasila yang kita gunakan ini juga hasil dari akulturasi,” jelas Irfan. Abdurrahman Wahid atau yang akrab dengan sapaan Gus Dur pun turut memberikan sumbangsih pemikirannya terkait multikulturalisme Indonesia.

Gus Dur mengatakan, Islam datang bukan untuk merubah budaya leluhur kita menjadi budaya Arab, bukan untuk mengubah Aku menjadi ana, sampeyan menjadi antum, sedulur menjadi akhi.

UTAMA

Presiden Indonesia ke-4 itu memberikan ide pluralismenya yang terkenal dengan istilah “Pribumisasi Islam” untuk menyikapi multikulturalisme di Indonesia. Achmad Zaenal Arifin dalam antologi esai “Pluralisme dan Multikulturalisme di Indonesia” mengatakan bahwa Gus Dur ingin menampakkan Islam sebagai sebuah agama yang apresiatif terhadap konteks-konteks lokal dengan tetap menjaga realitas pluralisme kebudayaan yang ada. Bahwasannya proses pertumbuhan Islam di Indonesia tidak serta merta menghapus semua tradisi, budaya dan adat masyarakat setempat. Agama dan budaya bagaikan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Agama Islam bersumberkan Alquran, wahyu yang bersifat normatif sehingga cenderung permanen. Sedangkan budaya ciptaan manusia, oleh sebab itu perkembangannya mengikuti zaman dan cenderung untuk selalu berubah. Perbedaan ini tidak menghalangi kemungkinan manifestasi kehidupan beragama dalam bentuk budaya. Gus Dur mengatakan, Islam datang bukan untuk merubah budaya leluhur kita menjadi budaya Arab. Bukan untuk mengubah aku menjadi ana, sampeyan menjadi antum, sedulur menjadi akhi. Selanjutnya Gus Dur juga mengatakan bahwa tumpang tindih antara agama dan budaya akan terjadi terus menerus sebagai suatu proses yang akan memperkaya Majalah aL-Millah Edisi 34

15


Bahasan

UTAMA

kehidupan dan membuatnya tidak gersang. Berdasarkan historisitasnya, bisa dipahami bersama bahwa pluralitas Indonesia tercipta melalui jalan akulturasi yang terjalin dari masa ke masa. Akan tetapi, mengapa masih saja terjadi gejolak-gejolak yang mempermasalahkan keragaman?

Polemik Keberagaman yang Tak Kunjung Usai

Menurut data sensus penduduk 2010 yang tercatat di bps.go.id, Indonesia memiliki jumlah penduduk sekitar 237,6 juta jiwa dan 1.340 suku. Keadaan tersebut tidak menutup kemungkinan terjadinya gesekan-gesekan pada ranah kebhinekaan. Harmoni keberagaman di Indonesia masih terus diuji dengan berbagai konflik kekerasan yang berlatar belakang perbedaan. Bentuk konflik tersebut di antaranya ada yang represif, rasisme, diskriminasi, intimidasi, intoleransi dan lainnya. Dampak yang ditimbulkan cukup besar, tidak hanya korban jiwa, tetapi juga dari segi sosial, ekonomi, politik, dan lainnya turut dirugikan. Hal itu menandakan bahwa masyarakat Indonesia memang belum sepenuhnya menerapkan konsep pluralisme dalam kehidupan. Irfan Riyadi menganggap konflik-konflik keberagaman yang terjadi merupakan akibat dari menjauhnya kebudayaan masyarakat dari karakter bangsa yang sesungguhnya, yakni Pancasila. “Ketika sesorang sudah menjauh dari karakter bangsanya sendiri, otomatis dia mengalami

16

Majalah aL-Millah Edisi 34

penyimpangan budaya. Dan itu akan muncul pertentangan. Mengapa? Karena yang namanya menyimpang itu bertentangan dengan nilai yang asli, dan akhirnya timbulah riyak-riyak perpecahan. Makanya kan nilai-nilai Bhinneka Tunggal Ika, Tan Hana Dharma Mangrwa itu harus benar-benar dipahami betul,� tukas Irfan. Metrotvnews.com pernah memberitakan, pada tahun 1999 hingga 2002 terjadi konflik antar agama Kristen dan Islam di Ambon Maluku. Diperkirakan 8.0009.000 jiwa meninggal selama empat tahun berjalannya konflik. Konflik Ambon menghancukan setidaknya 29.000 rumah, 45 masjid, 47 gereja, 719 toko, 38 gedung pemerintahan, dan 4 bank. Konflik ini berakhir setelah upaya pembicaraan damai terus dilakukan. Kasus lainnya dimuat oleh tirto.id tentang kerusuhan antara etnis Dayak dan Madura di Sampit, Ibu kota Kabupaten Kotawaringin Timur, Kalimantan Tengah tahun 2001. Pemicunya adalah persoalan sosial-ekonomi lokal berupa kompetisi antara para penambang emas Dayak dan Madura. Konflik tersebut meluas hingga ke Palangkaraya, bahkan ke seantero Kalimantan Tengah. Huru-hara itu membuat 1.335 orang Madura mengungsi. Kurang lebih 500-1.500 jiwa yang didominasi orang Madura tewas. Sedangkan kerugian fisiknya berupa 1192 rumah, 16 mobil, 43 motor, dan 114 becak yang sengaja dirusak.

pluralitas Indonesia tercipta melalui jalan akulturasi yang terjalin dari masa ke masa. Akan tetapi, mengapa masih saja terjadi gejolak-gejolak yang MEMPERMASALAHKAN PERBEDAAN?

Konflik lain yang masih menyangkut etnis adalah, ketegangan antara etnis Lampung dan Balidi Kalianda Lampung Selatan tahun 2004. Sejak kehadirannya, etnis Bali dipandang membawa persoalan tersendiri bagi sebagian masyarakat Lampung. Gugus persoalan ini mencakup �legitimasi kehadiran� masyarakat Bali yang dipandang masih bermasalah karena menempati wilayah yang belum sepenuhnya diizinkan ataupun karena perbedaan adat kebiasaan dan agama. Ketegangan ini telah menelan 14 korban jiwa dan 1.700 orang mengungsi, dikutip dari nasional.kompas.com. Nasional.kompas.com juga memberitakan, polemik intoleransi Pemerintah Daerah (Pemda) Nusa Tenggara Barat (NTB) terhadap jamaah Ahmadiyah di Transito Mataram NTB tahun 2006. Konflik tersebut telah menyebabkan 9 orang meninggal dunia, 8 orang luka-


Bahasan luka, 9 orang gangguan jiwa, 379 terusir, 9 orang dipaksa cerai, 3 orang keguguran, 61 orang putus sekolah, 45 orang dipersulit KTP, dan 322 orang dipaksa keluar Ahmadiyah. Sampai saat ini, pemerintah belum merealisasikan kebijakan yang berpihak pada mereka. Sementara selama di pengungsian, warga Ahmadiyah tidak memiliki akses terhadap kesehatan yang memadai. Kasus serupa yaitu tindakan represif oleh aparat dan masyarakat Yogyakarta kepada para pendatang dari Papua di Yogjakarta tahun 2016. Kasus ini dilandasi oleh adanya stereotip negatif yang melekat pada orang Papua yang tinggal di Yogyakarta. Stereotip negatif tersebut di antaranya adalah suka bikin ribut atau tidak kondusif, tukang mabuk, tukang main perempuan, tidak taat peraturan lalu lintas, tidak membayar makanan yang dibeli di warung, jarang mandi (bau), dan sebagainya. Mereka sering mendapat perlakuan yang tidak manusiawi yang beragam bentuknya. Ada yang ditolak di sebuah rental penyewaan sepeda motor, diusir oleh pemilik penyewaan tempat tinggal tanpa alasan yang jelas, dipersulit saat mengurus KTP, dipersulit saat mengurus SIM, tidak dilayani dengan baik saat mengurus administrasi kampus, ditodong harga barang yang lebih mahal,

hingga dikeroyok orang sampai meninggal tanpa sebab yang jelas saat sedang berada di kawasan Malioboro tanpa ada pengusutan lebih lanjut dari pihak kepolisian dikutip, tirto.id. Dalam kasus ini akhirnya Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) sampai turun tangan dengan menurunkan tim penyelidik ke Yogyakarta guna melakukan penyelidikan pada 19-21/07/16. Komnas HAM juga telah mengirimkan surat kepada Gubernur Yogyakarta Sri Sultan Hamengku Buwono X, Kapolda Brigjen Pol Prasta Wahyu Hidayat, pihak korban dan pihak terkait. Tidak begitu jelas, akhirnya kasus tersebut hanya menguap begitu saja. Sejak saat itulah slogan pencitraan Yogyakarta sebagai daerah “istimewa dan nyaman” telah luntur, sumber bbc.com. Beberapa kasus di atas telah mencerminkan sikap masyarakat yang tidak pluralis. Kasus-kasus di atas juga memberikan pelajaran kepada masyarakat, betapa ruginya jika keberagaman itu tidak benar-benar dijaga. Aksin Wijaya kembali memberikan tanggapannya terkait hal ini. “Pluralisme itu bukan hanya sebuah kenyataan atau realitas. Tetapi sesuatu yang harus diperjuangkan. Bahwa dalam perjuangan itu muncul riyak-riyak kecil, itu sesuatu yang wajar. Justru itu sebagai proses menuju

UTAMA

kedewasaan dalam menyikapi pluralitas itu tadi. Jadi tidak berarti adanya riyak-riyak kecil itu kemudian di-justifikasi bahwa Indonesia sudah tidak lagi plural, tidak. Tetapi itu sebagai sebuah perjuangan untuk semakin memperkokoh pluralisme di Indonesia dengan simbolnya Bhinneka Tunggal Ika,” tutur Aksin. Aksin menambahkan bahwa idealisme dalam pluralisme maupun multukulturalisme suatu negara itu tergantung karakter peradaban masing-masing. “Jadi anggap misalnya pluralisme atau multikulturalisme di Negara-negara barat itu belum tentu bisa diterapkan di Indonesia atau di Timur Tengah. Begitu juga pluralisme atau multikulturalisme di Indonesia, belum tentu bisa diterima di Negara-negara barat maupun Timur Tengah. Yang ideal itu adalah pluralisme yang sesuai dengan peradaban masing-masing. Yang sesuai dengan peradaban Indonesia ya pluralisme yang berbasis pada Bhinneka Tunggal Ika, di Barat berbasis pada misalnya kebebasan atau sekularisme, di Timur Tengan berbasis kepada agama. Karena itu ukurannya bukan Negara, melainkan sejauh mana Negara itu berpijak pada peradabannya sendiri,” imbuhnya. Nurul Khusna_Crew/23.14.138

“Pluralisme itu bukan hanya sebuah kenyataan atau realitas. Tetapi sesuatu yang harus diperjuangkan. " Aksin Wijaya Majalah aL-Millah Edisi 34

17


LAporan

UTAMA

Putusan MK: Kala Aturan Hanya Sebatas Pelegalan Hukum, Tanya Kenapa (?)

K

eragaman merupakan sebuah keniscayaan yang terdapat dalam kehidupan. Perbedaan suku, agama, bahasa, ras, merupakan salah satu keragaman yang ada di Indonesia. Keragaman tersebut telah lama mewarnai sendi kehidupan dan menjadi bagian dari kearifan lokal bangsa. Tak pelak ini menjadi identitas bangsa yang harus dipelihara kelestariannya. Menjadi bangsa yang pluralis bukan melulu soal kebanggaan, melainkan kemampuan untuk menjaga sekaligus memupuk rasa toleransi di tengah keberbedaan yang ada. Salah satu keragaman yang ada di Indonesia adalah keragaman dalam beragama dan berkeyakinan. Secara resmi, Indonesia mengakui ada enam agama yakni Islam, Kristen, Hindu, Buddha, Katolik, dan Konghucu. Akan tetapi terdapat juga beberapa penghayat kepercayaan (keyakinan). Di tengah kemajemukan tersebut, secara kasat mata mereka dapat hidup berdampingan. Hal itu dikarenakan, sejauh ini kemajemukan tersebut berkembang secara dinamis dan telah dijamin kebebasannya oleh undang -undang. Tepatnya dalam UUD 1945 pasal 29 ayat 2 yang mengatakan bahwa “negara menjamin kemerdekaan tiaptiap warga negara untuk memeluk agamanya masing-masing dan beribadat menurut agama dan kepercayaan masing-masing.� Pasal tersebut jelas menegaskan bahwa negara telah

18

Majalah aL-Millah Edisi 34

menjamin sepenuhnya kebebasan beragama dan berkeyakinan bagi setiap warga negaranya. Eksistensi Aliran Kepercayaan, Masih Menjadi Tanda Tanya Besar Sebagaimana yang dipaparkan sebelumnya, bahwa di samping ada penganut agama resmi, di Indonesia terdapat penghayat kepercayaan. Kepercayaan tersebut merupakan bentuk manifestasi dari kearifan lokal, yang notabene merupakan warisan nenek moyang bangsa Indonesia. Lantas apa bedanya agama dan kepercayaan? Sidang MPR tahun 1978 memutuskan, bahwa aliran kepercayaan tidak termasuk dalam agama, sebagaimana yang tertuang dalam ketetapan MPR Nomor IV/ MPR/1978. Berdasarkan ketetapan MPR tersebut, Departemen Agama mengeluarkan instruksi mengenai kebijakan aliran-aliran kepercayaan, bahwa Departemen Agama tidak lagi mengurusi aliran kepercayaan. Akhirnya, sampai sekarang pun mereka tetap menjadi kelompok minoritas yang rentan akan diskriminasi karena belum ada lembaga yang konsen mengurus mereka. Meskipun para penghayat kepercayaan sekarang berada di bawah naungan Kemendikbud (Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan), namun nyatanya belum mampu mengangkat eksistensi mereka.


laporan Dharmanto, ketua MLKI (Majelis Luhur Kepercayaan Kepada Tuhan Yang Maha Esa Indonesia) Ponorogo menegaskan, bahwa agama dan kepercayaan berbeda jauh. Agama yang kita kenal selama ini merupakan agama resmi yang diakui negara sedangkan kepercayaan itu menyangkut pribadi masing-masing penghayat. “Agama itu dari negara, agama Islam caranya pun Islam, Kristen ya Kristen. Kepercayaan itu khusus hubungannya tentang pribadi dan diajarkan hanya untuk anggota kepercayaan tersebut,” kata Dharmanto saat kami temui di kediamannya Senada dengan pernyataan di atas, Budi Atmojo —salah satu penuntun Sapto Darmo Kabupaten Ponorogo— membenarkan bahwa agama dan kepercayaan itu berbeda. “Penghayat kepercayaan itu antara satu dengan lainnya memang beda alirannya namun rasanya sama, mereka juga mempercayai adanya Tuhan, alam semesta ini ada karena Tuhan. Sama dengan agama Islam, Kristen, sebenarnya sama-sama memepercayai Tuhan namun tata caranya berbeda,” ujar Budi Atmojo. Adanya penghayat kepercayaan tersebut, memunculkan berbagai macam pandangan di masyarakat. Seperti halnya menganggap bahwa mereka tidak beragama dan berTuhan. Menanggapi hal tersebut, ketua MLKI memberikan pernyataan sikap. “Secara umum penghayat ya beragama, mereka (masyarakat.red) kalau ngomong tidak baik berarti belum paham,” kata Dharmanto. Menurut data Kemendikbud 2017 —yang tertera di Kompas.com (9/11/2017)— menyebutkan, bahwa ada sekitar 187 kelompok kepercayaan yang tersebar di 13 Provinsi di Indonesia. Dari ke-13 Provinsi, Jawa Tengah menduduki peringkat pertama jumlah kelompok kepercayaan terbesar dengan 53 kelompok dan disusul Jawa Timur

UTAMA

dengan 50 kelompok, sisanya tersebar di 11 Provinsi yang lain. Besarnya jumlah kelompok kepercayaan yang tersebar, menunjukkan bahwa bangsa Indonesia masih teguh mempertahankan warisan budaya bangsa. Akan tetapi, ketidakjelasan posisi penghayat kepercayaan serta hak yang seringkali terabaikan dari penglihatan pemerintah, menyebabkan banyaknya perlakuan diskriminatif. Perlakuan tersebut tentu tidak sejalan dan menciderai HAM (Hak Asasi Manusia) serta kebebasan beragama yang tertuang pada pasal 29 ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945. Terkait kebebasan HAM Endrik Safudin, salah satu praktisi hukum di IAIN Ponorogo menyatakan pendapatnya. “Mengenai hal ini bisa kita lihat dari 3 hal,yang pertama adalah sosiologis, kedua sisi normatifnya, ketiga sisi filosofisnya. Kalau sisi normatifnya bahwa negara kita adalah negara hukum pasal 1 ayat 3 UUD 1945, kemudian ada UU no. 39 tahun 1999 tentang HAM. Kita sudah secara normatif konstitusi sangat menghargai kebebesan beragama, di dalam pasal 29 yang menyatakan bahwa Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap warga negara untuk memeluk agamanya masing-masing dan beribadat menurut Agama dan kepercayaannya,” ujar Endrik Safudin. Endrik juga menambahkan, bahwa secara sosiologis di negara Indonesia yang Bhineka Tunggal Ika itu pada kenyataannya memang ada kelompok-kelompok minoritas (kelompok kepercayaan). Karena negara kita adalah negara hukum, maka kita harus melindungi kelompok-kelompok tersebut dan harus menghormatinya. Kemudian secara filosofis, setiap orang berhak untuk hidup, bekerja, berserikat, dan banyak rentetan lain yang mengikutinya. Di sisi lain berdasarkan laporan Komnas HAM tahun 2015 Majalah aL-Millah Edisi 34

19


UTAMA

yang dihimpun Tirto.Id (29/07/2016), menunjukkan masih banyak kasus diskriminasi dan intoleransi hak Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (KBB). Misalnya, pada tahun 2014, Komnas HAM menerima 74 pengaduan terkait pelanggaran hak KBB. Sementara pada kurun waktu Januari-November 2015, pelanggaran hak KBB berjumlah 87 pengaduan. Jumlah tersebut belum termasuk pelanggaran yang tidak diadukan ke Komnas HAM. Mirisnya —berdasar data Komnas HAM— pelaku tindakan diskriminasi dan intoleransi terhadap kebebasan beragama dan berkeyakinan sangat beragam, mulai dari pemerintah, Ormas (Organisasi Masyarakat), aparat keamanan, maupun individu. Akan tetapi, dari data Komnas HAM tersebut, rata-rata pelaku tindakan diskriminasi atau intoleran adalah pemerintah kabupaten/ kota. Dari 87 jumlah pengaduan yang diterima Komnas HAM dalam kurun

waktu Januari–November 2015, apabila dilihat dari aspek korban tindak pelanggaran hak atas kebebasan beragama dan berkeyakinan, setidaknya terdapat 7 pengaduan yang datang dari warga penghayat kepercayaan. Ponorogo, [Masihkah] Menjadi Kota Pluralis? Tidak dapat dipungkiri bahwa aliran kepercayaan juga berkembang di Ponorogo. Ponorogo juga layak diperhitungkan di kalangan penghayat kepercayaan, karena pernah diselenggarakannya Kongres Kebatinan Indonesia ke-V tanggal 1-4 Juni 1963 di Ponorogo. Pada saat itu ada sekitar 83 aliran kepercayaan yang hadir di kongres tersebut. Jumlah penghayat kepercayaan di Ponorogo terbilang relatif banyak. Berdasarkan data Kemendikbud Ponorogo, tahun 2017 tercatat ada sekitar 25 organisasi penghayat kepercayaan yang terdaftar. Akan tetapi, Dharmanto —ketua MLKI Ponorogo—

• Salah satu KTP penghayat kepercayaan di Ponorogo (lihat kolom agama)

20

Majalah aL-Millah Edisi 34

menegaskan bahwa sebenarnya ada lebih dari 48 paguyuban penghayat kepercayaan yang ada di Ponorogo, namun belum semuanya memiliki SKT (Surat Keterangan Terdaftar) dan seringkali kondisinya hidup-mati. Kondisi hidupmati organisasi penghayat kepercayaan itu bukan tanpa alasan, melainkan kesulitan dana yang sering mereka hadapi baik dalam melakukan kegiatan maupun untuk sekedar mengurus SKT. “Sebenarnya di Ponorogo itu ada lebih dari 48 paguyuban, tapi keadaannya ya seperti itu kurang dari satu tahun bubar,” kata Dharmanto. Masih menurut data dari Kemendikbud Ponorogo, di antara paguyuban penghayat kepercayaan yang terdaftar antara lain Purwo Ayu Mardi Utomo (PAMU), Perguruan Ilmu Sejati, Sapto Darmo, Sumarah, Sapto Pandhito, Sapto Jati, Soerjo Alam, dan beberapa paguyuban lainnya. Dari 25 paguyuban penghayat kepercayaan tersebut hanya 11 paguyuban yang sudah memiliki SKT, selebihnya belum dengan alasan mahalnya anggaran untuk mendapatkan SKT seperti yang telah disinggung di atas. Menurut Dharmanto, SKT sangat diperlukan bagi setiap paguyuban. MLKI sebagai wadah bagi penghayat kepercayaan tidak dapat sepenuhnya melakukan perlindungan jika terjadi tindak diskriminasi maupun konflik yang menimpa mereka —lantaran masih banyak paguyuban penghayat kepercayaan yang ilegal—.

Foto/Doc. aL-Millah

LAporan


M

laporan

UTAMA

“Menimbang bahwa terhadap kepentingan masyarakat penganut kepercayaan yang sudah lama hidup di Indonesia. Mahkamah berpendapat, masyarakat penganut kepercayaan adalah masyarakat yang memiliki hak dan kewajiban yang sama dalam meyakini kepercayaannya sesuai dengan jaminan yang diberikan dalam pasal 28E ayat 2 UUD 1945. Praktik diskriminasi yang dialami oleh masyarakat penganut kepercayaan adalah bentuk dari kesalahan penerapan norma dan hukum administrasi.”

Menurut Dharmanto biaya akta notaris untuk mendapatkan SKT antara Rp. 750.000,- sampai Rp.1.500.000,-, sedangkan dana paguyuban rata-rata diperoleh dari dana iuran. Berbagai tindak diskriminasi yang mungkin akan menimpa mereka di antaranya penganiayaan baik fisik maupun psikis, dikucilkan dari lingkungan sekitar, tidak mendapatkan pelayanan publik, teror dan masih banyak lagi. Dikarenakan beberapa faktor, sangat mungkin tindak diskriminasi tersebut terjadi pada kaum minoritas — penghayat kepercayaan—. Salah satu faktor yang mungkin, yaitu kurangnya pemahaman masyarakat penganut agama tentang penghayat kepercayaan dan ajarannya, sehingga menimbulkan stigma negatif terhadap penganut kepercayaan. Berkaitan dengan isu diskriminasi yang sekarang santer di Indonesia, putusan MK (Mahkamah Konstitusi) di penghujung tahun 2017 sempat menjadi perdebatan. Betapa tidak, adanya putusan itu

sedikit banyak menimbulkan pro dan kontra di antara kaum beragama, ormas maupun lembaga keagamaan. Terlihat juga di beberapa portal media baik cetak, online maupun elektronik gencar memberitakan isu tersebut. “Menimbang bahwa terhadap kepentingan masyarakat penganut kepercayaan yang sudah lama hidup di Indonesia. Mahkamah berpendapat, masyarakat penganut kepercayaan adalah masyarakat yang memiliki hak dan kewajiban yang sama dalam meyakini kepercayaannya sesuai dengan jaminan yang diberikan dalam pasal 28E ayat 2 UUD 1945. Praktik diskriminasi yang dialami oleh masyarakat penganut kepercayaan adalah bentuk dari kesalahan penerapan norma dan hukum administrasi.” Penggalan di atas merupakan bagian dari putusan MK yang dibacakan (07/11/2017). Adanya keputusan tersebut menyusul banyaknya permohonan dari kaum penghayat kepercayaan sehingga MK mengabulkan

gugatan Pasal 61 ayat (1) dan (2) UU 23/2006 juncto Pasal 64 ayat (1) dan (5) UU 24/2013 Tentang Administrasi Kependudukan (Adminduk) dan memutuskan untuk memasukkan penghayat kepercayaan pada kolom agama E-KTP dan kartu keluarga. Hal ini mengingat banyaknya diskriminasi yang mereka para kaum penghayat kepercayaan peroleh selama ini. Endrik menambahkan bahwa putusan MK No. 97/PUU XIV/2016 keluar karena latar belakang permasalahannya yang bisa kita lihat yaitu adanya pengosongan kolom agama di KTP dan KK atau disetrip. Hal itu akan menimbulkan anggapan di masyarakat bahwa dia kafir, atheis, tidak beragama, atau bahkan anggapan dia itu PKI (Partai Komunis Indonesia). Maka untuk melindunginya keluarlah putusan MK ini. Putusan MK ini bersifat final and binding. Maka, setiap orang harus menjaga dan menghormatinya. Putusan MK ini juga sesuatu yang responsif, meskipun telah lahir putusan Majalah aL-Millah Edisi 34

21


UTAMA

MK, ke depannya harus ada UU baru yang lahir serta adanya pengawalan yang ketat. Terkait dengan putusan MK tersebut, gonjangganjing di kalangan kaum penghayat kepercayaan di Ponorogo tak begitu kentara. Mereka menyikapinya dengan dingin meskipun MLKI telah menganjurkan melalui sosialisasi maupun pendekatan secara personal tanpa adanya paksaan kepada segenap penghayat untuk mengganti E-KTP. Akan tetapi, kebanyakan penghayat tidak mau ambil pusing. Mereka hingga kini tetap tidak bersedia mengganti identitas mereka. Lantas apa yang mendasari mereka tidak bersedia mengganti identitas mereka? Apakah faktor rentannya mereka di lingkaran diskriminasi menjadi penyebabnya?

22

Majalah aL-Millah Edisi 34

Mengganti Identitas Penghayat, Antara Penting dan Tidak Penting Berdasarkan data yang diperoleh dari Kemendikbud, di Ponorogo ada sekitar 81.030 penganut/penghayat kepercayaan. Menyoal pencantuman identitas penghayat kepercayaan dalam E-KTP dan KK, penghayat kepercayaan terbagi menjadi dua kelompok yakni kelompok yang tetap mencantumkan agama resmi (Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, Konghucu) dan penghayat kepercayaan yang tidak menyertakan agama resmi di kolom agama E-KTP dan KK atau memilih mengosongkan. Alasan kelompok pertama tetap menyertakan agama resmi cukup pragmatis karena keterpaksaan dan situasi kondisi lingkungan yang mendorongnya untuk tetap

tidak merubah identitasnya, padahal legitimasi hukum pemerintahan telah memberikan kebebasan kepada mereka untuk merubah identitasnya. Di antara kelompok pertama ini adalah Paguyuban Soerjo Alam, Paguyuban Sapto Pandhito, dan Paguyuban Wirid Sadar Penggalih. “Intinya kita tidak pernah memaksa karena itu urusan pribadi masing-masing hanya saja menyarankan kalau memang penghayat ya jadilah penghayat yang murni mengamalkan ajaran, kalau beragama ya jadilah umat yang murni beragama,� tegas Dharmanto. Kelompok kedua ini adalah kelompok yang lebih percaya diri menunjukkan eksistensinya sebagai penghayat kepercayaan dengan menstrip atau mengkosongkan pada kolom agama E-KTP

Ilus/Chandra

LAporan


laporan dan KK. Mereka bersikap demikian karena memang pemerintah telah memberikan kebebasan kepada setiap warga negaranya untuk memilih agama atau kepercayaannya masing-masing. Maka tak mengherankan jika mereka berani menunjukkan eksistensinya sebagai penghayat kepercayaan tanpa takut mendapatkan perlakuan maupun pandangan negatif dari kelompok agama atau kepercayaan lain. Di antara kelompok kepercayaan yang memberanikan diri menunjukkan eksistensinya sebagai penghayat kepercayaan adalah Sapto Darmo. “Yang penting pemerintah sudah melindungi pun dasar hukumnya juga ada,” kata Budi Atmojo. Banyaknya kaum penghayat kepercayaan di Ponorogo yang belum bersedia mengganti identitasnya di kolom E-KTP dan KK, menegaskan seolah putusan MK tersebut tak begitu memberikan daya tawar lebih kepada para penghayat kepercayaan untuk mengganti identitasnya dan hanya sekedar pelegalan hukum formal tanpa dibarengi dengan upaya perlindungan yang

signifikan. “Belum seluruhnya mengganti, orangnya belum kepingin, jadi kita (MLKI.red) tidak bisa memaksa. Sapto Dharmo sudah ada. Yang saya rasakan kalau saya masuk penghayat, kalau saya meninggal nanti siapa yang mengurusi, belum ada modinnya, kenduren tidak diundang, hal lain mungkin seperti pertanyaan yang timbul,” ujar Dharmanto. Dilihat dari kacamata hukum, Endrik pun mengutarakan argumennya perihal keefektifan dari putusan MK tersebut. “Itu seharusnya menjadi dasar hukum yang jelas, setiap warga negara tidak perlu takut karena ini adalah negara hukum. Yang menjadi permasalahan adalah sosialisasi, kesadaran hukum dan kepatuhan hukum. Mungkin bisa jadi dengan adanya putusan MK ini belum tersosialisasi dengan bagus. Efeknya banyak dari mereka yaitu para penghayat kepercayaan belum sepenuhnya tahu dengan keluarnya putusan MK ini. Akhirnya, di antara mereka mengambil kesimpulan sendiri yaitu daripada ribetribet mending mengikuti agama

UTAMA

tertentu saja, meskipun yang jelas dirinya tetap penganut kepercayaan,” kata Endrik. Polemik pencantuman identitas kepercayaan dalam kolom agama E-KTP dan KK semakin menimbulkan pro dan kontra dari berbagai kalangan terlebih kaum penghayat kepercayaan. Ahmad Sauji Jenggo salah satu anggota Paguyuban Presidium Lintas Iman mempertanyakan perihal pencantuman identitas kepercayaan pada kolom agama E-KTP. “Memang para penghayat sudah dibolehkan untuk mencantumkan kepercayaan pada kolom agama E-KTP, tapi kepercayaan yang bagaimana itu belum jelas, bentuknya juga belum jelas karena tiap ajarannya kan berbeda-beda yang seringkali menimbulkan konflik. Konflik pun tidak hanya berasal dari pemerintah melainkan juga antar individu dalam kesehariannya,” kata Mbah Jenggo sapaan akrabnya. Kirno selaku penghayat kepercayaan dari Paguyuban Aliran Sejati pun juga memberikan pendapatnya mengenai polemik pemasukan identitas kepercayaan pada

“Memang para penghayat sudah dibolehkan untuk mencantumkan kepercayaan pada kolom agama E-KTP, tapi kepercayaan yang bagaimana itu belum jelas, bentuknya juga belum jelas karena tiap ajarannya kan berbeda-beda" Ahmad Sauji Jenggo

Majalah aL-Millah Edisi 34

23


LAporan

UTAMA

kolom E-KTP. “Kalau saya menginginkan adanya kolom kepercayaan. Memberikan kesempatan untuk berkepercayaan ataupun beragama. Jadi diberi hak untuk masyarakat Indonesia memilih suatu agama maupun kepercayaan. Maksudnya itu sama menuju ke Tuhannya, hanya jalannya berlainan,” kata Mbah Kirno. Mbah Kirno juga menambahkan bahwa selamanya agama tetap agama dan kepercayaan tetap kepercayaan sehingga dalam penulisan di kolom E-KTP pun juga harus dibedakan tidak bisa disatukan. “Tapi kalau kepercayaan ya tetap kepercayaan, agama ya agama. Biasanya diisi dengan 6 agama itu kan, kalau kepercayaan ya ditulis kepercayaan gitu, kalau ada kolom agama ya harus ada kolom kepercayaan. Kepercayaan itu bukan agama dan tidak akan menjadi sebuah agama baru,” imbuhnya. Menaggapi berbagai polemik yang mempertanyakan pencantuman identitas kepercayaan pada kolom E-KTP dan KK, UPTD Dispendukcapil (Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil) Kecamatan Kota Ponorogo mengaku hingga kini dari Dispendukcapil Kabupaten Ponorogo belum memberikan sosialisasi terkait hal tersebut dan mengaku bahwa di Kecamatan Ponorogo belum ada satu pun yang berkeinginan mengganti identitas, kalaupun sudah ada itu kemungkinan adalah KTP lama. “Perubahan elemen data yang terkait dengan aliran kepercayaan di Kecamatan Kota sampai hari ini belum ada yang

24

Majalah aL-Millah Edisi 34

"kepercayaan ya tetap kepercayaan, agama ya agama. Biasanya diisi dengan 6 agama itu kan, kalau kepercayaan ya ditulis kepercayaan gitu, kalau ada kolom agama ya harus ada kolom kepercayaan. Kepercayaan itu bukan agama dan tidak akan menjadi sebuah agama baru.” Kirno

melakukan perubahan atau penggantian, dan secara pribadi saya belum menjumpai dalam E-KTP yang disetrip maupun ditulis kepercayaan walaupun dia aliran kepercayaan namun dalam E-KTP ditulis Islam,” kata Suwadi, Kabid UPTD Dispendukcapil kecamatan Kota Ponorogo. Diakui atau tidak ketakutan demi ketakutan akan perlakuan maupun pandangan negatif tentang keberadaan mereka (penghayat Kepercayaan.red) menjadi pertimbangan kuat mengapa mereka tetap mengambil sikap demikian. Akan tetapi, juga tidak menafikkan bahwa memang masyarakat Indonesia telah ada semacam dogma atau pelabelan jika kelompok yang berseberangan dengan agama resmi negara maka dianggap tidak beragama atau ber-Tuhan. Polemik pencantuman kepercayaan pada kolom agama E-KTP dan KK sampai kapan pun akan terus diperdebatkan selama upaya perlindungan terus saja dipertanyakan. Endrik menambahkan bahwa keefektifan putusan MK ini akan baik apabila antara hukum dan aparat penegaknya mampu bersinergi dengan

baik. “Di dalam hukum itu ada azas bahwa setiap orang ketika suatu peraturan perundangundangan sudah diundangkan, maka setiap orang dianggap tahu hukum (presumptio iures de iure). Tapi permasalahannya, ketika ada orang tinggal di daerah terpencil suatu saat melanggar hukum, meskipun mereka tidak mendengar tetap mereka dianggap tahu dan harus dihukum, apakah ini adil? karena itu poin penting untuk melihat efektif tidaknya aturan maka dapat dilihat dari tiga hal, yang pertama adalah struktur yaitu sistemnya, kedua adalah kultur yaitu masyarakatnya, ketiga substansi yaitu isi undang-undangnya. Ketika isi undang-undangnya bagus, yang memberikan penyadaran tidak bagus maka tidak efektif begitu juga sebaliknya. Oleh karena itu ketiga-tiganya harus saling bekerjasama biar efektif,” ujar Endrik.

Ulfa Nadiyah M._Crew/23.14.141


Liputan

I

khusus

Sodong: Harmoni Agama dan Budaya ‘Kampung Pluralis’

ndonesia dikenal sebagai negara multikultural karena memiliki keberagaman suku, bahasa, agama, kepercayaan, etnis, budaya dan adat. Menurut data sensus penduduk tahun 2010 dari Badan Pusat Statistik (BPS), Indonesia memiliki jumlah penduduk sekitar 237,6 juta jiwa, 1.340 suku bangsa, 6 agama, dan 546 bahasa. Dari segi geografis Indonesia termasuk negara kepulauan dengan jumlah pulau sekitar 17.500 yang tentu juga mendukung keberagaman tersebut. Keanekaragaman yang dimiliki berpotensi menimbukan gesekan antar golongan dan berujung konflik. Hal ini dapat terjadi karena masing-masing kelompok hendak memperlakukan perbedaan sebagai sumber masalah, bukan sebagai kekayaan atau perekat tali persaudaraan. Perpecahan dapat direduksi dengan menanamkan pemahaman tentang pentingnya pluralisme dan bersikap toleran kepada seluruh elemen masyarakat. Sebagai contoh adalah konflik antara komunitas Kristen dan Islam di Ambon Maluku tahun 1999 hingga 2002. Diperkirakan 8.0009.000 jiwa meninggal, menghancukan sekitar 29.000 rumah, 45 masjid, 47 gereja, 719 toko, 38 gedung pemerintahan, dan 4 bank. Konflik ini berakhir setelah upaya pembicaraan damai (mediasi) terus dilakukan. Belum lagi konflik yang santer akhir-akhir ini. Sebagai negara hukum, Indonesia telah menjamin kebebasan tiap warga negara melalui pasal 29 ayat 2 UUD 1945. Tepatnya yaitu kebebasan untuk menganut agama dan kepercayaan serta menjalankan ibadah sesuai ajaran agama dan keyakinan masing-masing. Hal ini diperkuat dengan legitimasi oleh MK melalui putusan nomor 97/PUU-XIV/2016 sehingga para penghayat kepercayaan pun saat ini telah diakui eksistensinya dalam wilayah administrasi kependudukan. Hal

itu memberikan dampak apabila terdapat tindakan diskriminatif yang tertuju kepada para penghayat kepercayaan, mereka dapat melaporkannya pada aparatur negara. Menurut data yang diperoleh, Ponorogo juga memiliki enam agama resmi dan beberapa aliran kepercayaan yang dianut oleh masyarakat. Secara rinci berdasarkan data dari BPS Provinsi Jawa Timur tahun 2016 dapat dilihat pada tabel berikut:

Agama

Jumlah Penganut (jiwa)

Persentase (%)

Islam

1.013.712

98.79

Kristen Katolik Buddha Hindu Konghuchu Lainnya

3.475 1.398 5.872 1.686 14

0.33 0.14 0.57 0.16 0.001

https://jatim.bps.go.id/dynamictable/2017/10/09/120/ jumlah-penduduk-menurut-kabupaten-kota-dan-agamayang-dianut-di-provinsi-jawa-timur-2016.html

Adapun jumlah penghayat kepercayaan di Ponorogo, sebagaimana yang dicatat oleh Kemendikbud Ponorogo tahun 2017, terdapat sekitar 81.030 penghayat yang dinaungi oleh 25 paguyuban aliran kepercayaan. ‘Kampung Pluralis’ di Ponorogo Keragaman dan perbedaan memang rentan memunculkan konflik. Akan tetapi tidak selamanya perbedaan menimbulkan perselisihan. Salah satunya di Dusun Sodong, Desa Gelangkulon, Kecamatan Sampung Kabupaten Ponorogo. Sodong merupakan sebuah dusun di Desa Gelangkulon, dengan luas area sekitar 95 hektar. Letak dusun ini terisolasi oleh bukitMajalah aL-Millah Edisi 34

25


khusus

bukit di sekelilingnya. Hanya ada satu jalan utama yang menghubungkannya dengan desa Pagerukir di sebelah utara dan dusun Kroyo kecamatan Badegan di selatan. Secara geografis, dusun ini berada di daerah perbatasan antara Jawa Timur dan Jawa Tengah yaitu Kabupaten Wonogiri. Dusun Sodong memiliki dua komunitas masyarakat berbeda agama, yaitu agama Islam dan Buddha. Dari 548 penduduk Dusun Sodong terdapat 426 jiwa menganut agama Islam, dan 122 menganut agama Buddha. Meskipun demikian nyaris tidak ada konflik yang menyangkut keyakinan antar umat, bahkan ada keluarga —dalam satu rumah— yang berbeda agama. Menurut Mulyono kepala dusun Sodong, di sana terdapat 149 kepala keluarga. 78 rumah tercatat menganut agama Islam, 22 rumah berisi pemeluk agama Buddha dan 19 rumah anggota keluarganya memeluk agama berbeda (Islam atau Buddha). Beberapa rumah ditempati lebih dari satu KK. Dia juga menambahkan bahwa letak tempat tinggal warga tidak membentuk kelompok-kelompok tertentu sesuai keyakinan yang dianut, melainkan saling bercampur. “Campur, tidak ada blok-blokan warga penganut agama,” tegas pria yang akrab dipanggil Pak Mul ini. Kilas Balik Agama Buddha dan Islam di Sodong

26

Majalah aL-Millah Edisi 34

Menurut Suwandi — tokoh agama Buddha— dulu orang-orang yang tinggal di Sodong adalah masyarakat pedalaman yang tidak begitu jelas nama ajaran agama atau keyakinan yang dianut. Kemudian sekitar tahun 60-an, ayahnya (Saimin) mengajarkan nilai-nilai budi pekerti, tingkah laku baik, spiritual dan sebagainya kepada penduduk sekitar dengan bahasa adat budaya Jawa. Kebetulan nilainilai tersebut diambil dari intisari agama Buddha. Melalui penyesuaian dan pendekatan budaya semacam itu, banyak warga yang tertarik untuk mempelajarinya tanpa paksaan. Mulyono juga menerangkan bahwa menurut cerita yang beredar di masyarakat, jaman dulu warga yang beragama Buddha lebih banyak daripada muslim, namun sekarang berbalik. Dia sendiri bersama kedua kakaknya memilih untuk memeluk agama Islam

walaupun kedua orangtuanya beragama Buddha. “Dulu banyak orang-orang tua yang Buddha. Tahun 90-an anakanaknya banyak yang Islam. Pendidikan agama Islam di SD ada pengaruhnya,” terang Mulyono. Sementara itu menurut Suyud —salah satu tokoh agama Islam di Sodong— dulu sudah ada ajaran Islam, namun belum dipahami atau diamalkan sepenuhnya oleh penganutnya. Surono selaku kepala desa Gelangkulon juga menyatakan hal yang sama. “Di desa kami perkara kepercayaan itu bukan sepenuhnya murni karena keyakinan, tapi lebih karena lingkungan. Agama di Sodong itu istilah saya hanya ‘basa-basi’. Setahu saya Islam itu sebelumnya sudah ada. Tapi belum ada kegiatan keislaman bersama seperti yasinan, arisan, ta’ziyah seperti sekarang. Banyak orang Islam dulu pun memelihara anjing untuk berburu dan penjaga

Ilus/Abidin

Liputan


Liputan rumah, padahal kita tahu anjing itu najis,” ungkapnya. Surono juga menjelaskan bahwa penganut agama Islam sekarang lebih banyak karena pengaruh lingkungan pergaulan. “Dulu banyak yang Buddha, sekarang terbalik. Banyak orang sana yang dapat pasangan dari luar Sodong, kebetulan mayoritas Islam. Anak-anak di Sodong banyak yang Islam karena pergaulan. Terus banyak yang sekolah di SMP, SMA yang teman-temannya beragama Islam. Mayoritas warga Sodong yang beragama Buddha adalah keluarga Mbah Saimin dan keturunannya. Siswa SD di Sodong sekarang dari 47 anak, hanya 3 yang Buddha,” paparnya. Tradisi, Pengikat Simpul Kerukunan Banyak tradisi yang dilakukan oleh masyarakat dusun Sodong, baik yang bersifat rutinan maupun eventual. Beberapa kegiatan dikhususkan untuk warga yang menganut agama Islam atau Buddha saja, seperti yasinan, arisan dan anjangsana. Sementara beberapa acara lain diselenggarakan untuk seluruh warga pada umumnya tanpa memandang agama, semisal arisan kebersamaan dan perayaan hari raya. Hal ini dalam rangka mempererat hubungan internal umat penganut agama yang sama,

sekaligus mempererat kerukunan antar umat beragama. Setiap Rabu pagi menjelang siang, ibuibu dari komunitas Islam rutin mengadakan yasinan sekaligus arisan bersama secara bergantian. Kegiatan ini didampingi oleh penyuluh dari KUA Sampung dan mendapat tanggapan positif. “Saat baru mengajar di SD 4, melihat keadaan, saya dan istri berinisiatif membuat rutinan yasinan, tiap Rabu di Sodong. Ternyata diikuti juga oleh ibu-ibu yang Buddha. Akhirnya bisa bertahan hingga sekarang,” ujar Waluyo, guru mata pelajaran agama Islam di SDN 4 Gelangkulon sekaligus perintis yasinan di Sodong. Ibu-ibu yang beragama Buddha juga memiliki acara anjangsana dan arisan rutin di hari yang sama. Kemudian hari Minggu arisan bersama seluruh ibu-ibu warga Dusun Sodong. “Tiap hari Minggu ibu-ibu yang Islam dan Buddha arisan di wihara. Setelah itu, bagi yang Buddha melanjutkan acara kebaktian. Sedangkan yang muslim, bagi yang mau pulang silakan, kalau ingin jagongan di wihara juga monggo,” ujar Suwandi. Selain itu, ketika ada warga yang meninggal dunia, maka masyarakat sekitar segera berbondong-bondong melayat ke rumah duka untuk mendoakan dan membantu

khusus

mengurus jenazah tanpa memandang agama si mayit. Begitu pun dalam prosesi pemakamannya. Masyarakat dusun Sodong dalam mengurusi jenazah mengikuti adat yang diajarkan nenek moyang, tanpa memandang bahwa hal itu merupakan ajaran satu agama tertentu. “Sama saja semuanya, dari mengurus (mayit) sampai slametannya,” ujar Suyut. Setelah itu jenazah akan diurus oleh pengurus yang sudah diserahi tanggungjawab dari tokoh agama masing-masing mulai memandikan, mengafani hingga menguburkan. Untuk kebutuhan penyediaan air, penataan pembersihan rumah duka dan lain-lain dilakukan warga secara gotong-royong. Bila pada umumnya umat Buddha yang meninggal prosesi pengurusannya adalah dengan dikremasi (pembakaran jenazah) atau dimakamkan, maka di Sodong tidak dikremasi melainkan dikafani. “Mengafani itu sudah seperti adat. Sebelum agama Buddha ataupun Islam masuk,” terang Suwandi. Hal ini dibenarkan oleh Wahyudi, salah satu warga Sodong. Menurutnya, proses kremasi jenazah memakan banyak biaya dan di Sodong tidak tersedia tempat yang memadai untuk prosesi tersebut. “Di sini gak pernah ada jenazah yang dikremasi,”

selain itu, ketika ada warga yang meninggal dunia, maka masyarakat sekitar segera berbondong-bondong melayat ke rumah duka untuk mendoakan dan membantu mengurus jenazah tanpa memandang agama si mayit. Majalah aL-Millah Edisi 34

27


khusus

kata Wahyudi, ketua RT 1 RW 1 dusun Sodong. Keluarga di rumah duka akan membuka pintu bagi yang ingin melayat dan mendoakan. Agama sama sekali tidak menjadi penghalang untuk saling mendoakan. “Kalau ada yang meninggal, kami tetap berziarah walau pun beda agama,” tutur Sugiyatmi, warga setempat. Secara kuantitas, jumlah muslim di Sodong lebih banyak daripada Buddha, sekitar tiga banding satu. Tetapi dalam kegiatan keagamaan seharihari, kondisi kedua komunitas agama tersebut tidak jauh beda. Dalam rutinan yasinan, biasanya dihadiri lebih dari 50 orang. “Ya aku kira samasama rame. Namun dalam kegiatan mingguan, contohnya kalau umat Islam yasinan bergilir pesertanya mungkin lebih banyak daripada Buddha, ada 50-an lebih. Namun kalau kegiatan harian yang Islam jamaah paling tiap malam 2-3 orang,” ungkap Suyut. Hal senada disampaikan Suwandi. Menurutnya, meskipun jumlah muslim mendominasi, kegiatan dua komunitas beragama itu cukup aktif dalam pendampingan penyuluh dari Kemenag. “Sama-sama aktif baik Buddha maupun muslim. Waktu rutinan anjangsana atau arisan umat Buddha yang datang 40-

50 orang,” jelasnya. Percik Api Yang Padam Sebelum Jadi Bara Surono mengatakan bahwa sangat jarang terjadi perselisihan antar warga berlatar belakang perbedaan agama di Sodong. Akan tetapi, dia mengakui bahwa pernah terjadi sedikit perselisihan dalam rangkaian perayaan hari raya Waisak di Sodong, tepatnya di SDN 4 Gelangkulon. “Hampir tidak pernah ada konflik, kecuali satu kali di SD Sodong waktu bansos dari umat Buddha,” paparnya. Setiap tahun dalam agenda perayaan Waisak di Sodong para biksu dari Malang, Surabaya dan lainnya menyerahkan bantuan sosial untuk SD 4. Tahun 2016 terjadi pergantian kepala sekolah di SD tersebut, Narto sebagai kepsek yang baru. Bantuan sosial itu berupa pakaian untuk anak-anak, alat tulis, makanan ringan dan sebagainya. “Setiap Waisak di Sodong, orang-orang Buddha dari luar memberikan bansos ke SD 4. Kebetulan saat itu kepala sekolahnya baru. Secara prosedur, pihak manapun yang mau bansos ijin dulu ke kantor saya,” kata Surono. Ia yang mendampingi kegiatan penyerahan bantuan sosial itu mengungkapkan bahwa status Narto yang terhitung baru (belum genap

satu tahun) berada di Sodong, kurang memahami kebiasaan dan kondisi masyarakat Sodong. Narto yang berlatar belakang agama Islam, bersikap kurang apresiatif terhadap pemberian bantuan itu. Kepala sekolah asal Madiun itu mengimbau para pemberi bansos dari komunitas Buddha bahwa apabila memberi bantuan ke SD tidak perlu mengatasnamakan agama. Sikap semacam itu justru menyinggung perasaan para biksu, menurut Surono. “Saya paham, karena beliau masih baru di sana, dia mensinyalir adanya Buddhanisasi dengan pemberian bantuan sosial dari para jamaah Buddha yang menurutnya mengatasnamakan agama. Waktu itu disampaikan pas prosesi penyerahan ketika dia menyambut. Jangankan para biksu, saya pun yang beragama Islam merasa tersinggung atas sikap Pak Narto itu. Padahal pemberian bansos itu biasa diselenggarakan tiap tahun dan tidak ada masalah,” jelas Surono. Narto mengakui hal tersebut sebagai sebuah kesalahpahaman. Itu terjadi bulan Maret 2017. Ia mulai bertugas di SD tersebut tahun 2016. “Memang saat itu ada misunderstanding, antara saya dengan pimpinan biksu Jatim itu. Bukan selisih mas, itu share/ tukar argumen. Biasa, saya KS

“Intinya semua agama sama-sama mengajarkan kebenaran. Semua agama membawa misi perdamaian dan perbaikan. Yang keras atau radikal itu oknumnya. Tidak penting agamanya apa, yang penting kita rukun,” Suwandi. 28

Majalah aL-Millah Edisi 34

Foto/ Doc. aL-Millah

Liputan


Liputan

• Suka cita warga Sodong saat berkumpul bersama (latihan karawitan)

Foto/Doc. aL-Millah

(kepala sekolah.red) baru," aku laki-laki yang sempat bertugas di SDN 3 Prajegan itu. Selisih paham itu akhirnya membuat Surono turun tangan untuk menengahi. Dengan saling meminta maaf, perselisihan atau konflik yang lebih besar dapat dihindari. Dua Hari Raya di 'Kampung Pluralis' Setiap agama mempunyai hari besar atau hari raya. Karena di Sodong terdapat dua komunitas penganut agama, maka setidaknya ada dua hari besar agama masing-masing namun dirayakan bersama, yaitu hari raya Idul Fitri dan Waisak. Uniknya, ketika umat Islam merayakan Idul Fitri dengan bersilaturahmi dan bermaaf-maafan ke rumah para tetangga berkeliling kampung, warga yang beragama Buddha juga membuka rumah mereka untuk mempersilahkan tetangga yang muslim bersilaturahmi. Mereka juga menyediakan makanan kecil di ruang tamu serta uang receh untuk diberikan kepada anak-

anak yang datang. Kebiasaan semacam ini juga berlaku sebaliknya saat umat Buddha merayakan Waisak. “Di sini ada dua hari raya, Idul Fitri dan Waisak. Dari dulu tradisi Idul Fitri ya silaturahmi ke rumah tetangga, menyiapkan jajan juga. Kita menganjurkan saat Idul Fitri semua yang Buddha harus libur di rumah, karena banyak muslim silaturahmi. Begitu juga sebaliknya,” terang Mulyono. Suwandi juga menanggapi tentang perayaan dua Hari Raya yang ada di Sodong. “Tentu saja lebih rame pas Idul Fitri mas, karena mayoritas,” tambahnya. Ketika waisak, masyarakat Sodong menyelenggarakan perayaan pentas kebersamaan di wihara. Ibu-ibu dan anak dari umat Islam banyak yang ikut andil dalam kepanitiaan untuk menyukseskan acara tersebut. Mereka membantu menyiapkan hidangan, menjadi penerima tamu dan lain sebagainya. Acara tersebut juga mendatangkan tokoh dari tiga agama yaitu Buddha, Islam dan Katolik serta tokoh-tokoh masyarakat dari luar desa

khusus

hingga luar kota Ponorogo. “Banyak warga Islam dan ibu-ibu yang diajak panitia persiapan perayaan hari raya waisak,” tutur istri Pak Suyud. Perbedaan agama bagi masyarakat dusun Sodong bukanlah sebuah masalah dan sumber perpecahan. Hal tersebut justru menjadi kearifan lokal serta kekayaan yang khas dari kampung kecil ini. Mengutip definisi agama dari mbah Saimin, bahwa agama adalah ageman (pakaian) yang berfungsi menutup badan (raga) lahiriyah semata. Jenis dan warna pakaian bisa bermacammacam tetapi fungsinya sama yaitu menutupi aurat. Ketika pakaian itu dilepas, rupa manusia tidak berbeda. Sama halnya dengan agama. “Ingkang penting urip meniko boten sah jenengne ras, suku, agama, bangsa nopo mawon sing penting urip rukun. Ras apapun Jawa, China, Londo, niku dulur kulo sedaya,” tegas laki-laki berambut putih itu. “Intinya semua agama sama-sama mengajarkan kebenaran. Semua agama membawa misi perdamaian dan perbaikan. Yang keras atau radikal itu oknumnya. Tidak penting agamanya apa, yang penting kita rukun,” pungkas Suwandi. M. Zaenal Abidin_Crew/23.14.136

Majalah aL-Millah Edisi 34

29


Khazanah

MEREDUKSI EGOISME KEBERAGAMAN DENGAN SPIRIT PLURALISME Perbedaan tentu menjadi sebuah keniscayaan di dunia ini, tak terkecuali soal agama. Agama di dunia sendiri sangatlah banyak dengan mengusung semangatnya masingmasing. Doktrin agama yang mengajarkan bahwa agamanya adalah agama yang paling benar secara absolut telah membawa umat beragama saling berperang antara satu sama lain hanya untuk memperjuangkan “kebenaran�, sehingga sikap menghargai perbedaan tidak pernah tercapai. Yang ada hanyalah pemaksaan kehendak dengan menyatakan, “Kebenaranku adalah yang paling benar dan kamu yang tidak sepaham denganku harus ikut dan mematuhi kebenaranku.� Semangat bahwa agamaku adalah agama paling benar telah membawa umat beragama untuk berjihad (penulis mengartikan sebagai sebuah upaya untuk menyelamatkan orang yang dianggap kafir supaya mau menjadi pengikut agamanya sehingga dia menjadi selamat, dan pada titik puncak ajakan itu lantas menjadi semangat untuk mati syahid sehingga mendapat kemuliaan). Meskipun si pembawa agama selalu menyampaikan bahwa

30

Majalah aL-Millah Edisi 34

agama sebagai jalan dan manusia bebas memilih jalan mana yang akan dia pilih, Muhammad sang pembawa agama Islam mengajarkan pada umatnya untuk berbuat baik pada umat lain hal ini tertera dalam Al-Quran surat al-Maidah ayat 48. Hal senada juga disampaikan oleh semua pembawa agama baik agama-agama langit maupun agama-agama dunia, tetapi setelah si pembawa agama ini wafat maka agama bukan menjadi alat untuk menuju kedamaian tapi malah menjadi klaim kebenaran yang menyengsarakan. Hingga pada masa ini masalah itu belum terselesaikan, malah menjadi semakin rumit. Ditambah dengan munculnya agamaagama baru yang juga mengklaim kebenarannya yang absolut. Dari masalah diatas lantas timbul beberapa pertanyaan, apakah memang agama itu diciptakan oleh Tuhan dengan rupa yang bermacam-macam? Sehingga perbedaan adalah hal biasa? Tapi kenapa agama malah menjadi alat untuk berperang? Mungkinkah agama-agama itu bisa memahami antara satu dengan yang lain? Jika mungkin, bagaimanakah caranya?.

PLURALISME, KOSMOPOLITANISME, DAN RELATIVISME Alwi Shihab dalam bukunya, Islam Inklusif menjelaskan bahwa permasalahan umat beragama dapat diselesaikan dengan dialog, sehingga dengan diadakannya dialog itu agamaagama dapat memahami antara satu dengan yang lain, dan pada titik puncaknya akan ditemukan satu inti kesamaan antaragama sehingga perjuangan agama akan menjadi satu, saling bergandengan tangan menuju satu titik. Istilah ini oleh Alwi dikatakan sebagai pluralisme. Tetapi sebelum adanya pluralisme perlu ditumbuhkan dulu sikap toleransi dalam diri masing-masing pelaku dialog antar agama, agar ego kebenaran adalah kebenaranku dapat ditekan lalu menumbuhkan sikap memahami satu sama lain. Konsep tentang pluralisme adalah solusi untuk menjawab pertanyaanpertanyaan di atas, pluralisme sendiri adalah suatu kerangka interaksi dimana setiap kelompok menampilkan rasa hormat dan toleran satu sama lain, berinteraksi tanpa konflik atau asimilasi. Dengan konsep ini maka akan timbul satu


Foto/Google.com

interaksi yang aktif dan bersifat positif sehingga nanti akan menumbuhkan sikap kerukunan antar umat beragama. Di dalam bukunya, Islam Inklusif, Alwi memaparkan bahwa arti pluralisme agama adalah bahwa tiap-tiap pemeluk agama dituntut bukan saja mengakui keberadaan dan hak agama lain, tapi terlibat dalam usaha memahami perbedaan dan persamaan guna tercapainya kerukunan, dalam kebhinekaan. Pluralisme tidak berbicara tentang kenyataan tentang adanya kemajemukan suatu daerah, tapi lebih dari itu; yakni ikut terlibat aktif terhadap kenyataan kemajemukan itu sehingga timbullah satu interaksi. Alwi menambahkan bahwa kita tidak bisa menyamakan arti pluralisme dengan kosmopolitanisme dan relativisme. Kosmopolitanisme sendiri adalah suatu kenyataan tentang adanya keanekaragaman dalam satu daerah, mereka dapat hidup berdampingan satu dengan yang lain. Contohnya di Jakarta, hampir seluruh suku, ras, agama dan budaya berada di dalam Jakarta, seolah keadaan semacam itu baik karena mereka sudah bisa hidup berdampingan. Namun itu masih belum cukup, sebab dalam kosmopolitanisme tidak ada interaksi positif dalam kemajemukan itu, juga tidak ada kondisi saling memahami antara satu dengan yang lain, jika ada dialog maka hanya sedikit sekali. Kosmopolitanisme akan rentan

sekali terhadap pertikaian, karena tidak adanya saling kepemahaman tadi. Sedangkan relativisme adalah sebuah pandangan bahwa hal-hal yang menyangkut kebenaran ditentukan oleh pandangan hidup serta kerangka berfikir seorang atau masyarakatnya. Misal kebenaran yang diyakini bangsa Eropa, bahwa Colombus adalah penemu benua Amerika. Kebenaran itu sama benarnya dengan pendapat pribumi Amerika yang mengatakan Colombus mencaplok Amerika. Akibat dari sikap ini adalah doktrin agama dianggap benar seluruhnya (bagi umat agama yang bersangkutan), kebenaran agamaku adalah kebenaran agamaku begitu pula sebaliknya. Sikap ini akan sulit menerima pluralisme agama karena seorang relativis tidak akan menerima pandangan kebenaran universal yang berlaku untuk semua umat beragama. PLURALISME UNTUK MENJAWAB PERMASALAHANPERMASALAHAN ANTAR UMAT

BERAGAMA DI INDONESIA Sebagai bangsa yang besar dan terdiri dari berbagai macam suku, ras, agama dan kebudayaan maka keragaman dan perbedaan tidak mungkin bisa dihindari oleh bangsa ini. Akan tetapi kita semua harus merasa beruntung karena para pendiri bangsa kita sudah menanamkan konsep pluralisme ini dalam diri bangsa ini, yakni dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Semangat bangsa Indonesia yang bersemboyan Bhinneka Tunggal Ika tidak akan tercapai jika ide atau konsep tentang pluralisme ini tidak dijalankan, sebab kebhinnekaan tanpa didasari pluralisme akan percuma. Pencapaian tujuan untuk berbangsa dan bernegara secara damai akan sulit tercapai, hal ini terjadi karena rasa Tunggal Ika-nya tidak ada, mereka berjalan sendirisendiri, tidak memahami saudara-saudara sebangsanya. Ber-pluralisme sama halnya kita ber-Bhinneka Tunggal ika, di dalam pluralisme kita akan menjumpai peran aktif pelakunya untuk memahami perbedaan dan menerima perbedaan itu. Majalah aL-Millah Edisi 34

31


Khazanah Untuk menerapkan konsep pluralisme di Indonesia, ada syarat yang harus dipenuhi; yakni si pengusung pluralisme harus mempunyai komitmen yang kokoh terhadap agamanya masing-masing. Dari komitmen tersebut si pengusung akan berusaha memahami lebih dulu agamanya secara mendalam sehingga benar-benar mengerti untuk apa dan mengapa agamanya ada. Kemudian si pengusung harus membuka dirinya untuk memahami agama lain, saling berdialog, saling belajar, dan menghormati

beragama, hal ini terjadi karena mulai runtuhnya pemahaman penduduk Indonesia dalam memahami sikap yang terkandung dalam Bhinneka Tunggal Ika. Dari hari kehari pemahaman Bhinneka Tunggal Ika semakin berkurang. Bhinneka Tunggal Ika tidak lagi dipahami sebagai sebuah sikap pluralisme, tapi dipahami hanya sekedar sebagai kosmopolitanisme dan relativisme. Mahasiswa sebagai agent of social control diharuskan mampu mengembalikan makna Bhinneka Tunggal Ika sebagaimana mestinya.

Bhinneka Tunggal Ika tidak lagi dipahami sebagai sebuah sikap pluralisme, tapi dipahami hanya sekedar sebagai kosmopolitanisme dan relativisme. agama mitra dialognya. Dari hal itu si pendialog dan mitranya akan mengetahui sisi mana saja yang sama dari agama mereka, jika ada perbedaan maka mereka akan mendialogkannya lagi sehingga nanti didapatkan titik temu walau mungkin tidak sama. PEMUDA SEBAGAI PEJUANG PLURALISME Tantangan bangsa Indonesia untuk tetap mempertahankan gelar kepluralisannya sangatlah besar. Baru-baru ini kita banyak mendengar kasuskasus pertikaian antar umat

32

Majalah aL-Millah Edisi 34

Seperti kata Soekarno yang hanya membutuhkan 10 pemuda untuk mengguncang dunia, pemuda saat ini harus sadar bahwa di pundak mereka terletak tanggung jawab menjadi pengontrol kondisi sosial. Untuk mencapai tujuan di atas maka mahasiswa harus paham dulu tentang agamanya dan juga tentang pluralisme, jangan sampai mahasiswa yang dikatakan sebagai individu intelektual dengan wawasan yang luas malah mengharamkan sikap pluralisme, atau jika sudah menerima pluralisme tapi masih menjunjung sikap ego untuk memaksakan

kebenaran individunya terhadap individu yang lain. Selain itu mahasiswa sebagai generasi muda, generasi yang akan memikul beban pemerintahan masa depan. Ada sebuah istilah mengungkapkan bahwa pemuda pada masa ini adalah cerminan masa depan bangsa. Sementara itu, negara Indonesia merupakan negara multikultur, yaitu negara yang memiliki keanekaragaman suku, ras, budaya, dan agama. Jika mahasiswa pada masa ini mampu menjadi pemuda yang senantiasa menghargai nilainilai perdamaian, mengadakan dialog-dialog antar agama, bersatu dalam perbedaan seperti yang tercermin dalam pedoman bangsa Indonesia, Bhineka Tunggal Ika maka masa depan Indonesia akan tetap terjaga perdamaiannya serta gelar bangsa yang pluralis akan tetap menempel pada bangsa ini. Tapi jika sebaliknya yang terjadi maka masa depan Indonesia akan suram dan gelar kepluralisannya akan hilang. Semoga mahasiswa dan pemuda di seluruh wilayah bangsa ini sadar, sehingga mereka mau menekuni kembali ajaran agamanya lalu belajar menjadi pluralis sehingga nanti bangsa ini akan tetap utuh dengan keragamannya. Jika tidak, sebagai makhluk beragama maka kita serahkan urusan ini pada Tuhan Yang Maha Esa. *** Assidi


budaya

Menyibak Tabir Kehidupan Warok Ponorogo Sosok warok Ponorogo sejak dahulu telah menjadi perbincangan karena sepak terjangnya. Penulis sejarah, Ong Hok Kham, menuliskan para warok pada era kolonial Belanda sebagai sosok yang disegani sekaligus ditakuti. Berbagai perlawanan terhadap Belanda di Ponorogo selalu dilekatkan pada sosok warok, seperti pemberontakan Kampak Patik di Pulung Ponorogo. Dalam cerita rakyat Ponorogo, keberanian Warok Martopuro yang melakukan amuk dan membunuh asisten residen Belanda Antoni Willem Viensen selalu menjadi buah bibir. Tak dipungkiri bahwa gambaran masyarakat saat ini ketika membayangkan warok banyak terbangun oleh pementasan reyog, dimana terdapat tarian warok di dalamnya. Barisan laki-laki berbadan gempal berhadapan, lalu dengan aba-aba diiringi tetabuhan rancak mulailah mereka memperlihatkan kanuragannya. Dari jurus pukulan, tendangan, dilanjutkan saling serang dengan jurus khas ala harimau. Tari Warok Ponorogo, demikianlah masyarakat saat ini mengenalnya. Adapun beberapa fakta menarik tentang warok yang diyakini masyarakat pada

umumnya. Pertama adalah penampilan fisik warok yang selalu digambarkan memakai pakaian serba hitam, berbadan gempal, memelihara jenggot panjang,sehingga melahirkan kesan sangar ketika melihatnya. Kedua tentang kehidupan warok yang identik dengan dunia kependekaran, olah kanuragan dan kesaktian. Predikat tersebut telah melekat dalam jiwa warok, sehingga dirinya dikenal sebagai sosok yang sakti mandraguna. Ketiga, adalah hubungan warok dengan gemblak, sosok remaja tampan yang menjadi tumpuan kasih sayang warok. Ketiga hal tersebut melahirkan sebuah dunia yang unik dan menarik untuk ditelusuri. Dalam kehidupan nyata, seperti apakah kehidupan para warok Ponorogo yang dikenal sebagai sosok jagoan dalam budaya Jawa saat ini? Bertemu Dengan Sesepuh Warok Pada era 90-an, dengan eksistensinya warok menjadi tokoh yang mulai memodifikasi kesenian reyog. Selain dengan tujuan untuk melestarikan reyog, kehadiran tokoh-tokoh warok dalam pertunjukan tersebut juga bertujuan untuk menambah kesan

seni dan menarik penonton. “Aslinya pada jaman dahulu tidak ada tarian warok dengan unsur gelutan (perkelahian) seperti dalam pementasan festival reyog Ponorogo. Tari Warok Ponorogo itu baru di rintis pada tahun 90an oleh beberapa sesepuh seniman dengan tujuan melengkapi unsur pertunjukan reyog agar lebih lengkap dan menarik sesuai kisah legenda kerajaan Bantarangin,� tutur Bikan Gondowiyono, salah satu sesepuh Warok Ponorogo asal Desa Plunturan Kec. Pulung Ponorogo. Laki-laki paruh baya yang akrab dengan sapaan Mbah Bikan ini menambahkan penjelasannya tentang tarian warok dalam seni reyog Ponorogo. “Tarian warok dimunculkan untuk menambah properti pentas reyog Ponorogo, itu sendiri agar menjadi sendratari yang berkesatuan lengkap sesuai legenda asalusul reyog Ponorogo,� terang Mbah Bikan. Warok juga ditampilkan sebagai gambaran karakter atau ciri khas dan jiwa masyarakat Ponorogo yang diwariskan para nenek moyang kepada generasi penerus. Penggambaran Warok dalam pertunjukan reyog adalah sebagai perwujudan masyarakat yang setia kepada Negara (KeraMajalah aL-Millah Edisi 34

33


• Warok dalam pentas seni reyog di era sekarang

Piwulang Sinandi Dalam Penadhon (Baju Adat) Warok Ponorogo Hal lain yang cukup menarik pada citra warok adalah ciri khas pakaiannya yang banyak dikenal saat ini ternyata berbeda dengan pakaian warok asli pada jaman dahulu. “Dahulu tidak ada strip merahnya, lalu celana juga tidak panjang tapi sampai pertengahan betis, usususus (kolor) tidak panjang menjulur tapi sedang,” ungkap Mbah Bikan. Busana warok ternyata penuh dengan piwulang sinandhi (ajaran tersamar). Busana yang dikenal dengan sebutan penadhon tersebut di dalamnya tersembunyi ajaran untuk melakukan segala sesuatu di dunia secara harmoni. Ajaran tersebut berkaitan dengan aktivitas warok sehari-hari, baik dalam hubungannya dengan sesama manusia, diri sendiri maupun Tuhan Yang Maha Esa. Konon, Warok jaman

34

Majalah aL-Millah Edisi 34

kuno memakai udheng gadhung, baju penadhon berbahan kain lasting (hitam sutera), dan celana hitam sampai atas mata kaki disertai tali usus pendek. Kaosnya kaos kimplong warna putih dan sabuknya sabuk othok. Bajunya hitam polos, berbeda dari baju warok yang digambarkan pada masa kini dengan tambahan warna merah. Warna hitam menggambarkan sebuah kekuatan dan hati orang itu sudah lerem (bisa mengendalikan diri). Jadi ketika sudah punya pedoman hidup bahwa jika menjadi hitam sudah tidak akan bisa jadi putih, seperti sebuah jiwa. Sedangkan lambang kesucian budi, ilmu, dan tingkah berupa ikat pinggang– usus-usus (kolor)–yang berwarna putih, panjang, dengan ujungnya terurai. ”Artinya kolor diklewerne tali loro neng weteng, ibarate manungsa urip kudu gondelan tali loro yaiku gondelan hukum agama lan hukum Negara (artinya tali kolor diikat dua di perut, ibaratnya manusia hidup memiliki dua pegangan, yaitu hukum agama dan hukum Negara),” terang mbah Pur. Dari sini akhirnya, didapat pengertian

bahwa manusia itu perlu sekali dikuatkan dengan hukum agama dan negara yang mencakup kesucian budi, ilmu, dan tingkah laku. Baju warok dengan warna hitam dan merah juga memiliki tujuan makna yang sama. Warna merah menandakan bahwa hatinya telah berani. Artinya ia berani mengakui kesalahannya. Warna hitam diartikan sebagai kekekalan adab atau jiwa dan hati seseorang yang tidak berubah-ubah. Selain itu warok juga memakai udheng yang diikat di bagian kepala seperti mengenakan peci. Udheng dari kata kerja mudheng atau mengerti de-ngan jelas, faham. Maksudnya agar manusia mempunyai pemikiran yang kukuh, mengerti dan memahami tujuan hidup dan kehidupan atau sangkan paraning dumadi. Menapak Jalan Warok Sebutan warok diperuntukkan bagi mereka yang mempunyai kelebihan ilmu seperti halnya wejangan-wejangan leluhur. Maka dari itu, warok bisa pula diartikan sebagai orang yang kebak

Foto/Google.com

jaan Bantarangin), sekaligus menjadi Penggawa yang selalu setia kepada pemimpin (Prabu Klono Sewandono).


budaya

Foto/ Doc. aL-Millah

kaweruh (serba tahu). Dan juga orang yang bisa mulang reh (bisa mengendalikan diri). Jadi warok disini memiliki arti yang sangat mendalam dan khusus. Hari Purnomo, salah satu pelaku seni Reyog yang beralamatkan di Jalan, Prajuritan Tambakbayan Ponorogo memberikan penjelasannya tentang warok. Laki-laki yang akrab dipanggil Mbah Pur ini juga mendapat julukan “Warok Gendheng” dalam dunia seniman. “Yen wis diarani warok iku paribasan udheng luput kemul salah. Wong luput kok dingge kemul kui tegese wani ngakoni lupute. Wong sing wis wani ngrumangsani dan ngakoni kesalahane. Lemes kenek dingge tali, kaku kenek dingge pikulan. (Kalau sudah disebut warok itu ibaratnya sudah faham dengan kekurangan dan

berselimut kesalahan. Kesalahan kok dijadikan selimut, itu maksudnya berani mengakui jika berbuat salah. Seorang warok adalah yang berani mawas diri dan mengakui kesalahan. Ibarat saat lemas bisa dijadikan tali, saat keras bisa dijadikan pemikul. Artinya saat lembut bisa dijadikan pengikat dan pemersatu, saat keluar sifat keras ibarat pemikul yang kuat menahan beban berat, tegas dan tak mengenal takut),” jelas Mbah Pur. Warok merupakan seorang sesepuh atau pimpinan yang dituakan oleh lingkungan masyarakat sekitar. Ia mempunyai karakter melebihi dari orang-orang pada umumnya dan memberi teladan bagi orang-orang di sekitarnya. Warok disebut sebagai orangorang yang memiliki kesaktian, ilmu kasepuhan, ilmu-ilmu kaweruh, tentang jati diri manusia. Sudah menjadi sebuah ciri khas bahwa warok bersuara keras, ketika mereka berbicara tanpa basa-basi. Warok juga tidak suka menyembunyikan masalah, menunda-nunda masalah, jadi menurut mereka suatu masalah haruslah diselesaikan saat itu juga apapun resikonya. Singkatnya menjadi Warok tidaklah mudah, harus mempunyai kesaktian yang di-

• Mbah Pur (salah satu sesepuh warok ponorogo) memakai udheng dan sabuk othok

peroleh dari pusaka ataupun pada saat menuntut ilmu kanuragan dan kebatinan. Ilmu kanuragan itu diperlukan sebagai bentuk pertahanan fisik terhadap ancaman atau bahaya dari luar diri warok. Karena Warok itu diibaratkan prajurit yang kapanpun dan dimanapun terjadi peperangan di daerahnya, Warok harus selalu siap untuk berjuang menjaga daerahnya dan harus selalu siap untuk menerima tantangan. Warok juga harus menguasai apa yang disebut Reh Kamusankan Sejati yang artinya jalan kemanusiaan sejati. Perjalanan Spiritual Warok Warok adalah seorang tokoh yang belajar tanpa buku. Sebab tidak dapat dipungkiri bahwa dari zamannya warok era dahulu hingga sekarang tidak ada buku yang menjadi pedoman seseorang sampai ia dapat menjadi warok. Kesimpulannya warok tidaklah berguru kepada buku akan tetapi ia berguru kepada wejangan-wejangan dari tokoh warok lainnya ataupun ilmu-ilmu kebajikan yang lain. Wejangan inilah yang dianggap sangat berharga oleh para warok. “Lha lek ngilmu warok ke susahe opo? Susahe ora enek bukune,akhire lek wis dadi warok dadine bedo-bedo. Yen mung belajar kanuragan olehe yo mung kanuragan kui. Lek belajar ngilmu mulang reh yo bakal biso noto ati. Intine wejangan sing larang regane. (Lha ilmu warok itu susahnya apa? Susahnya ilmu warok tidak Majalah aL-Millah Edisi 34

35


W budaya

“Wayae macul yo macul, mulane warok kui nek wis diarani warok tenanan iku wis jembar manah. Antarane wong rakyat karo wong pangkat kui kanggone warok ora enek bedane, kabeh kui podo, warok lungguh yo podo podo neng ngisore, dadi nganggep sakabehing makhluk kui podo ora nek bedane.” Hari Purnomo

ada bukunya, maka akhirnya kalau sudah jadi warok akan berbeda-beda karakternya. Kalau ia belajar ilmu kanuragan saja ya dapatnya ilmu kanuragan itu, tapi kalau belajar ilmu tuntunan jiwa mulia maka akan bisa menata hati, intinya nasehat yang mahal harganya),” tutur Mbah Pur. Hubungan Warok dengan Gemblak Pada era warok zaman dahulu, mendekati perempuan adalah salah satu pantangan dalam menuntut ilmu. Maka untuk melampiaskan kasih sayangnya, si warok biasanya mengasuh gemblak sampai warok berhasil menuntut ilmu dan menjadi warok sejati. Telah menjadi adat orang Ponorogo apabila sudah punya gemblak maka semakin besar namanya. Gemblak diwujudkan sebagai anak laki-laki yang diperlakukan sebagai anak sendiri (anak asuh), disekolahkan dan dirawat. Selama menjadi gemblak, anak laki-laki tersebut dididik untuk dijadikan jathil. Karena perubahan jaman, gemblak sudah tidak ada lagi. Maka jathil pun saat ini menjadi pere-mpuan. “Jadi pantangan warok selama menempuh

36

Majalah aL-Millah Edisi 34

pendidikan kepada gurunya itu bentuknya adalah menjauhi wanita. Untuk gantinya mencari gemblakan dan disuruh jathil,” Terang Mbah Bikan. Berbeda dengan bergurunya warok era sekarang, jika dahulu warok memiliki gemblak sebagai pengganti wanita dalam membantu keperluannya maka sekarang istilah gemblak beralih menjadi anak asuh. Gemblak tidak hanya disekolahkan dan dirawat, akan tetapi juga diajari sopan santun, menari dan berlatih kesenian Reyog. Gemblak bisa juga didefisinikan sebagai sebutan yang ditujukan dari seorang guru kepada cantriknya (muridnya). Seumpama seorang kyai adalah kepada santrinya. Seperti halnya seorang kyai yang memiliki santri untuk tinggal di rumahnya dan membantu pekerjaan rumah. Begitupula gemblak bagi seorang warok. Biasanya karena sifat penurutnya, maka gemblak terlihat seperti telah menjadi anak angkat.

pada umumnya. Warok juga memiliki tanggung jawab keluarga yang juga mengharuskan mereka untuk bekerja dan mencukupi nafkah keluarganya. Karena warok tidak berpangkat, maka tidaklah seperti pejabat dengan rakyat, akan tetapi sejajar, sama-sama rakyat. “Wayae macul yo macul, mulane warok kui nek wis diarani warok tenanan iku wis jembar manah. Antarane wong rakyat karo wong pangkat kui kanggone warok ora enek bedane, kabeh kui podo, warok lungguh yo podo podo neng ngisore, dadi nganggep sakabehing makhluk kui podo ora nek bedane. (Waktunya mencangkul ya mencangkul, maka warok jika sudah disebut warok sejati itu yang berhati lapang. Antara rakyat dan orang berpangkat bagi warok tidak ada bedanya, semua dianggap sederajat, jika duduk ya dibawah, jadi segenap makhluk itu dianggap sama tidak berbeda),” tambah Mbah Pur.

Warok Dalam Kehidupan Sehari- hari Keseharian tokoh warok tidaklah berbeda dengan keseharian masyarakat

Rina Puji Rahayu_Crew/24.15.152


kolom

MEMBINCANG ARGUMEN BERNEGARA dalam KONTEKS BERISLAM INDONESIA Para penggagas ide didirikannya kembali “khilafah Islamiah” sebenarnya bertujuan untuk mendakwahkan penerapan syari’at Islam di muka bumi ini. Agar dakwah mulia itu berjalan sesuai yang dicitacitakan, mereka menilai harus ada lembaga penyangganya, yakni Negara. Tentu saja tidak sembarang Negara boleh didirikan untuk tujuan mulia itu. Negara yang mereka maksud adalah yang berbasis Islam. Maka muncullah ide Khilafah Islamiah yang juga populer dengan sebutan Negara Islam. Mendirikan khilafah Islamiah atau Negara Islam dengan tujuan untuk mendakwahkan syariat Islam sebenarnya sangat mulia. Sebagai umat Islam, kita seharusnya mendukung citacita itu. Namun tujuan mulia itu tidak dengan sendirinya berjalan secara mulia jika tidak didasari pemahaman yang tepat mengenai hakikat syariat Islam dan kondisi Indonesia, tidak pula dilakukan dengan strategi yang baik. Jika tidak, yang terjadi malah pemaksaan paham keislaman yang berbau ideologis ke Indonesia yang

Oleh: Aksin Wijaya (Direktur Pascasarjana IAIN Ponorogo)

secara historis tidak mengenal nilai pentingnya khilafah Islamiah. Sebagai bentuk kritik terhadap gagasan mulia itu, makalah ini akan membahas persoalan “bernegara dalam Islam”. Untuk itu, akan dibahas dua aspek: aspek eksistensi dan esensinya. Eksistensi berkaitan dengan perjalanan eksistensial konsep bernegara dalam peradaban Islam, sedang esensi berkaitan dengan konsep negara dalam peradaban Islam. *** Pergumulan agama dan politik dalam peradaban Islam sebenarnya telah muncul sejak awal kehadirannya. Ketika pertama kali hadir ke dunia Arab, sudah muncul kesan bahwa agama yang dibawa Muhammad ini merupakan agama yang bergulat dengan politik. Ada banyak peristiwa sejarah yang menjadi pijakan dugaan itu, diantaranya kisah seorang pemuda bernama Afif al-Kindi. Suatu ketika Afif alKindi berkisah: “Saya adalah seorang pedagang yang datang ke Makkah pada musim haji, kemudian saya menemui Ibnu Abbas (paman Nabi). Ketika saya duduk di sampingnya,

tiba-tiba ada seorang pemuda keluar dan mengerjakan shalat menghadap Ka’bah, kemudian datang seorang perempuan dan shalat bersamanya, kemudian datang seorang pemuda juga shalat bersamanya. Lalu, saya bertanya kepada Ibnu Abbas: wahai Ibnu Abbas, agama apakah ini? Ibnu Abbas menjawab: yang ini (dia) adalah Muhammad Ibn Abdillah, anak saudaraku, yang mengaku sebagai utusan Allah, dan dia meyakini akan menghancurkan dua Negara adidaya (Romawi dan Persia). Yang ini adalah istrinya bernama Khadijah yang beriman kepadanya, dan yang ini adalah pemuda yang bernama Ali bin Abi Thalib juga beriman kepadanya. MasyaAllah, saya benar-benar tidak mengetahui agama seseorang seperti agama yang dilakukan tiga orang itu”. Kemudian Afif berkata, “semoga saya adalah yang ke empat”. Selain kisah penaklukan itu, sejarah juga memberikan bukti nyata bahwa Muhammad berhasil mendirikan sebuah “Negara Madinah”, yang dilanjutkan dengan berdirinya Khilafah di bawah kepemimpinan para Majalah aL-Millah Edisi 34

37


sahabatnya, yang dikenal dengan istilah khilafah alRasyidun, dan dilanjutkan dengan Daulah Umayyah dan Abbasiyah. Serentak dengan itu, ada beberapa term dalam alquran dan alhadits yang mengarah pada keterkaitan Islam dengan politik, seperti istilah Khalifah dan Ulil alAmri. Di dalam hadis muncul keharusan berbai’at kepada khalifah, dan pernyataan bahwa setiap kita adalah pemimpin (ra’in). Kisah historis dan peristiwa politik dalam peradaban Islam, serta term politik dalam sumber ajaran Islam itu telah meformat memori umat Islam betapa pentingnya politik dalam Islam. Namun pada masa-masa awal, Nabi dan para sahabat tidak pernah memperdebatkan label dan sifat yang berkaitan dengan politik, Negara ataupun pemerintahan. Yang ada kala itu hanya pembahasan mengenai tugas pemimpin yang sejatinya memberikan kemakmuran pada rakyatnya, dan tugas rakyat yang sejatinya membaiat dan taat kepada pemimpinnya. Di dalam Piagam Madinah juga tidak disebutkan bentuk Negara. Yang ada hanya aturan-aturan bersama di antara komponen masyarakat Madinah untuk menjaga keamanan Madinah dari serbuan pihak luar. Begitu juga perdebatan yang terjadi di awal kekhalifahan. Mereka tidak meributkan persoalan sistem politik, bentuk Negara dan pemerintahan, melainkan pemimpinnya. Mereka menyatakan bahwa pemimpin itu harus dari golongan mereka.

38

Majalah aL-Millah Edisi 34

Perbincangan yang fokus pada konsep Islam mengenai sistem politik dan bentuk pemerintahan muncul belakangan pada Daulah Umayyah dan Daulah Abbasiyah, kendati keduanya berbeda dalam hal bentuk kreasinya. Jika pada dinasti Umayyah perdebatan masih sebatas wacana, pada dinasti Abbasiyah para pemikir sudah mulai menuangkannya dalam bentuk karya. Jika dilihat dari segi “wacananya”, pemikiran politik kala itu berkisar pada tiga hal: pertama, pemikiran politik seputar Khilafah dan Imamah, kedua, seputar etika kekusaan dan nasehat kekuasaan, dan ketiga, filsafat politik. Yang pertama muncul sejak terbunuhya Khalifah Utsman sampai kemenangan Muawiyah dan berubahnya khilafah pada kerajaan yang diwariskan. Masalah ini acapkali menjadi obyek bahasan ilmu kalam dan fiqh

dalam kurun waktu yang begitu panjang. Yang kedua muncul sejak kemenangan revolusi Abbasiyah dan mulai berkuasanya kalangan Persia dalam daulah. Yang ketiga, munculnya reaksi umat Islam terhadap etika kekuasaan yang berasal dari Persia. Ia diadopsi dari pemikiran filsafat Yunani. Sedang jika dilihat dari “model” pandangannya mengenai konsep Islam tentang sistem politik dan bentuk pemerintahan, para pemikir berbeda pendapat, tergantung pada relasi pemikir yang bersangkutan dengan kekuasaan yang berkuasa. Paling tidak ada tiga bentuk relasi yang umum berlaku: relasi pemikir (Ahli Hukum) dengan Daulah Umayah dan Daulah Abbasiyah; relasi pemikir dengan gerakangerakan oposisi, seperti Khawarij dan Syi’ih; dan relasi pemikir muslim dengan para pemikir idealis (filsuf) sebelum

iluss/Mofik

kolom


kolom Islam. Karena itu, muncul tiga model pandangan mengenai politik Islam: pertama, mereka yang terlibat langsung dalam pemerintahan sehingga pikiran-pikiran mereka lebih bersiat akomodatif, seperti Ibn Abi Rabi’ (w.227H/842M), al-Mawardi (364-450H/9751058M), dan Ibnu Khaldun (732H/1332M-808H/1406M); kedua, mereka yang berada di luar kekuasaan, tetapi masih sering berpartisipasi dalam bentuk kritik-kritik terhadap kekuasaan, seperti al-Ghazali (450-505H/1058-1111 M.), dan Ibnu Taimiyah (661728H); dan ketiga, mereka yang terlepas sama sekali dari konteks politik yang sedang berkuasa, sehingga pikiranpikiran mereka lebih bersifat spekulatif, seperti al-Farabi (257-339H/870-950M.

*** Namun jika diteliti secara mendalam, para pemikir itu sebenarnya tidak membahas secara khusus konsep Islam mengenai sistem politik atau bentuk pemerintahan. alGhazali misalnya membahas mengenai nasehat buat pemimpin, al-Mawardi membahas mekanisme memilih pemimpin, Ibnu Taimiyah membahas mengenai kemaslahatan umat yang sejatinya diberikan Negara, sedang alFarabi atau para filsuf yang sealiran dengannya, seperti Ibnu Sina, dan Ibnu Rusyd, membahas Negara dalam perspektif filsafat. Yang sedikit banyak membahas mengenai sistem politik dan bentuk Negara dalam Islam, yakni Khilafah Islamiah adalah Ibnu Khaldun.

Sedang pembahasan yang benar-benar menfokuskan diri pada konsep Islam mengenai sistem politik dan bentuk pemerintahan (Negara) muncul belakangan terutama sejak pembubaran khilafah Islamiyah oleh Kamal Attaturk, disusul kemudian oleh hadirnya pemikiran kontroversial Ali Abdurrazik yang menegaskan tidak adanya sistem pemerintahan yang definitif dalam Islam, melalui karyanya, Islam wa Ushul al-Hukmi. Karya ini seolah menjustifikasi pembubaran khilafah oleh Attaturk. Sejak peristiwa itu, muncullah perdebatan hangat di kalangan pemikir Muslim mengenai pandangan Islam tentang sisem politik dan bentuk pemerintahan, apakah Islam mempunyai konsep yang pasti mengenai sistem politik dan bentuk pemerintahan (Negara), ataukah tidak? Apakah keberadaan Negara dalam Islam bersifat syar’i, ataukah bersifat aqli? Apakah Islam dan Negara menyatu ataukah terpisah? Sebagian pemikir meyakini Islam mempunyai sistem politik dan bentuk pemerintahan tertentu, dan hal itu bersifat syar’i, sedang hubungan keduanya bersifat menyatu; sebagian lagi berpendapat tidak ada sistem politik dan bentuk pemerintahan tertentu dalam Islam, dan bentuk pemerintahan itu bersifat aqliah, sedang relasi agama (Islam) dan Negara bersifat terpisah. Kelompok pertama meyakini bahwa bentuk Majalah aL-Millah Edisi 34

39


Negara yang absah diterima secara syar’i adalah khilafah Islamiah atau Daulah Islamiah. Untuk memperkuat pilihannya itu, mereka mengacu pada definisi dan argumen Ibn Khaldun mengenai pengertian dan keabsahan khilafah Islamiah secara syar’i sebagai bentuk yang absah dalam Islam. Serentak dengan itu, mereka memunculkan jargon menyatunya agama dan Negara ”Islam adalah agama dan Negara”, yang dilontarkan Hasan al-Banna, pendiri Ikhwan al-Muslim, dan “Islam adalah aqidah dan nidham”, yang dilontarkan Taqiyuddin al-Nabhani pendiri Hizbut Tahrir. Sebaliknya, bagi kelompok kedua yang berfikir realistis berpendapat bahwa sistem politik dan bentuk pemerintahan apapun dapat diterima selama Islam sebagai agama masih diberi ruang untuk bereksistensi, entah itu khilafah Islamiah, maupun republik. Kelompok ini mengeluarkan jargon mengenai terpisahnya Islam dan Negara “Islam adalah risalah (agama)” oleh Ali Abdur Razik, “Islam adalah akidah dan syari’ah” oleh Mahmud Saltut, dan “Islam adalah Agama dan Umat”, oleh Jamal al-Banna”. Sementara itu, jika melihat “argumen normatif” konsep berkhilafah Islamiah (berdaulah Islamiah, atau bernegara Islamiah), di dalam alquran kita hanya menemukan tiga ayat yang menyebut kata “khilafah”, yakni: al-Baqarah: 30, Shad: 26, dan al-An’am: 165, dan hanya

40

Majalah aL-Millah Edisi 34

dua ayat yang menyebut istilah Daulah, yakni, al-Hasyr:7, dan al-Imran:140. Kedua istilah itu pun tidak mengacu pada system kenegaraan. Kata khalifah menurut kebanyakan mufassir tidak mengacu pada sistem pemerintahan khilafah sebagaimana yang diperjuangkan sebagian pemikir selama ini, begitu juga kata Daulah dan Nudawiluha. Karena itu, bisa dinyatakan bahwa Alquran sama sekali tidak menggunakan secara jelas kata-kata tertentu yang menunjuk pada bentuk pemerintahan atau negara. Sebaliknya, kata-kata yang menunjuk pada asosiasi atau komunitas yang popular di dalam Alquran adalah kata ummah, qaumiyah, sya’bun, dan syura. Begitu juga tidak ada kata tertentu di dalam Alquran yang menunjuk pada Muhammad sebagai raja, malik, dan hakim. Yang ada adalah Muhammad sebagai penyampai risalah. Di dalam hadits juga tidak ditemukan pernyataan tegas mengenai sistem politik ataupun bentuk Negara. Dilihat dari sejarah pemikiran politik dan dalildalil normatif di atas, maka bisa diterima ketika Jamal alBanna menilai pemerintahan zaman Nabi merupakan "eksperimen tunggal" bentuk pemerintahan ideal yang tak akan pernah terjadi lagi dalam sejarah. Persoalan bentuk negara adalah persoalan ijtihad akal, dan mengikuti kebutuhan realitas zaman. *** Bagaimana sejatinya mendakwahkan Islam di

Indonesia? Ada dua pemahaman dan strategi dakwah Islam di Indonesia, khususnya sejak abad 19-sekarang: yakni pemahaman yang bertujuan purifikasi, namun didakwahkan dengan cara kekerasan; dan ada pula pemahaman akomodatif, dan dilakukan dengan cara kompromistis. Kelompok pertama dimotori para pemikir yang mengusung ide pembaharuan Islam seperti Kaum Padri dan HTI, sedang kelompok kedua dimotori para pemikir yang mengusung ide tradisionalis Islam, seperti NU. Islam purifikatif kaum Padri berkiblat pada Islam Wahhabi yang dibawa Haji Miskin dari

iluss/Chandra

kolom


kolom

Makkah ke Minangkabau, Islam Tradisionalis dibawa K.H. Hasyim Asy’ari yang juga dibawanya dari Makkah, namun tidak membawa Islam Wahhabi. Yang dibawa tokoh kharismatik pendiri NU ini adalah Islam moderat model Sunni. Islam Padri bertujuan mendirikan lembaga yang berlogokan Islam, Islam tradisionalis meng-Islamkan orang tampa simbol Islam, bahkan acapkali menawarkan pemahaman yang berdialog dengan budaya lokal, seperti dilakukan Sunan Kalijaga. Islam akomodatif ala Sunan Kalijaga inilah yang kini dijalankan NU, sehinga menjadi Islam

mainstream, bukan hanya di Indonesia, tetapi juga di dunia. Dalam konteks ber-Islam di Indonesia, Islam yang dibawa NU dan didakwahkan dengan cara akomodatif ala Sunan Kalijaga ini oleh Gus Dur disebut Islam pribumi. Islam pribumi yang dimaksud adalah suatu upaya melakukan rekonsiliasi Islam dengan kekuatan-kekuatan budaya lokal, agar budaya lokal itu tidak hilang. Budaya lokal sebagai kekayaan budaya tidak boleh dihilangkan, demi kehadiran agama. Namun itu tidak berarti, pribumisasi Islam meninggalkan norma agama demi terjaganya budaya lokal, melainkan agar normanorma Islam itu menampung kebutuhan budaya, dengan mempergunakan peluang yang disediakan variasi pemahaman terhadap Nas. Juga bukan sebagai upaya mensubordinasikan Islam dengan budaya lokal, karena dalam pribumisasi Islam, Islam harus tetap pada sifat Islamnya. Tidak boleh budaya luar merubah sifat keasliannya. Yang dipribumisasi adalah dimensi budaya dari Islam yang terdapat di dalam Alquran. Dengan melihat kebutuhan konteks, maka kita bisa memilih dimensi apa yang relevan untuk konteks tertentu dan dimensi apa yang tidak relevan. Dalam konteks ini, Gus Dur, sang penggagas ide Islam Pribumi menjadikan kebangsaan dan kemanusiaan sebagai proyek perjuangannya. Islam tegasnya merupakan ajaran yang mementingkan

masyarakat kecil, yang oleh para ahli ushul dikenal dengan maslahah amah. Karena tindakan pemerintah dalam pandangan Islam harus bertolak pada kepentingan masyarakat atau rakyat secara keseluruhan. Dengan nalar Islam Pribumi seperti itu, maka di antara bentuk pembelaan Islam terhadap kepentingan rakyat adalah menolak formalisasi agama, atau yang kini dikenal dengan pendirian Negara Islam. Sebab, persoalan keharusan Indonesia menjadi Negara Islam ataukah Negara demokrasi, menurut Gus Dur, hanya bagian dari kerangka oprasional saja, bukan ajaran dasar. Pembahasan menyangkut persoalan itu, tentu saja harus berada di bawah kerangka nilai-nilai dasar pandangan dunia Islam. Selama Negara itu membantu memenuhi kemaslahatan manusia, maka Negara bentuk apapun tidak menjadi masalah, apakah Negara Islam ataukah Negara demokrasi. Namun karena Indonesia adalah “negerinya kaum muslim moderat”, maka Negara Islam tidak tepat diterapkan di Indonesia. Sikap itu, tegas Gus Dur, dicontohkan para pendahulu kita yang dengan tegas menghapus “tujuh kata” yang menunjuk pada formalisme Islam dalam Negara. Dan itu diputuskannya demi menjaga keutuhan bangsa Indonesia yang plural ini. Belum lagi kenyataan bahwa Alquran tidak pernah menegaskan bentuk Negara.

Majalah aL-Millah Edisi 34

41


Pluralisme Masyarakat Ponorogo Sebagai Kota Budaya Oleh: Abdul Muis, Ch. U.

Fakta yang dinash Tuhan dalam salah satu ayat Al-qur'an menyatakan: “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling takwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.� (QS Al-Hujurat: 13). Dari petikan ayat Alquran di atas bisa kita pahami bahwa kebhinekaan, atau dalam kata lain pluralisme adalah suatu keniscayaan yang mustahil dihindari. Sebenarnya Allah punya kemampuan untuk menciptakan makhluk dalam kesamaan atau seragam, akan tetapi Allah memilih untuk menciptakan makhluk dan manusia dalam keberagaman (plural). Istilah Pluralisme berasal dari kata plural atau jamak, yang berarti suatu keadaan atau sikap toleransi berbagai keragaman etnik dan kelompok-kelompok yang beraneka budaya dalam suatu wilayah atau negara. Manfaat pluralisme bagi keberagaman budaya sendiri tidak hanya bermakna sebagai suatu keadaan masyarakat yang beragam, akan

42

Majalah aL-Millah Edisi 34

tetapi juga dimaknai sebagai rasa toleransi yang ditimbulkan dari adanya keberagaman tersebut. Toleransi berarti menghargai setiap kepercayaan dan perilaku individu yakni sebagai sesuatu yang dianggap benar. Indonesia adalah negara yang masyarakatnya multikultural, yaitu setiap daerah memiliki ciri khas tersendiri yang berbeda dengan daerah lainnya. Kita semua mengetahui bahwa Indonesia adalah negara dengan berbagai keragaman suku bangsa dan budaya serta kepercayaan. Keberagaman ini dilihat dari banyak aspek mulai dari segi agama, latar belakang, suku, adat istiadat, sosial, budaya dan bahasa yang beragam bentuknya. Keragaman budaya juga menjadi salah satu penyebab terbesar yang seringkali memicu timbulnya konflik di Indonesia. Ini merupakan salah satu faktor yang menjadi pengahalang dalam suatu kelompok etnik, yang mana kelompok tersebut lalai dalam menghargai berbagai perbedaan yang ada. Hal ini juga dapat menimbulkan persaingan yang menganggap etnik sendiri adalah yang terbaik, sedangkan etnik lain dianggap buruk. Untuk menciptakan negara yang aman dan terhindar dari bentuk-bentuk konflik sosial, kita sangat membutuhkan adanya


kolom

Maka, sikap pluralisme harus dikenalkan dan dikembangkan sejak dini. Melalui apa? yakni melalui pendidikan pluralisme yang diadakan di sekolah-sekolah.

rasa toleransi tersebut. Bila masyarakat Indonesia tak sedikitpun memiliki rasa toleransi, maka sudah dipastikan negara akan menemui banyak masalah dan hambatan. Berkaca pada sejarah, sejak Indonesia merdeka, catatan konflik yang terjadi di berbagai daaerah sudah banyak terdengar. Konflik SARA adalah yang paling mendominasi. Seperti yang terjadi antara etnis Dayak dengan etnis Madura di daerah Kalimantan Tengah, konflik ini telah menewaskan setidaknya 315 orang dari etnis Madura. Hal ini berdampak pada berlanjutnya konflik yang lebih luas sampai ke daerah lain seperti Kuala Kapuas, Pangkalam Bun hingga Palangkaraya. Konflik ini setidaknya telah sedikit menciderai toleransi yang telah lama menjadi ciri khas Indonesia sebagai negeri plural. Dalam lingkup wilayah yang lebih kecil, salah satu wilayah yang setia menjunjung budaya lokal adalah Ponorogo. Secara umum mayoritas

penduduk Ponororogo cukup homogen. Hanya terdapat sebagian kecil kelompok minoritas baik dari suku, ras, budaya, bahasa dan agama. Berdasarkan data yang dikutip dari jatim. bps.go.id, dari segi agama, 98% masyarakat Ponorogo memeluk agama islam, 0.33% beragama Kristen, 0.14% beragama Katolik, 0.57% beragama Buddha, 0.16% beragama Hindu, Sedangkan Konghucu tidak tercatat. Penganut kepercayaan juga cukup besar di Ponorogo. Jumlahnya hampir mencapai 2% dari total penduduk yang ada. Ini membuktikan bahwa masyarakat Ponorogo yang dikenal sebagai kota budaya dan Kota Santri, mampu menjaga keragaman dan pluralisme di wilayahnya. Kedewasaan cara berfikir masyarakat sudah cukup baik dalam mengelola isu yang sering beredar. Perbedaan yang dibalut keragaman tersebut hampir tidak terlihat di permukaan sosial, namun bukan berarti

tidak terjadi gesekan SARA di Ponorogo. Karena pola pikir radikal dan fundamental akan selalu ada menghiasi pikirkan manusia di setiap kurunnya, walaupun dalam skala dan frekuensinya berbeda. Pada tahun 1989 pernah terjadi gesekan SARA di Ponorogo, yaitu isu pembakaran mukena (pakaian ibadah solat bagi perempuan muslimah) yang dilakukan oknum umat beragama lain. Didukung oleh sentimen keagamaan yang masih sangat kuat dengan julukan Ponorogo Kota Santri, ditambah kesenjangan ekonomi yang begitu jauh jaraknya, dalam kondisi politik yang sangatlah tertekan oleh orde baru yang cukup otoriter, maka isu tersebut sangat mudah membakar sisi kemanusiaan yang ada saat itu. Maka, sikap pluralisme harus dikenalkan dan dikembangkan sejak dini. Melalui apa? yakni melalui pendidikan pluralisme yang diadakan di sekolah-sekolah. Melalui pendidikan, kita dapat memberikan pengetahuan dengan cara yang terarah, terkonsep dan dapat diterima dengan baik oleh peserta didik. Konsepnya sangat sederhana yaitu pluralisme, sikap saling mengharagai dan menghormati perbedaanperbedaan yang dimiliki oleh orang lain. Kelompok Etnik Jawa Timur di Era Otonomi Derah Memperbincangkan kelompok etnik Jawa Timur pada era otonomi daerah Majalah aL-Millah Edisi 34

43


kolom menjadi topik yang sangat menarik. Hal ini dipicu dari beberapa faktor. Pertama, kita mengetahui bahwa Provinsi Jawa Timur adalah salah satu Provinsi di Indonesia yang memiliki keberagaman etnik dan budaya yang teramat banyak dan luas. Kedua, pada kenyataanya, etnik dan budaya yang sangat luas dan beragam ini menjadi dasar bentuk pembangunan yang penting. Ketiga, hanya beberapa kelompok etnik saja yang mempunyai kesetaraan akses dalam memproses aspek politik dan ekonomi daerah pada masa orde baru. Keempat, pandangan ahli yang berhasil dipatahkan mengenai penghapusan persoalan etnis melalui pembanguan kemajuan ekonomi dan sistem politik. Kelima, implikasi era otonomi daerah pada pengakuan negara terhadap contoh pluralisme dalam masyarakat dalam berbagai kebergaman etnik dan budaya. Sebagai masyarakat yang punya klaim berbudaya tinggi, masyarakat Ponorogo harus senantiasa rajin memelihara keharmonisan lingkungan bahkan dari mulai lingkungan terkecil, yaitu keluarga. Keluarga merupakan unsur terkecil dan terendah dalam memberi pemahaman pluralisme. Selain

itu, juga dapat menjauhkan keluarga dari pengaruh paham sektarian, radikalisme, serta memberikan pendidikan pemahaman toleransi atas keragaman yang ada. Memaknai Pentingnya Pendidikan Pluralisme Dampak postitif keberagaman budaya memang ada. Melalui pendidikan, mengajarkan makna pluralisme sangat mutlak untuk dibutuhkan. Merupakan suatu pendidikan yang berfungsi sebagai wadah yang melindungi dan menjaga pluralisme di Indonesia. Mulai dari suku, agama ras dan budaya, ikut memunculkan tata nilai, keterbukaan dan dialog bagi penerus bangsa khususnya anak muda. Pendidikan pluralisme dimaksudkan untuk meningkatkan pemahaman betapa kita sangat luas dan mampu menembus berbagai perbedaan etnis, budaya dan agama dengan tujuan ada rasa kemanusiaan yang muncul di sana. Merupakan pendidikan dasar kemanusiaan untuk membuka solidaritas seluruh warga negara. Para pendidik pun diharapkan dapat mendefinisikan dan menerangkan secara jelas mengenai sikap keberagaman dalam menghadapi

bermacam-macam perubahan yang mungkin saja terjadi. Pendidikan pluralisme diharuskan dapat memberikan respon cepat terhadap segala bentuk perkembangan atau tuntutan persamaan keadilan. Besar kecilnya percikan konflik tetap menghiasi panorama keragaman kita, namun kekuatan masyarakat dalam memegang asas kemanusiaan akan lebih unggul dalam pertarungan isu sosial. Dalam sejarah Ponorogo beberapa kali terjadi percikan kecil yang terpicu oleh perbedaan atau konflik kecil kelompok agama, perguruan silat, ras, atau yang lain. Namun seiring perkembangan sedikit demi sedikit pola berpikir masyarakat mampu terkikis oleh realitas kehidupan lain yang lebih penting untuk di lakukan. Kesadaran masyarakat tersebut tak lepas dari peran banyak pihak yang telah bekerja keras dalam menjaga kedamaian dan iklim toleransi. Terutama adalah para tokoh masyarakat dari simpul agama, kelompok masyarakat, penggiat budaya serta dukungan media yang dengan penuh kesabaran mendukung paham toleransi dalam keragaman.

Melalui pendidikan, mengajarkan makna pluralisme sangat mutlak untuk dibutuhkan. Merupakan suatu pendidikan yang berfungsi sebagai wadah yang melindungi dan menjaga pluralisme di Indonesia. 44

Majalah aL-Millah Edisi 34


Majalah aL-Millah Edisi 34

45


46

Majalah aL-Millah Edisi 34


Majalah aL-Millah Edisi 34

47


48

Majalah aL-Millah Edisi 34


kolom

Pluralitas, Pluralisme, dan Pluralisme Agama Oleh: Shohibul Fahmi (Mahasiswa Jurusan IAT angkatan 2014 IAIN Ponorogo)

Sudah semestinya dipahami bahwa negara kita (Indonesia) merupakan negara yang sangat indah dengan segala macam keragamannya. Berbagai macam suku, agama, ras, budaya membaur menjadi satu dalam sebuah kesatuan negara. Keindahannya terbingkai oleh banyaknya keberagaman yang ada. Semakin banyak perbedaan semakin indah nilai persatuannya ketika dapat dipahami dengan baik tentunya. Pluralitas (keberagaman) di Indonesia adalah berkah tak ternilai harganya dari Tuhan Yang Maha Kuasa. Namun sayang, banyak manusia yang sering salah memahami akan makna keberagaman tersebut. Terkadang manusia berpikiran sempit (miopik) dengan menganggap keberagaman sebagai pemicu kerusuhan dan pertikaian. Agama dan keberagamaan merupakan tolok ukur dan pintu gerbang (avant garde) menilai bagaimana pandangan pluralitas ditegakkan. Bagai-

mana individu dan kelompok tertentu memandang individu dan kelompok lainnya. Semangat dalam memahami keberagamaan yang cenderung memuja fundamentalisme menjadi akar masalah serius dan sering pluralitas berpeluang menjadi bencana daripada rahmat oleh sebagian orang.

Apa Apa

Itu Pluralitas?, Itu Pluralisme?

Banyak di antara kita kurang memahami kedua istilah antara pluralitas dan pluralisme. Tak sedikit yang menafsirkan arti keduanya dengan penafsiran yang berbeda-beda, sehingga pemahaman yang dihasilkan dalam memaknai pluralitas dan pluralisme akan berubah dari makna sesungguhnya. Maka perlunya dipahami lebih dalam apa itu pluralitas, dan apa itu pluralisme. Dengan tujuan pemahaman yang kita ketahui dapat memberikan pemahaman akan sikap kita dalam mengahadapi berbagai macam perbedaan. Di sini penulis sedikit akan memberikan gambaran tentang makna pluralitas dan pluralisme yang lebih dispesifikkan tentang masalah agama.

Sedikit mengutip pendapat Muhammad Yusri F. M tentang pengertian Pluralitas (plurality), yaitu sebuah konsep yang mengandaikan adanya ‘hal-hal yang lebih dari satu’ (many). Secara Umum Definisi pluralitas merupakan konsep keadaan yang lebih dari satu dengan harapan dapat menumbuhkan pemahaman untuk membangun saling pengertian agar dapat memperkokoh kebersamaan menghadapi kesatuan nasib manusia secara kolektif. Menurut Ahmad Suaedy (Direktur Eksekutif the Wahid Institute, Jakarta) mendefinisikan dalam dataran tertentu, Pluralitas adalah bentuk hubungan antar manusia. Hubungan itu tidak pernah ada dalam ruang kosong, melainkan senantiasa dipengaruhi konteks tempat dan waktu. Karenanya, arah pendulum ke kanan dan ke kiri hubungan itu akan selalu bisa diikuti perubahannya dari waktu ke waktu. Dari pendapat di atas sudah bisa dimengerti bahwasanya pluralitas merupakan sebuah keniscayaan bagi setiap kehidupan manusia. Lebih lagi indonesia, yang di dalamnya sudah jelas penuh dengan keberagamannnya. Maka dari situ hakikat pluralitas sebenarnya sudah ada di dalamnya. Hanya saja kita sering melupakan itu dengan lebih mengedepankan Majalah aL-Millah Edisi 34

49


kolom kepentingan-kepentingan setiap individu ataupun golongan. Sejauh pemahaman ini, tidak ada perdebatan yang panjang dalam memahami kata pluralitas, karena dalam pemahamannya kebanyakan orang sepakat bahwasanya pluralitas merupakan suatu keniscayaan dalam kehidupan manusia. Jika berbicara tentang pluralisme tentu akan berbeda lagi. Kata pluralisme yang mana dalam pemahamannya banyak perbedaan pendapat, mulai dari definisi, sejarah, sampai kepada pemahaman terkait pluralisme dalam konteks agama. Namun sebelum itu akan kita bahas dahulu tentang makna pluralisme. Pluralisme menurut pandangan Nurcholis Madjid adalah suatu landasan sikap positif untuk menerima kemajemukan semua hal dalam kehidupan sosial dan budaya, termasuk agama. Yang dimaksud dengan sikap positif adalah sikap aktif dan bijaksana. Pluralisme menurut rumusan Cak Nur (panggilan akrab Nurcholis Madjid) merupakan bagian dari sikap dasar dalam berislam, yaitu sikap terbuka untuk berdialog dan menerima perbedaan secara adil. Dengan keterbukaan dan sikap dialogis itu dimaksudkan agar kita memiliki etos membaca, membina, belajar,

dan selalu arif. Pandangan pluralis yang semacam ini tampaknya belum dipahami oleh masyarakat dan tokoh agama dengan baik. Masih banyak kalangan yang menyalahartikan makna pluralisme. Sebagian menganggap bahwa pluralisme adalah sikap atau gagasan yang meyakini kebenaran semua agama. Sehingga para pendukung gagasan pluralisme sering digolongkan dalam penganut relativisme agama. Bahkan tak jarang dari mereka yang dianggap sesat dan murtad. Sedangkan Alwi Shihab mempunyai pandangan tentang pluralisme yaitu: Pertama, pluralisme tidaklah semata-mata menunjuk pada kenyataan tentang adanya kemajemukan, namun keterlibatan secara aktif terhadap realitas majemuk tersebut. Hal ini akan melahirkan interaksi positif. Kedua, pluralisme bukan kosmopolitanisme karena kosmopolitanisme menunjuk pada suatu realitas dimana keanekaragaman agama, ras, bangsa, hidup berdampingan di suatu lokasi, namun interaksi positif yang berkembang di dalamnya sangat minim dan malah tidak ada sama sekali. Ketiga, pluralisme tidak sama dengan relativisme karena konsekuensi dari relativisme agama adalah munculnya doktrin bahwa semua agama

adalah sama, hanya didasari pada kebenaran agama walaupun berbeda-beda satu sama lain tetapi harus diterima. Seorang relativisme tidak mengenal adanya kebenaran universal yang ada pada agama. Keempat, pluralisme agama bukan singkritisme yakni untuk menciptakan agama baru dengan menggabungkan unsur-unsur tertentu dari beberapa agama menjadi satu integral dalam agama baru. Dari kedua pendapat di atas, dapat dipahami bahwa pluralisme berbeda dengan pluralitas. Pluralitas cukup dengan mengakui akan adanya kemajemukan, sedangkan pluralisme dituntut untuk berperan aktif dalam realitas kemajemukan tersebut. Dan dari pemahaman yang seperti ini, secara tidak langsung mendorong sikap seseorang untuk senantiasa aktif dalam menjaga ke-bhinekaan yang ada. Inilah yang menjadi subtansi daripada gagasan pluralisme yang tak jarang kebanyakan orang tidak mengetahuinya.

Pluralisme Agama

Kemudian dari pemahaman diatas, bisa kita tarik pengertian bahwa pluralisme agama merupakan sebuah sikap positif, dimana kita dituntut untuk berperan aktif dalam realitas kemajemukan, terkhusus dalam hal agama. Pluralisme agama tidak bisa dengan

Pluralisme menurut rumusan Cak Nur (panggilan akrab Nurcholis Madjid) merupakan bagian dari sikap dasar dalam berislam, yaitu sikap terbuka untuk berdialog dan menerima perbedaan secara adil.

50

Majalah aL-Millah Edisi 34


kolom mudah dipahami sebagai penyamaan semua agama, seperti yang diungkapkan Diana L. Eck bahwa pluralisme itu bukanlah sebuah paham bahwa agama itu semua sama. Menurutnya bahwa agamaagama itu tetap berbeda pada dataran simbol, namun pada dataran subtansi memang setara. Jadi yang membedakan agama-agama hanyalah (jalan) atau syariat. Sedangkan secara subtansial semuanya setara untuk menuju pada kebenaran yang transendental itu. Dewasa ini, banyak orang mengartikan sempit tentang gagasan pluralisme agama, sehingga yang muncul hanyalah perdebatan yang berkutat pada ranah teologisnya saja. Padahal ketika kita memahami lebih jauh bahwa gagasan pluralisme itu sendiri bisa ditinjau dari berbagai macam sudut pandang. Dan pemahaman akan pluralisme itu sendiri bisa kita artikan menjadi berbagai macam pengertian. Secara sederhana pluralisme dapat diartikan sebagai paham yang mentoleransi adanya keragaman pemikiran, peradaban, agama, dan budaya. Bukan hanya mentoleransi adanya keragaman pemahaman tersebut, tetapi bahkan mengakui kebenaran masing-masing pemahaman, setidaknya menurut logika para pengikutnya. Dalam pandangan Islam, sikap menghargai dan toleran

kepada pemeluk agama lain adalah mutlak untuk dijalankan, sebagai bagian dari keberagaman (pluralitas). Namun anggapan bahwa semua agama adalah sama (pluralisme) tidak diperkenankan, dengan kata lain tidak menganggap bahwa Tuhan yang kita sembah adalah Tuhan yang kalian sembah. Pluralitas dapat di golongkan pada dua peta pemikiran: pertama, pluralitas sosiologis yang mempunyai pengertian bahwa kehidupan sosial diatur menurut sudut pandang kelompok secara individual. Kedua, pluralitas filosofis adalah model pluralitas yang melihat setiap individu memiliki sudut pandang berbeda berkaitan agama dan makna kehidupan. Pluralisme memandang bahwa setiap orang punya manivestasi dalam memahami agamanya, sehingga tidak ada kebenaran yang mutlak (dalam tataran universal) karena kebenaran yang mutlak hanya bersumber pada Tuhan Yang Maha Esa. Pluralitas agama di sini adalah pluralitas filosofis. Pluralitas filosofis sebagai usaha untuk mencari kesamaan prinsip beragama. Dengan demikian makna pluralisme adalah suatu bentuk pluralitas agama yang memberikan ruang perbedaan dalam kesamaan dan ruang kesamaan dalam perbedaan, yaitu kesamaan dalam prinsip walaupun mungkin berbeda dalam tataran teoritis dan praktis.

Gagasan pluralisme agama sering menuai masalah, sehingga tak sedikit pro dan kontra terhadap gagasan tersebut. Karena kebanyakan orang hanya melihat dengan kacamata sebelah dari pada gagasan pluralisme itu sendiri. Mereka yang kontra lebih cenderung melihat dari sisi pemahaman teologisnya saja, tanpa menggunakan sudut pandang yang lain. Padahal gagasan pluralisme agama bisa kita tinjau dengan sudut pandang yang lain selain sisi teologisnya, yaitu dari sisi sosialnya. Karena sejatinya gagasan pluralisme itu sendiri terbagi menjadi dua; pluralisme teologis dan pluralisme sosial. Dan didalam sudut pandang pluralisme sosial inilah yang banyak orang tidak memahaminya. Dalam pluralisme sosial, maka terdapat pesan agama yang hakikatnya sama, yaitu pesan kemanusiaan. Semua agama mengajarkan tentang kemanusiaan, misalnya kasih sayang, persaudaraan, cinta kasih, tolong menolong dan sebagainya. Tidak ada satu pun agama yang mengajarkan agar merusak alam, merusak persaudaraan, mengembangkan konflik sosial dan sebagainya. Di dalam pluralisme sosial ini, maka seseorang akan mengakui keberadaan orang lain yang beragama lain, konsepsinya

Secara sederhana pluralisme dapat diartikan sebagai paham yang mentoleransi adanya keragaman pemikiran, peradaban, agama, dan budaya. Bukan hanya mentoleransi adanya keragaman Majalah aL-Millah Edisi 34

51


kolom

pluralisme agama tidak sekedar berbicara masalah penyamaan agama dalam sisi teologis, namun pluralisme disini lebih bisa kita pahami dan diterima dari sisi sosialnya. semua agama menjunjung tinggi kemanusiaan. Ketika kita memahami pluralisme agama, kita bisa meneladani sikap daripada salah satu guru besar bangsa kita, yaitu Gus Dur. Beliau merupakan salah satu pejuang pluralisme, yang dengan getolnya mencontohkan bagaimana sikap kita dalam menghadapi keberagamaan yang ada, terlebih masalah keberagamaan agama yang ada di negara kita. Menurut Gus Dur, agama, selain memiliki dimensi keimanan dan ketuhanan yang sakral dan mutlak, juga memiliki dimensi kebudayaan/ kultural yang melahirkan berbagai simbol dan ritus. Sebagai sistem keyakinan yang memuat dimensi ketuhahanan, agama merupakan faktor tunggal yang menyatukan umat pemeluknya dalam satu dogma yang mutlak kebenarannya. Namun sebagai dimensi budaya, agama memiliki derajat pluralitas yang cukup tinggi. Dimensi budaya ini bisa dipahami sebagai upaya penerjemahan nilai-nilai dan ajaran agama yang ada dimensi keyakinan. Sehingga dari situ akan menemukan nilai-nilai universal daripada ajaran agama, yang mana nilai universal tersebut bisa dirasakan tak hanya oleh pemeluknya, melainkan orang lain di luar agama tersebut. Pluralisme telah dicontohkan oleh Rasullah Shallahu 'alaihi wa sallam, baik dalam

52

Majalah aL-Millah Edisi 34

tuturan maupun tindakan yang patut kita teladani. Ajaran beliau berorientasi kepada usaha persatuan kemanusiaan, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa ta’ala yang artinya: “Wahai seluruh manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu (berasal) dari seorang lelaki dan seorang perempuan, dan Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling kenal mengenal (bantu membantu). Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah yang paling bertakwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal". Alquran menjelaskan bahwa kita diciptakan berbangsa-bangsa dan bersukusuku supaya saling mengenal karena sesungguhnya yang paling mulia diantara kamu adalah orang yang bertakwa. Menurut Gus Dur kalau ada orang yang tidak mengerti orang lain berarti dia tidak mengerti Islam. Menurutnya dalam hal ini harus ada ketulusan. Ketulusan untuk menghormati dan mengakui hak-hak orang lain dalam mencapai kebenaran dengan cara yang sudah diyakininya. Kemudian pengakuan Alquran terhadap pluralisme dipertegas lagi dalam khutbah perpisahan Nabi Muhammad. Sebagaimana dikutip oleh Fazlur Rahman, ketika Nabi menyatakan

bahwa “Kamu semua adalah keturunan Adam, tidak ada kelebihan orang Arab terhadap orang lain, tidak pula orang selain Arab terhadap orang Arab, tidak pula manusia yang berkulit putih terhadap orang yang berkulit hitam, dan tidak pula orang yang hitam terhadap yang putih kecuali karena kebajikannya.� Khutbah tersebut menggambarkan tentang persamaan derajat umat manusia di hadapan Tuhan, tidak ada perbedaan orang Arab dan non Arab, yang membedakan hanya tingkat ketakwaan. Dari penjelasan tersebut dapat dipahami bahwa pluralisme agama tidak sekedar berbicara masalah penyamaan agama dalam sisi teologis, namun pluralisme disini lebih bisa kita pahami dan diterima dari sisi sosialnya. Karena bagaimanapun juga agama harus berbicara masalah sosial. Agama harus bisa menjawab permasalahan sosial yang kebanyakan dalam realitasnya disebabkan oleh diskriminasi yang terjadi antar golongan. Dalam hal ini agama harus berani berbicara lantang dalam membela kemanusiaan, dan salah satu dari pada pembelaan nilai kemanusiaan yaitu dibuktikan dengan bagaimana kita ikut berperan aktif dalam menghadapi kemajemukan.***


Kampusiana

SKRIPSI TERGANJAL TES IBADAH?

Melihat kesiapan implementasi tes ibadah sebagai prasyarat skripsi mahasiswa FEBI

Foto/ Doc. aL-Millah

“Saya pernah menerima beberapa keluhan tentang mahasiswa KPM (Kuliah Pengabdian Masyarakat). Ada yang disuruh ngaji gak bisa, ada yang gak mau ngimami sama sekali. Ada yang gak mau khotbah. Masyarakat itu gak minta yang muluk-muluk. Masa ngajarin iqro’ saja gak bisa?” sebut Luthfi Hadi

Aminuddin selaku Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam (FEBI). Pernyataan Luthfi ter-sebut sejalan dengan kebijakan FEBI yang tertuang dalam SK Dekan FEBI Nomor B-362/In.32.5/PP.00.9/11/2017. Kebijakan yang mengatur prasyarat pengajuan judul skripsi tersebut mengharuskan mahasiswa FEBI memiliki standar kecakapan dalam ibadah. Yaitu kemampuan membaca Alquran, ibadah mahdhah seperti thoharoh, shalat maktubah, sholat gerhana, merawat jenazah, hafalan surat pendek, dzikir, dan hafalan doa-doa harian. Begitu juga dengan kecakapan menjadi Master of Ceremony (MC), kultum dan khotbah Jumat (bagi laki-laki). Hal ini mendapat tanggapan beragam dari mahasiswa FEBI khususnya angkatan 2015. ada yang antusias dan menilai kebijakan ini baik untuk meningkatkan kualitas lulusan, serta ada yang

• Suasana tes baca Alquran

merasa terbebani lantaran kemampuan yang masih kurang terhadap materimateri yang diujikan, terlebih materi-materi tersebut sebagian besar belum mereka dapatkan selama di perkuliahan. Memikul Nama IAIN dan FEBI Menjadi mahasiswa Institut Agama Islam Negeri (IAIN) termasuk FEBI, memiliki sorotan berbeda dari masyarakat, karena terdapat kata “Islam” yang tersemat di pundaknya, sehingga dianggap sebagai mahasiswa yang menguasai segala perkara keagamaan dalam Islam, seperti mengaji, menjadi imam shalat, khotbah dan sebagainya. Hal tersebut diamini oleh Sofwatul Aini, ketua Laboratorium Keagamaan

FEBI, ia mnyebutkan bahwa kebijakan ini sudah sangat tepat untuk dilakukan. Karena masyarakat akan memandang mahasiswa IAIN lebih mumpuni dalam bidang agama tanpa menghiraukan pendidikan yang ditempuh sebelumnya.

“Dosen maupun mahasiswa perguruan tinggi Islam akan dianggap lebih paham agama dibanding perguruan tinggi umum,” jelasnya. Berkaitan dengan pemberlakuan aturan tes ibadah, Lutfi Hadi Aminuddin menyampaikan beberapa alasan munculnya kebijakan ini. Pertama, IAIN dan FEBI samasama membawa nama “Islam”, sehingga ketidakmampuan Majalah aL-Millah Edisi 34

53


Kampusiana dalam bidang keagamaan tidak bisa ditolerir. Kedua, background mahasiswa FEBI yang beragam, tidak semua pernah mendapatkan pendidikan agama. Ketiga, banyak ditemukan mahasiswa FEBI yang belum mampu membaca Alquran dengan baik. Terakhir, kebijakan ini adalah bentuk penjaminan mutu FEBI, dan bentuk pertanggungjawaban pihak kampus terhadap wali mahasiswa. Di sisi lain, Aji Damanhuri selaku Wakil Dekan Bagian Akademik FEBI menekankan untuk tidak terlalu mempermasalahkan kebijakan tes ibadah, karena aturan tersebut sudah pernah dilaksanakan di lingkungan IAIN Ponorogo yang sebelumnya bernama STAIN Ponorogo. Ia mengaku pernah menjadi penguji dalam rangkaian tes ibadah prasyarat skripsi sekitar tujuh tahun yang lalu. “Ini bukanlah hal

baru. Dulu di Syariah (Jurusan Syariah STAIN) sudah pernah ada,” terang Aji. Angkatan 2015 Sebagai Peserta Perdana Selasa, 21 November 2017, mahasiswa jurusan Ekonomi Syariah dan Perbankan Syariah semester 5 (angkatan 2015) dikumpulkan dalam agenda Tes Baca Alquran. Agenda tersebut berada di bawah tanggungjawab Laboratorium

Keagamaan FEBI yang baru dibentuk bersama SK Dekan FEBI Nomor B-362/In.32.5/ PP.00.9/11/2017. Pemilihan mahasiswa semester lima sebagai peserta mengingat belum ada mahasiswa semester tujuh di FEBI. “Kita mulai

dari semester ini angkatan 15, selanjutnya baru 16 dan 17,”

jelas Luthfi Hadi Aminuddin. Mahasiswa datang periodik perkelas untuk diuji bacaan Quran-nya menggunakan metode Ummi. Menurut Sofwatul Aini, pengujian dilakukan dengan membaca iqro’ dari jilid 1 hingga 6. Ia melanjutkan bahwa, mahasiswa yang sudah mampu membaca lancar hingga iqro’ 4 sudah dianggap lulus. “Lancar

sampai jilid 4 sudah kami anggap lulus,” terangnya.

Penguji dalam acara itu adalah 10 mahasiswa Ekonomi Syari'ah semester 3 yang telah sertifikasi ummi dan dipilih langsung oleh Dekan FEBI. Mahasiswa yang lolos akan mendapat sertifikat dari Lab. Keagamaan sebagai bukti kompetensi dalam membaca Alquran dan dapat digunakan untuk memenuhi salah satu syarat mengajukan judul skripsi. Sedangkan yang belum lulus akan menjalani masa martikulasi baca Alquran yang akan dibimbing oleh tim penguji TBQ. Kegiatan ini diikuti oleh 258 mahasiswa Ekonomi

Syariah dan Perbankan Syariah. Adapun hasil ujian menempatkan 94 mahasiswa lolos dan berhak mendapatkan sertifikat. Sementara, yang dinyatakan belum lulus dibagi menjadi dua, yakni belajar mandiri dan wajib matrikulasi. Bagi mahasiswa yang digolongkan untuk belajar mandiri, maka wajib mencari guru dan belajar secara mandiri. Sedangkan yang tergolong wajib matrikulasi akan menjalani matrikulasi yang dibimbing oleh tim Lembaga Studi Quran Lab. Keagamaan FEBI. Di samping itu, terkait materi selain membaca Alquran akan diserahkan pengujiannya kepada masingmasing Dosen Pembimbing Akademik (DPA). Seperti yang diungkapkan oleh Aji Damanhuri. “Untuk ibadah

mahdhah akan ditangani oleh DPA,” jelasnya. Tanpa Sosialisasi dan Minim Kompetensi Pengesahan SK terkait tes ibadah bagi mahasiswa FEBI ini disahkan tanggal 9 November dan Surat Edaran dikeluarkan hari berikutnya. Selang beberapa hari setelahnya, mahasiswa menerima undangan untuk melaksanakan Tes Baca Alquran tanpa ada sosialisasi. Hal tersebut disayangkankan oleh Ning Tyas, salah satu

Hal tersebut disayangkankan oleh Ning Tyas, salah satu mahasiswa Jurusan Ekonomi Syariah. Ia mempertanyakankan tidak adanya sosialisasi kepada mahasiswa dan merasa tes baca Alquran diterapkan terlalu terburu-buru. 54

Majalah aL-Millah Edisi 34


Kampusiana

Foto/ Doc. aL-Millah

• Suasana tes baca Alquran

mahasiswa Jurusan Ekonomi Syariah. Ia mempertanyakankan tidak adanya sosialisasi kepada mahasiswa dan merasa tes baca Alquran diterapkan terlalu terburu-buru. “Kenapa tidak ada sosialisasi sebelumnya?” tanyanya. Menanggapi terkait tidak adanya sosialisasi, Aji Damanhuri mengakui adanya kesalahan dalam penerapan kebijakan ini. Namun ia berdalih bahwa TBQ dimaksudkan untuk memetakan mahasiswa. “Mungkin kemarin terlalu semangat, jadi ada salah langkah. Harusnya rapat, sosialisasi, baru pengujian. Maksud TBQ kemarin adalah bentuk pemetaan mahasiswa,” kata Aji Damanhuri. Berdasarkan survei yang dilakukan oleh kru LPM aL-Millah terhadap mahasiswa FEBI semester 5 selaku peserta tes ibadah, menunjukkan bahwa masih ada mahasiswa yang mengaku kurang memiliki kemampuan terhadap materi-materi yang diujikan dalam tes. Seperti shalat gerhana 56,04%,

shalat istisqo’ 50,54%, memandikan, mengkafani dan menyolati jenazah 47,25%, dan menyampaikan kultum 46,15%. Data selanjutnya menyebutkan pengakuan mahasiswa terhadap kemampuan mereka dalam membaca Alquran dengan baik dan benar yaitu 70,32%, thoharah 49,45%, menjadi MC 46,15%, dan melafalkan bacaan shalat dengan baik 39,56%. Sedangkan sisanya menjawab kurang mampu dan standar. Berdasarkan data di atas, kekhawatiran Luthfi terkait keluhan masyarakat terhadap mahasiswa IAIN Ponorogo yang tidak bisa mengaji, mengimami shalat dan khotbah seperti yang terjadi ketika KPM memang beralasan. Terlebih angkatan 2015 akan menjadi periode pertama dari FEBI yang akan mengikuti KPM dan menjadi periode pertama yang akan menghadapi skripsi. Meskipun demikian, dalih tes ibadah sebagai bentuk penjaminan mutu

lulusan FEBI sebagaimana diuangkapkan Luthfi sebelumnya, hanya akan menimbulkan permasalahan baru jika tidak diimbangi dengan proses pembinaan dan pelatihan yang baik. Karena pada kenyataanya, saat ini materi-materi yang diujikan dalam tes tersebut tidak diajarkan kepada mahasiswa FEBI secara menyeluruh. Aji Damanhuri mengakui, materi yang diujikan memang tidak pernah diajarkan oleh kampus, terkecuali membaca Alquran metode Ummi, yang menurutnya sudah pernah dibuka pelatihannya. Ia juga menyampaikan, ada rencana untuk mengadakan pelatihan terkait materi yang diujikan.

“Saya inginnya juga ada

pelatihan untuk materi ujian. Apalagi jika ada anggarannya, sehingga pelatihan yang perlu alat peraga seperti memandikan jenazah bisa maksimal,” terang Aji. Di sisi lain terdapat kegelisahan mahasiswa yang belum memiliki kompetensi cukup untuk menghadapi tes ibadah. Terlebih hal tersebut berkaitan dengan skripsi sebagai salah satu bagian terpenting untuk menyelesaikan perkuliahan. Salah satu mahasiswa FEBI yang tidak mau disebutkan namanya, menjelaskan bahwa Majalah aL-Millah Edisi 34

55


Kampusiana

Respon Mahasiswa Semester 5 Febi Atas Kebijakan Ujian Ibadah 1

Menurut anda, bagaimana praktek thaharah yang anda laksanakan ? 34,04 %

2

27,47 %

Apakah anda mengetahui tata cara melaksanakan sholat dengan baik ?

40,65 %

47,25 %

38,46 %

46,15 %

30,07 %

1%

1%

5,49 %

%50,54

Standar

Kurang Mampu

Mampu

Abstain

Apakah anda keberatan dengan kebijakan tersebut ? 47,25 %

8

1%

Apakah anda mengetahui tata cara melaksanakan sholah istisqa ? 14,28 %

7

6,59 %

Mampukah anda menyampaikan kultum ? 13,18 %

6

39,56 %

Apakah anda mampu memandikan, mengkafani, dan menyolati jenazah ? 9,89 %

5

3,29 %

56,04 %

51,64 % 4

4,39 %

14,28 %

Apakah anda mengetahui tata cara melaksanakan shalat gerhana ? 12,08 %

3

49,45 %

51,64 %

1,09 %

Apakah kampus telah memfasilitasi berupa bimbingan materi ibadah yang diujikan sebelumnya ? 13,18 %

86,81 %

Iya

Tidak

Abstain

ÂŤHasil riset ini tidak dimaksudkan untuk mengeneralisasi pendapat mahasiswa FEBI. Riset hanya mencoba menunjukkan opini publik dari sebagian populasi mahasiswa semester 5 FEBI IAIN Ponorogo. Âť

56

Majalah aL-Millah Edisi 34


Kampusiana dirinya sebagai mahasiswa yang berlatarbelakang lulusan SMK, merasa kesulitan terhadap tes ibadah ini. “Kami

belum pernah belajar agama secara mendalam. Belum pernah menghafalkan surat pendek sebanyak itu, belum faham shalat-shalat yang diujikan itu”, keluhnya.

Lutfi Hadi Aminuddin menanggapi bahwa mahasiswa yang belum memenuhi standar hingga batas akhir akan ditelisik terlebih dahulu apa yang menjadi penyebabnya. Jika sudah ditemukan penyebabnya, akan dicarikan solusi dan jalan keluar. “Masalah mahasiswa pasti bervariasi, nanti kita petakan masalahnya, baru dicarikan solusinya”, kata Lutfi. Efektifitas Kebijakan Di samping alasan munculnya kebijakan tes ibadah sebagai respon dari keluhan masyarakat terhadap mahasiswa IAIN seperti yang diungkapkan Luthfi Hadi Aminuddin sebelumnya. Masih ditemui persoalan berkaitan materi tes yang tidak diajarkan oleh kampus maupun kompetensi mahasiswa terkait materimateri tersebut yang masih kurang. Lantas apakah kebijakan tersebut akan berlaku efektif? Soerjono Soekanto (1988) menjelaskan bahwa

hukum dapat dikatakan efektif jika terdapat dampak hukum yang positif, pada saat itu hukum mencapai sasarannya dalam membimbing ataupun merubah perilaku manusia sehingga menjadi perilaku hukum. Lukman Santoso, dosen hukum IAIN Ponorogo menyampaikan, setidaknya terdapat tiga aspek penilaian efektivitas suatu produk hukum, yakni proses penyusunan, sosialisasi aturan, dan implementasi. “Ada tiga

aspek efektivitas sebuah hukum atau kebijakan. Proses penyusunannya, sosialisasi aturan itu, dan implementasi,” terangnya.

Pertama, proses penyusunan kebijakan. Lukman menyebutkan bahwa penyusunan dapat dilihat dari subjek yang menyusun, langkah penyusunan yang dijalankan, dan faktor yang mendorong munculnya kebijakan ini. Ia menambahkan, Dekan dan jajarannya sudah merupakan pihak yang mempunyai wewenang untuk mengeluarakan kebijakan. Akan tetapi, Slamet Budi salah satu mahasiswa Perbankan Syariah semester lima menyanyangkan sikap dekanat yang sebelumnya tidak membicarakan hal tersebut dengan mahasiswa. “Kenapa tidak

dimusyawarahkan bersama? Sedangkan mahasiswa punya

HMJ (Himpunan Mahasiswa Jurusan), Sema-F (Senat Mahasiswa Fakultas), dan Dema-F (Dewan Mahasiswa Fakultas) yang bisa menjadi wakil,” ujar salah satu anggota

Sema FEBI ini. Menanggapi hal tersebut, Aji Damanhuri berdalih bahwa kebijakan sifatnya prerogatif dari Dekanat. Sehingga tidak perlu ada musyawarah ataupun minta pendapat kepada mahasiswa. Mahasiswa bisa menyalurkan aspirasinya, akan tetapi tidak bisa meminta kebijakan dicabut karena kebijakan dikeluarkan untuk peningkatan mutu mahasiswa dan FEBI, dan merupakan kurikulum tambahan mahasiswa FEBI. Kedua, proses sosialisasi. Menurut (Achmad Ali: 1998) proses sosialisasi hukum harus bertujuan bagaimana agar masyarakat mengetahui kehadiran suatu undang-undang atau peraturan, bagaimana agar warga masyarakat dapat mengetahui isi suatu undang-undang atau peraturan. Bagaimana agar warga masyarakat dapat menyesusaikan diri (pola pikir dan tingkah laku) dengan tujuan yang dikehendaki undang-undang atau peraturan tersebut. Tanpa sosialisasi, tentu muncul pertanyaan besar

“Kenapa tidak dimusyawarahkan bersama? Sedangkan mahasiswa punya HMJ (Himpunan Mahasiswa Jurusan), Sema-F (Senat Mahasiswa Fakultas), dan Dema-F (Dewan Mahasiswa Fakultas) yang bisa menjadi wakil”, Slamet Budi (mahasiswa Perbankan Syariah semester V)

Majalah aL-Millah Edisi 34

57


Kampusiana

• Peserta mengantri untuk dipanggil penguji

“Kalau untuk sosialisasi bisa dilakukan mau dirumuskan dalam waktu dekat atau jangka penjang, kembali pada fungsi kebijakan itu sendiri untuk apa,” ujarnya. Nur, salah satu mahasiswa FEBI mengapresiasi adanya kebijakan tes ibadah ini. Akan tetapi, ia juga mengharapkan adanya sosialisasi kepada mahasiswa terlebih dahulu.

Doc. aL-Millah

“Menurut saya kebijakan ini bagus, tapi lebih baik disosialisasikan terlebih dahulu pada mahasiswa,”

harap Nur. Jajaran Dekanat hanya menyosialisasikan programnya melalui surat edaran yang ditempel serta buku bimbingan FEBI yang baru. Di akhir lembar buku

58

Majalah aL-Millah Edisi 34

itu tergambar tabel setoran hafalan dan ujian ibadah yang harus diisi dengan tanda tangan DPA. Tidak bisa dipungkiri bahwa penerapan suatu kebijakan memerlukan kerjasama dari berbagai elemen di fakultas. Dekanat pun sudah mempunyai rencana untuk sosialiasasi, karena saat ini pihak dosen masih banyak yang belum mengetahui kebijakan baru ini. “Nanti akan diadakan

sosialisasi pada mahasiswa, dosen, dan semua pihak terkait,” pungkas Aji.

Tahap selanjutnya adalah implementasi. Penerapan kebijakan tes ibadah ini baru pada tahap ujian baca Alquran. Namun pelaksanaannya menuai beberapa persoalan berupa minimnya sosialisasi dan kompetensi mahasiswa terhadap materi tes ibadah, terlebih sebagian materimateri tersebut juga tidak diajarkan di kampus. Dalam hal ini Lukman Santoso mengatakan, komunikasi baik dapat menunjang maksimalnya implementasi kebijakan ini.

”Komunikasi antara Fakultas dengan mahasiswa mungkin perlu harus ditingkatkan lagi.

Baik melalui lembaga intra maupun melalui lembaga mahasiswa. Sebenarnya kaitannya dengan fungsi sosialiasi. Sehingga mahasiswa bisa paham dan sosialisasi bisa sampai pada mahasiswa dengan maksimal,” kata Lukman.

Disamping proses penyusunan, sosialisasi, dan implementasi kebijakan yang harus disiapkan dengan baik. Seyogyanya juga harus memperhatikan kesiapan dan kemampuan mahasiswa. Terlebih masih terdapat mahasiswa yang belum memiliki kompetensi cukup terhadap materimateri diujikan. Seperti yang diharapkan oleh salah satu mahasiswa FEBI yang tertulis dalam angket kritik dan saran yang disebarkan oleh kru LPM aL-Millah. ”Sebelum adanya

kebijakan skripsi seperti halnya yang telah tertera di surat edaran, sebaiknya ada pembelajaran. Karena perlu dipahami bahwa kompetensi semua mahasiswa berbeda,” tulisnya. Adzka Hanina A._ Crew/25.16.159

Foto/ Doc. aL-Millah

dari mahasiswa, mengapa kebijakan ini bisa muncul? Mahasiswa tidak akan mengetahui secara utuh tujuan kebijakan ada, dan sulit menyesuaikan diri dengan kebijakan yang ada. Pada akhirnya akan berdampak pada ketidakefektivan penerepan kebijakan baru ini. Menurut Lukman, sosialisasi dapat dilakukan kapanpun dan bagaimanapun.


SOSOK

SUWANDI: BERDERMA TANPA MEMANDANG AGAMA

Foto/ Doc. aL-Millah

Dusun Sodong merupakan perkampungan kecil yang tersembunyi di balik perbukitan ujung barat Kabupaten Ponorogo. Berbatasan langsung dengan Provinsi Jawa Tengah tepatnya Kabupaten Wonogiri, Sodong memiliki luas wilayah sekitar 95 hektar. Berjarak 20 km dari pusat kota, siapapun yang ingin kesana harus melewati jalan berkelok dengan tanjakan dan turunan khas daerah pegunungan. Mengapa tersembunyi? Karena kehidupan masyarakat

di sana masih jauh dari hiruk pikuk kehidupan kota yang penuh sesak dan mewah. Masyarakat Dusun Sodong Desa Gelangkulon Kecamatan Sampung, Kabupaten Ponorogo pernah mengalami masa-masa kelam dalam menjalani roda kehidupan. Tidak terpenuhinya kebutuhan ekonomi dan pendidikan merupakan masalah utama yang haus akan pemecahan. Namun, di balik semua itu Sodong juga memiliki satu keunikan, yakni terdapat perbedaan dua komunitas agama (Buddha dan

Islam) yang menyatu dalam kerukunan. Mengingat polemik tentang keberagaman yang sedang gencar-gencarnya melanda negeri kita, ternyata Indonesia masih mempunyai Sodong sebagai percontohan ‘kampung pluralis’. Di daerah pelosok tersebut, tinggallah seorang manusia berhati malaikat. Ia bukan politisi, perangkat desa ataupun seseorang yang memiliki pangkat kedudukan. Dia adalah Suwandi, tokoh agama Buddha yang akrab dipanggil Suwan oleh masyarakat setempat. Pria kelahiran 12 Januari 1974 ini merupakan anak bungsu dari tiga bersaudara. Sedangkan ayah Suwandi yang bernama Saimin merupakan tokoh agama Buddha (sesepuh) yang pertama kali memperkenalkan agama Buddha kepada masyarakat Sodong sebelum komunitas Islam berkembang. Suwandi telah lama dikenal sebagai pribadi yang dermawan, namun kedermawanannya terbilang lain dari yang lain. Suwandi dan keluarga besarnya merupakan pemeluk agama Buddha, akan tetapi ia tidak pernah sekalipun tebang pilih dalam bersikap derma kepada umat beragama lain yang membutuhkan uluran tanganMajalah aL-Millah Edisi 34

59


SOSOK nya. Bagaimanakah Suwandi bisa memiliki sifat derma yang demikian? Serta kedermawanan dalam hal apa saja yang pernah ia lakukan? Kaleidoskop Kehidupan Suwandi Selepas lulus dari bangku Sekolah Dasar (SD), Suwandi memutuskan untuk merantau ke Jakarta dan tinggal bersama saudaranya di sana. Berharap mendapat pendidikan yang layak, Suwandi melanjutkan perjuangannya menuntut ilmu di Jakarta, dengan pendidikan terakhir di SMA Dharma Bakti Jakarta. Tahun 1999 Suwandi menikah dengan Sukarti Sadhadevi, wanita pilihannya yang juga berasal dari Sodong. Lantas setelah menikah mereka tinggal bersama di Jakarta. Suwandi memilih bekerja untuk membiayai kuliah istrinya. Ia menjadi staf di salah satu perusahaan pariwisata di Jakarta, yaitu Ancol. Tahun 2000 Suwandi beserta sang istri kembali ke desa untuk melangsungkan persalinan anak pertamanya. Selepas satu bulan umur putra pertamanya, pasangan itu kem-

bali ke perantauan (Jakarta). Dengan gubuk sederhana yang disewa-nya, dia tidak hanya tinggal bertiga bersama istri dan anaknya. Suwandi menampung orang-orang yang dianggap “sampah kota”, seperti preman, pengamen, pemulung, pengemis bersama segala macam stigma negatif yang melekat pada diri mereka dengan latar belakang ras, suku, dan agama yang berbeda. Itu merupakan sebuah kegiatan yang notabene dihindari oleh orang-orang awam, justru dia dekati dan menganggap mereka seperti saudara. Rutinitas di kota yang dibilang monoton membuatnya jenuh, hingga tahun 2006 Suwandi bersama keluarga kecilnya memutuskan untuk pulang kampung dan menetap di desa. Menurut Suwandi, desa merupakan tempat mediasi yang paling nyaman, sehingga bisa menghindarkan dirinya dari hingar bingar iklim kehidupan kota. Keputusan Suwandi untuk pulang kampung menjadi pukulan tersendiri bagi orang-orang yang pernah dikasihaninya. Para preman

serta orang-orang ‘marjinal’ itu menangisi keputusannya dan menanyakan bagaimana nasib mereka setelah ditinggal pulang Suwandi beserta keluarga. Mereka bak anak ayam yang kehilangan induknya. Awal Episode Perjuangan Tahun 2006, dia mulai aktif dalam kegiatan sosial di lingkungannya. Mengingat sewaktu kuliah dia merupakan aktivis. Pergerakannya ia buktikan melalui aksi-aksi lapangan (demo) yang ia lakukan bersama rekan-rekan aktivis lainnya. Bahkan ia sudah terbiasa menjadi otak di balik aksi-aksi yang dilancarkan. Sehingga saat Suwandi merasa sudah ‘tenang’ hidup di desa ia masih kerap dihubungi rekan-rekannya untuk ikut serta di dalam aksi. Dikenal sebagai sosok yang supel serta ringan tangan, Suwandi biasa menjadi tempat curhat dan tujuan pertama saat warga mengalami masalah. Seperti peribahasa “hidup kayu berbuah, hidup manusia biar berjasa”, bagi Suwandi selagi masih hidup, ia akan terus

Foto/ Doc. aL-Millah

Suwandi (tengah) bersama crew aL-Millah

60

Majalah aL-Millah Edisi 34


Ilus/Abidin

SOSOK

berusaha melakukan hal-hal yang bermanfaat bagi dirinya sendiri dan juga untuk masyarakat utamanya. Namun Suwandi selalu berfikir bahwa dia bukanlah siapa-siapa, meskipun orang-orang sering berkeluh-kesah dan meminta bantuan kepadanya. Suwandi juga menjadi salah satu orang yang bersikeras menjaga pluralitas di Sodong yang sudah eksis sejak dahulu hingga sekarang. Selain sebagai tokoh agama Buddha, dulu dia juga sempat menjabat sebagai PNS. Posisi yang cukup disegani dalam struktur sosial masyarakat Sodong itu menjadi faktor yang memudahkan pergerakan Suwandi dalam menjaga keragaman. Namun dia tidak serta merta mementingkan kedudukan sebagai dasar untuk berbuat peduli pada keadaan masyarakat setempat. Semuanya ia lakukan semata-mata atas prinsip hidup bah-

wa ia harus bermanfaat bagi orang lain. Tidak berhenti sampai di situ, jiwa sosial Suwandi kian tumbuh ketika ia berjuang bersama komunitas peduli sosial yang baru. Kepedulian itu bermula dari informasi yang diperoleh Suwandi sewaktu masih tinggal di ibu kota. Hatinya tergugah oleh pemberitaan yang menyangkut kota kelahirannya, yaitu tentang beberapa wilayah di Ponorogo yang mendapat sebutan kampung idiot karena keterbatasan hidup masyarakat. Daerah pertama yang Suwandi singgahi bersama komunitasnya adalah Desa Sidoharjo Kecamatan Jambon. Selama tiga bulan di sana, ia bersama komunitasnya tidak hanya melakukan pendataan para warga yang menyandang keterbelakangan mental dan gizi buruk, tetapi juga melakukan aksi nyata berupa bakti sosial dan pelatihan-pelatihan membuat

karya. Daerah kedua yang ia tuju bersama komunitasnya ialah Desa Karangpatihan Kecamatan Balong yang juga dikenal sebagi kampung idiot. Namun penjajakan di sana hanya berlangsung selama lima hari, karena desa tersebut sudah mulai maju dan mengalami peberubahan cukup progresif berkat kegigihan kepala desa yang baru (Eko Mulyadi). Berkontribusi Tanpa Kompromi Tidak berhenti dengan aksinya tersebut, Suwandi merupakan orang yang dituakan (tetua) di Sodong, terutama bagi umat Buddha setempat. Dia terus mengupayakan kesejahteraan warga Sodong dengan mencari bantuan pembangunan jalan agar mempermudah aktivitas warga. Selain itu, Suwandi juga menjadi penggagas adanya bibit-bibit tanaman buah dan juga poMajalah aL-Millah Edisi 34

61


Sosok hon yang dapat menampung banyak air karena keadaan tanah di sana relatif kering. Tanaman-tanaman tersebut kemudian ditanam di pekarangan rumah-rumah warga serta di kebun-kebun dan hutan sekitar, dengan tujuan agar warga tidak kesulitan air lagi saat kemarau datang. Pengalaman menghadapi orang banyak dengan karakter yang berbeda-beda serta banyaknya jaringan yang dimiliki membuat hal tersebut bukanlah sesuatu yang sulit untuk dilakukan Suwandi. Selain itu, rasa kepedulian sosial pada diri Suwandi juga merambah hingga ke bidang pendidikan. Ia bersama istrinya berjuang mencarikan relasi serta beasiswa di kota-kota besar untuk anak-anak Sodong yang ingin meneruskan pendidikannya di jenjang yang lebih tinggi. Maka tidak heran saat berkunjung ke Sodong jarang ditemukan warganya yang berusia remaja. Mereka selepas lulus dari bangku SMP mulai merantau ke kota-kota yang sudah ada dalam daftar perjuangan Suwandi dan istri. Semua berkas persyaratan dan komunikasi dari pihak-pihak terkait ditangani sepenuhnya

oleh Suwandi dan istrinya. Kegigihan dan kearifan pada jiwa Suwandi rupanya terdengar hingga ke telinga orang-orang di luar dusun. Acap kali dia didatangi petinggi-petinggi pemerintahan yang meminta agar ia memobilisasi massa dalam berbagai pemilihan kepemimpinan. Dengan kejelian dan kebijaksanaannya dia menganggap bahwa kedatangan orang-orang tersebut tak lain hanyalah untuk silahturahmi. Lalu dengan caranya sendiri yang santun ia menolak tanpa menyakiti siapapun. Saat ini Suwandi berprofesi sebagai Penyuluh Agama Buddha dari Bimbingan Masyarakat Buddha Kantor Wilayah Kementrian Agama Provinsi Jawa Timur. Sedangkan Sukarti, istri Suwandi tetap dalam perjuangannya di Dunia pendidikan, yakni menjadi Dosen di Sekolah Tinggi Negeri Agama Buddha Raden Wijaya wonogiri. Dalam hidupnya, lagi-lagi Suwandi terus memegang prinsip bahwa hidup haruslah mampu memiliki manfaat bagi orang lain. Pun prinsip tersebut selalu ia tanamkan kepada anak-anaknya dan juga orangorang di sekitarnya. Di mana-

pun Suwandi berada, dia selalu menghadirkan ‘aura’ positif, sehingga tidak heran jika terdapat banyak orang dari berbagai kalangan yang menghormatinya. Sosok seperti Suwandi memang patut dijadikan teladan bagi siapapun, khususnya bagi kaum muda sebagai generasi penerus bangsa. Tanpa pamrih dan tidak mementingkan diri sendiri serta keluarga dalam membantu sesama manusia merupakan sikap dan jiwa kemanusiaan yang ironisnya saat ini sudah mulai jarang kita temui dalam diri manusia itu sendiri. Perbedaan juga bukan suatu halangan dan alasan untuk bersikap hangat, santun serta senantiasa berderma kepada dan untuk siapapun.

Nurul Fatimah_Crew/23.14.145

“Tidak penting apapun agama atau sukumu. Kalau kamu bisa melakukan sesuatu yang baik untuk semua orang, orang tidak pernah tanya apa agamamu.� (Gus Dur)

62

Majalah aL-Millah Edisi 34


ALAMKU

Sadranan: Antara Keindahan dan Jejak Tradisi Silam

Mendengar nama Sadranan, bagi yang mengenal tradisi Jawa pasti akan langsung mengidentikkan nama tersebut dengan sebuah tradisi lokal. Namun, belum banyak yang tahu bahwa saat ini nama Sadranan tengah menjadi salah satu destinasi wisata di Ponorogo. Kawasan pegunungan selatan Ponorogo dikenal memiliki berbagai spot keindahan alam yang menarik berupa air terjun, dan air Terjun Sadranan menjadi salah satu diantaranya. Sejenak flashback, booming trend wisata dan travelling sejak tahun 2015 yang mengangkat berbagai potensi wisata alam Ponorogo. Nampaknya spot di kecamatan Ngrayun seperti Gunung Tumpang, Watu Semaur, Air Terjun Sunggah dan Air Terjun Juranggandul lebih mendapat liputan luas media lokal maupun nasional. Meski bertetangga dekat, spot wisata di Slahung termasuk air terjun Sadranan

belum begitu dikenal publik. Fenomena ini menjadi suatu hal yang menarik untuk dikaji dari berbagai aspek, sebagai bentuk masukan demi pembangunan potensi Sadranan di masa depan. Langkah crew aLMillah kali ini selain mencoba mengeksplorasi keindahan Air Terjun Sadranan, juga mencoba menelusur jejak kepercayaan tradisional yang melahirkan nama Sadranan. Demi menjawab rasa penasaran akhirnya tim aL-Millah berangkat menuju lokasi wisata Air Terjun Sadranan. Perjalanan Menuju Air Terjun Sadranan Berbekal pengetahuan seadanya, dua crew aL-Millah menempuh perjalanan sekitar 20 menit dari kampus pusat menuju Desa Bedi Kulon, Bungkal, Ponorogo. Yakni di kediaman salah satu crew yang kebetulan jarak rumahnya tidak begitu jauh dari lokasi air terjun Sadranan. Kami

istirahat sejenak sebelum melanjutkan perjalanan. Usai bersiap-siap, kami kembali melanjutkan perjalanan menuju Dusun Tenun, Desa Broto, Kecamatan Slahung lokasi air tejun Sadranan berada. Kami menyusuri jalan raya melewati kawasan Slahung yang merupakan perbatasan antara Kabupaten Ponorogo dan Pacitan. Kami terus melaju hingga memasuki Desa Menggare. Sekitar 1 km dari Desa Menggare, kami menemukan plang bertuliskan Desa Broto di sebelah kiri jalan raya dari arah utara. Kami pun memasuki desa tersebut. Kami harus menempuh jarak sekitar 2 km dari jalan raya Slahung-Pacitan menuju lokasi. Di tengah perjalanan, kami harus berhenti beberapa kali untuk bertanya kepada warga sekitar tentang keberadaan air terjun Sadranan. Hal itu dikarenakan salah satu crew kami yang memberi rekomendasi tempat Majalah aL-Millah Edisi 34

63


wisata tersebut lupa jalan munuju lokasi. Kondisi jalan yang kami lalui tidak begitu ekstrim. Kondisi jalan datar tidak ada tanjakkan dan tikungan tajam seperti di daerah Pulung, Sooko, ataupun Ngrayun. Meskipun demikian, kondisi jalan sedikit rusak berlubang. Rumah-rumah sederhana warga sekitar air terjun turut menyaksikan perjalanan kami. Setelah melakukan perjalanan hampir 30 menit dari Desa Bedi Kulon, kami berhenti di salah satu rumah warga. Air terjun yang kami tuju hanya bisa diakses dengan jalan kaki. Kami memarkir motor di sana dengan merogoh kocek sebesar 2000 rupiah sebagai upahnya. Kami pun mulai berjalan menyusuri jalan setapak menuju air terjun. Jalan tanjakkan kami lalui dengan nafas terengahengah. Rasa lelah pun mulai datang menghampiri. Di tengah perjalanan kami menjumpai laki-laki berusia paruh baya sedang mencambuti rumput (matun) pengganggu tanaman padi di sawah. Kami pun bertanya lagi lokasi air terjun berada. Laki-laki tua itu mengatakan, “iku mbak luruso terus, dilit

neh kui. (itu mbak lurus terus, sebentar lagi itu),"

jawabnya. Mendengar jawaban tersebut, rasa penasaran kami semakin menjadi-jadi. Dengan penuh semangat, kami pun bergegas meneruskan perjalanan. Beberapa petak sawah berbentuk terasering menemani perjalanan kami. Hijaunya padi, menjadi

64

Majalah aL-Millah Edisi 34

pemandangan yang indah di sepanjang perjalanan. Dari jarak 10 meter, suara jatuhnya air sudah mulai terdengar di gendang telinga. Aliran airnya pun sudah mulai terlihat, membuat kami semakin tidak sabar untuk segera menikmati Air Terjun Sadranan. Dengan berani, kami melewati jalan licin yang di tumbuhi rumputrumput liar serta pepohonan yang rimbun. Meskipun pada awalnya kami sedikit khawatir akan keberadaan ular atau hewan buas lainnya yang hidup di rerimbunan. Namun, hal tersebut tidak membuat langkah kami terhenti. Akhirnya kami pun berhasil melewatinya dan sampailah kami di bawah Air Terjun Sadranan yang sejuk dan menyegarkan. Keindahan alam yang masih alami dibalut dengan suasana asri menambah keelokan Air Terjun Sadranan. Lempengan bebatuan menjadi surga tempat memanjakan mata para pengunjung yang tiba. Merdunya suara gemuruh tumpahan air mengingatkan kembali betapa agungnya kuasa sang Pencipta. Sungguh, air terjun Sadranan adalah surga dunia dari Tuhan yang indahnya tiada tara. Kami pun duduk di atas bebatuan berbentuk

lempengan dengan pemandangan utama berupa air terjun. Sejuknya percikan air terjun yang tertumpah tak jauh dari tempat duduk kami ini pun benar-benar kami rsakan. Rasa syukur berkalikali kami ucapkan kepada Sang Pencipta Alam. Perlahan rasa lelah pun menghilang bersama hembusan angin yang menyentuh kulit kami. Tidak lupa kami mengabadikan keindahan alam yang tercipta di Air Terjun Sadranan. Tumpahan air yang terbendung di bawah tebing rupanya cukup dalam, sehingga kami menyarankan untuk berhati-hati jika ingin bermain basah-basahan. Sayangnya kami tidak bisa menikmati air yang terbendung di bawah tebing tesebut. Selain cukup dalam, sebelumnya kami juga tidak membawa peralatan ganti. Tidak terasa satu jam lamanya

Foto/ Doc. aL-Millah

ALAMKU


ALAMKU

kami menikmati indahnya air terjun, sesaat sebelum akhirnya kami memutuskan untuk beranjak pulang. Asal-Muasal Nama Sadranan dan Dusun Tenun Setelah puas menikmati keindahan alam, crew aLMillah mencoba menggali asal-usul nama Sadranan yang menjadi daya tarik sebuah destinasi wisata. Kami menemui Jito selaku Bayan Desa Broto guna mencari informasi mengenai air terjun Sadranan. Sebagai Bayan atau pamong desa yang bertugas di bidang administrasi, ternyata laki-laki yang akrab dipanggil Pak Jito tersebut cukup mengetahui banyak tentang berbagai aspek seputar asal muasal nama Sadranan.

“Sepanjang yang kami ketahui, Sadranan berasal dari kata sudra dan nyadran. Sudra

adalah kelompok masyarakat bawah dalam kepercayaan Hindu, sedangkan nyadran artinya upacara adat sesuai kebiasaan nenek moyang. Dalam sistem kepercayaan masyarakat jaman dahulu, kegiatan nyadran dikaitkan dengan upacara meminta hujan saat kemarau panjang melanda. Warga yang mayoritas petani sangat mengharapkan turunya hujan agar segera dapat bercocok tanam. Dalam usaha memohon hujan warga melakukan ritual nyadran di kawasan air terjun yang terletak di dusun Tenun. Warga percaya dengan ritual upacara tersebut hujan akan segera turun. Tempat nyadran itu kemudian dinamakan Sadranan,� papar Jito memulai perbincangan. Sadran atau menyadran sendiri menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mempunyai arti mengunjungi makam atau tempat keramat pada bulan Ruwah untuk memberikan doa kepada leluhur (ayah, ibu, dan sebagainya) dengan membawa bunga atau sesajian. Akan tetapi makna tersebut berbeda dengan tradisi nyadran yang dilakukan warga Dusun Tenun, yakni sebuah tradisi meminta hujan

di bawah air terjun. Dengan begitu, air terjun tersebut kini lebih dikenal dengan nama Air Terjun Sadranan. Nyadran pada umumnya digelar seperti lazimnya kenduri, warga berkumpul di suatu tempat sambil membawa makanan. Setelah berkumpul kemudian doa-doa dipanjatkan dan makanan dihidangkan. Kenduri sendiri sudah ada sejak sebelum masuknya agama di Nusantara. Kenduri maupun nyadran adalah sebuah tradisi peninggalan nenek moyang. Pada zaman dahulu tradisi seperti nyadran ataupun kenduri merupakan hal biasa dilakukan oleh masyarakat. Seiring berkembangnya zaman tradisi nyadran untuk meminta hujan guna mengairi sawah sudah tidak dilakukan lagi oleh warga Dusun Tenun. Karena, zaman semakin maju, pengetahuan mengenai pengairan juga sudah semakin bertambah, serta pemahaman agama mulai merambah ke pemikiran mereka. Warga Dusun Tenun sudah mengenal sistem irigasi yang berguna untuk mengairi sawah mereka ketika musim tanam padi mulai bergulir. Sistem irigasi bersumber dari tempat mereka menggelar tradisi nyadran. Mereka membuat pipa guna menyalurkan air yang ada di tempat tersebut dan dialirkan ke petak-petak sawah mereka. Selain mendapat cerita mengenai Air Terjun Sadranan kami juga memperoleh cerita mengenai Dusun Tenun. Singkat cerita, masyarakat Dusun Tenun memiliki Majalah aL-Millah Edisi 34

65


ALAMKU

Kondisi Sadranan Saat Ini Air terjun Sadranan belum banyak dikenal masyarakat luas, bahkan menurut Jito penduduk asli Desa Broto sendiri ada yang belum pernah menikmati keindahannya. Hal ini dikarenakan air terjun masih sangat sederhana dan belum ada perhatian dari Pemerintah Desa (Pemdes). “Pemerintah desa berencana

akan mengelola air terjun Sadranan sehingga menjadi objek wisata yang mampu menarik perhatian masyarakat Ponorogo,” kata Jito. Air terjun Sadranan tidak hanya menebarkan keelokan dan kesejukannya saja, namun juga mitos yang menyatu dalam keyakinan masyarakat. Hal tersebut menjadi sebuah kepercayaan hingga menjadi tradisi warga sekitar. Sayangnya, air terjun ini hanya dapat dinikmati ketika musim hujan tiba. “Sekitar bulan tujuh sampai sebelas biasanya kering mbak, karna itu bulan-bulannya kemarau datang.” Ujar Jito. Selain menjadi Bayan, Jito juga menjadi salah satu orang yang masa kecilnya sering dihabiskan untuk bermain di air terjun tersebut.

Sekelumit Cerita Pengunjung Saat mengunjungi Air Terjun Sadranan, kami tidak menjumpai satu pun pengunjung di sana. Namun beberapa waktu kemudian, kami menjumpai salah satu akun di media sosial facebook yang meng-upload foto-foto bersama dengan spot Air Terjun Sadranan. Setelah kami telusuri ternyata mereka adalah mahasiswa IAIN

66

Majalah aL-Millah Edisi 34

Ponorogo. Mereka adalah Khoirun, Yuli, Erda, Arum dan Sriatin. Khoirun, mahasiswa jurusan PAI semester 8 mengatakan bahwa air tejun terlihat masih alami, namun jalan menuju lokasi masih kurang terawat. “Bagus kok

air terjunnya, masih alami dan menyatu dengan alam, cuma kurang terawat, tempatnya masih kotor, jalan menuju air terjun susah dan banyak rumput-rumput tinggi, serta ada pipa air yang bocor sehingga sebagian jalan becek. Kalau bukan orang sini mungkin tidak akan tahu arah ke-sananya,” ujar Khoirun. Sementara Yuli, mahasiswa Jurusan Komunikasi Penyiaran Islam (KPI) semester 3 ini mengaku sudah tiga kali mengunjungi air terjun Sadranan. Hawa sejuk yang dihadirkan Air Terjun Sadranan membuatnya merasa senang menikmati keindahan yang masih terlihat alami ini. “Sudah tiga kali

mbak. Untuk pertama kalinya ya seneng, soale seger. Tapi jalannya sempit dan licin, jadi harus hati-hati,” ujar Yuli.

Menurut Yuli, lokasi air terjun sempat rame pengunjung, banyak anak sekolah yang datang mengunjungi dan memanfaatkan bendungan berbentuk kolam di bawah tebing untuk berenang. “Dulu

sempat rame pengunjung, banyak anak sekolah yang datang, untuk sekedar berenang, tapi sekarang sepi,” tukas Yuli. Yuli menambahkan,

Foto/ Doc. aL-Millah

pekerjaan menenun. Karena di Dusun Tenun terdapat banyak tanaman kapas. Namun, sekarang tanaman kapas tersebut juga sudah tidak terdapat lagi di Dusun Tenun. Sehingga pekerjaan menenun tersebut kini tinggallah nama, yakni Dusun Tenun.


ALAMKU

bahwa air terjun Sadranan masih kurang sentuhan dari pemerintah desa setempat, sehingga msyarakat pun lebih memilih keluar daerah untuk sekedar memanjakan mata. Yuli juga menyarankan peran pemuda setempat untuk mempublikasikan wisata Air Terjun Sadranan melalui media sosial. “Lebih

Foto/ Doc. aL-Millah

diperhatikan aja mbak, kan di Ponorogo banyak tu wisatanya, salah satunya Sadranan. Karena, belum di perhatikan, akhirnya warga Ponorogo lebih memilih keluar daerah, untuk anak muda bisa memviralkan tempat tersebut,” tambah Yuli. Sentuhan perhatian pemerintah memang sangat dibutuhkan guna memajukan dan mengembangkan potensi alam yang dimiliki kota Reyog ini. Hal ini dilakukan agar masyarakat Ponorogo tidak harus keluar daerah untuk sekedar berwisata. Peran anak muda pun juga

diperlukan dalam hal ini. Melalui media sosial yang saat ini masih booming, mereka dapat memperkenalkan wisata-wisata lokal Ponorogo, khususnya Air Terjun Sadraran. Senada dengan Yuli, Erda yang merupakan penduduk asli Desa Broto ini merasakan hal yang sama mengenai air terjun tersebut. “Saya sudah empat

kali mbak ke sana, dan tidak ada perubahan apa-apa. Sebenarnya bagus, tapi sayang kurang perhatian,” tutur Erda. Khoirun kembali mengutarakan pendapatnya. Ia mengatakan bahwa salah satu keuntungan pemerintah desa jika air terjun Sadranan lebih diperhatikan, maka bisa menambah daftar destinasi wisata baru serta menambah kas desa. Kas desa dapat di pergunakan untuk memperbaiki akses jalan yang rusak menuju

air terjun. Lokasi yang tidak jauh dari jalan raya ini, juga dapat menjadi pertimbangan pemerintah untuk memperhatikan air terjun Sadranan. Serta dapat menambah daya tarik air terjun Sadranan untuk di kunjungi. “Jika dirawat akan

menambah daftar wisata baru di Ponorogo, serta dapat menambah kas desa guna memperbaiki desa juga, lokasi air terjun juga tidak jauh dari jalan raya,” ungkap Khoirun yang terakhir.

Iin Nur Indah F._Crew/23.14.142

Majalah aL-Millah Edisi 34

67


Fiksi

Penjinak Angin

Fajar sebenarnya tak ingin ikut-ikutan mereka yang begitu tergila-gila berburu angin jikalau bukan karena istrinya. Wanita itu selalu berkata, "Kita harus punya angin. Bagaimanapun caranya. Seperti orang-orang." "Itu kan, hanya angin. Terasa ada tapi sebenarnya tak ada. Kau bahkan tak bisa benarbenar memegangnya. Mengapa kita harus mati-matian mengerjakan sesuatu yang pada akhirnya hanya mengakibatkan kekosongan?" Ya, meskipun anginlah sumber daya untuk mendapatkan semua kebutuhan mereka.

68

Majalah aL-Millah Edisi 34

Mencarinya secara berlebihan tetaplah sia-sia, setidaknya begitu yang Fajar pikir. "Apa kau tak ingin aku bahagia seperti kebanyakan orang-orang?" balas sang istri. Perempuan itu seolah menekankan bahwa selama ini ia tak pernah merasai kebahagiaan. Kebahagiaan yang seperti milik kebanyakan orang. Padahal Fajar sudah menjelaskan— bahkan sebelum mereka setuju menikah— bahwa ia tak seperti kebanyakan orang. Namun setelah pernikahan berjalan menyeberangi waktu, istrinya seperti ingin melupakan hal itu.

Ilus/chandra

OIeh: Nining


Fiksi

Kini Fajar begitu jauh dari rumah. Keluarmasuk kota, turun-naik lembah dan bukit demi mengumpulkan angin. Karung penampung angin baru seperempatnya terisi. Namun semangatnya sudah selayak kain basah yang tersampir di tali jemuran. "Kalau tak ada minat, kenapa kau melakoninya?" tanya seorang pengembara yang sempat menyelamatkannya saat Fajar terperosok ke dalam sebuah jurang keputusasaan. Pengembara yang katanya sudah tak butuh apa-apa lagi selain hanya ingin membuat orang lain bahagia. "Saya ingin membuktikan sesuatu,� jawab Fajar sedih. Seperti kesedihan ketika ia melihat istrinya yang tampak gelisah melihat orang lain bergelimang angin. Fajar sedih. Dan ia hanya bisa bersedih karena apa yang ia lihat tak seperti apa yang dilihat istrinya. Namun Fajar tak mau menyalahkan takdir yang menyatukannya dengan istrinya. Semuanya sudah terjadi, dan hanya bisa dipandangi. Ini hanya soal perbedaan lumrah yang kerap mengingatkan Fajar bahwa ia sudah (merasa) mengidap kelainan ini sedari bocah. Fajar memiliki pemikiran begini bukan tanpa sebab. Ingatannya terlempar ke belakang, ke masa kecil, ke orangtuanya yang sepasang pemburu angin sejati yang mulanya begitu kompak. Gudang penyimpanan angin mereka tersebar di sana-sini. Namun toh kisah itu justru tak berakhir bahagia saat satu per satu gudang penyimpanan angin itu roboh. Hubungan mereka turut retak. Seolah yang menyatukan mereka adalah angin itu sendiri, yang gampang datang dan gampang pergi. Sayangnya, hal itu terulang kembali padanya kini.

"Aku hanya mengingatkanmu. Aku hanya tak ingin, saat tiba waktunya angin itu pergi, kau terperosok dalam jurang kesedihan yang teramat dalam," tutur Fajar hari itu. "Itu bukan lantaran kau pada dasarnya

seorang pemalas, kan?" serang balik istrinya, yang merasa pahit dengan kalimat itu. "Ini juga demi masa depan hubungan kita, anak-anak kita kelak." "Kebahagiaan tak mutlak kau dapat setelah mengumpulkan banyak angin. Jangan ajari anak-anak kita dengan hal seperti itu," potong Fajar. "Apanya yang salah? Lantas, apakah bahagia bersedia mampir jika kita tak punya angin? Bukankah hidup juga butuh angin?" "Aku tahu itu. Karena itu, kita cari secukupnya saja. Jangan sampai angin menenggelamkan kita sehingga tak dapat melihat apa yang sebenarnya terjadi." "Apa aku terlihat seperti orang yang tenggelam?" Perdebatan demi perdebatan selalu meruncing. Terdengar tajam di telinga. Membuat luka yang lama tertutupnya. Jarak pun terbentang di atas tempat tidur. Kesedihan Fajar memuai setiap kali melihat istrinya yang lambat laun tergulung angin. Puncaknya menjulang tatkala perceraian menjadi pisau yang mengoyak lembar kisah perkawinan. Perpisahan mendepak Fajar dari rumahnya, mengarahkannya menuju suatu perjalanan. Mencari angin untuk melepaskannya kembali demi membuktikan dirinya benar. Fajar menghela nafas. Entah kenapa ingatan saat ia akhirnya memutuskan pergi terbit mendadak. "Bagaimana bisa dia lebih tertarik denganmu yang mudah datang dan mudah pergi dibanding denganku yang nyata-nyata ada di sampingnya? Bagaimana bisa?! Apakah ini hanya soal mata?!" teriak Fajar kepada angin, tatkala kenangannya akan sang mantan istri menyembul. Suaranya seperti lolongan kesedihan. Menyayat hati siapa pun yang mendengarnya. Tetapi, sesedih apapun, ia tahu perjalanan ini harus diteruskan. Ia lantas berdiri, pamit kepada sang pengembara yang telah menolongnya tadi.

Majalah aL-Millah Edisi 34

69


Fiksi Kalian mungkin akan melihatnya seperti lelaki yang selalu menari dengan angin. Kalian mungkin akan menganggapnya gila lantaran, di mana pun ia berada, angin-angin ditangkapnya, diajaknya menari, lalu dilepaskannya lagi. Ia pun tak segan memberikan angin hasil tangkapannya kepada orang yang meminta. Angin hanya seperti mainan baginya. Fajar tak peduli dengan semua komentar yang mampir di telinga. Ia akan menari dan terus menari sepanjang hatinya terasa nyaman. Ia tak pernah berlama-lama menahan angin yang tertangkap tangan. Telah bertahun-tahun ia hidup seperti ini dan ia tak berniat berubah pikiran. "Aku tak mau tertipu," ujarnya lebih kepada diri sendiri. "Aku tak akan seperti mereka," lanjutnya, ketika melihat beberapa pemburu yang tergulung angin buruannya sendiri hingga terseret-seret menyedihkan. "Bagaimana bisa mereka mencari kesusahan mereka sendiri?" Fajar tak pernah silau dengan pemandangan menakjubkan yang dijumpainya di sepanjang perjalanan. Orang-orang

70

Majalah aL-Millah Edisi 34

berlomba-lomba membangun istana angin semegah mungkin. Mereka berlari sejauh mungkin demi mengejar angin. Tak peduli hingga ke lembah-lembah tergelap sekalipun, tak peduli pada bagaimana keadaan yang mereka akibatkan, pun pada kondisi diri sendiri yang kepayahan. "Aku hanya akan mengambil angin sesuai kebutuhan," ujar Fajar lebih kepada diri sendiri. Tanah akan terus digali dan digali jika mereka pikir ada angin yang tersembunyi di bawah sana. Sungai akan dikuras, rawa-rawa dikeringkan, laut diledakkan, hutan pun akan dibakar habis demi memudahkan untuk mendapatkan angin. "Siapa yang sebenarnya gila?" Fajar menghibur diri sendiri jika mendengar ejekan para pemburu angin yang lain. "Kalian hanya belum tahu saja bahwa pada saatnya nanti angin akan pergi meninggalkan kalian."

Syahdan, sebuah angin puting beliung yang tak diperkirakan oleh para peramal cuaca datang menghampiri beberapa kota. Seperti yang pernah diramalkan Fajar si gila yang kini entah di mana, satu per satu istana angin yang telah dibangun runtuh dan runtuh. Banyak cara yang dilakukan orang-orang demi melindungi istana yang telah mereka bangun. Dari mulai membangun benteng setinggi-tingginya, membangun pemecah angin di perbatasan kota, sampai membangun menara penetral angin di tengah kota. Tapi tetap saja sia-sia. Puting beliung itu seperti menjemput anak-anaknya yang tersebar di mana-mana. Orang-orang berteriak-teriak gila saat melihat istananya hilang di depan mata. Mereka pun mengejar. Meski tahu itu pun sia-sia. "Apakah ini azab Tuhan yang diturunkan atas dosa-dosa kita?" ujar salah seorang di antara para pengejar angin itu. "Azab apa?!" salah seorang menanggapi dengan rasa tak suka. "Kita mengumpulkan angin secara


Fiksi membabi buta. Tanpa peduli atas kerusakan yang ditimbulkan. Lihatlah kerusakan yang telah diakibatkannya," sahut orang pertama tadi. "Heh, kau juga turut melakukannya. Jadi, jangan bilang bahwa ini azab. Apa kau tak malu?!" Mereka terus saja berdebat perihal bencana yang melanda seisi kota, tanpa sadar semua kesedihan dan kemarahan mereka hanyalah buah dari apa yang mereka tanam. Banyak orang tersungkur lemas begitu melihat keadaan kota pascabencana. Puting beliung itu telah menyapu bersih beberapa kota hanya dalam hitungan jam. Dan di antara wajah-wajah kuyu itu, adalah seorang perempuan yang mulai teringat dengan Fajar, mantan suaminya. Hatinya terus saja ingkar bahwa ini adalah saatsaat yang pernah diucapkan lelaki itu. Perempuan itu tergugu di hadapan bekas bangunan istananya. Istana yang kata mantan lelakinya hanya terbuat dari angin (tidak dalam penglihatan perempuan itu). Wajah suami barunya yang juga terlihat putus asa jadi terlihat tak menarik lagi. Dialah yang menyempurnakan keindahan istana ini untuknya. Istana yang kini hanya tinggal bekasnya. Diam-diam, tanpa sepengetahuan suaminya, perempuan itu justru penasaran dengan nasib Fajar kini. Di mana lelaki itu sekarang? Bagaimana keadaannya? Apa yang sedang dilakukannya? Perempuan ini didera kerinduan dengan masa lalu.

yang meminta." Itu yang perempuan ini dengar sehingga ia semakin yakin bahwa orang itu adalah mantan suaminya. Perempuan ini berniat menemui Fajar lagi. Tak tahu mengapa ia begitu rindu dan ingin melihatnya. Hanya ingin melihat. Cuma itu. Ia tahu bahwa kembali kepadanya adalah hal yang mustahil—lagi pula ia benar-benar tak mau! Toh, mereka berdua ibarat dua kutub yang saling bertolak belakang. Ia akan tetap menjadi pengumpul angin dan membangun istananya kembali semegah mungkin. Betapapun nanti akan kembali roboh! Lagipula ini hanyalah soal bahwa ia akan memperlihatkan diri di hadapan Fajar, bahwa ia belum sepenuhnya kalah! ***

Kabar tentang keberadaan Fajar akhirnya tercium juga. Perempuan itu langsung terbebat penasaran begitu mendengar nama seorang penjinak angin yang mengingatkannya dengan nama mantan suaminya. Konon penjinak angin itu mampu melumpuhkan angin yang keluarmasuk kota. Tapi orang aneh itu (banyak yang menyebutnya seperti itu) tak mau membangun tempat tinggal dan mengumpulkan angin sebanyak yang seharusnya ia bisa. "Semua angin yang datang padanya justru dibagi-bagikannya kepada orang lain Majalah aL-Millah Edisi 34

71


Fiksi

Serat Malakala Nuswantara Oleh Nuril Anwar Titi kala mangsa . Ing buwana Nuswantara Kang endah lan mulya Tur kang ijo royo-royo Sawiji kala. Ana Bathara Narada Tumurun ing bawana Nyangking wahyu Sela Gapura Nyebar wiji astagina Ing tlatah Jawa

Oleh: Ayrin Manusia datang membuat siang dan malam menuai gaduh, Mengiris nadi pada pohon-pohon hijau

Sak jeruning tri windu, Nyambang sapa Bathara Guru Marang guru kang mituhu Kang aran Bathara Badranaya

Melipat belukar dan menumpulkan mawar berduri

Sak dangu tri windu. Wiji astagina sampun sumebar Tumpang siti kang gumelar Kadya suket ijo ing platar

Lantas jayalah hukum rimba

Sawiji dina. Wiji astagina Sampun rusak lan aguna Merga hana Bathari Durga Garwa Bathara Kala Wiji astagina. Kang jawah saka kitab Sotasoma Karya Empu Tantular Wicaksana Kitab hukum kang misuhur Majapahit adi makmur Hayam Wuruk Gajah Mada Kuasa tlatah Jawa Den aran Nuswantara Negara kang subur makmur Gemah ripah loh jinawi Tata tentrem kerta raharja Nuswantara sakniki. Sampun kelangan wiji astagina Mula Nuswantara dados mala perkara Madosi wiji astagina Masa tha ? Den gambol Bathara Badranaya?

72

Air mata pertiwi

Majalah aL-Millah Edisi 34

Angkuh meletupkan drama dan menipu garis takdir

Amarah, dengung lapar, torehan darah dan tumpukan dolar Membias di udara bagai oksigen yang memenuhi semesta Namun membuat sesak kaum derita Dan itulah sketsa dunia Maka yang tertinggal, hanyalah kisah tentang negeri Yang suci nan berwarna warni Yang abadi dalam memori mimpi-mimpi Di masa yang tak lagi berarti


resensi

Judul Film : PK Sutradara : Rajkumar Hirani Produser : Vidhu Vinod Chopra, Rajkumar Hirani Skenario : Abhijat Joshi, Rajkumar Hirani Pemeran : Aamir Khan, Anushka Sharma, Sushant Singh Rajput, Boman Irani, Saurabh Shukla, Sanjay Dutt Narator : Anushka Sharma Musik : Shantanu Moitra, Ajay-Atul, Ankit Tiwari Sinematografi : C.K. Muraleedharan Penyunting : Rajkumar Hirani Perusahaan Produksi : Vinod Chopra Films, Rajkumar Hirani Films Distributor : UTV Motion Pictures Tanggal Liris : 19 Desember 2014 Durasi : 153 Menit Negara : India Bahasa : Hindi

Film

PK DAN PENCARIAN TUHAN

I

ndia dikenal sebagai sebuah negara yang memiliki agama dan kepercayaan yang paling banyak dibandingkan dengan negara-negara manapun di dunia. Di negara tersebut antara agama dan kepercayaan saling hidup berdampingan. Mayoritas penduduk di India adalah beragama Hindu, dengan islam yang terbanyak kedua, sisanya menganut agama bermacam-macam. Sebagaimana cerita dalam film yang ditulis Abhijat Joshi dan Rajkumar Hirani ini. Film dibuka dengan kisah yang imajinatif sang narator yang berandai-andai, bagaimana jika, ternyata keberadaan kita sebagai makhluk hidup di alam semesta ini adalah bukan satu-satunya. Bagaimana jika, mereka –para makhluk hidup– dari planet lain itu, memiliki ketertarikan yang sama seperti kita untuk mengeksplorasi seluruh alam semesta. Kisah dilanjutkan dengan kedatangan alien (diperankan oleh Aamir Khan), yang digambarkan sebagai makhluk yang memiliki bentuk yang sama persis dengan manusia yang ada di bumi. Bedanya mereka tidak butuh baju untuk dipakai. Mereka tidak butuh bahasa untuk berkomunikasi antar satu dengan lainnya. Mereka hanya memiliki alat semacam transpotter yang dikalungkan di leher mereka, yang berfungsi untuk memberikan sinyal lokasi keberadaan mereka dan berkomunikasi dengan sesamanya. Tetapi, masalah pertama yang dia dapatkan malah alat komunikasi transpotternya dicuri. Tanpa alat tersebut dia tidak bisa kembali ke planet asalnya. Majalah aL-Millah Edisi 34

73


Film

Dalam pencarian dan upayanya untuk menyesuaikan diri dengan manusia, dia mencoba untuk beradaptasi. Dari mulai cara untuk berpakaian, hingga bahasa dalam keseharian. Sampai pada suatu hari, dirinya ditabrak oleh mobil yang mengangkut rombongan pemusik India, dia akhirnya terdampar pada rombongan tersebut. Pemimpin rombongan itu bernama Bhairon Singh (diperankan oleh Sanjay Dutt). Bhairon yang tidak mengetahui bahwa sebenarnya Aamir Khan adalah seorang alien, menganggap ketidakmampuannya dalam berkomunikasi diakibatkan karena amnesia akibat kecelakaan yang disebabkan olehnya. Di lain pihak, Aamir Khan beranggapan bahwa cara satu-satunya agar dirinya dapat belajar bahasa manusia adalah dengan menggenggam tangan manusia. Cara tersebut dilakukan agar tahu tentang apa yang mereka pikirkan dan bahasa yang digunakan. Maka mulailah Aamir Khan berburu untuk menyentuh tangan manusia. Sedangkan Bhairon beranggapan bahwa Aamir Khan melakukan tindakan yang mengarah pada nafsu seksual. Perbedaan inilah termasuk salah satu yang menimbulkan kelucuan pada film ini. Setelah kendala berkomunikasi teratasi, Aamir Khan menyampaikan masalah mengenai transpotter miliknya yang hilang dicuri. Bhairon mengatakan bahwa mungkin saja pencuri itu adalah warga setempat. Namun, barang

74

Majalah aL-Millah Edisi 34

curiannya pasti telah dijual di New Delhi. Berbekal keterangan itu, berangkatlah Aamir Khan menuju Delhi dalam upaya pencariannya. Di New Delhi, dia menanyakan ke semua orang, apakah mereka mengetahui di mana transpotternya, tetapi mereka hanya menjawab, “Hanya Tuhan yang tahu�. Pencarian Aamir Khan pun berubah. Dia beranggapan, jika ingin mendapatkan kembali transpotternya, maka dia harus menemukan Tuhan terlebih dahulu. Tuhan pertama yang dia datangi adalah sosok patung berkepala gajah bertubuh manusia yang tak lain adalah Dewa Ganesha, salah satu dewa dalam kepercayaan Hindu. Awalnya dia merasa permohonannya dikabulkan, tetapi saat dia meminta transpotternya kembali, ternyata doa itu tidak terwujud.

Dia pun mencoba berdoa kepada patung Dewa Ganesha yang berkukuran lebih besar, namun karena frustrasi dan merasa tidak bisa mendapatkan kembali barangnya, dia membuat gaduh dan diamankan oleh polisi. Polisi yang mengamankan sang alien mengecek identitasnya, polisi tersebut akhirnya merujuk dia ke sebuah gereja. Tetapi, kemudian dia membuat gaduh dan diusir kembali. Begitu seterusnya. Ini membuat dia sadar bahwa ternyata banyak Tuhan di dunia ini, di mana tiap Tuhan mempunyai sifat yang berbedabeda. Ada Tuhan yang suka air kelapa, ada Tuhan yang suka Wine, ada Tuhan yang benci manusia saat membawa Wine. Selain sifat Tuhan, budaya dari penyembah masing-masing Tuhan itu pun berbeda, ada yang berbaju kuning berkepala botak, ada yang bersorban, ada yang menggunakan cadar. Tiap

Foto/Google.com

resensi


resensi masing-masing konsep Tuhan, ritual, dan berbagai tradisi inilah yang kemudian kita kenal sebagai agama. Di belahan bumi lain, tepatnya di Belgia, seorang wanita India bernama Jaggu (diperankan oleh Anushka Sharma) jatuh cinta kepada seorang pria Pakistan bernama Sarfaraz (diperankan oleh Sushant Singh Rajput). Namun hubungan mereka ditentang oleh ayah Jaggu yang bernama Jayprakash Sahni (diperankan oleh Parikhset Sahni) karena perbedaan agama. Jaggu dan keluarganya beragama Hindu yang taat, sementara Sarfaraz adalah seorang muslim. Jaggu tidak menghiraukan keberatan sang ayah dan bertindak nekat dengan tetap mengajak menikah Sarfaraz di gereja. Namun hingga saat yang di nanti tiba, ketika Jaggu sudah menunggu dengan menggunakan busana

pengantin, yang datang malah sepucuk surat tanpa nama yang menyampaikan bahwa pernikahan tersebut tidak bisa dilangsungkan dan meminta un-tuk tidak saling berkomunikasi lagi. Dalam kondisi hati yang hancur, Jaggu memutuskan untuk kembali ke India. Di New Delhi tepatnya, dia mulai bekerja sebagai wartawan. Sampai suatu hari, di mana saat dirinya telah kehabisan berita menarik untuk ditayangkan, dia bertemu Aamir Khan yang telah mendapat julukan dari orang-orang sebagai PK/PeeKay –yang dalam bahasa India berarti mabuk– karena tingkah lucu dan aneh yang dilakukannya. Awalnya, tingkah lucu dan aneh yang dilakukan PK dalam upayanya mencari Tuhan membuat Jaggu terinspirasi untuk mengangkatnya sebagai salah satu bahan berita. Namun, saat PK bercerita tentang siapa

Film

dirinya yang sebenarnya, apa yang dilakukannya di bumi, dan bagaimana dia kehilangan tranpotternya, Jaggu menjadi ragu dan tidak percaya, bahkan beranggapan bahwa PK hanya salah satu orang India yang gila karena berimajinasi terlalu tinggi. Tak putus asa, PK berusaha membuktikan bahwa apa yang dia sampaikan adalah kenyataan yang sesungguhnya. Melalui beberapa kejadian akhirnya Jaggu percaya kepada apa yang dikatakan PK. Jaggu bersedia membantu PK untuk menemukan apa yang dia cari. Berdua mereka mencari barang berharga milik PK yang hilang. Di akhir cerita, transpotter milik PK pundapat ditemukan. Dan Jaggu dapat menghubungi Sarfaraz yang sudah lama pergi. PK pun kembali ke planet asalnya berkat transpotternya yang sudah kembali. Pada intinya film ini mengajarkan banyaknya perbedaan yang ada di sekitar kita. Dan dari perbedaan tersebut kita dapat belajar bagaimana hidup di dalamnya. Menciptakan dunia yang heterogen dan saling menghormati satu dengan lainnya.

Nining Khoiru Nisa'_ Crew/24.15.158

Majalah aL-Millah Edisi 34

75


resensi

buku

Agama diturunkan oleh Tuhan kepada manusia sebagai pedoman hidup. Didalam agama Tuhan mengatur tata cara beribadah kepada-Nya, hubungan antarmanusia, serta hubungan dengan alam sekitarnya. Pluralitas agama, merupakan sebuah keniscayaan. Tetapi saat ini pluralitas agama sering dipandang sebagai masalah yang cukup serius, karena menyimpan potensi konf lik. Sejarah telah mencatat betapa konf lik antaragama memakan korban yang tak terhitung jumlahnya. Konf lik internal agama juga tidak kalah kelamnya. Mengapa agama yang mengajarkan kedamaian, kasih sayang, dan nilai-nilai luhur lainnya, tampil dengan wajah yang menakutkan? Di sinilah pentingnya kita untuk senantiasa menyuarakan pesan dan semangat damai agama-agama, agar agama dapat menjadi rahmat, bukan malah laknat. Pada abad ke-21 ini, masalah pertikaian antarumat beragama belum juga menemukan titik temu yang menggembirakan, malah justru menjadi isu yang semakin memanas. Untuk mengurangi ketegangan akibat klaim kebenaran diperlukan pembicaraan dan dialog. Karena di samping sebab lain, ketegangan tersebut akibat dari klaim kebenaran agama. Dengan ini mungkin akan muncul sikap saling memahami dan meningkatkan saling tukar pengalaman dalam beragama. Perbedaan agama tidak lagi sebagai pemincu konflik, tetapi justru sebagai landasan dalam hidup bersama. Dalam rangka meningkatkan kesepahaman dan kerjasama antaragama yang berbeda-beda, buku ini

76

Majalah aL-Millah Edisi 34

Judul : Agama Untuk Manusia Penerjemah : Ali Noer Zaman Jumlah Halaman : XII + 278 Penerbit : Pustaka Pelajar

menghadirkan sepuluh tulisan dari berbagai tokoh agama. Buku yang diberi judul Agama Untuk Manusia, hadir sebagai bagian dari upaya penyemaian pesan dan semangat damai agama. Tulisan pertama dari Abdul Aziz Sachedina, Tokoh Muslim dan guru besar Studi Keagamaan Universitas Virginia, yang berjudul Apakah Islam Membatalkan Agama Yahudi dan Kristen membahas masalah naskh agama. Abdul Aziz berpendapat bahwa agama Islam tidak membatalkan agama Yahudi dan Kristen. Ia mengatakan bahwa tidak ada ayat alquran yang secara eksplisit mendukung keyakinan bahwa alquran telah menghapuskan wahyu terdahulu. Tetapi alquran mengoreksi aspekaspek yang dianggapnya menyimpang dari kemurnian. Fazlur Rahman, tokoh Islam kelahiran Pakistan, menulis tulisan dengan judul Sikap Islam Terhadap Agama Yahudi. Ia berpendapat, seperti halnya

Nasrani, Yahudi juga diakui sebagai suatu kaum yang memiliki kitab yang telah diturunkan kepada mereka. Ia melanjutkan, bahwa eksistensi agama-agama terdahulu tidak terhapuskan dengan kehadiran Islam. Islam hanya sebagai pelanjut dan penyempurna agama-agama sebelumnya. Tetapi mereka tetap diminta untuk masuk Islam dan mengakui Muhamad sebagai seorang Nabi, karena mereka hanya memilki sebagian dari alKitab. Meskipun tak ada keraguan bahwa otonomi agama dan budaya mereka dihormati. Tetapi ketika sampai pada realitas politik, lain ceritanya. Rahman menjelaskan bahwa ketegangan yang terjadi antara Yahudi dan Islam selama ini lebih bersifat politik. Berikutnya tulisan dari tokoh Kristen, Wilfred Cantwell Smith dengan judul Orang Kristen Di Tengah Pluralitas Agama. Dia memaparkan dalam tulisannya, sikap eksklusif sudah tidak relevan lagi dengan zaman sekarang. Pada zaman ini orang Kristen harus bersikap inklusif, yaitu keyakinan bahwa kepercayaan yang mereka anut bukanlah satusatunya kebenaran. Ia juga melakukan kritik terhadap misi misionarisme. Ia berpendapat, setiap usaha baik itu dengan bantuan uang, janjijanji, baik moral atau materil dengan tujuan untuk merubah hati nurani atau keyakinan agama, maka harus dilarang sama sekali. Dengan demikian memaksakan “kebenaran agama� pribadi kepada orang lain tidak dapat dibenarkan. Di dalam konteks global, Smith berpendapat keberagaman yang dulunya saling terpisah sekarang harus berdampingan. Mereka tidak hanya harus bertemu tetapi juga secara

Foto/Google.com

Agama Untuk Manusia


resensi bersama-sama memecahkan masalah yang dihadapi dalam masyarakat global. Selanjutnya tulisan dari Ewert Cousins,yang diberi judul Keyakinan Dalam Dialog Antar Agama. Menurut Ewert, keyakinan (agama) merupakan anugrah yang mulia yang tidak boleh hanya disimpan, tetapi harus dibagi. Salah satu caranya melalui proses dialog antaragama. Dalam dialog kita tidak hanya mengetahui bagaimana agama lain dalam kehidupan sosial mereka, tetapi sekaligus sebagai jalan pencarian spiritual global. Tulisan selanjutnya yang berjudul Model-Model Dialog Antar Agama Menurut Agama Hindu, dari tokoh agama Hindu, K.R. Sundararajan. Dia mengatakan bahwa ada dua tipe toleransi dalam agama Hindu. Pertama, menutup perbatasan, maksudnya bahwa orang harus memantapkan ke dalam agamanya sendiri dan tidak mencoba menarik atau ditarik oleh agama lain. Dalam artian menghormati agama lain, tapi harus waspada tentang perbatasan agama masing-masing (hal 108). Kedua, bentuk melintas perbatasan, yang dapat dilihat dalam proses pribumisasi. Dimana tradisi Brahmana menyerap ke dalam dirinya beberapa aspek yang menimbulkan ketegangan dari kebudayaan asing. Dengan memadukan kedua model toleransi ini menurutnya dapat menampilkan wajah Hindu yang baru. Di dalam model menutup ditekankan perlunya berakar pada tradisi sendiri, sedangkan pada model melintasi perbatasan ditekankan perlunya keterbukaan. Selanjutnya tulisan yang berjudul Sikap Buddha Terhadap Agama Lain, dari Gunseela Vitanage. Dia mengatakan bahwa dalam agama Buddha sudah ada sikap toleransi yang kuat dan

berakar dengan mengikuti ajaran dan tauladan dari Sang Buddha. Buddha mengatakan, “Sekarang inilah yang kukatakan padamu Nigroda, tidak ingin mencari murid, tidak berharap orang lain lepas dari janji-janji agama mereka, tidak berharap orang lain meninggalkan jalan hidup mereka, tidak berharap dapat membuat Anda di jalan yang salah atau membuat Anda meninggalkan jalan-jalan yang baik. Tidak sama sekali!.� Ia melanjutkan, bahwa sikap Buddha pada agama dan filsafat saat itu adalah suatu kritik yang obyektif dan mengenal. Sementara pada saat yang sama melakukan toleransi dalam arti mengakui hak penilaian pribadi terhadap agama, memahami secara simpatik, terutama dengan keluhuruan budi. Dua tulisan berikutnya membahas dialog antaragama Islam dan Kristen. Pertama, ditulis oleh Abdulazis Sachedina dengan judul Teologi Islam Mengenai Hubungan MuslimKristen. Kedua, tulisan Jacues Waardenbrugh dengan judul IsuIsu Penting Dalam Hubungan Muslim-Kristen. Abdul Aziz menerangkan bahwa umat Islam harus meningkatkan perannya dalam hubungan internasional, serta menilai kembali warisan teologi tradisionalnya dan disesuaikan dengan kondisi abad 21 ini. Sementara Jacues melihat pada isu-isu terkini mengenai hubungan Muslim dan Kristen. Mulai dari isu identitas, seperti apa atau siapakah orang Islam, dan sebaliknya. Sampai pada isuisu ilmiah, seperti munculnya studi Islam, studi hubungan Muslim-Kristen. Dari isu-isu itu akan timbul suatu hubungan, dan semakin ke depan hubungan dua agama diharapkan semakin baik. Berikutnya karya dari Gensichen yang berjudul Perang

buku

dan Perdamaian Antar Agama. ia menjelaskan, dengan melihat realitas yang ada, selama ini agama dianggap menjadi pemicu dari berbagai perang yang ada di dunia ini. Oleh karena itu, perlu adanya kesepakatan bersama untuk mendamaikan agama. Sehingga agama menjadi seperti tujuan awalnya, yakni menciptakan perdamaian, bukan perang. Sementara Hans Kung lewat tulisannya berjudul “Perdamaian Dunia, Agama-Agama, dan Etika Global,� menitik beratkan pada sumbangan agama atas terciptanya etika global. Ia berpendapat, sulit tercipta perdamaian tanpa adanya etika global. Etika global yang digagas Kung lahir karena ada tanggung jawab yang diemban agama-agama. Perhatian Kung pada hubungan antaragama dan pentingnya dialog sebagai modus perjumpaan antar agama, maupun pemosisian agama dalam konteks kehidupan sosial, ekonomi, dan politik. Menurutnya agama harus mengajarkan sikap perdamaian, bukan sikap yang membuat orang untuk berperang. Dari agama yang benar-benar murni ini, maka akan tercipta sebuah etika. Jika semua agama menerapkan ini, akan lahir etika global dimana dijunjung sikap perdamaian dan toleransi. Buku ini tentu sangat menarik apalagi buat para pengusung pluralisme. Karena di Indonesia sendiri masih sering terjadi sentimen dan konflik keagaman. Resensor menilai buku ini cukup lengkap, dimana disajikan sikap tokoh agama besar mengenai pluralisme. Jika pembaca belum tahu siapa tokoh-tokoh di atas maka akan terbantu dengan biografi singkat di halaman belakang. **Assidi

Majalah aL-Millah Edisi 34

77


Bilik

kampus

MENYONGSONG PESTA DEMOKRASI, PENDIDIKAN POLITIK PERLU DIKOORDINASI Republik Mahasiswa (RM) yang resmi berdiri pada tahun 2017, memiliki sebuah lembaga eksekutif tertinggi yang tersemat darinya nama Dewan Eksekutif Mahasiswa Institut (DEMA-I) IAIN Ponorogo. Lembaga ini memiliki tugas yang urgent bagi keberlangsungan aktivitas mahasiswa dalam mengembangkan potensi dan keintelektualannya di luar perkuliahan. Ia berperan penting dalam mengkoordinir kegiatan mahasiswa di lingkup intra kampus. Beberapa program kerja telah dirancang oleh anggota pemangku kebijakan DEMA-I yang diketuai oleh Moh. Faishal Arifin. Salah satu gelaran yang sudah dilaksanakan adalah “Seminar Pendidikan Politik Untuk Pemilih Pemula”. Seminar ini dilaksanakan sebagai upaya untuk menyongsong pesta demokrasi di Republik Mahasiswa. Sekaligus juga sebagai bekal para peserta seminar untuk menghadapi fenomena demokrasi di tahun politik. Acara tersebut merupakan acara terbuka perdana yang digelar oleh DEMA-Institut. Dalam diskusi yang diadakan, lembaga intra tertinggi ini mengundang sejumlah narasumber yang berkaitan. Komisi Pemilihan Umum (KPU) Ponorogo yang diwakili oleh Moh. Syaifullah, turut menyemarakkan seminar yang dilaksanakan di Gedung Indrakila lanti 3 tersebut. Selain itu Taufik Johar sebagai Konsultan Politik sebagai narasumber kedua, mengatakan bahwa isu SARA merabah di kalangan masyarakat. SARA hanyalah limbah masalah yang dibesar-besarkan untuk menjatuhkan pesaing lain dan mendapat simpati lebih banyak dari masyarakat demi memenangkan Pemilihan Umum. Disamping itu, media sangat berpengaruh besar dalam lika-liku perpolitikan dan masa kampanye. Maka dari itu DEMA-I turut mengundang pembicara ketiga yang ikut menambah kemeriahan diskusi, yaitu Bambang H. Irawan selaku Pemimpin Redaksi Jawa Pos Radar Ponorogo. Dengan adanya seminar tersebut diharapkan peserta yang hadir mampu memilih calon pemimpin mereka secara cerdas. Karena dalam politik sarat akan informasi yang disebarkan membanjiri media hingga terkadang masyarakat bingung untuk membedakan real information atau hoax information. Maka perlu sekali pendidikan politik bagi seluruh lapisan masyarakat, terutama bagi mahasiswa yang nantinya akan melanjutkan estafet kepemimpinan negara. Arini Sa’adah_Crew/ 25.16.161

Senat Mahasiswa Perkuat Kompetensi Internal Mahasiswa Tahun pertama berorganisasi di bawah naungan Republik Mahasiswa IAIN Ponorogo, Senat Mahasiswa (Sema) memaksimalkan kompetensi internalnya sebagai lembaga legislatif. Kompetensi internal tersebut digalang melalui Sekolah Legislasi yang diadakan pada 15-17 Desember 2017. Acara tersebut hanya dibuka untuk intern. Bertempat di Hotel Famili, area Telaga Ngebel, mereka melatih diri dalam hal legislasi. Sema terdiri dari dua bagian, Sema Institut (Sema I) dan Sema Fakultas (Sema F). Sema Fakultas meliputi Sema Fatik (Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan), Sema Fasya (Fakultas Syariah), Sema Febi (Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam), Dan Sema Fuad (Fakultas Ushuludin, Adab dan Dakwah). Rohman Rifa’i selaku ketua Sema I menyampaikan bahwa Sema F masihlah baru dan memerlukan bimbingan. Ia juga menyampaikan, melalui acara ini Sema F akan dapat berkreasi membuat undang-undang sesuai fakultasnya masing-masing. “Sema F sebagai penunjang, istilahnya kayak DPRD sebagai wakil daerah, nanti ada aspirasi dihimpun, dan disampaikan ke pihak yang berwenang. Maka dari itu, acara ini diperlukan agar mereka tau cara-cara menjadi lembaga legislatif mahasiswa”, jelas Rohman. Tak lupa, mereka juga meningkatkan kompetensi intelektual mahasiswa pada umumnya melalui seminar-seminar. Seperti Sema Fuad misalnya, yang melangsungkan sekolah legislatif dan rapat kerja di area Telaga Sarangan, Magetan. Pada tanggal 2-4 Desember 2017. Peserta terdiri dari anggota Sema Fuad, delegasi Dema Fuad, HMJ dari Fuad, dan mahasiswa Fuad lainnya. Adapun tujuan dari acara ini menurut Ina Imroatul selaku Ketua Sema Fuad adalah untuk mengenali fungsi Sema yang berkaitan dengan lembaga lain, serta mempererat emosional antar pengurus eksekutif dan legislatif Fuad. “Saya juga berharap ini bisa jadi fondasi untuk kepengurusan selanjutnya yang lebih baik”, tutur Ina. Di sisi lain, Sema Fasya juga membuka seminar studi advokasi dan kebijakan anggaran. Menurut keterangan Muklis Aminuddin selaku ketua Sema Fasya, tujuan kegiatan ini adalah untuk mengedukasi masyarakat. “Kalau kita hari ini ngomong transparansi advokasi, menuntut transparasi. Padahal secara treatment (perlakuan.red) kita gak tahu secara pengetahuan berkaitan anggaran, kebijakan anggaran atau logika anggaran seperti ini. Kalau kita sudah tahu kan jelas nanti yang mau diadvokasikan titik poin yang mana” papar Muklis. Muhammad Riza Ardyanto_Crew/ 25.16.165

78

Majalah aL-Millah Edisi 34


bilik

kampus

Tumbuhkan Jiwa Bisnis Mahasiswa, Dema Febi Adakan Seminar Digitalisasi Ekonomi DEMA Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam (FEBI) IAIN Ponorogo, merupakan organisasi intra kampus yang baru ada setelah alih status STAIN menjadi IAIN Ponorogo. Demi terselenggaranya program kerja tahunan, DEMA FEBI IAIN Ponorogo menggelar seminar Digitalisasi Ekonomi di penghujung 2017. Acara ini diselenggarakan pada Kamis (28/12) bertempat di Graha Wathoe Dhakon IAIN Ponorogo. Diikuti oleh mahasiswa dari berbagai jurusan, acara ini dibuka secara langsung oleh Dekan FEBI IAIN Ponorogo, Luthfi Hadi Aminuddin Sesuai dengan tema The Opportunity to be Agent of Digital Economy, seminar kali ini menghadirkan Khairul Anam, Praktisi, Trainer dan Owner Ebusiness sebagai narasumber, didampingi Ririn Tri Puspita Ningrum, dosen IAIN Ponorogo sebagai moderator. Seminar ini membuka pikiran mahasiswa bahwa digital bisnis sebenarnya bisa dilakukan secara sederhana dan mudah. Sebab di zaman ini hampir setiap orang telah terbiasa dengan internet. Pada hari berikutnya panitia akan mengadakan training digital marketing yang akan disertai dengan praktek langsung. Ahmad Alwi M_Crew/ 25.26.160

Sekolah Epistimologi Islam sebagai Upaya Membangun Toleransi Dewan Mahasiswa Fakultas Syari’ah (DEMA Fasya) IAIN Ponorogo merupakan organisasi yang menaungi bakat dan minat mahasiswa fakultas syari’ah. Sebagai bukti eksistensinya, DEMA Fasya menyelenggarakan sekolah epistimologi islam dengan mengusung tema menepis candu sebagai agama. Acara yang berlangsung di Hotel Family desa Ngebel ini dihadiri oleh lebih dari 50 peserta yag terdiri dari mahasiswa berbagai angkatan dan jurusan di IAIN Ponorogo dan ada 3 tamu peserta dari mahasiswa IAIN Tulungagung. Sekolah epistemologi islam merupakan acara perdana yang dijalankan DEMA Fasya. Acara ini diadakan 3 hari 2 malam pada bulan Desember 2017. Acara dibuka jum’at pada pukul 15.00 WIB, pada malam hari pukul 19.30 WIB diagendakan bedah tema oleh Anis selaku ketua panitia dan Dika yang menjabat sebagai ketua DEMA Fasya. Proses pembedahan yang diikuti oleh seluruh peserta dan panitia diikuti dengan antusias yang cukup besar dan berakhir pada pukul 22.00 WIB. Keesokan harinya pada hari sabtu pukul 09.00 WIB dimulai dengan materi pertama yang diisi oleh Wahyu Saputra dengan materi analisis wacana hingga pukul 11.00 WIB, selanjutnya materi kedua pada pukul 13.00 diisi oleh Abid Rohmanu dengan materi Epistemologi yang berakhir pada pukul 14.30 WIB, setelah itu materi ketiga atau terakhir diisi oleh Aksin Wijaya dengan materi Hermenetika. Malamnya peserta diajak diskusi kelompok mengenai issu PKI ditinjau secara epistemologi, analisis wacana, dan hermenetika. Muhammad Riza Ardyanto_Crew/ 25.16.165

SEKOLAH EPISTEMOLOGI, UPAYA BERPIKIR OUT OF THE BOX MELALUI ‘DEKONSTRUKSI’ NALAR Dewan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Ushuluddin Adab dan Dakwah adalah satu dari sekian banyak lembaga intra kampus yang eksis dengan berbagai diskusi dan acara yang digelar. Semangat akan keilmuwan membuat mahasiswa FUAD yang diwakili oleh DEMA-F mengadakan diskusi besar bertajuk “Sekolah Epistemologi”. Sekolah ini diharapkan mampu mengobati dahaga mahasiswa IAIN Ponorogo sendiri hingga eks-ponorogo yang haus akan ilmu dan pengalaman khususnya induk dari segala ilmu, yakni filsafat. Sekolah tersebut berlangsung selama tiga hari di Telaga Ngebel Ponorogo. DEMA FUAD menggandeng beberapa pemateri untuk ikut andil dalam mengisi sekolah. Salah satunya adalah Aksin Wijaya, penulis buku Sejarah Kenabian sekaligus penyandang gelar dosen teladan dalam bidang Islamic Studies versi Kemenag. Sekolah epistemologi yang mengusung tema “Dekonstruksi Nalar Berpikir Mahasiswa Menuju Pandangan Kosmopolitan” tersebut diharapkan para peserta mampu mengkaji kembali ilmu yang didapat dan berlatih berfikir diluar pemikiran orang lain. Alhasil, mahasiswa mampu mengimplementasikan pemikiran dan ide-ide cemerlang mereka dan mampu menjadi manusia intelektualis yang kosmopolis. Arini Sa'adah_Crew/ 25.16.161

Majalah aL-Millah Edisi 34

79


Bilik

kampus

Pelatihan Ice Breaker, Kembangkan Kreatifitas Mahasiswa Dewan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan (DEMA FATIK) merupakan salah satu organisasi intra kampus yang menaungi serta mewadahi aspirasi mahasiswa FATIK IAIN Ponorogo. Sebagai salah satu organisasi Intra, DEMA FATIK memiliki beberapa Departemen, seperti Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Departemen Keorganisasian, Departemen Hubungan Masyarakat, Departemen Jaringan dan Komunikasi, Departemen Agama, Departemen Pengembangan Sumber Daya Mahasiswa. Yang masing-masing departemen memiliki tugas masing-masing dalam menjalankan program kerja DEMA FATIK. Salah satu program kerja DEMA FATIK yang telah sukses dilaksanakan adalah Pelatihan Ice Briker pada tanggal 24-26 November 2017. Pelatihan dengan mengusung tema "Membentuk Mahasiswa FATIK Sebagai Intelektual yang Bermental Kreatif dan Inovatif dalam Pembelajaran" ini dilaksanakan di Kecamatan Ngebel Kabupaten Ponorogo. Pelatihan ini mendapat antusias tinggi dari mahasiswa IAIN Ponorogo khususnya mahasiswa Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan.**Picy Lestari_Crew

Ta’aruf Sebagai Pupuk Solidaritas antara Mahasiswa Baru Jurusan AS dengan Pengurus HMJ AS “Mempererat tali silaturahmi dengan menggali potensi dan kreativitas mahasiswa untuk memupuk mentalitas dan solidaritas mahasiswa AS”, itulah tema yang diusung oleh pengurus HMJ AS (Ahwal As-syahsiyah) dalam acara Ta’aruf HMJ pada 26 oktober 2017. Kegiatan yang bertempat di Graha Watoe Dhakon ini berbentuk perkenalan bagi mahasiswa baru kepada pengurus HMJ AS beserta Program Kerja (proker) dan kepengurusannya. Selain itu mahasiswa baru juga dikenalkan seputar jurusan AS. Pun mahasiswa baru AS bisa saling mengenal dan mempererat hubungan satu sama lain. Candra selaku Ketua HMJ AS berharap, dengan adanya acara ini mahasiswa AS tahu apa peran dan fungsinya HMJ, sehingga dapat mencegah mahasiswa yang apatis dengan organisasi. Selain itu semua pengurus dan anggota bisa saling kenal. ** Layla Restu S_Crew

HMJ Muamalah Cetak Kader Loyal Melalui Diklat Keorganisasian Terciptanya mahasiswa yang kritis transformatif dan tumbuhnya jiwa yang loyal terhadap organisasi, merupakan salah satu tujuan HMJ Muamalah terhadap mahasiswa baru Jurusan Muamalah. Untuk merealisasikan tujuannya, HMJ Muamalah mengadakan Diklat Keorganisasian paa tanggal 27 sampai 29 Oktober 2017. Kegiatan yang dilakukan di Balai Desa Ngrupit tersebut diikuti 60 mahasiswa baru Jurusan Muamalah sebagai peserta. Khoirul Mukhlisin selaku ketua HMJ Muamalah berharap dengan adanya diklat ini, apa yang menjadi tujuan HMJ Muamalah bisa tercapai. Karena mereka telah mendapat materi tentang analisis diri, keorganisasian, public speaking, dan leadership. Selain pembekalan materi, mahasiswa baru Muamalah juga dikenalkan seperti apa Himpunan Mahasiswa Jurusan Muamalah.**

Layla Restu S_Crew

80

Majalah aL-Millah Edisi 34


bilik

kampus

Mencetak Generasi Mandiri Melalui Kewirausahaan Himpunan Mahasiswa Jurusan Ekonomi Syariah (HMJ ES) merupakan salah satu organisasi intra kampus yang menaungi mahasiswa Jurusan Ekonomi Syariah IAIN Ponorogo. Sebagai salah satu organisasi di Republik Mahasiswa (RM) IAIN Ponorogo, HMJ Ekonomi Syariah turut serta membangun keintelektualan mahasiswa melalui program kerjanya. Salah satu program kerja yang dilaksanakan adalah "Diklat Kewirausahaan" yang diperuntukkan untuk mahasiswa baru Jurusan ES. Kegiatan ini dilaksanakan pada tanggal 14-15 Oktober 2017 yang bertermpat di Aula Kecamatan Siman Kabupaten Ponorogo. Diklat Kewirausahaan ini, dimaksudkan agar mahasiswa Ekonomi Syariah bisa lebih mandiri khususnya dalam bidang usaha.**Picy Lestari_Crew

HMJ PAI Giatkan Kemampuan Menulis Mahasiswa melalui PKTI Pada periode ini, Himpunan Mahasiswa Jurusan Pendidikan Agama Islam (PAI) sebagai wadah aspirasi dan gerakan mahasiswa PAI mengadakan dua agenda. Pertama, adalah Manajemen Organisasi dan Manajemen Administrasi (MOMA). Agenda tersebut bertemakan “Membentuk Mahasiswa yang berjiwa intregitas solidaritas dan berkarakter”. Selain menggencarkan pembentukan karakter mahasiswa, HMJ PAI pun menggiatkan semangat literasi melalui Pelatihan Karya Tulis Ilmiah (PKTI). PKTI mengusung tema “Ayo Nulis, Goresan Tinta Berujung Karya”. Peserta terdiri dari 60 mahasiswa Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Ilmu Keguruan (FATIK). Acara ini berlangsung selama dua hari pada Desember lalu. Bertempat di Balai Desa Ngrupit, Jenangan. Bakat kepenulisan yang mutlak diperlukan bagi kalangan praktisi pendidikan mendorong diadakannya acara ini. Dalam mendidik, diperlukan bakat menulis untuk mengajar anak didik. Pelatihan difokuskan pada penulisan essai. Adzka Hanina A_Crew/ 25.16.159

Melalui Kegiatan HMJ, Mahasiswa PGMI Dituntut Tidak Hanya Menguasai Bidang Pendidikan HMJ PGMI (Himpunan Mahasiswa Jurusan Pendidikan guru madrasah ibtidaiyah) merupakan salah satu organisasi intra kampus yang mewadahi aspirasi mahasiswa jurusan PGMI. HMJ PGMI mempunyai sederet agenda kegiatan, salah satunya acara kenduri keakraban. Bertempat di markas besar Kodim Ponorogo, acara tersebut berlangsung pada tanggal 7 sampai 8 oktober 2017. Tujuan diadakannya acara tersebut adalah untuk mengakrabkan seluruh mahasiswa PGMI, memperert solidaritas atau silaturahmi mahasiswa PGMI serta menumbuhkan minat berorganisasi bagi mahasiswa baru PGMI. Selain itu, HMJ PGMI juga memiliki agenda rutin berupa kajian ilmuan, kesenian, olahraga dan kewirausahaan. Dengan adanya kegiatan-kegiatan tersebut, Iqbal Amrullah selaku ketua HMJ PGMI berharap semua mahasiswa PGMI dapat memiliki skill di luar bidang pendidikan.**Mufida Agustina_ Crew

Majalah aL-Millah Edisi 34

81


Bilik

kampus

Dekatkan Mahasiswa Piaud Ke Dunia Anak Usia Dini, Hmj Piaud Adakan Lomba Mewarnai Se Eks Karesidenan Madiun Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ) Pendidikan Islam Anak Usia Dini (PIAUD) merupakan organisasi intra kampus IAIN Ponorogo yang menaungi mahasiswa jurusan PIAUD. Sebagai calon guru yang nantinya akan mengajar di PAUD atau playgroup, maka mahasiswa jurusan PIAUD harus bisa mengenal dunia anak usia dini. Demi terlaksananya tujuan tersebut, HMJ PIAUD menyelenggarakan Lomba Mewarnai Gambar PAUD IAIN Ponorogo yang diikuti oleh siswa-siswi TK/sederajat se-eks karesidenan Madiun. Acara ini dilaksanakan pada minggu (17/12/17) yang berlokasi di Graha Watoe Dhakon IAIN Ponorogo, dan dibuka secara langsung oleh Faisal Arifin selaku ketua Dewan Eksekutif Mahasiswa Institut (DEMA I). Antusias peserta terlihat dari jumlah peserta yang mengikuti acara ini berkisar 200 siswa-siswi TK/sederajat se-eks karesidenan Madiun. Dalam acara ini panitia juga mendatangkan Shidiq, pendongeng yang berasal dari Solo, yang mendongeng disela-sela peserta menunggu pengumuman dari dewan juri Menurut pengakuan ketua HMJ PIAUD, Siti Alfiyah, mengatakan bahwa acara ini digelar dengan tujuan agar mahasiswa jurusan PIAUD bisa mengerti dan mengenal dunia pendidikan anak usia dini sebagai bekal profesi yang nanti akan digeluti. Ahmad Alwi M_Crew/ 25.26.160

Jalur Tempuh’ HMJ TBI‘ Seperti Himpunan Mahasiswa Jurusan lainnya, HMJ Tadris Bahasa Inggris (TBI) juga tak kalah memperlihatkan eksistensinya di kancah regional. Program kerja yang telah dirancang, diupayakan untuk mengembangkan skill mahasiswa khususnya di bidang berbahasa. Salah satunya adalah English Camp yang diadakan oleh HMJ TBI, bertujuan untuk meningkatkan kemampuan berbahasa inggris bagi mahasiswa Tadris Inggris. English Camp merupakan nama lain dari Orientasi Mahasiswa Jurusan (Osmajur). Acara yang berlangsung selama tiga hari dua malam tersebut, mengharuskan peserta menggunakan bahasa Inggris dalam berkomunikasi. HMJ TBI juga mengadakan program Study Club. Acara ini merupakan program rutinan yang diselenggarakan setiap hari Kamis dan Ahad. Materi-materi tentang tata bahasa inggris disampaikan dan dikaji, diantaranya adalah materi grammar, pronounciation, dan public speaking. Selain itu HMJ TBI juga mengunjungi BEC (Basic English Course) untuk melihat kondisi kebahasaan di sana dan mencontoh ilmu serta metode yang digunakan jika diperlukan. Arini Sa'adah_ Crew/ 25.16.161

Kemah Bahasa Sebagai Ajang Perkenalan Mahasiswa Baru Jurusan PBA Sudah menjadi pasti bahwa setiap jurusan memiliki organisasi intra kampus yang mewadahi mahasiswa jurusan tersebut. Untuk organisasi intra yang hanya menaungi jurusan dinamakan HMJ (Himpunan Mahasiswa Jurusan). Tak terkecuali jurusan PBA (Pendidikan Bahasa Arab) yang juga memiliki organisasi intra bernama HMJ PBA. HMJ PBA memiliki beberapa kegiatan yang telah dilaksanakan. Salah satunya adalah kemah bahasa, yang dilaksanakan di lapangan Desa Kupuk kecamatan Bungkal. Acara ini berlangsung selama 2 hari, tepatnya pada tanggal 15 sampai 17 September 2017. Seperti halnya kemah bahasa, peserta acara ini dikhususkan untuk mahasiswa baru jurusan PBA. Pun ada beberapa kegiatan-kegiatan yang bersifat fakultatif dan lomba-lomba di dalamnya. Dengan terselenggaranya acara kemah bahasa tersebut, Pihak HMJ PBA berharap para mahasiswa baru dapat mengenal satu sama lain dan dapat mengeratkan rasa kekeluargaan. Fandy Chorul F_Crew? 25.16.162

82

Majalah aL-Millah Edisi 34


bilik

kampus

Kontribusi Nyata HMJ IPA untuk Mengembangkan Kreativitas Mahasiswa di bidang Penulisan HMJ Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) merupakan salah satu organisasi intra IAIN Ponorogo yang bergerak dalam pengkajian dan pengembangan keintelektualan di bidang Ilmu Pengetahuan Alam. Dalam periode ini HMJ IPA telah sukses mengadakan pelatihan PKTI (Penulisan Karya Tulis Ilmiah). Diselenggarakan pada 9 Desember 2017 dengan jumlah peserta sebanyak 76 mahasiswa. Dengan adanya kegiatan tersebut, diharapkan dapat menumbuhkan kreativitas mahasiswa dalam bidang karya tulis ilmiah, serta memberikan pemahaman kepada mahasiswa bagaimana cara menulis karya ilmiah yang baik dan benar. Event ini merupan salah satu bukti nyata kontribusi HMJ IPA dalam meningkatkan dan menggembangkan kemampuan mahasiswa dibidang penulisan. Sebagai golnya, peserta dapat memiliki bekal untuk mengikuti lomba penulisan karya ilmiah remaja. **Aji Wahyu Wiguna_Crew

Ngaji Budaya Khazanah Lokal Banyuwangi Himpunan Mahasiswa Jurusan Ilmu Pengetahuan Sosial (HMJ IPS) IAIN Ponorogo merupakan HMJ baru yang yang didirikan oleh mahasiswa angkatan pertama. HMJ IPS mengadakan acara Ngaji Budaya pada tanggal 14 Desember 2017. Acara yang bertemakan “Menyelami historiografi kesenian membedah jurnal sejarah sejarah, perjuangan mencari identitas perkembangan Damarwulan, Gandrung dan Musik lokal Banyuwangi” dengan narasumber Hervina Nurullita, M.A dari Banyuwangi. Dalam Ngaji Budaya ini diikuti oleh mahasiswa IAIN Ponorogo dikhususkan untuk mahasiswa IPS yang bertempat di aula Pasca sarjana IAIN Ponorogo. Banyuwangi yang kaya akan budaya serta kesenian menjadi daya tarik mahasiswa IPS untuk membedahnya. Arsyad Muhammad Sajjad selaku ketua HMJ IPS mengungkapkan tujuan acara ini adalah untuk menunjang mahasiswa agar kompeten dalam ilmu-ilmu sosial. “Dengan terlaksananya kegiatan ini, diharapkan agar tercipta sumber daya manusia yang berkualitas dalam mengembangkan ilmu pengetahuan yang telah didapatkan, serta mampu mempersiapkan diri untuk perkembangan dan kemajuan dunia pendidikan di era global” ujar Arsyad. Muhammad Riza A_Crew/ 25.16.165

Peningkatan Budaya Berfikir Mahasiswa oleh HMJ MPI Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ) adalah salah satu organisasi intra kampus yang menjadi wadah untuk menjalin komunikasi dan aspirasi antar mahasiswa dalam satu jurusan tertentu. HMJ MPI (Manajemen pendidikan Islam) merupakan salah satu HMJ di IAIN Ponorogo yang bergerak pada lingkup jurusan MPI. HMJ MPI memiliki kegiatan rutinan yaitu khataman dan kajian ilmu Manajemen pendidikan Islam. Acara ini diadakan dengan tujuan sebagai sarana komunikasi dan pemererat silaturahmi mahasiswa jurusan Manajemen pendidikan Islam. Selain itu HMJ MPI juga telah berhasil memberikan sumbangan peningkatan intelektualan mahasiswa MPI melalui workshop Literasi MPI dengan tema “budaya literasi” pada tanggal 9-10 desember 2017. Diikuti oleh seluruh mahasiswa jurusan MPI dari semester 1, 3, dan 5. Kegiatan ini diselenggarakan sebagai wujud penguatan budaya berfikir mahasiswa di era globalisasi seperti saat ini. **Aji Wahyu Wiguna

Majalah aL-Millah Edisi 34

83


Bilik

kampus

Pengembangan Potensi Insan KPI dengan Progam Kerja yang Mumpuni Himpunan Mahasiswa Jurusan Komunikasi Penyiaran Islam (HMJ KPI) merupakan organisasi yang berkecimpung di dunia syiar keislaman. Organisasi ini identik dengan jurnalisme, di mana mahasiswa diarahkan untuk menjadi penulis, wartawan, fotografer, dan da’i. HMJ KPI adalah organisasi intra kampus yang berada di bawah naungan Dema Fakultas Ushuluddin, Adab dan Dakwah serta Sema Fakultas Ushuluddin, Adab dan Dakwah. HMJ KPI mengembangkan bakat anggota melalui beragam komunitas, diantaranya: komunitas kawah, manual, dakwah dan audiovisual. Komunitas kawah bergerak di sektor kepenulisan, komunitas manual berfokus pada sinematografi, komunitas dakwah memiliki kegiatan utama pada agenda latihan dakwah. Sementara Komunitas audiovisual berada dibawah bimbingan langsung oleh dosen dalam kegiatan audiovisual. Organisasi HMJ KPI mengagendakan 3 program kerja dalam 1 masa pengabdian, yakni pengenalan jurusan komunikasi penyiaran islam, workshop, serta study outdoor. Dalam rancangan workshop, telah direncanakan pelatihan fotografi dan vidiografi. Irin Hamidah_Crew/ 25.16.163

Mengembangkan Intelektual Mahasiswa Penafsir Al Qur’an dan Hadits Melalui Organisasi Himpunan Mahasiswa Jurusan Ilmu Al qur’an dan Tafsir (HMJ IAT) merupakan sebuah organisasi yang mengkaji ilmu-ilmu Al qur’an dan sedikit mengupas ilmu-ilmu hadits. HMJ IAT adalah organisasi intra kampus yang berada di bawah naungan Dema Fakultas Ushuluddin, Adab dan Dakwah serta Sema Fakultas Ushuluddin, Adab dan Dakwah. Organisasi ini memiliki 3 program kerja utama, yakni orientasi mahasiswa jurusan ilmu Al qur’an dan tafsir, sekolah tafsir serta diskusi rutin. HMJ IAT mengawali agenda pertamanya dengan melaksanakan orientasi mahasiswa jurusan yang berfungsi sebagai pintu gerbang masuknya mahasiswa ilmu Al qur’an dan tafsir. Orientasi mahasiswa jurusan merupakan ajang pengenalan jurusan serta penyampaian materi dasar Ilmu Al qur’an dan tafsir. Selanjutnya, agenda rutin dari HMJ IAT ialah diskusi. Diskusi ini menguraikan mengenai materi-materi Ilmu Al qur’an dan tafsir, meliputi ulumul qur’an, ulumul hadits, ulumul tafsir dan lain sebagainya. Sementara agenda besar selanjutnya adalah sekolah tafsir. Sekolah tafsir merupakan acara yang berisi kajian mengenai penafsiran Al qur’an dan hadits. Irin Hamidah_Crew/ 25.16.163

The Growth Of Social Soul Camp ” Sebagai Upaya Pengenalan“ Jurusan Pada Mahasiswa Baru Bimbingan Penyuluhan Islam Himpunan Mahasiswa Jurusan Bimbingan Penyuluhan Islam (HMJ BPI) merupakan organisasi yang mewadahi pemikiran, aspirasi, serta bakat mahasiswa BPI. HMJ BPI bergerak di bawah lindungan Dema Fakultas Ushuluddin, Adab dan Dakwah serta Sema Fakultas Ushuluddin, Adab dan Dakwah. HMJ BPI mengawali program kerjanya dengan sebuah gebrakan baru, dengan melaksanakan “The Growth Of Social Soul Camp” (GSS Camp). Kegiatan ini berupa orientasi mahasiswa baru yang dilaksanakan dalam bentuk perkemahan. Kegiatan ini mengusung tema ‘membangun jiwa sosial mahasiswa jurusan bimbingan penyuluhan islam IAIN Ponorogo’. Kegiatan yang berlangsung selama 3 hari di lapangan Tembak Mrican Ponorogo ini berisi materi seputar penyuluhan islam, outbond, bakti sosial serta dimeriahkan dengan agenda makrab. Peserta GSS Camp 2017 disuguhi materi berupa pengenalan jurusan, kemudian psikologi dakwah, dan yang terakhir ialah mengenali karakter kepribadian. Acara disambung dengan outbond, jalanjalan serta masak bersama. Sebagai kegiatan sosial, acara ini turut melaksanakan bakti sosial dengan memberikan sumbangan kepada warga yang dinilai kurang mampu. Kegiatan ini ditutup dengan apik melalui makrab yang dihadiri pula oleh sejumlah undangan dari Tulungagung, pihak SEMA dan DEMA. Irin Hamidah_Crew/ 25.16.163

84

Majalah aL-Millah Edisi 34


bilik

kampus

Melalui Osmajur, HMJ PS Cetak Kader Berkualitas Himpunan Mahasiswa Jurusan Perbankan Syariah (PS) merupakan salah satu organisasi intra yang menjadi wadah untuk menampung dan menyalurkan aspirasi mahasiswa jurusan PS. Sehingga mahasiswa PS diharapkan mampu menjadi berkualitas dalam bidang akademik atau nonakademik. Untuk menunjang tujuan HMJ PS, jurusan yang sudah memasuki periode ke-tiga ini mengadakan Orientasi Mahasiswa Jurusan (Osmajur) selama dua hari, terhitung sejak tanggal 30 September sampai tanggal 1 oktober 2017. Kegiatan yang dilaksanakan dibalai desa Ngrupit ini dihadiri oleh 55 peserta dari mahasiswa baru. Dalam kegiatan tersebut, peserta dibekali dengan materi tentang kemahasiswaan, keorganisasian, serta pengenalan Perbankan Syariah. Setelah pemberian materi, dilakukan FGD (Forum Grup Diskusi). Selain materi dan FGD, juga diadakan outbond dan inagurasi. Dengan adanya kegiatan Osmajur tersebut, pihak HMJ PS Berharap akan terbentuk kaderkader yang berkualitas untuk meneruskan kepengurusan HMJ PS. ** Layla Restu S_Crew

MAPALA: Peduli Bencana Termasuk Wujud Cinta Terhadap Alam MAPALA: Peduli Bencana Termasuk Wujud Cinta Terhadap Alam UKM (Unit Kegiatan Mahasiswa) merupakan salah satu organisasi intra kampus yang mewadahi bakat dan minat mahasiswa di perguruan tinggi. Salah satunya adalah UKM MAPALA (Mahasiswa Pecinta Alam) IAIN Ponorogo. Ketika bencana tanah longsor menimpa desa Banaran Ponorogo pada April 2017 lalu, UKM MAPALA juga terjun sebagai relawan dalam menangani bencana. Organisasi yang berdiri 22 tahun lalu ini membentuk Posko MAPALA Se-Indonesia dalam penanganan bencana tanah longsor di Banaran. Posko yang didirikan MAPALA ini bersifat menerima dan menyalurkan bantuan dari para donatur, memfasilitasi relawan yang akan menuju lokasi bencana, serta mengarahkan dan menempatkan relawan sesuai dengan keahliannya. Relawan yang tergabung dalam Posko bencana milik MAPALA ini mencakup seluruh Indonesia, diantaranya MAPALA IAIN Banten (Jawa Barat), MAPALA Politekes Surakarta (Jawa Tengah), MAPALA UNJ (Jember), dan sebagainya. Bayu, selaku ketua umum MAPALA IAIN Ponorogo mengatakan bahwa kegiatan ini adalah sebuah misi kemanusiaan. “Tujuan dari pembentukan posko ini adalah sebagai misi kemanusiaan” tuturnya. ** Layla Restu S_Crew

Bazar Ramadahan, Upaya dalam Menciptakan Wirausahawan KOPMA (Koperasi Mahasiswa) Al-Hikmah merupakan lembaga mahasiswa yang berfungsi sebagai wadah bagi mereka yang memiliki minat dan bakat dalam bidang kewirausahaan. KOPMA Al-Hikmah memiliki sebuah komunitas yang memfokuskan anggotanya untuk menjadi seorang businessman yang mereka namai dengan Komunitas Bisnis. Pada bulan Ramadhan lalu Komunitas ini menyelenggarakan event yang bertujuan untuk melatih anggotanya agar lihai dalam berwirausaha dan peka terhadap peluang bisnis. Event tersebut dinamai “Bazar Ramadhan” Bazar Ramadhan adalah sebuah Event tahunan yang dilaksanakan selama bulan Ramadhan. Event ini berlangsung selama 2 minggu, dimulai pada awal Minggu ke-2 pada bulan Ramadhan dan berakhir pada akhir minggu ke-3. Walaupun diprakarsai oleh Komunitas Bisnis KOPMA, namun mereka tidak menutup peluang partisipasi oleh pihak lain. Selain anggota komunitas bisnis KOPMA, ada beberapa pihak lain yang ikut berpartisipasi meramaikan Event tersebut, yaitu Mahasiswa IAIN Ponorogo (diluar KOPMA) dan warga sekitar kampus. Dengan berjualan ta’jil, sayur serta lauk pauk untuk berbuka, diharapkan para peserta bazar tahu dan terbiasa dengan lika-liku yang akan mereka alami dalam dunia bisnis. Mofik_Crew/ 25.16.164

Majalah aL-Millah Edisi 34

85


Bilik

kampus

Kembangkan Kualittas SDM Melalui Diklat Administrasi UKM KSR (Korps Suka Rela) IAIN Ponorogo merupakan organisasi mahasiswa intra kampus yang memfokuskan kegiatannya pada bidang sosial dan kemanusiaan. Dalam rangka untuk mengembangkan kualitas SDM (Sumber Daya Manusia) yang dimilikinya, selain melatih anggotanya agar sigap menangani masalah-masalah kemanusiaan, KSR juga menyiapkan anggotanya untuk cepat dan profesional dalam menghadapi berbagai masalah di internal organisasi. Dalam rangka mengembangkan kemampuan ini, UKM KSR mengadakan diklat administrasi selama sehari di kampus IAIN Ponorogo. Acara ini diikuti oleh 40 peserta yang merupakan anggota KSR baik pengurus maupun anggota biasa. Semiar tersebut bertujuan untuk memberikan wawasan kepada peserta tentang pemimpin dan kepemimpinan yang ideal serta bagaimana mengelola administrasi yang baik dan profesional. seain itu seminar ini juga bertujuan agar peserta seminar memiliki wawasan yang luas mengenai organitation problem solving (pemecahan masalah organisasi). Mofik_Crew/ 25.16.164

UKM Pramuka Adakan DIKLANSAR UKM Pramuka merupakan organisasi yang mewadahi mahasiswa dalam bidang kepramukaan. Sebagaimana program kerja yang ada, UKM pramuka mengadakan DIKLANSAR (Diklat Lanjutan Dasar) yang merupakan latihan tingkat lanjutan setelah ORTEGA. Kegiatan ini diadakan pada tanggal 22-25 desember 2017. Kegiatan ini diikuti seluruh peserta UKM pramuka yang telah mengikuti pelatihan ORTEGA. Kegiatan yang berlangsung tiga hari ini, diawali dengan pembukaan kegiatan yang bertempat kampus 1 IAIN Ponorogo, dilanjut dengan penjelajahan. Rute perjalanan yang ditempuh mulai dari kampus pusat, Pulung, Sooko dan berakhir di kampus 2 jenangan IAIN Ponorogo. Di kampus 2 para peserta mendirikan bumi perkemahan. Serangkaian kegiatan yang berlangsung yaitu: hari pertama, diisi dengan materi kepramukaan yang berlangsung dalam ruangan, hari kedua penindak lanjuti materi dihari pertama serta pengaplikasiannya, hari ketiga penutupan dari serangkain kegiatan. **Mufida Agustina_Crew

Tingkatkan Kompetensi Mahasiswa, HMJ Mazawa Selenggarakan Workshop Manajemen Zakat Himpunan Mahasiswa Jurusan Manajemen Zakat dan Wakaf (HMJ Mazawa) merupakan organisasi intra kampus IAIN Ponorogo yang mewadahi aspirasi mahasiswa di jurusan yang bersangkutan. Organisasi yang belum genap setahun terbentuk ini melakukan manufer cepat dengan menyelenggarakan Workshop Manajemen Zakat pada tanggal 16 Desember 2017 di Aula gedung Indrakila. Rizka sebagai ketua pertama himpunan ini menjelaskan bahwa workshop ini dilaksanakan untuk menambah wawasan tentang manajemen zakat. Untuk pemateri, HMJ Mazawa menghadirkan ketua Baznas cabang Ponorogo, Luhur Karsanto. Kegiatan yang mengusung tema “Aktualisasi Manajemen Zakat Guna Meningkatkan Sumber Daya Insani Yang Berkompeten� ini dihadiri oleh peserta dari seluruh mahasiswa jurusan Mazawa dan delegasi tiap HMJ di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam (FEBI). Zaenal Abidin_Crew/ 23.14.136

86

Majalah aL-Millah Edisi 34


bilik

kampus

Jalin Solidaritas Bersama Ukm Olahraga Unit kegiatan mahasiswa (UKM) Olahraga merupakan salah satu organisasi intra kampus yang ada di IAIN Ponorogo. Organisai yang berkecimpung dalam dunia olahraga ini seringkali mengikuti berbagai turnamen, baik di tingkat Kabupaten maupun tingkat Nasional. Hal tersebut terbukti karena UKM ini telah menyabet juara 4 liga futsal dalam turnamen yang digelar oleh PSSI Ponorogo. Dalam menjalin solidaritas dan mengenalkan salah satu kegiatan UKM Olahraga, pada kesempatan kali ini UKM olahraga mengadakan pesta olahraga yaitu Kompetisi Intra Kampus yang berlangsung pada tanggal 25 November - 3 Oktober yang bertempat di GOR IAIN Ponorogo. Acara yang mengusung tema “Wujudkan Minat Bakat dan Jalin Solidartas” ini terdiri dari 4 kompetisi cabang olahraga, diantaranya; futsal, bola voli, tenis meja, dan badminton. Acara yang berlangsung beberapa hari ini menarik banyak minat mahasiswa hijau IAIN Ponorogo dalam mengikuti lomba tersebut. Hal itu terbukti dari banyaknnya peserta yang mengikuti lomba hingga sampai melebihi quota pendaftaran seperti yang dipaparkan oleh Khoirul Anam selaku ketua UKM Olahraga. “Untuk olahraga cabang futsal sebenarnya banyak sekali peminatnya, bahkan melebihi quota. Namun berhubung waktu yang terbatas dan kami hanya butuh 32 tim, mohon maaf kami tidak bisa meloloskan”, ungkap Khoirul. **Mufida Agustina_Crew

Pentas Harmoni Menjadi Gebang Utama Anggota Baru Sebagai Seniman UKM SEIYA merupakan Unit Kegiatan Mahasiswa yang bergerak dibidang seni dan budaya. Dalam kiprahnya pada seni dan budaya, UKM SEIYA melaksanakan Pentas Harmoni dengan tema Rumah Doremi pada 10 november 2017 di Graha Watoe Dhakon. Acara ini diperuntukan bagi anggota UKM SEIYA semester tiga yang telah bergelut selama satu tahun di SEIYA. Dalam pentas tersebut, para anggota menampilan musik, teater, tari, puisi serta paduan suara. dengan begitu, Muhammad Ilham selaku ketua dari UKM SEIYA berharap agar UKM SEIYA menjadi semakin baik dari tahun ke tahun, pun penyelenggaraan acara setiap generasi ke generasi bertambah semakin baik. **Mufida Agustina_Crew

Rekam Jejak Prestasi UKI ULIN NUHA UKM UKI (Unit Kegiatan Keislaman) ULIN NUHA adalah organisasi intra kampus yang bergerak dan berdedikasi dalam ranah keagamaan islam. UKI berperan aktif sebagai organisasi yang menjadi sentral kajian ke-islaman dalam Republik Mahasiswa IAIN Ponorogo. Organisasi ini memuat beragam program kerja, diantaranya adalah kajian keislaman, pelatihan qiro’ah (Seni baca Al-qur’an), kaligrafi, hadroh, muhadlarah (pidato), tadabbur alam, khotmil qur’an, rutinan majlis sholawat, kunjungan industri, dan ziarah wali. Dalam kegiatannya, UKI tidak hanya mengasah bakat dan minat anggotanya, tetapi juga turut serta dalam proses pengembangan prestasi, yaitu dengan mengikuti berbagai ajang perlombaan. Berbagai prestasi berhasil diraih oleh mereka, diantaranya adalah perolehan juara 1 dan 2 pada lomba DAI yang diselenggarakan oleh IAI Ngawi, juara 1 MTQ di STAIN Kediri, juara 1 MSQ grup di STAIN Kediri, dan pada awal tahun 2018 ini, UKM UKI ULIN NUHA kembali berhasil menyabet juara 1 dalam festival banjari se-eks Keresidenan Madiun yang diselenggarakan di MAN 2 Madiun. Arini Sa'adah_Crew/ 25.16.161

Majalah aL-Millah Edisi 34

87


komik

@Chandra 88

Majalah aL-Millah Edisi 34


komik

Majalah aL-Millah Edisi 34

89


90

Majalah aL-Millah Edisi 34


Majalah aL-Millah Edisi 34

91


92

Majalah aL-Millah Edisi 34


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.