6 minute read

budaya

Next Article
Komik Receh

Komik Receh

Menilik Jathil Dari Masa Ke Masa

Jathil ditarikan oleh laki-laki untuk menciptakan kesan lemah, sebagai bentuk sindiran kepada prajurit Majapahit yang tidak cukup tangguh dalam berperang melawan musuh

Advertisement

Dalam kehidupan ini, manusia tidak terlepas dari sebuah budaya yang menjadi identitas. Termasuk Ponorogo, kota yang terkenal dengan kesenian Reyog dan berbagai budaya lain yang ada di dalamnya. Reyog sendiri menjadi identitas masyarakatnya sejak daerah ini disebut ‘Bumi Wengker’. Pada setiap penampilan Reyog sendiri, terdiri dari beberapa tarian yang dimainkan oleh masing-masing pemainnya, seperti Singo Barong, Bujang Ganong, Warok, Kelono Sewandono dan Jathil.

Jika kita mendengar kata “Jathil (Jathilan)”, langsung mempunyai bayangan seseorang penari yang menunggangi ‘kuda’ saat menari. Hentakan kaki yang begitu gagah, namun lemah gemulai merupakan ciri khas Jathil. Sebutan Jathilan adalah pasukan berkuda yang mengiringi pementasan Reyog. Dilansir dari Wikipedia, Jathil merupakan tarian yang menggambarkan ketangkasan prajurit berkuda yang

sedang berlatih di atas kuda. Tarian ini dibawakan oleh penari yang saling berpasangan dengan penari lainnya. Ketangkasan dan kepiawaian dalam berperang di atas kuda ditunjukkan dengan ekspresi sang penari.

Sosok Jathil Ponorogo sendiri, digambarkan sebagai penari yang lemah gemulai, lincah sehingga mampu memikat antusias para penontonnya. Meskipun dahulunya tarian ini dibawakan oleh laki-laki, tetapi tidak menutupi kepiawaian dalam menari. Seiring dengan perkembangan zaman, Jathil ini sepenuhnya ditampilkan oleh seorang perempuan dalam setiap pementasan Reyog sendiri.

Sejarah Jathil Tempo Dulu dan Sekarang

Jathil dalam sejarahnya, termasuk bagian tarian dari pementasan Reyog. Pada awal mulanya, menurut versi Ki Ageng Kutu merupakan sebuah sindiran (satire) kepada prajurit Majapahit yang dilakukan oleh Suryo Ngalam atau Ki Ageng Kutu karena dianggap lemah atau tidak tangguh. Tarian ini dibawakan oleh seorang laki-laki. Sebab, perempuan dahulu jika menari dianggap tabu oleh masyarakat. Penari Jathil laki-laki ini biasanya merupakan anak asuh dari Warok yang biasa disebut Gemblak.

Menurut Sudirman selaku pegiat kesenian Reyog, kala itu, berkembanglah istilah Gemblak yang bersinggungan dengan Jathil. Gemblak merupakan sebutan dari anak laki-laki yang diasuh seperti anak sendiri dalam kurun waktu dua tahun. Ketika ingin menjadi Gemblak, dia harus diangkat anak oleh Warok dengan persetujuan orang tuanya dan dengan diberi imbalan seperti disekolahkan, diberi sapi atau hewan ternak dan juga tanah garapan.

Dilansir dari Wikipedia, sejak tahun 1980-an, ketika tim kesenian Reog Ponorogo hendak dikirim ke Jakarta untuk pembukaan PRJ (Pekan Raya Jakarta), penari Jathilan diganti oleh para penari putri dengan alasan lebih feminin. Saat itulah, Gemblak mulai ditiadakan dan digantikan oleh perempuan. “Tahun 80-an, waktu pekan raya yang dibuka oleh Presiden Suharto kala itu, penari Jathil laki-laki digantikan oleh perempuan,” ungkap Sudirman, salah satu penggerak seni di Ponorogo.

Pernyataan Sudirman ini juga dibenarkan oleh penjelasan dalam buku yang berjudul “Bila Seniman Melawan” karya Murdianto. Dalam buku tersebut mengatakan bahwa, “Perkembangan Reyog pada awal-awal tahun 1980-an, tepatnya pada tahun 1984 menjadi contoh betapa pasar hanya mau mengadopsi kesenian lokal, apabila Reyog dieliminasi dari unsur spiritual dan magisnya. Hal

Tidak dipungkiri bahwa zaman mengubah sendi kehidupan manusia.

ini terjadi pada saat menjelang pementasan Reyog di panggung TMII, dimana panitia menginginkan penari Jathil diganti perempuan. Pergantian Jathil dari laki-laki menjadi perempuan ini bukan saja untuk melayani pasar namun juga merupakan bagian dari penertiban terhadap unsur-unsur subversif terhadap agama, kekuasaan negara dan moralitas dari kesenian”.

Seiring dengan perkembangan zaman, seolah mulai paham akan kehidupan modern, muncullah berbagai perubahan dalam sendi kehidupan. Seperti Jathil misalnya, yang dulu dimainkan oleh laki-laki dan sekarang dimainkan oleh seorang perempuan. Adapun jika Jathil tersebut dimainkan oleh seorang laki-laki tentu sangat jarang ada karena berkaitan erat dengan adanya edaran penertiban dari pemerintah. Jika pun, ada itu bukan seorang lelaki melainkan seorang waria. “Selain dalam pentas memang ada penari Jathilan laki-laki sekarang-sekarang ini. Tapi berbeda, zaman dahulu Gemblak tetaplah seorang laki-laki tulen yang menarikan tarian Jathil. Sedangkan zaman sekarang kebanyakan penari Jathil laki-laki merupakan seorang waria, kalau saya amati,” tutur Sudirman, pemilik padepokan Seni Joglo Paju.

Jika zaman dulu, Jathil ditarikan oleh laki-laki untuk menciptakan kesan lemah, sebagai bentuk sindiran kepada prajurit Majapahit yang tidak cukup tangguh dalam berperang melawan musuh. Namun, kesan lemah gemulai dianggap cocok jika ditarikan oleh Jathil perempuan yang memiliki gerakan lebih luwes. Tidak bisa dibandingkan antara Jathil laki-laki dan perempuan sendiri. Sebab, Jathil laki-laki lebih kepada kultur dan adat leluhur zaman dahulu. Sedangkan perempuan lebih kepada artistik dan menghibur. Hanya pada saat tertentu, Jathil laki-laki ditampilkan untuk upacara adat atau ketika ada turis yang datang. Senada dengan ungkapan Sudirman salah satu penari Jathil laki-laki. “Jathil laki-laki sendiri hanya ditampilkan ketika upacara adat seperti minta hujan dan ketika ada turis yang ingin melihat pertunjukkan tersebut,” ungkapnya.

Ciri Pakaian yang Digunakan

Dari segi pakaian atau kostum sendiri sangat berbeda. Jika kostum yang dipakai oleh Jathil laki-laki seperti wayang orang yaitu memakai kebaya, kekes atau jamang di kepala, sumping di telinga, properti eblek, selempang, kacamata, kaos kaki selulut, sandal lili. Sedangkan Jathil laki-laki sekarang yang dinamakan ludruk meskipun tariannya saat ini hampir sama dengan penari Jathil laki-laki dulu tetapi perbedaan ludruk memakai sempyok di bagian dada.

Sementara perkembangan sekarang, Jathil perempuan memakai baju putih, udeng di kepala, selempang di dada, properti eblek dan sebagainya. Senada dengan penari Jathil dulu, tetapi perbedaan terletak kepada pakaian yang digunakan. Jathil sekarang, biasa memakai sepatu pantofel atau sepatu sandal dengan kaos kaki sampai pergelangan kaki, bahkan terkadang tidak menggunakan alas kaki.

Jika dibandingkan penari Jathil terdapat gaya pakaian yang berbeda. Di mana jika dilihat dari kostum pakaian Jathil dulu memakai kebaya yang menonjolkan tradisionalnya. Sedangkan sekarang memakai baju putih yang terkesan menampilkan modern. Perubahan pernak-perniknya sendiri, lebih disesuaikan dengan keadaan sekarang yang lebih modern.

Perkembangan Jathil Sekarang

Seiring perubahan zaman, Jathil dikemas dengan dibagi menjadi dua tarian yaitu obyok dan festival. Obyok lebih mengedepankan seni hiburan masyarakat semata. Sedangkan festival lebih kepada estetika dan edukasi yang diajarkan pada pendidikan formal serta sebagai acuan untuk menyelenggarakan festival Reyog.

Acuan dalam festival, dikemas dengan menghadirkan koreografi yang telah dikonsep sedemikian rupa, sehingga tarian Reyog dapat ditampilkan dengan keindahan yang memukau penontonnya. Tak hanya itu, Jathil yang dahulu hanya ada dua orang sekarang berkembang menjadi 8 sampai 12 orang untuk saling berpasangan. Perpaduan koreografi yang menarik tidak menciptakan kesan monoton dalam sebuah seni. Inovasi dalam festival juga ditampilkan karena mengedepankan koreografi yang sederhana. Dalam perkembangannya, Reyog dapat dijadikan hiburan untuk masyarakat sekitar dengan Reyog obyoknya. Selain itu juga sekaligus memiliki nilai seni dan estetika yang tinggi sehingga layak untuk ditampilkan dalam panggung festival dan dinikmati oleh seluruh masyarakat Indonesia bahkan manca negara.

Tidak dipungkiri bahwa zaman mengubah sendi kehidupan manusia. Tak lain, dalam hal seni tarian yang dibawakan harus mengedepankan sebuah etika dan estetika. Etika dalam menari merupakan tata kesopanan saat menari. Sedangkan estetika menari adalah keindahan dalam menarikan sebuah tarian agar penonton menikmati bagus atau tidaknya sebuah pertunjukan. Pemain Jathil sekarang harus lebih memandang etika dan estetika dalam menari. Agar terlihat lebih baik dari sebelumnya yang kurang memperhatikan hal tersebut. “Saya prihatin, karena mereka hanya bermodal cantik, berani, dan mengesampingkan estetika dan etika, menari itu indah, baik dan harus bervariasi itu yang tidak mereka pikirkan, saya melihat dari kacamata tari, kemudian dari sisi etika mereka melakukan adegan-adegan yang di luar kepantasan misalnya dengan mengegolkan pantatnya di dekatnya wajah pria atau penari lain yang itu dilihat oleh banyak orang termasuk anak-anak, tidak sopan, kreativitas yang kebablasan, meninggalkan tata kesopanan dan etika dalam berkesenian,” ucap Sudirman.

Masalah di kalangan masyarakat saat ini, terletak pada kurangnya etika dan estetika dalam menari Jathil. Sebab, jika sebuah tarian tidak memandang kedua hal itu, akan menyebabkan hilangnya sebuah adab atau tata krama dalam masyarakat. Menjadi pekerjaan pemerintah untuk memberikan kebijakan dan pemahaman yang baik. “Pemangku kebijakan dan juga pembina kesenian untuk duduk bersama, memberikan pemahaman kepada mereka dan jangan disalahkan mereka, mereka selama ini menari hanya meniru saja, tidak belajar kepada siapa-siapa, meniru kepada yang sudah ada karena yang tahu tidak memberi tahu dan tidak diberi tahu. harus didudukkan, membuat format pemahaman dan pendidikan seni Reyog yang sebenarnya,” harap Sudirman. Dengan latihan yang giat, lebih mengembangkan seni dan memperlihatkan dasar kedaerahan akan menimbulkan daya tarik yang lebih baik lagi. “Luar biasa mereka beberapa fasilitas untuk mengembangkan seni agar lebih bagus, hanya saja, mereka harus memperlihatkan dasar-dasar ke-Ponorogo-annya yang kuat di dalam berkarya itu akan menjadi daya tarik yang luar biasa,” harap Sudirman.

(Lia Hikmatul Maula_26.17.176) (Ahmanda Fitriyana Fauzi_26.17.169)

This article is from: