Majalah aL-Millah edisi 36 "PLTP: Melukai Alam demi 120 Megawatt"

Page 1

Majalah LPM aL-Millah Edisi 36

1


2

Majalah LPM aL-Millah Edisi 36


Daftar Isi 1 2 3 4 6

31 37 41 45 50

Daftar Isi Salam Redaksi Editorial Aspirasi Isu

53 Kampusiana

Demi Kampus, Penerapan Sistem UKT Bukan Demi Mahasiswa Nasib Mahasiswa Tidak Diutamakan Dalam Komersialisasi Pendidikan

10 Bahasan Utama Panas Bumi di Indonesia: Antara Musibah dan Anugerah

16 Laporan Utama

CSR: Bentuk Tanggung Jawab atau Sebagai Upaya Memperlicin Eksekusi Proyek (?)

23 Liputan Khusus

Rencana Eksploitasi Panas Bumi di Ngebel: Dampak Jangka Pendek Teratasi, Dampak Jangka Panjang Minim Antisipasi

Diterbitkan oleh: LPM aL-Millah IAIN Ponorogo Pelindung: Rektor IAIN Ponorogo Pemimpin Umum: Muhamad Riza Ardyanto Pemimpin Redaksi: Umi Ula Romadhoni Layouter: Irfan W. Wicaksono

Khazanah Budaya SKSD Kolom 1 Kolom 2

58 61 64 66 69 72 75 83 84

Sosok Alamku Puisi Cerpen Resensi Film Resensi Buku Bilik Kampus Komik Titik Kenangan

Susunan Redaksi

MAJALAH MAHASISWA IAIN PONOROGO EDISI 36 Staf Redaksi: Shofi, Umar, Adzka, Dendy, Eka, Azizah, Manda, Lia, Utami, Dhamuri, Syamsul, Rista, Diyani, Arina, Vega, Alifa, Alwy, Aji, Zia, Ririn, Umi, Zona, Yulia, Fanisa, Zanida, Irin, Jannah, Fanda, Intan, Yaya, Anisa.

Desain Grafis: Agus Musthofa

Alamat Redaksi: Jl. Pramuka no.156 Gd BEM Lantai 2 Ronowijayan Siman Ponorogo

Ilustraror: Chandra Nirwana Harsono Putri

Email: lpmalmillah@gmail.com

Fotografer: Tim Fotografer

Narahubung: Riza (085749096194) Ula (085706483201)

Editor: Arini, Abidin, Khafidz, Ulfa, Nining

Majalah LPM aL-Millah Edisi 36

1


SALAM REDAKSI

K

emegahan Tuhan atas segala kuasa dan harapan serta doa semoga tetap tercurah kehadiratNya. karenaNya yang telah mengizinkan kami menyelesaikan majalah LPM aL-Millah edisi ke 36 semoga bisa membawa kebermanfaatan bagi para pembaca dan crew khususnya. Edisi kali ini kami mengambil judul “PLTP: Melukai Alam Demi 120 Megawatt�. Mengapa? Karena di dalamnya kami membahas mengenai proyek Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) yang dikelola oleh PT Bakrie Darmakarya Energi yang bertempat di daerah Ngebel dan sekitarnya. Kami juga menguraikan dampak setelah pengeboran dengan mengaca pada kejadian yang telah berlalu di daerah lain. Ada pula pembahasan mengenai berkurangnya debit air setelah datangnya perusahaan PLTP di daerah Ngebel dan sekitarnya. Pun pembahasan mengenai CSR yang seringkali diberikan pihak perusahaan sebagai iming-iming untuk membuka lahan di daerah-daerah yang diincar perusahaan sebagai tempat usaha. Benarkah demikian? Untuk pembahasan lebih lanjut dapat dibaca di halaman berikutnya. Selain tulisan yang membahas tentang PLTP, kami juga menyediakan tulisan ringan yang dirangkum khusus untuk para pembaca seperti sosok, alamku dan sastra, serta menjadi bacaan yang cocok untuk dibaca semua kalangan. Adapun dalam penulisan majalah, kami menulis berdasar realita dan hati nurani. Kami mencari sumber-sumber yang kredibel untuk dijadikan narasumber serta masyarakat secara acak. Demikian juga pemikiran yang tertuang dalam setiap tulisan dalam lembar majalah ini, murni pemikiran dari crew. Tak lupa pula terima kasih kepada semua pihak yang membantu terbitnya majalah, kepada tim editor, WALHI Jatim, FNKSDA, layouter, ilustrator dan kesetiaan serta kesabaran para crew dalam penggarapan. Semoga dengan hadirnya tulisan ini membawa perubahan dan kesadaran untuk lebih melindungi alam dari segala musibah. Selamat berimajinasi, selamat membaca dan salam persma!

2

Majalah LPM aL-Millah Edisi 36


EDITORIAL

G

emah ripah loh jinawi, ungkapan ini pantas menggambarkan Ponorogo yang memiliki kekayaan alam berlimpah. Bagi warga Ponorogo kekayaan alam ini menjadi bagian tak terpisahkan yang mendukung kehidupan. Tapi di mata pebisnis, kekayaan tersebut menjadi komoditas yang berpotensi diperjualbelikan untuk mengisi pundi-pundi kekayaan mereka. Mulai dari pasir, batu gamping, emas, hingga panas bumi. Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) sedang dibangun di Desa Ngebel, Ponorogo dengan potensi 120 Mw. Kini, PLTP Ngebel Ponorogo sudah menorehkan luka. Sumber air yang dulunya dipakai oleh warga Dusun Ngrogung dirusak saat pembangunan infrastruktur proyek. Sehingga, warga perlu mencari sumber air baru yang ternyata lebih kecil debitnya. Selain itu, pembukaan lahan merusak paralon air warga. Suara bising lalu lalang alat berat juga terdengar di sekitar area. Mencermati yang sudah terjadi, dampak negatif lebih dirasakan oleh tuan rumah, masyarakat Ponorogo. Di tempat lain pun sudah menjadi saksi betapa lingkungan sekitar terdampak oleh kegiatan PLTP. Mataloko misalnya; air di sekitar proyek PLTP mengeluarkan belerang yang berbau tajam dan beracun karena tercemar. Selain itu, gempa minor pernah dirasakan masyarakat sekitar Gunung Salak, Bogor. Belum lagi salah satu metode ekstraksi panas yang disebut hydraulyc fracturing (fracking). Fracking menggunakan air yang terkontaminasi senyawa kimia yang bisa menyebabkan kanker apabila mencemari sekitar. Proyek Geotermal di Turki contohnya, sudah mengakibatkan kontaminasi Arsenik, Antimon, dan Boron yang berlebih pada s umber air seki tarnya. Ketersediaan air juga terancam berkurang oleh kegiatan PLTP yang membutuhkan air dalam jumlah yang besar. Kalau sudah begitu, masyarakat sekitarlah yang paling merasakan dampaknya. Terlebih lagi, wacana dan penelitian mengenai dampak negatif ini begitu minim khususnya di Indonesia. Dampak baru tersorot ketika terjadi, tidak disosialisasikan sebelumnya. Tak jarang, CSR yang merupakan kewajiban kontribusi sosial perusahaan dijadikan umpan agar mau menerima proyek ini beserta konsekuensinya. Walaupun sudah membawa semangat beralih dari energi fosil ke energi terbarukan yang ramah lingkungan, dampak lingkungan yang sudah terjadi pantas membuat beberapa kalangan meragukan pemanfaatan panas bumi untuk produksi listrik. Apakah pemanfaatan panas bumi hanya menjadi kesenangan fana yang akhirnya menyisakan luka bagi ibu bumi? Majalah LPM aL-Millah Edisi 36

3


?

Aspirasi

Terkait perencanaan kalender & organisasi mahasiswa, alangkah lebih baiknya jika benar-benar disepakati bersama khususnya yang dinaungi lembaga mahasiswa sendiri (Republik Mahasiswa). Selain itu disesuaian dengan agenda rutin bulanan/tahunan mahasiswa yang sudah ditetapkan berdasarkan kurikulum pendidikan tahunan maupun perencanaan dari kampus sendiri. Sehingga berdampak baik bagi digital akademika keseluruhan baik sekala pendek maupun jangka panjang, baik fakultas maupun umum seluruh elemen perguruan tinggi. (Aruny Hayya, IAT semester 7) Kalender akademik sudah dibuat atau ditetapkan jauh-jauh hari. Misalnya, kalender tahun 2020 sudah dirapatkan sejak tahun 2019. Kalender akademik biasanya dirapatkan berdasarkan rapat kerja tahunan, semesteran yang dilakuan oleh orang-orang yang berkompeten. Rektor, Dekan, Wakil Dekan (Wadek), dan seluruh staf yang berkompeten ikut andil dalam pembuatan kalender. Dalam prosedur penyusunan kalender akademik tidak bisa dilakukan secara transparan, hanya pihak kampus yang mengetahui. Namun dalam pembuatannya seluruh staff mengetahui sehingga semua hasil rapat dilaksanakan secara terbuka. “jadi semua tidak didekte satu-satu�. Namun, jika dalam pembuatan terjadi perubahan maka akan diadakan rapat kembali tetapi dilakukan setelah seminggu atau satu bulan. Semua orang tidak bisa ikut andil dalam musyawarah, karena sudah tertanam pada sila ke 4 yang berbunyi “kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan dan perwakilan�. Sehingga dalam pembuatan kalender tidak bisa sewenang-wenang mahasiswa ikut andil karena birokrat kampus sudah memiliki tugasnya masing-masing. Jadi kita bisa serahkan kepada orang-orang yang sudah berkompeten pada bidangnya dalam pembuatan kalender. Dagangan kita yang paling utama adalah kuliah, Jadi jangan sampai menganggap semua orang merasa penting. Kalender akademik sudah direncanakan oleh orang yang berkompeten, sehingga jika mahasiswa ingin melaksanakan diskusi bersama ya Monggo, tapi itu kelewat batas namanya. Selain itu, menanggapi pertanyaan, mengapa kalender akademik selalu tidak sesuai dengan agenda organisasi mahasiswa? Coba kita kembalikan pertanyaanya apakah mahasiswa tidak melihat jadwal yang sudah tertera di kalender akademik? Jika agenda organisasi tidak sesuai, salahnya tidak melihat kalender & tidak menyesuaikan. Karena jadwal kalender sudah ditetapkan jauh-jauh hari, jadi agenda organisasi mahasiswa seharusnya menyesuaikan jadwal kalender. (Muhsin, Kassubag Tata Usaha Hubungan Masyarakat dan Rumah Tangga)

4

Majalah LPM aL-Millah Edisi 36

?


?

Aspirasi

Kenapa kita jarang menggunakan ataupun mempelajari alat kampus seperti kamera HD, kamera DSLR, dan lab editing. Padahal fasilitas tersebut seharusnya diperuntukkan khususnya kepada mahasiswa KPI? (Joko Riskiono, semester 5 KPI).

Peralatan alat penunjang KPI sebenarnya sudah di fasilitasi oleh pihak kampus, dan dapat digunakan untuk individu maupun dalam organisasi. Ruangan dan alat yang tersedia yaitu studio foto, kamera HD berjumlah tiga, kamera digital berjumlah tiga, kamera DSLR berjumlah empat , kamera analog berjumlah dua dan masih banyak lagi. Lalu mengapa mahasiswa KPI jarang menggunakan atau mempelajari alat yang sudah disediakan tersebut? Hal tersebut dikarenakan pada mata pembelajaran mahasiswa KPI belum sepenuhnya dicantumkan, hanya sebagian saja yang dipelajari seperti mempelajari kamera DSLR pada mata pelajaran fotografi. Selain itu permasalahan juga ada pada mahasiswa sendiri, karena pihak kampus sudah menyediakan fasilitas berupa alat-alat tersebut namun tidak dipergunakan secara maksimal. Sehingga jika kita ingin mempelajari hal tersebut bisa dengan cara aktif mengikuti organisasi maupun komunitas di kampus atau di luar kampus. Lalu, bagaimana dengan mahasiswa pasif, yang memiliki kepentingan lain seperti bekerja maupun mondok? Sekali lagi pihak kampus sudah mempersiapkan kebutuhan penunjang KPI. Semuanya bebas meminjam ataupun mempelajari kapan pun namun tetap sesuai dengan prosedur yang sudah ditetapkan. Sehingga, tergantung mahasiswanya sendiri, jika mereka aktif pada organisasi maka bisa lebih mudah mempelajarinya karena dibimbing langsung oleh dosen yang bertanggung jawab. Namun jika kita masih pasif pada organisasi karena ada kebutuhan lain yang dianggap lebih penting, kita harus memaksimalkan waktu agar dapat mempelajari ataupun menggunakan alat-alat tersebut. Sehingga meskipun kita aktif maupun pasif semua dapat menggunakan maupun mempelajarinya. Cara peminjamannya pun juga cukup mudah yaitu dengan datang langsung ke Lab. studio foto yang berada di lantai empat, lalu mengisi formulir dan meninggalkan KTM (Kartu Tanda Mahasiswa) sebagai jaminan. Juga terdapat kebijakan lain yakni jika peminjaman hanya untuk pribadi tidak boleh dibawa pulang, namun jika sudah berkoordinasi oleh pihak yang bertanggung jawab diperbolehkan dibawa pulang. Batas peminjaman jika digunakan untuk acara kampus yaitu pagi sampai malam dan selalu dipantau oleh dosen yang bertanggung jawab. Rencananya kurikulum selanjutnya akan ada mata pelajaran tambahan yaitu videografi. Sehingga dengan adanya pelajaran tersebut pihak kampus dapat memaksimalkan pembelajaran, tidak hanya teori namun dapat mempraktekkannya langsung. (Galih, Penanggungawab Audio Visual(AV)

Majalah LPM aL-Millah Edisi 36

5


Isu

PANAS BUMI (TAK) TERBARUKAN, MASA DEPAN TERABAIKAN “Masih diperdebatkan oleh akademisi lingkungan terbarukan apa tidak, kalau terbarukan kan keberlanjutan, tetapi panas bumi juga ada jangka waktunya” Purnawan Dwikora Negara.

E

nergi listrik merupakan salah satu hasil pemanfaatan kekayaan alam dan teknologi yang dapat memudahkan manusia dalam melakukan aktivitasnya. Kebutuhan masyarakat akan energi listrik terus bertumbuh setiap tahunnya. Dilansir dari kompas.com Peningkatan konsumsi energi listrik setiap tahunnya diperkirakan terus bertambah. Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PT PLN (Persero) tahun 2010-2019 menyebutkan, kebutuhan listrik diperkirakan mencapai 55.000 MW. Jadi rata-rata peningkatan kebutuhan listrik pertahun adalah 5.500 MW. T i d a k m e n u t u p kemungkinan, di masa depan listrik menjadi kebutuhan pokok yang hampir tak tergantikan bagi masyarakat. Tak perlu menunggu masa depan yang terlalu jauh, sekarang pun sebagian besar masyarakat, terutama masyarakat perkotaan, hampir dalam setiap kegiatan yang dilakukan sehari-hari membutuhkan energi listrik. Pergeseran kebutuhan energi ini meningkat secara signifikan seiring pesatnya perkembangan teknologi yang mem-

6

permudah aktifitas masyarakat. Bahkan beberapa tahun terakhir, pengembangan teknologi transportasi bertenaga listrik telah dikerjakan secara masif untuk mewujudkan alat transportasi yang ramah lingkungan, minim polusi. Konsumsi listrik masyarakat yang meningkat dengan pesat ini menjadi tugas besar sekaligus menjadi pilihan sulit bagi pemerintah Indonesia. Sebab, dengan meningkatnya kebutuhan listrik masyarakat, pemerintah harus menyediakan sumber daya listrik untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Namun, disisi lain, ketika pemerintah menyediakan sumber daya listrik berarti pemerintah mengeksploitasi sumber daya alam untuk dijadikan sumber energi listrik. Sedangkan selama ini sumber energi listrik yang digunakan, umumnya, berasal dari energi fosil yang ketersediaannya sangat terbatas dan tidak bisa diperbaharui dengan teknologi rekaan. Kondisi demikianlah yang mendorong para peneliti untuk mencari serta mengembangkan sumber energi listrik alternatif.

Majalah LPM aL-Millah Edisi 36

Konon, penggunaan Energi Baru Terbarukan (EBT) menjadi pilihan terbaik. Hal ini didukung dengan kekayaan sumber daya alam yang ada di Indonesia. Salah satu jenis EBT yaitu energi panas bumi (geothermal) sebagai sumber energi pembangkit listrik. Namun, ditengah ramainya isu Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) yang terbarukan ini, muncul pendapat dari peneliti yang meragukan ‘keterbaruan’ energi panas bumi. Keraguan tersebut bermula dari beberapa bukti kongkrit berdasarkan data yang diperoleh peneliti dari negara lain yang terlebih dahulu mengembangkan energi panas bumi ini. Salah satu pertanyaan mendasar yang memicu keraguan tersebut yakni: bagaimana jika panas bumi bukan energi yang terbarukan seperti isu yang sedang dikembangkan sekarang? EBT dan Pengembangannya di Indonesia Kekayaan sumber energi dikuasi oleh negara dan digunakan untuk kesejahteraan rakyat, sebagaimana diatur dalam UUD 1945, pasal 33 ayat (3) “bumi dan air dan kekayaan alam yang


Isu

,, Panas bumi dikatakan tidak terbarukan karena tekanan uapnya habis

Ilus/ Chandra

Praptono Adhi Sulistono

terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat�. Berdasarkan konstitusi tersebut, penguasaan dan pengusahaan sumber daya alam bagi kehidupan berbangsa dan bernegara dilakukan oleh negara agar dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. UUD 1945 memang telah memberikan mandat kepada negara terkait pembuatan kebijakan demi kemakmuran rakyat. Namun, sampai 74 tahun merdeka, apakah rakyat Indonesia sudah merasa makmur? Berbicara mengenai kemakmuran, mengingatkan kita pada semboyan “Gemah Ripah Loh Jinawi Toto Tentrem Karto Raharjo� yang berarti keadaan suatu daerah yang subur makmur serta tenteram dan sejahtera. Semboyan ini melekat dengan Indonesia yang memiliki kekayaan alam luar biasa. Mengingat akan sumber daya alamnya yang melimpah, pemerintah Indonesia gencar untuk mengembangkan EBT dan menjadikannya sumber energi pengganti fosil serta untuk mewujudkan energi bersih ramah lingkungan.

Abdulkadir (2011) dalam seri ketenagalistrikan jilid II mengatakan bahwa energi baru adalah energi yang dikembangkan dari hasil riset dan pengembangan teknologi yang tidak dapat dimasukkan dalam kelompok energi fosil atau energi terbarukan. Sedangkan menurut Undang-undang Nomor 30 Tahun 2007 tentang energi, “energi baru adalah energi yang berasal dari sumber energi baru. Sumber energi baru adalah sumber energi yang dapat dihasilkan oleh teknologi baru, baik yang berasal dari sumber energi terbarukan maupun sumber energi tak terbarukan, antara lain: nuklir, hidrogen, gas metana, batu bara, batu bara tercairkan dan batu bara tergaskan�. Ada sedikit perbedaan di sini mengenai definisi dari energi baru. Sumber energi terbarukan menurut peraturan menteri ESDM Nomor 53 tahun 2018 adalah sumber energi yang dihasilkan dari sumber daya energi yang berkelanjutan, jika dikelola dengan baik, antara lain panas bumi, angin, bioenergi, aliran dan terjunan air, serta gerakan dan perbedaan suhu lapisan laut. Kekayaan alam Indone-

sia memiliki potensi besar untuk pengembangan energi baru terbarukan, khususnya dalam pembangunan energi kelistrikan. Di Indonesia sendiri pengembangan energi terbarukan sebenarnya sudah ada cukup lama, salah satu contoh pengembangan EBT di Indonesia yang paling dekat dengan kita adalah Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) yang terletak di Kecamatan Ngebel, Ponorogo. PLTA Ngebel ini dibangun pada tahun 1958 dan telah beroperasi sejak 1968. Jika dihitung hingga sekarang kira-kira PLTA ini sudah beroperasi 51 tahun lamanya. Meski terhitung lama, hingga saat ini pemanfaatan energi terbarukan tersebut masih sangat kecil. Dilansir dari mongabay.co.id hingga tahun 2017, baru sekitar 12 persen potensi EBT di Indonesia yang digunakan sebagai sumber energi l i s t r i k o l e h P e r u s a h a a n Listrik Negara. Hal ini menunjukkan Indonesia masih cukup lambat dalam pengembangan energi terbarukan. Panas Bumi Jadi Primadona Pemerintah Su dah di je l as k an se-

Majalah LPM aL-Millah Edisi 36

7


Isu belumnya bahwa Indonesia adalah negara yang kaya akan keragaman alam serta memiliki potensi energi terbarukan yang besar. Salah satu potensi alam Indonesia yang dibahas di sini adalah panas bumi. Dalam administrative law and governance journal volume 1 edisi 4 November 2018 dijelaskan bahwa potensi panas bumi yang besar di Indonesia disebabkan oleh kondisi geografis Indonesia yang dilewati oleh cincin api, yakni jalur gunung berapi yang membentang dari ujung Pulau Sumatera sepanjang Pulau Jawa, Bali, NTT, NTB menuju Kepulauan Banda, Halmahera, dan Pulau Sulawesi. Potensi Dalam laman geothermal.itb.ac.id dijelaskan bahwa panas bumi adalah energi panas yang tersimpan dalam batuan di bawah permukaan bumi dan fluida yang terkandung di dalamnya. Sedangkan dalam Undang-undang Nomor 21 Tahun 2014 dijelaskan bahwa yang dimaksud panas bumi adalah sebagai berikut, “panas bumi adalah sumber energi panas yang terkandung di dalam air panas, uap air, serta batuan bersama mineral ikutan dan gas lainnya yang secara genetik tidak dapat dipisahkan dalam suatu sistem panas bumi”. Usaha pencarian sumber panas bumi pertama kali dilakukan di Indonesia pada tahun 1918 di daerah kawah Kamojang. Pada tahun 1926 hingga tahun 1929 lima sumur eksplorasi dibor di-

mana sampai saat ini salah satu dari sumur tersebut, yakni sumur KMJ-3 masih memproduksikan uap panas kering atau dry steam. Pecahnya perang dunia dan perang kemerdekaan Indonesia mungkin merupakan salah satu alasan dihentikannya kegiatan eksplorasi tersebut. Kegiatan eksplorasi panas bumi secara luas baru dilakukan pada tahun 1972. Pengusahaan pemanfaatan energi panas bumi semakin gencar dilakukan oleh pemerintah Indonesia. Pemerintah serius dalam memberikan perhatian lebih terhadap pemanfaatan energi panas bumi. Salah satu bukti keseriusannya adalah penyebutan pemanfaatan energi panas bumi secara khusus dalam laman Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Koservasi Energi (EBTKE). Dalam laman tersebut dijelaskan bahwa pemerintah harus memanfaatkan energi panas bumi sebagai salah satu sumber energi terbarukan serta untuk penyediaan energi listrik secara berkesinambungan. 
 D a l a m tulisan tersebut juga dikutip pidato Jokowi yang secara terang-terangan memberikan perhatian khusus terhadap pemanfaatan energi panas bumi. “saya memberikan perhatian khusus pada program pengembangan sumber energi baru terbarukan, terutama pemanfaatan energi panas bumi. Ke depan, kebijakan energi nasional menargetkan pemanfaatan energi baru terbarukan meningkat menjadi 23 persen pada tahun 2025”, tuturnya.

Lebih jauh lagi, pemerintah memberikan kemudahan dalam pengusahaan panas bumi dengan dibuatnya Undang-undang Nomor 21 tahun 2014. Undang-undang ini menggantikan UU Nomor 23 Tahun 2007 tentang Panas Bumi yang dianggap kurang komprehensif dalam mengatur pemanfaatan panas bumi. Salah satu perubahan yang fundamental dalam peraturan ini adalah pengusahaan pemanfatan panas bumi bukan termasuk dalam kegiatan pertambangan, melainkan pemanfaatan tidak langsung. Hal ini dijelaskan dalam pasal 1 ayat 11 “Pemanfaatan tidak langsung adalah kegiatan pengusahaan pemanfaatan panas bumi dengan melalui proses perubahan dari energi panas dan/atau fluida menjadi jenis energi listrik”. Terbarukan Kini dan Nanti (?) Energi panas bumi ditengarai sebagai energi berkelanjutan karena adanya bantuan sistem. Dalam geothermal.itb.ac.id, energi panas bumi dapat dikatakan berkelanjutan karena adanya penginjeksian kembali fluida panas bumi setelah fluida tersebut dimanfaatkan untuk pembangkit listrik, serta adanya rembesan air permukaan. Prosesnya adalah setelah energi panas diubah menjadi energi listrik, fluida dikembalikan ke bawah permukaan (reservoir) melalui sumur injeksi. Energi panas bumi dikategorikan dalam energi baru, karena berasal dari sumber energi baru

“Ada masanya dalam kasus pembangkit listrik panas bumi, ekosistem yang menunjang pembangkit listrik panas bumi tidak terbarukan.” Bosman Batubara

8

Majalah LPM aL-Millah Edisi 36


Isu yang dihasilkan dari teknologi baru (sistem panas bumi). Akan tetapi, apakah energi panas bumi dapat dikatakan terbarukan? Kebanyakan pendapat peneliti, setuju bahwasanya energi panas bumi terbarukan. Akan tetapi ada juga yang menyangsikan bahkan tidak setuju jika panas bumi dikatakan sebagai energi terbarukan. Salah satunya adalah dari kalangan organisasi pegiat lingkungan terbesar di Indonesia, WALHI (Wahana Lingkungan Hidup). Purnawan Dwikora Negara, dewan daerah Walhi Jawa Timur mengatakan bahwa terbarukannya energi panas bumi ini masih diperdebatkan oleh akademisi lingkungan. Ia juga mengatakan bahwa panas bumi ini ada jangka waktunya. “Masih diperdebatkan oleh akademisi lingkungan terbarukan apa tidak, kalau terbarukan kan keberlanjutan, tetapi panas bumi juga ada jangka waktunya,” katanya. Bosman Batubara, anggota Front Nahdliyin untuk Kedaulatan Sumber Daya Alam dalam tulisannya bertajuk “Panas Bumi Bukan Energi Terbarukan” yang sempat dipublikasikan tapi hilang dari sebuah website, menunjukkan sebuah kasus eksploitasi panas bumi yang terjadi di dekat San Fransisco, yakni sistem Pembangkit panas bumi The Geysers berdasarkan tulisan yang telah dimuat di Science pada tahun 1991 karya Richard A. Kerr dengan judul “Geothermal Tragedy of the Commons”. Dalam tulisan tersebut diceritakan bahwa sistem panas bumi the Geysers di bawah Pegunungan Mayacamas merupakan pembangkit panas bumi terbesar kala itu (sekitar 1980-an). Pembangkit panas bumi ini diharapkan mampu menghasilkan 2000 Mega Watt. Akan tetapi, enam tahun kemudian sistem

pembangkit panas bumi The Geysers hanya mampu menyediakan 1500 Mega Watt, dan lebih buruknya tekanan uap dalam pipa-pipa pembangkit menurun drastis. Penyebabnya sederhana, batuan di bawah Pegunungan Mayacamas kering. Airnya berkurang drastis. Mengapa hal ini bisa terjadi? Bosman menjelaskan bahwa panas yang digunakan sebagai sumber utama pembangkit listrik tenaga panas bumi tersebut berasal dari air tanah yang dipanaskan melalui batuan, kemudian air inilah yang nantinya dibor dan dialirkan ke permukaan untuk diproses dalam suatu sistem dan dikonversi menjadi gerak yang dapat memutar turbin kemudian menghasilkan listrik. Ternyata ada masa di mana air tanah yang dipanaskan ini turun atau kemudian habis. Sebab itulah sistem yang mendukung pembangkit listrik panas bumi The Geysers habis dan berhenti untuk selamanya. Kasus The Geysers ini menjadi salah satu pendorong inovasi teknologi injeksi air ke dalam batuan panas di bawah permukaan. Apakah sistem ini mampu secara terus menerus menopang keberlanjutan sistem panas bumi? Mengutip tulisan Bosman di akhir artikelnya, “ada masanya dalam kasus pembangkit listrik panas bumi, ekosistem yang menunjang pembangkit listrik panas bumi tidak terbarukan”. Praptono Adhi Sulistono, Kepala Seksi Perencanaan Aneka EBT, Direktorat Aneka EBT, Direktorat Energi Baru Terbarukan Dan Konservasi Energi Kementerian ESDM saat kami wawancarai seusai acara Dialog Publik “Menilik Sumber Daya Energi di Ponorogo” di Universitas Muhammadiyah Ponorogo menyatakan bahwa panas bumi termasuk energi terbarukan melihat bagaima-

na produksinya dan berapa lama energi tersebut diproduksi. Akan tetapi, ia juga tidak menampik bahwa panas bumi dapat habis (tidak terbarukan) pada masanya, “panas bumi dikatakan tidak terbarukan karena tekanan uapnya habis,” ujarnya. Praptono juga menambahkan bahwa sistem rekayasa (engineering) dengan menginjeksikan kembali fluida ke dalam reservoir ada masa atau siklus hidupnya. “Itu kan (rekayasa. red) ada lifetime-nya, tergantung survey, rata-rata 10 tahun lebih.” Pernyataan Praptono tersebut, semakin menegaskan bahwa panas bumi ada masa hidupnya tidak serta merta terbarukan tanpa syarat, meskipun selama 10 tahun sistem PLTP tersebut berjalan dengan baik dan terus menerus memproduksi energi panas, tapi setelah masa 10 tahun lebih ini apa yang akan terjadi? Kemungkinan kasusnya akan sama seperti kasus The Geysers yang tekanan panas buminya berkurang kemudian habis sehingga pembangkit listrik tidak lagi berfungi, meninggalkan bekas galian yang secara otomatis juga meninggalkan kerusakan alam. Atau kemungkinan lainnya yakni sumber energi listrik tetap berjalan dan lingkungan serta ekosistem sekitar sumber energi terganggu. Jika proses penggalian ini terus berlanjut, maka kita tunggu saja 10, 20, atau 50 tahun kedepan dan kita lihat apa yang akan terjadi di sekitar pembangkit listrik tenaga panas bumi berada, terutama Kecamatan Ngebel dan daerah-daerah lain di sekitarnya yang memungkinkan terdampak efek negatif dari eksplorasi dan panas bumi ini.*** (Zia Lutfiatur Rosyida_25.16.166)

Majalah LPM aL-Millah Edisi 36

9


Bahasan Utama

Panas Bumi di Indonesia: Antara Musibah dan Anugerah

“Tak akan ada ibu bumi kedua, bila ibu bumi telah tiada, kujaga dia kujaga selamanya karena kutahu diapun jaga kita”

S 10

bagaimana tujuan pengelolaan SDA, bukan untuk memakmurkan golongan tertentu. SDA yang melimpah ruah akan hilang sekedipan mata jika pengelolaannya kurang atau bahkan tidak bijak. Padahal masih ada generasi yang akan datang yang mempunyai hak untuk menikmatinya. S a la h s at u SDA yan g m e li m pah di Indonesia adalah panas bumi. Panas bumi atau geotermal merupakan salah satu sumber energi yang dianggap terbarukan, panas bumi ini terbentuk dari dalam kerak bumi. Mengutip pengertian dari UU Re-

Majalah LPM aL-Millah Edisi 36

publik Indonesia Nomor 21 tahun 2014 menjelaskan, “Panas bumi merupakan sumber daya alam terbarukan dan merupakan kekayaan alam yang berada dalam wilayah NKRI yang berperan penting menunjang pembangunan nasional yang berkelanjutan guna mewujudkan kesejahteraan rakyat”. D e was a i n i ke te rg an tu n gan terhadap energi fosil seperti minyak bumi layak diakhiri dengan memanfaatkan potensi energi alternatif. Mengutip pengertian dari geothermalindonesia.com, energi alternatif merupakan sebuah energi ter-

Ilus/ Chandra

epenggal lirik lagu “Ibu” dari Navicula Band tersebut mengingatkan kita sebagai manusia harus menjaga bumi dan isinya. Kekayaan Sumber Daya Alam (SDA) Indonesia begitu melimpah ruah. Namun sudahkah kita menjaganya? Sebagaimana dijelaskan dalam UUD 1945 Pasal 33 Ayat 3 tentang harga kekayaan Indonesia menyebutkan “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Kemakmuran rakyat menjadi poin penting


Bahasan Utama

Foto/ mongabay.co.id

barukan, dimana keberadaannya akan menggantikan kebutuhan pasokan sumber energi fosil yang digunakan selama ini. Potensi energi alternatif di Indonesia sangatlah menjanjikan, yakni memiliki cadangan terbesar di dunia sebanyak 40%. Namun dengan kelebihan dari pemanfaatan energi panas bumi, kita sepatutnya berpikir mengenai dampak dari pemanfaatan yang ditimbulkan. Panas bumi yang katanya terbarukan pun masih menjadi polemik. Mungkin saja energi ini bisa habis, dan akhirnya pemanfaatannya pun juga akan terhenti. Lebih tepatnya energi panas bumi mempunyai jangka waktu untuk dimanfaatkan. “Energi terbarukan panas bumi, masih diperdebatkan oleh akademisi lingkungan terbarukan apa tidak, kalau terbarukan kan

keberlanjutan, tetapi panas bumi juga ada jangka waktunya,� ucap Purnawan Dwikora Negara, Dewan Daerah WALHI Jawa Timur. Energi Panas Bumi, Potensi dan Perkembangannya di Indonesia Awal mula keberadaan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) bermula di Komplek Lardarello, Italia diprakarsai oleh Enel Green Power pada tahun 1913. Disusul oleh New Zealand, Amerika dan berbagai negara di dunia. Situs conserve-energ-future.com menuliskan bahwa energi panas bumi mulai digunakan di Amerika Utara. Sekitar 10.000 tahun yang lalu, masyarakat sudah menggunakannya untuk memasak. Sedangkan di Indonesia, Industri PLTP dikembangkan se-

jak 100 tahun yang lalu. Sapariah Saturi (senior editor Mongabay. id) menjelaskan bahwa pemanfaatan energi panas bumi pertama kali berada di Kawah Kamojang, Garut. Setelah diteliti terdapat potensi energi panas bumi yang diperkirakan tersebar di wilayah Indonesia. “Usaha pencarian energi panas bumi pertama kali di Kawah Kamojang pada tahun 1918. Tahun 1926-1929, lima sumur eksplorasi mulai pengeboran. Pada 1972, Indonesia mulai eksplorasi panas bumi lebih luas. Tahun itu, dibantu oleh New Zealand dan Prancis, Direktorat Vulkanologi dan pertamina melakukan penelitian di berbagai daerah Indonesia. Hasilnya setidaknya ada 217 potensi panas bumi,� jelas Sapariah. Hasil penelitian tersebut pun diperkuat oleh status Indonesia yang masuk dalam jalur

Sumur PLTP Daratai Mataloko yang mengeluarkan bau belerang

Majalah LPM aL-Millah Edisi 36

11


Bahasan Utama cincin api pasifik, yang merupakan jalur rangkaian gunung api aktif di dunia. Indonesia memiliki gunung berapi kurang lebih 240 buah, hampir 70 diantaranya masih aktif (Ahmad Arif: 2010). Direktoral Jendral Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Rida Mulyana menyebutkan Indonesia mempunyai cadangan panas bumi 17.506 Megawatt dan sumber daya 11.073 Megawatt. Potensi ini tersebar di 331 titik dari Sabang sampai Merauke. Total kapasitas yang terpasang pada PLTP sebesar 1.948 Megawatt. Bahkan pada konferensi pers di Jakarta (27/04/2018) Rida menyatakan Indonesia mendapat predikat produsen panas bumi terbesar kedua di dunia setelah Amerika Serikat. Dari potensi sumber energi panas bumi, terdapat regulasi yang mengatur tentang aktivitas pemanfatan panas bumi. Sebagai jalan guna mempermudah dan mengembangkan geotermal di Indonesia. Sebelumnya aktivitas pemanfaatan geotermal didefinisikan sebagai aktivitas pertambangan (UU nomor 27 tahun 2003) , yang mengimplikasikan bahwa hal ini dilarang untuk dilaksanakan di wilayah hutan lindung dan area hutan konservasi (UU nomor 41 tahun 1999). Namun, sekitar 80% dari cadangan geotermal Indonesia yakni terletak di hutan lindung dan area konservasi. Kemudian pada agustus 2014 DPR mengesahkan UU geotermal nomor 21 tahun 2014 yang menggantikan UU sebelumnya, UU nomor 27 Tahun 2003. Dari pergantian tersebut memisahkan geothermal dari aktivitas pertambangan yang lain, serta membuka jalan untuk eksplorasi geotermal di wilayah hutan lindung dan area konservasi. (Indonesia-investements) Selain itu dalam rangka

12

mendukung pengembangan infrastruktur pemanfatan panas bumi, pemerintah mempunyai peran dalam memberikan pembiayaan infrastruktur pemanfaatan tersebut. Pengembangan sektor panas bumi sendiri telah menjadikan program prioritas oleh pemerintah. Dilangsir pula oleh kemenkeu.go.id melalui Menteri keuangan, pemerintah telah memberikan mandat kepada PT Sarana Multi Infrastruktur (SMI) untuk melaksanakan fungsi pengelolaan dana pembiayaan infrastruktur sektor panas bumi. Pemberian mandat tersebut mengacu pada Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 232/PMK.06/2015 tentang pelaksanaan pengalihan investasi pemerintah dalam Pusat Investasi Pemerintah (PIP) menjadi penyertaan modal negara pada Perusahaan Perseroan. PLTP Sebagai Pemenuhan Kebutuhan Vital Pemanfaatan dari energi panas bumi salah satunya untuk menghasilkan energi listrik. Ketersediaan energi listrik tentu memengaruhi kelangsungan berbagai macam bentuk aktivitas masyarakat serta sektor industri nasional. Dalam hal ini ketergantungan akan energi listrik setiap harinya semakin meningkat. Oleh karena itu sektor ketenagalistrikan mempunyai peran untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat dan mendorong agar roda perekonomian tetap berjalan. Sabtu (5/1/2019) di Jakarta, Menteri ESDM, Ignasius Jonan mengatakan, konsumsi listrik di Indonesia semakin meningkat dalam lima tahun, sejak 2014 sebesar 878 kWh per kapita, kemudian pada 2015 sebesar 918 kWh per kapita, 2016 sebesar 956kWh per kapita . Pada 2017 angkanya naik sebesar 1.012 kWh per kapita

Majalah LPM aL-Millah Edisi 36

dan pada 2018 sebesar 1064 kWh per kapita. “Konsumsi listrik di Indonesia terus meningkat, di 2018 tercatat 1.064 kWh per kapita,� ungkap Jonan. Jonan juga menambahkan bahwa meningkatnya konsumsi listrik perkapita menandakan Indonesia menuju tren konsumsi negara maju. Hal tersebut ditandai dengan bertambahnya konsumsi listrik dari kalangan bisnis dan industri. “Konsumsi listrik terus meningkat seiring peningkatan akses elektrifikasi dan pertumbuhan ekonomi,� ujarnya. Listrik boleh menjadi kebutuhan yang penting dan tidak bisa ditinggalkan. Namun pernahkah kita berfikir bagaimana persediaan potensi energi panas bumi yang terus menerus diambil. PLTP terus dibangun dengan segala kemudahan izin dan alasan pemenuhan kebutuhan listrik. Dari pembangunan ini hukum kausalitas (sebab akibat) tidak bisa dihindarkan, mulai dari dampak lingkungan hingga polarisasi masyarakat bisa terjadi secara berkelanjutan pula. Jangan sampai kita menikmati listrik dengan boros, namun ada segelintir masyarakat terkorbankan dalam proses pemenuhan kebutuhan listrik Indonesia. Dampak Pemanfaatan PLTP di Indonesia Konsumsi listrik yang kian besar menjadi acuan pemerintah membangun pembangkit listrik yang kian besar pula kuantitasnya. Mulai dari PLTA, PLTU, hingga PLTP pun terus menerus dibangun. Pembangunan yang tidak terkendali akan menyebabkan dampak yang tidak terkendali pula. Maka dibutuhkan pengelolaan yang bijak oleh pemerintah, agar dampak yang ditimbulkan bisa dikendalikan. Kementerian Energi dan


Bahasan Utama

Foto/ Riza

Menara pengeboran PLTP Ngebel Ponorogo

Sumber Daya Mineral (ESDM) memastikan pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Baturaden tidak berdampak buruk terhadap lingkungan. Hal ini disampaikan oleh Direktur Panas Bumi Direktorat Jenderal EBTKE Yunus Saefulhak di Jakarta, Jumat (13/10/2017). "Saya sudah melihat PLTP di berbagai belahan dunia tidak ada yang menimbulkan bencana. Seperti di Islandia, Italia, Amerika Serikat, Filiphina dan Kenya, semuanya berjalan baik," ujarnya. Pernyataan ini menggambarkan seakan PLTP merupakan pembangkit listrik yang aman, namun apakah pernyataan itu sesuai kenyataannya atau hanya untuk membangun opini publik

untuk menganggap itu baik, serta mengesampingkan dampak negatif yang ditimbulkan. Ada beberapa dampak yang terjadi pada pembangunan hingga operasi PLTP diantaranya: 1. Fracking Menimbulkan Gempa Minor Meskipun dinilai ramah lingkungan, pemanfaatan energi panas bumi bukan tanpa kontroversi. Kontroversi muncul terkait dengan teknik ekstraksi panas bumi yang disebut Enhanced Geothermal System (EGC) sebagai teknik yang dianggap paling efisien dalam mengoptimalkan ekstraksi panas bumi. Penggunaan teknik ini menuai kontroversi karena metodenya serupa

hydraulic stimulation atau hydraulic fracturing (fracking) yang biasa digunakan dalam ekstraksi gas serpih (shale gas) (The Economist 16 Agustus 2014). Meskipun terjadi perdebatan mengenai persamaan dan perbedaan antara fracking dalam ekstraksi minyak dan gas dan dalam ekstraksi panas bumi, prinsipnya tetap sama (Cichon 2013): menginjeksikan bahan-bahan kimiawi dengan tekanan tinggi untuk merekahkan batuan di dalam bumi guna mengoptimalkan reservoir. Teknik ini telah mengundang perdebatan karena mengakibatkan gempa dan kontaminasi kimiawi dalam sumber-sumber mata air disekitarnya. Di negara-negara Eropa dan Ameri-

Majalah LPM aL-Millah Edisi 36

13


Bahasan Utama ka, gelombang penolakan terhadap fracking telah berdengung sejak beberapa dekade lalu. Menggunakan fracking, klaim bahwa ekstraksi panas bumi ramah lingkungan pun dipertanyakan (Syatori & Fuad: 2017). Dalam kasus gempa yang terjadi dari aktivitas PLTP di Indonesia (Bosman: 2014) menjelaskan dalam sebuah acara dialog nasional (15-16/10/2014) di lereng Gunung Ciremai, Kuningan, Jawa Barat kasus gempa ini terungkap. Perwakilan warga lereng Gunung Salak menyatakan bahwa di daerah mereka sudah terjadi beberapa kali gempa bumi. Warga merasa gempa bumi itu terjadi karena aktivitas geotermal, namun mereka tidak bisa menjelaskan hubungannya. Sedangkan di luar Indonesia tepatnya di Basel Swiss pun terjadi gempa minor pada tahun 2006. Peristiwa adanya aktivitas seismik ini dipicu oleh aktivitas pada sebuah proyek geotermal yang mengekstraksi panas dari suatu kedalaman tertentu di perut bumi dan kemudian menyalurkannya menjadi energi. Sumur produksi pada proses ekstraksi berfungsi mengalirkan gas/fluida panas dari dalam bumi ke permukaan. Di permukaan, panas tersebut berfungsi menggerakkan turbin yang menghasilkan energi. Di sisi lain, karena diambil terus-menerus, tentu saja fluida dalam batuan suatu ketika akan habis. Demi mengantisipasinya maka dibuatlah sumur injeksi. Melalui sumur injeksi, fluida dialirkan ke dalam perut bumi, bersentuhan dengan batuan panas, mengalami kenaikan suhu, dan kemudian dialirkan kembali ke permukaan melalui sumur produksi, biasanya dalam bentuk uap. Uap inilah yang dipakai memutar turbin untuk menghasilkan energi. Uap air yang telah dingin be-

14

rubah menjadi fluida dan kembali disuntikkan ke dalam perut bumi melalui sumur injeksi. Begitu seterusnya berputar. Itu sebabnya mengapa energi panas bumi disebut energi yang renewable atau terbarukan (Bosman:2014). 2. Air dan Udara pun Terdampak Selama lima belas tahun terakhir warga yang tinggal di sekitar lokasi proyek PLTP Daratei Mataloko mengeluhkan bau belerang yang muncul dari asal sumur pemboran, setidaknya ini dirasakan oleh warga Desa Ulubelu, Golewa, Kabupaten Ngada. Masalah ini telah berlangsung lama, saat pengeboran dilakukan pada tahun 2000. “Jika angin bertiup ke arah rumah kami maka kami akan mencium bau gas yang sangat menyengat. Tapi jika angin bertiup ke arah lain bau gas masih tercium, tapi tidak terlalu menyengat,“ tutur Gregorius Dadu, warga Ulubelu (Mongabay:2015). Udara bagi manusia khususnya warga disekitar PLTP memang sesuatu yang vital bagi kehidupan, kualitas udara yang buruk tentu akan mempengaruhi kenyamanan dan kesehatan. Sedangkan dampak langsung yang pernah dialami warga di lereng selatan Gunung Slamet dari PLTP Baturaden adalah air keruh. Dampak ini terjadi di sekitar DAS Sungai Tepus dan Prukut. Dengan keruhnya air Sungai Prukut beberapa warga di 5 desa yaitu; Karangtengah, Panembangan, Pernasidi, Karanglo, Cikidang, mengalami kesulitan air bersih. Air yang tercemar dengan tanah dan lumpur tersebut tidak sehat untuk dikonsumsi. Kerugian juga berdampak pada UMKM dengan menurunnya produksi tahu dan perikanan. Air keruh ini terjadi antara November 2016 sampai Maret 2017. Dalam beberapa kali kesempatan audiensi dan aksi

Majalah LPM aL-Millah Edisi 36

oleh masyarakat, pihak PT SAE sendiri sudah mengakui bahwa hal tersebut dikarenakan oleh kesalahan teknis cut and fill terhadap bukit-bukit yang ada sepanjang pembangunan fasilitas jalan serta Well Pad (Muflih dkk: 2017). Kasus di atas merupakan segelintir contoh dampak yang ditimbulkan dari PLTP. Udara dan air untuk kehidupan harus dapat diakses secara baik oleh masyarakat. Bagaimana jadinya ketika pemerintah mengambil, mengelola alam di suatu daerah, namun masyarakat di sekitar PLTP menanggung dampak negatif dari pembangunan dan pengelolaan PLTP. Jangan sampai ketercapaian kebutuhan listrik Indonesia mengorbankan rakyat. 3. Masyarakat Resah dan Melawan Pro dan kontra menjadi suatu hal yang pasti terjadi dalam menyikapi proyek di suatu daerah. Rencana pembangunan PLTP di Gunung Talang Bukit Kili, Kec. Lembang Jaya, Kab. Solok, Sumatra Barat, diwarnai aksi penolakan dari masyarakat. 13/9/2017 ratusan warga tergabung dalam Salingka Gunung Talang berunjuk rasa di Kantor Bupati Solok. Masyarakat khawatir eksploitasi di sekitar Gunung Talang berdampak terhadap keasrian alam kawasan. “Masyarakat banyak bertani dan mengandalkan pengairan. Jika geotermal beroperasi kami di sini akan kekeringan,� kata Indra Putra, koordinator aksi saat berorasi (Mongabay:2017). Sementara itu di Banyumas dan sekitarnya ada Aliansi Selamatkan Slamet sebagai respon perusakan ekosistem yang diakibatkan oleh megaproyek PLTP Baturraden, yang digarap oleh PT Sejahtera Alam Energy (SAE) di Gunung Slamet. Aliansi ini mempunyai sikap tegas menolak PLTP Baturaden salah satu alasannya


Bahasan Utama adalah adanya pembabatan 675,7 hektare hutan lindung yang dapat mengurangi serapan air hingga merusak sistem hidrologi, hingga berakibat pada menurunnya kualitas maupun kuantitas ketersediaan air yang selama ini menjadi kebutuhan masyarakat untuk penghidupan dasar maupun kegiatan ekonomi masyarakat pedesaan (Muflih dkk: 2017). Terkait dua a li a n s i masyarakat yang melakukan penolakan PLTP Gunung Talang maupun PLTP Gunung Slamet ada satu nafas perjuangan yang sama. Mereka sama-sama memperjuangkan hak atas lingkungan hidup dan hak asasi manusia. Sapariah Saturi turut mengomentari adanya konflik polarisasi masyarakat “Biasanya, pihak ‘penikmat’ atau yang bergantung pada proyek merasa untung dengan ada proyek, cenderung mendukung dan yang lebih sadar masalah, akan lebih kritis,” ujarnya. Kekhawatiran warga akan terancamnya hak hidup mereka jadi poin penting mengapa mereka melawan, salah satu yang mereka perjuangkan adalah air bersih untuk kelangsungan hidup. “Wisky hanya untuk minum, tapi air untuk hidup diperjuangkan sampai mati,” ungkap Purnawan. Masa Depan Indonesia dengan Geotermal Bagaimana jika perkembangan pembangunan PLTP di Indonesia semakin masif di-

jalankan oleh pemerintah? Pertanyaan sederhana itu akan muncul dibenak masyarakat yang mengetahui dampak yang ditimbulkan dari PLTP. Lalu bagaimana keadaan masyarakat di sekitar proyek PLTP? Adanya dampak pencemaran air di sekitar PLTP Baturaden Banyumas dan pencemaran udara di PLTP Daratei Mataloko menjadi contoh sekelumit kesengsaraan masyarakat di sekitar PLTP. Pada 2019 di Ngebel, Ponorogo, Jawa Timur, PLTP yang diprakarsai oleh PT Bakrie Darmakarya Energi sudah melakukan eksplorasi dan akan dilakukan pengeboran pula pada tahun ini. Proyek ini menurut Jurnal jilid 1 Potensi Panas Bumi Indonesia yang dikeluarkan Ditjen EBTKE ESDM tahun 2017 terdapat data dugaan mempunyai 120 Mwe untuk menambah suplai listrik Indonesia. Atas dasar pemenuhan kebutuhan listrik bukan tidak mungkin kasus yang menimpa masyarakat Banyumas dan Mataloko bisa terjadi pula di Ngebel, yang notabene masih wilayah Indonesia. Terkait masa depan Indonesia, dengan pemerintah yang masif mengembangkan PLTP Sapariah berpendapat “Kalau pengembangan panas bumi berlanjut, asal dengan cara-cara yang benar dari berbagai aspek seperti terhadap lingkungan/alam dan sosial masyarakat itu bisa jadi pilihan, daripada bergantung fosil

apalagi batubara, dengan daya rusak (ciptakan masalah) multi,” ujarnya. Berbeda dengan pernyataan Purnawan. “Jika melihat refleksi Jawa, pembangunan yang diduga merusak lingkungan itu mengingkari amanat konstitusi pasal 33, konstitusi HAM, penghormatan hak asasi sosial lingkungan dan generasi yang akan datang,” tuturnya. Generasi yang akan datang jangan sampai tidak bisa menikmati udara sejuk Indonesia yang terkenal menjadi paru-paru dunia. Eksploitasi alam Indonesia, hingga wacana pemindahan ibu kota Indonesia dari Pulau Jawa ke Kalimantan tentu menjadi misteri bagaimana Indonesia yang akan datang. Bukan tidak mungkin predikat paru-paru dunia akan menjadi sejarah emas tanah air ini. WALHI dan terkhusus kita manusia Indonesia sebagai wali lingkungan berkewajiban menjaga tanah air ini. “Menjaga lingkungan sebaik mungkin, jangan sampai dirusak, merusak sama saja membunuh masyarakat, merusak lingkungan sama saja merusak kedaulatan bangsa sendiri,” tegas Purnawan. M. Riza Ardyanto_25.16.165, Ririn Suhartanti_26.17.178

,,

Menjaga lingkungan sebaik mungkin, jangan sampai dirusak, merusak sama saja membunuh masyarakat, merusak lingkungan sama saja merusak kedaulatan bangsa sendiri, Purnawan Dwikora Negara Dewan Daerah Walhi Jatim

Majalah LPM aL-Millah Edisi 36

15


Laporan Utama

CSR: Bentuk Tanggung Jawab atau Sebagai Upaya Memperlicin Eksekusi Proyek (?) “Warga sebenarnya mau menolak tapi ya mau gimana lagi, pihak desa menyetujuinya, bahkan camat, bupati juga menyetujuinya. Ya mau nggak mau ikut saja, warga kecil ya bisanya ngikut,� Marini PT Bakrie Darmakarya Energi (PT BDE) sudah memberikan CSR ke Desa Ngebel sebelum proses produksi dimulai, meski menurut aturan CSR diambil 2-4% dari total keuntungan. Masyarakat yang menjadi sasaran pemberian CSR pun merasa tidak ada perubahan yang signifikan setelah adanya pemberian CSR tersebut. Sebelumnya diketahui sempat ada pertemuan bertajuk sosialisasi mengenai pengadaan proyek kepada masyarakat Ngebel, namun dinilai kurang transparan. Lantas apakah ini memang hanya strategi perusahaan untuk memperlicin eksekusi proyeknya? Ponorogo merupakan salah satu kabupaten yang memiliki potensi adanya geotermal atau energi panas bumi. Letaknya di Dusun Semenok, Desa Ngebel, dan Desa Gondowido, Kecamatan Ngebel serta berbatasan langsung dengan Dusun Mendak, Kecamatan Dagangan, Kabupaten Madiun. Potensi geotermal tersebut rupanya telah lama menjadi incaran beberapa perusahaan besar tak terkecuali PT BDE. Pada tahun 2011, Kepala Dinas Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) Provinsi Jawa Timur, Dewi J Putriatni di Surabaya, Senin (11/4) mengatakan, perusahaan milik

16

Aburizal Bakrie tersebut yakni PT BDE, memenangi lelang proyek Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Ngebel (Republika.co.id). Bukan hal yang mudah melakukan eksplorasi energi panas bumi di Desa Ngebel. Hal ini terbukti dari dilaluinya proses perizinan yang panjang olehPT. BDE. Hingga pada akhirnya kegiatan eksplorasi energi panas bumi oleh PT BDE ini mengantongi beberapa perizinan. Pertama, izin dari Gubernur Jawa Timur dengan dikeluarkannya Surat Keputusan Gubernur nomor 188/63/KPTS/119.3/2011 tentang pemberian izin usaha pertambangan panas bumi kepada PT. Bakrie Darmakarya Energi wilayah kerja pertambangan panas bumi di daerah Telaga Ngebel, Kabupaten Ponorogo, dan Kabupaten Madiun, Provinsi Jawa Timur. Kedua, dikeluarkannya Surat Keputusan Menteri ESDM Nomor 2682K/30/MEM/2015 tentang izin panas bumi PT Bakrie Darmakarya Energi di wilayah kerja Telaga Ngebel Kabupaten Ponorogo dan Kabupaten Madiun, Provinsi Jawa Timur. Ketiga, izin dari Badan Lingkungan Hidup Provinsi Jawa Timur yang ditandatangani oleh

Majalah LPM aL-Millah Edisi 36

Bambang Sadono selaku Kepala Badan Lingkungan Hidup Provinsi Jawa Timur. Izin ini termaktub dalam surat balasan nomor 660/566/207.1/2016 tentang persetujuan dari permohonan izin lingkungan nomor 1601041/BDE/L yang dilayangkan PT Bakrie Darmakarya Energi tertanggal 6 September 2016. Surat izin ini dikeluarkan tanggal 28 September 2016. Keempat, izin lingkungan dari Badan Penanaman Modal UPT Pelayanan Perizinan Terpadu Pemerintah Provinsi Jawa Timur Nomor: P2T/61/17.05/02/ IX/2016 yang ditandatangani oleh Lili Soleh Wartadipradja atas nama Gubernur Jawa Timur Kepala Badan Penanaman Modal Provinsi Jawa Timur selaku Administrator Pelayanan Perizinan Terpadu. Perizinan ini diterbitkan di Surabaya tanggal 29 September 2016. Kelima, Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP) Besar denga n nomor 289/24.1PB.1/31.74/1.824.27/e/2016 yang keluarkan oleh M. Subhan M, selaku Kepala Kantor Pelayanan Terpadu Satu Pintu Kota Administrasi Jakarta Selatan. Melalui lima perizinan yang telah dikantongi tersebut, semakin memudahkan PT BDE


Laporan Utama

Infografis/ Demdy

mendapatkan akses untuk memasuki kawasan Ngebel. Selain itu, dengan adanya perizinan tersebut, PT BDE semakin memiliki kekuatan lebih untuk bisa segera mengeksekusi proyeknya. Sosialisasi Proyek (Masih) menjadi Polemik Dalam pembuatan dokumen UKL-UPL (Upaya Pengelolaan Lingkungan dan Upaya Pemantauan Lingkungan) kegiatan eksplorasi panas bumi, terdapat beberapa permintaan dari masyarakat Ngebel kepada pemrakarsa proyek geotermal. Permintaan tersebut termaktub dalam berita acara konsultasi publik rencana kegiatan penyusunan dokumen UKL-UPL kegiatan eksplorasi panas bumi Kecamatan Ngebel Kabupaten Ponorogo. Konsultasi publik ini dilaksanakan pada hari Selasa, 18 Agustus 2016 pukul 10.00 WIB di Kantor Kecamatan Ngebel Ponorogo. Isi dari konsultasi publik ini diantaranya membahas harapan masyarakat terkait eksplorasi panas bumi di Desa Ngebel. Kegiatan konsultasi publik ini kemudian disetujui dan ditandatangani oleh Sukadi perwakilan dari Kantor Lingkungan Hidup Kabupaten Ponorogo, Syaiful Anwar selaku perwakilan dari

PT BDE, Thomasna dari Badan Lingkungan Hidup Provinsi Jawa Timur, Hadi Priyanto selaku camat dari Kecamatan Ngebel pada saat itu, serta diketahui oleh Mariadi selaku kepala desa Ngebel dan Purwanto selaku Kepala Desa Gondowido. Di dalam dokumen UKLUPL, PT BDE membuat surat pernyataan pengelolaan lingkungan hidup. Salah satu poinnya berbunyi, “apabila kami lalai untuk melaksanakan upaya pengelolaan lingkungan sebagaimana tercantum dalam dokumen UKL-UPL seperti yang telah kami kemukakan dalam dokumen ini, kami bersedia menghentikan kegiatan operasional dan apabila terjadi kasus pencemaran yang disebabkan oleh kegiatan kami yang belum termasuk dalam dokumen ini, kami bersedia untuk bertanggung jawab dan ditindak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.” Surat pernyataan ini tertanggal 5 Oktober 2016. Di samping itu, terdapat pula surat pernyataan yang isinya mengenai perbaikan jalan rusak yang juga tertanggal 5 Oktober 2016. surat tersebut berbunyi. “Bahwa kami bersedia dan sanggup untuk melaksanakan perbaikan jalan rusak yang diakibat-

kan dari aktivitas usaha dan/atau kegiatan eksplorasi panas bumi selama tahap kegiatan eksplorasi (pengeboran berlangsung).” Mengacu pada dokumen tersebut, kami crew aL-Millah mencoba mengonfirmasi Hadi Priyanto selaku Camat Ngebel yang ternyata sekarang sudah tidak menjabat sebagai camat. Namun, Hadi Priyanto mengaku sudah lupa tentang sosialisasi tersebut. “Saya sudah lupa mbak data tentang sosialisasi itu, karena sudah lama sudah tiga tahunan lo, tapi sosialisasinya dilaksanakan dua kali, yang pertama tentang kedatangan perusahaan dan yang kedua tentang pembukaan lahan,” terangnya kepada crew. Merujuk dari dokumen studi penyusunan UKL-UPL kegiatan eksplorasi panas bumi Kecamatan Ngebel, Kabupaten Ponorogo oleh PT BDE tersebut, ternyata kegiatan sosialisasi tercatat hanya dihadiri 37 orang yang itupun juga termasuk pejabat setempat. Dalam kegiatan ini juga menyerap saran dan pendapat dari warga yang hadir diantara isinya: Pertama, kerusakan yang dilaksanakan pada masa eksplorasi, diganti untung kepada masyarakat. Kedua, kerusakan infrastruktrur dimohon untuk diperbaiki. “Sebenarnya sosialisasi itu juga dihadiri oleh masyarakat lainnya (diluar absensi.red), ada lima sampai sepuluh orang setiap desa,” imbuh Hadi. Berdasarkan hasil analisis kuesioner dari 37 menjadi 30 responden (jumlah warga di luar pejabat yang hadir dalam sosialisasi.red) mengenai rencana pembangunan atau pengembangan industri sebanyak 25 orang (83%) setuju adanya eksplorasi panas bumi ini, sedangkan 5 orang (17%) menyatakan tidak setuju. Marini, salah satu warga yang rumahnya dekat dengan lokasi pengeboran mengatakan,

Majalah LPM aL-Millah Edisi 36

17


Laporan Utama

18

tentang proyek eksplorasi panas bumi. “Saya malah ndak tahu apaapa soal proyek itu,” jelas Wiji. Ketidaktahuan masyarakat masuk akal mengingat hanya sebagian kecil yang hadir di sosialisasi pertama maupun kedua. Terlebih lagi, Hadi mengatakan bahwa warga yang diundang pada sosialisasi kedua hanya orangorang yang tanahnya dibeli untuk pembukaan lahan. Dalam dokumen UKL-UPL ini juga dituliskan dampak kegiatan eksplorasi panas bumi, yaitu meliputi dampak positif dan dampak negatif. Dampak positif yang akan dirasakan oleh penduduk sekitar adalah adanya bantuan CSR dari pemrakarsa dan meningkatnya lapangan pekerjaan bagi masyarakat sekitar. Sedangkan dampak negatif yang ditakutkan oleh penduduk yakni adanya gangguan estetika lingkungan, namun pihak pemrakarsa akan berusaha meminimalisir adanya dampak negatif tersebut. Tertuliskan juga gangguan yang sering terjadi berupa suara atau kebisingan sebesar 60% dan gangguan berupa bau tidak sedap sebesar 40%. Sumber gangguan tersebut berasal dari kegiatan lingkungan sekitar. Mengenai peningkatan

Majalah LPM aL-Millah Edisi 36

lapangan kerja seperti yang tertulis dalam dampak positif tersebut mendapat tampikan dari Minten, bahwa peningkatan tenaga kerja justru mengambil dari desa lain. “Pekerja yang ada di proyek PT. Bakrie ini sebagian besar berasal dari luar Desa Ngebel, yang dari warga sini malah jarang,” tutur Minten. Tanggapan lain mengenai upaya peningkatan lapangan kerja juga dilontarkan Saeran, menurutnya juga susah untuk bisa bekerja di proyek geotermal tersebut. “Mengenai pekerjaan, yang katanya dulu mau dikasih pekerjaan, tapi nyatanya susah masuk ke proyek itu,” lontar Saeran. Pendapat lain muncul dari Saeran, Ketua RW. 02 RT 01 Desa Ngebel yang namanya kebetulan sama. “Pekerja proyek banyak yang dari luar kota, bahkan di luar pulau, seperti dari Medan, Jawa Barat, Jawa Tengah, sedangkan dari wilayah Jawa Timur masih minim,” tegas pria yang rumahnya berjarak sekitar 700 m dengan lokasi proyek geotermal tersebut. CSR Turun Sebelum Waktunya, Antara Pertanggungjawaban Nyata dan Kamuflase PT BDE hadir di Desa Ngebel sejak tahun 2015 dan sudah memberikan CSR sebagai bentuk

Infografis/ Musthofa

“Warga sebenarnya mau menolak tapi ya mau gimana lagi, pihak desa menyetujuinya, bahkan camat, bupati juga menyetujuinya. Ya mau nggak mau ikut saja, warga kecil ya bisanya ngikut,” terang Marini. Marini juga menambahkan tentang ketidaktahuannya tentang proyek geotermal. “Akhirnya bagaimana ya belum tahu, warga itu tidak tahu panas bumi itu apa, seperti apa, digunakan untuk apa ya belum paham, entah warga ini dibohongi atau gimana ya belum tahu,” tambahnya. Sosialisasi yang hanya dihadiri 37 orang, dinilai belum cukup mewakili seluruh masyarakat Desa Ngebel yang jumlahnya sekitar 3.117 jiwa. Kegiatan sosialisasi proyek sebesar itu tidak dapat diwakilkan, karena seharusnya mengundang seluruh masyarakat Ngebel. Mereka juga perlu tahu dan juga berhak mengutarakan pendapatnya seperti apa yang dikatakan Purnawan Dwikora Negara dari WALHI (Wahana Lingkungan Hidup) Jawa Timur. “Sosialisasi seperti itu tidak cukup hanya dengan dihadiri 30 orang, karena semua yang menyangkut HAM tidak dapat diwakilkan. Misalnya ada orang sesak napas, apa ya bisa sakitnya itu diwakilkan ke orang lain? Kan tidak,” ucap pria yang kerap disapa Pupung ini. Beberapa warga Desa Ngebel mengungkapkan tidak ada sosialisasi dari PT BDE mengenai proyek geotermal tersebut. Salah satunya diungkapkan Minten, menurutnya tidak ada pemberitahuan sebelumnya kepada warga. “Ndak ada sosialisasi dari PT. Bakrie, ndak ada juga persetujuan dari setiap warga,” ungkap Minten. Selain Minten, pernyataan serupa juga disampaikan oleh Wiji yang juga tidak mengetahui tentang sosialisasi, bahkan


Laporan Utama

Foto/ Ula

Masjid an-Nur, Semenok, Ngebel

pertanggungjawaban ke Desa Ngebel. Pemberian CSR tersebut dilakukan sebelum pengeboran atau dalam kata lain kegiatan eksploitasi belum dimulai. Corporate Social Responsibillity atau yang biasa disebut CSR merupakan suatu konsep perusahaan yang memberi pertanggungjawaban berupa ekonomi, sosial dan lingkungan kepada masyarakat. Pada umumnya CSR terdapat pada perusahaan atau Perseroan Terbatas (PT) yang menjalankan usahanya di bidang atau berkaitan dengan sumber daya alam. CSR bisa dikatakan sebagai bentuk kontribusi perusahaan terhadap pembangunan berkelanjutan dengan cara manajemen dampak (meminimalisir dampak negatif dan memaksimalkan dampak positif).

CSR untuk kegiatan eksplorasi geotermal di Ngebel ini wajib diberikan oleh perusahaan. Hal ini sesuai dengan Undang-Undang nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas yang berbunyi: “Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya dibidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan.� UU diatas menggunakan istilah Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan yang berarti kewajiban perusahaan melaksanakan CSR bagi perseroan yang berkaitan dengan sumber daya alam. UU tersebut wajib dijalankan oleh perusahaan karena sudah jelas PT. BDE berbentuk Perseroan. Selain itu PT BDE juga melakukan kegiatan eksplorasi

panas bumi yang tentunya berkaitan langsung dengan alam. Selain itu ada Undang-Undang lain yang juga berkenaan tanggung jawab sosial perusahaan yaitu Undang-Undang No. 21 tahun 2014 tentang panas bumi. Terdapat pada pasal 65 ayat (2) huruf b yang berbunyi: “Dalam pelaksanaan penyelenggaraan panas bumi masyarakat berhak untuk: memperoleh manfaat atas kegiatan pengusahaan panas bumi melalui kewajiban perusahaan untuk memenuhi tanggung jawab sosial perusahaan dan/atau pengembangan masyarakat sekitar.� Di dalam UU panas bumi tidak menyebutkan tanggung jawab sosial dan lingkungan akan tetapi tanggung jawab perusahaan dan pengembangan masyarakat. CSR merupakan kewajiban

Majalah LPM aL-Millah Edisi 36

19


Laporan Utama

CSR PT Bakrie berupa rehab jaringan air minum

20

kendaraan. Jika musim hujan tiba pun sering terjadi longsor di kawasan ini, sehingga menutup akses jalan dan menghambat aktivitas masyarakat desa. Hal ini menjadi beban pemerintah desa karena harus mendatangkan alat berat untuk membersihkan longsoran. Namun, kini akses jalan menuju Dusun Semenok mengalami pelebaran yang cukup luas. Pelebaran tersebut dilakukan oleh pihak perusahaan, tidak lain tidak bukan, hal itu dilakukan agar pihak perusahaan mudah untuk mendatangkan alat-alat berat dan truk-truk untuk keperluan

Majalah LPM aL-Millah Edisi 36

proyek. Mujiono, Kepala Desa Ngebel membenarkan hal tersebut. “Dulu akses jalan di sini sangat sempit dan susah dilalui kendaraan. Bahkan sangat jarang ada warung di sepanjang jalan menuju ke sini,� jelas Mujiono. PT BDE sudah memberikan CSR ke Desa Ngebel. Pemberian CSR tersebut dilakukan sebelum pengeboran atau dalam kata lain kegiatan produksi belum dimulai, namun CSR akan tetap diberikan terus selama proses produksi. Mujiono membenarkan hal tersebut, “CSR akan tetap diberikan, namun bisa jadi dalam bentuk

Foto/ Adzka

perusahaan dalam melakukan tanggung jawab sosial terhadap masyarakat, seperti pemberdayaan di bidang pendidikan, kesehatan, kemiskinan, ekonomi dan lain sebagainya. Tidak hanya pemberian dengan cuma-cuma, pihak perusahaan juga mendapatkan keuntungan ketika memberikan CSR kepada masyarakat yakni meningkatkan citra perusahaan. Kehadiran PT BDE turut membawa beberapa perubahan, salah satunya akses jalan menuju Desa Ngebel, terutama Dusun Semenok. Dahulu akses jalannya sempit, bahkan susah dilalui


Laporan Utama yang berbeda. Misal tahun ini berupa renovasi masjid, tahun berikutnya bisa jadi dalam bentuk lainnya,” terang Mujiono. Menurut Erni Haris, PLT Kabid Sosbud Bappeda Ponorogo, besaran persentase yang harus dikeluarkan perusahaan untuk CSR adalah sekitar 2-4% dari total keuntungan. “Tidak ada ketentuan khusus dari Bappeda. CSR itu istilah jawanya itu paring-paring. Perusahaan mau mengeluarkan CSR berupa apa ya terserah perusahaan. Misal pengajuan 100 juta dan turunnya 50 juta juga biasa,” tuturnya kepada crew. CSR yang sudah diberikan berupa pemberian jaringan air yaitu pipa dan perbaikan saluran air bersih untuk kebutuhan sehari-hari warga Desa Ngebel, yaitu di Dusun Sekodok, Dusun Ngebel, dan Dusun Keleng. Tak hanya itu, pihak PT juga membuatkan tandon air yang berada di Dusun Sekodok agar pembagian air bersih lebih merata ke setiap dusun di Desa Ngebel. Dalam bidang pendidikan, PT BDE memberikan CSR berupa pemberian beasiswa kepada siswa Sekolah Dasar hingga Sekolah Menengah Atas. “Untuk CSR yang lain berupa beasiswa kepada anak SD hingga SMA,” tutur Kepala Desa Ngebel tersebut. Berbeda dengan yang diungkapkan Langgeng Haryawan Kasubbid Pembiayaan Pembangunan Badan Perencanan dan Pembangunan Daerah (Bappeda) Ponorogo, bahwa selama ini belum ada CSR yang berupa uang. “Bentuk CSR berupa beasiswa selama ini belum pernah, biasanya berbentuk barang atau bangunan. Kalau dalam bentuk uang takutnya disalahgunakan,” jelas Langgeng. Dalam bidang kesehatan, PT BDE juga memberikan CSR. CSR ini berupa pembe-

rian pengobatan gratis kepada masyarakat Ngebel. Pemberian pengobatan gratis ini dilaksanakan pada 30 Juli 2019 di Balai Desa Ngebel. Hal ini diamini oleh Nur Echsan, “Yang terbaru itu pemberian pengobatan gratis yang dilakukan di Balai Desa,” ujar Nur. Selain itu, PT BDE juga telah memberikan CSR berupa perbaikan masjid di Desa Ngebel. Total sudah ada empat masjid yang sudah direnovasi. Menurut Langgeng, umumnya CSR diberikan secara cuma-cuma, mulai dari bahan baku hingga pengerjaannya ditanggung oleh pihak pemberi CSR, sehingga pihak yang menerima CSR hanya menerima jadi. Namun untuk renovasi masjid di Desa Ngebel nyatanya masih menggunakan tenaga dari warga Desa Ngebel sendiri. Warga Desa Ngebel diberi upah sebesar Rp7.000.000,00 untuk satu masjid. Jadi total Rp28.000.000,00 untuk empat masjid. Uang itu diberikan sebagai upah selama proses renovasi masjid. Sedangkan untuk materialnya sudah disiapkan oleh PT BDE. Menurut Pupung, CSR renovasi masjid ini hanya dijadikan kamuflase untuk mengambil hati warga Ngebel. “Di Ponorogo Bakrie merenovasi masjid bisa jadi upaya mengambil hati, yang dikamuflasekan lewat CSR, ada pamrih, dugaannya seperti itu. CSR tersembunyi untuk melancarkan (proyek.red) geotermal. CSR itu sosial bukan hukum privat,” papar Pupung. CSR memang merupakan kewajiban yang harus diberikan oleh perusahaan. Pemberiannya biasanya langsung diberikan oleh perusahaan kepada pihak yang ingin diberi. Namun tidak menutup kemungkinan bahwa CSR diajukan oleh masyarakat kepada

perusahaan.Hal ini seperti yang diungkapkan Pupung. “CSR itu bisa pengajuan dari masyarakat ataupun inisiatif dari perusahaan itu sendiri,” terang Pupung. Demikian halnya dengan CSR yang ada di Desa Ngebel. CSR-nya merupakan pengajuan dari mas yarak at ke p ada pe r u sa haa n . Pengajuannnya menggunakan proposal melalui pemerintahan desa. Pernyataan Pupung tersebut dibenarkan oleh Erni Haris. “Biasanya CSR itu memang perusahaan yang memberikannya, namun mungkin juga masyarakat yang memintanya dengan mengajukan proposal ke perusahaan,” ujar Erni. Pupung kembali menanggapi tentang keharusan perusahaan mengeluarkan CSR. “CSR itu tidak ada kaitannya dengan ganti rugi, CSR itu masyarakat gak minta pun harus dikasih. Kasarnya begitu apalagi minta. Jadi, itu kewajiban perusahaan, apalagi berkaitan dengan lingkungan,” tambah Pupung. Walaupun PT BDE sudah memberikan CSR, tetapi menurut keterangan Langgeng, PT BDE belum melapor terkait CSR kepada pihak Bappeda. “Eksplorasi panas bumi di Ngebel itu belum masuk laporannya ke kami, tetapi nanti akan kami mintai laporannya di akhir tahun kemudian kami akan melaporkannya ke forum CSR provinsi,” terangnya saat ditemui crew di kantor Bappeda Ponorogo. Meski CSR telah diberikan kepada masyarakat Ngebel, nyatanya masih saja ada warga yang mengaku tidak ada perubahan yang signifikan sebelum dan sesudah pemberian CSR. “Setelah diberikan ya sama saja, ya kayak gini-gini saja,” ungkap Marini. Menanggapi pernyataan dari berbagai pihak seperti yang

Majalah LPM aL-Millah Edisi 36

21


Laporan Utama telah disinggung di atas, crew mencoba untuk mengonfirmasi pihak PT BDE. Namun ketika crew mendatangi kantornya yang berlokasi di Jl. Uteran Kecamatan Geger, Kabupaten Madiun, tidak ada tanggapan positif melainkan penolakan yang crew dapatkan. CSR: Harapan yang Begitu Tinggi Tergantung Dilansir dari zahiraaccounting.com, menyatakan semakin tingginya bentuk pertanggungjawaban perusahaan, maka akan semakin meningkatnya image perusahaan dan tentunya akan meningkatkan citra perusahaan menjadi lebih baik, sehingga akan lebih mudah menarik minat para investor dan loyalitas pelanggan pun akan meningkat. Pada akhirnya hal ini akan berpengaruh terhadap profitabilitas perusahaan dan nilai perusahaan yang semakin meningkat. Namun, apakah dengan pertanggungjawaban yang tinggi itu, semua masalah bisa teratasi? CSR sering kali hanya dipergunakan sebagai ajang pelerai masalah ketika timbul dampak negatif. Hal tersebut dibenarkan oleh Pupung. “Pencemaran lingkungan dari hasil pengeboran panas bumi tidak bisa diatasi dengan pemberian CSR. Seringkali CSR hanya digunakan sebagai alat peredam agar masyarakat bisa menerima kehadiran perusahaan tanpa protes. CSR juga berimbas terhadap masyarakat akan tetapi lebih berimbas pada kegiatan perusahaan yang dilakukan terus-menerus tanpa kehati-hatian,” terangnya saat ditemui di Malang (07/07/2019). Belum hilang dari ingatan kita, kasus pengeboran minyak bumi di Porong, Sidoarjo, Jawa Timur yang diprakarsai oleh PT Minarak Lapindo Jaya, tak lain

22

juga merupakan perusahaan milik Bakrie. Sejak 13 tahun yang lalu tepatnya 29 Mei 2006 sampai sekarang, kasus tersebut belum juga tuntas. Eksplorasi panas bumi di Ngebel yang diprakarsai oleh PT BDE yang juga merupakan perusahaan milik Bakrie, apakah nantinya proyek eksplorasi panas bumi juga akan berakhir seperti kasus di Porong? Apakah dengan seluruh dampak yang timbul bisa terselesaikan hanya dengan CSR? Belum ada jawaban yang pasti namun, yang jelas adalah masyarakat Ngebel sangat menggantungkan harapan yang begitu tinggi terhadap proyek geotermal ini. Masyarakat Ngebel berharap agar PT BDE ke depannya bisa membuka lapangan pekerjaan bagi masyarakat sekitar lokasi eksplorasi seperti yg diungkapkan Saeran, warga Dusun Semenok. “Saya berharap dengan adanya kegiatan eksplorasi di sini bisa memberikan dampak positif, terutama bisa memberikan lapangan pekerjaan bagi warga sini,” ungkapnya. Tak hanya itu, Saeran juga berharap kelak setelah eksplorasi berjalan atau dalam kata lain pengeboran sudah mulai beroperasi, warga bisa mendapatkan kompensasi. “Harapan kami, dengan adanya kegiatan eksplorasi ini, PT. Bakrie Darmakarya Energi bisa menyokong kebutuhan listrik di desa kami, bisa memberikan listrik secara cuma-cuma, kami juga berharap pihak perusahaan memberikan santunan kepada anak yatim,” tambahnya.*** Umi Ula_26.17.182, Dendy Pramana_26.17.170

Majalah LPM aL-Millah Edisi 36

Di Ponorogo Bakrie merenovasi masjid bisa jadi upaya mengambil hati, yang dikamuflasekan lewat CSR, ada pamrih, dugaannya seperti itu. CSR tersembunyi untuk melancarkan (proyek.red) geotermal. CSR itu sosial bukan hukum privat

,,

Pupung


Liputan Khusus

Rencana Eksploitasi Panas Bumi di Ngebel: Dampak Jangka Pendek Teratasi, Dampak Jangka Panjang Minim Antisipasi

Foto/ Adzka

E

ksploitasi alam kerap menjadi ancaman bagi kelestarian lingkungan. Salah satu yang sedang direncanakan di Ponorogo yakni eksploitasi energi panas bumi untuk Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) milik PT Bakrie Dharmakarya Energi. Pada proses pembangunan infrastruktur, PLTP s u d a h m e n g g a n g g u penyaluran air di desa Ngebel, tempat PLTP beroperasi. Lantas, akankah rencana ekploitasi panas bumi tersebut mengancam ketersediaan dan kualitas air di Ponorogo kedepannya? PT Bakrie Dharmakarya Energi menerima ijin dari Gubernur Jawa Timur sejak tahun 2011 (SK Gubernur No. 188/63/ KPTS/119.3/2011). Kemudian sudah menerima rekomendasi UKL-UPL (Usaha Pengelolaan Lingkungan dan Usaha Pemantauan Lingkungan) dari Badan Lingkungan Hidup pada tahun 2016 (No. 660/566/207.1/2016).

Dimana ditindaklanjuti dengan Izin Lingkungan dari UPT Pelayanan Perizinan Terpadu Badan Penanaman Modal Dalam proses eksplorasi, perlu adanya infrastruktur yang mendukung. Maraknya pembangunan fisik baru terasa tahun 2017 sampai 2018. Pada saat itulah PLTP mengganggu pendistribusian air di Ngebel dan sekitarnya. Tampungan air dibangun untuk keperluan operasional PLTP dengan kedalaman ±4 meter dan luas sekitar 8x16 meter. Namun, kini tampungan air belum digunakan. Di barat tampungan ada berbagai mesin untuk memompa air melalui pipa sepanjang ±2 km menuju WKP (Wilayah Kerja Panas Bumi). Posisinya berada di sebelah timur sungai Nderam, Ngebel. Sebelum area, tertulis peringatan untuk tidak mendekat bagi yang tidak berkepentingan karena dianggap berbahaya. P LT P m e m a n g belu m sepenuhnya beropera-

si, namun tercatat sudah ada beberapa permasalahan yang melingkupinya. Pada akhir tahun 2018, dilakukan pembangunan tampungan air dan m e n g h a r u s k a n ‘penyingkiran’ pipa warga serta menutupi akses sumber air. Sunar salah satu Sambong (penjaga air) Sempu berkata, pipa yang dipindah meliputi milik desa Ngebel dan beberapa kelompok desa Sempu. “Waktu itu sempat dipindahkan untuk proyek,” ujar Sunar. Lain halnya dengan desa Ngrogung. Sumber air milik desa Ngrogung yang mulanya mengalir lancar tiba-tiba terkendala saat pembangunan tampungan air PLTP. Sidak, sambong (penjaga air) Ngresik bercerita, warga kesulitan karena air tidak mengalir. “Ada banyak warga yang mengeluhkan kekurangan air saat itu, hampir seminggu,” terang Sidak. Menurut penuturan Sidak, awalnya PT meminta izin untuk membangun penampungan di

Majalah LPM aL-Millah Edisi 36

23


Liputan Khusus sebelah selatan sumber warga, tapi akhirnya mengenai sumber warga. Sipar salah satu Sambong setempat juga membenarkan perihal permasalahan tersebut. Dia menjelaskan sumber air ditindih bangunan tampungan PT, sehingga tidak bisa dialirkan k e tampungan warga. Maka, PT mencarikan akses sumber baru dari sebelah utara dari sumber lama. Pertanggungjawaban PT dinilai masih belum cukup mengatasi segala permasalahan. Sumber tersebut dirasa kurang untuk kebutuhan 300 KK karena kecil, akibatnya tidak ada pilihan lain bagi masyarakat selain mencarikan tambahan sumber air lainnya. “Kalau cuma yang dicarikan PT ini ya kurang. Apalagi untuk dua dusun,” terang Sipar. Senada dengan itu, Siman salah satu warga dusun Ngresik, desa Ngrogung mengiyakan bahwa aliran air relatif kecil dan sering mati. “Kalau mati saya numpang ke tetangga,” jelasnya. Menanggapi segala permasalahan yang ada dari pihak PT berjanji apabila sudah selesai digunakan, sumber akan dikembalikan ke warga, seperti yang dikatakan Sidak. Ia juga berkata, tidak ada pemberitahuan secara pasti kapannya PT mengenai target pengembalian sumber kepada warga. Meski begitu, Kusnanto, Kamituwo Ngrogung tidak yakin akan hal ini. “Yo, wes diganti, tapi mbuh iso balik opo ora (sudah diganti, tapi entah bisa kembali atau tidak,red),” tutur Kusnanto. Meski demikian, air yang berasal dari sumber lama dibuang ke sungai dan tidak dipergunakan seperti sediakala. Sidak pernah mencoba menyambung pipa ke air yang dibuang itu, namun dicabut oleh pekerja. “Bukan apaapa, takutnya air tersebut kotor terkena tanah,” jelasnya. Namun,

24

menurut pengamatan crew, air yang keluar dari pipa tersebut terlihat bersih dan jernih tanpa ada campuran tanah. Selain saat pembangunan tampungan, pelebaran jalan juga sempat merusak pipa warga desa Sempu. Thambir, Sambong Sempu menyampaikan, pipa yang dulunya berukuran tiga dim mendapat ganti rugi sebesar dua dim. “Diganti, tapi tidak kami ambil karena ukurannya beda,” kata Thambir. Berkaitan dengan segala permasalahan saat pembangunan infrastruktur PLTP tersebut, crew aL-Millah mencoba mengkonfirmasi pihak Dinas Lingkungan Hidup. Pihak dinas menyatakan tidak ada satupun laporan warga yang disampaikan ke Dinas Lingkungan Hidup. ”Tidak ada laporan yang masuk,” jelas Sucipto Kepala Bidang Penataan dan Penataan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup DLH Ponorogo. Menanggapi kasus ini, ia pun juga angkat bicara. Menurutnya, harus ada tanggung jawab yang telah dirusak oleh pihak PLTP. “Pihak geotermal harus bertanggung jawab juga memberikan kontribusi ganti rugi,” kata Sucipto. Proses pembangunan infrastruktur di area Ngebel sudah cukup memberikan dampak pada distribusi air di Ponorogo meskipun masih dalam tahap permulaan. Pertanggungjawaban PT BDE pun juga bisa dinilai belum menyelesaikan masalah inti, khususnya pada sumber air. Belum lagi pada proses selanjutnya, yakni pengeboran dan eksplorasi, bukan hanya lahan yang dibutuhkan oleh PT, tetapi air dalam jumlah yang amat besar kemungkinan juga dibutuhkan. Bagaimanakah nasib sumber air di Ngebel kedepannya?

Majalah LPM aL-Millah Edisi 36

Ancaman Serius Mengintai Ketersediaan Air Ngebel Perlindungan terhadap air pada dasarnya memiliki payung hukum yang jelas di Indonesia. Peraturan Pemerintah No. 43 Tahun 2008 tentang Air Tanah salah satunya. Pasal 2 menyebutkan, Sumber Daya Air termasuk di dalamnya air tanah dikelola secara menyeluruh, terpadu dan berwawasan lingkungan hidup dengan tujuan untuk mewujudkan kemanfaatan air yang berkelanjutan untuk kemakmuran rakyat. Maka, semua yang bisa mengancam ketersediaan air bagi kemakmuran rakyat melanggar aturan ini. PLTP berpotensi mengurangi kemanfaatan air ini bagi masyarakat. Ahmad Afif Fahmi, salah satu mahasiswa Institut Teknologi Sepuluh November pernah melakukan riset mengenai dampak lingkungan yang akan terjadi jika PLTP dioperasikan. Salah satu hasilnya, ketersediaan air untuk kebutuhan manusia dan ekologi kurang. Air, yang tadinya digunakan sehari-hari dialihfungsikan untuk “dimasak” oleh PLTP. Operasional PLTP juga pernah tercatat menyebabkan kekeringan di Desa Cihawuk, Kecamatan Kertasari, Kabupaten Bandung. Dilansir dari jabarprov.go.id (01/10/11), pembukaan lahan PLTP oleh PT Chevron dengan menebang hutan sudah mengurangi daerah resapan air dan mengurangi ketersediaan air. kata Aep Saepuloh, Kepala Desa Cihawuk dalam dialog dengan DPRD setempat. Selain i t u , turun tangan pemerintah untuk membantu PLTP pe r n ah te rl i h at d i Kuningan, J a w a B a r a t . S e i r i n g dengan rencana ekstraksi panas bumi di Gunung Ciremai, hadirlah program Pamsimas


Liputan Khusus

Ada banyak warga yang mengeluhkan kekurangan air saat itu, hampir seminggu,

,,

Ilus/ Chandra

Sidak

(Penyediaan Air Minum dan Sanitasi Berbasis Masyarakat) dengan dalih pemenuhan kebutuhan air warga. Fuad Faizi dan A. Syatori menuliskannya dalam Jurnal Wacana No. 35/Tahun XIX/2017. Warga Pajambon dan Sukamukti sudah memiliki sistem pengairan sendiri yang lebih ekonomis (mereka menyebutnya Tuk Air) sehingga merasa tidak membutuhkan Pamsimas. Warga menilai, program Pamsimas merupakan salah satu skenario terselubung untuk mendukung pemenuhan kebutuhan air ekstraksi panas bumi. Keduanya diambil dari sumber Curug Cilengkrang. Dengan sistemnya yang tertutup, Pamsimas akan menyamarkan pengurasan air dari Curug Cilengkrang untuk ekstraksi panas bumi. Ketersediaan a i r yang berkurang tidak sama di semua tempat. Seperti yang disampaikan Bosman Batubara, seorang Geolog dan kand i d a t Ph. D d i UNESCO University. “Tempat A yang memiliki sumber air berlimpah akan memberikan respon yang berbeda dengan tempat B yang memiliki sumber air terbatas

terhadap kehadiran industri geotermal.” Tutur dia. Di samping itu, juga bergantung pada sistem yang dipakai. Menurut Laporan Argonne National Laboratory Amerika Serikat, ada tiga jenis model pengoperasian PLTP; Convensional Hydrotermal Flash System, Conventional Hydrothermal Binary System, dan Enhanced Geothermal System (EGS). Ada yang menghasilkan uap dan langsung digunakan. Ada pula yang menghasilkan fluida sehingga harus dipisahkan. Dalam UKL-UPL PLTP Ngebel, tertulis bahwa mereka akan menggunakan salah satu diantara dua opsi pengoperasian tersebut. Laporan ini juga menyebutkan, air digunakan dalam EGS untuk pengeboran sumur, membangun sumur, pipa, dan infrastruktur tanaman, merangsang sumur injeksi, dan mengoperasikan pembangkit listrik. Selaras dengan yang telah disebutkan sebelumnya, sebuah laporan dari National Renewable Energy Laboratory (Departemen Energi Amerika Serikat, Kantor Efisiensi & Energi Terbarukan)

memaparkan kebutuhan konsumsi air PLTP per MWh bervariasi tergantung sistem yang dipakai. Tetapi jika mengambil contoh 2000 galon/MWh, maka akan menghabiskan 912.000 liter per hari dan setara dengan konsumsi 13.028 penduduk. (selengkapnya lihat infografis.red) Pada dasarnya skema operasional antara PLTP satu dengan lainnya hampir sama beserta segala permasalahannya. PLTP Ngebel kemungkinan besar nantinya juga akan menggunakan air dalam jumlah besar. Air yang akan dipergunakan saat mengebor akan diambil dari sungai Nderam yang ada di desa Ngebel. Sebagaimana yang disampaikan oleh Mujiono, Kepala Desa Ngebel. Sungai ini berasal dari sumber besar yang juga dialirkan ke Telaga Ngebel. Air dari sungai dibendung lalu di al i rk an me n u ju tampungan untuk kebutuhan proyek. “Hanya saat perlu saja. Kalau tidak beroperasi ya tidak dipakai,” jelas Mujiono. Sejak dulu, sungai Nderam menjadi ‘darah’ bagi wilayah yang dialiri. Gunadi, Kamituwo Dusun

Majalah LPM aL-Millah Edisi 36

25


Liputan Khusus Dusun/Desa

Jumlah Pengguna

Jenis Program Air

Kondisi Air

Ngrogung dan Ngresik/ Ngrogung

300 KK

WS LIC

Cukup. Setiap rumah memiliki tendon air

Sekodok, Ngebel 325 KK dan Keleng/ Ngebel

Banpres

Seglagah, Segadung, Sejarak dan Ngepel/ Sempu Bandil dan Suren/Kemiri

216 KK

WS LIC dan Swadaya

222 KK

WS LIC

Kendala

Fungsi

Debit air tidak deras. Akses menuju sumber air susah. Lancar Saat Hujan pipa sering terkena batu sampai Kebutuhan rusak. sehari-hari Cukup. Walau Saat Hujan pipa aliran air sampai sering terkena rumah tidak batu sampai deras. rusak. Lancar Faktor alam. Saat musim kemarau persedian air menipis.

Tabel data penggunaan sumber air di Ngebel dan sekitarnya. Sumber: wawancara masyarakat

Kenet, Desa Ketandan Kecamatan Dagangan, Madiun menjelaskan kemana saja air dari sungai Nderam mengalir. Ia berkisah, air mengalir dari Ngebel melewati Desa Blimbing, kemudian DAM Nguren di desa Tileng membagi air menjadi dua: menuju Kecamatan Geger dan Kecamatan Dagangan. Beberapa desa di Kecamatan Dagangan bergantung pada sungai ini (walaupun mendapatkan tambahan dari sumber lain di bawah Ngeb el). Desa tersebut meliputi desa Sareng, Candimulyo, dan Ketandan dengan ratusan hektar sawah serta ratusan penduduk. Gunadi menambahkan, Dusun Ketandan (400 ha) terdiri dari 7 RT yang rata-rata perRT memiliki 50 KK, sehingga bisa ditaksir sekitar 350 KK di Ketandan mengonsumsi air dari Nderam. Keterangan ini belum termasuk desa l a i n n y a d i Kecamatan Dagangan, pun dari Kecamatan Geger. Ketersediaan air sungai Nderam saat ini sudah sema-

26

kin berkurang. Gunadi berkisah, air semakin berkurang karena semakin meningkatnya pengguna dibarengi dengan pohon yang juga berkurang. Ia turut menyangsikan masa depan ketersediaan air di daerahnya apabila proyek PLTP menyedot banyak air. “Apalagi jika digunakan proyek. Ya bagaimana ke depannya?” ujar pria yang akrab disapa Pak Gun ini. Sucipto mengiyakan bahwa PLTP kemungkinan besar akan menghabiskan banyak air, tapi ia tak mengkhawatirkan kekurangan. Ia menjelaskan, air akan ditarik untuk injeksi ke bawah untuk menaikkan uap. Setelah itu, air dimasukkan kembali ke tanah. “Otomatis berkurang, tapi nanti akan dimasukkan lagi, jadi airnya tidak terbuang.” Tutur Sucipto. Senada dengan Sucipto, Munif Ali Anhari dari bidang P2LH (Pengendalian Pencemaran, Kerusakan Lingkungan, dan Konservasi Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup) dalam laporan Argonne National Laboratory mengatakan bahwa penggunaan

Majalah LPM aL-Millah Edisi 36

air panas bumi tidak cukup besar. Meskipun air diekstrak kembali setelah digunakan, beberapa air hilang saat pembentukan.. Demi menjaga tekanan dan operasi, air yang hilang harus terdiri dari sumber-sumber air alternatif. Akan tetapi, injeksi air yang menjadi alasan panas bumi tergolong energi terbarukan bukan berarti tanpa resiko. Bosman Batubara mengatakan, tidak ada sistem yang 100% sempurna. Menurutnya, masih ada kemungkinan kebocoran seperti yang pernah terjadi di Turki. Ia juga melanjutkan, kemungkinan air yang di i n je k s i k an ke mb ali mengandung belerang. “Karena belerang biasanya berasosiasi dengan aktivitas panas bumi/ vulkanisme. Ta p i t e r g a n t u n g daerahnya.” Tutur Bosman. Mengenai dampak pada ketersediaan air ini, warga dusun Semenok, Ngebel hanya mendengar desas-desus dari sumber yang belum jelas kebenarannya. “Katanya nanti lingkungan kering, suasana gersang,” ucap Winarti,


Liputan Khusus

Foto/ Umar

Tampungan air PLTP Ngebel

salah satu warga. Di sisi lain, perangkat desa setempat meyakini tidak akan terjadi kekeringan, sebab pada masa sosialisasi, perangkat Desa Ngebel sempat diajak studi banding ke Kamojang, Bandung. Mujiono juga percaya jika ada dampak negatif, PT akan bertanggungjawab. “Lagipula di Kamojang kami lihat suasananya hijau. Tidak gersang, justru dibuat serindang mungkin. Nanti juga kanan kirinya dibangun peresapan air.” Ujar Mujiono. Namun, jika PLTP menghabiskan air, warga tidak akan tinggal diam. Salah satu Sambong desa Sempu, Marnu menegaskannya. “Wi ngko nek tambang sampe ngentekne banyu, geger Ngebel. Mergo iku wek e pribadi, udu negoro, (Nanti kalau tambang sampai menghabiskan air, Ngebel akan

ramai. Karena itu milik pribadi, bukan negara,red)” tegas Marnu. Terkait klarifikasi, PT Bakrie Dharmakarya Energ menolak untuk diwawancarai saat kami mendatangi kantornya di Geger, Madiun (3/7/19). “Mohon maaf mba, dari pimpinan tidak bisa.” Ujar Sigit, salah satu satpam yang bertugas. Pembangunan pemanfaatan energi panas bumi seharusnya sangat memperhatikan keadaan lingkungan sekitar, utamanya menjaga ketersediaaan air. Sapariah, salah satu wartawan Mongabay menyampaikan, “Pembangkit panas bumi sangat berkepentingan menjaga kawasan tetap baik hingga pasokan air terjaga.” Meski menurut riset PLTP akan mengonsumsi banyak air. Ketersediaan air di sungai Nderam akan terganggu atau ti-

dak, masih menjadi tanda tanya. Pengaruh pada ketersediaan air di area Ngebel tidak bisa diprediksi dengan jelas, karena PT. BDE tidak menuliskannya secara rinci berapa meter kubik air yang akan dibutuhkan pada UKL-UPL. Bahkan DLH juga menganggap ini bukan sebagai masalah meski antisipasi dari kekurangan itu tidak dipersiapkan dan dirinci secara jelas di UKL-UPL. Mengenai keberlangsungan air, masih menuai tanda tanya besar di masyarakat. Air Tanah Berpotensi Besar Tercemar Di samping ketersediaan, kualitas air juga berpotensi terganggu. Padahal, sumber air sekitar sungai Nderam kandungan airnya sangat bersih dan jernih. “Airnya bersih, kalau mau diminum langsung juga bisa,” ucap Su-

Majalah LPM aL-Millah Edisi 36

27


Liputan Khusus trisna, Sambong Desa Ngebel. Kami crew aL-Millah pun langsung meminum untuk membuktikannya, begitu jernih serta segar untuk diminum langsung tanpa disaring terlebih dahulu. Sumber air sekitar Nderam berlimpah dan mengaliri ribuan rumah di empat desa melalui program WS LIC (Water and Sanitation for Low Income Communities) Bank Dunia. Yaitu desa Ngrogung, desa Sempu, desa Ngebel dan desa Kemiri. Selain itu, ada juga dua sumber yang dikelola oleh kelompok secara swadaya. Sumber-sumber sekitar Nderam ini mengaliri 1.038 KK. (lihat tabel.red) Sumber yang bersih ini m e n ghadapi kem un gki n a n tercemar akibat kegiatan PLTP seperti yang pernah terjadi di beberapa lokasi. Salah satu penyebabnya a d a l a h f r a c k i n g ( h i d r a u lic fracturing) pada sistem EGS. Fracking sebagai sebuah cara yang dipakai dalam tahap ekstraksi energi geotermal dan gas untuk memperbesar permeabilitas (kemampuan melakukan fluida) batuan dengan tujuan meningkatkan keekonomisan sebuah lapangan PLTP. Bosman Batubara mengatakan, “Perlu dilakukan supaya satu situs atau pembangkit jadi ekonomis untuk produksi, jadi pasti mengunakan tehnik fracking atau yang lainya”. Lembar draft kerja FNKSDA (Front Nahdliyin untuk Kedaulatan Sumber Daya Alam) bertajuk “Dampak Negatif Energi Geotermal Terhadap Lingkungan” yang ditulis oleh Bosman Batubara memaparkan dampak fracking. Dampak negatif terhadap lingkungan yang dapat ditimbulkan dari teknik fracking ini bermacam-macam berupa gempa minor, amblesan, serta pencemaran air, baik air dalam bahkan bisa lebih buruk lagi dapat mencemari kualitas air. Semua dampak tersebut saling

28

berhubungan. “Dampak ini saling berhubungan, karena saat melakukan fracking, akan menurunkan kekokohan batuan lalu terjadi amblesan,” jelas Bosman. Bagaimana pencemaran air dapat terjadi? Draf Kerja itu juga menjelaskannya. Proses ekstraksi ini menyuntikkan fluida beracun dengan tekanan yang cukup ekstrim. Fluida bertujuan mematahkan batuan keras dalam bumi agar dapat mengeluarkan fluida yang lebih banyak. Namun cara ini akan mengakibatkan batuan yang tadinya keras akan timbul rekahan yang akan menjadi jalan permeabilitas atau menjadi jalan bagi zat-zat beracun dalam tanah. Sehingga, dapat berkontaminasi dengan sumber air bersih di dalam bumi dan dapat merekah hingga ke sumber permukaan. Bosman batubara menuliskan, larutan hidrotermal terkontaminasi dengan zat kimia yakni Arsenik, Antimor, dan Boron yang mencemari air. Arsenik (As) adalah penyebab terjadinya kanker pada manusia. Ia berkontribusi terhadap maraknya penyakit kulit dan kanker di lokasi pemukiman yang terpapar kandungan As tinggi dalam air minumnya. Antimon (Sb) memiliki tingkat beracun yang memperlihatkan karakter yang sama dengan As. Boron (b) dalam konsentrasi tinggi dapat menyebabkan permasalahan kesehatan manusia seperti menurunnya kesuburan. Ketiga zat tersebut merupakan material yang alamiah, namun proses ekstraksi panas dalam produksi energi di pembangkit geotermal, menyebabkan ia termobilisasi dan mengkontaminasi perairan. Kasus pencemaran air karena terkontaminasi dengan zat kimia ini pernah terjadi di lapangan geotermal Balcova,

Majalah LPM aL-Millah Edisi 36

Jawa merupakan ekologi kritis, sehingga penempatan industri-industri yang mengancam ketersediaan air tidak layak di sini,

,,

Purnawan Dwikora Negara


Liputan Khusus yang terletak di bagian barat Turki. Hasil uji lab yang tertulis di jurnal karya Aoksey pada tahun 2009 ini menuliskan, kontaminan yang ditemukan di LGB adalah arsenik, antimon, dan boron. Hal ini menunjukkan bahwa di LGB telah melebihi ambang batas aman kontaminan dari ke-3 zat tersebut. Sejauh apa kontaminasi tersebut bisa terjadi? Menurut Bosman, bergantung pada cekungan air, karena satu Cekungan Air Tanah (CAT) masih memiliki siklus hidrologi yang sama. Ia menyontohkan, apa yang terjadi pada air kaki Gunung Pati akan mempengaruhi air di Semarang, karena masih sangat berhubungan siklus hidrologinya. Jika ditarik pada proyek di Ngebel, air tanah yang berpotensi terpengaruh adalah CAT Ngawi-Ponorogo. CAT adalah suatu wilayah yang dibatasi oleh batas hidrogeologis, tempat semua kejadian hidrogeologis seperti proses pengimbuhan, pengaliran, dan pelepasan air tanah berlangsung. Seperti yang disebutkan di Peraturan Pemerintah No 2 Tahun 2017 tentang Cekungan Air Tanah di Indonesia, Ponorogo memiliki Cekungan Air Tanah (CAT) yang bernama CAT Ngawi-Ponorogo. CAT ini meliputi Kabupaten Ngawi, Kabupaten Ponorogo, Kabupaten Magetan, Kabupaten Bojonegoro, dan Kota Madiun dengan luas 3902 km2. Sedangkan di Indonesia, kasus pencemaran terhadap kualitas air akibat proses ekstraksi panas bumi berada di Kabupaten Ngada, Nusa Tenggara Timur (NTT). Dokumenter program acara Indonesiaku Trans 7 (24 november 2014. Tersengat Panas Bumi Mataloko) mengungkapkan pencemaran air yang terjadi di PLTP yang diakibatkan oleh kebocoran pengeboran dan

kontaminasi sumber air. Dokumenter itu juga menunjukkan bahwa eksploitasi panas bumi telah memicu sumburan-semburan air panas secara sporadis di wilayah sekitar lapangan geothermal, serta tingginya tingkat kontaminasi pada sungai-sungai disekitarnya. Sungai yang dulunya sering digunakan anak-anak untuk bermain kini tak dapat dipergunakan lagi. Akibatnya, lahan pertanian pun rusak. Selain disebabkan oleh fracking, kegiatan pembangunan infrastruktur juga mencemari air sekitar. Dilansir mongabay.co.id, selang beberapa tahun, tepatnya Januari 2017 di Banyumas, warga Desa Karangtengah, Kecamatan Cilongok, Banyumas, diresahkan karena air sungai yang selama ini menjadi sumber kehidupanya kini berubah menjadi keruh. Ceruk Cipendok merupakan daerah wisata yang menjadi tempat wisata yang digemari oleh wisatawan karena airnya dingin dan bersih, khas mata air pegunungan. Keruhnya Ceruk Cipendok hingga aliran Sungai Prukut pun menimbulkan keresahan, sungai yang dimanfaatkan warga untuk kebutuhan sehari-hari (mandi, memasak, dan minum). Warga terpaksa harus menyaring terlebih dahulu, selain itu air sungai prukut juga dimanfaatkan warga untuk mengaliri kolam-kolam ikan, akhirnya banyak warga yang merugi karena ikanya mati. Azmi Fajar Maulana, Pengurus Aliansi Gerakan Reforma Agraria (AGRA) Banyumas dalam jurnal yang berjudul Cengkraman Korporasi Geotermal di Indonesia menuliskan bahwa air keruh ini disebabkan oleh pembangunan infrastruktur. Akan tetapi, hal tersebut diketahui warga sebagai “pembangunan jalan tol”, bukan sebagai PLTP. Dewan Daerah Waha-

na Lingkungan Hidup (WALHI) Jatim, Purnawan Dwikora Negara menyayangkan pembangunan PLTP di Ponorogo yang notabene di Jawa. “Jawa merupakan ekologi kritis, sehingga penempatan industri-industri yang mengancam ketersediaan air tidak layak di sini,” kata Dekan Fakultas Hukum Universitas Widyagama Malang di depan teras Fakultas Hukum Universitas Widyagama Malang yang kala itu kami temui bulan Juli tempo hari. Menanggapi fenomena yang terjadi di Ponorogo, ia menyampaikan bahwa WALHI tidak bisa bertindak apa-apa jika tidak ada perlawanan dari masyarakat. “Tanpa perlawanan masyarakat, kami tidak bisa,” tutur pria yang akrab disapa Pupung ini. Sunarto, selaku ketua DPRD Ponorogo turut berkata akan meninjau ulang mengenai dampak lingkungan PLTP apabila terbukti mengganggu ketersediaan air dan kualitas air di sekitarnya. Ia menjelaskan, PLTP dibangun guna meningkatkan PAD (Pendapatan Ali Daerah) untuk kemudian disalurkan demi kesejahteraan masyarakat. “Ketika proyek itu justru merugikan, maka kami akan meninjaunya kembali,” ujar Sunarto. Meski masih menjadi perdebatan serta belum diketahui secara pasti seberapa besar tingkat konsumsi air pada proyek PLTP Ngebel nantinya. Namun, kemungkinan akan mempengaruhi ketersediaan air di sungai Nderam tetap ada. Belum lagi ancaman pencemaran air oleh mekanisme fracking. Jika demi memenuhi kebutuhan listrik harus mengorbankan ketersediaan air di Ponorogo, cukup adilkah? Adzka Haniina_25.16.159, Umar Alix_26.17.181, Siti Umi_26.17.180

Majalah LPM aL-Millah Edisi 36

29


Liputan Khusus

Infografis/ Musthofa

30

Majalah LPM aL-Millah Edisi 36


Khazanah

Ekofeminisme:

Relasi Alam dan Perempuan Menggugat Sisi Gelap Modernisasi

Foto/ google.com

E

kofeminisme merupakan istilah baru dari gagasan lama yang tumbuh dari berbagai gerakan sosial –gerakan feminis, perdamaian, ekologi– di akhir tahun 1970-an dan awal 1980-an. Konsep ekofeminisme ini pertama kali diperkenalkan oleh Francoise D’Eaubonne, namun baru menjadi populer setelah adanya protes dari para aktivis lingkungan hidup akibat maraknya bencana ekologis yang terjadi secara berulang-ulang. Vandana Shiva dan Maria Mies yang notabene diakui internasional sebagai feminis dan aktivis lingkungan turut berkon-

Vandana Shiva

tribusi memperkenalkan konsep ini kepada dunia melalui pemikiran-pemikiran mereka. Shiva adalah seorang ahli fisika yang berlatar belakang gerakan ekologis dan seseorang yang melihat sistem kapitalis dunia dari sudut pandang masyarakat yang terhisap dan pengalaman Negara Selatan. Sementara Mies adalah seorang ilmuwan sosial yang berlatar belakang gerakan feminis dan merupakan seseorang yang mempelajari dampak modernisasi terhadap perempuan dari sudut pandang seseorang yang hidup di dalam sebuah lingkungan ‘dunia yang penuh dengan kejahatan’. Konsep ekofeminisme la-

hir ketika para aktivis lingkungan (ekologis) dan aktivis perempuan (feminis) menyadari adanya keterkaitan antara alam dan perempuan, di mana alam dan perempuan sejak dulu sampai sekarang selalu menjadi korban kekerasan oleh kaum laki-laki dan teknologi. Keterkaitan tersebut dapat dilihat jelas dari adanya dominasi kaum laki-laki (patriarkal) terhadap kaum perempuan (feminis). Kaum perempuan selalu menjadi pihak yang tertindas dan terbelakang, misalnya dalam urusan pekerjaan, hubungan rumah tangga, pendidikan, dan masih banyak lagi lainnya. Begitu juga dengan alam dan lingkungan hidup yang selalu menjadi korban dari akselerasi teknologi dan modernisasi. Kemajuan teknologi yang pesat menunjukkan adanya ambisi besar untuk menaklukkan alam. Oknum-oknum yang berada di belakangnya sebagian besar adalah kaum patriarki. Tidak bisa dipungkiri, pesatnya kemajuan teknologi dan modernisasi yang mempermudah pekerjaan manusia ternyata merupakan faktor utama terjadinya degradasi alam dan lingkungan. Salah satu contohnya adalah bencana Chernobyl yang terjadi di Uni Soviet, dekat Pripyat, Ukraina. Bencana ini terjadi karena Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir Chernobyl meledak. Akibatnya, isotop radioaktif

Majalah LPM aL-Millah Edisi 36

31


Khazanah

Haruskah perempuan terus-menerus menerima penindasan dari kaum patriarkal, atau alam yang terus-menerus ditindas atas nama pembangunan? Haruskah para perempuan membuat gerakan untuk membela kaumnya?

menyebar ke seluruh bagian barat Uni Soviet dan Eropa. Di Jerman, banyak perempuan yang putus asa untuk memberikan makanan yang sehat pada bayinya sehingga harus mengimpor dari Dunia Ketiga. Selain bencana Chernobyl, kasus pencemaran ASI yang terjadi di negara maju akibat penggunaan zat-zat beracun DDT (Dichloro-Diphenyl-Trichloroethane) –senyawa pestisida sintesis– juga menjadi faktor penyebab mereka harus mengimpor makanan dari Dunia Ketiga. Peristiwa terbaru tentang kerusakan lingkungan akibat industri adalah bencana kebakaran hutan dan lahan (karhutla) yang sedang terjadi di Indonesia. Karhutla di Sumatera dan Kalimantan sejatinya terjadi berulang setiap tahun. Berdasarkan data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), luas karhutla di tanah air hingga September 2019 sudah mencapai 328.722 hektar. Dari data itu, kebakaran di Kalimantan Tengah tercatat seluas 44.769 ha, Kalbar 25.900 ha, Kalsel 19.490 ha, Sumsel 11.826 ha, Jambi 11.022 ha dan Riau 49.266 ha. (tirto.id) Peristiwa karhutla terjadi karena adanya aktivitas pembersihan lahan atau land clearing yang biasanya dilakukan oleh kor-

32

porasi industri sawit untuk membersihkan lahannya sebelum waktu tanam. Musim kemarau yang sedang terjadi memudahkan pihak korporasi dalam melakukan aktivitas land clearing tersebut. Akibat pembakaran itu, bencana kabut asap tidak terelakkan. Berdasarkan laporan BMKG (17/9) pukul 12.00 WIB, asap telah menyebar menyelimuti sebagian besar wilayah Riau, Jambi, Sumatera Utara, Bengkulu, Sumatera Selatan, Sumatera Barat, Kepulauan Riau, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur dan bahkan telah mencapai Malaysia dan Singapura (tirto.id). Banyak korban meninggal akibat kabut asap ini. Selain itu, di Kalimantan, habitat hidup binatang langka orang utan juga terancam. Bahkan populasi orang utan yang ada di habitat aslinya (endemik) itu menurun drastis akibat banyak yang mati karena asap tersebut. Selain itu, orang utan muda juga rentan terkena infeksi seperti flu dan pilek. Dari beberapa peristiwa di atas, terlihat jelas jika persoalan kerusakan ekologi dan malapetaka yang menyertainya memunculkan ancaman langsung terhadap kehidupan sehari-hari, sementara tanggung jawab khusus (untuk hal-hal eksklusif) ma-

Majalah LPM aL-Millah Edisi 36

sih dibebankan pada perempuan. Pertanyaan-pertanyaan seperti; haruskah perempuan terus-menerus menerima penindasan dari kaum patriarkal, atau alam yang terus-menerus ditindas atas nama pembangunan? Haruskah para perempuan membuat gerakan untuk membela kaumnya? Shiva dan Mies memberikan analisanya terhadap hal-hal tersebut yang didasarkan dari sudut pandang Belahan Utara-Selatan. Teknologi dan Modernisasi dalam Kacamata Ekofeminisme Shiva dan Mies Menurut Shiva dan Mies, sudah jelas bahwa ilmu dan teknologi tidak memihak gender, di mana hubungan eksploitatif antara laki-laki dengan alam (dibentuk oleh ahli reduksionisme modern sejak abad 16) dan hubungan eksploitatif dan menindas antara laki-laki dengan perempuan yang muncul dalam masyarakat patriarkal, meskipun dalam dunia industri yang modern, adalah saling terkait. Bagi masyarakat Dunia Ketiga, keberadaan teknologi yang maju dan adanya modernisasi merupakan suatu hal yang ‘wah’. Jadi, apabila mereka mendapat kesempatan untuk merasakan hal yang sama seperti orang-orang dari Negara-negara Utara, tidak


Ilus/ Chandra

Khazanah

susah untuk ditebak jika mereka akan dengan senang hati mengambil kesempatan tersebut. Sebutan Dunia Ketiga merupakan sebutan bagi negara-negara berkembang, seperti negara-negara di Afrika, sebagian besar negara-negara di Asia, dan beberapa negara di Amerika dan Eropa. Kondisi yang dapat dilihat pada negara berkembang adalah adanya perbedaan yang sangat mencolok pada sektor pembangunan, ekonomi, dan sebagainya dengan negara maju. Misal, ketika di negara maju sudah menggunakan internet sebagai jaringan komunikasi, di negara berkembang baru menggunakan telepon

umum untuk berkomunikasi. Contoh ekstrim lainnya, ketika di negara maju sudah menggunakan mobil listrik sebagai kendaraan pribadi, di negara berkembang baru menggunakan sepeda motor sebagai kendaraan mewahnya, atau mengimpor kendaraan umum bekas negara maju. Ketika masyarakat Dunia Ketiga bertanya-tanya bagaimana caranya untuk bisa menjadi kaya, makmur seperti orangorang dari Negara-negara Utara, mereka –orang-orang dari negara utara– dengan senang hati akan mengatakan caranya yaitu dengan program ‘Mengejar Pembangunan’. Hal ini dikarenakan

‘pembangunan’ yang terdapat di Dunia Ketiga bisa dikatakan terlambat jika dibandingkan dengan Negara-negara Utara. Jadi, dengan adanya program tersebut, mereka –masyarakat Dunia Ketiga- seakan-akan mempunyai jalan keluar untuk bisa meraih kekayaan dan kemakmuran ekonomi dengan mencontoh cara-cara yang dipakai oleh Negara-negara Utara dalam membangun ekonominya. Namun perlu diketahui, jika apa yang disebut dengan program ‘Mengejar Pembangunan’ tersebut hanyalah sebuah ilusi semata. Kenapa bisa disebut ilusi? Hal ini dikarenakan sebaik

Majalah LPM aL-Millah Edisi 36

33


Khazanah dan sekeras apapun Negara-negara di Benua Ketiga berusaha untuk menyetarakan pembangunan dengan Negara-negara Utara, mereka akan tetap tertinggal. Penyebabnya adalah ketika mereka sibuk menyetarakan pembangunan, Negara-negara Utara itu juga sibuk mengembangkan temuantemuan baru di negaranya. Jika standar awal kemajuan berupa ‘televisi’ maka besok adalah ‘televisi berwarna’, besoknya lagi ‘komputer’ dan besoknya lagi laptop atau telepon pintar yang lebih modern dan seterusnya. Alhasil, kebijakan yang disebut mengejar pembangunan ini merupakan sesuatu yang mustahil karena standar yang ditetapkan selalu berubah setiap waktunya. Begitu pula dengan nasib yang menaungi perempuan-perempuan di dunia masih sama seperti dulu, tidak ada yang berubah. Keberadaan modernisasi dan kemajuan teknologi memang menjadi titik ukur perkembangan suatu Negara. Dengan adanya kemajuan teknologi serta tingkat perkembangan modernisasi, ‘kebebasan’ bisa jadi salah satu hal yang dapat dirasakan oleh semua pihak, termasuk kaum wanita. Dalam hal ini, kebebasan yang dimaksud adalah adanya kesetaraan posisi dengan kaum laki-laki, baik dalam hal pekerjaan, layanan pendidikan, kesehatan, atau layanan publik lainnya. Akan tetapi, pada kenyataannya semua itu sebatas angan-angan belaka. Kebebasan hanyalah milik orangorang yang memegang kendali ekonomi dan keuangan. Perlu diketahui jika di Negara-negara maju, pemegang kendali kemudi ekonomi adalah para laki-laki, sehingga kebebasan mutlak berada pada tangan laki-laki. Sementara kaum perempuan yang tidak memegang uang tidak bisa mendapatkan kebebasannya se-

34

cara utuh. Salah satu contoh nyata yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari adalah dalam hal pekerjaan. Di beberapa negara di Eropa dan Amerika, sebagian perempuan telah diberi kebijakan untuk bebas memperoleh pekerjaan sebagaimana yang didapatkan oleh kaum laki-laki. Kebijakan itu berlaku selama dan hanya sebatas untuk tuntutan pemberian pekerjaan dan pendapatan. Berbeda dengan perempuan-perempuan di Negara Utara, sebagian besar masyarakat perempuan di Negara Selatan belum bisa menikmati hal yang sama dengan perempuan di negara utara. Meskipun sebagian besar perempuan sudah menikmati pekerjaan, mereka mendapatkan jabatan yang terbatas, lebih rendah dibandingkan kaum laki-laki, dengan upah yang relatif kecil dibandingkan para laki-laki yang menempati posisi/ jabatan yang sama. Meninjau semua hal tersebut, maka bisa dikatakan jika hubungan yang terjadi antara teknologi dan m o d e r n i s a s i d e n g a n alam dan perempuan adalah hubungan yang menindas. Bisa dilihat dengan adanya kemajuan teknologi dan semakin pesatnya modernisasi, keadaan alam dan lingkungan hidup (ekologi) semakin mengalami kerusakan dan degradasi. Begitu pula dengan kaum wanita, kemajuan teknologi bukannya memberikan mereka kesempatan untuk meraih kebebasan dalam menjalankan hidup, tetapi justru semakin mencengkeram hak-hak mereka secara tidak langsung. Degradasi Alam, Perempuan, dan Anak-anak adalah Harga yang Harus Dibayar Untuk Pembangunan Adanya pembangunan dimaksudkan untuk meningkatkan

Majalah LPM aL-Millah Edisi 36

kesejahteraan masyarakat Dunia Ketiga. Dengan adanya pembangunan, diharapkan negara-negara yang sedang berkembang bisa ikut menikmati ‘kemudahan’ yang dirasakan oleh negara-negara maju seperti Amerika, Jepang, negara-negara Eropa Barat dan sebagainya. Namun pada kenyataannya, pembangunan yang terjadi sejak dulu dan terus-menerus dilakukan sampai saat ini, di sisi yang lain malah menyebabkan terjadinya kemiskinan dan degradasi lingkungan. Konsep pembangunan yang diterapkan oleh Dunia Ketiga berkiblat pada industri Barat. Sedangkan tidak semua negara mampu menerapkannya secara proposional. Konsep industri di Barat didasarkan pada kolonialisme. Mereka sebagai negara kolonial akan mencari negara-negara koloni untuk dikeruk kekayaannya dan dikelola sumber daya alamnya dengan dalih kepentingan orang banyak. Realitanya, negara-negara koloni tersebut hanya berperan sebagai inang bagi negara kolonial untuk mendapatkan asupan nutrisi, sehingga negara-negara koloni tersebut sampai saat ini belum bisa sepenuhnya merasakan hasil dari apa yang digembar-gemborkan dengan istilah ‘pembangunan’. Begitu pula dengan pembangunan di Dunia Ketiga. Mereka yang pada dasarnya merupakan negara yang masih dalam tahap ‘berkembang’, entah secara sadar atau tidak, akan menerapkan praktik kolonialisasi pada negaranya sendiri. Mereka akan mengeruk semua sumber daya alam yang ada dan mengeksploitasi besar-besaran dengan dalih melakukan pembangunan untuk negeri. Mereka mengabaikan fakta bahwa dengan melakukan eksploitasi terhadap alam, perbuatan mereka secara nyata juga


Khazanah mengakibatkan hilangnya keseimbangan alam dan lingkungan. Dengan rusaknya alam dan lingkungan hidup, tingkat kemiskinan di negara tersebut akan meningkat secara signifikan. Hal ini karena alam merupakan ‘ibu’ bagi sebagian besar penghuninya. Alam dijadikan sebagi tempat awal dan akhir dalam melakukan sesuatu, terutama bagi perempuan. Sejak dulu, kaum perempuan telah erat dikaitkan dengan alam. Sebagian besar kegiatan yang dilakukan kaum perempuan dalam menjalani kehidupannya biasanya selalu mempertimbangkan dampak yang akan terjadi pada alam dan lingkungan sekitarnya. Ketika lingkungan di sekitar mereka rusak k a r e n a a d a n y a pembangunan, maka secara otomatis pula mereka akan kehilangan diri mereka. ‘Proyek pembangunan’ biasanya tidak memerlukan andil perempuan dalam pengerjaannya. Sehingga mereka pelan-pelan tersisih karena tidak bisa melakukan apa-apa untuk berkontribusi pada pembangunan. Sebab, pada dasarnya perempuan adalah kaum yang secara tidak langsung terdidik untuk melindungi, bukan menyerang apalagi merusak. Selain itu, doktrin bahwa perempuan adalah kaum yang lemah telah menjadi rahasia umum sehingga ketika mereka melakukan protes tidak akan didengar. Kaum patriarki berpikir jika kerumunan lemah seperti mereka tidak akan membawa dampak yang signifikan pada rencana pembangunan. Selain itu, kemiskinan yang menjerat perempuan secara langsung juga akan berdampak pada kesejahteraan anak-anaknya. Hal ini dikarenakan peran seorang perempuan untuk melahirkan generasi baru dan penyedia nafkah. Jika perempuan dan lingkungannya mengalami

gangguan maka secara otomatis anak-anak juga akan terdampak. Penyebab dari kemiskinan yang menjerat perempuan, anak-anak dan lingkungan ini tidak lain dan tidak bukan adalah ‘pembangunan’. Malangnya, degradasi tersebut diabaikan dan tidak dijadikan bahan pertimbangan utama dalam pelaksanaan pembangunan. Tingkat kemiskinan yang menimpa a n a k- a n a k bisa dibilang sangat tinggi, tidak hanya di negara berkembang tetapi juga di negara-negara maju. Krisis gizi, air, bahan pangan, menimpa anak-anak di hampir semua negara. Krisis bahan pangan dan gizi disebabkan karena adanya program-program ilusi ‘pembangunan’ pada sektor pertanian. Pertanian yang pada awalnya hanya diperuntukkan memenuhi kecukupan bahan pangan bagi para penduduk di negaranya, berubah menjadi komoditas yang ditingkatkan untuk memenuhi target ekspor ke luar negeri. Akibatnya adalah kelangkaan dan kenaikan harga pangan di pasaran lokal. Ketika kenaikan harga pangan tidak terjangkau oleh daya beli masyarakat, dampaknya adalah kualitas kehidupan anakanak mengalami penurunan, seperti gangguan kesehatan dan kelaparan. Bagi anak-anak dalam masa pertumbuhan, kekurangan pangan adalah sesuatu yang fatal. Hal ini karena asupan gizi dan nutrisi untuk tubuh mereka berkurang sehingga menyebabkan gizi buruk. Dampaknya bermacam-macam, salah satunya adalah busung lapar yang banyak melanda masyarakat Benua Afrika. Badan kecil dengan perut menggelembung besar merupakan pemandangan yang umum bagi masyarakat di Benua Hitam. Begitu juga dengan krisis air yang terjadi karena banyak

sumber mata air yang dulunya merupakan sumber penghidupan penduduk, telah dialihfungsikan untuk kepentingan industri. Akibatnya, kekeringan terjadi di berbagai daerah karena banyak sumber air yang mati setelah dikuras habis-habisan untuk menggerakkan roda industri. Selain karena kekeringan, krisis air juga diakibatkan oleh tercemarnya sumber-sumber air yang ada, seperti sungai, danau, laut karena pembuangan limbah industri yang tidak sesuai prosedur. Air terkontaminasi racun yang berbahaya bila dikonsumsi dan digunakan untuk keperluan sehari-hari karena mengandung bahan kimia buangan industri. Akibat dari tercemarnya sumber-sumber air tersebut anak-anak gampang terserang penyakit seperti diare, kolera, dan penyakit berbahaya lainnya. Sangat nyata, pembangunan yang dielu-elukan menjadi roda penggerak negeri tidak lain sekadar barang jualan yang penuh tipu daya. Dampak buruknya adalah kerusakan ekosistem alam dan degradasi kualitas hidup perempuan dan anak-anak. Mereka menempati urutan pertama kaum yang lemah dan mudah tertindas. Program industrialisasi senantiasa berkait kelindan dengan fenomena kemiskinan pada suatu negara yang grafiknya terus menerus meningkat secara tak kasat mata. Di sisi lain, perempuan dan anak-anak mau tidak mau menjadi pihak yang harus menanggung semua dampak yang terjadi. Berdasarkan hal-hal di atas, Shiva dan Mies menyatakan jika dunia memerlukan sebuah visi baru untuk membenahi tatanan kehidupan yang ada saat ini. Visi baru itu disebut dengan subsistence perspective atau survival perspective (pandangan bertahan hidup). Dalam perspektif

Majalah LPM aL-Millah Edisi 36

35


Khazanah

Sementara kaum perempuan yang tidak memegang uang tidak bisa mendapatkan kebebasannya secara utuh.

ini lebih ditekankan pada konsep masyarakat ekofeminisme. Konsep ekofeminisme di sini bukan bermakna bahwa perempuanlah yang akan mengatasi dan membenahi kerusakan ekologi yang diakibatkan oleh sistem kapitalis-patriarki. Tetapi, visi baru ini lebih kepada meniscayakan peranan laki-laki untuk mulai bersama-sama –dalam tindakan- bertanggungjawab terhadap kehidupan dan pemeliharaan kehidupan di planet ini. Kaum laki-laki harus mulai menyudahi keterlibatannya dalam melakukan aktivitas produksi berbagai komoditas yang merusak hanya demi kepentingan akumulasi modal dan mulai melakukan pembagian kerja dengan perempuan dalam memelihara kehidupan. Dalam makna tindakan, mereka harus secara sukarela melakukan: kerja rumah tangga, mengasuh anak, memelihara orangtua dan orang sakit. Dalam pemeliharaan ekologi mereka harus menyehatkan kembali bumi. Selain itu, subsistence perspective akan memberikan kontribusi yang sangat penting dalam proses menjauhkan tindakan militeristik laki-laki dan

36

masyarakat. Masyarakat yang mendasarkan dirinya pada subsistence perspective nantinya akan dapat merasakan kehidupan yang harmonis dengan alam, mempertahankan perdamaian antar bangsa, antar generasi dan antar laki-laki dengan perempuan. Hal ini tidak lain karena prinsip ini tidak mendasari dirinya pada konsep ‘kehidupan ideal’ yang eksploitatif dan dominasi terhadap alam dan manusia lain. Biografi: Vandana Shiva, merupakan seorang fisikawan, filsuf dan feminis yang memberikan kritikan tajam terhadap dampak adanya teknologi pertanian dan teknologi reproduksi mutakhir. Shiva juga salah seorang aktivis yang terlibat aktif dalam gerakan masyarakat sipil menentang pengrusakan lingkungan, salah satunya dalam Gerakan Chipko. Di samping sebagai aktivis, Shiva juga merupakan penulis buku Staying Alive: Women, Ecology and Development (Zed Books dan Kali for Women, 1989), The Violence of Green Revolution: Third World Agriculture, Monociltures of the Mind (Zed Books dan Third World

Majalah LPM aL-Millah Edisi 36

Network, 1991), dan co-editor Biodiversity: Social and Ecological Perspective (Zed Books dan Third World Network, 1991). Maria Mies, merupakan seorang sosiolog dan penulis beberapa buku dan makalah. Salah satu bukunya yang paling diakui adalah Patriarchy and Accumulation on a World Scale; telah dicetak ulang sebanyak 3 kali sejak diluncurkan pertama kali oleh Zed Books (1986). Ia pernah mengepalai Program Studi Perempuan di The Institute of Social Studies di Haque. Sekarang ia merupakan Profesor Sosiologi di Fachhocochschule di Cologne, Jerman, serta aktif sebagai aktivis di Gerakan Perempuan dan Lingkungan Jerman. (Eka Purwaningsih_26.17.173)


Budaya

‘Hangleluri Kabudayan Jawi’ Pesan Ritual dalam Alat Musik Tradisional “Gong Gumbeng adalah khazanah budaya yang harus tetap eksis sebagai peninggalan orang tua, melaksanakan kegiatan tersebut bukanlah musyrik akan tetapi penghormatan. Saya berharap kesenian Gong Gumbeng ini bisa terus dilestarikan,� Darmanto

S

elain kebutuhan sandang, pangan dan papan, ada sebuah kebutuhan manusia lain di dalam hidupnya untuk mendukung estetika. Estetika manusia d i s eb ut s e b a ga i seni hidup yang tinggi nilainya. Sehingga keberadaan seni tradisional di dalam kebudayaan masyarakat Jawa khususnya masih terjaga keasliannya hingga saat ini. Salah satu kesenian yang berasal dari daerah Wringinanom ditemukan sebuah keunikan. Wringinanom adalah sebuah nama desa di Kabupaten Ponorogo yang terkenal dengan industri genting dan batu bata. Desa ini berada sekitar 15 km ke selatan dari pusat kabupaten Ponorogo. Aktivitas masyarakat Desa Wringinanom dipengaruhi oleh latar belakang sosial, mata pencaharian, tingkat pendidikan dan ekonomi. Sebagian besar penduduk Desa Wringinanom bekerja sebagai petani dan buruh, baik buruh tani, buruh bangunan, maupun buruh industri. Selain aktif dalam perekonomian mereka juga aktif dalam mempertahankan kesenian leluhur mereka yang menarik untuk digali. Apalagi, di era pesatnya teknologi menjaga kesenian tradisional adalah sebuah tanta-

ngan besar. Akan tetapi, bagi warga Desa Wringinanom kesenian harus terus dilestarikan karena di dalam seni terdapat nilai dan etika yang begitu berharga. Kesenian tradisional itu berbentuk alat musik bernama Gong Gumbeng. Penggalian data mulai dilakukan dengan menemui seorang tokoh desa setempat. Darmanto, salah satu orang yang mengerti sejarah dan merupakan sesepuh desa memahami betul kesenian Gong Gumbeng itu. Ia terlibat aktif dalam pelestarian alat musik tradisional yang mulai terkikis di tengah masyarakat. Bagaimana tidak, berbagai alat musik modern dan kontemporer telah menguasai panggung musik zaman ini. Ketika kami menemuinya, Darmanto tampak menerawang jauh dan berusaha melamat-lamat untuk menjelaskan apa yang diingatnya. Sambil menunjukkan kesenian tersebut, ia juga melihatkan beberapa foto prestasi Gong Gumbeng yang telah andil dalam beberapa pameran kesenian di beberapa kota di Indonesia. Dengan nada khas usia lanjut ia menegaskan kesenian Gong Gumbeng adalah kesenian kuno peninggalan nenek moyang terdahulu Desa Wringinanom. Hidup

Darmanto dikerahkan untuk terus berusaha menjaga eksistensi kesenian yang sudah mulai lapuk tersebut. Ternyata, Gong Gumbeng tidak bisa ditemui di daerah lain. Merupakan fenomena yang menarik untuk digali lebih lanjut, mengingat hanya terdapat satu kelompok kesenian Gong Gumbeng dan satu-satunya kesenian yang berbeda dari kesenian lain yang ada di Kabupaten Ponorogo. Gong Gumbeng Sebagai Ritual Tolak Bala Gong Gumbeng merupakan salah satu seni pertunjukan tradisional yang hanya terdapat di Desa Wringinanom Kecamatan Sambit. Masyarakat Desa Wringinanom meyakini kesenian Gong Gumbeng harus selalu dilaksanakan dalam upacara bersih desa, untuk menghindari datangnya musibah atau malapetaka di desa tersebut. Masyarakat mempercayai akan terjadi masa paceklik (masa kesulitan bahan pangan, kesulitan air, tanah tidak subur) sehingga gagal panen akan menimpa desa Wringinanom jika tidak dilaksanakannya ritual bersih desa dengan syarat alunan musik Gong Gumbeng di dalamnya. Keberadaan Gong Gumbeng sebagai seni di dalam sebuah ritual tentunya memiliki

Majalah LPM aL-Millah Edisi 36

37


Budaya

Seorang seniman meniup Gong Gumbeng

38

Pernah suatu ketika pergantian kepala desa, pemegang posisi pemerintahan di desa ini tidak mengajak masyarakat untuk melaksanakan ritual. Alasannya, karena kepala desa saat itu menganggap ritual semacam itu adalah sebuah mitos yang tidak perlu diteruskan. Namun, ternyata benar adanya, kepercayaan akan datangnya balak menjadi kenyataan. Meski dianggap mitos oleh sebagian orang, Desa Wringinanom dilanda bencana paceklik, mulai dari sumber mata air berkurang hingga kekurangan pangan. Maka pada tahun berikutnya ritual desa dengan melibatkan kesenian musik Gong Gumbeng kembali dilaksanakan. Akan tetapi eksistensi Gong

Majalah LPM aL-Millah Edisi 36

Gong Gumbeng Alunan Penghormatan Leluhur Selain sebagai desa industri genting dan batu merah, warga Desa Wringinanom bermata pencahariaan sebagai petani. Masyarakat agraris mendamba kesuburan tanah, meletakkan harapan yang penuh untuk bumi yang subur. Kesuburan tanah tidak hanya didapat dengan cara pertanian yang modern. Namun, masayarakat desa tersebut percaya jika kesuburan tanah juga didapat dari praktik ritual lain berupa penghormatan kepada para leluhur dan ikhtiar kepada

Foto/ Fanisa

syarat-syarat tertentu, artinya pertunjukannya memiliki aturan. Misalnya dalam pelaksanaan ritual memerlukan waktu dan tempat yang telah dianggap sakral oleh masyarakat. Karena Masyarakat memiliki kepercayaan bahwa anggapan semacam itu telah mentradisi secara turun temurun oleh leluhur mereka. Hal itu menunjukkan terdapat laku ritual dan pesan nilai moral di dalam masyarakat yang tidak bisa dipisahkan. “Kesenian ini dilaksanakan di Telaga Banyuripan, tidak ada yang berbeda sejak dulu. Kami mencoba untuk terus melestarikan sebagai sebuah penghormatan kepada yang telah membabat dan juga sebagai wujud rasa syukur,� terang Darmanto kepada crew di kediamannya.

Gumbeng belum merambah banyak khalayak, khususnya masyarakat Ponorogo. Gong Gumbeng begitu terasa asing di telinga dan menjadi ironi ketika yang mengenali justru orang-orang dari luar Ponorogo. Kami sempat bertanya kepada pemuda setempat tentang keberadaan Gong Gumbeng. Mereka hanya menggelengkan kepala tak mengerti apa yang sedang ditanya, salah satunya Adi, pemuda yang duduk di bangku Sekolah Menengah Atas (SMA). Ketika pertanyaan dilontarkan, Ia hanya menyunggingkan senyum dan menjawab, “Oo.. itu namanya Gumbeng aja setahuku. Kalau sejarah dan adanya kesenian itu aku nggak tahu.� Sedangkan, beberapa mahasiswa yang datang dari universitas Jogja, Surabaya hingga Malang justru ikut serta mempelajari sejarah kesenian tersebut. Cerita tersebut kami dapat dari Darmanto ketika mengkisahkan keprihatinannya terhadap seni tradisional itu. "Banyak yang datang dari luar Ponorogo, seperti dari Universitas Negeri Surabaya (UNESA), Universitas Negeri Malang (UM) dan Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) memilih Gong Gumbeng untuk topik tugas akhir skripsinya."


Budaya

“Kesenian ini dilaksanakan di Telaga Banyuripan, tidak ada yang berbeda sejak dulu. Kami mencoba untuk terus melestarikan sebagai sebuah penghormatan kepada yang telah membabat dan juga sebagai wujud rasa syukur,� Darmanto

Yang Maha Kuasa. Salah satunya jiwa harus bersih dari perbuatan iri dan dengki. Serangkaian kegiatan bersih desa bermaksud untuk membersihkan jiwa masyarakat dari keburukan-keburukan serta keinginan untuk memiliki jiwa yang baik. Dalam ritual bersih desa di Desa Wringinanom Kecamatan Sambit Kabupaten Ponorogo ini pelaksanaannya sama seperti ritual bersih desa di tempat lain. Perbedaannya ialah pada serangkaian ritual bersih desa yang tidak terlepas dari alat musik di dalamnya, yakni alat musik tradisional Gong Gumbeng. Alat musik ini bisa dikatakan hampir punah. Pasalnya kesenian tradisional tersebut hanya dilestarikan oleh satu kelompok kesenian di dunia, yakni di Dusun Banyuripan Desa Wringinanom Kecamatan Sambit Kabupaten Ponorogo. Kesenian Gong Gumbeng muncul dan berkembang tidak terlepas dari keberadaan masyarakat itu sendiri. Masyarakat Desa Wringinanom yang senantiasa menjaga dan melestarikan warisan kesenian dari leluhur terdahulu dan memiliki rasa percaya bahwa serangkaian upacara ritual bersih desa yang rutin dilaksanakan ini sangat bermakna bagi keberlangsungan hidup masyarakat Desa Wringinanom Kecamatan Sambit Kabupaten Ponorogo.

Kisah Awal Gong Gumbeng Sejak tahun 1837 M, kesenian tradisional Gong Gumbeng dibawa oleh bangsawan Mataram yang bernama Iro Giri. Pada saat itu Desa Wringinanom sedang dalam kondisi paceklik. Iro Giri memberikan usulan kepada masyarakat untuk mewujudkan desa yang ayem tentrem serta bermaksud memberantas masa kesulitan yang sedang melanda Desa itu. Demang Onggonduwo sebagai salah satu tokoh di Desa Wringinanom pada masa itu mengisyarakatkan bahwa Desa Wringinanom bakal aman dan sejahtera kalau diadakan bersih desa yang di dalamnya terdapat kesenian musik yang berasal dari bambu. Sang Demang kemudian melaksanakan pesan tersebut karena ia meyakini Iro Giri sebagai seseorang yang dituakan. Bahkan ia termasuk keturunan dari keraton itu dapat memberikan solusi untuk Desa Wringinanom saat itu. Darmanto melanjutkan kisahnya, "kalau orang sudah bau keturutan keraton itu ya namanya orang sakti dan orang yang lebih tahu." Selanjutnya, Iro Giri membuat seperangkat gamelan yang terbuat dari bambu. Demang Onggonduwo menjadikan alat musik tersebut sebagai sarana ritual bersih desa atau masyarakat akrab menyebutnya dengan adat Selan yang diadakan secara rutin oleh masyarakat Desa Wringinanom

setiap tahunnya pada hari Jumat terakhir di bulan Selo dalam penanggalan Jawa. Ritual ini di lakukan di Sendang Madirjo secara sakral. Tempat tersebut dipercaya warga sebagai tempat keramat dan sebagai sumber mata air bagi masyarakat desa setempat. Sumber mata air di Sendang Madirjo tidak pernah kering sepanjang tahun. Menurut kepercayaan warga apabila sekalipun tidak dilaksanakan ritual bersih desa akan terjadi kemarau panjang dan sulit mendapatkan bahan pangan sehingga mampu menyengsarakan masyarakat. Disusun Menggantung Seperti Angklung Nama Gong Gumbeng diambil dari alat musik yang terbuat dari bumbung yang berarti potongan bambu. Karena dapat dilihat dari alat musiknya dan cara memainkan alat musik tersebut mayoritas peralatan berasal dari bambu. Cara memainkannya pun d e n gan c a r a d i k o c o k a t a u digoyangkan. Munculnya bunyi merdu berasal dari gerakan ke arah atas-bawah atau depan-belakang. Bahan alat musik ini terbuat dari potong bambu atau pring, dipasang dengan cara disusun tegak lurus dengan pegangannya. Kemudian bambu dilubangi pada bagian atas dan bawah serta bagian-bagian untuk menggabung atau meng-

Majalah LPM aL-Millah Edisi 36

39


Budaya

“Oo.. itu namanya Gumbeng aja setahuku. Kalau sejarah dan adanya kesenian itu aku nggak tahu.�

,,

Adi

hubungkan ketiga bambu yang berukuran besar. Alat yang menghubungkan keduanya juga terbuat dari bambu yang bentuknya kecil bulat seperti tongkat. Setelah itu bambu wulung dipasang secara menggantung dan berjajar dengan jarak sama pada ongkek (tempat penggantung seperti angklung). Terdiri dari 15 alat musik Gumbeng yang ditata secara urut mulai ukuran bambu besar hingga kecil yang dibagi menjadi tiga bagian, yakni lima angklung besar (AB), lima angklung tengah (AT) dan lima angklung kecil (AK), 1 Gong Bonjor, 1 Kendang dan 1 Siter. Gumbeng memiliki tangga nada pentatonis, yaitu tangga nada yang menggunakan lima buah nada berlaraskan slendro (1-2-3-5-6). Dibaca seperti pada karawitan Jawa yakni 1 = ji, 2 = ro, 3 = lu, 5 = mo, 6 = nem. Biasannya Gumbeng menyajikan beberapa gendhing, diantaranya; Lancaran Ricik-Ricik, Kebo Giro, Ladrang Wilujeng, Ladrang Mugi Rahayu, Ketawang Puspawarna, Ketawang Sinom Harapan Gong Gumbeng Tetap Lestari di Tengah Globalisasi Hingga saat ini alat musik tradisional Gong Gumbeng ma-

sih asli, artinya tidak ada perubahan dari sejak nenek moyang mulai dari bentuk hingga cara memainkannya. M a s y a r a k a t merawat dan memperb a i k i a p a b i l a a da kerusakan. Hasil kesenian tersebut masih hidup dan terpelihara. Kenyataan memberi harapan bahwa kehidupan seni dan tradisi memiliki nilai tinggi serta semakin besarnya kesadaran masyarakat dalam upaya pelestarian. Atas dasar tersebut amat disayangkan apabila kesenian seperti itu mengalami kepunahan karena arus globalisasi yang se m a ki n gi ras me n g g i l as n e ge r i . Pada akhir percakapan, Darmanto menjelaskan dirinya sangat terbuka ke pad a siapapun yang ingin belajar alat musik tradisional tersebut. Ia bersama masyarakat mengajak kepada pemuda untuk bersama-sama saling menjaga dan melestarikan kesenian ini. "Gong Gumbeng adalah khazanah budaya yang harus tetap eksis sebagai peninggalan orang tua, melaksanakan kegiatan tersebut bukanlah musyrik akan tetapi penghormatan. Saya berharap kesenian Gong Gumbeng ini bisa terus dilestarikan,� tutur harapan sang tetua kesenian tersebut.

(Fanisa RIfda Salimah_26.17.174)

40

Majalah LPM aL-Millah Edisi 36


Majalah LPM aL-Millah Edisi 36

41


42

Majalah LPM aL-Millah Edisi 36


Majalah LPM aL-Millah Edisi 36

43


44

Majalah LPM aL-Millah Edisi 36


Kolom

Konversi Energi dari Fosil ke Energi Terbarukan: “Kontradiksi Bisnis Seperti Biasa” *Wahyu Eka Setyawan (Wahana Lingkungan Hidup Jatim)

“Jika lingkungan tercemar dan perekonomian sakit, virus penyebab keduanya akan ditemukan pada sistem produksi.” Barry Commoner

L

istrik menjadi kebutuhan yang cukup vital bagi setiap masyarakat, setiap aktivitas pasti membutuhkan listrik, baik dalam skala rendah, sedang ataupun tinggi. Perlu diketahui dari tahun ke tahun konsumsi listrik di Indonesia mulai mengalami kenaikan yang cukup signifikan. Berdasarkan data yang disampaikan oleh Kementrian ESDM, jika di tahun 2017 konsumsi listrik Indonesia mencapai 1.012 KWH per kapita, dengan kenaikan rata-rata 5,9 persen dari tahun 2016. Melihat tren kenaikan konsumsi listrik nasional, Kementrian ESDM ¬ peningkatan konsumsi listrik sekitar 1.129 KWH per kapita di tahun 2018. Kebutuhan itu akan diakselerasi dengan meningkatkan kapasitas pembangkit listrik sebesar 65 GW, dari realisasi sebelumnya yang mencapai 60 GW. Rasio elektrifikasi yang masih sebesar 95.15 persen, akan terus dipa-

cu hingga mencapai 100 persen pada tahun 2025. Rencana pengembangan listrik yang hingga mencapai 65 GW dalam perjalanannya mengalami berbagai revisi, terutama dalam dokumen Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) yang merupakan rencana strategis dalam pengakselerasian dan pentransmisian energi. Pasalnya dengan melihat konjungtur laju pertumbuhan ekonomi, maka rencana itu urung dimaksimalkan. Tercatat dalam dokumen RUPTL tahun 20182027 terjadi penurunan target penguatan kapasitas listrik, dari awalnya 78 GW menjadi hanya 56 GW. Hal ini diakibatkan oleh pertumbuhan ekonomi yang hanya mencapai 6.1 persen, dari awalnya sebesar 6.2 persen. Satu tahun selanjutnya yakni pada 2019, terjadi lagi perubahan dalam rencana penambahan kapasitas listrik nasional. Tercatat dalam

dokumen RUPTL 2019-2028 terjadi peningkatan jumlah kapasitas listrik nasional, dari yang awalnya 56 GW menjadi 56.4 GW. Guna menunjang target ini, pihak pemerintah akan mengakselerasi pembangunan jaringan transmisi sepanjang 57.293 kms, disusul dengan jaringan sepanjang distribusi 472.795 kms, pembangunan gardu induk dengan kapasitas 124.341 MVA dan pemaksimalan gardu distribusi dengan besaran daya sekitar 33.730 MVA. Dari rencana percepatan dan pemaksimalan energi listrik ini, dibutuhkan penunjang berupa infrastruktur listrik baik hulu maupun hilir, guna mengakselerasi rencana peningkatan kapasitas listrik. Infrastruktur di sini termasuk sarana produksi listrik yang dapat berupa pembangkit listrik, beserta infrastruktur penunjang lainnya seperti jalur distribusi dan lain-lain.

Majalah LPM aL-Millah Edisi 36

45


Kolom Mengulik dari RUPTL 2018-2029 tidak ada perubahan yang cukup signif kan dari tahun sebelumnya, yakni komposisi energi yang digunakan untuk menghasilkan listrik masih didominasi oleh energi fosil, dengan alokasi 54 persen untuk batubara, 22 persen gas dan 0.4 persen bahan bakar minyak. Sementara untuk porsi Energi Baru Terbarukan (EBT) dialokasikan sebesar 23 persen, yang komposisinya masih sama dengan RUPTL di tahun sebelumnya. Penggunaan EBT sebagai energi untuk menopang kebutuhan listrik nasional masih didominasi oleh energi panas bumi dengan alokasi 8 persen, dan energi air sebesar 17 persen. Sementara untuk energi seperti angin, matahari dan mikro hidro masih minim realisasinya, tercatat porsi untuk energi ini masih berada di angka 1 persen dari keseluruhan alokasi EBT. Problem m en gen a i minimnya perhatian penggunaan EBT masih menjadi keprihatinan tersendiri, karena penggunaan energi fosil memiliki dampak yang cukup serius bagi keberlanjutan lingkungan hidup. Seperti penggunaan batu bara, gas dan minyak bumi sebagai energi listrik, telah mengakibatkan berkurangnya ruang hidup rakyat. Dalam hal berkaitan dengan daya rusak selama proses produksi batu bara, gas dan minyak, yang telah nyata mengakibatkan aneka problem sosial-ekologis. Sebagai contoh di Kalimantan Timur yang luasan konsesi tambang batubara mencapai 43 persen dari total luas wilayah. Ada sekitar 12,7 hektare luas konsesi tambang batubara, dengan mencaplok sebagian besar wilayah hutan dan persawahan. Tercatat ada 59 ribu hektare lahan sawah yang tersisa dengan jumlah

46

produksi 253.700 ton beras per tahun. Dampaknya terjadi defisit produksi beras, jika melihat hasil produksi beras Kalimantan Timur di tahun 2017 yang hanya mampu mengasilkan sekitar 172.300 ton. Hal tersebut cukup kontradiktif dengan total konsumsi beras Kalimantan Timur yang mencapai 426 ribu ton. Selain itu, dampak lainnya ialah hancur leburnya permukaan tanah yang diakibatkan lubang-lubang tambang, ada sekitar 632 bekas galian yang dibiarkan begitu saja. Di sisi lain akibat lubang tambang tersebut, tercatat telah memakan korban sebanyak 32 jiwa, 27 di antaranya masih dikategorikan anak-anak. Tetapi tidak semua EBT bisa digunakan sebagai substitusi (penggantian) energi, mengingat keberadaannya masih menjadi perdebatan, seperti keberadaan energi panas bumi, air dan biofuel. Dari ketiga EBT tersebut memiliki daya destruktif setara dengan batubara, khususnya biofuel yang berasal dari sawit, tentunya dalam proses produksinya akan memakan banyak lahan. Sementara untuk panas bumi banyak ditentang karena menghancurkan ekosistem sekitar, dan memiliki dampak yang cukup serius seperti kekeringan dan gempa bumi. Setali tiga uang, pembangkit listrik tenaga air juga memiliki sisi destruktif tersendiri, terutama selama proses pembangunannya yang berpotensi mengeksklusi masyarakat (pemindahan paksa) atau mereduksi wilayah pertanian (alih fungsi lahan). Kontradiksi Energi Baru Terbarukan Mengenai ketidaksesuaian proyek energi dengan realitas dapat kita pahami dari tujuan mengapa pemerintah bernafsu menambah kapasitas listrik nasional. Bahkan pada satu momen-

Majalah LPM aL-Millah Edisi 36

tum pemerintah melalui kementrian ESDM membuat RUPTL yang dalam poin penggunaan energi masih didominasi oleh batubara. Selain itu mengenai penggunaan EBT yang mulai mendapatkan porsi lebih sebagaimana dalam Permen ESDM No. 50 Tahun 2017 dan beberapa kesepakatan internasional di forum UNFCC (Unted Nation Framework Convention on Climate Change) dan IPCC ( I n t e r g o v e r m e n t a l Pa n e l o n Climate Change), seperti agreement di COP21 (conference of the parties) Paris, Perancis. K esepakatan tersebut menekankan untuk mengurangi penggunaan bahan bakar fosil sebagai energi, karena menyumbang cukup besar gas rumah kaca dan menjadi salah satu faktor determinan dalam climate change. Namun porsi yang dialokasikan pemerintah untuk EBT masih didominasi energi panas bumi dan air, yang mana keduanya memiliki dampak yang cukup signifikan dalam perampasan ruang hidup.


Ilus/ Chandra

Kolom

Sebagaimana yang telah dijabarkan dalam RUPTL 20192028 bahwa dominasi rencana pengembangan energi listrik masih memprioritaskan energi berbahan baku fosil. Dari dokumen ini jikalau kita lihat secara jeli, terangkum bahwa ada sebaran sekitar 54 persen masih mengarusutamakan penggunaan batubara dengan kebutuhan sekitar 97 juta ton, dan akan meningkat di tahun 2028 sebesar 153 juta ton. Sementara sektor lain didominasi oleh gas dan LNG (Liquid Natrium Gas) yakni sebesar 22 persen dengan kebutuhan bahan baku sekitar 521 juta BCF (billion cubic feet), dan akan meningkat menjadi 772 juta BCF di tahun 2028. Di satu sisi komitmen dalam membangun EBT juga masih terbatas, masih terjebak dalam paradigma antroposentrik. Mengapa demikian? Paradigma yang dipakai pemerintah dalam konversi EBT masih dilandasi oleh proposisi investasi, artinya

mengedepankan bisnis di atas segalanya. Hal ini memunculkan apriori berupa suatu abstraksi yang mana dalam mengakselerasi penggunaan EBT, maka yang paling memungkinkan ialah memakai panas bumi, air, biofuel dan sampah untuk area perkotaan. Namun energi tersebut memiliki keterbatasan, yakni rakus lahan dan masih berfokus pada sisi akumulatif. Artinya tidak ada upaya merehabilitasi lingkungan hidup, bahkan sangat jauh dari bayang-bayang mengutamakan keberanjutan ruang hidup dengan merekognisi alam. Seperti dalam rencana pengembangan EBT yang masih antroposentrik mengingat ada materi untuk memenuhi target investasi, yang mana negara-negara di dunia dalam dokumen COP21 sepakat untuk menjaga stabilitas iklim yang dari beberapa dekade mengalami peningkatan signifikan yakni sebesar 1-1.5 derajat celcius sejak revolusi industri pertama. Dalam konteks ini kemudian mereka sepakat salah satunya untuk mengurangi dampak perubahan iklim, serta menjaga angka suhu di bawah 2 derajat celcius, mereka menyasar suatu pembentukan regulasi yang relasional dengan konteks bisnis. Di mana bisnis yang merupakan salah satu penyebab peningkatan suhu harus perlahan diubah paradigmanya, dengan melakukan konversi energi dari fosil ke baru terbarukan untuk mengurangi peningkatan suhu di bumi. Regulasi ini nantinya akan mengarah pada green industry atau industri hijau yang berwawasan lingkungan. Hal ini sangat berkolerasi dengan iklim investasi dunia, yang mana negara-negara pemegang bisnis besar berupaya bertransformasi menjadi industri hijau. Maka implikasinya sangat erat dengan munculnya investasi

yang mensyaratkan penggunaan EBT. Hal tersebutlah yang menjadi pedoman bagi pemerintah Indonesia untuk mengakselerasi EBT, salah satunya dengan merancang RUU EBT yang muatannya tak lebih dari memenuhi ‘investasi hijau.’ Dari kondisi itulah RUPTL 2019-2028 mengalokasikan bauran EBT dengan proporsi yang cukup besar hingga target elektrifikasi 100 persen di tahun 2028. Namun pemilihan EBT dalam hal ini diprioritaskan kepada panas bumi, air dan biofuel bukan tanpa resiko, karena energi tersebut ternyata juga rakus lahan, terutama untuk menghasilkan sumber energi. Kita tahu bahwa energi panas bumi dihasilkan dengan cara mengambil energi panas yang terkandung di dalam bumi, dengan proses mekanisasi tertentu untuk menghasilkan energi listrik. Panas bumi cukup besar potensinya di Indonesia karena berdasarkan kondisi geografis Indonesia yang memiliki banyak gunung berapi dan dilewati lempeng tektonik. Selain itu pemanfaatan energi panas bumi juga dilandasi oleh jumlah energi yang akan dihasilkan yakni dapat mencapai 7000 MW dengan waktu relatif cepat, jika dibandingkan dengan matahari ataupun angin. Selain itu faktor investasi juga turut menjadi penyebab bahwa para penyuntik modal lebih menghendaki panas bumi, hal ini juga berlaku untuk air maupun biofuel itu sendiri. Serta prinsp energi panas bumi yang bersifat sentralistik, sehingga mendukung wacana bisnis di sektor energi dibandingkan dengan matahari atau angin yang bisa diterapkan dalam model desentralisasi energi. Pemilihan konversi energi dari fosil ke EBT dengan memilih panas bumi, air dan biofuel

Majalah LPM aL-Millah Edisi 36

47


Kolom menimbulkan distorsi yang mengarahkan pada suatu kontradiksi. Di mana pemilihan energi tersebut tentu memiliki risiko yang cukup tinggi, seperti sebaran energi panas bumi yang rata-rata di wilayah konservasi serta membutuhkan air yang cukup tinggi. Sehingga cukup riskan bagi keberlanjutan ekosistem, walaupun diklaim tidak berdampak apa-apa, tetapi suatu proses dengan mengandalkan ekstraksi akan menghasilkan dampak yang cukup signifikan. Seperti berkurangnya pasokan air untuk penunjang warga di sekitar, terganggunya ekosistem di kawasan konservasi hingga rawan gempa yang diakibatkan oleh proses mekanisasi pemerolehan energi listrik. Literatur yang tersaji cukup menjadi satu alasan bagaimana pemanfaatan panas bumi bukan tanpa risiko. Seperti yang terjadi di Korea Selatan pada tahun 2017 silam di kota Pohang, telah terjadi gempa bumi dengan skala 5.4 skala richter yang bahkan dalam seismograf bisa mencapai 7.4 skala richter. Gempa ini menghancurkan 2000 aset pribadi, 52 rumah rusak berat, 157 rusak parah, dan ada 227 sekolah lintas wilayah yang mengalami kerusakan. Selain itu ada korban manusia, sekitar belasan orang mengalami luka-luka dan hampir 1500 orang tak memiliki tempat tinggal. Berbeda kasus dengan air dan biofuel, keduanya berpotensi untuk menggusur rakyat karena kebutuhan lahan yang cukup besar. Energi air membutuhkan waduk, maka untuk membangunnya harus mencari lahan luas. Pada beberapa kasus seperti pembangunan waduk Kedung Ombo yang menengelamkan 37 desa, di 7 kecamatan dan tersebar di 3 kabupaten. Dan, pola ini akan kembali terulang dengan pembangunan waduk-waduk lain yang

48

berpotensi menggusur rakyat dan lahan pertanian produktif. Begitu juga dengan biofuel, yang dihasilkan dari perkebunan kelapa sawit. Tentu, akan mengakibatkan deforestasi masif, salah satu dampaknya ialah hilangnya keanekaragaman hayati hingga tercerabutnya eksosistem. Bahkan kondisi tersebut berdampak cukup serius pada masyarakat adat yang harus dieksklusi dari wilayah hidup mereka, sehingga beberapa kali muncul konflik yang berujung hilangnya nyawa rakyat. Bisnis Seperti Biasa dalam Konversi EBT Berkaca dari apa yang terjadi di Korea Selatan dan kasus-kasus lainnya seharusnya pemerintah berhati-hati dalam membuat suatu keputusan, apalagi yang diutamakan hanya dari segi investasi tanpa memikirkan kelestarian dan keselamatan hidup rakyat. Karena dengan situasi dan kondisi semakin menurunnya daya dukung ekosistem akibat eksploitasi berlebihan mulai menunjukan dampak yang signifikan. Seperti berkurangnya area hutan yang erat relasinya dengan mulai hilangnya beberapa mata air, sehingga menjadi penyumbang bencana krisis air. Karena kita tahu di Indonesia, lebih khusus di Jawa sedang terancam kekeringan yang masif. Penggunaan EBT dalam konteks ini berupaya sebagai konversi energi berkelanjutan, yang mana koheren dengan upaya mempertahankan daya dukung dan proses rehabilitasi lingkungan hidup. Tetapi dalam praktiknya sangat jauh dari konteks penyelamatan ruang hidup, karena secara paradigmatik masih menekankan pada sisi investasi atau wilayah bisnis semata. Tidak m e m i ki rka n keberlanjutan lingkungan hidup, atau lebih luas

Majalah LPM aL-Millah Edisi 36

lagi berkaitan dengan aspek sosial-ekologis. Penekanan pada aspek bisnis semakin menegaskan bahwa lingkungan hanya dimaknai sebagai komoditas, yang hanya dihitung dari profit yang didapatkan. Sehingga cara pandang ekonomisentris ini berwatak antroposentrik, dan erat kaitannya dengan trajektori kapitalisme. Kapitalisme sendiri hadir dengan paradigma yang hanya berbicara tentang pemaksimalan keuntungan. Seperti menggunakan pendekatan teknologi yang didasarkan pada pengembangan sains, khususnya dalam teknik kimia. Menghasilkan suatu produk kimia yang digunakan secara maksimum untuk mendorong tingkat kesuburan tanah yang sesuai dengan kapasitas produksi. Kondisi tersebut menjelaskan bahwa faktor utama yang harus dicapai ialah keuntungan, maka dalam hal ini tanah harus dieksploitasi terus menerus, untuk memenuhi produksi maka dimaksimalkan penggunaan bahan-bahan kimia, sehingga turut berimplikasi pada penurunan daya kesuburan tanah hingga berujung hancurnya tanah. Pada konteks ini, ada satu faktor yang dapat dipahami, yakni metabolisme alam akan terganggu atau retak sebagai implikasi dari intervensi berlebihan manusia pada alam. Kon d i si te r se b u t ak an me n g ak i b at k an hu b u n ga n manusia dengan alam akan mengalami keretakan, sehingga berimplikasi pada suatu dominasi, tentu ini sebagai implikasi logis dari proses akumulasi yang mengakibatkan hancurnya relasi metabolistik keduanya. Lebih lanjut, menurut Foster metabolisme alam merupakan hubungan antara manusia dengan alam yang tergambarkan dalam relasi kerja, di mana keduanya saling berkaitan satu sama lainnya. Karena metabolisme itu sendi-


Kolom ri memiliki arti ekologis sekaligus sosial, sebagaimana relasi keduanya yang sangat koheren. Pada penjabaran di atas dapat dielaborasi lebih lanjut dengan mengkontekstualisasikan hal tersebut dengan realitas bisnis dalam era terkini, salah satunya posisi energi sebagai salah satu penunjang bisnis. Seperti penjelasan Foster dan Magdoff terkait keterbatasan sumber daya alam dengan cara pandang enviromentalis terkait bisnis seperti biasa, di mana para enviromentalis menganggap jika bisnis menjadi salah satu faktor determinan dalam rusaknya lingkungan hidup. Karena pengaruh dari sistem ekonomi yang berorientasi pada akumulasi profit, mengakibatkan perlombaan p e n g g u n a a n teknologi dalam sistem produksi, yang berdampak pada peningkatan kapasitas produksi sehingga membutuhkan energi dan bahan baku produksi yang tersedia dari alam semakin meningkat. Hal tersebut menjadikan kerusakan lingkungan semakin parah, salah satunya ialah perubahan iklim. Kemudian dalam konteks inilah muncul sebuah solusi yakni me-

makai pendekatan ekonomi hijau, dengan menekankan pada produksi hingga distribusi yang ramah lingkungan. Salah satunya dengan melakukan konversi energi, dari tidak dapat terbarukan menjadi terbarukan. Namun di satu sisi, situasi tersebut tak mampu bekerja cukup efektif, karena pada dasarnya yang menjadi problem ialah sistem ekonomi akumulatif. Ketika hanya berorientasi pada bisnis semata, dengan mempertahankan dan meningkatkan keuntungan, maka ekonomi hijau tak lebih hanya sebuah kamuflase. Di mana seolah-olah hijau, namun pada dasarnya memiliki sisi destruktif yang tak jauh beda ketika menggunakan energi tidak terbarukan. Seperti penggunaan EBT, yang mana tujuannya untuk mereduksi kerusakan l i n gk u n g an dan lebih berkelanjutan, tapi di satu sisi karena orientasinya adalah bisnis. Maka EBT tak lebih dari kamuflase hijau, karena dalam penentuan energi apa yang akan digunakan, proses produksi seperti apa, hingga digunakan untuk apa energi tersebut tetap berpatokan pada prinsip bisnis seperti biasa,

yakni keuntungan harus dipertahankan dan diperluas lagi. Berkaca dari argumentasi tersebut maka strategi pemerintah dalam konversi energi fosil ke EBT, seperti panas bumi, air dan biofuel, ketika hanya didasarkan pada kepentingan investasi. Maka tidak ada bedanya dengan hanya berganti baju, tetapi masih dalam model yang sama. Mengarusutamakan prinsip berkelanjutan, namun masih berlandaskan prinsip bisnis seperti biasa dengan mementingkan akumulasi profit. Kondisi tersebut tidak jauh beda dengan prinsip lama, dan tentu tidak akan ada yang namanya melestarikan lingkungan atau mementingkan keberlanjutan kehidupan manusia. Dan, dapat dipastikan bencana sosial ekologis akan tinggal menunggu waktu, sejauh proses akumulasi yang akan terus dilakukan sampai alam mencapai batasnya.

Di sisi lain akibat lubang tambang tersebut, tercatat telah memakan korban sebanyak 32 jiwa, 27 di antaranya masih dikategorikan anak-anak.

Majalah LPM aL-Millah Edisi 36

49


Kolom

Fiqh Geotermal

Muhammad Al-Fayyadl (FNKSDA, Front Nahdliyin untuk Kedaulatan Sumber Daya Alam)

Teknik fracking yang dikenal d a l a m p r a k t i k e k s p l o i t a s i geotermal dapat tegas diputuskan haram lantaran potensi besarnya untuk menciptakan guncangan dalam perut bumi, serta keluarnya zat-zat beracun dari dalam tanah yang membahayakan kehidupan di permukaan tanah.

P

andangan Islam mengenai eksploitasi geotermal (panas bumi) belum banyak dikemukakan secara khusus, lantaran persoalan ini tidak pernah muncul dalam literatur fiqh ulama Salaf, seperti sebagian besar persoalan fiqh sumber daya alam (SDA) (fiqh al-mawarid ats-tsauriyah) pada umumnya. Kita perlu meninjau persoalan ini dari dua sudut pandang sekaligus: kesesuaian-ketidaksesuaiannya dengan tujuan Syariat (maqashid asy-syari’ah) dan penerapannya di lapangan dalam rupa praksis, menghadapi upaya eksploitasi potensi geotermal di Indonesia oleh korporasi dan elite pemerintah dengan dalih “pengembangan energi terbarukan”. Ajaran Islam jelas menitahkan manusia untuk menjadi “perwakilan kepengurusan Allah di muka bumi” (khalifatullah fil ardl). Manusia dilarang berbuat kerusakan di muka bumi, namun diperbolehkan memanfaatkan sejumlah potensi sumber daya alam untuk kebutuhannya, tetapi bukan untuk kepentingannya. Pembe-

50

daan ant a r a k e b u t u h a n d a n kepentingan ini penting digarisbawahi, karena kebutuhan manusia terbatas dan terukur, dapat ditakar sesuai hajat hidup individu maupun k o l e k t i f-kemasyarakatan, namun kepe ntingan manusia tidakla h terbatas. Kebutuhan selaras dengan siklus biologis manusia dan alam, namun kepentingan man u s i a dapat melebihi kemampuan siklus biologisnya. Kepentingan identik dengan apa yang disebut hawa nafsu, yaitu apa yang dianggap kebutuhan, padahal sejatinya menjadi sarana pemuasan hasrat belaka. Kebutuhan bersifat nyata, sedangkan kepentingan sarat ilusi, karena menjanjikan kepuasan tanpa akhir. Sementara itu, kita mengetahui bahwa sumber daya alam di dalam bumi, khususnya, memiliki kapasitas yang terukur, bukan energi yang tidak terbatas. Di sini mengemuka akar persoalan. Kebutuhan atas listrik sebagai energi penggerak kehidupan tidak terelakkan lagi telah menjadi kebutuhan umat manusia. Namun, industri modern berbasis kapitalisme ha-

Majalah LPM aL-Millah Edisi 36

nya secara eksklusif mengerucutkan teknologinya pada moda industri ekstraktif yang bergantung pada batu bara sejak era kolonialisme. Berbagai corak industri tambang yang mengeruk perut bumi sudah menjadi moda setidaknya empat abad terakhir secara massif dengan skala besar. Batu bara dipandang sebagai bahan baku murah yang keuntungannya berlipat, dengan teknik eksploitasi yang relatif mudah. Corak berpikir instan ini, seperti kita kenal dalam tayangan film dokumenter Sexy Killers, telah menyuburkan korupsi, kolusi, dan penjarahan alam secara besar-besaran di berbagai pelosok Indonesia. Setelah tiga abad setelah Revolusi Industri, apakah moda eksploitasi SDA melakukan taubat ekologis? Korporasi tampaknya menyadari batas (limit) stok SDA dan bahaya yang sedang mengintai bumi, jika mereka terus melakukan eksploitasi bumi untuk keperluan listrik tanpa perubahan serius. Meskipun kesadaran ini tidak muncul dengan sendirinya, tapi atas tekanan gerakan rakyat di seluruh dunia, namun


Ilus/ Chandra

Kolom

kesadaran ini masih tertutupi oleh sikap mendua terhadap industri ekstraktif. Sexy Killers menunjukkan tabel: kebergantungan pada energi batu bara masih dominan dibanding konversi kepada “energi alternatif”. Industri ekstraktif, ditinjau dari sudut pandang fikih dan melihat dampaknya, jelas telah menimbulkan mudarat dalam skala ekologis. Penghentiannya tidak lagi menjadi opsional (ikhtiyari), tapi sudah menjadi niscaya (dlaruri). Namun, transisi ke arah “energi alternatif” sejati belum sungguh-sungguh terjadi. Pengertian “energi alternatif” sendiri terkesan dikaburkan, atau dibuat menyesatkan. Padahal, jika merujuk pada tujuannya, energi alternatif adalah pendayagunaan energi-energi yang terbarukan

sekaligus benar-benar merupakan pengganti “alternatif” terhadap moda penggunaan SDA yang non-ekologis dan berdampak destruktif b a g i ke h i d u p a n manusia. Eksploitasi geotermal belum dapat dikatakan merupakan bentuk penggunaan energi alternatif yang sejati. Pemanfaatan panas bumi masih menggunakan pola-pola ekstraktif atau pertambangan yang menimbulkan bencana dan risiko-risiko kemanusiaan. Teknik pengeboran terhadap lapisan-lapisan bumi secara vertikal, seperti pada penambangan gas dan minerba, dapat memicu guncangan di dalam struktur tanah yang dapat lebih berbahaya daripada penambangan horizontal di permukaan tanah. Perlu juga ditambahkan, praktik

eksplorasi dan eksploitasi panas bumi kerap melibatkan land grab, perampasan lahan, alih fungsi lahan, dan penggundulan hutan, seperti belum lama ini dilakukan terhadap Gunung Slamet yang menyebabkan longsor dan banjir di desa-desa sekitarnya. Tanggapan fikih terhadap eksploitasi geotermal akan menyoroti tiga persoalan yang mendasar. Pertama, teknik eksploitasi geotermal. Teknik seperti apakah yang diperbolehkan atau diharamkan? Teknik fracking yang dikenal dalam praktik eksploitasi geotermal dapat tegas diputuskan haram lantaran potensi besarnya untuk menciptakan guncangan dalam perut bumi, serta keluarnya zat-zat beracun dari dalam tanah yang membahayakan kehidupan di permukaan tanah.

Majalah LPM aL-Millah Edisi 36

51


Kolom Teknik ini berupa pengeboran dengan pipa-pipa vertikal yang langsung menyasar perut bumi, dan otomatis merusak struktur tanah dan bebatuan di dalamnya. Corak bebatuan di perut bumi dan di permukaan bumi disebut-sebut berbeda. Bebatuan di perut bumi berfungsi penyangga terhadap lapisan tanah di sekitarnya, sehingga merusaknya dapat menimbulkan bencana. Merujuk kepada Q.S. Qaaf: ayat 44, terbelahnya struktur perut bumi merupakan tanda kiamat itu sendiri. “Hari ketika bumi terbelah dan (mereka pun keluar dari kuburnya) dalam keadaan cepat (untuk berkumpul di padang Mahsyar)” (terjemahan Q.S. Qaaf: 44). Ayat ini memberi isyarat bahwa bencana besar mengiringi proses terbelahnya bumi, akibat retaknya struktur perut bumi, yang mengakibatkan keluarnya segala sesuatu di dalamnya ke luar secara “cepat” (sira’an). Menyemburnya zat-zat beracun merupakan fenomena yang berpotensi mengiringi teknik ini. Kedua, dampaknya pada jangka pendek maupun panjang. Untuk mengenal dampak eksploitasi geotermal, sebuah film animasi anak-anak, Doraemon and the Space Heroes, dapat mengisahkan dampak ini secara imajinatif dan ilustratif. Dalam film itu dikisahkan perjalanan Doraemon dan Nobita ke luar angkasa untuk menyelamatkan planet mungil Pockel yang dikuasai oleh sekawanan perompak yang berinvestasi di sektor panas bumi. Dampak paling terasa dari eksploitasi geotermal dalam jangka panjang adalah kekeringan dan penggurunan (desertification) kawasan hijau. Melihat dampaknya, fikih mengkonklusikan putusan haram bagi penghancuran sumber-sumber mata air, yang merupakan sumber kehidupan dan penghijauan.

52

Ketiga, tujuan pemanfaatannya. Bila tujuan utamanya adalah menggantikan batu bara atau energi fosil lainnya, apakah seluruh hasil eksploitasinya diperuntukkan bagi listrik atau kebutuhan sekunder di luar listrik (rekreasi, pariwisata, dan sejenisnya)? Bila dominan kebutuhan sekundernya yang relatif kurang darurat, maka dapat diharamkan. Namun, jika pemanfaatannya eksklusif bagi pemenuhan kebutuhan listrik yang darurat, maka diukur: seberapa berat kerusakan yang ditimbulkan di antara eksploitasi geotermal dan eksploitasi energi fosil, dan seberapa besar manfaat yang diperoleh. Hal ini hanya dengan syarat, eksploitasi batu bara benar-benar dihentikan. Di sisi lain, jika terdapat pilihan alternatif lain yang lebih ringan mudaratnya, seperti pemanfaatan energi air, angin, atau radiasi surya, maka pilihan terakhir wajib lebih dulu diambil. Penetapan status hukum fiqh bagi eksploitasi geotermal tidak lepas dari pesan Rasulullah SAW untuk menjaga bumi dan segala isinya bagi keberlanjutan kehidupan mendatang. Sabdanya yang artinya, “Jaga dan rawatlah bumi, karena bumi adalah ibumu. Sesungguhnya tiada seorang pun berbuat kebaikan atau keburukan terhadapnya (atau di atasnya), melainkan ia (bumi) akan mengabarkannya” (H.R. al-Thabrani). Bila pertambangan skala industri telah melukai kulit-kulit Ibu Bumi, maka eksploitasi geotermal melukai perut Ibu Bumi dengan tusukan yang tak terperikan sakitnya.***

Majalah LPM aL-Millah Edisi 36

Bebatuan di perut bumi berfungsi penyangga terhada p la pisa n ta nah di sek ita rnya, sehingga merusaknya dapat menimbulkan bencana.


Kampusiana

Demi Kampus, Penerapan Sistem UKT Bukan Demi Mahasiswa Nasib Mahasiswa Tidak Diutamakan Dalam Komersialisasi Pendidikan

Foto/ Shofi

M

enikmati pendidikan di jenjang perguruan tinggi merupakan impian bagi banyak orang. Namun, impian itu menemui palang penghalang ketika melihat biaya yang harus dibayarkan terlampau tinggi. Pemerintah mengeluarkan kebijakan sistem pembayaran di Perguruan Tinggi Negeri (PTN) yang disebut Uang Kuliah Tunggal (UKT). Pemberlakuan UKT bertujuan memberi keringanan dan kesempatan agar semua lapisan masyarakat dapat merasakan kuliah. Lalu, apakah UKT benar-benar dapat menjadi jawaban atas masalah pemerataan pendidikan tinggi? Menurut Peraturan Menteri Agama (PMA) Republik Indonesia Nomor 96 Tahun 2013, Biaya Kuliah Tunggal (BKT) adalah "Keseluruhan biaya operasional per mahasiswa per semester pada program studi tertentu di perguruan tinggi agama Islam untuk program diploma dan program sarjana". BKT terdiri dari Bantuan Operasional Perguruan Tinggi Agama Negeri (BOPTAN) dan UKT. BOPTAN adalah sebagian dari BKT yang ditanggung pemerintah. Sedangkan UKT adalah sebagian BKT yang ditanggung

oleh setiap mahasiswa pada setiap jurusan/program studi untuk program diploma dan program sarjana. Jadi, biaya mahasiswa kuliah di Perguruan Tinggi Negeri tidak terpisahkan dari UKT, sejumlah n om i n a l u an g ya n g ha r u s mahasiswa berikan kepada negara. Di Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN) pemberlakuan UKT dimulai tahun 2013 dengan mengacu pada Surat Edaran Nomor: Se/Dj.I/ PP.009/54/2013. Sementara itu, dasar pelaksanaan UKT tertuang dalam PMA Nomor 96 Tahun 2013. Selanjutnya, penerapan UKT mengacu pada Keputusan Menteri Agama (KMA) yang dikeluarkan setiap tahun. Dimulai KMA Nomor 124 Tahun 2015, kemudian Nomor 289 Tahun 2016, Nomor 157 Tahun 2017, Nomor 211 Tahun 2018, dan saat ini Nomor 151 Tahun 2019. Pemberlakuan sistem U K T b e r t u j u a n u n t u k meringankan biaya kuliah agar dapat dijangkau oleh mahasiswa dari keluarga kurang mampu (ekonomi rendah). Selain itu, sistem tersebut melarang pihak kampus untuk melakukan pungutan di luar biaya UKT. Menurut Pasal

8 ayat (2) PMA Nomor 7 Tahun 2018, UKT ditetapkan berdasarkan kemampuan ekonomi mahasiswa, orang tua mahasiswa, atau pihak lain yang membiayainya. Apa kabar UKT IAIN Ponorogo? Merujuk pada KMA, jika kita cermati dari tahun 2016 jumlah kelompok dan nominal UKT mengalami kenaikan di IAIN Ponorogo. Untuk mengetahui perubahan jumlah biaya UKT di IAIN Ponorogo, crew aL-Millah membandingkan pembagian nominal UKT dari tahun 2016 sampai 2019 yang bersumber dari KMA tersebut. Perbandingan dilakukan menurut kelompok UKT rendah dan kelompok tinggi. Tujuannya untuk mengetahui persentase kenaikan UKT, karena terdapat perbedaan jumlah kelompok UKT. Penghitungan diambil dari golongan rendah yaitu kelompok UKT kedua dan golongan tinggi yaitu kelompok tertinggi UKT di setiap tahun akademik. Dalam penghitungan ini, kelompok kedua dijadikan sebagai kelompok rendah karena UKT kelompok satu nominalnya secara khusus bersifat tetap, tidak mengalami

Majalah LPM aL-Millah Edisi 36

53


Kampusiana Berikut ini tabel nominal UKT di IAIN Ponorogo dalam rupiah. Tahun

UKT 1

UKT 2

UKT 3

UKT 4

UKT 5

2016

400.000

980.000

1.200.000

-

-

2017

400.000

980.000 – 1.200.000

1.100.000 – 1.450.000

1.200.000 – 1.700.000

-

2018

400.000

950.000 – 1.200.000

1.100.000 – 1.450.000

1.200.000 – 1.700.000

1.400.000 – 1.900.000

2019

400.000

1.000.000 – 1.400.000

1.000.000 – 1.600.000

1.200.000 – 1.800.000

1.400.000 – 2.100.000

kenaikan, yaitu Rp400.000,00 Dari tabel di atas dapat diketahui persentase kenaikan UKT dari tahun 2016 sampai 2019. UKT golongan rendah mengalami kenaikan 43%, dari Rp980.000,00 ke Rp1.400.000,00. Sementara itu, UKT golongan tinggi mengalami kenaikan 75%, dari Rp1.200.000,00 ke Rp2.100.000,00 Menurut Agus Purnomo selaku Wakil Rektor (Warek) 2, “Perubahan UKT tidak mengalami kenaikan dari segi komposisi kelompok. Sudah 2 atau 3 tahun yang lalu pengelompokan tersebut atas dasar PMA”. Sesuai dengan peraturan PMA bahwa untuk UIN terdapat 7 kelompok ditambah satu kelompok UKT khusus penerima beasiswa Bidikmisi, 5 kelompok ditambah UKT khusus beasiswa Bidikmisi untuk IAIN, dan 4 kelompok ditambah UKT khusus beasiswa Bidikmisi untuk STAIN. Sedangkan kenaikan nominal UKT setiap kelompok itu dihitung berdasarkan estimasi kebutuhan keuangan terhadap pengelolaan lembaga. Penghitungan UKT berdasarkan rumus yang dinamakan Standar Satuan Biaya Operasional Perguruan Tinggi Negeri (SSBOPTN). “Kalau dibilang naik, iya, mungkin sekitar 150.000 per kelompok kecuali kelompok satu. UKT naik itu sesungguhnya lebih kepada perhitungan kebutuhan terhadap pengelolaan lembaga. Jadi, naiknya tidak ngawur karena ada hitungannya,” tuturnya. Kajian SSBOPTN itu ada-

54

lah standar minimal memuat biaya operasional pendidikan tinggi yang diperlukan untuk menyelenggarakan program studi setiap mahasiswa dalam satu tahun. Konsepnya, jika program studi memiliki praktikum banyak dan akreditasi baik maka UKT mahasiswa di program studi tersebut semakin tinggi nominalnya dengan menilai harga program studi. Implementasi Standar Negara di masyarakat disesuaikan dengan kemampuan setiap Perguruan Tinggi. Menurut keterangan Warek 2, IAIN Ponorogo memutuskan tidak mengikuti standar negara karena dinilai tidak akan mampu. Sebab, UKT kelompok 2 standar minimalnya sekitar 3 juta dari negara. Jadi, IAIN Ponorogo membuat standar sendiri. Didik Noeryono Basar selaku Kepala Bagian Perencanaan dan Keuangan IAIN Ponorogo mengatakan, penentuan nominal UKT juga memperhatikan dari berbagai faktor, eksternal dan internal. Faktor eksternal berupa profil demografi, sosio ekonomi, sosial budaya dan sebagainya di wilayah PTKIN itu berdiri. Sedangkan faktor internal berupa popularitas PTKIN (berdiri di kota besar/kecil/pinggiran), jumlah mahasiswa, dan gengsi jurusan. Kapitalisasi Pendidikan: Penerapan UKT Demi Kampus, Bukan Mahasiswa Penerapan UKT menyesuaikan kebutuhan masyarakat atau kebutuhan kampus?

Majalah LPM aL-Millah Edisi 36

Menurut diktum ketiga KMA tentang UKT menyebutkan, “UKT sebagaimana dimaksud dalam diktum kesatu terdiri dari beberapa kelompok yang ditentukan berdasarkan kemampuan ekonomi mahasiswa, orang tua mahasiswa, atau pihak lain yang membiayainya”. Jika ditelaah, apakah benar implementasinya demikian? Sedangkan dalam penerapan sistem UKT, unsur ekonomi mahasiswa terletak di posisi akhir dari alur pembentukan dan indikator penetapan UKT. Di IAIN Ponorogo alur pembentukan UKT dimulai dari fakultas. Setiap fakultas membuat rumusan untuk menemukan standar biaya yang memuat kebutuhan setiap fakultas, kemudian dikoordinir oleh Warek 2. Dalam proses penentuan nominal di setiap kelompok UKT melibatkan berbagai pihak diantaranya: Warek 2, Kepala Biro Administrasi Umum, Perencanaan, dan Keuangan (AUPK) serta Bagian Perencanaan dan Bidang Keuangan. Prinsip sistem UKT adalah subsidi silang. Para pihak tersebut meratakan nominal UKT terlebih dahulu pada setiap kelompok yang perlu dinaikkan ataupun diturunkan nominalnya. Hasil tersebut diusulkan kepada Kementerian Agama untuk mendapatkan persetujuan. Beberapa usulan disinkronkan kemudian disahkan sehingga tercantum di KMA. “Jadi memang 85% usulannya dari lembaga kita,” kata Agus Purnomo.


Kampusiana Dari keterangan Agus, UKT dibentuk b e rd asarka n kebutuhan kampus. Dengan kata lain, merupakan suatu keharusan bagi mahasiswa untuk membayar uang kuliah yang sudah ditentukan oleh kampus terlebih dahulu. Jadi dalam penerapannya tidak bisa dikatakan bahwa UKT itu menyesuaikan kebutuhan ekonomi mahasiswa, tapi mahasiswa lah yang menyesuaikan kebutuhan kampus. Jika kebutuhan kampus meningkat maka dapat dipastikan nominal UKT yang dibayarkan mahasiswa juga ikut naik. Dari penjelasan Didik Noeryono Basar sebagai narasumber dalam acara Public Discussion Menyoal UKT yang diselenggarakan oleh Sema FEBI bersama LPM aL-Millah (02/05/19), “Semakin tinggi penerimaan kampus maka semakin baik di mata Kementerian Keuangan”. Hal itu karena Kementrian Agama mempunyai penilaian sebuah perputaran uang yang menggerakkan ekonomi. Jadi, jika mahasiswanya bertambah banyak dan UKT-nya berada pada tingkatan yang tinggi, maka penyelesaian pendidikan akan ter-cover dengan baik. Didik menyatakan bahwa UU pendidikan mengamanatkan jika pendidikan itu harus mandiri. Realitasnya sebuah lembaga pendidikan itu sebagai bisnis, mahasiswa sebagai sesuatu (objek) yang harus dikelola. “Jadi memang kapitalisasi pendidikan sekarang memang luar biasa,” ujar Kepala Bagian Perencanaan dan Keuangan IAIN Ponorogo ini. Simalakama Kebijakan Penentuan Subsidi Silang Penentuan biaya kuliah yang mengacu pada KMA tentang UKT yang disahkan setiap tahun untuk Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri (PTKIN)

meyebutkan, “UKT terdiri dari beberapa kelompok yang ditentukan berdasarkan kemampuan ekonomi mahasiswa, orang tua mahasiswa, dan pihak lain yang membiayai mahasiswa”. Dalam diktum keempat menyebutkan, “UKT kelompok I sebagaimana dimaksud dalam Lampiran I, Lampiran II, Lampiran III, Lampiran IV, dan Lampiran V diterapkan kepada paling sedikit 5 (lima) persen dari jumlah mahasiswa yang diterima”. Dari keterangan tersebut, diketahui bahwa UKT kelompok 1 diberikan kepada minimal sejumlah 5% dari keseluruhan mahasiswa baru per tahun. Apakah IAIN menerapkan aturan tersebut? Menurut Agus, persentase UKT kelompok 1 di IAIN Ponorogo adalah 5%. IAIN Ponorogo menetapkan jumlah mahasiswa baru yang mendapatkan UKT kelompok 1 adalah sebanyak 5%, persis ambang batas minimal dalam KMA, tidak lebih. Hal ini memperhitungkan kebutuhan kampus. Sehingga apabila persentasenya ditambah akan terjadi kenaikan pada nominal UKT 4 dan 5. Berikut diagram persentase UKT mahasiswa angkatan tahun 2019 sesuai masing-masing kelompok. Data diperoleh dari Warek 2.

Alur penentuan kelompok UKT untuk mahasiswa baru di IAIN Ponorogo diawali dari mahasiswa tidak mampu (miskin) yang mendaftar jalur SPAN-PTKIN dan UM-PTKIN dipersilakan daftar Bidikmisi terlebih dahulu. Nilai mereka diranking untuk mendapatkan mahasiswa yang lolos Bidikmisi. Mahasiswa yang tidak lolos Bidikmisi dan layak diberikan beasiswa akan otomatis masuk kelompok UKT 1 sebatas memenuhi kuota 5%. Kuota UKT 1 diambil dari persentase jumlah mahasiswa s e t i ap ju r u s an sehingga dapat terdistribusi dengan proporsional. Selanjutnya untuk menentukan UKT kelompok 2 sampai 5, memakai indikator berdasarkan nilai, lalu mempertimbangkan kondisi ekonomi mahasiswa. Adanya kesulitan dalam pengecekan data dan ketakutan adanya praktik manipulasi data oleh calon maba, membuat penentuan UKT menggunakan sistem ranking nilai akademik calon mahasiswa. “Memang penentuannya masih berdasarkan nilai, karena sulit bagi kami (untuk verifikasi). Kalau Bidikmisi orang 100 saya bisa ngecek (dengan survei langsung), sisanya yang 2.800 tadi belum bisa, karena oknum yang nakal juga banyak,” tutur Agus. Dia menjelaskan, terdapat perbedaan kebijakan UKT berdasarkan jalur masuk mahasiswa. Mahasiswa yang mendaftar lewat jalur SPANP-TKIN dan UM-PTKIN akan mendapatkan apresiasi berupa beberapa fasilitas, seperti diprioritaskan mendaftar Bidikmisi dan peluang yang lebih besar untuk mendapatkan kelompok UKT rendah. Sementara itu, jalur Mandiri yang notabene paling akhir akan mendapatkan UKT mulai kelompok 3. Senada dengan per-

Majalah LPM aL-Millah Edisi 36

55


Kampusiana nyataan Agus, Didik menyampaikan bahwa mahasiswa yang daftar melalui jalur Mandiri pasti mendapat UKT kelompok tinggi. “Mohon maaf, mahasiswa yang daftar lewat jalur mandiri meskipun miskin pasti mendapat UKT yang tinggi karena kita memandang bahwa mereka datang belakangan mengesampingkan (kampus) kita. Meskipun begitu mahasiswa tetap diberikan kesempatan untuk mendaftar beasiswa yang akan disediakan oleh kampus nantinya,� ujar Didik.

56

masih sekolah. Senada dengan Vera, Novita mahasiswi Hukum Keluarga Islam semester 1 yang mendapatkan UKT 1.300.000 merasa nominal tersebut tidak sesuai dengan kondisi ekonominya dan berharap bisa mendapatkan penurunan nominal UKT. Novita menuturkan bahwa memang standar nominal UKT di IAIN Ponorogo cukup murah dibanding dengan kampus lain. Akan tetapi, tetap saja UKT yang ia dapatkan tidak sesuai kondisi ekonominya. Pengaturan biaya pendidikan yang benar-benar proporsional perlu diterapkan di kampus dengan menyesuaikan kemampuan calon mahasiswa baru dan masyarakat sebagaimana amanat undang-undang. Bila tidak dilakukan, akan berdampak negatif bagi siswa yang berlatar belakang ekonomi rendah padahal ingin melanjutkan pendidikan di perguruan tingi. Seperti yang dialami oleh Yeni Nur Fatmawati calon mahasiswa baru tahun 2019. Yeni telah diterima kuliah di IAIN Ponorogo. Tetapi ia mengaku tidak bisa melanjutkan registrasi karena dirinya mendapatkan UKT

Majalah LPM aL-Millah Edisi 36

yang dinilai tidak sesuai kemampuan ekonomi keluarganya. Akhirnya ia terpaksa mengurungkan niat kuliah di IAIN Ponorogo. “Padahal saya ingin sekali kuliah di sini. Tapi gimana lagi kalau diteruskan tidak ada biaya,� ujarnya. Kebijakan biaya kuliah dengan sistem UKT memiliki prinsip dan tujuan sebagai pemerataan pendidikan tinggi berdasarkan kemampuan ekonomi mahasiswa, tetapi dalam implementasinya masih ditemui beberapa hal yang belum sesuai ekspektasi. Sistem pengelompokan UKT dibentuk untuk meringankan biaya kuliah agar dapat dijangkau. Hal itu memberi harapan -khususnya untuk mahasiswa dari kelompok ekonomi rendah- atas kesempatan yang sama bagi semua golongan masyarakat menikmati pendidikan tinggi. Namun implementasi dari pemerataan pendidikan yang menyesuaikan kondisi ekonomi masyarakat belum bisa dirasakan secara menyeluruh. (Shofia Maratus Sholihah _26.27.179. Syamsulhadi, Nur Khayati_ crew)

Ilus/ Chandra

Penerapan UKT, Gap Antara Ekspektasi dan Realisasi Penggolongan UKT yang diterapkan di IAIN Ponorogo memiliki tujuan untuk subsidi silang. Seperti yang diungkapkan oleh Agus Purnomo bahwa peraturan UKT itu saling gendhong-indhit subsidi silang. Artinya, mahasiswa yang mampu secara finansial menyubsidi mahasiswa lain yang kurang mampu. Namun pada penerapannya, terdapat mahasiswa yang tidak merasakan dampak positif dari tujuan adanya penggolongan UKT itu. Beberapa mahasiswa merasa dirinya berhak masuk dalam kelompok UKT rendah, tapi mendapatkan UKT yang tidak sesuai kemampuan ekonominya. Sejumlah 69 dari 168 mahasiswa atau 41,1% diantaranya mengaku golongan UKT yang mereka dapatkan tidak sesuai dengan kondisi ekonomi orang tua atau pihak yang membiayainya. Seperti yang dialami oleh Vera mahasiswa Perbankan Syariah semester 1. Ia merasa keberatan memperoleh UKT senilai 1.400.000. Pasalnya, dia mengaku penghasilan orang tuanya tidak lebih dari 200 ribu per bulan. Sementara yang membiayai sekolah hanya ibunya karena ayahnya sudah meninggal. Ditambah lagi saudaranya juga


Kampusiana

Keterangan: Pengisi kuesioner online diperoleh dari 168 mahasiswa IAIN Ponorogo. Mahasiswa semester satu sebanyak 69 orang, semester tiga sebanyak 23 orang, semester lima sebanyak 42 orang, semester tujuh sebanyak 27 orang, dan semester sembilan sebanyak tiga orang.

Majalah LPM aL-Millah Edisi 36

57


Sosok

Nanang Adi Wijaya

Kesatria Lingkungan Tanpa Bayaran Kekayaan itu bukan soal materi tapi soal hati. Kalau saya bisa memberi berarti saya kaya. Hidup itu bagi saya bisa bermanfaat bagi orang lain. Berbuat yang terbaik untuk masyarakat dan menyiapkan masa depan anak-anak, kalau anak-anak sudah sukses saya melihatnya bahagia,

,,

J

ika pejabat Negara bekerja untuk mendapatkan bayaran, maka Nanang yang notabenenya bukan pejabat justru bekerja untuk mengubah keadaan sekitar. Nanang Adi Wijaya dengan perawakan gagah seperti kesatria yang sengaja Tuhan kirimkan untuk mengubah keadaan desa Gedangan. Cukup kompleks masalah yang dihadapi masyarakat hingga menjadikan Desa Gedangan tertinggal jauh dari pusat peradaban kota Ponorogo. Mulai dari masalah lingkungan, ekonomi, latar belakang pendidikan, dan paradigma keagamaan masyarakat yang masih tergolong rendah. Tidak semudah membalikkan telapak tangan untuk memperbaiki keadaan yang bertahun-tahun sudah melekat pada masyarakat Desa Gedangan. Nanang harus rela berbaur dengan berbagai lapisan masyarakat untuk dapat mengubah stigma pemikiran yang sulit untuk diajak berkembang. “Apa yang kita tanam akan kita tuai di kemudian hari� pepatah ini benar adanya. Sepuluh tahun lamanya Nanang berjuang di desa Gedangan, kini sepak terjangnya menuai hasil. Berbagai macam penghargaan yang membanjiri mulai dari tingkat provinsi sampai tingkat nasional menjadi bukti.

58

Majalah LPM aL-Millah Edisi 36

Pada tahun 2017 lalu Nanang berhasil meraih juara I di lomba penyuluh swadaya kehutanan di tingkat provinsi. Pada tingkat nasional, juara III berhasil ia kantongi. Pada tanggal 28 Juli 2019 Nanang berhasi memenangkan perlombaan dan mendapatkan penghargaan Pelestarian Fungsi Lingkungan Hidup Provinsi Jawa Timur. Penghargaan tersebut diberikan langsung oleh Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa di Probolinggo. Atas berbagai pencapaiannya, kini nama Nanang banyak mendapatkan sorotan dari masyarakat Ponorogo. Namun baginya, apa yang telah dilakukan bukanlah untuk dilombakan. Semua usahanya semata-mata hanya untuk mengubah keadaan menjadi lebih baik. Ibarat kata, penghargaan itu bonus, yang terpenting adalah kehadirannya dapat bermanfaat bagi orang lain. Hidup itu Terdidik dan Mendidik Sewaktu menempuh pendidikan pria beralis tebal ini bersekolah secara nomaden (tidak menetap). Pernah bersekolah di Surabaya lalu pindah ke Sidoarjo dan akhirnya menempuh sekolah akhir di Darma Bakti Surabaya. Nanang bukan berasal dari keluar-


Sosok ga yang kaya raya, maka sewaktu sekolah ia memilih jurusan listrik yang notabene termurah pada masanya. Setelah lulus Nanang berkeinginan untuk melanjutkan kuliah Strata satu (S1). Lalu Nanang menya m p a i ka n keinginannya kepada sang ayah. Karena keterbatasan keadaan, ayahnya mengizinkan namun meminta Nanang untuk bekerja dan membiayai kuliahnya sendiri. Seiring berjalannya waktu Nanang bekerja di pabrik Maspion, dan kembali berkeinginan untuk kuliah. Oleh karena itu, Nanang mengajukan surat dispensasi ke pabrik untuk kuliah namun pihak pabrik tidak megizinkan. Nanang tidak kehabisan akal, dia terus mencari kampus yang dapat dilakukan sambil bekerja. Pilihannya jatuh pada Universitas Terbuka (UT). Pada semester empat Nanang tidak melanjutkan kuliahnya dan akhirnya di Drop Out (DO). Setelah menikah, keinginan untuk kuliah kembali bergejolak. Nanang melanjutkan kuliahnya di Universitas Merdeka Ponorogo mengambil jurusan Manajemen Ekonomi, hingga meraih gelar sarjana ekonomi. Tidak Harus Menjadi Pejabat Negara Hanya untuk Mengubah Keadaan Pada tahun 2009 pria yang memiliki hidung mancung ini beralih tinggal di kampung halaman sang istri, tepatnya di Desa Gedangan, Kecamatan Ngrayun, Kabupaten Ponorogo. Nanang yang semenjak kecil hidup di kota besar Surabaya kini harus menyesuaikan diri dengan lingkungan baru. Tak berhenti sampai di situ, ia bahkan turut mengubah wajah Desa Gedangan melalui pemberdayaan lingkungan dan perubahan sosial.

Berbekal dari hasil perkebunan yang dijadikan sebagai salah satu mata pencaharian. Masyarakat Desa Gedangan harus menempuh perjalanan yang cukup jauh, rela bangun pagi buta serta menjinjing hasil bumi untuk dijual setibanya di pasar. Meski uang yang didapat tidak seberapa, hal tersebut tidak menyurutkan semangat masyarakat untuk terus memasarkan hasil panennya. Pria berusia 40 tahun ini memiliki kesukaan membaca buku pertanian dan sewaktu kuliah dulu ia berkeinginan mempraktikkan teori yang didapatkannya. Nanang mulai menanam sayuran di pekarangan rumah untuk memenuhi kebutuhan bahan sayur setiap harinya. Tidak lupa Nanang juga mengajak masyarakat sekitar untuk ikut serta menanam sayur. Tidak hanya masalah ekonomi yang melilit masyarakat Desa Gedangan, namun kondisi spiritual pun patut menjadi sorotan. Pemahaman keagamaan yang masih tergolong lemah menjadikan masyarakat desa menghalalkan segala cara untuk menopang perekonomian mereka. Berjudi dijadikan salah satu pendapatan tambahan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Fasilitas keagamaan pun minim. Belum ada bangunan masjid sebagai tempat ibadah di Desa Gedangan. Hanya ada balai RW (Rukun Warga) yang biasa dipakai untuk tempat sholat dan kegiatan keagamaan lainnya. Begitulah kondisi spiritual Desa Gedangan sepuluh tahun lalu sebelum seorang yang memiliki nama sapaan Nanang tiba. Nanang mulai berinisiatif untuk membentuk remaja masjid d e n g a n p r o g r a m pembuatan masjid bersama warga desa Gedangan. Awalnya, mereka merasa mustahil untuk

membangun masjid. Namun dengan niat baik dan didukung dengan kerja keras untuk mewujudkan mimpi yang mulia. Atas kehendak Allah SWT masjid itupun dapat berdiri kokoh tepat satu tahun penggarapan. Melalui usahanya Nanang banyak mendapatkan perhatian, baik dari masyarakat maupun dari pemerintah desa. Pemerintah desa meminta Nanang untuk memegang Gapoktan atau kelompok tani di Desa Gedangan. Akhirnya warga dan Kepala desa berhasil membentuk kelompok tani baru yang diketuai oleh Nanang. Dia yang tidak mempunyai latar belakang pertanian merasa tidak percaya diri untuk menghadapi para petani yang sudah bertahun-tahun bergelut di bidangnya. Mirisnya, masyarakat Desa Gedangan masih mengelola lahan sawah secara manual. Berbeda dengan masyarakat pada umumnya yang mengelola sawah menggunakan sapi, masyarakat Gedangan menggunakan tenaga manusia. Nanang pun geleng-geleng melihat fenomena tersebut antara percaya dan tidak percaya. Melalui handphone Nokia C2 miliknya, ia mempotret dan mengabadikan peristiwa tersebut. Lalu Nanang membawa potret itu kepada Dinas Pertanian yang ada di kota Ponorogo. Pria berbadan tegap ini meminta jalan keluar atas permasalahan tersebut kepada pemerintah. Melalui program SRI (System of Rice Intensification) yaitu teknik menanam padi dengan jarak dua puluh senti meter setiap tanaman. Dari kerjasama yang dibuat pemerintah tersebut, akhirnya Nanang berhasil membawa pulang traktor yang dapat digunakan dan disewakan kepada warga hingga menghasilkan rupiah untuk pemasukan

Majalah LPM aL-Millah Edisi 36

59


Sosok

Nanang Menerima Penghargaan dari Gubernur Jatim

kelompok tani. Satu permasalahan pertanian berhasil diatasi, namun muncul masalah berikutnya. Masyarakat Desa Gedangan mengalami kesulitan dalam mendapatkan pupuk. Nanang dan kelompok tani kemudian berusaha semaksimal mungkin untuk dapat mendatangkan pupuk dengan harga yang dapat dijangkau oleh para petani. Seiring berjalanya waktu Nanang berhasil mendirikan berbagai kelompok seperti kelompok perikanan, perhutanan dan lingkungan hidup, serta kelompok usaha bersama. Awalnya kelompok-kelompok tersebut masih tergabung dalam kelompok pertanian. Kini telah berhasil memisahkan diri untuk menyesuaikan dengan kebutuhan dinas. Semua yang dilakukan Nanang tidak selalu berjalan dengan lancar dan mudah. Nanang mendapatkan pertentangan dari pemimpin Desa Gedangan. Dikhawatirkannya Nanang akan mencari nama sehingga dapat menguasai desa Gedangan. Namun hal tersebut tidak mematahkan semangat Nanang untuk terus merubah keadaan desa Gedangan agar semakin membaik. Tibalah pada

60

fase dimana masyarakat kesulitan dalam mendapatkan pasokan air. Debit air semakin menurun akibat pepohonan yang berukuran besar ditebang secara sembarangan untuk dijual masyarakat guna memenuhi kebutuhan sehari-hari. Nanang berinisiatif untuk menyadap getah pohon pinus lalu dijual ke pabrik untuk menopang perekonomian. Hal tersebut dilakukan agar masyarakat tidak menebang pohon, tetapi justru dapat memenfaatkan pohon pinus tersebut. Sehingga lingkungan akan tetap asri, kebutuhan air akan tercukupi bahkan oksigen dapat melimpah ruah. Tidak hanya itu pria berkulit sawo matang ini juga memanfaatkan pepohonan yang tumbuh di hutan untuk membuat stup lebah atau kandang lebah. Dimana stup-stup tersebut akan dihinggapi lebah dan dapat menghasilkan madu. Madu lebah akan dipanen oleh masyarakat Desa Gedangan lalu diberi brand untuk dijual sehingga menghasilkan pundi-pundi rupiah. Tongkat Estafet Perjuangan Nanang Adi Wijaya Kiprah dan kepedulian Nanang tak hanya sebatas pada lingkungan dan keadaan so-

Majalah LPM aL-Millah Edisi 36

sial ekonomi, tetapi juga pada kualitas intelektual masyarakat Desa Gedangan. Sepuluh tahun Nanang tidak kunjung berhasil mengubah paradigma pemikiran masyarakat disana maka Nanang mengambil para pemuda pemudi untuk ditingkatkan kualitas Sumber Daya Manusianya (SDM). Pada tahun 2011 Nanang membangun griya Qur’an untuk mengajarkan anak-anak mengenai Al-Qur’an. Kemudian pada tahun 2017 Nanang berhasil mendirikan yayasan panti asuhan yang diberi nama Asrama Panti Mukti Wibawa 1 yang berada di desa Nailan, Kecamatan Slahung dan Asrama Panti Mukti Wibawa 2 yang terletak di Kecamatan Balong. Awalnya asrama panti ini hanya terdapat 4 anak asuh saja dan kini setelah dua tahun berdiri terdapat 34 anak asuh. Anak asuh yayasan Asrama Panti Mukti Wibawa akan mengenyam pendidikan di sekolah formal. Setelah lulus sekolah dan anak-anak telah mempunyai keahlian akan dibawa lagi ke desa Gedangan untuk meneruskan estafet perjuangan dan membangun Desa Gedangan lebih baik lagi. Dalam hidup seorang Nanang Adi Wijaya, ia terus memegang teguh motonya. “Kekayaan itu bukan soal materi tapi soal hati. Kalau saya bisa memberi berarti saya kaya. Hidup itu bagi saya bisa bermanfaat bagi orang lain. Berbuat yang terbaik untuk masyarakat dan menyiapkan masa depan anak-anak, kalau anak-anak sudah sukses, saya melihatnya bahagia,� ucap Nanang di akhir wawancara. (Dwi Aziz Azizah_26.17.172)


Alamku

HUTAN KOTA PONOROGO: TAMAN ASRI, REFLEKSI, DAN EDUKASI

Saat air lebih langka dari air mata Saat udara harus Kau beli Saat bunga-bunga tinggal Cerita Akankah akhirnya kita sadari?

Foto/ Yulia

H

embusan angin sepoi-sepoi menerka wajah setiap saat mengunjungi tempat ini. Daun-daun kering berjatuhan seperti diri yang merindukan mencium tanah. Saya berjalan-jalan menuju salah satu hutan kota di Ponorogo, yakni Taman Hutan Kota Kelonosewandono yang terletak di Jalan Pramuka depan kantor Dinas Pariwisata Kabupaten Ponorogo. Hutan kota yang mendapat penataan sebagai pertamanan ini selalu ramai dikunjungi. Bukan hanya dikunjungi oleh orang tua, tetapi juga anakanak dan kaum muda seperti mahasiswa. Dengan luas 7500 M², di

(Raisa-Nyawa dan Harapan)

dalamnya banyak aneka macam pepohonan seperti Trembesi, Cendana, Flamboyan, Mahoni, Beringin, dan lain-lain. Seorang gadis mengenakan seragam biru nampak duduk sendiri sambil mendengarkan lagu memakai walkmand. Saya tak tahu, hanya menebak bahwa ia sedang menunggu seseorang. Saya mendekatinya dan mencoba sharing dengannya untuk penulisan rubrik ini. Nama gadis itu Natasya, siswi SMA Negeri 3 Ponorogo. Nata bilang kalau ia dan kawannya sering ke taman ini untuk sekedar bersantai ataupun mengerjakan tugas. "Pohon-pohonnya rindang, tapi untuk ta-

naman masih kurang banyak, jadi cocoknya dinamain tempat bersantai. Kalo untuk kebersihan dibanding tahun lalu udah bersih, penyiramannya juga tertib," ujar Nata. Hal yang sama diserukan oleh salah satu pengunjung lainnya, yakni Alfin Salis. Alfin mungkin salah satu pengunjung (yang kebetulan saya lihat) sedang membaca Alquran di taman. Ia adalah santri dari salah satu pondok pesantren di Magetan yang memang sedang kembali pulang ke rumahnya di Ponorogo. Ia pergi ke taman untuk mencari kesejukan, karena menurutnya taman ini memang sejuk, nyaman untuk

Majalah LPM aL-Millah Edisi 36

61


Alamku

Imbauan untuk menjaga lingkungan

62

ikut menanggapi penampakan anak muda yang seolah tanpa sadar separuh jiwanya mengklaim dunia ini miliknya dan milik kekasihnya, sedangkan manusia lain cuma ngontrak. "Kalo seperti itu tergantung orangnya juga, memang ada yang kurang baik," ungkap Alfin. Baginya kejadian yang seperti itu tidak didasarkan oleh faktor tempat umum atau tidak, tapi memang ada perilaku manusia yang kurang baik. Irul juga berharap bahwa taman ini bisa menjadi taman edukasi masyarakat. Banyak mahasiswa yang membuat kegiatan di sini, seperti halnya setiap hari Minggu pagi, nampak lapak baca buku digelar mahasiswa untuk pengunjung. Selain itu beliau juga berharap agar taman ini bisa menjadi wahana terapi, khususnya bagi orang-orang tua. Setiap kali anak-anak muda akan melakukan acara, mereka harus meminta izin ke Dinas Lingkungan Hidup Ponorogo selaku pengelola Hutan kota ini. Hal tersebut dikhawatirkan jika mereka mengadakan acara yang memakai pengeras suara. Tentu akan mengundang massa dan mempengaruhi kenyamanan pengunjung.

Majalah LPM aL-Millah Edisi 36

Foto/ Yulia

refreshing dan menenangkan diri. "Nyaman untuk menenangkan diri dan refresing. Sebaiknya saling mengingatkan untuk menjaga kebersihan bersama," ujar Alfin. Ada empat orang petugas kebersihan di hutan kota ini, salah satunya Irul. Ia juga sebagai koordinator lapangan kebersihan Taman Kelonosewandono. Sejak tiga tahun, tak hanya menjaga kebersihan taman, tetapi sukarela menjaga keamanan setiap malamnya. "Malam sukarela kami jaga taman dari hal-hal yang berbau mesum. Saya gak mau ngambil risiko, gak mau jadi kambing hitam masyarakat. Saya tidak mau tempat ini membawa tontonan asusila yang bisa dicontoh anak kecil," tuturnya. Natasya menanggapi hal serupa, nampaknya pemandangan orang pacaran yang bermesraan di tempat umum ini, seakan tidak memandang ada anak-anak kecil di sekelilingnya. "Taman ini udah dikasih rambu-rambu dilarang berbuat asusila, harusnya penjaga lebih ketat dan menegur. Masyarakat harusnya juga sadar untuk tidak melakukan hal yang seperti itu (asusila, red)," ujar Nata. Demikian dengan Alfin, ia

Letak hutan kota ini memang sangat strategis dan juga rindang, di depannya juga terdapat banyak Pedagang Kaki Lima (PKL) yang menjajakan aneka makanan dan minuman. Tentu, sampah bekas makanan dan minuman tidak akan tercecer di sembarang tempat jika para pengunjung membuang sampah pada tempatnya. Namun masih ada sedikit pengunjung yang kurang tertib sehingga masih membuang sampah sembarangan. Padahal di sana sudah disediakan tempat sampah untuk organik, an-organik, dan B3. Musa Hidayat siswi kelas enam dan kawannya Permana Fale Putra Sanjaya kelas dua MI Muhammadiyah Ponorogo nampak sedang berbincang-bincang di atas arena skateboard. Musa sambil makan dengan bekal yang dibawanya dengan wadah berwarna biru berisi nasi dan sayur. Saat itu saya mencoba bertanya "apa adik sudah bisa membedakan sampah organik dan organik juga B3?" Musa menjawa pertanyaan saya sambil bercanda: "Sudah mbak, kalo Fale ini sampah organik.�(sambil menepuk pundak Fale dan tertawa) Saya ikut tertawa melihat ekspresi Fale yang mencoba memikirkan perkataan Musa. Saya mencoba bertanya kembali: "Pernah liat orang buang sampah sembarangan? atau pernah buang sampah sembarangan gak?". "Pernah mbak, teman saya sering," jawab Musa. "Kalo kamu pernah?" tanya saya kembali. "Enggak mbak, sama Ibuk selalu dibawakan bekal jadi gak beli jajan, tempatnya saya bawa pulang lagi," jawabnya dengan ramah dengan muka khas anak kecil yang menampakan kejujuran. Musa berkata bahwa dirinya setiap hari selasa sampai kamis melaksanakan kegiatan ekstra kurikuler panjat dari se-


Alamku

Foto/ Azizah

Wall climbing, salah satu fasilitas Taman Klonosewandono

kolahnya yang dilaksanakan di taman. Setiap pukul 14.30, ekskul ini terkadang juga harus bergantian dalam memakai Wall climbing. Bahkan sore itu nampak beberapa siswa siswi SMAN 2 Ponorogo dan pendampingnya juga memakai Wall Climbing diwaktu yang sama dengan MI Muhammadiyah. Saya sempat bertemu dengan Eri Setioso Birowo S.P di kantor Dinas Lingkungan Hidup Ponorogo. Ia adalah Kepala Seksi Bidang Pertamanan dan Penataan Keindahan Kota Ponorogo. Eri sempat bercerita bahwa awalnya hutan kota ini dikelola oleh PU (Pekerjaan Umum), kemudian diambil ahli oleh Dinas Pariwisata dan dijadikan taman kota, namun pada akhirnya kembali ke Dinas Lingkungan Hidup yang memiliki tupoksi menata keindahan kota dan ruang publik. Beberapa fasilitas taman yang baru juga sudah dikirim dari Dinas LH. Diantaranya seperti gubuk-gubuk sederhana dari bambu untuk orang-orang lesehan, perosotan, dan lain-lain.

Selaku Kasi Bidang Pertamanan dan Penataan Keindahan Kota Ponorogo, Eri juga menanggapi terkait pengunjung taman agar membuang sampah pada tempatnya. Beliau berpesan agar sebagai masyarakat seharusnya kita semua sadar akan kebersihan dan tidak mengandalkan petugas kebersihan. "Di TPA pun sudah ada pengelolahan sampah yang organik dibuat pupuk, tapi buang sampahnya masih campur. Padahal sudah representatif," ujarnya. Natasya juga sependapat, bahkan terkait kebersihan PKL, Nata ingin agar para PKL ikut menjaga kebersihan sekitar taman. "Kurang higienis, kadang di belakang sama di bawahnya itu ada sampah," tuturnya. Nata mengimbau seharusnya PKL membawa kresek besar untuk sampah mereka dan setelah berjualan dibuang jadi satu di tempat yang disediakan. Jadi mengenai kebersihan lingkungan, tinggal bagaimana kita sosialisasi kemasyarakat tentang baiknya menjaga lingkungan.

Menjaga hutan kota sama dengan menjaga hidup kita dan orangorang yang kita sayang. Ingat! Sampah bukan warisan untuk anak cucu kita. Membayangkan lanskap kota dengan gedung-gedung yang menjulang tinggi nan indah namun tanpa kawasan pepohonan, sungguh amatlah gersang. Tanpa hutan kota berarti tak ada fungsi estetik, hidrologis, dan klimatologis juga lainnya di dalamnya, seperti telah diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 63 tahun 2002 tentang hutan kota. Namun, tanpa perawatan dan pelestarian, taman hutan kota juga akan kehilangan fungsinya. "Seberapa banyak petugas pun, jika masyarakatnya tidak ikut menjaga kebersihan pasti tidak akan selesai." Begitulah pesan Eri. (Yulia Aswaty_26.17.183)

Majalah LPM aL-Millah Edisi 36

63


Puisi

TENTANG SESUATU YANG DATANG Oleh: Yulia Aswaty

bahan bakar minyak dan cukai rokok sudah naik tapi asap masih menjadi masalah kebakaran hutan merajalela orang Riau menutup hidungnya asap membuat jiwa makin kalang kabut mencari cinta ibu pertiwi tak bisa dipoligami bahkan jika ia mati ia tak akan pernah bisa diganti bapak akan sendiri memimpin emas dan tulang belulang anak-anak di bumi tak ada lagi yang bertanya: "siapa yang akan bertanggung jawab atas ini semua?" kesadaran kita sudah jadi limbah limbah yang bermuara di laut dangkal tempat ikan-ikan berharap bisa hidup sehari lagi besok seorang anak lahir menangis terinfeksi udara kotor manusia berjalan menggendong tabung oksigen yang dibeli dari upah bekerja oksigen dan air bersih menjadi industri yang tak ada tandingannya udara bersih adalah nafas anak-anak bangsa sebelum bunga dan pohon menjadi sejarah tak ada air layak minum yang gratis selain air mata bahkan untuk mendapatkannya: seseorang harus pura-pura mencintai dan meninggalkan seseorang lainnya 16 September, 2019

64

Majalah LPM aL-Millah Edisi 36


Puisi

BERI AKU SESUATU oleh: Yulia Aswaty

apa yang menjadi isi dari kekosongan jika kekosongan ialah isi kekosongan itu sendiri kata-kata tidak akan mampu merubah apa-apa namun mampu menyentuh kepala, tangan, kaki dan apa saja pada mereka yang mampu merubah segalanya di negeri ini orang kecil boleh bertanya sebanyak-banyaknya tapi mereka tak boleh ikut menjawab dan ambil keputusan jika ada orang besar membangun proyek: orang kecillah yang harus membayarnya dan menanggung dampak buruknya buruk memang buruk: apa yang menjadi isi dari kata "kemakmuran" jika substansi telah lenyap? apakah kekosongan yang menjadi isi lagi-lagi? adakah sesuatu yang mampu merubah ceceran pasir bekas pembangunan jadi emas yang tercecer di jalan? atau kerikil-kerikil itu dapat tumbuh tiba-tiba jadi padi dan jagung? atau genangan limbah itu tiba-tiba jadi sumber air bersih, bisa untuk minum, mandi, dan mengairi? beri aku sesuatu itu barangkali sesuatu itu ada di dirimu 28 Oktober 2019

Majalah LPM aL-Millah Edisi 36

65


Cerpen

Manusia Sepi On the weagon bound for market There’s a calf with a mournfull eyes High above him there’s a swallow Winging swiftly through the sky

Oleh Chandra Nirwana Harsono

D

66

Majalah LPM aL-Millah Edisi 36

Ilus/ Chandra

ari dalam dapur aku masih bisa mendengar suara lelaki yang mendendangkan lagu ditemani gitar tua. Suaranya sayup-sayup malu, namun halus menusuk seperti derai-derai cemara yang ditiupi angin. Petikan gitarnya meringan, menuntun melodi suaranya untuk bersatu bersama angin malam. Seolah mendendangkan lagu nina bobo pada kehidupan hingar bingar yang tak kunjung melarut. Aku terjaga dalam buaian dingin. Tanganku mengaduk, sendok menciptakan pusaran kopi hitam yang mengepulkan larik-larik aroma yang menggoda. Jam dua malam. Dan dia memilih bangun dan membuatku terjaga dengan suaranya yang lembut namun berat. Demi menikmati langit bergemintang di atas Jakarta, yang tercorengi cahaya oranye lampu perkotaan. Mobil-mobil masih berderu, mengiris arteri jalan kota. Di atap rumah, ia menunggu waktu kian larut. Aku membawa dua cangkir kopi hitam menuju tangga. Melalui jendela, aku keluar dan berjalan di atas atap, menghampirinya. Nyanyiannya entah mengapa kian memelan. Kafka pernah berkata padaku, bahwa perpaduan antara nyanyian dalam sunyi, secangkir kopi, dan pembicaraan mengenai hidup, tak lebih menjadi semacam meditasi baginya. Ia tak perlu menjadi seorang mahasiswa, anak penjabat, ataupun bagian dari masyarakat Jakarta untuk malam yang singkat itu. Ia hanya ingin untuk menjadi manusia. “Bagaimana dengan skripsimu, Kafka?� Ia mengamatiku. Aku duduk di sebelahnya sambil merapatkan sweater. Ram-


Cerpen but panjangku tergerai ditiup angin. Menularkan dingin di tengkukku. Jawabnya hanya mengedikkan bahu. Kuangsurkan secangkir kopi padanya. “Aku tidak tahu.” Ujarnya singkat. Aku mengangguk. Bukan karena aku paham dengan jawabannya. Namun aku hanya mengiyakan kebingunganku pada Kafka, sahabat nyentrikku satu ini. Penampilannya memang tidak lewat batas wajar. Rambutnya panjang seperti rambut kuda, disisir rapih. Baunya tidak wangi-wangi juga, namun masih bisa ditoleransi oleh hidung orang normal. Bau yang khas darinya hanyalah bau rokok kretek yang bercampur aroma rempah. Sangat menenangkan. Terkadang, bila suasana hatinya sedang tenang atau gembira, aku akan mencium bau cengkeh darinya. Tapi pikirannya bukan hal yang bisa dijangkau oleh orang-orang awam. Ia seperti terlempar di dunianya sendiri setiap saat. Bahkan antara aku dan dengannya, masih ada sekat yang tak kunjung bisa kulalui. Ia seperti raja dalam dunianya, yang tak pernah membiarkan seorang pun membaca pikirannya. Kutebak saat berak pun ia akan menekuri apakah teori gravitasi Newton akan selamanya relevan di semua tempat, atau membayangkan dirinya sebagai perempuan bernama Pandhita Ramabai, sosok pejuang kesetaraan gender di India, atau bahkan ia akan menjelma sebagai filsuf layaknya Alberto Knox di novel Dunia Shopie lalu menerorku dengan perbincangan-perbincangan yang ‘berat’. Entahlah. Aku tak pernah tahu jawaban apa yang ia dapat sampai sekarang. Aku menyanderkan kepalaku pada tangan. “Kau tak pernah merampungkan skripsimu sama sekali.” “Kalau bisa, memang tak perlu.” “Itu cuma jawaban orang yang kesepian.” Ucapku sinis.

“Terima kasih.” Kafka tersenyum mengejek. “Itu bukan sanjungan, bujang!” Kafka mengalihkan gitar dari pangkuannya, melipat kaki dan memeluknya. “Sepi bukan berarti sendiri. Bagi filsuf Epikuros, kebahagian menghasilkan kenikmatan. Yang artinya tidak ada rasa sakit dan gelisah, yang bukan merupakan kenikmatan indrawi, melainkan ataraxia atau ketenangan jiwa. Dan untuk mencapai ketenangan ini, manusia harus meninggalkan kehidupan berpolis, menjauhi perkumpulan yang mengusik ketenangan.” “Apa karena itu kau membolos kelas, jarang datang di seminar, atau menghindari UAS?” “Itu bukan pembenaran. Itu hanya kenyataan yang kutemukan. Universitas tak lain hanyalah ladang investasi bisnis. Semacam proyek pendidikan yang dicatut. Aku tak percaya dengan sistem pendidikan semacam itu. Orang-orang diajarkan untuk berpikir secara parsial, pragmatis, dan tidak menyeluruh. Makanya kalo berbicara hanya menggunakan satu sudut pandang, padahal banyak kacamata-kacamata yang lainnya yang mesti digunakan. Lalu, orang-orang ramai mendaftar di peguruan tinggi besar dengan misi menuntut ilmu dan lulus jadi orang berguna. Kalo itu benar, kenapa ada lulusan magister yang nggak malu korupsi?” Aku menyela. “Stop di situ dulu. Kamu pasti nggak melewatkan kalau pandangan Epikuros tentang eudaimonisme bersifat individualistik. Padahal Aristoteles berpendapat bahwa manusia adalah zoon politicon yang dikodratkan untuk hidup bersosial. Adam Smith juga menyebut Homo homini socius. Manusia bersahabat satu sama lain. Kalau kamu menganggap menjauhi kehidupan berpolis bisa mendapatkan ketenangan. Berarti kau bukan makhluk sosial.” Kafka tertawa, lalu menyesap kopi bikinanku.

Sepi bukan berarti sendiri. Bagi filsuf Epikuros, kebahagian menghasilkan kenikmatan. Yang artinya tidak ada rasa sakit dan gelisah, yang bukan merupakan kenikmatan indrawi, melainkan ataraxia atau ketenangan meninggalkan kehidupan berpolis, menjauhi perkumpulan yang mengusik ketenangan.

Majalah LPM aL-Millah Edisi 36

67


Cerpen

Ini kompetisi di mana IPK tertinggi diperebutkan. Masuk ke perguruan tinggi mati-matian, tapi mengabaikan nilai humilasi. Kalau benar pendidikan itu ada untuk memanusiakan manusia, lantas kenapa ada IPK yang tercatat di ijazah?

“Lalu, bagaimana menurutmu dengan pendidikan saat ini?” ia menyentil hidungku, menggoda. “Dan, kalau kau menganggap bahwa manusia adalah zoon politicon dan homo homini lupus, jangan lupakan istilah dari Thomas Hobbes. Manusia bisa menjadi serigala bagi yang lain.” Giliran tawaku menyembur. Aduh, gusti, perutku sakit. “Ini kompetisi di mana IPK tertinggi diperebutkan. Masuk ke perguruan tinggi mati-matian, tapi mengabaikan nilai humanisi. Kalau benar pendidikan itu ada untuk memanusiakan manusia, lantas kenapa ada IPK yang tercatat di ijazah? Itu seperti tak ada bedanya dengan label kualitas daging potong. Belum lagi kasus pelecehan seksual di kampus-kampus ternama, jual-beli bangku kuliah, atau pihak akademik yang otoriter. Mahasiswa yang ada dalam lingkaran itu tak ubahnya seperti hewan ternak, yang lulus dengan kualitas terbaik akan dibeli perusahaan kapital, lalu lupa tujuan awalnya untuk kembali kepada masyarakat.” Aku terdiam. Bingung akan menanggapi apa. Terbesit rasa malu yang menusuk di dalam dada. Almamater kuliahku yang kini tersampir harum di dalam lemari, seketika tak ada bedanya dengan kain pel, hanya bentuk dan warna yang membedakan. Suara jangkrik dan burung hantu mulai meningkahi kegundahanku di malam ini. Kopi kuteguk sampai tandas. “Apa semua aktivis berpikiran seperti itu?” “Tidak semua. Banyak yang mengaku aktivis. Tapi kelakuannya tak ada bedanya dengan remaja binal yang baru pubertas.” Tangannya terulur. Menggapai rambut panjangku yang tergerai panjang. “Satu permintaanku, Kafka.”

68

Majalah LPM aL-Millah Edisi 36

“Apa?” “Selesaikan skripsimu.” Ujarku memohon. “Biarpun sistem memang tak berjalan sebagaimana mestinya, tapi tetap saja kau harus berjalan lagi. Jika kau pikir skripsi hanyalah syarat untuk lulus kuliah, jangan. Pikirkan ilmumu. Di luar sana, banyak orang yang berharap bisa mengeyam ilmu seberuntung dirimu.” “Bahkan tanpa ijazah pun, aku bisa bermanfaat untuk masyarakat.” “Bahkan dengan ijazah pun, kau bisa mengendalikan dunia.” Balasku. “Lebih baik diasingkan daripada hidup di dalam kemunafikan. Bahkan Socrates tetap mempertahankan keyakinannya tentang kebenaran meskipun hal tersebut diganjar dengan hukuman minum racun. Atau Joan yang dituduh menentang gereja, lalu dibakar hidup-hidup.” Katanya sambil tersenyum kemenangan. Aku memutar mata. Lihatlah, seenaknya mengutip quotes Soe Hok Gie. “Saya kasih contoh. Begini…” ia mendekatkan wajahnya. Aku pun memajukan wajahku, penasaran dengan apa yang ia katakan. “Kopimu itu… nggilani pol! Kamu masukin gula atau micin, sih?!” Aku berteriak kesal. Malam itu berakhir dengan perang cubit dan umpatan kasarku. Aku kesal kopiku dikata tidak enak. Meskipun itu adalah kebenarannya. Calf are easely bound and slaughtered Never knowing the reason why But who ever treasure freedom Like the swallow has learn to fly


Resensi Film Identitas Film Judul Film: Before The Flood Sutradara: Fisher Stevens Produser: Fisher Stevens, Leonardo DiCaprio, Jennifer Davisson Killoran, James Packer, Brett Ratner, Trevor Davidoski Diproduksi oleh: National Geographic Durasi : 96 menit Tahun rilis: 21 Oktober 2016 Peresensi: Irin_25.16.163

Foto/ www.newyorkfestivals.com

L

Sebelum Dunia Ketiga

eonardo DiCaprio dikenal sebagai artis berparas tampan yang popularitasnya meningkat setelah membintangi film Titanic. Selain berkiprah di dunia seni peran, Leo memiliki kepedulian tinggi terhadap lingkungan hidup. Semenjak kecil, ia tertarik dengan museum alam dan spesies binatang yang hampir punah. Kepeduliannya ini membawa nama Leo menduduki posisi duta perdamaian PBB mengenai masalah perubahan iklim di dunia yang ditunjuk oleh Ban Ki Moon (Sekretaris Jenderal PBB). Leo mengawali program kerjanya dengan mengunjungi berbagai negara yang berperan menyumbang perubahan iklim dunia. Berbagai kerusakan bumi yang terjadi rupanya disebabkan oleh berbagai pihak dan berakibat melukai banyak masyarakat, bahkan binatang. Perjalanan panjang Leonardo DiCaprio ini diikuti oleh National Geographic dan diabadikan dalam sebuah

film dokumenter berjudul Before The Flood. Berawal dari Sebuah Lukisan Pemikiran Leo mengenai perubahan iklim dunia berawal dari memorinya tentang sebuah lukisan yang menghiasi dinding rumah ketika ia masih balita. Lukisan “The Garden of Earthly Delights� karya Hieronymus Bosch yang dibuat sekitar tahun 1500 menampilkan 3 panel. Di panel pertama, terlukis sosok Adam dan Hawa di Taman Eden. Mereka tampak hidup dengan tentram bersama para binatang yang turut diciptakan oleh Tuhan. Beranjak ke panel kedua, terlukis perubahan kehidupan manusia. Munculnya kesenangan hidup duniawi mengubah wajah bumi serupa dunia khayalan. Umat manusia membangun surga i m p i a n m e r e k a . Sementara panel ketiga adalah yang paling menakutkan. Tergambar sebuah dunia yang hancur dan terbakar.

Di panel terakhir, umat manusia dijatuhkan ke dalam neraka oleh surga yang mereka buat sendiri. Kehancuran bumi bermula sejak umat manusia membangun dunia bersama peradabannya. Hal ini hampir sama seperti kita membangun taman dengan membuang limbah di halaman belakang rumah. Pada satu waktu, keduanya akan sama-sama hancur. Kini, kerusakan bumi mulai tampak dari berbagai elemen yang membentuknya. Tanah, air, udara. Elemen Tanah Penggalian sumber daya energi di seluruh dunia telah merusak lapisan tanah dan mencemarinya. Salah satunya adalah melalui pembakaran batu bara. Batu bara telah digunakan sejak dahulu untuk menenagai sebagian besar jaringan listrik. Seiring waktu, konsumsi energi semakin besar. Sayangnya, proses penggalian batu bara tidak

Majalah LPM aL-Millah Edisi 36

69


Resensi Film

Elemen Air Demi mengamati pencemaran air, Leo menyelami kedalaman Laut Pasifik. Di bawah sana, aktor peraih Academy Award ini menemukan kehidupan air asin yang telah sekarat. Terumbu karang kehilangan warnanya, air berubah kusam dan hampir tidak ada ikan yang berenang diantaranya. Beralih tempat ke atas Laut

70

Kiribati, Leo hanya menjumpai sisa-sisa kehidupan di masa lalu. Rumah-rumah roboh, pohon-pohon tumbang. Masyarakat setempat mesti merelakan semuanya dan bermigrasi ke pulau lain. Kehidupan Pulau Kiribati hanya tinggal kenangan setelah banjir laut menghancurkan semuanya. Banjir air laut tak hanya menyerang pulau kecil. Sebuah kota yang merupakan pusat permukiman penduduk dan jantung kehidupan modern tak luput dari keganasan alam yang satu ini. Kota Miami yang biasanya tampak megah dan bersih justru tergenang banjir yang masuk melalui selokan. Para ilmuwan yang telah mengamati perubahan iklim dunia dari waktu ke waktu, menyatakan sebuah teori sebagai jawaban atas fenomena yang tengah terjadi di dunia. Yakni pemanasan global. National Geographic berhasil mengemas dengan apik penampilan para ahli lingkungan dan grafik perubahan

Majalah LPM aL-Millah Edisi 36

iklim yang mendukung teori ini. Akan tetapi, teori yang terbilang baru ini justru dibantah keras oleh kekuatan politik di Amerika Serikat. Industri-industri besar yang mengeksploitasi sumber daya energi dan merusak bumi diduga telah membeli suara jajaran dewan perwakilan. Para politikus menyembunyikan kebenaran teori ini dengan mejadikannya bahan lelucon di hadapan publik. Hal ini tampak dari pemberitaan media yang semakin menegaskan skenario politik ini. Elemen Udara Permainan politik dalam usaha mengeksploitasi kekayaan alam tak hanya terjadi di Amerika Serikat. Di Indonesia, pembukaan lahan sawit membutuhkan perizinan ilegal dari pemerintah. Dengan menyuap pejabat setempat, pembakaran hutan dapat dijalankan untuk menciptakan perkebunan kelapa sawit. Pembakaran hutan ini menyebab-

Foto/ en.wikipedia.org

pernah diimbangi dengan menutup lubang bekas tambang. Dalam tayangan film ini, kita akan disuguhi pemandangan alam yang semula hijau permai berubah menjadi lubang-lubang besar bekas tambang yang menakutkan. Sumber daya energi yang berikutnya adalah minyak bumi. Pengeboran di lepas pantai telah menciptakan sebuah limbah baru bernama pasir tar yang amat berbahaya. Selain merusak tanah, limbah penggalian minyak bumi ini turut mencemari perairan.


Foto/ www.carbonrief.com

Resensi Film kan banyak karbon terbuang ke atmosfer. Karbon dioksida yang disebarkan di udara diserap melalui batang tumbuhan. Ketika pohon itu dibakar, gas-gas tersebut kembali menguar ke u d a ra . Pohon yang s em es ti nya m e n y e r a p polusi justru mengembalikannya ke atmosfer. Pembakaran ini tak hanya merusak atmosfer dan mengganggu kesehatan manusia, tetapi juga berdampak pada hilangnya habibat gajah, badak, harimau dan orang utan di Indonesia. Margasatwa tersebut akhirnya mulai memasuki fase kepunahan. Gas beracun tidak hanya berasal dari pembakaran, tetapi juga diproduksi oleh sapi. Setiap sapi mengunyah makanan, ia melepaskan gas metana ke udara. Budaya mengkonsumsi daging sapi di Amerika telah menyebabkan banyak lahan difungsikan sebagai peternakan. Selain itu, gas metana 10 kali lebih kuat dibanding CO2 dan setiap molekulnya setara dengan 23 molekus CO2. Bisa dibayangkan, betapa sapi

menyumbang kerusakan atmosfer begitu besar. Sekali lagi, umat manusia-lah yang membawa bumi menuju kehancuran. Sebelum Dunia Ketiga Sepanjang film ini kita diajak menyusuri akar sejarah peradaban manusia sebelum segala kerusakan lingkungan terjadi. Dimulai dari kegiatan berburu hewan untuk memenuhi kebutuhan pangan hingga menjadi budaya mengeksploitasi kekayaan alam. Di titik ini, bumi digambarkan telah memasuki panel kedua dalam lukisan “The Garden of Earthly Delights� karya Hieronymus Bosch. Bumi telah membangun kotanya dengan megah, namun di sisi lain membuka gerbang akan dunia ketiga. Kehancuran dalam panel ketiga lukisan. Kiamat ini dimulai dari satu babak yang disebut perubahan iklim dunia. Satu fase setelah pemanasan global. Kondisi ini ditandai dengan terjadinya fenomena arus balik. Saat bumi semakin memanas, bumi beralih

memantulkan panas. Greenland yang semula berselimut es dan menjadi AC bagi bumi, kini berubah menjadi dataran panas yang berwarna abu-abu. Selain tak lagi mampu memberikan dingin, es di Greenland mengeluarkan gas metana ke udara yang lagi-lagi semakin merusakkan bumi. Apa yang terjadi sesungguhnya ketika bumi memasuki panel ketiga lukisan? Bahkan sebelum banjir besar terjadi, kekeringan akan lebih mendahului. Di Mexico, berkurangnya stok air bersih telah menyebabkan konflik. Begitu pula di Syiria, Darfur dan Sudan. Kekeringan, kekurangan air dan makanan telah menyebabkan perang sipil. Jika seluruh dunia terserang gelombang panas akibat perubahan iklim, perang macam apa yang akan terjadi?

Majalah LPM aL-Millah Edisi 36

71


Resensi Buku

Judul Buku : Filsafat Lingkungan Hidup Penulis : Dr. A. Sonny Keraf Penerbit : PT Kanisius Tahun Terbit: 2014 Tebal : 224 Peresensi : Aji Wahyu Wiguna

Filsafat Ekologi, Paradigma Etis Relasi Manusia dengan Alam “Pengembangan ilmu pengetahuan itu diperbolekan asalkan jangan melepaskan penilaian dan kendali etika.� ( Dr. A. Sonny Keraf)

D

i era modernisasi dan industrialisasi segala bidang ini, banyak kita temukan krisis dan bencana sekitar lingkungan tempat tinggal. Seperti kebakaran hutan di Riau akhir-akir ini yang menyebabkan polusi udara mencapai angka 269 (rekapitulasi data Pusat Pengendalian Pembangunan Ekoregion (P3E) Sumatra, Kementrian Lingkungan Hidup dan kehutanan (KLHK), dan Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Provinsi Riau) yang menandakan bahwa kualitas udaranya sangat tidak sehat. Perubahan iklim yang mengakibatakan meningkatnya suhu global mencapai 1,8 derajat.

72

Majalah LPM aL-Millah Edisi 36

Naiknya suhu global tentu berdampak pada pencairan es di kutub. Pencairan ini berakibat pada naiknya permukaan air laut dunia sekitar 2,54 cm dalam 50 tahun terakhir (Naturefound: April 2019). Sonny Keraf, seorang aktivis lingkungan hidup yang pernah menjabat sebagai Menteri Lingkungan Hidup era Presiden Abdurrahman Wahid memberikan solusi untuk masalah tersebut. Melalui bukunya yang berjudul Filsafat Lingkungan Hidup dan Etika Lingkungan Hidup, dia menjelaskan banyak terjadinya krisis saat ini disebabkan karena kesalahan paradigama berfikir manusia terhadap


Resensi Buku alam. Ditambah paradigma antroposentrisme yang menganggap manusia sebagai pusat segala sesuatu, membuat manusia semakin leluasa mengambil tindakan sekehendaknya. Berangkat dari situlah buku ini ditulis dalam rangka memberikan sumbangsih untuk membantu meminimalisir krisis dan bencana yang terjadi di masa depan. Terdapat tujuh bab dalam buku ini. Penulis berusaha menawarkan pemahaman terhadap alam dengan cara pandang atau paradigma yang berbeda. Pemikiran Fritjof Capra menjadi rujukan penulis dalam memaparkan beberapa penjelasan. Ia pun memaparkan argumen-argumen tersebut dengan gaya fisafat, sehingga ditemukan jawaban yang mendalam. Sonny memulainya dengan menjelaskan mengenai pengertian filsafat, lingkungan hidup, dan hakikat kehidupan pada bagian pertama. Pada bab selanjutnya penulis menggambarkan paradigma berfikir manusia tentang alam dewasa ini. Dimulai dengan menjelaskan fase pertama, yaitu ketika para filsuf awal menawarkan konsep organis yang memandang alam sebagai suatu kesatuan asasi hingga paham yang mendominasi masyarakat modern saat ini yaitu konsep mekanistik, sebuah pemahaman yang menganggap alam semesta adalah sebuah mesin raksasa. Penulis menjelaskan dengan gamblang konsep pemahaman alam menggunakan konsep mekanistik, mulai dari proses penemuan pemikiran hingga pola perilaku yang didasari paham ini. Selanjutnya di bab tiga, penulis menjelaskan tentang paradigma yang ditawarkan untuk menangani kerusakan lingkungan. Paradigma ini merupakan revitalisasi untuk menghidupkan kembali cara pandang abad per-

tengahan yang organis tentang alam semesta. Buku ini menawarkan konsep baru dalam memahami alam semesta, yaitu alam semesta sebagai sebuah sistem. Artinya alam semesta dilihat sebagai sebuah kesatuan yang menyeluruh yang sistemik, holistis, dan ekologis. Alam semesta dipahami sebagai sistem besar yang disatukan dengan tanpa menafikan bagian-bagian yang lebih kecil. Konsep pemahaman ini bersifat fleksibel dan lentur sehingga setiap bagian dari sistem kehidupan mampu mengatur dirinya sendiri tanpa mengesampingkan interaksi dengan sistem kehidupan lain. Dalam konsep ini, tiap-tiap organisme tidak hanya saling bersaing, tetapi juga saling bekerja sama. Ada sikap saling memengaruhi, saling membutuhkan, saling mendukung, dan saling berebut satu sama lainnya. Selain menjelaskan ciri dari konsep yang ditawarkan, ia juga memaparkan perbedaan paradigma mekanistik dan sistematik. Hal ini bertujuan untuk mempertajam jurang pemisah antar kedua konsep pemahaman ini. Teori-teori asal muasal kehidupan yang bermula dari teori Gaia sampai keadaan psikologis manusia pun juga dipaparkan untuk memperkuat argumen yang ditawarkan pada bab keempat. Pada bab berikutnya, penulis menawarkan pola hidup baru yang sejalan dengan pemikiran tadi. Ia menawarkan untuk membangun masyarakat yang berkelanjutan pada tingkat global, nasional, maupun lokal. Masyarakat berkelanjutan adalah sebuah masyarakat yang saling membangun dan menata kehidupannya bersama-sama yang bertumpu pada kesadaran tentang pentingnya lingku n ga n h i d u p. Kesadaran inilah ya n g d i se b u t dengan melek ekologi. Melek ekologi

merupakan sebuah istilah yang digunakan Capra untuk mengartikan tentang manusia yang telah mencapai tingkat kesadaran yang tinggi tentang hakikat lingkungan hidup. Adanya rangkaian prosedur ekologis merupakan pondasi awal menuju masyarakat yang berkelanjutan. Perlu adanya sosialisasi dan pendampingan terhadap program ini. Lebih dalam lagi Sonny memasukkan prinsip utama masyarakat melek ekologi, yaitu limbah sebagai makanan. Artinya apa yang disebut limbah oleh organisme tertentu, itu akan menjadi makanan/bermanfaat untuk organisme yang lain. Saat ini banyak kita temui limbah hasil produksi pabrik dibiarkan mencemari lingkungan. Contoh kecil adalah limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) dari abu slang alumunium yang dihasilkan oleh perusahaan pembuat kebutuhan rumah tangga di Jombang. Limbah yang dihasilkan ditimbun di perairan, pematang sawah, bahkan di bendungan saluran air irigasi, sehingga memunculkan gangguan kesehatan pada masyarakat sekitar (voaindonesia.com). Lalu limbah PT Rayon Utama Makmur di Sukoharjo, yang bergerak di bidang penggolahan serat rayon. Dari proses produksi tersebut menimbulkan bau tidak sedap di sekitar area produksi. Akibat bau tersebut banyak masyarakat yang memilih mengungsi ke balai desa setempat (detiknews.com). Perlu adanya pengawasan yang berkesinambungan dari pemerintah sehingga hal serupa bisa diminimalisir. Selain prinsip tersebut, pengembangan kota dengan memanfaatkan kearifan dan kekayaan alam, tanpa merusak ekosistemnya merupakan PR jangka panjang umat manusia. Sonny memberikan sejumlah

Majalah LPM aL-Millah Edisi 36

73


Resensi Buku contoh rangkaian prosedur terciptanya masyarakat berkelanjutan jangka panjang. Seperti penggunaan transportasi yang ramah lingkungan dan hemat energi, rancangan bangunan kota yang asri penuh dengan taman terbuka yang hijau sebagaimana di kota Freidberg dan Munchen di Jerman, Zurich di Swiss, dan Vancouver di Kanada. Kemudian pada bab enam Sonny menawarkan pola hidup baru dengan model yang lain, yaitu dengan filsafat bioregionalisme. Artinya, ia mengajak membangun masyarakat yang berkelanjutan dengan menekankan pada pembangunan dan pengembangan ekonomi berdasarkan keadaan lingkungan sekitar. Model ini mengajarkan kepada kita untuk membangun kehidupan berdasarkan kapasitas dan batas-batas daya dukung alam sekitar, dengan memanfaatkan apa yang tersedia tanpa merusak tatanan ekosistem di sekitar. Sebagai sebuah gerakan, bioregionalisme adalah bentuk penolakan dan perlawanan terhadap kapitalisme yang mengagungkan ideologi “Menghalalkan segala cara demi hasil yang maksimal (big is better)�. Sementara bioregionalisme menganut ideologi “Setiap makhluk memiliki keunikan yang khas, maka dari itu keunikan itu harus dijaga dan dihayati (small is beautifull)�. Tentunya dengan

didukung teknologi tepat guna yang lahir dan berkembang dari kearifan setempat dapat dimanfaatkan untuk kemaslahatan bersama. Sonny mengakhiri tulisannya dengan memberikan telaah kritis terhadap perkembangan rekayasa genetika. Rekayasa genetika merupakan salah satu wujud dari perkembangan ilmu pengetahuan. Ia memaparkan beberapa masalah yang mungkin terjadi. Diantaranya yaitu menghilangnya sistem kehidupan dalam ekosistem. Para ilmuan akan terus mengembangkan objek penelitiannya demi terciptanya objek yang lebih sempurna. Setelah muncul objek yang sempurna, sistem kehidupan yang tidak sepadan dengannya atau lebih rendah akan tersingkirkan dan tergantikan. Padahal dalam paradigma sistematik tiap-tiap bagian dari sistem kehidupan sangat berpengaruh terhadap yang lainnya. Kedua adalah beban masalah moral yaitu siapa yang akan bertanggung jawab seandainya kelak muncul efek samping dari sistem kehidupan yang direkayasa? Apakah ilmuan yang menciptakan? Apakah pemerintah yang telah mengizinkan? Ataukah konsumen karena dianggap tidak berhati-hati? Maka dari itu Sonny mengungkapkan bahwa pengembangan ilmu pengetahuan itu

diperbolekan asalkan tidak melepaskan penilaian dan kendali etika. Buku yang diterbitkan PT Kanisius ini menyadarkan manusia bahwa kita sangat tergantung pada alam mulai dari angin, udara, tanah tempat tinggal, penerangan dan sebagainya. Sudah selayaknya tindakan-tindakan kita harus ditata sedemikian rupa. Jangan sampai merugikan alam sekitar, karena alam memilik tatanan sitem yang dinamis. Apabila sistem ini rusak, krisis dan bencanalah yang akan kita terima. Berbahaya sekali jika manusia hanya tahu mengekspoitasi alam, tanpa memikirkan keberlangsungan sistem alaminya. Melalui buku ini, Sonny berusaha memahamkan pembaca tentang keseimbangan sistem kehidupan yang ada di bumi ini. Dengan jelas dan mendalam, penulis memaparkan argumen-argumennya disertai dengan solusi terhadap permasalahan yang dihadapi. Dia menekankan pada pemahaman terhadap hakikat keberadaan alam semesta dan kehidupan yang ada di dalamnya. Dengan membaca buku Filsafat Lingkungan Hidup pembaca diharapkan dapat mengetahui posisi dirinya dalam sistem kehidupan secara ideal. Pada akhirnya, kita dapat menentukan sikap yang tepat terhadap alam.

Berbahaya sekali jika manusia hanya tahu mengeksploitasi alam, tanpa memikirkan keberlangsungan sistem alaminya

74

Majalah LPM aL-Millah Edisi 36


Bilik Kampus

Republik Mahasiswa IAIN Ponorogo:

Sarana Pengasahan Skill dan Intelektual Mahasiswa

Republik Mahasiswa IAIN Ponorogo merupakan lembaga yang menaungi semua kegiatan organisasi kemahasiswaan. Mulai dari ranah eksekutif, legislatif, hingga Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM). Lembaga eksekutif meliputi Dewan Eksekutif Mahasiswa (DEMA) Institut, DEMA Fakultas, dan Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ). Sedangkan di ranah legislatif terdapat Senat Mahasiswa (SEMA) Institut dan Fakultas. Deklarasi berdirinya RM ini baru berlangsung tahun 2017, dua tahun lalu. Meski masih seumur jagung, RM memiliki banyak misi yang menjadi wadah bersama untuk belajar bagi semua mahasiswa. Organisasi tertinggi dalam RM IAIN Ponorogo adalah DEMA-I. Tahun ini, mereka membawa semangat untuk menguatkan kerjasama seluruh elemen baik internal maupun eksternal, mengembangkan lokus-lokus diskusi di kampus IAIN Ponorogo, dan internalisasi nilai-nilai kebangsaan dan keislaman ke dalam kegiatan mahasiswa. DEMA I menaungi DEMA Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan (FATIK), Fakultas Syariah (FASYA), Fakultas Ushuludin Adab dan Dakwah (FUAD), dan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam (FEBI). Struktur DEMA biasanya terdiri dari bidang-bidang yang dibentuk untuk mening-

katkan skill mahasiswa, karena mahasiswa dirasa menjadi bagian dari rakyat yang ada dalam miniatur negara. DEMA FATIK mengedepankan pengembangan intelektual mahasiswa secara fakultatif, edukatif, kompetitif serta memiliki integritas moral dan spiritual. DEMA FASYA salah satu misinya yakni menjalin hubungan kerjasama yang baik antara mahasiswa dan civitas akademika di FASYA. DEMA FUAD menginginkan untuk menjadi mahasiswa yang memiliki jati diri idealis, kritis, solutif, dan aplikatif. Sedangkan DEMA FEBI ingin menjadi ladang pengalaman untuk mahasiswa khususnya dalam bidang organisasi kampus. Lembaga eksekutif yang paling dekat dengan mahasiswa adalah HMJ. RM memiliki 17 HMJ. Dari FATIK terdapat HMJ Pendidikan Agama Islam (PAI), HMJ Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah (PGMI), Pendidikan Anak Usia Dini (PIAUD), Pendidikan Bahasa Arab (PBA), Pendidikan Bahasa Inggris (PBI), Tadris IPS, Tadris IPA dan Manajemen Pendidikan Islam (MPI). FASYA meliputi HMJ Hukum Keluarga Islam (HKI) dan Hukum Ekonomi Syarah (HES). Di samping itu, FUAD memiliki HMJ Komunikasi Penyiaran Islam (KPI), Ilmu Alquran dan tafsir (IAT) dan Bimbingan Konseling Islam. Sedangkan FEBI

menaungi HMJ Ekonomi Syariah (ES), Perbankan Syariah (PS) dan Manajemen Zakat dan Wakaf (MAZAWA). Salah satu fungsi yang utama dari HMJ yakni menaungi dan menunjang keintelektualan mahasiswa di jurusan masing-masing. Contohnya, HMJ Pendidikan Bahasa Arab (PBA) membuat kelas bahasa sebagai media edukatif, aplikatif dan ekspresif mahasiswa PBA. Seirama dengan itu, HMJ Hukum Keluarga Islam (HKI) memiliki misi untuk mengasah daya kritis mahasiswa dengan kegiatan-kegiatan substansial, mewadahi potensi mahasiswa dalam bidang akademis dan pengembangan diri. Namun, selain itu, HMJ juga menjadikan kegiatan sosial menjadi target, seperti HMJ Ekonomi Syariah yang ingin mengkampanyekan semangat penerapan Ekonomi Islam pada masyarakat. Masih dalam sasaran sosial, HMJ IAT berencana melatih nalar berfikir kritis bagi mahasiswa IAT melalui analisis sosial serta data yang valid. Tujuannya, memberi kesadaran bahwa bersosial dengan masyarakat adalah suatu yang penting dalam memaparkan ilmu teori yang didapatkan dari dalam kelas. Tetapi, lembaga eksekutif tidak bisa berjalan sendiri. Perlu adanya lembaga legislatif sebagai penyeimbang. SEMA Institut se-

Majalah LPM aL-Millah Edisi 36

75


Bilik Kampus bagai lembaga legislatif tertinggi menaungi SEMA Fakultas. Sebagaimana tugas di ranah legislatif, SEMA bertanggungjawab dalam pembuatan aturan dan hukum. Selain itu, SEMA juga memiliki beberapa fungsi, yakni controlling, budgeting dan advokasi. SEMA FEBI memiliki misi untuk memaksimalkan fungsi-fungsi tersebut. Lebih lanjut, SEMA FUAD memiliki misi mendorong peran eksekutif dan lembaga terkait untuk lebih memperhatikan isu-isu yang ada di IAIN Ponorogo khususnya di FUAD. Selain semua organisasi tersebut, RM juga memiliki organisasi yang berbasis minat-bakat, yakni Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM). Terdapat sembilan UKM yang beberapa kegiatannya kami sorot di tulisan selanjutnya. Seluruh organisasi tersebut berjalan beriringan untuk menjadi sarana bagi mahasiswa untuk mengasah skill-nya. Skill manajemen, organisasi, dan berbagai kemampuan lain terasah saat menjalankan organisasi. Selain itu, intelektual ikut terasah dengan diskusi dan kajian, juga pengawalan isu-isu terkini. (Alifah, Jannah, Vega, Aliffanda, Arina, Utami, Dhamuri, Diyani, Anisa, Yaya, Rista, Intan_crew)

DEMA FASYA

DEMA FATIK

DEMA FUAD

HMJ Bimbingan Penyuluhan Islam

76

Majalah LPM aL-Millah Edisi 36


Bilik Kampus

HMJ Ekonomi Syariah

HMJ Hukum Ekonomi Syariah

HMJ Hukum Keluarga Islam

HMJ Ilmu Alquran dan Tafsir

HMJ Tadris Ilmu Pengetahuan Alam

HMJ Tadris Ilmu Pengetahuan Sosial

HMJ Komunikasi dan Penyiaran Islam

HMJ Manajemen Zakat dan Wakaf

Majalah LPM aL-Millah Edisi 36

77


Bilik Kampus

78

HMJ Manajemen Pendidikan Islam

HMJ Pendidikan Agama Islam

HMJ Pendidikan Bahasa Arab

HMJ Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah

HMJ Pendidikan Anak Usia Dini

HMJ Perbankan Syariah

HMJ Tadris Bahasa Inggris

SEMA Fakultas Syariah

Majalah LPM aL-Millah Edisi 36


Bilik Kampus

DEMA FATIK

SEMA FEBI

DEMA FEBI

SEMA FUAD

DEMA Institut

Majalah LPM aL-Millah Edisi 36

79


Bilik Kampus

UKM BELA DIRI: Dari Latihan Keras, Raih Kejuaraan Pencak Silat SeJawa-Bali Dulunya UKM Bela Diri merupakan bagian dari UKM Olahraga, kemudian UKM Bela Diri resmi memisahkan diri dari UKM Olahraga pada tahun 2002. UKM Bela Diri berkedudukan sejajar dengan lembaga kemahasiswaan yang ada di RM IAIN Ponorogo. Secara umum UKM Bela Diri merupakan Organisasi yang menampung berbagai unsur Beladiri. Kegiatan UKM Bela Diri di antaranya, latihan siswa PSHT bekerja sama dengan PSHT komisariat IAIN Ponorogo, latihan TC Atlet seni tanding, forum silaturahmi, kejuaraan dan sarasehan. Dari kegiatan latihan yang keras ini, menghasilkan prestasi pada tahun 2019. UKM Bela Diri telah mengikuti beberapa event kejuaraan yang pertama, Juara 2 dan 3 kelas tanding pencak silat PSHT se-Jawa Bali di UIN Maulana Malik Ibarahim Malang. Kedua, mewakili IAIN Ponorogo dalam PIONIR IX PTKIN se-Indonesia cabang pencak silat. (Dhamuri_27.18.183)

MAPALA: Bersih Sungai Agar Ponorogo Bebas dari Sampah dan Banjir UKM MAPALA adalah salah satu organisasi intra kampus yang mewadahi bakat dan minat mahasiswa dalam bidang pecinta alam. Upaya yang dilakukan untuk mencintai alam salah satunya dengan Bersih Sungai. Kepekaan terhadap kondisi sungai yang tidak lagi menjadi fungsinya membuat anggota UKM MAPALA bersama Organisasi Pencinta alam se-Ponorogo berinisiatif membuat kegiatan bersih sungai. Kegiatan yang dilaksankan pada 7 Juli 2019 bertujuan untuk mengampanyekan tentang bahaya sampah plastik dan juga sebagai upaya menciptakan Ponorogo bebas sampah. Kegiatan positif ini sangat bermanfaat ba g i a nggota maupun m a s y a rakat. Harapannya dengan kegiatan ini masyarakat jangan lagi membuang sampah di sungai karena membuang sampah di sungai yang mayoritas sampah plastik adalah investasi bencana. Mengingat Ponorogo adalah salah satu kota yang menjadi langganan banjir. (Intan Sulistyana_crew)

UKM Olahraga: Galang Potensi dengan Latihan Rutin Beberapa Cabang Olahraga UKM Olahraga merupakan organisasi intra yang mewadahi mahasiswa dalam mengembangkan minat dan bakat bidang olahraga. UKM ini pada hari Senin-Sabtu melaksanakan latihan rutin pada beberapa cabang olahraga diantaranya, cabang badminton, tenis meja, bola voli, futsal dan sepakbola. Kegiatan ini bertujuan sebagai wadah pengembangkan potensi atau skill mahasiswa IAIN Ponorogo khususnya dalam bidang olahraga serta sebagai bentuk progam dari Visi dan Misi UKM Olahraga. Auliya Rahman Utomo selaku ketua UKM Olahraga mempunyai harapan dari kegiatan tersebut, “Kegiatan ini berlangsung setiap hari pada setiap minggunya kecuali hari Ahad, dengan dipimpin oleh masing-masing koordinator cabang olahraga. Dimana dengan adanya kegiatan secara rutin minimal 1 kali ini membuat mahasiswa akan sedikit demi sedikit berproses untuk berkembang maju dan lebih baik�, katanya. (Tri Budi Utami_27.18.188)

80

Majalah LPM aL-Millah Edisi 36


Bilik Kampus

Dengan TAKSI, Jalin Silaturahmi PMR WIRA Se-Jawa Timur UKM KSR (Korps Suka Rela) unit IAIN Ponorogo merupakan organisasi mahasiswa intra kampus yang memfokuskan kegiatannya pada bidang sosial kemanusiaan. Dalam rangka mewujudkan pedoman AD/ ART dan rapat panitia tanggal 1 Mei 2019, KSR mengadakan acara TAKSI (Temu Aksi dan Prestasi) antar PMR WIRA se-Jawa Timur. Acara ini diadakan pada tanggal 7-8 Desember 2019 yang bertujuan untuk mempererat silaturahmi antar PMR WIRA (Palang Merah Remaja) se-Jawa Timur serta mengevaluasi dan menyertarakan program atau mater PMR se-Jawa Timur terbuka. Menurut Ahmad Nuramin Mujadin selaku Ketua UKM KSR mengatakan bahwa pelaksanaan lomba sangat baik, karena selain membanggakan KSR PMI tetapi juga institusi IAIN Ponorogo. “Semoga pelaksanaan seperti ini terus dilakukan dan dipertahankan guna mewujudkan prinsip pantang menyerah dan bulan sabit merah internasional yang ada”, terangnya. (Titis Sediyani_27.18.187)

Festiversity UKM SEIYA: Perekat Silaturahmi dengan Seni dan Budaya UKM SEIYA merupakan unit kegiatan mahasiswa yang bergerak di bidang seni dan budaya. Dalam kiprahnya pada seni dan budaya, UKM SEIYA mengadakan acara Festiversity (pentas orasi budaya) pada awal bulan Oktober kemarin. Acara ini bertujuan untuk meningkatkan tali silaturahmi serta menjalin relasi antar kampus dan UKM dalam konteks seni budaya dan event organizer. Dalam acara ini juga menampilkan seni budaya seperti paduan suara, musik dan tarian. Dengan begitu, Sony Prima Atmaja selaku ketua UKM SEIYA berharap bahwa, “Acara ini sangat bermanfaat, utamanya dalam membangun dan melestarikan seni budaya serta menambah wawasan dalam berkerja sama dengan EO tingkat nasional,” tuturnya. (Nur Khayati_27.18.185)

Melalui Pramuka, Jalin Silaturahmi antar Perguruan Tinggi dengan TRP3TI UKM Pramuka merupakan organisasi intra yang mewadahi mahasiswa dalam bidang kepramukaan. UKM yang memiliki nama Racana Ronggo Warsito Niken Gandini IAIN Ponorogo ini mengikuti Perkemahan Wirakarya Nasional-TRP3TI (Temu Racana Pramuka Pendega Perguruan Tinggi Islam) di Madura yang dilaksanakan tanggal 15 Juli 2019 yang lalu. Kegiatan tersebut bertujuan untuk melaksanakan bhakti di beberapa daerah, menjalin silaturahmi antar perguruan tinggi melalui pramuka, sosialisasi program kerja ke depan serta ajang membela diri untuk sebuah pelatihan dasar. Acara tersebut mengacu pada SK Gerakan Pramuka, Kementerian Agama dan AD/ART. Kegiatan ini memiliki manfaat yang baik untuk anggota Racana, menambah relasi, serta menambah wawasan dengan teman-teman pramuka. (Tri Budi Utami_27.18.188)

Majalah LPM aL-Millah Edisi 36

81


Bilik Kampus

UKI Ulin Nuha: Satu Langkah ke Depan, dari Berbagai Macam Kegiatan Unit Kegiatan Keislaman (UKI) Ulin Nuha IAIN Ponorogo merupakan Unit Kegiatan Mahasiswa yang mewadahi mahasiswa dalam bidang keagamaan. UKI memiliki kegiatan harian dan tahunan. Kegiatan hariannya seperti muhadoroh, latihan vocal, qiro'ah, ngaji kitab kuning, latian kaligrafi, latihan keterampilan dan latihan nerbang banjari. Semua kegiatan dirancang bertujuan mewadahi minat dan bakat setiap anggota UKI mengembangkan potensi yang telah dimiliki dari setiap anggota dan menciptakan generasi yang ber-akhlakul karimah. Sedangkan kegiatan tahunannya ada Tasyakuran Kubro, Ruqyah Massal, buka bersama selama 25 hari ramadan dan bakti sosial, reuni akbar, penerimaan anggota baru (PAB), Dies Maulidiyyah UKI, Diklat Manajemen Organisasi (DMO), ziarah wali, Musyawarah Keluarga (MUSYKA). Bertujuan untuk mengembangkan program kerja yang telah terencana, memberi wadah setiap keluarga UKI untuk melatih berorganisasi, memperluas jaringan demi berkembangnya UKM UKI Ulin Nuha. Khoirul Anam selaku ketua menambahkan, “Agar bisa mengembangkan kegiatan-kegiatan UKM UKI menjadi satu langkah lebih maju ke depan”. (Anisa Rahmawati Putri_crew)

KOPMA “AL-HIKMAH” : Melatih Jiwa Kewirausahaan dan Perkoperasian Melalui Workshop Keorganisasian Koperasi Mahasiswa (KOPMA) Al-Hikmah merupakan unit kegiatan mahasiswa yang mewadahi mahasiswa dalam bidang kewirausahaan. Pada tanggal 14 September 2019, UKM ini mengadakan acara Workshop Keorganisasian yang bertujuan antara lain menambah pengetahuan seluruh peserta workshop baik pengurus maupun anggota dalam bidang manajemen organisasi koperasi dan kewirausahaan, melatih menjadi wirausahawan serta pengelolaannya yang mencakup manajemen bisnis, pemasaran, serta mampu membuat produk

untuk dipasarkan, dan meningkatkan SDM anggota KOPMA. Kegiatan ini juga dilaksanakan sebagai wadah bagi para pengurus dan anggota untuk menambah ilmu perkoperasian dan kewirausahaan. Dari ilmu perkoperasian ini diharapkan dapat meningkatkan manajemen Kopma yang lebih baik lagi, baik sebagai organisasi, badan usaha, maupun sebagai wadah kreatifitas anggota. Sedangkan dari pengetahuan kewirausahaan, diharapkan dapat menghasilkan kader-kader koperasi berjiwa kewirausahaan yang berprestasi dan mampu berdaya saing. Karena acara ini turut mengundang alumni KOPMA yang sudah berpengalaman serta tutor-tutor yang berkompeten pada bidangnya. (Rista Purnamasari_crew)

82

Majalah LPM aL-Millah Edisi 36


Komik

Majalah LPM aL-Millah Edisi 36

83


84

Majalah LPM aL-Millah Edisi 36


Majalah LPM aL-Millah Edisi 36

1


2

Majalah LPM aL-Millah Edisi 36


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.