Tabloid Mahasiswa Universitas Diponegoro LPM Manunggal Edisi I Tahun 2022

Page 1

Salam Redaksi

Setelah sekian lama menunggu, kini yang dinantikan telah tiba. Menyapa kembali pembaca dengan tampilan baru dan topik yang menarik, akhirnya, atas izin Tuhan Yang Maha Esa serta kerjasama berbagai pihak yang terlibat, Tabloid Manunggal edisi I tahun 2022 berhasil diterbitkan.

Tampaknya, semester awal tahun 2022 ini, Indonesia tengah dihadapkan oleh polemik yang cukup sensitif dan krusial. Isu kekerasan seksual kembali memanas, menandakan bahwa angka kekerasan seksual tidak menunjukkan tren penurunan, melainkan sebaliknya. Melihat hal ini, Lembaga Pers Mahasiswa Manunggal Universitas Diponegoro berinisiasi untuk mengusung topik kekerasan seksual menjadi tema Tabloid pada edisi kali ini, mengingat kasus dan isu tindakan tak terpuji tersebut juga tidak luput terjadi di lingkungan kampus.

Berbicara mengenai kekerasan atau pelecehan seksual, sudah sangat banyak batin yang tersiksa, pelakunya pun semakin tidak tahu diri, entah perempuan atau laki-laki, tua atau muda, masyarakat biasa hingga kalangan elit sekalipun. Korban juga terus bertambah, seolah upaya pencegahan dan berbagai regulasi dianggap tidak ada. Selain banyak pihak yang merasa dirugikan, banyak pula pihak yang seharusnya dapat menegakkan regulasi pencegahan serta sanksi yang diberikan, salah satu pihak yang berwenang adalah pemerintah.

Menindaklanjuti tindakan Kementerian Pendidikan Riset dan Teknologi (Kemendikbud Ristek) yang menerbitkan Peraturan Mendikbud Ristek (Permendikbud) Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi, rasanya pembahasan tentang kebijakan, peraturan, dampak, dan segala aspek dalam fenomena ini menarik untuk diulas.

Tak cukup akan sajian utama, Tabloid edisi ini juga akan memuat opini dari dosen, mahasiswa sampai tokoh masyarakat. Dengan menghadirkan kembali rubrik Perjalanan diharapkan dapat menyegarkan pembaca, ditambah dengan rubrik Resensi yang akan membahas mengenai lagu, film, serta Sastra Budaya yang akan memperluas wawasan dan tentu saja menambah list hiburan. Berbagai artikel tersebut semakin memeriahkan isi Tabloid ini untuk dibaca.

Selain menghadirkan bacaan yang bermutu, diharapkan dengan terbitnya Tabloid edisi kali ini dapat menimbulkan dampak baik sebagai bahan pembelajaran bersama, demi terciptanya lingkungan berkualitas dan aman untuk kampus kita tercinta.

Selamat membaca!

Pelindung

Prof. Dr. Yos Johan Utama, S.H., M.Hum.

Penasihat

Budi Setiyono, S.Sos., M.Pol.Admin., Ph.D

Prof. Dr.rer.nat. Heru Susanto, S.T., M.M., M.T.

Dr. Darsono, S.E. Akt., MBA

Prof. Dr. Ir. Ambariyanto, M.Sc.

Dr. Adi Nugroho

Pemimpin Umum

Aslamatur Rizqiyah

Sekertaris Umum

Annisaa Salas Qurrata A`yun

Pemimpin Redaksi

Malahayati Damayanti Firdaus

Wakil Pimpinan Redaksi

Christian Noven Harjadi

Pemimpin Litbang

Vania Elvina

Pemimpin Perusahaan

Denia Yurisa

Redaktur Pelaksana Tabloid

Arbenaya Candra Pradana

Reporter Tabloid

Jasmine Fadhila, Najwa Khairunnisa, Rosita Maela, Ayu Nisa`Usholihah

Redaktur Pelaksana Majalah

Mirra Halizah Septianna

Reporter Majalah

Fidel Satrio, Kurniati Wilujeng

Okti Dwi, Nabila Nurul Azka

Redaktur Pelaksana Cybernews

Rafika Immanuela Ahmad

Reporter Cybernews

Siti Latifatu, Patia Atalian, Fahrina Alya Zahra Putri, Rosaria Arum, Sukriwan, Zainab Azzakiyyah

Redaktur Pelaksana Media dan Publikasi

Annisa Earlysiam

Staf Media dan Publikasi

Olivia Nurulita, Bethari Ayu, Mayang Caroline Leonardo Heppy, Corvi Anson, Putri Devina, Muhammad Nauval

Redaktur Pelaksana Desain

Eka Wiji Lestari

Staf Desain

Reysma Shinta, Shofie Najmil, Naila Meutia

Kalpika Lestari, Aisyah Durotul

Manajer Rumah Tangga

Mahfudhoh Ulin Nuha

Manager Produksi, Distribusi dan Iklan

Vergia Ayunda Tiara Mawardhani

Staf Produksi, Distribusi dan Iklan

Anis Fathiyaturrohmah, Eka Fatma, Alysia Jati Kadiv EO

Annisa Evita Putri Kaunar

Staf EO

Mutiara Shifa, Ari Andriani, Nabila Rahma

Kadiv Kaderisasi

Merry Ivana Febriyanti

Staf Kaderisasi

Nabila Hanna, Cindy Rahma, Dian Ayu, Fildzah

Kadiv Data dan Informasi

Diana Putri Maulida

Staf Data dan Informasi

Nitzah, Okti Hajeng, Yunita Dwi

Kadiv Jaringan Kerjasama

Adellia Putri Utami

Staf Jaringan Kerjasama

Hasna Kurnia, Yonant Lintang

Mahadevi Zainuzahri, Siti Addienda

MANUNGGAL

KOMIK

Surat Pembaca

Program MBKM (Merdeka Belajar Kampus Merdeka) dapat menjadi kesempatan yang baik bagi mahasiswa dalam mengem bangkan potensi dan mempersiapkan diri untuk menghadapi dunia kerja. Sayangnya sosialisasi program ini tampaknya masih minim sehingga mahasiswa sering kali ragu untuk mengikuti program MBKM, karena terbatasnya pemahaman dan informasi mereka tentang program tersebut. Ketika sosialisasi, saya rasa perlu diadakan sharing session dengan maha siswa yang pernah mengikuti agar mahasiswa tidak hanya memahami terkait prosedur dan teknis, melainkan juga akan mendapat gambaran tentang kegiatan tersebut. Semoga Ormawa di FISIP bisa lebih memperhatikan hal ini sehingga akan ada sosialisasi dan sharing session terkait program MBKM. (Srinata, FISIP 2020)

Banyak organisasi mahasiswa di Universitas Diponegoro yang mengadakan kegiatan untuk meningkatkan pengetahuan dan soft skill para mahasiswa. Namun, minat dan partisipasi mahasiswa untuk mengikuti kegiatan-kegiatan pengembangan diri tersebut masih terbilang rendah dan pasif. Mungkin untuk kedepannya teman-teman mahasiswa bisa mencoba untuk meluangkan waktunya mengikuti kegiatan upgrading diri yang telah disediakan dan difasilitasi oleh kampus kita ini supaya makin banyak pengetahuan dan keahlian yang kita dapatkan selama berkuliah di Universitas Diponegoro. (Nadya Putri, FKM 2021)

Selamat dan Sukses

3 2 NOVEMBER 2022 novEMBER 2022
Salam Pers Mahasiswa!
SALAM REDAKSI
Faqih Himawan Pemimpin Umum 2021 Winda Nurghaida Redpel Cybernews 2020 Titi Adi Tiyawati Manager EO 2020 Alfiansyah Pemimpin Redaksi 2020
Bersihkan segala bentuk pelecehan seksual di kampus! Bersihkan, ya. Bukan sembunyikan.
#UndipAmanKS Semoga bisa diaktualisasikan ya, -dips! Draf rancangan peraturan Rektor Universitas Diponegoro tentang pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di lingkungan universitas. Check it out!

Kekerasan Seksual

Fenomena kekerasan seksual terus mengalami peningkatan setiap tahunnya, termasuk di lingkungan kampus yang seharusnya menjadi kawasan yang aman dari segala bentuk pelecehan serta kekerasan seksual. Berdasarkan catatan yang dipublikasikan oleh Komnas Perempuan, kasus kekerasan seksual meningkat sebanyak 7% dengan sejumlah 2.621 pelajar menjadi korban. Fakta lainnya, angka ini menjadi jumlah paling banyak dari berbagai golongan korban pelecehan seksual. Meskipun pada awal tahun ini dan tahun-tahun sebelumnya berbagai kegiatan semacam seminar atau diskusi diselenggarakan secara daring, sama sekali tidak menjamin akan berkurangnya kekerasan seksual.

Menjawab tingginya angka kekerasan seksual di lingkungan kampus,Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbud Ristek) mengeluarkan Peraturan Menteri (Permen) Tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi agar menjadi acuan bagi seluruh penyelenggara pendidikan tinggi baik negeri maupun swasta dalam mencegah maupun menangani kasus kekerasan seksual yang terjadi.

di Lingkungan Kampus

Universitas Diponegoro, yang tidak luput dari banyaknya angka kasus kekerasan seksual sudah seharusnya bergegas dalam membuat peraturan pencegahan dan penanganan kekerasan seksual begitu Permen sudah diturunkan. Namun nyatanya, hingga kini nyaris satu tahun setelah terbitnya Permen tersebut, Peraturan Rektor (Pertor) tentang hal tersebut belum kunjung dipublikasikan, bahkan draftnya pun masih terus diperdebatkan hingga kini. (Mala/Manunggal)

Usut Tuntas Utas Kekerasan Seksual di Universitas

Kekerasan seksual merupakan sebuah fenomena sosial yang tidak dapat dihindari akhir-akhir ini. Maraknya kasus pelecehan seksual di Indonesia kian memperihatinkan dan meresahkan masyarakat. Tak ayal di lingkup Universitas, kekerasan seksual pun turut menjadi salah satu permasalahan serius yang harus segera ditindaklanjuti. Lantas, bagaimana dengan Universitas Diponegoro?

Mengutip jawaban dari Karolin Samauli, salah satu mahasiswi Universitas Diponegoro yang menjabat sebagai Head of Research Girl Up Diponegoro, "Undip bukan dinyatakan tidak aman, melainkan belum aman." Hal ini dikarenakan progres dari pemerintahan Indonesia maupun kesadaran mahasiswa dalam membuka matanya terhadap kekerasan seksual beberapa bulan belakangan ini dirasa belum maksimal. Utamanya dengan pengesahan RUU TPKS dan Permendikbud PPKS yang bisa dianggap sebagai suatu progres terbesar dari pemerintah. Namun, sayangnya, pengimplementasian dari Permendikbud yang mengharuskan setiap universitas mempunyai satuan tugas penanganan kekerasan seksual belum sesuai dengan kondisi Undip. Dalam hal ini saja draf Peraturan

Rektor PPKS Undip masih diliputi banyak kekurangan.

Tak hanya itu, Angela Augusta, mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Diponegoro turut ikut membenarkan opini tersebut. Angela mampu dengan tegas menyuarakan suaranya karena berdasarkan pada data survei BEM se-Undip 2021 yang diisi 771 responden dan menyatakan sekitar 173 responden (22,44%) mahasiswa pernah mengalami/melihat/ mengetahui pelecehan seksual di kawasan Undip. Hal ini sedikit mereda dikarenakan saat ini sedang dibahas Rancangan Peraturan Rektor Undip tentang PPKS yang harapannya dapat membuat Undip aman dari kekerasan seksual.

Hal tersebut juga dibenarkan oleh Prof. Dr. Iriyanto Widisuseno, M.Hum, salah satu dosen di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Diponegoro yang menjabat sebagai ketua Tim Investigasi Ad Hoc (sesuatu yang dibentuk mendadak untuk tujuan tertentu) terhadap kasus pelecehan seksual di FIB Undip. Peraturan Permendikbud sendiri sudah diedarkan kepada seluruh perguruan tinggi di Indonesia agar dapat menjadi acuan penanganan kekerasan seksual.

Lalu terkait apakah peraturan yang digunakan masih berat sebelah antara korban dan pelaku. Menurut Karolin, di draf kekerasan seksual masih terdapat berbagai pasal yang dianggap mampu mengganggu psikologis dari korban itu sendiri. Oleh karena itu, Angela ikut berpendapat agar Peraturan Rektor Undip tentang PPKS nantinya perlu sekali untuk mencantumkan Permendikbudristek 30/2021 sebagai salah satu dasar hukum. Hal ini dikarenakan, Permendikbudristek 30/2021 menjelaskan bahwa pihak

Terlapor (Mahasiswa, Pendidik, Tenaga Kependidikan, Warga Kampus, dan masyarakat umum yang diduga melakukan Kekerasan Seksual terhadap Korban) adalah Pemimpin Perguruan Tinggi dan telah terbukti atas perbuatannya, ada ketentuan yang mengikat, tentunya kasus ini nantinya bisa untuk diproses lebih lanjut.

Lalu, Prof. Iriyanto yang telah berpengalaman dalam Investigasi tim Ad Hoc ikut membagikan ceritanya, bahwasanya investigasi dilakukan secara menyeluruh

5 4 NOVEMBER 2022 novEMBER 2022
Perlukah seluruh sivitas akademika
lebih lama lagi
yang
mencegah
Lantas mau menunggu sampai kapankah peraturan akan turun?
menunggu
untuk payung hukum
jelas dalam
dan menangani kekerasan seksual?
GAUNG
SAJIAN UTAMA

mulai dari pengecekan data, pemanggilan pelaku dan korban agar menemukan pasal apa yang seharusnya dikeluarkan. Semua prosedur dilakukan secara fair tanpa adanya unsur memihak. Meskipun demikian, kekerasan seksual tetap akan di golongkan antara berat, ringan dan biasa. Tidak serta merta semua pelanggaran seksual akan mendapatkan pasal. Di Undip sendiri jika terjadi kasus kekerasan seksual pasti akan ditangani secara objektif, lalu ditentukan apakah masuk kedalam pelanggaran kode etik atau sudah masuk ke ranah hukum yang lebih berat.

Terlepas dari itu semua, Prof. Iriyanto sendiri merasa bangga karena Undip tengah menggerakkan program edukasi mengenai tertib kampus melalui proses pembelajaran dan semakin sistematis dalam menanggulangi kasus kekerasan seksual berbekal dengan pengalamanpengalaman yang sudah dilalui.

Universitas Diponegoro memberikan fasilitas penanganan psikologis ataupun jaminan perlindungan yang diberikan kampus

kepada korban kekerasan seksual. “Seperti yang pernah terjadi sekitar dua setengah tahun yang lalu, saat Prof. Iriyanto menangani kasus yang terjadi FIB, memang para korban mendapatkan treatment khusus secara psikologis jika didapati gangguan psikologis kepada korban. Saat itu ada rekomendasi oleh tim Ad Hoc kepada lembaga agar korban ditangani oleh para psikolog dan juga psikiater,” ungkap Prof Iriyanto.

Sedangkan untuk sistem hukum yang mengatur kasus kekerasan seksual di universitas sendiri Mempunyai tingkatan yang akan diimplementasikan pada penerapan peraturan, yaitu berat, ringan dan biasa. Tidak serta merta semua pelanggaran seksual akan mendapatkan pasal. Di Universitas Diponegoro sendiri jika terjadi kasus kekerasan seksual pasti akan ditangani secara objektif, jika ditemukan adanya pelanggaran akan dikaji lebih dalam apakah masuk ke dalam pelanggaran kode etik atau sudah masuk ke ranah hukum karena digolongkan masuk kepada kasus hukum yang berat.

Di Universitas Diponegoro, berbekal pada pengalaman yang sudah dilalui, cara-cara menanggulangi kasus kekerasan seksual dinilai semakin sistematis. Sekarang ini Undip juga tengah mengerakkan program edukasi mengenai tertib kampus melalui proses pembelajaran, dimulai dari dosen yang memberi contoh untuk para mahasiswa, sebaliknya mahasiswa juga harus menegakkan kode etiknya kepada dosen agar mendukung lingkungan kampus yang etis serta akademis bukan sebaliknya.

Meski demikian, kasus kekerasan seksual merupakan ranah yang cukup sensitif.

Salah satu tantangan dalam penyelesaian kasus tersebut adalah tidak semua korban mau mengungkapkan tindak kekerasan seksual yang mereka alami.

Karolin Sarmauli, Head of Research Girl Up Diponegoro, menyatakan kepada Reporter Manunggal (17/05) bahwa ketika korban memilih untuk diam, itu ada dua kemungkinan yang bisa terjadi, yaitu karena korban tersebut teredukasi atau hanya berusaha untuk menerima society

Dirty jokes yang merajalela sering kali membuat tindak kekerasan seksual menjadi dinormalisasi. Candaancandaan berbau seksualitas yang menjadikan orang lain sebagai objek kadang kala dianggap sepele dan menjadi hal yang biasa. Jika budaya seperti ini terus-menerus dibiarkan, ini yang akan menjadi ancaman serius bagi kita semua.

Alasan lain mengapa korban kekerasan seksual sering merasa enggan untuk melapor adalah karena adanya viktimisasi. Pakaian yang dipakai oleh korban sering kali menjadi poin mengapa dia bisa menerima kekerasan seksual.

“Ini merupakan miskonsepsi yang sering kali didengar. Padahal faktanya berdasarkan hasil survei orang yang berpakaian tertutup lebih sering menerima kekerasan seksual. Nah, dari sini bisa kita simpulkan bahwa orang yang mengalami kekerasan seksual itu bukan karena pakaiannya, tetapi karena pelaku yang tidak mampu menahan nafsunya,” tegas Karolin.

Hal utama yang bisa kita upayakan dalam ikut andil mewujudkan lingkungan kampus yang aman dari segala bentuk kekerasan seksual adalah dengan menanamkan kepada diri kita bahwa tindakan kekerasan seksual itu merupakan suatu permasalahan sosial yang dekat dan sering terjadi di sekitar kita sehingga harus segara diatasi.

“Ketika diri kita sendiri saja tidak percaya bahwa ada kekerasan seksual, bagaimana kita bisa membantu, bergerak, dan berupaya untuk mendukung korban?” ujar Karolin.

Tindakan kekerasan seksual sudah diketahui secara awam memberi dampak yang sangat besar dan signifikan bagi korban. Dampak yang akan timbul akibat tindakan keji ini tidak jauh berupa trauma, baik fisik, psikis, dan sosial. Walau trauma dalam bentuk fisik dan sosial juga sama pentingnya, trauma psikis merupakan kunci dan inti keselamatan korban terhadap kejiwaannya. Trauma psikis sendiri biasa disebut Gangguan Psikologis.

Gangguan psikologis akibat dari kekerasan seksual secara medis disebut dengan trauma post sexual abuse, gangguan ini meliputi beberapa hal yang jelas sangat menganggu aktivitas dan kelangsungan hidup sampai masa

depan korban. Beberapa perilaku yang disebabkan gangguan ini antara lain tidak mampu membangun kepercayaan orang lain, depresi, takut dalam menjalani hubungan, perilaku merusak diri sendiri, ingin bunuh diri, merasa tidak berharga, merasa berdosa, terus menerus menyalahkan diri sendiri, marah, menyendiri, tidak mau bergaul dengan orang lain, makan dan tidur tidak teratur, dan terus terusan mendapat mimpi buruk yang disebabkan oleh trauma tersebut. Dampak-dampak ini secara singkat sudah cukup menjelaskan bahaya yang menanti korban paska kejadian.

“Tindakan kekerasan seksual itu tindakan yang mengerikan, menunjukan terjadinya kemerosotan moral. Akibat-akibat yang nantinya dirasakan korban tidak akan pernah terpikirkan oleh pelaku, padahal secara psikologis, kejiwaan orang yang mengalami kekerasan seksual akan mengalami dampak besar, dari yang sekedar merasa takut sampai gangguan psikologis yang membutuhkan penanganan professional karena sudah dianggap berbahaya.”

Ungkap Iin, seorang Dosen Fakultas Psikologi Undip yang merupakan Psikolog senior, melalui wawancara pada pada Jumat (20/5).

Iin juga menjelaskan bahwa pada kekerasan seksual, penanganan psikologis yang bisa

diberikan terdapat dua macam penanganan yang berbentuk preventif dan kuratif. Penanganan kuratif ini berada di ranah seorang profesional karena bersifat menyembuhkan atau mengobati. Sedangkan penanganan preventif yang bersifat mencegah, biasa disebut Psikoedukasi dalam psikologi.

Psikoedukasi pada kekerasan seksual bertujuan untuk melakukan pencegahan dengan memberdayakan seseorang dengan mendidik mereka dengan konsep yang relevan mengenai kekerasan seksual dan membantu mereka menyadari berbagai situasi pelecehan, serta untuk mengembangkan strategi yang sesuai yang memungkinka mereka untuk melawan pelecehan seksual. “Makanya, Ilmu Psikologi sangat penting untuk ranah kekerasan seksual, dari sisi pencegahan sampai pengobatan, kejiwaan manusia lah yang harus diutamakan.” Iin menambahkan. (Abe, Nisa, Jasmine, Rosita, Najwa/Manunggal)

7 6 NOVEMBER 2022 novEMBER 2022
SAJIAN UTAMA SAJIAN UTAMA
Sumber Foto Unsplash.com
Foto
Theguardian.com
Sumber
:

Tahun 2022 diawali

dengan kesadaran bahwa Indonesia berada dalam fase darurat kekerasan seksual. Dilansir dari data milik Komnas Perempuan, kekerasan seksual terhadap perempuan periode JanuariDesember 2020 berjumlah 2.500 kasus, dan data periode JanuariOktober 2021 berjumlah 4.500 kasus. Dengan ini terbukti bahwa seiring waktu kurang tegasnya hukum Indonesia terhadap kekerasan seksual, semakin sempit pula ruang aman bagi perempuan.

Menurut UU tentang Penghapusan Kekerasan Seksual pasal 1 nomor 1 , disebutkan sebuah perbuatan dianggap kekerasan seksual, jika perbuatan yang bersifat fisik atau non-fisik tersebut mengarah kepada tubuh dan/atau alat reproduksi yang disukai atau

PERGURUAN TINGGI

Darurat Kekerasan Seksual, UNDIP

tidak disukai seperti menghina, merendahkan, menyerang dan/ atau perbuatan lainnya secara paksa dengan ancaman, tipu muslihat, atau bujuk rayu yang mempunyai atau tidak mempunyai tujuan tertentu. Kekerasan seksual yang terjadi dilakukan pelaku murni hanya untuk mendapatkan keuntungan yang di sisi lain, menyebabkan penderitaan atau kesengsaraan secara fisik, psikis, seksual, bahkan secara ekonomis.

Pada tanggal 12 April 2022 lalu, Komnas Perempuan memaparkan data laporan terkait kekerasan seksual di lingkungan pendidikan antara tahun 2015-2021, paling banyak terjadi di perguruan tinggi atau universitas. Bahkan, perguruan tinggi disebutkan menempati urutan pertama untuk kekerasan seksual di lingkup pendidikan. “Terjadinya kekerasan seksual di universitas maupun publik tidak jauh karena adanya bias gender dan penyalahgunaan kekuasaan,” terang Ani Purwanti, Dosen Fakultas Hukum Universitas Diponegoro pada webinar tentang

SIAPKAN HUKUM

dengan adanya Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021 ini dapat menjawab banyaknya kasus kekerasan seksual terhadap perempuan maupun laki-laki di ranah perguruan tinggi, khususnya Undip. Hal ini dikarenakan, di dalamnya terdapat pasal-pasal yang berfungsi melindungi civitas akademika di lingkungan perguruan tinggi dari ancaman tindakan kekerasan seksual. Tidak hanya itu, isi Permendikbud tersebut lebih berfokus pada perspektif korban, yang mana sempat menjadi alasan banyaknya kontra terhadap pasal-pasalnya.

Melihat ini, Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, Nadiem Makarim, mengeluarkan Permendikbud-Ristek Nomor 30 Tahun 2021 yaitu Panduan Tindak Lanjut Terkait Pencegahan dan Penanganan Kasus Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi. Nadiem menyatakan bahwa memang sudah banyak undangundang yang mengatur soal kekerasan seksual, namun tidak ada yang bisa di spesifikasikan pada kasus yang terjadi di perguruan tinggi. Hal ini tentu merupakan sebuah kemajuan bagi hukum Indonesia untuk turut hadir dalam penanganan dan pencegahan kasus kekerasan seksual di lingkungan kampus. Namun, Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021, nyatanya menuai banyak kritik terhadap isinya karena ada beberapa pihak yang menganggap ada ketidakpantasan didalamnya. Lalu, bagaimana dengan kampus kita sendiri, Universitas Diponegoro?

PERMENDIKBUD PADA UNDIP

Menurut Dr. Ani Purwanti, justru

“Terdapat perbedaan pendapat dan penafsiran pada Pasal 5 Nomor 2 bahwa persetujuan korban dianggap melegalkan suka dengan suka, padahal tidak. Karena fokus pasal ini merumuskan ruang lingkup dari tindakan kekerasan. Justru, bisa dibilang anggapan bahwa pasal ini melegalkan zina sudah sesat pikir, karena hanya dengan negasi dan kalimat, bisa memaknai sebagai pembenaran perzinahan sepanjang ada persetujuan.” Jelasnya

Dr, Ani Purwanti juga mengatakan, bagi Undip prinsipprinsip yang terdapat pada Permendikbud ini sangat progresif dan mengutamakan kepentingan terbaik bagi korban, contohnya pada Pasal 3 yang menyebutkan prinsipprinsip seperti kesetaraan gender, kesetaraan hak, dan aksesibilitas bagi penyandang disabilitas.

Menyinggung kesetaraan gender, mahasiswa dan mahasiswi Undip merasa lega dengan adanya hukum yang menyebutkan kesetaraan sehingga pembersihan stereotype pada tindakan kekerasan seksual bisa semakin nyata. Hal ini disebabkan bahwa nyatanya, ketimpangan gender sangat berpengaruh pada tindakan kekerasan seksual,

contohnya seperti anggapan bahwa perempuan hanya memiliki fungsi tertentu sehingga pelaku merasa bebas untuk melakukan apapun pada perempuan. Tidak hanya perempuan, ketimpangan gender terkait kekerasan seksual yang harus sering dikemukakan juga terjadi pada laki-laki, yaitu stereotype bahwa laki-laki harus kuat dan tidak memiliki kelemahan. Hal ini membuat ketika adanya kasus kekerasan seksual pada laki-laki, respon masyarakat justru akan menganggap remeh dan menganggap tidak mungkin seorang laki-laki dilecehkan. Padahal tidak seperti beberapa perlakuan sosial lainnya, tindakan kekerasan seksual terjadi tanpa memandang gender. “Banyak laki-laki yang menjadi korban kekerasan seksual sulit menyuarakan kesengsaraannya karena kita hidup dengan sistem patriarki dimana kentalnya stigma laki laki kuat. Implementasi Permendikbud di Undip dapat menjadi instrumen penting untuk melindungi perempuan dan laki laki dari tindakan kekerasan seksual,” ungkap Rifqy, Mahasiswa Fakultas Teknik Universitas Diponegoro ketika diwawancarai pada Jumat (3/6).

“Setahu saya, kampus sudah menerapkan langkah-langkah positif bahkan sejak tahun 2016 sebelum ada Permendikbud yang dapat memaksimalkan penindaklanjutan kasus kekerasan seksual. Apabila ditambah implementasi Permendikbud No. 30, upaya bisa diberikan mulai dari pendekatan, mempelajari situasi, mengenali kasus, menindak kasus dan memantau perkembangan kasus,” ujar Dr. Dyah Pih yang juga

merupakan Dosen Fakultas Hukum Universitas Diponegoro ketika diwawancara oleh Awak Manunggal via Whatsapp pada Selasa (21/06).

Sampai pada tanggal 1 Juli 2022, Undip sedang dalam proses membuat Peraturan Rektor yang merupakan tindak lanjut dari Permendikbud No. 30 untuk mengantisipasi jika terjadi kasus kekerasan seksual di kampus. Peraturan Senat Akademik Nomor

2 Tahun 2017 tentang Kode Etik Dosen Universitas Diponegoro untuk Dosen dan Peraturan Rektor Nomor 28 Tahun 2016 tentang Kode Etik Mahasiswa Universitas Diponegoro untuk Mahasiswa juga menguatkan pencegahan dan penanganan tindakan kekerasan seksual di kampus. (Jasmine/Manunggal)

9 NOVEMBER 2022 novEMBER 2022
Kekerasan Terhadap Perempuan Dan Tanggung Jawab Pemerintah. DARURAT
LIPUTAN KHUSUS LIPUTAN KHUSUS 8
Sumber Foto : Shofie/Manunggal

Patriarki Tak Kunjung Berhenti Kekerasan Seksual Semakin Menjadi-Jadi

Budaya patriarki yang masih mengakar kuat di Indonesia menyebabkan ketimpangan dan ketidaksetaraan gender. Jika dibiarkan terus-menerus, kondisi ini bisa menimbulkan masalah serius hingga mendorong timbulnya kekerasan terhadap kaum perempuan. Perempuan bagaikan dikelilingi dinding-dinding pembatas dalam pergerakannya, bahkan menyebabkan perempuan dapat merasa terancam saat berada di tengah keramaian.

Ignatius Rhadite merupakan aktivis HAM yang sekarang aktif menjadi bagian dari YLBHI-LBH Semarang. Ia sudah tak asing lagi dengan aksi beropini pada forum-forum diskusi membahas mengenai isu-isu HAM dan kasus-kasus struktural lainnya. Beruntung dalam kesempatan kali ini, Kak Rhadite bersedia meluangkan waktunya untuk berbincang-bincang dengan Reporter Tabloid Manunggal, Ayu Nisa, untuk mengupas mengenai kasus-kasus kekerasan seksual yang terjadi di Indonesia.

Apa sebenarnya tolok ukur dalam menilai perbuatan merendahkan dan menghina dalam definisi kekerasan seksual?

Pertama, akan dijelaskan tentang seberapa penting, urgen, dan positifnya Permendikbud 30 Tahun 2021 menjadi suatu payung hukum yang komprehensif. Sebelum UU TPKS disahkan, kita hampir tidak punya suatu payung hukum yang komprehensif untuk bisa memberikan suatu upaya pencegahan, termasuk

penindakan dan pemulihan, bagi penyintas atau korban. Ketika Permendikbud ini terbit, maka menjadi suatu angin segar. Dalam Pasal (1) Permendikbud, kita bisa melihat definisinya. Namun, lebih luas dan kompleks daripada itu sebenarnya, yang tidak tercantum, yaitu ketika korban merasa tidak terima.

Lalu, jika dari korbannya sendiri memilih untuk mendiamkan atau tidak menindaklanjuti kekerasan yang diterimanya, apakah hal tersebut masih bisa dikatakan sebagai kasus pelecehan? Apakah ada batasannya?

Tentu saja masih masuk selama indikator-indikator tadi diterima oleh yang bersangkutan.

Namun, yang menjadi perbedaan adalah sejauh mana tindakan kekerasan seksual tersebut bisa ditindaklanjuti. Akan tetapi, kita harus melihat kondisi-kondisi objektif yang ada selama ini. Sampai hari ini mengapa banyak sekali korban yang tidak mau menyampaikan atau melaporkan kasus yang dia dapatkan, disebabkan karena selain tidak ada suatu upaya hukumnya, juga tidak ada kepercayaan. Terjadi viktimisasi berganda atau reviktimisasi. Lalu, proses yang berbelit. Oleh karena proses penegakan aturan yang tidak jelas, lama, dan bertele-tele, akhirnya korban dipaksa lagi untuk mengingat kejadian pahit

Apakah ada statement dari Kak Rhadite yang bisa meyakinkan korban bahwa ia tidak sendiri?

Hari ini isu terkait kekerasan seksual bukan hal yang tabu untuk disuarakan. Setiap orang punya hak untuk bebas dari segala bentuk diskriminasi dan tindakan kekerasan. Sekarang mungkin berbeda dengan tahun lalu ketika upaya dan aturan hukumnya tidak ada, aparat penegak hukumnya jelek, serta budaya patriarki yang sangat luar biasa. Namun sekarang, kita sudah diberikan satu payung hukum yang bisa memberikan suatu pencegahan dan perlindungan terhadap korban.

Apa yang harus kita lakukan saat mengetahui/membaca adanya laporan pelecehan? Apa kita harus langsung percaya kepada korban? Atau alangkah lebih baiknya melakukan cross check terlebih dahulu kepada kedua belah pihak?

Prinsip dari upaya advokasi, terutama untuk yang berbasis gender,

adalah keberpihakan kepada korban. Sistem hukum Indonesia dan kultur masyarakat yang sangat patriarki menimbulkan perempuan dalam kondisi yang sangat rentan. Mengenai kebenaran kasusnya, itu yang kemudian akan kita buktikan dalam proses hukum. Ketika laporan itu salah, maka ada upaya pemulihan nama baik terhadap pelaku. Namun, ketika hal itu menguatkan pengakuan dari korban, kita harus terus memastikan agar pelaku mendapatkan sanksi sesuai. Untuk menentukan efektivitas suatu negara hukum berjalan atau tidak, dapat ditentukan dengan tiga hal, yaitu legal substance, legal structure, dan legal culture Ketika tiga hal itu belum terpenuhi seutuhnya, maka harus percaya dengan korban terlebih dahulu. Ke mana lagi dia mau mencari keadilan, selain kepada publik.

Dengan maraknya kasus KS di Indonesia, apakah hal ini menandakan bahwa Indonesia semakin tidak aman dan darurat penanganan tindakan KS?

Kalau kita lihat angka sebenarnya, untuk konteks kasus Jawa Tengah, secara rasional itu menandakan bahwa sampai hari ini Indonesia belum punya suatu ruang aman dari segala bentuk kekerasan seksual. Hal ini tidak lepas dari budaya hukum patriarki kita. Ini soal budaya dan cara pandang masyarakat. Kalaupun tidak bisa menghentikan, setidaknya meminimalisir dengan edukasi. Hal pertama yang harus dilakukan adalah pendidikan di dalam keluarga. Lalu, pihak pemerintah. Negara punya kewajiban untuk memastikan ada sarana-sarana edukasi berupa penyediaan infrastruktur untuk bisa memberikan suatu pemahaman.

Ini sudah diatur dalam UU TPKS, kewajiban negara untuk memberikan

edukasi secara masif.

Kita memiliki hak dalam kebebasan berekspresi, salah satunya dalam kebebasan berpakaian. Namun pada kenyataannya, para korban pelecehan seksual sering disalahkan karena pakaian mereka. Apakah kita harus melepaskan kebebasan tersebut demi mendapatkan keamanan?

Itu yang tadi saya singgung berkali-kali. Disebabkan oleh budaya patriarki, kemudian malah membuat suatu stigma akan mensubordinasi. Perlu kita ubah paradigmanya, termasuk bagaimana kebebasan untuk menentukan apa yang hendak kita pakai. Hal yang perlu dikritisi bukan cara berpakaian korban, tetapi otak para pelakunya. Kita punya beberapa kasus yang bahkan korban-korbannya berpakaian tertutup. Jadi, bukan karena pakaiannya, tapi memang pikirannya yang mesum. Semua orang kemudian menganggap bahwasanya semua kesalahan itu berangkat dari apa yang dikenakan oleh si perempuan. Itu suatu paradigma yang keliru.

Apa upaya yang bisa kita lakukan dalam ikut andil mencegah dan menangani kasus KS demi tercapainya lingkungan yang bebas dari kejahatan seksual?

Tentu semua akan kembali kepada diri kita masing-masing. Ketika kita mengetahui ada kawan yang berpotensi menjadi pelaku, pertama yang harus dilakukan adalah mengingatkan. Kemudian, ketika ada korban yang speak-up, jangan menyalahkan dan menjustifikasi dia. Coba dengarkan ceritanya, kemudian percayai dan kuatkan dia. Lalu, yakinkan bahwasanya dia tidak sendiri. Juga terus perdalam wawasan kita terkait dengan isu-isu masa kini, misalnya terkait gender dan patriarki. Secara bertahap, saya rasa budaya-budaya itu (patriarki) akan sedikit demi sedikit dapat dikurangi. (Nisa/Manunggal)

11 10
WAWANCARA KHUSUS WAWANCARA KHUSUS
NOVEMBER 2022
Sumber Foto Dok. Pribadi Ignatius Rhadite (Aktivis HAM)

Pada survei yang telah disebar, sebanyak 94,85% responden sudah mengetahui apa itu KS dan tindakan apa saja yang termasuk dalam KS. Hasil tersebut menunjukkan bahwa mahasiswa sangat peduli menyangkut masalah tentang KS. Kepedulian inilah yang membuat kenyamanan tersendiri bagi mahasiswa saat berada di lingkup kampus. Dibuktikan juga dari hasil survei sebanyak 90,8% responden merasa aman dari KS jika berada di lingkungan fakultasnya.

Grafik yang ditampilkan (aman, tidak aman dan pengetahuan umum tentang KS) :

Amankah Undip dari Kasus Kekerasan Seksual?

Dkeseluruhan, 35 diantaranya terjadi di Perguruan Tinggi (PT). Angka tersebut akhirnya menempatkan kampus atau universitas sebagai lingkup dengan kasus KS terbanyak di dunia pendidikan. Hingga tahun 2020, Perguruan Tinggi belum memiliki peraturan mengikat tentang tindak kekerasan seksual. Para mahasiswa seperti menanti-nanti akan dikeluarkannya peraturan tersebut, semata-mata agar dapat menempuh pendidikan dengan aman. Akhirnya, pada tahun 2021, kegelisahan mereka seakan mendapat titik terang. Kementerian Pendidikan, Riset, dan Teknologi resmi mengesahkan peraturan tentang Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkup Perguruan Tinggi (Permen PPKS) yang diatur pada Nomor 30 tahun 2021. Dikutip dari peraturan tersebut, Kekerasan Seksual didefinisikan sebagai perbuatan merendahkan sampai menyerang tubuh atau fungsi reproduksi seseorang yang dapat mengakibatkan penderitaan psikis dan kehilangan kesempatan untuk melaksanakan pendidikan secara aman dan optimal. Dalam salah satu pasalnya, pihak Kampus diimbau untuk membuat aturan lanjutan agar lebih tepat sasaran sesuai dengan kondisi lingkungan masing-masing. Tak terkecuali Universitas Diponegoro (Undip) yang dikenal sebagai kampus humanis. Di tahun yang sama Undip dengan sigap menyusun Draft Rancangan Peraturan Rektor tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual yang lebih dikenal dengan Draft Rancangan Pertor PPKS Undip. Sayangnya, hingga saat ini rancangan tersebut hanya sampai pada tahap “dikritisi” saja dan belum kunjung disahkan. Berkaitan dengan itu semua, Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Manunggal melakukan jajak pendapat dengan tajuk “Kasus Kekerasan Seksual di Universitas Diponegoro”. Jajak pendapat ini dilaksanakan melalui kuesioner online yang disebar pada 12 Juli - 21 Juli 2022 dan berhasil mendapatkan responden sebanyak 242 mahasiswa. Pada survei ini, responden adalah mahasiswa aktif sarjana dan diploma Undip yang dipilih secara acak dari 12 fakultas dengan margin of error sebesar 6,42% dan tingkat kepercayaan 95%

Didukung dengan 60,7% atau sebanyak 147 responden menyatakan tidak pernah melihat, mendengar, maupun mengalami kekerasan seksual di kampus. Sisanya, sebanyak 39,3% mengaku pernah melihat, mendengar, dan/atau mengalami kekerasan seksual di lingkungan kampus dengan kasus terbanyak berupa tulisan atau ujaran yang berbau seksual serta menyinggung bagian tubuh tertentu. Jawaban ini mendapat presentase 51%. Diikuti oleh kasus memegang area-area tubuh yang sensitif serta paksaan untuk melakukan percobaan pemerkosaan sebesar 46%

Satu-satunya payung hukum kasus KS di Undip saat ini ialah Draf Rancangan Pertor PPKS Undip Walaupun masih berupa draft dan belum ada pengesahan secara resmi dari pihak kampus. Hal tersebut sudah menandakan pihak kampus cukup peduli terhadap isu KS di lingkup perguruan tinggi. Namun, beberapa responden menilai keterlibatan pihak Undip masih kurang dalam upaya mencegah dan mengawal kasus KS di lingkup perguruan tinggi. Sosialisasi yang dilakukan pihak kampus juga belum merata dan keterlibatan mahasiswa dalam penyusunan drafnya masih terbilang minim. Dibuktikan bahwa mayoritas responden dengan presentase sebesar 40,5% mengaku belum pernah mendengar dan membaca draf tersebut. Hanya sekitar 2,9% responden saja yang pernah mengkritisinya.

Grafik yang ditampilkan (pengetahuan

Beberapa responden merasa bahwa sanksi yang tertulis dalam draf belum setimpal untuk menimbulkan efek jera. Sebab, pelaku masih bisa beraktivitas seperti biasa dan tidak menolak kemungkinan kembali melakukan hal serupa. Upaya realistis serta efektif yang dapat dilakukan untuk mencegah kasus KS di lingkungan kampus, seperti: memberikan edukasi tentang KS yang terintegrasi dengan kurikulum mata kuliah wajib, memasang pamflet yang berisi regulasi pelaporan KS di tempat-tempat yang mudah dijangkau, memasang CCTV di tempat rawan KS, serta meningkatkan kerja sama dengan pihak eksternal berbadan hukum untuk memberikan pelayanan dan pemulihan pada korban.

13 novEMBER 2022
tentang draft rancangan pektor PPKS Undip):
POLLING POLLING NOVEMBER 2022 12
Sumber
Unsplash.com
ANGKATAN FAKULTAS
Foto :

Mengembangkan Lingkungan

Peduli Penyintas Kekerasan

Komisi Nasional Anti

Kekerasan (Komnas Perempuan) mengungkap telah terjadi peningkatan kasus- kasus kekerasan seksual, khususnya terhadap perempuan.

Laporan kekerasan seksual di Indonesia meningkat pesat setiap tahunnya, yaitu 4.898 laporan pada tahun 2019 (Pratiwi & Niko, 2022).

Kondisi ini juga dilaporkan terjadi di perguruan tinggi. Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Bapak Nadiem Makarim telah menyatakan kekerasan seksual di kampus-kampus di Indonesia sebagai darurat kritis. Disampaikannya, sebagian besar akademisi telah menyadari adanya kasus-kasus pelecehan dan kekerasan seksual, namun tidak dapat berbuat banyak.

Terungkap 63 persen dari mereka tidak melaporkan kasus yang mereka ketahui kepada pejabat kampus. Hal ini ditegaskan Makarim bahwa “Tidak ada pembelajaran yang bisa terjadi tanpa rasa aman” (Chandra, 2021).

Padahal, di semua lini pendidikan dibutuhkan proses pembelajaran yang mengedepankan rasa aman, khususnya dari segi proteksi dan pembimbingan. Ketidaksiapan institusi, kurangnya pemahaman masyarakat awam dan akademisi

terhadap pendidikan seksual dan kekerasan seksual ini seringkali dijadikan alasan terus meningkatnya kasus-kasus terkait.

kontrasepsi, eksploitasi seksual, inses dan juga kekerasanseksual di dunia maya juga termasuk dalam ranah kekerasan seksual. Sayangnya, tidak sedikit masyarakat yang masih memahami kekerasan seksual hanya sebatas adanya kejahatan ketika hubungan seksual tanpa persetujuan terjadi. Hal inilah yang seringkali membuka peluang bagi terjadinya berbagai bentuk pelecehan seksual, seperti catcalling, permintaan bantuan seksual, hingga tindakan fisik penyerangan seksual, tidak “dikenali” sebagai kekerasan seksual dan akhirnya tidak dibawa ke ranah hukum.

Terungkap secara empiris bahwa sejumlah kekerasan seksual terjadi di seluruh populasi, yaitu perempuan (termasuk perempuan lanjut usia), lakilaki, anak-anak, penyandang disabilitas dan anggota kelompok minoritas (Pulih, 2021). Selama ini, mungkin kita masih terbelenggu pada

Terdapat berbagai istilah yang menggambarkan luasnya spektrum kekerasan seksual, antara lain pelecehan seksual, penyerangan seksual, dan pemerkosaan. Sekali lagi bahwa perlu dipahami bahwa kekerasan seksual tidak sama dengan pemerkosaan. Pemerkosaan adalah bagian dari spektrum kekerasan seksual, begitu juga dengan cumbuan dan sodomi. Pemerkosaan melibatkan penetrasi apapun (tidak peduli seberapa kecil) vagina atau anus dengan bagian tubuh atau objek apa pun atau penetrasi oral oleh organ seks orang lain tanpa persetujuan. Kekerasan seksual didefinisikan secara lebih luas sebagai semua jenis kontak atau perilaku seksual yang terjadi tanpa persetujuan eksplisit dari penerima (Pulih, 2017; Pratiwi & Niko, 2022).

Dapat dikatakan bahwa (tetapi tidak terbatas pada) pemerkosaan, aborsi paksa dan penggunaan

pemahaman bahwa hanya perempuan saja yang dapat mengalami kekerasan seksual. Kenyataannya, di ruang publik jauh lebih tinggi angka perempuan yang menanggung beban kekerasan seskual. Koalisi Ruang Publik Aman (KRPA) mengungkapkan bahwa prevalensi pelecehan di ruang publik terhadap perempuan jauh lebih tinggi daripada laki-laki. Tiga dari lima wanita pernah mengalami pelecehan di ruang publik, sedangkan satu dari sepuluh laki-laki mengalami hal serupa (Pratiwi & Niko, 2022). Meskipun perempuan jauh lebih mungkin menjadi korban, yang harus kita ingat bahwa siapapun bisa menjadi korban kekerasan seksual.

Korban seringkali mendapat stigma yang negatif mengenai peristiwa kekerasan seksual yang menimpanya. Mereka seringkali dianggap melanggar jam malam, berpakaian yang “mengundang” kekerasan seksual, dan saat kejadian berada di tempat yang sunyi. Namun, kenyataannya hal tersebuttidak selalu konsisten. Berdasarkan Lembar Fakta Catatan Tahunan Komnas Perempuan (2020), korban yang mengenakan rok dan celana panjang, berhijab, dan atau berpakaian lengan panjang berjumlah hampir 20 persen. Sedangkan korban yang mengenakan seragam sekolah berjumlah hampir 14 persen. Diungkap juga bahwa kejadian kekerasan seksual ternyata lebih banyak terjadi 35 persen di siang hari, 25 persen di sore dan 21 persen di malam hari. Hal ini mematahkan pemahaman bahwa akibat korban keluar malam maka seringkali terjadi kekerasan seksual. Yang lebih memprihatinkan lagi, berdasarkan 46.349 responden dilaporkan ruang publik menjadi lokasi terjadinya kekerasan seksual, yaitu jalanan umum (33%), transportasi umum termasuk halte (19%), serta

sekolah dan kampus (15%).

Dan ketika kasus kekerasan seksual dipublikasikan, sistem hukum Indonesia masih terbatas dalam menangani masalah ini. Masih banyak upaya “tuang teh” di media sosial yang dilakukan penyintas dan komunitas yang peduli pada hal ini sebagai usaha speak up dalam mencari keadilan. Namun, sangat disayangkan hal ini tidak sedikit membawa dampak bumerang bagi mereka, tidak menjamin memperoleh keadilan malahan menghadapi serangan dari pihak-pihak lain hingga mengalami stigmatisasi (Pratiwi & Niko, 2022).

Di kampus, hal ini perlu menjadi perhatian civitas akademisi sebagai upaya mengantisipasi kondisi krisis kekerasan seksual dan penanganannya. Kesadaran diri bagi akademisi, khususnya mahasiswa mengenai pemahaman jenis-jenis kekerasan seksual dan mengetahui hak-haknya ketika mereka dilecehkan atau mengalami penyerangan seksual sangat diperlukan. Misalnya, dalam kekerasan seksual banyak serangan seksual yang mencakup berbagai tindakan fisik nonkonsensual, seperti sentuhan seksual yang tidak diinginkan, memaksa seseorang untuk melakukan tindakan seksual, atau “menembus” tubuh mereka di luar keinginan mereka. Selain itu, pelecehan secara verbal ataupun fisik, juga seringkali perlu disadari apalagi ketika korbannya merasa tidak nyaman dan tidak aman. Aktivitas lain seperti menguntit di media sosial, diawasi dan diikuti tanpa persetujuannya juga termasuk dalam spektrum kekerasan seksual. Menguntit dapat mencakup panggilan telepon, mengirim pesan atau email beruntun, mengikuti di ruang publik atau transportasi, atau

berkeliaran mengawasi di luar rumah. Kondisi lain seperti pemaksaan atau bujukan yang mengarah ke tindakan seksual dari orang yang tidak dikenal, pasangan, atau teman, yang membuat korbannya tidak nyaman dan merasa dipermalukan atau bersalah, seringkali juga terjadi selain pemerkosaan.

Saat ini, spektrum kekerasan seksual juga merambah dunia maya, khususnya di dalam sosial media. Komentar-komentar seksual yang tidak pantas, mengirim konten pornografi yang tidak diinginkan, membuat komentar yang meremehkan tentang jenis kelamin atau orientasi seksual orang lain, penguntit online, serta sindiran atau lelucon seksual seringkali terjadi di sosial media tanpa melihat batasa usia baik pada pelaku maupun korbannya (Curtis, 2022). Seringkali hal ini muncul tidak hanya dalam relasi yang asing, namun juga pada relasi submisifdominan, seperti pada kerabat yang lebih tua kepada saudaranya yang lebih muda, senior pada yuniornya, bahkan pendidik pada siswanya.

15 14 NOVEMBER 2022 novEMBER 2022
Seksual di Kampus: Dampak, Pencegahan, dan Penanganannya Kartika Sari Dewi Pusat Studi Pemberdayaan Keluarga (PPK)
OPINI DOSEN OPINI DOSEN
Fakultas Psikologi Universitas Diponegoro Sumber Foto Dok. Pribadi

Apapun jenis kekerasan seksualnya dan dialami oleh siapapun korbanya, semuanya membawa dampak negatif bagi penyintasnya, baik secara fisik, medis, sosial dan psikologis, akademis, serta hukum. Selain konsekuensi langsung dan nyata, penyintas yang mengalami serangan dan pelecehan seksual dapat menghadapi banyak masalah jangka panjang pasca pengalaman traumatis tersebut. Tidak sedikit dari mereka yang mengalami berbagai keluhan fisik, seperti: pusing, jantung berdebar, mual, lemas, sulit tidur dan insomnia, sampai pada infeksi menular seksual (Khairunnisa, 2020; Curtis, 2022). Sedangkan di sisi lain, terungkap dampak psikologis yang sangat luas bagi penyintasnya. Menurut Pulih (2017; 2021), dampak psikologis dari munculnya rasa tidak nyaman dan aman, tidak berdaya dan bingung, menurunnya kepercayaan dan keyakinan diri, takut disalahkan, kehilangan kemampuan konsentrasi dan menurunnya produktivitas, goncangan psikologis dan numbing, hingga distress pasca trauma, depresi, serta self-harm hingga percobaan bunuh diri banyak dijumpai pada penyintas kekerasan seksual. Yang patut diperhatikan, pada kasuskasus kekerasan seksual tertentu bukti empiris menunjukkan bahwa kekerasan seksual meningkatkan resikonya bagi penyintasnya untuk terlibat sebagai pelaku kekerasan, mengalami reviktimisasi, dan atau mengalami permasalahan seksual di masa depan, seperti penyimpangan orientasi seksual dan penyimpangan seksual yang lain (Curtis, 2022).

Sedangkan dampak akademis yang muncul akibat terpapar kekerasan seksual diungkapkan salah satu studi di Amerika Serikat yang menjelaskan 34 persen siswa yang mengalami kekerasan seksual,

khususnya pelecehan seksual akhirnya putus sekolah dan bagi yang berhasil melanjutkan pendidikan menghadapi berbagai tantangan berat di akademik akibat kondisi psikososialnya pasca kejadian, seperti perasaan bersalah yang membuatnya sulit konsentrasi dan malu bergaul dengan teman sebaya, perlu berjuang untuk dapat fokus pada tugas, merasa tidak aman di kampus, yang membuatnya membolos dan melewatkan tugas/ materi penting (Curtis, 2022).

Dampak sosial dan hukum seringkali juga dialami para penyintas kekerasan seksual. Setelah mengalami pertemuan yang

menjauhkan diri dari teman dan keluarga karena masalah kesehatan mental, stigma, rasa malu, dan faktor lainnya. Dalam beberapa kasus, penyerang/pelaku bisa jadi adalah anggota dari kelompok teman atau lingkaran keluarga, sehingga penyintas mungkin merasa bahwa orang lain tidak akan mempercayai ceritanya tentang peristiwa tersebut. Beberapa bahkan mungkin khawatir bahwa teman-teman mereka akan memihak pelaku. Serangan seksual juga berdampak pada perubahan perilaku dan sikap penyintas. Banyak penyintas yang dulunya tampil sebagai seorang yang terbuka, suka bergaul, serta berpartisipasi dalam berbagai kegiatan bahkan menjadi pemimpin, dan dapat menikmati lingkaran besar pertemannya menjadi menarik diri dari pergaulan, mudah curiga dan cemas, serta tertutup. Menurut Curtis (2022), tidak sedikit yang akhirnya mengalami ketegangan mental, fatigue, dan kewalahan dalam perkembangan akademiknya akibat ajuan hukum dan proses legal yang panjang. Bahkan diantara mereka menjadi enggan mengajukan tuntutan hukum pada pelaku akibat kemungkinan setelah melalui seluruh proses, pihak sekolah/perguruan tinggi dan aparat penegak hukum mungkin masih tidak menghukum pelaku.

Mengingat dampak kekerasan seksual yang begitu luas pada kehidupan penyintasnya dan lingkungan sosialnya, tampaknya sangat perlu gerak cepat dari berbagai pihak untuk mengembangkan ruang aman dan kepedulian bagi penyintas dan perlindungan bagi siapapun bagian dari anggotanya dari kekerasan seksual. Banyak penyintas yang menolak melaporkan kasusnya karena tidak ingin mengulangi pengalaman traumatisnya ketika ditanyai, takut dipermalukan atau

dicemooh, atau tidak percaya bahwa mereka akan dipercaya atau keadilan akan ditegakkan. Namun demikian, fasilitas hotline menjadi salah satu alternatif yang masih sangat penting dan berperan dalam pengungkapan kasus kekerasan seksual. Selain itu, diperlukan jaminan keamanan dan pendampingan bagi penyintasnya. Seringkali mereka memilih tidak melaporkan secara hukum dan ingin mengelola traumanya. Maka, selain ketersediaan pendampingan hukum, tempat yang aman bagi mereka, semacam rumah singgah dan komunitas dukungan sangat diperlukan. Dibutuhkan juga adanya pendampingan medis dan konselor psikologis, yang dapat membantu mereka pulih secara fisik dan mental.

Adanya sarana dan prasarana yang memberikan pelayanan bagi penyintas kekerasan seksual sangat diperlukan. Namun, keberadaannya juga perlu diimbangi dengan sosialisadi dan edukasi yang tepat bagi seluruh civitas akademika, serta didukung oleh pemangku kebijakan dan pengelola institusi pendidikan. Ketika sebuah sistem dibangun dengan sinergi dari berbagai pihak, bukan hanya kelompok aktivis mahasiswa saja yang dianggap memiliki tanggung jawab, namun secara formal institusi juga mengimplementasikan UndangUndang terkait dan mengembangkan aturan internal yang berpihak pada perlindungan terhadap kekerasan seksual. Hal ini dibutuhkan untuk pertama menggerakkan berbagai lini profesional kelembagaan untuk turut serta mendukung pengembangan lingkungankampus yang memberikan perlindungan bagi penyintas kekerasan seksual serta membantu adanya dokumentasi mengenai insiden atau kasus tersebut, sehingga dapat membantu langkah legal formal yang memang seharusnya ditempuh dan memberikan jaminan

keamanan bagi penyintasnya. Di sisi lain, institusi pendidikan juga akhirnya dapat menciptakan ruang belajar di mana mahasiswa dapat mengikuti pembelajaran dan pendidikan tinggi tanpa dilecehkan atau menghadapi kekerasan seksual. Intinya, kebijakan terkait pencegahan kekerasan seksual yang pasti dan mendukung penuh usaha- usaha pemberdayaan mahasiswa untuk menanggulangi isu kekerasan seksual menjadi sangat penting. Namun, usaha ini tidak akan optimal ketika pada masing-masing civitas, khususnya pemangku kebijakan masih menganggap bahwa kekerasan seksual adalah ranah domestik, personal, dan tabu untuk ditangani.

Di sisi pribadi, setiap civitas akademika juga hendaknya selain meningkatkan kesadaran dan kepeduliannya terhadap isu kekerasan seksual juga dapat membekali dan membentengi diri. Memperhatikan keamanan dan penghargaan pada diri sendiri sangat diperlukan dalam bergaul dan berelasi. Tidak sedikit kasus kekerasan seksual yang berawal dari kurangnya keamanan korbannya dan rendahnya rasa penghargaan diri korban pada dirinya sendiri. Maka, sebagai seorang individu kita harus menyadari bahwa setiap orang memiliki hak yang sama di mata Tuhan dan memiliki tanggung jawab pribadi untuk menyayangi diri sendiri dan menghargai, mensyukuri

apa yang telah dianugerahkan Tuhan kepada kita dalam bentuk karakter, fisik, serta pengalaman hidup dengan berbagai keunikan dan keragamannya. Kepedulian antar sesama dan keterhubungan dengan sekitar juga membantu kita untuk menumbuhkan kebersyukuran dan kebersamaan dalam kehidupan sosial.

17 16 NOVEMBER 2022 novEMBER 2022
OPINI DOSEN OPINI DOSEN
Selalu yakin bahwa kita tidak sendiri dan selalu ada jalan keluar dari setiap kesulitan atau kesusahan.
Sumber Foto : Unsplash.com

IMPLIKASI

ini sudah sepatutnya diubah. Patriarki tidak boleh selamanya hidup di tengahtengah norma masyarakat. Namun ironisnya, masih sering kali ditemukan pembungkaman para korban kekerasan dengan dalih bahwa memenuhi nafsu pasangan merupakan suatu kewajiban.

BUDAYA PATRIARKI PADA KASUS

KEKERASAN SEKSUAl

Miris. Mengingat bagaimana norma mengenai perilaku perempuan diatur dengan ketat, berbanding terbalik dengan lelaki yang dianggap memiliki derajat tinggi dan boleh melakukan apa pun yang mereka inginkan, salah satunya tentang nafsu yang tak bisa mereka kendalikan.

Banyak

ditemukannya kasus kekerasan seksual di berbagai tempat dan ranah kehidupan menjadi permasalahan yang harus sangat diperhatikan. Sekolah, kantor, transportasi umum, atau bahkan pesantren menjadi beberapa dari banyaknya tempat terjadinya kekerasan seksual. Lalu jika sudah seperti ini, di mana perempuan bisa merasa aman?

Komnas Perempuan rutin meluncurkan Catatan Tahunan (CATAHU) yang di dalamnya mencakup dinamika jumlah, ragam jenis, bentuk, ranah, serta substansi hukum dalam penanganan kerasan seksual. CATAHU tahun 2022 mencatat terdapat 338.496 kasus kekerasan berbasis gender (KBG). Angka tersebut melonjak sebesar 50% dari tahun 2020 yang menyentuh angka 226.062 kasus.

Kasus kekerasan seksual memang masalah besar yang tak kunjung berhenti. Tak peduli seberapa banyak usaha Komnas Perempuan dalam melakukan sosialisasi dan penanganan

lapangan, kasus ini masih menjadi permasalahan yang tidak kunjung sempurna teratasi. Pembahasan mengenai kekerasan seksual tak jauh dari banyaknya perempuan yang menjadi korban. Hal tersebut dirasa sesuai dengan fakta bahwa separuh dari persentase korban kekerasan seksual dialami oleh para perempuan.

Pemikiran bahwa perempuan merupakan makhluk lemah dan tidak memiliki kekuatan rasanya menjadi satu dari banyaknya alasan mengapa perempuan kerap menjadi korban kekerasan seksual. Namun, yang perlu ditekankan di sini adalah mindset mengenai anggapan bahwa posisi lelaki dinilai lebih tinggi sehingga menjadikan sikap sewenang-wenang yang dilakukannya menjadi hal yang dianggap lumrah di segala lini kehidupan.

Perempuan kerap kali dianggap sebagai ‘mesin’ pemuas nafsu para lelaki, yang dalam konteks ini berarti harus memenuhi apa-apa yang mereka minta. Paham kolot yang tak berdasar

Jika patriarki masih melekat dalam tiap jengkal norma kehidupan, maka sampai kapan kebebasan perempuan dibungkam? Sampai kapan kasus kekerasan yang berbasis pada kebebasan lelaki dipertahankan? Norma sosial yang berpihak pada lelaki memang sudah sedikit demi sedikit berubah, tetapi permasalahan mengenai anggapan bahwa kedudukan lelaki lebih tinggi masih saja betah bertahan. .

Tidak usah berbicara terlalu jauh. Topik kekerasan seksual sangat luas untuk sekadar dibahas dalam selembar tulisan. Perbudakan wanita, eksploitasi seksual, atau bahkan perdagangan wanita merupakan hal yang jauh di atas kasus-kasus yang sering terjadi di ruang lingkup kehidupan. Permasalahan di sekitar kita harus lebih diperhatikan. Sebagai contoh, pernikahan dini dan pemaksaan perkawinan yang masih dianggap wajar oleh segelintir masyarakat sangat bisa menjadi peluang munculnya kasus kekerasan seksual.

Perempuan memiliki hak untuk bebas, untuk melawan, dan untuk bertahan sesuai dengan apa yang ia inginkan. Perempuan adalah pemilik tubuhnya sendiri. Perempuan boleh memilih. Dan perempuan sangat tidak pantas untuk dianggap sebagai ‘mesin’ pemuas nafsu belaka.

Akhir-akhir ini isu kekerasan seksual tengah marak di lingkup Universitas, hal ini membuat warga UNDIP bertanya-tanya apakah UNDIP sudah menciptakan lingkungan kampus yang aman dari kekerasan seksual? Kekerasan seksual adalah setiap perbuatan merendahkan, menghina, menyerang dan/atau tindakan lainnya, terhadap tubuh yang terkait dengan nafsu perkelaminan, hasrat seksual seseorang, dan/atau fungsi reproduksi, secara paksa, bertentangan dengan kehendak seseorang, dan/atau tindakan lain yang menyebabkan seseorang itu tidak mampu memberikan persetujuan dalam keadaan bebas karena ketimpangan relasi kuasa, relasi gender dan/atau sebab lain, yang berakibat atau dapat berakibat penderitaan atau kesengsaraan terhadap secara fisik, psikis, seksual, kerugian secara ekonomi, sosial, budaya, dan/ atau politik. Dari definisi diatas kita dapat simpulkan jika kekerasan seksual adalah sebuah tindakan kriminal seksual yang didasari oleh pemaksaan. Dampak dari tindakan kekerasan seksual ini tentunya adalah hal yang serius tapi masih banyak pihak yang menganggap kasus kekerasan seksual adalah hal yang sepele. Stigma seperti itu tentu saja menguntungkan pelaku tapi bagaimana dengan korban? Bukankah hal yang paling perlu diperhatikan dalam kasus kekerasan seksual ini adalah korban? Banyak korban yang memilih bungkam karena ketakutan akan stigma yang muncul di masyarakat, perasaan kotor, perasaan direndahkan, perasaan tidak berharga pasti menjadi momok yang menakutkan bagi para korban. Perlunya struktualisasi berpikir masyarakat tentang kasus kekerasan seksual ini, mulai dari cara memandang korban bukan sebagai seseorang yang ‘memalukan’ tapi sesorang yang seharusnya di perhatikan. Lalu cara mengambil tindakan jika menemukan kasus kekerasan seksual di lingkungan kita, seperti bagaimana cara memberi pertolongan pertama pada korban dan bagaimana cara menyikapi sang pelaku. Tentunya langkah-langkah seperti itu adalah langkah-langkah yang harus diperhatikan dan setiap individu wajib memahami langkah-langkah itu. Tapi nyatanya impelementasi dalam kehidupan nyata tidak seperti itu, masih banyak orang-orang menganggap kekerasan seksual adalah aib bagi korban dan kesalahan korban.

“ Waktu itu kamu pakai baju apa? Minim ya?”

“ kamu harusnya bisa jaga diri!” Lontaran-lontaran seperti itu tentu saja masih sering kita dengar. Miris rasanya, ketika korban seharusnya mendapatkan dukungan tapi yang dia dapatkan justru stigma tak beralasan. Kekerasan seksual tetap saja sebuah kejahatan entah bagaiamana cara pelaku memakai baju, bersolek dan lainnya. Semua korban pantas mendapatkan perlindungan bukan makian atau hinaan, semua korban pantas mendapatkan pertolongan bukan perasaan merendahkan dari lingkungannya. Bagaimana kekerasan seksual dapat diberantas? Jika pandangan masyarakat terhadap kasus kekerasan seksual ini bukanlah momok yang menakutkan? Menurut survei yang dilakukan oleh BEM Universitas Diponegoro dan Bidang Sosial Politik BEM seUndip, pelaku kekerasan seksual yang ada di lingkungan kampus di dominasi oleh Mahasiswa dan Dosen. Pernyataan itu berdasarkan survei yang dilakukan pada September 2021 dengan total responden sebanyak 771 di 12 fakultas. Berdasarkan survei itu kekerasan seksual yang ada di undip adalah: Cat Calling (komentar bernada seksual yang dilontarkan oleh laki-laki ke wanita di tempat umum, misalnya jalan raya, pusat perbelanjaan, stasiun, dan lain-lain.) sebanyak 71 responden, lalu candaan berbau seksual 89 responden dan yang terakhir adalah Sentuhan Fisik sebanyak 46 responden. Undip dirasa masih belum tegas, salah satunya adalah belum dikeluarkannya peraturan rektor yang mengatur pencegahan kekerasan seksual di lingkungan kampus. Selain itu beberapa kasus kekerasan seksual yang terjadi di undip dirasa masih belum adil, Seharusnya undip bisa lebih tegas dan lebih adil dalam memberikan sanksi dan berpacu pada (Permendikbud Ristek RI) Nomor 30 Tahun 2021 yang menjelaskan jika Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual dilaksanakan dengan prinsip kepentingan terbaik bagi Korban, keadilan dan kesetaraan gender, kesetaraan hak dan aksesibilitas bagi penyandang disabilitas, akuntabilitas, independen, kehati-hatian, konsisten dan jaminan tidak berulangan.

Alangkah baiknya jika tidak hanya pihak Universitas saja yang berusaha untuk memberantas dan mencegah terjadinya kasus kekerasan seskual di lingkungan kampus, melainkan mahasiswa dan seluruh warga Universitas Diponegoro dapat ikut andil dalam mencegah dan memberantas kasus kekerasan seksual di lingkungan kampus, dengan cara menerapkan norma-norma dan tata tertib yang berlaku. (Najwa/ Manunggal)

18 NOVEMBER 2022
KOLOM NOVEMBER
19
UNDIP CIPTAKAN KAMPUS YANG AMAN DARI KEKERASAN SEKSUAL
2022
OPINI MAHASISWA
Coriandri Carvi Eufrat Sativa Administrasi Publik (2021) Sumber Foto : Dok. Pribadi

Dr.Choirul

Anam, S.Si, M.Si atau

yang akrab dipanggil dengan Pak Anam adalah dosen prodi Fisika.

Awal karir Pak Anam dimulai pada tahun 2006, beliau menjadi dosen di Undip saat beliau masih menyandang gelar sarjana. Di tahun 2008 Pak Anam melanjutkan studi S2 nya di salah satu Universitas di Depok dan mendapatkan jabatan sebagai asisten ahli di Undip, lalu setelah lulus beliau kembali mengajar hingga tahun 2013, dan kembali melanjutkan studi S3 nya di sebuah kampus teknik yang ada di Bandung. Pada tahun 2016 Pak

Anam melakukan penelitian di Kyushu University yang berada di Jepang, selain melakukan penelitian Pak Anam juga melakukan research untuk studi S3 nya.

Awal mula Pak Anam mereview jurnal dan melakukan penelitian dimulai dengan studi S1 nya . Di jenjang itu Pak

Anam belum dituntut untuk membuat jurnal karena hanya skripsi yang diperlukan tapi Pak Anam sudah mulai melakukan research pada bidang fisika. Ketika memasuki jenjang S2 Pak Anam

Dosen Dengan Segudang Prestasi

Dr. Choirul Anam, S.Si, M.Si

sudah mulai memiliki kebiasaan untuk menulis jurnal, walaupun saat itu jurnal yang beliau tulis belum dalam skala International tapi Pak Anam sudah memulai researchnya walaupun masih dalam skala yang kecil. Di jenjang S2 Pak Anam juga sudah mulai tertarik untuk meneliti CT. Setelah kembali ke Undip Pak Anam mulai melakukan research kecil-kecilan. Pak Anam mengembangkan pemprograman dan melakukan publikasi dengan segala keterbatasannya. Walaupun begitu Pak Anam menyadari jika semuanya tidak akan langsung bisa sempurna, perlu proses yang panjang dan yang terpenting adalah pengalaman karena semuanya adalah bagian dari proses. Keseriusan Pak Anam terhadap penelitian dimulai saat Pak Anam menempuh pendidikannya di jenjang S3, Pak Anam sudah mulai mengetahui bagaimana cara yang baik menulis jurnal, cara yang baik dalam publikasi dan juga dalam mencari kebaharuan dalam penelitian. Selain mulai fokus kepada penelitian di S3 Pak Anam juga banyak melakukan conference, hampir 20 conference International yang telah Pak Anam ikuti.

Selain melakukan penelitian Pak Anam juga membuat review jurnal Biomedical Phisycs and Enginering Express (BPEX) dari IOP (Institute of Physics) dan mendapatkan Outstanding reviewers sebanyak dua kali. Sebelumnya Pak Anam juga mendapatkan penghargaan di ajang review yang lebih bergengsi yaitu di Physics Energing and Biology di 2018 dan di tahun berikutnya Pak Anam mendapatkan penghargaan

lagi pada jurnal Biomedical Phisycs and Enginering Express (BPEX) dari IOP (Institute of Physics) di 2019. Penghargaan itu tentu saja membawa nama Indonesia dan juga Universitas Diponegoro. Seperti yang kita tahu menjadi seorang reviewers tidaklah mudah perlu banyak ketelitian dan juga pengetahuan untuk mereview jurnal yang di publikasikan oleh peneliti lain. Pak Anam bertugas untuk mereview jurnal yang ditulis dari segi bagus atau tidaknya tulisan sebuah jurnal. Lalu apakah jurnal yang di publikasikan sudah di perbaharui atau belum dan apakah jurnal yang di publikasikan berkualitas atau tidak. Untuk menjadi seorang reviewers tentu saja dibutuhkan orang-orang ahli di bidangnya yang mampu mereview secara independent, salah satu orang yang masuk dalam kriteria itu adalah Pak Anam.

Setelah keberhasilan yang Pak Anam raih dalam dunia penelitian, lebih tepatnya dalan CT Scan. Kedepannya Pak Anam masih akan terus fokus di CT Scan. Kedepannya Pak Anam akan mengembangkan IndoQCT yang dibuatnya, Saran Pak Anam untuk mahasiswa yang memiliki kecenderungan dan ketertarikan dalam riset atau penelitian, jika memang mempunyai niat kita harus menjalankannya dengan sepenuh hati karena tidak ada sesuatu yang langsung terjadi membutuhkan banyak proses dan juga konsisten. Keberhasilan Pak Anam tentu saja patut untuk diapresiasi, karena untuk sampai di titik ini banyak proses yang Pak Anam lakukan dan terus konsisten dalam penelitiannya agar penelitianya dapat bermanfaat untuk banyak orang. (Najwa/Manunggal)

SALAHUDIN AL AYUBI : USAHA TANPA DOA ITU SOMBONG DAN DOA TANPA USAHA ADALAH BOHONG

Salahudin Al Ayubi atau biasa dipanggil Ayubi adalah mahasiswa jurusan Teknik Komputer angkatan 2020 dari Fakultas Teknik yang berhasil meraih peringkat pertama tingkat nasional sekaligus mewakili Indonesia dalam Kompetisi APJC NetAcad Riders 2022. Kompetisi ini tepatnya diadakan pada hari Rabu, 11 Mei 2022 yang diselanggarakan oleh Cisco Networking Academy.

Kompetisi ini dilaksanakan dengan sistem ronde, yaitu ronde 1-3. Ayubi selaku peserta, melalui seleksi mandiri pada ronde pertama yang dilakukan oleh local academy, yaitu Teknik Komputer Universitas Diponegoro atau Cisco Academy Computer Diponegoro University dan berakhir lolos dengan senang hati. Kemudian, Ayubi melanjutkan kompetisi ke ronde kedua dengan melaksanakan seleksi lagi dengan sistem kompetisi yaitu menjawab 75 buah soal di LMS Cisco NetAcad. Ronde kedua ini diikuti sekitar 200 mahasiswa dari seluruh perguruan tinggi di Indonesia namun, Ayubi berhasil meraih peringkat pertama dan mewakili Indonesia pada ronde selanjutnya yaitu ronde ketiga dan yang merupakan terakhir di regional APJC (Asia Pasific, Japan, and

Greater China). Pada ronde ketiga ini kompetisi diikuti oleh 18 peserta dari perwakilan masing-masing negara mulai dari Australia sampai Vietnam dan dilaksanakan dengan sistem troubleshoot atau pencarian sumber masalah atau informasi perangkat pada simulator jaringan miliki Cisco, yaitu Cisco Packet Tracer dan dilaksanakan secara online melalui Webex meeting dan LMS Cisco NetAcad. Dari seleksi ronde ketiga ini, Ayubi mendapat predikat scoring gold.

Ayubi menjelaskan perjalanannya bermula sejak Ia menduduki bangku SMK, tepatnya pada tahun 2016 dimana Ia mulai menyenangi ilmu komputer setelah gurunya mengenalkan mengenai jaringan komputer.“Saya selalu yakin bahwa apa yang saya lakukan tidak akan sia-sia sama sekali di masa yang akan datang. Dan benar saja, dari hal yang dipelajari itu saya bisa mengikuti beberapa kompetisi di bidang yang sama, salah satunya adalah APJC NetAcad Riders 2022.” Ucapnya.

yang ingin dicapai. “Dengan cara ini kita tidak akan  terlalu terbebani atas target besar yang ingin dicapai, namun tetap merasa produktif dengan progress yang dilakukan. Dan mengenai kemampuan, saya percaya tiap orang memiliki kelebihan dan kekurangan masingmasing, jadi apa yang dimiliki saat ini tidak bisa dan tidak perlu dibandingkan dengan yang orang lain miliki. Satusatunya perbandingan yang perlu dilakukan adalah dengan diri sendiri. Apakah hari ini diriku sudah lebih baik dari hari kemarin?” Jelas Ayubi.

PERNAH MENGALAMI BURN OUT

Burn out adalah kondisi stress kronis dimana seseorang merasa lelah fisik, mental, dan emosional akibat pekerjaannya. Semua orang secara umum pasti pernah mengalami kondisi burn out, terutama seseorang yang memikul pekerjaan yang pada suatu titik terasa menjadi beban. Tak terkecuali Ayubi, mengetahui besarnya target yang ingin Ia capai.

Saat berada dalam kondisi ini, Ayubi menjelaskan Ia akan memilih untuk mengambil waktu sendiri atau bermeditasi untuk menenangkan pikiran dan mental. Selain itu ia akan memikirkan strategi yang tepat untuk mengatasi masalah yang sedang dihadapi. Salah satu strategi yang biasa Ia gunakan adalah metode 'cicilan' yaitu dengan menyicil pekerjaan dengan tetap memperhatikan target waktu

Apapun bentuknya, prestasi merupakan suatu hal yang bisa siapapun bisa capai. Membahas usaha yang perlu dikerahkan, ada beberapa hal yang harus diberi fokus lebih menurut Ayubi. “Kita tidak perlu untuk memikirkan hal-hal yang tidak bisa dikendalikan, sebaliknya, maksimalkanlah apa yang menjadi domain kendali kita, seperti memanfaatkan peluang dan berusaha semaksimal apa yang kita bisa. Disamping berusaha, jangan lupa juga untuk selalu berdoa dan bersyukur kepada Tujuan Yang Maha Esa karena segala sesuatu tidak akan terjadi tanpa ridho dari-Nya. Usaha tanpa doa itu sombong dan doa tanpa usaha adalah bohong.” Papar Ayubi. (Jasmine/Manunggal)

21 20 NOVEMBER 2022 novEMBER 2022
SOSOK DOSEN SOSOK MAHASISWA
PESAN SALAHUDIN AL AYUBI : USAHA TANPA DOA ITU SOMBONG DAN DOA TANPA USAHA ADALAH BOHONG.
Sumber Foto : Dok. Pribadi
Sumber Foto Dok. Pribadi Sumber Foto : Dok. Pribadi

Menguak Sisi Religius dari Debus yang Sering Dikaitkan dengan Ilmu Hitam

guru tasawuf. Hal ini dilakukan dengan tujuan memohon doa keselamatan selama pertunjukkan kepada sang pencipta, Allah SWT.

Di mata dunia, Indonesia merupakan negara berkembang yang dianugerahi berjuta kebudayaan. Tak hanya menyuguhkan budaya yang indah nan cantik disaksikan, Indonesia juga menyimpan beragam kebudayaan ekstrem dengan aneka makna terselubung di dalamnya, salah satu contohnya yaitu Kesenian Debus.

Apa itu debus?

Debus adalah kesenian tradisional khas provinsi Banten yang menyebar hingga wilayah Parahyangan. Debus menyuguhkan penampilan unik berupa kemampuan manusia yang kebal terhadap berbagai macam senjata tajam, air keras, dan sejenisnya.

Kesenian debus merupakan wujud nyata dari perpaduan antara seni tari, suara, bela diri, dan kebatinan. Debus biasanya akan dibawakan oleh para pemain debus yang dihasilkan dari sebuah sanggar atau padepokan silat.

Islam menjadi cikal bakal kesenian mistis ini ?

Kesenian debus ternyata sudah ada sejak abad ke-16. Kata debus berasal dari bahasa arab yang berarti senjata tajam dari besi dengan ujung runcing dan sedikit bulat. Kesenian ini muncul sebagai wujud usaha penyebaran agama Islam di wilayah Banten pada masa itu yang mayoritas masih berpegang teguh pada animisme agama Hindu Buddha. Orang pertama yang menggunakan media debus sebagai sarana untuk menunjukkan kekuatan agama Islam adalah Nurrudin Ar-Raniry.

Selain itu, kesenian debus memang dimainkan dengan iringan merdu dari pembacaan doa, kalam illahi, dzikir, hingga shalawat dari para mursyid atau

Berbagai adegan ekstrem dilakukan tanpa menimbulkan luka pada tubuh

Kesenian debus biasa diselenggarakan di sebuah lapangan luas dengan tujuan untuk mempermudah gerak gerik dari para pemain debus. Nantinya mereka semua akan tampil dengan kostumnya masing-masing, seperti ikat kepala,

Sufisme hingga ritual menyucikan diri

Hal-hal ekstrem yang dilakukan para pemain debus nyatanya memiliki segudang rahasia di dalamnya. Tak semua orang bisa melakukan hal tersebut, dibutuhkan komitmen dan sikap istiqomah yang sangat kuat. Para pemain debus biasanya memiliki serangkaian ritual wajib sebelum atraksinya dimulai. Ritual yang dimaksudkan bukanlah sesuatu yang musyrik, melainkan para pemain debus diwajibkan menghindari laranganlarangan dalam agama Islam, seperti minum minuman keras, berjudi, mencuri, dll.

Kesenian debus menjadi bukti nyata dari adanya aliran ilmu sufisme yang menghasilkan tradisi mistis dalam Islam. Sufisme sendiri merupakan aliran ilmu untuk mengetahui bagaimana cara menjernihkan akhlak, menyucikan diri, dan secara lahir batin memperoleh kebahagiaan abadi.

Eksistensi debus dari dulu hingga kini

Kota Kudus, Jawa Tengah

terkenal dengan julukannya sebagai Kota Kretek. Hal ini dikarenakan Kudus merupakan salah satu kota industri rokok terbesar di Indonesia. Gerbang utama kota Kudus juga berbentuk patung tembakau yang sangat besar dengan ornamen warna perak di seluruh bagiannya. Lalu, sekitar 5,2 km dari gerbang masuk kota Kudus bisa kalian jumpai bangunan Museum Kretek yang beralamat di Jalan Getas Pejaten, Nomor 155, Desa Getas Pejaten, Kecamatan Jati, Kabupaten Kudus, Provinsi Jawa Tengah.

Fasilitas dan harga tiket masuk Sesampainya di depan gerbang museum kretek, kamu akan disuguhkan banyaknya PKL (Pedagang Kaki Lima) yang berjejer rapi dan menjajakan aneka street food. Setelah itu, nampak pintu masuk dan keluar yang dibatasi dengan loket tiket, dan di depannya terdapat patung seorang perempuan yang sedang menggiling rokok kretek. Lalu, tepat diatasnya bertuliskan "Museum Kretek" dengan cat berwarna merah cerah.

baju kampret dan celana pangsi.

Pertunjukan debus akan dimulai dengan pembacaan doa dari guru besar (syekh), memainkan musik tetabuhan guna menarik para penonton hingga lokasi semakin ramai dan dilanjutkan dengan atraksi silat sebagai pemanasan.

Jika sudah, disinilah para pemain debus mulai beraksi, kurang lebih ada 40 atraksi ekstrem yang akan mereka tampilkan. Diantaranya ada memakan pecahan kaca, menjilat golok yang dibakar, menusuk lidah dengan jarum, menginjakkan kaki di atas bara api yang menyala, memukulkan kepala ke batu bata, mengupas kulit kelapa menggunakan gigi, dan masih banyak lainnya. Semua rangkaian atraksi tersebut mereka lakukan tanpa menimbulkan sedikitpun luka pada tubuhnya masing-masing.

Kesenian debus kerap kali disalahpahami oleh masyarakat luas. Tak sedikit yang menganggap kesenian ini dekat dengan ilmu hitam. Namun, setelah ditelisik lebih dalam, nyatanya debus merupakan media penyebaran Islam yang juga beralih fungsi menjadi alat pemompa semangat juang rakyat Banten untuk melawan para penjajah Belanda pada masa itu.

Meskipun penggiat kebudayaan seni debus semakin sedikit, debus tetap eksis di beberapa acara besar seperti pernikahan, hari kemerdekaan, acara sunatan, perayaan besar hari keagamaan, saat ada wisatawan, hingga tampil sebagai bentuk unjuk rasa dari para demonstrasi. Contohnya saja pada aksi demo yang dilakukan oleh Aliansi Komunitas Jawa Barat yang menuntut pemecatan anggota DPR RI Arteria Dahlan di Gedung DPR RI pada 27 Januari 2022. (Rosita/Manunggal)

Halaman museum kretek ini bisa dibilang sangat luas dan rimbun. Di sisi kanan terdapat taman yang dilengkapi dengan aneka mainan anak-anak dan di sisi kiri terdapat kolam renang. Kunci utama dari museum kretek ini yaitu bangunan berbentuk rumah joglo khas Jawa Tengah dengan atap limasan/trapesium tumpang, lalu disampingnya ada bangunan terpisah yang merupakan surau (musholla kecil). Sebelum masuk, kamu akan disuguhkan patung yang paling ikonik di museum kretek, yaitu patung keluarga petani tembakau. Beberapa fasilitas itu bisa kamu peroleh dengan membayar tiket masuk sekitar 30005000 rupiah. Tapi untuk wisata kolam renang, kamu harus merogoh kocek sebesar 15.000-20.000 rupiah. Bagaimana, cukup terjangkau bukan?

Museum rokok pertama di Indonesia

Kudus menjadi cikal bakal rokok Indonesia karena sosok Nitisemito yang dianggap sebagai Raja Kretek Indonesia merupakan putra bungsu seorang Lurah Desa Janggalan, Kudus yang bernama Soelaeman. Nitisemito tercatat sebagai orang pertama yang mampu memproduksi rokok kretek dan mengembangkannya

Wisata Mendidik, Melihat Lebih Dalam Bagaimana Sepak Terjang Rokok Lewat Museum Kretek Kudus

menjadi industri besar.

Lalu, sedikit bergeser ke sejarah Museum Kretek. Museum ini didirikan pada tanggal 3 Oktober 1986 atas prakarsa Soepardjo Roestam, yang kala itu menjabat sebagai Gubernur Jawa Tengah. Hal inilah yang menandai telah lahirnya museum rokok pertama di Indonesia, hingga akhirnya disusul oleh House of Sampoerna di Surabaya. Prakarsa dari Bapak Roestam ini bermula saat Beliau bertandang ke kota Kudus dan menyaksikan kontribusi usaha rokok kretek dalam perekonomian daerah. Hingga akhirnya museum ini berhasil didirikan di atas lahan seluas 2,5 ha dengan sumber dana dari Persatuan Pengusaha Rokok Kudus (PPRK). Dikutip dari ungkapan seorang pegiat wisata Jawa Tengah Sony Wimar "Museum Kretek dibangun untuk mengenang 'Pahlawan Kretek' di masa lalu, karena rokok kretek telah menjadi denyut nadi bagi masyarakat Kudus".

Mengulik 1.195 koleksi yang ada di dalam Museum Kretek Museum Kretek menyimpan 1.195 koleksi, diantaranya ada dokumentasi

seorang Nitisemito yang mendirikan Pabrik Rokok Bal Tiga, bahan pembuatan dan alat tradisional dalam memproduksi rokok kretek seperti alat giling tembakau, alat giling cengkeh, alat perajang tembakau dll. Selain itu, juga terdapat replika rumah adat Kudus yang berjuluk Joglo Pencu hingga ada foto-foto dari para pendiri pabrik kretek. Lalu, yang paling sering menarik perhatian pengunjung ialah berbagai bentuk rokok sejak zaman dulu hingga sekarang yang ditata rapi di dalam meja kaca. Sedikit tambahan, di dalam Museum Kretek kamu juga bisa melihat video sejarah rokok kretek di sebuah Mini Bioskop yang telah disediakan. Namun untuk fasilitas satu ini perlu reservasi lewat telepon terlebih dahulu. Dan satu lagi, disana juga terdapat Pojok Buruh Rokok yang menunjukkan sosok buruh rokok yang tengah melinting tembakau, para pengunjung juga diperbolehkan berkomunikasi dengan mereka. Sayangnya karena pandemi 2 tahun belakangan ini, Museum Kretek menjadi lumayan tidak terurus dan sepi pengunjung, berbeda jauh saat sebelum pandemi dulu. (Rosita/Manunggal)

22 NOVEMBER 2022 novEMBER 2022
Menguak Sisi Religius dari Debus yang Sering Dikaitkan dengan Ilmu Hitam
SASTRA
BUDAYA
PERJALANAN 23
Sumber Foto : Alambudaya.com Sumber Foto : blog.unnes.ac.id

Pendirian Karya Nurika Rizka Salsabila

pembicaraan sampah mengoyak logika tiga belas ronde perdebatan tak henti saya berbusa! punuk-punuk timbul sebab merunduk terlalu bungkuk mereka akui khilaf, nahas tetap tulikan terhadap hasrat saya! pertikaian anti-mainstream pasal ilham adalah haram “dimana kebebasan sesungguhnya?” saya dikekang –diberi makan fitnah –disuntik doktrin –mereka yang tuatua konservatif Melankolia Karya Yonant

Pertanyaan

Apakah terjadinya kekerasan seksual memiliki keterkaitan dengan psikologis pelaku? Jika iya, apakah ada pencegahan yang bisa dilakukan sejak dini?

Jawaban

Lintang

Kesepian ongkang-ongkang dalam diri Enggan enyah entah sedari kapan Mungkin masih pengar? Sisa mabuk dua windu lalu. Limbung bahkan di siang lalu lalang.

Masih disesapnya ganja dari cerutu tua. Kesepian masih saja lalu lalang di kotakecilnya Masih ongkang-ongkang di dingin benaknya.

Tentu ada, justru, kebanyakan pelaku kekerasan seksual memiliki kondisi psikologi yang sebenarnya harus ditangani. Kalau dari sisi psikologis, keterkaitan ini bisa berlangsung bahkan sejak pelaku masih kecil. Makanya, pencegahan sejak dini sangat diperlukan, pencegahan ini kalau dalam psikologi boleh disebut dengan psikoedukasi. Psikoedukasi pada kekerasan seksual bertujuan untuk melakukan pencegahan dengan memberdayakan seseorang dengan mendidik seseorang dengan konsep yang relevan mengenai kekerasan seksual dan membantu menyadari berbagai situasi pelecehan yang akan mengajarkan mereka untuk menghindari perlakuan tersebut serta untuk mengembangkan strategi yang sesuai yang memungkinkan mereka untuk melawan pelecehan seksual, dan hal ini bisa dilakukan sejak dini. Pertama, perlunya penanaman moral dan agama dalam keluarga. Tanpa didikan akhlak, perlakuan, dan iman,

seseorang dapat berperilaku buruk, karena kurangnya hal yang dapat memotivasinya untuk berperilaku baik. Kedua, pentingnya pendidikan seks, seorang anak ataupun seseorang yang sudah bertambah dewasa, punya rasa ingin tahu yang besar tentang perihal seks, dengan edukasi yang kurang tentang informasi kondisi fisik perempuan dan laki-laki dan konsekuensi psikologisnya, seseorang akan melakukan segala hal untuk memuaskan rasa ingin tahu tersebut. Maka dari itu, pendidikan seksual sangat dibutuhkan, bukan fokus membahas hubungan seksual saja, tapi juga pandangan positif terhadap seks dan mengetahui akibat seks bebas. Sehingga dapat menghindari tindakan yang menyimpang dan terjadinya hal-hal negatif. Ketiga, penyebaran kesadaran akan bahaya kekerasan seksual. Hal ini bisa dilakukan oleh mahasiswa seperti kalian, contohnya dengan mengikuti kampanye, seminar, atau sekedar diskusi antar kelompok. Informasi yang bisa dimuat adalah bagaimana kekerasan seksual memberi dampak buruk bagi korban dan apa saja perlakuan yang sudah termasuk pelecehan sehingga orang yang membaca dapat menghindar perlakuan tersebut. Psikoedukasi ini sangat berperan karena bersifat zmencegah, semakin banyak dilakukan psikoedukasi tentang kekerasan seksual, diharapkan darurat kekerasan seksual bisa berkurang sedikit demi sedikit.

Pertanyaan

Jika kita mengenal seorang korban kekerasan seksual, bagaimana cara meyakinkan orang tersebut untuk meminta pertolongan secara profesional? Seperti yang diketahui, kebanyakan korban memilih untuk diam karena rasa takut.

Jawaban

Suasana yang kondusif sangat penting untuk korban meminta pertolongan. Pemberian suasana yang kondusif bagi korban untuk menceritakan kejadian yang menimpanya merupakan langkah pertama yang harus dilakukan, karena kekerasan seksual adalah hal yang sensitif. Karena korban akan merasa takut terhadap respon yang akan diberikan, seperti malah menyalahkan korban. Jadi, agar korban yakin untuk meminta pertolongan, sebagai orang yang dekat harus mampu membuat

korban percaya akan pertolongan tersebut akan kondusif dan aman. Hal ini bisa dilakukan dengan menampilkan kepercayaan dari kita sendiri pada korban. Contohnya, dengan kita bercerita suatu hal kepada korban, dapat menunjukan bahwa kita merasa aman dan empati dengannya, pada saat ini lah kita harus membangun image yang baik dengan membagikan pandangan kita. Setelah korban mendengar cerita kita, mereka akan menilai apakah kita bisa dipercaya atau tidak, jika mereka percaya, baru kepercayaan itu diperluas dengan ajakan untuk meminta bantuan professional

Pertanyaan

Dengan dampak yang dirasakan korban kekerasan seksual, bagaimana cara menyembuhkan psikologis korban yang kemungkinan besar sudah terganggu?

Jawaban

Penyintas kekerasan seksual tentunya akan mengalami dampak yang besar pada hidupnya. Dampak ini berupa trauma yang bisa muncul dengan perasaan cemas, takut, stress, sampai depresi. Untuk menyembuhkan kondisi ini, korban membutuhkan bantuan profesional dari seorang ahli, yaitu seorang psikolog yang akan menemani korban melewati masa sulit ini dengan melakukan terapi. Terapi ini bisa disebut intervensi yang menggunakan skill khusus seorang psikolog yang bertujuan memberi pertolongan terhadap kejiwaan korban. Hal ini ditujukan untuk mengurangi sampai menghapus kenangan buruk dan trauma yang menghantuinya setelah kejadian. Selain itu, dukungan dari sekitar juga sama pentingnya. Seperti dari keluarga dan teman, salah satu yang dapat dilakukan oleh pihak terdekat adalah terus menemani dan memberi kata-kata dukungan untuk korban, bisa juga dengan mengajak korban memperluas sudut pandang. Tentunya saat korban menyadari apa yang terjadi dengan dirinya, Ia akan menganggap dirinya kotor, nista, hina, dan terus menerus menyalahkan dirinya sendiri. Maka ajaklah perlahan untuk melihat peristiwa tersebut secara obyektif, sehingga perlahan juga korban akan berhenti merasa peristiwa itu terjadi karena dirinya. Tapi, penyembuhan psikologis tidak ada yang instan, harus sabar dan hati-hati karena berhubungan dengan jiwa seseorang.

25
Jeruji
KOnsultasi NOVEMBER 2022 24 PUISI NOVEMBER 2022
Dra. Endang Sri Indrawati, M.Si. Dosen Fakultas Psikologi Universitas Diponegoro Sumber Foto : Unsplash.com Sumber Foto : Dok. Pribadi

Tulus pada Kamis (3/3) lalu merilis album kelimanya yang bertajuk Manusia. Album terbarunya ini digarap dalam kurun waktu dua tahun ke belakang.

Album Manusia memiliki 10 daftar lagu. Judul “Manusia” sendiri merupakan representasi dari lagu-lagu di dalamnya yang menjadi cerminan dari berbagai ragam dinamika rasa yang kita alami sebagai manusia.

Sudut pandang Tulus dalam merangkai album ini sangatlah variatif, mulai dari semangat menjaga jiwa muda di tengah persoalan hati dan rasa, kemudian dilanjutkan dengan pertanyaan tentang hidup, apresiasi diri, hingga ragam emosi dalam merayakan kehidupan.

Single utama dalam album ini berjudul “Tujuh Belas”. Melalui lagu

ini, Tulus mengajak kita sebagai pendengar berwisata ke masa lalu sejenak untuk mengenang kisah kala usia tujuh belas. Masa di mana semua masih terasa meriah dan rasa takut pun tak menghalangi kita dalam memulai petualangan yang menunggu. Mendengarkan lagu ini sembari mengenang kisah muda rasanya bisa membangunkan sisi melankolis kita sesaat, mengingat bagaimana bebasnya kita dalam menjalani hidup, juga cobaan terberat yang kita punya hanyalah matematika. Dan kisah kita abadi untuk s’lama-

Lagu selanjutnya yang tak kalah ciamik adalah “Diri”. Lagu ini berseru kepada kita agar bisa berdamai dan jujur pada diri sendiri. Menghilangkan segala penyesalan dan luka yang mendalam, sebab kita terlalu berharga untuk jatuh terpuruk ke dalamnya. Mencintai dan berterima kasih pada diri sendiri merupakan poin yang ingin disampaikan Tulus dalam lagu ini.

Hidup bukanlah sesuatu yang bisa diperlombakan, jika lelah kita bisa menepi sebentar dan ambil napas dalam-dalam. Katakan pada dirimu, semua baik-baik saja.

Tak kalah dengan lagu-lagu lainnya, “Jatuh Suka” juga menjadi salah satu lagu dari album ini yang banyak disukai oleh warganet karena terasa relate dengan kisah asmara mereka. Bercerita tentang seseorang yang tengah kasmaran, di mana dunia selalu terasa berwarna merah muda untuknya. Jika kalian sedang mencintai seseorang tanpa terlihat, sepertinya lagu ini sangat cocok menjadi soundtrack perjalanan kisah tersebut. Bila kau lihatku tanpa sengaja, beginikah surga? Maafkan,

“Manusia”

aku jatuh suka.

Lagu berikutnya yaitu lagu yang sepertinya paling banyak digemari dari deretan lagu di album ini, yaitu “Hati-Hati di Jalan”. Lagu ini berhasil mencetak rekor baru dalam sejarah permusikan Indonesia dengan menduduki Top 50 Global di Spotify urutan ke-42 setelah lima hari dirilis.

Tak mengherankan, lagu “HatiHati di Jalan” ini memang memiliki nuansa yang bisa membuat kita merasa tersakiti walaupun sedang tidak patah hati. Melodinya yang menyayat hati, juga liriknya yang menyimpan sejuta kesedihan, seakan-akan bisa membuat kita merasakan menjadi orang paling merana sedunia. Berisi tentang bagaimana sepasang insan yang mengira bahwa mereka tercipta untuk bersama karena begitu banyak kecocokan yang mereka punya, ternyata akhirnya ujung kisah mereka tak seindah rencana. Kenangan yang masih teramat membekas, tetapi pada akhirnya waktulah yang akan menyembuhkan segalanya. Kukira ini ‘kan mudah. Kau, aku jadi kita. Hati-hati di jalan.

Selain lagu-lagu di atas, masih banyak pula lagu lainnya dalam album ini yang menyajikan berbagai emosi manusia, yaitu “Kelana”, “Remedi”, “Interaksi”, “Ingkar”, “Nala”, juga “Satu Kali”. Dalam pengerjaan albumnya ini, Tulus juga menggaet beberapa musisi andal Indonesia dalam penulisan lagunya, seperti Dere, Petra Sihombing, Topan Abimanyu, dan Yoseph Sitompul.

Kini, karya-karya hebat Tulus ini telah tersedia di berbagai platform pemutar musik digital kesayangan kalian. Mari dengarkan bersama. Maju terus permusikan Indonesia! (Nisa/ Manunggal)

Pixar kembali meluncurkan film animasi terbarunya dengan judul Turning Red di Disney+ Hotstar pada Jumat (11/3/22) lalu. Film ini hadir dengan semarak warna di dalamnya sehingga bisa membuat kita sebagai penonton merasa segar dan bersemangat sepanjang film ini ditayangkan.

Turning Red bercerita mengenai kisah Meilin Lee, seorang remaja perempuan 13 tahun keturunan Tiongkok-Kanada yang tinggal di Toronto, Kanada. Sekilas, Meilin Lee, atau yang lebih akrab dipanggil Mei, tak jauh berbeda dari remaja pada umumnya. Ia digambarkan sebagai seseorang yang ceria, penuh percaya diri, juga penggemar berat salah satu boyband. Ia juga sangat menyayangi kedua orang tuanya, Ibu Ming dan Ayah Jin.

Akan tetapi, ternyata Mei memiliki keistimewaan yang tidak dimiliki oleh remaja kebanyakan. Perbedaan yang bahkan dirinya sendiri pun tidak pernah tahu, sampai ia terlambat menyadarinya. Gadis berkacamata perak ini bisa berubah menjadi panda merah besar yang menggemaskan.

Ketika pertama kali menyadari perubahan fisiknya ini, tentu saja Mei terkejut luar biasa. Ia kalang kabut, tak menyangka apa yang telah terjadi padanya. Namun, reaksi kedua orang tuanya membuat ia tak kalah kaget pula, seakan-akan kejadian ini

memang sudah diprediksi sebelumnya dan pasti akan terjadi.

Ternyata, kemampuan berubah wujud ini merupakan warisan turun-temurun dari leluhur Mei. Kekuatan yang dulunya dipandang sebagai berkah, kini justru dianggap menjadi kutukan. Kekuatan ini akan muncul setiap kali Mei merasakan emosi yang berlebihan.

Keistimewaan ini bisa hilang melalui sebuah ritual yang hanya bisa dilakukan ketika gerhana bulan merah. Syaratnya, Mei tak boleh sering-sering berubah menjadi panda agar prosesi ini bisa berjalan dengan mudah.

Sejak perubahan yang dialami Mei ini, Ming menjadi super protektif padanya. Namun, yang tidak diketahui oleh Ming yaitu Mei justru memanfaatkan kekuatannya ini. Bersama ketiga sahabatnya, Abby, Miriam, dan Priya, Mei menggunakan kemampuannya ini untuk mengumpulkan uang demi mendekatkan diri dengan idola mereka. Walaupun harus dilakukan secara sembunyi-sembunyi, ternyata usaha mereka ini laku keras hingga Mei seakan-akan melupakan ritual yang harus ia lakukan.

Turning Red sejatinya memiliki tema yang sudah berkali-kali dikupas di banyak film lainnya, yaitu mengenai dinamika hubungan antara orang tua dengan anaknya yang mulai beranjak dewasa.

Mei remaja dapat digambarkan sebagai bom waktu yang dapat meledak kapan saja. Seorang anak yang selalu menuruti orang tuanya secara berlebihan hingga ia lupa tentang kebahagiaannya sendiri. Ia tidak pernah memiliki kesempatan untuk menentukan jalan hidupnya. Segala yang ia lakukan telah disusun dengan sangat rapi oleh orang tuanya hingga ia tidak perlu lagi membuat keputusan. Dituntut untuk selalu menjadi sempurna, tidak bisa mengerjakan apa yang kita suka, rasanya benar-benar menyesakkan.

Meskipun demikian, Turning Red tetap menjadi salah satu film yang sangat menarik dan pantas untuk disimak. Pixar berhasil menyulap topik yang sederhana ini menjadi terasa kontemplatif bagi penonton, terlebih lagi mereka yang telah melewati masa remaja dan beranjak dewasa.

Film ini sangat cocok untuk ditonton bersama keluarga, terkhususnya dengan ibu. Melalui film ini, kita sebagai anak bisa memahami mengapa orang tua kadang terkesan terlalu menuntut dan mengekang. Juga orang tua, akan dapat mengerti apa yang sebenarnya diinginkan oleh sang anak. Hubungan antarmanusia memanglah sangat merumitkan karena tak ada rumus pasti di dalamnya. Namun, kita bisa samasama belajar dan saling memahami agar hubungan yang dipunya ini bisa tetap hangat sampai ujung dunia nanti. Selamat menonton! (Nisa/Manunggal)

27 26 NOVEMBER 2022 novEMBER 2022
RESENSI LAGU
TRAILERS MORE LIKE THIS DETAILS RESENSI FILM Sutradara : Domee Shi Produser : Lindsey Collins Produksi : Walt Disney Pictures Pixar Animation Studios Tanggal rilis : 1 Maret 2022 Negara : Amerika Serikat Durasi : 100 menit Pemain : Rosalie Chiang, Sandra Oh, Ava Morse, Maireyi, Hyein Park, Orion Lee, Wai Ching Ho, James Hong + my list MY LIST LATEST MOVIES TV SHOW HOME MANUFLIX Turning Red, Kisah Remaja 13 Tahun dan Perubahan Dirinya Sumber Foto : Pinterest.com
Foto : Spotify
OVERVIEW
Sumber
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.