Jurnal Kopkun Institute Vol I Artikel 004/ 2015

Page 1

JURNAL KOPKUN INSTITUTE | ARTIKEL VOL. I No.003/2015

HAL 1

EKONOMI (ASAS) KEKELUARGAAN Oleh: Dodi Faedulloh, HC*.

“Kemudian ekonomi kekeluargaan menghargai ruang-ruang individualitas, oleh karenanya tidak serta merta menjadi pelembagaan sebagai sistem ekonomi yang membunuh hak milik secara serampangan. ”

EKONOMI YANG TERCERABUT Saat ini ekonomi semakin tercabut dari entitas-entitas lain. Ia tak lagi berakar sosial, tidak berlandas pada kultural, tidak mempertimbangkan ekologi, hanya berdiri kokoh sendiri minus refleksi apapun. Ekonomi tak lebih menjadi usaha pencarian profit. Apapun jalannya boleh dilakukan dengan bebas. Bisa dengan cara santun ataupun langkah kekerasan. Tergantung bagaimana respon rakyat yang menjadi objek ekonomi. Indonesia termasuk salah satu negara yang juga turut merayakan ekonomi pengejar untung ini. Jauh meninggalkan jejak warisan filosofi berkekonomi yang telah dibangun para pendahulunya. Warisan itu bernama ekonomi kekeluargaan yang kian hari lebih mirip menjadi mitos, karena konteks kontemporer selalu mencerminkan sama sekali tidak ada nilai kekeluargaan dalam rancang bangun ekonomi di Indonesia. Membicarakan kembali ekonomi kekeluargaan, hemat saya, masih menjadi suatu usaha yang perlu digalakan lebih keras. Terlebih rezim ekonomi yang bercokol tidak pernah berubah walaupun pemerintah yang berkuasa sudah beberapa kali berganti. Apalagi bila mengenang luka lama zaman orde baru, yang telah berhasil mengimplementasikan ekonomi kekeluargaan dikorupsi menjadi ekonomi keluarga, merunyamkan makna yang terkandung dari nilai kekeluargaan itu sendiri. Oleh karenanya ekonomi kekeluargaan seakan menjadi ikhwal yang tidak memiliki kekuatan untuk menjadi asas. Ekonomi mainstream pun sanksi bila kehidupan ekonomi bisa berasaskan kekeluargaan. Karena ekonomi hanya bisa bergerak dengan fondasi sistem pasar. Hal ini semakin didukung dengan kurikulum ekonomi di berbagai perguruan tinggi Indonesia yang menjelaskan secara 'ilmiah' ekonomi tak lain adalah pasar bebas. Krisis demi krirsis yang terjadi sebagai bukti rusaknya sistem ekonomi pasar bebas seperti diabaikan dalam kajian-kajian khas ekonomi arus utama tersebut. Praktik ekonomi pasar bebas tetap begitu gencar dan hegemonik. PERSAUDARAAN Mendorong ekonomi kekeluargaan tentu bukan sekedar perayaan romantik, atau sentimentil karena alasan ini Indonesia banget.

Karena alasan demikian tidak mencukupi untuk menjelaskan pentingnya dalam mengusung ekonomi kekeluargaan. Memang karakter gotong royong melekat di sendi-sendi kehidupan rakyat Indonesia, tapi hal ini tentu tidak terjadi di sini saja. Perlu diingat masyarakat Eropa abad pertengahan punya ikatan sosial yang tinggi dan telah terbiasa dalam pola kerjasama, misal dalam kerja membuat saluran air dan irigasi. Di tempat lain bentuk-bentuk kerjasama ada Fruiters di Perancis, Fads di India, Ejido di Meksiko atau Ayllu di Peru. Jadi gotong royong tidaklah IndonesiaIndonesia banget. Corak-corak ekonomi yang mirip juga berlaku di belahan dunia lain. Oleh karenanya perlu kekuatan argumentasi yang lebih komprehensif dan memiliki daya eksplansasi yang luas dalam menjawab pertanyaan, “Mengapa ekonomi kekeluargaan?” Makna konsep kekeluargaan dalam asas ekonomi belum ajeg. Kadang term kekeluargaan sendiri dalam bahasa sehari-hari berkonotasi negatif sebagai kompromi, jalan damai dalam suatu perkara tertentu, atau persekongkolan. Maka dalam tulisan ini, saya akan mencoba menguraikan definisi ekonomi kekeluargaan. Saya lebih memilih makna asas kekeluargaan sebagai persaudaraan (brotherhood). Selayaknya saudara, maka haram adanya praktik eksploitatif dalam relasi ekonomi. Pun selayaknya saudara maka tidak ada pertarungan yang saling mengalahkan. Begitupula dalam kehidupan ekonomi kekeluargaan yang bertujuan untuk kesejahteraan rakyat. Dengan kata lain bila ada corak ekonomi yang mencari keuntungan lebih sebagai tujuan (bukan alat mencapai kesejahteraan), dengan sendirinya ia tak lagi bersifat kekeluargaan karena senantiasa mengkondisikan ada yang menjadi pusat, ada yang sub-ordinat. Alhasil yang tercipta adalah ketimpangan: ada segelintir pihak yang menguasai banyak pihak. Kontitusi negara kita UUD 45 menuangkan gagasan pentingnya asas kekeluargaan dalam ekonomi. Ada pasal 33 ayat 1 yang secara ekplisit menjelaskan, “Perekonomian disusun atas usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan.” Mengenai amanah konstitusi ini menarik memperhatikan pendalaman Sri-Edi Swasono terhadap

FOOTNOTE: * / Deputi Riset dan Pengembangan Kopkun Institute dan Dosen Administrasi Publik Universitas 17 Agustus 1945, Jakarta. HC kepanjangan dari Homo Cooperativus atawa Insan Koperasi. Kontak: 085723504025 | www.dodifaedlulloh.com


JURNAL KOPKUN INSTITUTE | ARTIKEL VOL. I No.002/2015

HAL 2

Per Mei 2015 koperasi yang aktif hanya 147.249 dari data sebelumnya yang menyebut 209.483 koperasi. Dari jumlah itu sebanyak 80.008 koperasi (54,34%) melaksanakan RAT dan 67.241 koperasi (45,66%) yang belum melaksanakan RAT.

pasal tersebut. Ia menjelaskan makna “disusun” berarti tidak dibiarkan begitu saja perekonomian berlangsung sesuai dengan selera pasar. Sedangkan bentuk perekonomian adalah badan-badan usaha yang dihimpun oleh rakyat, untuk rakyat dan tujuannya kesejahteraan rakyat itu sendiri. Yang jelas badan usaha harus mengikuti rel paham "disusun sebagai usaha bersama berdasar asas kekeluargaan" yang artinya, minimal ada co-ownership. Kemudian "usaha bersama" perlu berlandaskan pada mutualisme atau kepentingan bersama yang berlaku asas kekeluargaan, brotherhood, yang bukan kinship atau kekerabatan [1]. Walaupun tidak eksplisit, lanjutan dalam pasal 33,. ayat 2 dan ayat 3 bisa menjadi intisari dari asas kekeluargaan. Pasal lain yang merefleksikan inti dari asas kekeluargaan adalah pasal 27 ayat 2 yang berbunyi, “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.” Lewat pembacaan kontitusi ini, bisa ditarik substansi penting dari asas kekeluargaan, yaitu hal ikhwal yang berhubung erat dengan kebersamaan, egaliterisme, gotong-royong dan nilai-nilai kemanusiaan. Namun seiring berjalan, praktiknya masih bak panggang jauh dari api. Pasal fondasi perekonomian di Indonesia ini telah diamandemen. Efisiensi ternyata dinilai lebih penting dari kekeluargaan. Tak lebih, katakata seperti ekonomi kekeluargaan, ekonomi kerakyatan memang selalu berhasil dijadikan materi politisasi. Ada problem akut yang menjalar dalam tubuh negara dalam mengelola ekonomi. Ekonomi asas kekeluargaan harus bekerja sejalan dengan nilai yang ada dalam masyarakat. Maka praktiknya nilai-nilai ekonomi tidak bertentangan dengan nilai sosial masyarakat yang berlaku. Kemudian ekonomi kekeluargaan menghargai ruang-ruang individualitas, oleh karenanya tidak serta merta menjadi pelembagaan sebagai sistem ekonomi yang membunuh hak milik secara serampangan. Karena masalah pokok dalam sistem ekonomi pasar bebas bukan pada private proverty-nya tapi individual wealth accumulation melalui perampasanperampasan hak publik atau yang disebut Marx sebagai primitive accumulation. Implikasinya hak milik pada ekonomi kekeluargaan harus memiliki dampak publik.

Dengan kata lain individu-individu berhak memiliki hak milik, sejauh hak milik tersebut bisa memberikan sumbangan konkret bagi kehidupan bersama. Mengikuti Moh. Hatta, individualitas beda hal secara prinsipil dengan individualisme. Individualitas adalah soal kesadaran atas harga diri, yaitu tentang karakter kekukuhan watak seseorang yang bisa diapresiasi oleh orang lain. Karenanya individualitas satu kesatuan semangat dengan solidaritas. Sedangkan individualisme menuntut individu bisa bebas lepas tidak terikat dari masyarakat dan mendahulukan hak individu daripada hak masyarakat, oleh karenanya menurut sang founding father individualisme tidak bisa memajukan kemakmuran rakyat [2]. MEMULAI PROSES Ekonomi kekeluargaan jangan sampai terjebak menjadi sekedar seruan moral, oleh karena itu perlu daya dukung kuat yang lebih terorganisir. Seperti yang telah ditawarkan Dawam Rahardjo dalam beberapa kesempatan, perjuangan tersebut di antaranya yaitu dengan membuat undang-undang perekonomian Indonesia yang kelak menjadi landasan garis-garis besar sistem ekonomi Indonesia. Rencana regulasi ini menjadi dokumen resmi mengenai sistem ekonomi Indonesia yang berisi perkembangan konsep perekonomian yang telah tertuang dalam pasal-pasal yang disebut dalam tulisan ini. Dalam rencana rancang bangun ekonomi Indonesia perlu disusun melalui tiga proses. Pertama ontologi, yakni pembahasan mengenai latar belakang historistruktural. Ontologi berisi persoalan-persoalan pokok yang dihadapi Indonesia. Kedua epistemologi, yaitu cara pemahaman dan pemecahan masalah. Yang ketiga aksiologi berupa tujuan perekonomian Indonesia di masa mendatang [3]. Tentunya sebelum melangkah jauh ke sana, aksi yang paling dekat dari kita semua, yaitu memulai membangun usaha-usaha untuk mewujudkan kemandirian ekonomi yang sebangun dengan asas kekeluargaan. Siap? []

FOOTNOTE: 1 / Sri-Edi Swasono. Koperasi dan UUD Borjuis. dalam Kompas 12 Juli 2013. 2 / Mohammad Hatta, Beberapa Fasal Ekonomi: Djalan ke Ekonomi dan pembangunan, (Djakarta, Dinas Penerbitan Balai Pustaka, Tjetakan keenam, 1960). 3 / Ekonomi di Indonesia Berdasarkan Rasa Kekeluargaan. dalam Gemari Edisi 96/Tahun IX/Januari 2009.


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.