Jurnal Kopkun Institute Vol I Artikel 001/ 2015

Page 1

JURNAL KOPKUN INSTITUTE | ARTIKEL VOL. I No.001/2015

HAL 1

STUDI KASUS: POSTER Pada awal 2015 Kopkun Institute menyelenggarakan riset tentang menarik-tidaknya desain poster kegiatan Koperasi Mahasiswa (Kopma). Riset itu dilakukan dengan mengambil 25 poster Kopma-kopma di Indonesia secara acak melalui wall facebook mereka. Penilaian terhadap desain poster itu fokus pada beberapa aspek seperti: 1). Keterkaitan desain dengan tema kegiatan; 2). Pilihan gambar pendukung; 3). Pilihan dan paduan warna; 4). Pilihan dan paduan jenis huruf; 5). Tata letak huruf, bidang dan garis; 6). Eye catching. Keenam aspek itu dinilai oleh tiga desainer grafis (yang sedikitnya sudah lima tahun bekerja) dengan skor sebagaimana di bawah [1]. Hasil rerata penilaian tiga desainer grafis tersebut dapat kita katakan sebagai penilaian yang obyektif dan tentu saja masing-masing mereka tak pernah bertemu satu sama lain. Riset itu menemukan rata-rata tiap poster memperoleh skor terendah 1.2 poin dan tertinggi 7.3 poin dari enam aspek penilaian. Secara berturut-turut skor tiap poster sebagai berikut:

Dari 25 poster tersebut rata-rata skor 3.3 poin yang artinya secara umum poster-poster kegiatan Kopma dinilai “tidak menarik” atau minimalnya “kurang menarik”. Temuan itu bisa diperdalam melalui riset dengan metode dan sampel yang lebih komprehensif. Namun sebagai eksplorasi awal temuan itu bisa menunjukkan bagaimana Kopma selama ini tak mampu menampilkan diri penuh gaya dan menarik di publik. GAYA DAN SPIRIT Selain desain poster, sebenarnya kita bisa melihat kelemahan yang sama pada beberapa hal lainnya: Ÿ Backdrop/ spanduk kegiatan seminar/ pelatihan yang seringkali asal-asalan, yang tak disadari justru merusak pandangan;

Website yang tak terkelola dengan apik dan jarang up date; Akun social media (facebook dan twitter) yang kurang gaul; Logo lembaga yang kurang luwes, mayoritas bentuk lingkaran; Seragam yang terlalu formal dan tak menampilkan kemudaan; Gaya surat, proposal dan kesekretariatan lainnya yang itu-itu saja. Terjebak pada formalisme gaya dan monoton.; Ÿ Buletin atau majalah terbitan yang dikemas asal-asalan.

Ÿ Ÿ Ÿ Ÿ Ÿ

Media merupakan salah satu kunci penting dalam aktivitas sosialisasi dan promosi keanggotaan serta kelembagaan pada umumnya. Tentu saja itu sangat mempengaruhi kesan pertama publik terhadap lembaga. Kesan itu misalnya: serius, profesional, asal jalan, dinamis, gaul dan seterusnya. Maka Kopma harus bisa mendefinisikan kesan seperti apa yang ingin ditawarkan kepada publik dan menerjemahkannya ke dalam berbagai desain media atau material peraga lainnya. Di ruang lain swasta sudah berlari kencang dalam mengemas dan mengelola kesan/ citra. Dengan menyadari pentingnya citra, investasi jutaan hingga miliaran rupiah mereka keluarkan untuk mem-branding atau me-rebranding perusahaannya. Namun membandingkan Kopma dengan perusahaan swasta tentu tak sepadan, bukan? Agar perbandingannya apple to apple mari kita bandingkan Kopma dengan komunitas-komunitas anak muda yang hari ini tumbuh dimana-mana. Komunitas anak-anak muda itu seringkali mengangkat isu: pendidikan, kepemimpinan lingkungan hidup, kewirausahaan sosial dan sejenisnya [2], lebih terlihat dinamis dan apik dalam mengemas citranya. Meski sama-sama “muda”, terlihat kontras antara Kopma dengan komunitas seperti itu. Seolah ada spirit darah muda yang hilang di Kopma-kopma. Kopma tak mampu menampilkan diri sebagai organisasi anak muda yang penuh gairah, kreativitas dan inspirasi; Sebaliknya seolah terjebak pada citra formal, status quo, stabilitas dan sebagainya. Kopma menjadi organisasi anak muda yang menua.

FOOTNOTE: * / Direktur Kopkun Institute dan Inisiator #futuresstudiesID serta FutureBanyumas.ID. HC kepanjangan dari Homo Cooperativus atawa Insan Koperasi. Kontak: 082134921369 | www,firdausputra.com 1 / Skor penilaian yakni: 8-10: Sangat bagus/ pas/ menarik/ cocok | 6-7: Bagus/ pas/ menarik/ cocok | 4-5: Kurang bagus/ pas/ menarik/ cocok | 1-3: Tidak bagus/ pas/ menarik/ cocok 2 / Gerakan anak muda hari ini sedang tumbuh dan berkembang massif. Mereka lebih suka menggunakan term “anak muda” dibanding “pemuda” yang secara politik berasosiasi dengan Orde Lama dan Orde Baru. Tak hanya di Indonesia, secara global gerakan anak muda juga berkembang pesat. Mereka gunakan term “youth” sedang gerakannya berpola “youth social venture”. Di Indonesia bisa kita tunjuk: Indonesian Future Leader, Forum Indonesia Muda, Forum Menjadi Indonesia, Gerakan Literasi Indonesia, Indonesia Mengajar, Indonesia Menyala, Indonesia Changemaker dan lain-lain. Setiap tahun mereka akan bertemu dalam Indonesian Youth Summit/ Conference, untuk tukar pengalaman, strategi, best practice dan saling menginspirasi.


JURNAL KOPKUN INSTITUTE | ARTIKEL VOL. I No.001/2015

HAL 2

Kampanye digital harus dikuasai sebagai metode sosialisasi, promosi dan propaganda gerakan. Mereka harus mengusai dunia penulisan kreatif yang dengan kata-katanya dapat menginspirasi banyak orang. Tak ketinggalan mereka juga harus bisa desain grafis sebagai kebutuhan paling dasar dalam dunia digital. Dan semua itu harus dilatih dan diprogramkan pada tiap Kopma.

ANAK MUDA 2.0 Studi kasus poster di atas merupakan cerminan dari paradigma yang berkembang di Kopma. Tak bisa kita beri alasan bahwa poster-poster tersebut tidak/ kurang menarik karena rendahnya keterampilan desain grafis. Hal itu patah ketika kita bandingkan dengan komunitas anak muda lainnya. Jadi masalah mendasarnya terletak pada paradigma Kopma. Kopma masih terkungkung pada paradigma dan cara lama. Mereka lupa bahwa semangat zaman (zeitgeist) sudah berubah. Dengan adanya social media, smart phone, internet, selfie culture dan sebagainya anak muda hari ini memiliki gaya yang khas berbeda dengan anak muda era 90an [3]. Social media, smart phone dan internet telah merubah mereka menjadi Anak Muda 2.0. Anak Muda 2.0 (baca: two point zero) merupakan anak muda kekinian yang lebih suka melihat meme daripada membaca tulisan panjang; Lebih suka melihat infografis daripada teks-teks. Mereka terbiasa dengan gambar-gambar full color olahan digital imaging yang bertaburan di dunia maya. Mata mereka jadi makin sensitif pada warna-warna, ikonikon, viral, tagline yang asik dan berbagai kode-kode budaya kontemporer. Anak Muda 2.0 merupakan anak-anak muda dengan stok imajinasi dan kreativitas melebihi era 90an. Mereka dibesarkan dalam dunia maya yang menawarkan ragam informasi dari teks, gambar hingga video. Mereka menghidupi ruang publik maya yang demokratis dan menuntut partisipasi (seperti pada portal Change.org). Anak-anak muda itu tak lagi bisa didekati dengan rumus dan cara/ gaya 90an. Mereka adalah anak muda digital yang saban hari selalu membuat status, ngetwit, baca berita online, nonton film online dan seterusnya dan seterusnya. KADER KOPERASI 2.0 Mendekati anak-anak muda di era 2.0 ini maka kader-kader koperasi, khususnya Kopma, harus memiliki paradigma Kader Koperasi 2.0. Kader Koperasi 2.0 merupakan kader yang memiliki cara pandang: terbuka, kreatif, penuh gairah dan inspiratif. Kader Koperasi 2.0 berbeda dengan para hipster [4] yang “sok pinter dan penuh gaya”, sebaliknya mereka adalah kader koperasi yang penuh karya baik social venture atau business venture. Kader Koperasi 2.0 tentu saja harus menguasai kode-kode budaya anak muda kekinian. Harus dapat memproduksi video-video atau memememe menjadi viral yang menyebar luas seperti virus.

Dalam cara berpikir, Kader Koperasi 2.0 harus futuristik/ visioner. Artinya mereka dapat membayangkan kondisi pada 5, 10 bahkan 20 tahun yang akan datang. Kader-kader Kopma harus mengisi ruang kosong futures studies (kajian tentang masa depan) di Indonesia yang rendah [5]. Orientasi pada masa depan itu pada gilirannya akan membuat Kopma selalu bergerak secara strategis, dinamis, inovatif dan penuh gairah. Kader Koperasi 2.0 tentu saja akan merasa risih dan jengah dengan logo resmi koperasi warisan masa lalu yang begitu menjemukan. Mereka akan melawan kelampauan, kejumudan, status quo yang mengkerdilkan semangat anak muda. Mereka senantia hidup dengan gelora anak muda yang penuh mimpi dan imajinasi. Kader Koperasi 2.0 juga harus menyadari pentingnya produksi pengetahuan perkoperasian [6]. Mereka dituntut tak hanya bisa berjualan, berbisnis, berwirausaha semata. Melainkan harus mampu berwacana agar produksi pengetahuan perkoperasian di Indonesia berkembang. Kader Koperasi 2.0 sederhananya harus mampu berkarya (nyata) sekaligus berpikir (abstrak). DARAH MUDA: PERUBAHAN Ben Anderson, seorang Indonesianis kebangsaan Amerika, mengamati betul-betul lika-liku sejarah Indonesia yang sampai ujungnya dia menyimpulkan, “Perubahan-perubahan penting di republik ini selalu dimotori oleh anak muda”. Anderson melihat momen-momen sejarah Indonesia yang diwarnai anak muda seperti 1928, 1945, 1966 dan 1998. Anak muda menjadi loko perubahan sosial. Bila demikian sejarah berkata, maka kondisi perkoperasian di Indonesia yang selalu kita keluh-kesahkan penuh masalah di berbagai forum, akan berubah bila anak-anak mudanya memulai. Anak-anak muda itu adalah para kader koperasi mahasiswa dan koperasi pemuda lainnya yang seiya-sekata untuk mulai merubah dirinya terlebih dulu. Kader-kader muda itulah yang pada gilirannya akan merubah koperasi-koperasi di masyarakat luas di Indonesia. Sejarah sudah mencatat rentetan momentum itu, maka saat ini gilirannya kaderkader koperasi mahasiswa/ pemuda memulai langkah besar itu. Jika tidak, maka ucapan dan keyakinan Soekarno, “Beri aku 1000 orang tua, niscaya akan kucabut Semeru dari akarnya. Beri aku 10 pemuda, niscaya akan kuguncangkan dunia”, perlu dikoreksi. Dan semoga kita tak perlu koreksi kalimat legendaris itu. Ya, semoga! []

FOOTNOTE: 3 / Internet, social media sudah merubah lansekap kebudayaan peradaban manusia. Keterbukaan, kecepatan, keluasan, keserbamungkinan, keterhubungan, kemajemukan adalah penanda dunia digital. 4 / Survai Kompas (2012) menyematinya sebagai Kelas Menengah Ngehe’ atau Kelas Menengah Berisik yang hanya berceloteh dan berpangku tangan pada negara, cenderung apatis secara politik. 5 / Futures Studies di Indonesia sangat rendah. Ironisnya Indonesia tak bergabung dalam Federasi Futures Studies Asia Pasifik. Kalah dengan Malaysia, Singapura, Thailand, Taiwan, India bahkan Srilanka. 6 / Di tingkat global, kegelisahan itu muncul misalnya pada Konferensi First Asia Pacific Co-operative Research Partnership Conference February 5-7 2015, Bangkok, Thailand. Konferensi tersebut merupakan tindak lanjut dari salah satu Resolusi Bali (8th Co-operative Forum and 11th ICA-AP Regional Assembly, Bali, Indonesia tahun 2014) tentang perlunya penguatan riset sosial ekonomi dan koperasi.


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.