5 minute read

Kajian: Uang Kuliah Tunggal

Oleh Kementerian Kajian dan Aksi Strategis BEM Kema FEB Unpad Universitas Padjadjaran

Lahirnya kebijakan UKT berangkat dari ide Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia untuk mengadopsi sistem pembayaran akademik pendidikan tinggi yang hanya berupa tuition fee seperti banyak diterapkan di luar negeri. Wacana mengenai penerapan SPP tunggal ini kemudian dibahas dalam Rapat Rektor PTN se-Indonesia tanggal 20 Januari 2012. Setahun kemudian, terbitlah Surat Edaran Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Nomor 97/E/KU/2013 tertanggal 5 Februari 2013. Dalam surat edaran yang ditujukan kepada para pimpinan perguruan tinggi negeri (PTN) seIndonesia itu, Dikti meminta seluruh PTN di Indonesia untuk melaksanakan dua hal, yakni:

Advertisement

1. Menghapus uang pangkal bagi mahasiswa baru program S1 Reguler mulai tahun akademik 2013/2014. 2. Menetapkan dan melaksanakan tarif Uang Kuliah Tunggal bagi mahasiswa baru S1 Reguler mulai tahun akademik 2013/2014.

Diberlakukannya dua poin di atas membuat mahasiswa baru tahun akademik 2013/2014 hanya perlu membayar SPP satu kali per semester dengan besaran yang sama pada tiap semesternya selama masa studi tanpa ada lagi pungutan atau biaya-biaya lain yang dibebankan kepada mahasiswa. Besarnya UKT sendiri berasal dari unit cost dikurangi bantuan atau subsidi pemerintah berupa BOPTN yang kemudian didistribusikan secara merata ke dalam setiap semester. Tahun ini, Kementerian Pendidikan menjanjikan anggaran BOPTN naik Rp 1,5 triliun dari tahun sebelumnya menjadi sebesar Rp 2,7 triliun untuk seluruh PTN di Indonesia, Unpad dijanjikan akan mendapat gelontoran dana BOPTN sebesar Rp 84 miliar. Sementara itu, unit cost yang dimaksud merupakan seluruh komponen biaya baik itu biaya langsung maupun biaya tak langsung yang diperlukan mahasiswa selama masa kuliah, dengan penjelasan sebagai berikut: 1. Biaya langsung (bl) adalah nilai sumber daya yang digunakan untuk melaksanakan aktivitas inti sedangkan biaya tidak langsung (btl) adalah nilai dari sumber daya yang digunakan untuk melakukan aktivitas managerial, baik di tingkat fakultas maupun universitas.

Kajian

2. Biaya langsung terdiri dari biaya tenaga kerja langsung (gaji & honor dosen) bahan habis pakai pembelajaran; sarana dan prasarana pembelajaran langsung. 3. Biaya langsung dihitung berdasarkan aktivitas langsung per mahasiswa di tiap semester. 4. Biaya langsung terdiri dari biaya sumber daya manusia manajerial dan non dosen, sarana & prasarana non pembelajaran; pemeliharaan; serta kegiatan pengembangan institusi (penelitian, penmas, kemahasiswaan, pengembangan program). 5. Biaya langsung fakultas yang dibebankan ke unit cost sesuai dengan proporsi jumlah mahasiswa sarjana setiap prodi terhadap jumlah mahasiswa total di fakultas 6. Biaya tak langsung universitas perlu dihitung dan dibebankan ke program pendidikan sarjana/diploma.

Dengan demikian diharapkan, biaya riil per semester bisa lebih dipantau pengelolaannya, dan pendidikan tinggi menjadi lebih terjangkau. Kebijakan baru ini juga memungkinkan pemerintah untuk mengatur besaran minimum dan maksimum SPP di perguruan tinggi mengingat ketimpangan besaran SPP antarperguruan tinggi sangat besar. Sampai sini, kebijakan UKT masih tampak bertujuan baik bagi masyarakat. Permasalahan muncul ketika UKT dikhawatirkan akan melambungkan biaya kuliah. Walau sejauh ini, semua PTN termasuk Unpad masih menghitung seluruh pengeluaran universitas yang menjadi tanggungan mahasiswa baru untuk mengetahui besaran UKT yang akan diberlakukan dan diajukan ke Ditjen Dikti untuk mendapat pengesahan, banyak kalangan khawatir, jika universitas nantinya akan membebankan standar unit cost yang tinggi kepada mahasiswa baru. Di Unpad, kekhawatiran tersebut semakin menjadi, pasca beredarnya informasi bahwa pada tahun akademik 2013/2014 ratarata biaya kuliah akan naik sebesar 300 persen menyusul pemberlakuan UKT.

Setelah mencoba menganalisa dilematika penerapan UKT dari berbagai dimensi, secara umum, ada beberapa hal penting dari kebijakan ini yang menurut kami perlu untuk dikritisi dan memunculkan beberapa pertanyaan. Pertama, jika biaya UKT dihitung dari total biaya yang dibutuhkan mahasiswa selama studi, maka itu sama halnya mahasiswa membayar Dana Pembangunan, SPP dan sumbangan-sumbangan lain, hanya saja melalui sistem cicilan tanpa uang muka. Tidak ada pergerakan harga, hanya cara bayarnya yang berubah.

Kajian

Pertanyaannya sekarang, apakah sistem ini benar-benar akan meringankan masyarakat atau justru menurunkan kelayakan bayar masyarakat? Tentu diperlukan penelitian dan studi komprehensif untuk menjawab pertanyaan tersebut mengingat tingkat ekonomi masyarakat Indonesia yang sangat bervariasi, begitupula kecenderungan perilaku konsumsinya dan pengaruhnya terhadap kondisi psikologis. Pertanyaannya lagi, apakah sebelum membuat kebijakan ini pemerintah sudah mempelajari peta tersebut? Ironis jika belum, karena artinya, pemerintah lagi-lagi sekadar mengikuti sistem negara lain hanya karena dinilai berhasil tanpa memahami kondisi sosiokultural Indonesia dan kebutuhan masyarakat yang sesungguhnya. Dengan demikian, urgensi pemerintah menerapkan kebijakan ini kurang tepat sasaran.

Kedua, sesuai dengan apa yang diamanatkan Undang-undang Pendidikan Tinggi (UUPT) pasal 74 ayat 1 yang menyebutkan PTN wajib mencari dan menjaring calon mahasiswa yang memiliki potensi akademik tinggi tetapi kurang mampu secara ekonomi minimal 20% dari seluruh mahasiswa baru di semua prodi, hendaknya penerapan uang kuliah didistribusikan dengan sistem berkeadilan sosial. Penerapan UKT yang dipukul sama rata justru berpotensi menjadi paradoks dari komitmen tersebut.

Ketiga, penerapan model UKT berpotensi membuat PTN mengalami defisit anggaran di dua tahun pertama. Walau dari hitungan kasar kami hal ini tidak akan terjadi, tetapi bagaimana jika aliran dana BOPTN tidak lancar? Karena pendapatan pada awal tahun ajaran yang bersumber dari uang pangkal akan menurun drastis, cash flow PTN menjadi amat tergantung kepada dana BOPTN tersebut, sehingga akan berbahaya jika aliran dana BOPTN terhambat. Sekarang asumsikan bahwa dana BOPTN lancar, kondisi PTN yang menjadi sangat tergantung pada BOPTN ini bisa menimbulkan masalah baru, yaitu transparasi aliran pemasukan yang semakin tidak jelas sehingga memperbesar kemungkinan terjadinya fraud.

Keempat, kita asumsikan bahwa biaya kuliah akan benar-benar naik sebesar 300% di Unpad. Yang menjadi persoalan sekarang, apakah akan ada transparansi mengenai rincian kemana uang-uang tersebut dialokasikan? Variabel-variabel apa saja yang mendorong kenaikan harga tersebut? Apakah alasan kenaikan biaya tersebut cukup masuk akal? Apakah kenaikannya proporsional? Jika alasannya tidak jelas dan semata mengambing-hitamkan UKT, kita pantas menolak.

Kajian

Pasalnya berdasarkan hasil pehitungan kasar kami, ada selisih cukup besar antara pemasukan Unpad dari UKT (tarif SPP baru plus BOPTN) dengan pemasukan Unpad non-UKT di tahun 2012 (SMUP, SNMPTN plus subsidi pemerintah). Jadi kemana selisih tersebut dialokasikan?

UKT hampir mustahil untuk dihindari. Suka tidak suka kebijakan ini tetap akan diterapkan pada tahun akademik 2013/2014. Sembari menunggu keputusan Mendikbud dan Ditjen Dikti mengenai besaran UKT, Kementerian Kajian dan Aksi Strategis BEM Kema FEB Unpad menyatakan akan menerima kebijakan ini, dengan syarat-syarat sebagai berikut: 1. Adanya transparansi alokasi biaya 2. Adanya kejelasan mengenai sistem subsidi dan sistem pendistribusian beasiswa 3. Adanya jaminan perlindungan bagi mahasiswa berekonomi lemah sebagaimana sempat disinggung oleh Rektor Universitas Padjadjaran, Prof. Ganjar Kurnia dalam wawancaranya bersama Tempo.com bahwa tidak akan ada mahasiswa yang dikeluarkan karena kesulitan biaya. 4. Adanya sosialisasi yang memadai dan komunikasi yang baik antara Berdasarkan pemaparan di atas, Kementerian Kajian dan Aksi Strategis BEM Kema FEB Unpad merekomendasikan beberapa langkah pengawalan terhadap sistem UKT, antara lain: 1. Mengadakan audiensi dengan rektorat mengenai penerapan kebijakan UKT, termasuk di dalamnya menuntut transparansi alokasi biaya, dan kejelasan mengenai subsidi dan pendistribusian beasiswa serta penangguhan pembayaran bagi mahasiswa yang memiliki kesulitan finansial. 2. Membuat suatu MOU yang memiliki kekuatan hukum dari hasil audiensi yang mencakup seluruh janji rektorat dan pihak universitas 3. Mengadakan follow up atas implementasi janji rektorat dan melakukan evaluasi 4. Berupaya memfasilitasi penyebaran informasi dan mengedukasi mahasiswa mengenai penerapan UKT dan segala hal yang berkaitan dengan advokasi. (RHM)

This article is from: