
4 minute read
AGILITY, BUKAN SINGA YANG MENGEMBIK
Jumlah Halaman : 254 ISBN : 978-602-03-1198-2 Bahasa : Indonesia Penulis : Rhenald Kasali Penerbit : Gramedia Pustaka Utama, Jakarta (2014) Dimensi : 18 x 24 cm
“Seratus kambing yang dipimpin seekor singa akan jauh lebih berbahaya ketimbang seratus singa yang dipimpin oleh seekor kambing”. Itulah kutipan Charles Maurice de Talleyrand yang mengawali buku karya Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia ini. Rhenald Kasali yang memang telah dikenal sebagai pakar manajemen perubahan, kembali menghadirkan buku dengan tema transformasi bertajuk “Agility, Bukan Singa Yang Mengembik”. Buku ini berbagi kisah tentang mereka yang berada di ambang kekacauan (edge of chaos) serta bagaimana mereka menata diri dan organisasinya. Dengan menaruh perhatian utama pada pentingnya melihat diri kita sebagai individu, perusahaan, organisasi, atau apapun untuk menjadi lebih agile. Lebih lincah, lebih cepat, lebih liat, dalam merespons setiap perubahan yang terjadi di lingkungan kita. Pemaparan tentang agility terbagi menjadi dua belas bagian, mulai dari bahasan agility, personal agility, manajemen waktu, kurva sigmoid, contoh-contoh kasus, hingga bagian penutup yaitu bagaimana membuat “keledai mengaum”. Agility adalah sebuah kapabilitas yang dibangun secara terus-menerus agar suatu organisasi mampu merespons perubahan dengan tangkas, efektif, tepat waktu, dan berkelanjutan. Agility menjadi penting karena ia bukan sekadar software IT yang mudah dibeli, melainkan karena di dalamnya terkandung unsur manusia dengan mentalitas pemenang. Sesuai judulnya, buku ini
Advertisement




menganalogikan adanya dua tipe sumber daya manusia (SDM) dalam menghadapi perubahan, si singa dan si kambing. Hal yang paling pokok untuk meningkatkan agility organisasi adalah memperbaiki SDM nya. Organisasi dengan SDM yang berkualitas tinggi tidak otomatis menjadi perusahaan yang hebat. SDM tersebut memerlukan seorang pemimpin bermental singa untuk menunjukan potensinya. Apabila pemimpin mereka adalah orang bermental kambing, maka SDM tersebut akan ikut mengembik sekalipun mereka sebenarnya adalah singa-singa hebat. Sebaliknya, apabila pemimpin mereka adalah seorang bermental singa, SDM tersebut akan mengaum sekalipun mereka semua diumpamakan sebagai kambing. Rhenald mencontohkan di antara pemimpin berkarakter singa ini adalah Sheik Zayed penerus Emir Abu Dhabi, dan Sheik Rashid penerus tahta Dubai. Pada 18 Februari 1968 mereka sepakat membentuk negara federasi yang kita kenal sekarang bernama Uni Emirat Arab (UEA) dengan menunjuk Sheik Zayed sebagai Presidennya. Langkah awal ini lantas diikuti empat emir lainnya yang berasal dari Sharjah, Ajman, Fujariah, dan Umm Al-Qawain. Sejak itu, masing-masing terbuka, saling bantu, dan membuka jalan, untuk bersama-sama menyiapkan masa depan baru bagi negaranya, sehingga jika diumpamakan mereka tidak berakhir menjadi segerombolan kambing di padang sabana. Dalam buku ini, Rhenald Kasali juga secara khusus berkaca dari transformasi yang dilakukan PT Angkasa Pura II pasca tragedi tsunami Aceh pada Tahun 2004. Buku ini mengulas berbagai usaha-usaha dramatis yang dilakukan PT Angkasa Pura II untuk menangani krisis tersebut. Termasuk seberapa jauh PT Angkasa Pura II berhasil mengubah bandara-bandara yang yang dulunya kotor, kumuh, dan tidak teratur hingga menjadi (almost) world-class airport. Begitu pula di lingkungan pemerintahan, penulis menyadari bahwa banyak orang cerdas, jujur, dan tidak korup di dalamnya. Mereka menyandang sarjana, master, hingga doktor, dan sebagian diantaranya menempati posisi-posisi strategis. Mereka, mulai dari yang tidak pernah mau ketika diminta mengakali aturan, sampai yang berani menolak ketika diajak ber-KKN. Mereka juga dipaksa lingkungan untuk menjadi gesit, bekerja berpindah-pindah dari satu kota ke kota lainnya. Namun penulis menyadari juga bahwa banyak SDM yang berkualitas rusa, kambing, hingga keledai. Mereka mudah menyerah ketika ditekan sedikit saja, selalu merunduk ke arah mana angin bertiup. Mereka tidak punya keinginan untuk maju, harus selalu diarahkan karena tak mampu menentukan arah sendiri. SDM seperti ini biasanya senang kumpul-kumpul, suka suasana yang guyub lagi rukun, lamban, tidak berani mengambil inisiatif, dan tidak mampu bertindak cepat. Dalam lingkungan seperti itu, jika singa yang hebat digabung dengan ribuan keledai atau kambing, sang singa bisa saja mengikik seperti keledai atau mengembik seperti kambing. Namun bisa juga sebaliknya, satu singa bisa membuat seribu keledai mengaum. Secara keseluruhan bahasan buku ini cukup ragam disertai berbagai contoh kasus nyata. Namun tidak semuanya langsung mengena dengan judul buku. Beberapa kebanyakan membahas tentang PT Angkasa Pura II dan kepemimpinan. Karena telah terbit beberapa tahun lalu, beberapa konsep “apa yang akan terjadi di masa depan” nya mungkin sudah tidak relevan untuk kita simak, karena memproyeksikan Tahun 2014. Meski begitu, buku ini sangat insightful dan menarik karena memaparkan contoh penerapan agility dalam berbagai aspek perjuangan individu maupun organisasi.
Soal bagaimana penulis memaparkan isi dalam buku ini sudah tidak perlu diragukan lagi. Rhenald Kasali selalu mampu menjabarkan pemikirannya ke dalam bentuk tulisan yang begitu lugas, padat, namun ringan untuk diikuti. Membaca kata per kata hingga paragraf per paragraf sangat tidak terasa. Ini juga merupakan salah satu keunggulan dari buku-buku karya Rhenald Kasali. Buku ini menjadi relevan untuk dibaca kembali di tengah masa pandemi sekarang ini. Saya merekomendasikan buku ini bagi anda yang ingin menambah wawasan teori praktis dalam menghadapi masa penuh perubahan seperti sekarang ini. (GC)