2 minute read

Menggerutu pada Hujan Ibarat Mengkhianti Pendoa di Musim Kemarau

Kontemplasi

Menggerutu pada Hujan Ibarat Mengkhianti Pendoa di Musim Kemarau

Advertisement

Mentari seolah malas mengeluarkan sinarnya pagi itu. Di langit tampak mendung menggelayut. Namun hal itu tidak menyurutkan langkahku, beranjak memanaskan kuda besi kesayangan. Hari itu memang jadwal pulang kampung, tak sabar melihat tanaman dan kolam ikan yang sudah menjadi bagian dari hobby ku yang rutin dilakukan setiap hari Sabtu dan Minggu. Jarak kampung dan mes kantor tempat tinggalku sekitar 50 km, dan seringnya kutempuh dengan menggunakan sepeda motor. Sepanjang perjalanan yang terbayang adalah tumbuh suburnya aneka tanaman buah yang selama ini aku tanam dan rawat. hingga perjalanan pada km 25, mendung semakin tebal menggelayut, dan sepertinya awan sudah tidak sanggup menahan hujan lebih lama. Dan benar saja pada km 30 hujan mulai turun dan kuberhenti untuk memakai jas hujan yang biasa ditaruh di bagasi. Namun saat dibuka, bagasi tampak kosong, rupanya jas hujan tertinggal di mes. Ada sedikit perasaan menyesal mengapa tidak dicek sebelum berangkat, padahal hari ini mendung. “Ah ini semua karena keteledoranku”, gumanku. Hujan semakin deras, kuputuskan mencari tempat berteduh terdekat. Tidak jauh dari tempatku berhenti kebetulan ada ruko kosong, empernya cukup untuk berteduh, kuputuskan berhenti percis di depan ruko. Ruko itu rupanya terlihat tidak pernah dimanfaatkan, di depannya rumput ilalang sampai tumbuh subur. Hujan pun semakin deras, aku berdiri di emper toko melindungi badan dari derasnya hujan. Dan tetiba pandangku tertuju pada tulisan di tembok ruko “Menggerutu pada Hujan Ibarat Mengkhianti Pendoa di Musim Kemarau”. Sesaat mencoba menebak-nebak apa pesan dari tulisan itu? Apa pesan yang hendak disampaikan dari tulisan itu?. Setelah mencoba menyelami lebih dalam, tulisan itu seolah mengingatkanku, bahwa adakalanya mesti mengurangi ego dan kepentingan diri sendiri, karena di dunia ini kita tidak sendiri, dan kepentingan masingmasing orang berbeda. Seperti halnya para petani yang merindukan hujan untuk mengairi sawah mereka, pekerja tambak yang membutuhkan air untuk memastikan bahwa ikan-ikan budidaya mereka mendapat air yang cukup. Begitu juga tanaman yang membutuhkan air untuk mendukung pertumbuhannya. Anganku semakin melayang, dunia ini sudah tercipta lengkap dengan siklus musim yang menyertainya. Khususnya di Indonesia dengan dua musim, musim kemarau dan musim penghujan datang dan pergi silih berganti. Kedua musim selalu dinanti oleh orang-orang dengan kepentingan berbeda. Kalau memang sudah siklus berjalan mengapa kita mesti menggerutu dan merekayasanya?. Memang kemajuan teknologi banyak berdampak pada kemampuan merekayasa siklus kedua musim ini. Teringat maraknya pemakaian laser dalam beberapa event yang dapat mencegah turunnya hujan. Lalu mengapa atas nama ego dan kepentingan pribadi atau kelompok mesti merekayasa musim, yang oleh sebagian orang sangat dirindukan kehadirannya. Ingatanku kemudian menerawang pada salah satu fi losofi Rwa Bhineda, salah satu kearifan lokal yang sudah berkembang lama di Bali. Bahwa di dunia ini selalu ada dua yang berbeda tapi merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Sama seperti keteledoranku pagi ini yang tidak mengecek jas hujan di bagasi motor, ternyata berbuah hikmah berteduh dan membaca tulisan di tembok ruko. Saat aku menggerutu, hujan telah menghalangi jalanku untuk tiba sesuai jadwal di kampung, tapi disisi lain tanaman dan kolam ikanku juga membutuhkan air hujan untuk bertumbuh dan bertahan hidup. Lalu mengapa aku mesti menggerutu?, bukankah sedikit bersabar menunggu hujan reda adalah pilihan bijak saat itu. Dan biarkan alam menjalankan siklusnya, karena alam juga berhak menjawab setiap harapan para pendoa. Sekitar 1 jam menunggu akhirnya hujan mereda, dan segera ku bergegas ke kuda besi kesayangan, dan terima kasih untuk hujan hari ini yang telah mengajarkanku untuk lebih bersabar dan belajar mengurangi ego. (boent)