Humanity Insight

Page 1

HUMANITY INSIGHT Majalah Internal Dua Pekanan Program Kemanusiaan ACT Bulletin Edisi XLV/ 16-30 September 2021

Merangkul yang Tertinggal

Dai Bukanlah Profesi



DAFTAR ISI 1 Merangkul yang Tertinggal

6 Dai Bukanlah Profesi

8

ACT Mempermudah Ibadah Wakaf


hUMANITY insight

Dewan Redaksi

Ibnu Khajar Dwiko Hari Dastriadi Mukhti Bambang Triyono Yusnirsyah Moh. Rulli Renata Fadilah Ispandiari

Koordinator

Sunano

Penulis

Lia Esdwiyanisyam Arif

Editor

Sunano

Data

Ashari Utomo Putra

10 Kapal Nelayan Terbesar di Gaza

14 Cegah Badai Kemiskinan

16 Yaman Rawan Malnutrisi


Merangkul yang Tertinggal Ada istilah yang kita kenal dengan baik sampai hari ini untuk menyebut wilayah-wilayah dengan kondisi tertentu; Terdepan, Terluar dan Tertinggal atau “3T”. Ini sebutan untuk wilayah-wilayah yang berada di teras Nusantara, pulau terujung dan daerah perbatasan.

A

pa yang mau ditawarkan dari Desa Falas, Kecamatan Kie, Kabupaten Timor Tengah Selatan? Bahkan sebagian dari kita tidak tahu dimana letak kabupaten itu. Letaknya di tengah Pulau Timor, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Merupakan kabupaten yang menghadap ke Laut Timor dan Benua Australia. Di Desa Falas, hanya terdapat kemiskinan paling parah karena masuk desa sangat tertinggal. Rumah mereka, Ume kbubu (umek bubu) atau Lopo (rumah bulat) menjadi hunian hampir semua penduduk. Merupakan bangunan yang menjadi rumah khas Kabupaten TTS. Kemiskinan yang membelenggu mereka, selain tidak ada sumber daya yang memiliki nilai ekonomi, juga tanah yang gersang

dan tidak subur. Pekerjaan mereka hanya menanam jagung dan padi ladang pada awal penghujan. Selebihnya dibiarkan menjadi semak belukar yang mengering. Di antara penduduk yang jumlahnya sekitar 2000 orang lebih sedikit, terdapat kampung Muslim mualaf. Tentunya ini perlu menjadi perhatian bersama, selain mereka membutuhkan bantuan pangan, juga bantuan juru dakwah, ustaz untuk mengajari mereka pendidikan agama Islam yang lebih mendalam. Perhatian ini penting untuk memperkuat keimanan mereka, bahwa mereka tidak sendiri. Dukungan ustaz, pendidik agama ini sebagai perpanjangan tangan umat Islam Indonesia dan seluruh dunia.

Kesenjangan Parah Tak ada yang mengingkari tentang indahnya Indonesia. Tak hanya karena keindahan alam yang diakui dunia, juga sebab ragam budaya dan tradisi masyarakatnya yang bersuku-suku. Di luar soal keindahan alam, budaya dan tradisi itu, terselip pula potongan narasi ironi tentang kondisi kesejahteraan masyarakatnya. Tentang kesejahteraan, pun soal

Humanity Insight

1

kemakmuran, Indonesia punya cerita sendiri. Ada istilah yang kita kenal dengan baik sampai hari ini untuk menyebut wilayahwilayah dengan kondisi tertentu; Terdepan, Terluar dan Tertinggal atau “3T”. Ini sebutan untuk wilayah-wilayah yang berada di teras Nusantara, pulau terujung dan daerah perbatasan yang faktanya masih cukup banyak yang belum tersentuh pembangunan.


Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Kemendes PDTT) mendata masih ada 62 kabupaten masuk kategori tertinggal. Tak hanya mendata, bahkan fakta itu diseriusi oleh pemerintah lewat Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 63 Tahun 2020 yang diteken 27 April 2020. “Daerah tertinggal” menunjuk pada kabupaten yang memiliki tingkat kemiskinan tinggi, infrastruktur yang terbatas, pendidikan masyarakatnya yang rendah, ketersediaan sarana kesehatan yang seadanya, dan ujungnya adalah indeks pembangunan manusia yang minim.

Humanity Insight

2

Penetapan daerah sebagai daerah tertinggal berdasarkan setidaknya 6 kriteria, yakni perekonomian rakyat, sumber daya manusia, sarana dan prasarana, kemampuan keuangan daerah, aksesibilitas dan karakteristik wilayah. Sebanyak 84 persennya ada di wilayah Indonesia Timur, yang kita tahu sampai hari ini mengalami kesenjangan pembangunan dan ekonomi. Di kawasan Papua, Papua Barat, Maluku, dan Nusa Tenggara Timur tercatat masih ada 433 desa belum dialiri listrik. Rinciannya, 325 desa ada di Papua, 102 di antaranya di Papua Barat, 5 desa di


NTT dan satu desa di Maluku. Sementara itu, dari 14.265 desa yang beruntung dialiri listrik, baru 54 persennya mendapatkan pasokan dari PLN. Sisanya, 42,8 persen menerima stroom secara mandiri (genset atau tenaga surya) dan 3 persen lainnya masih gelap. Bicara akses internet, dari total 13.577 desa yang belum memiliki akses internet, Papua dan Papua Barat menjadi wilayah yang paling memprihatinkan. Rinciannya, 4.506 desa berada di kawasan Papua Barat dan 1.363 di Papua. Melihat fakta dan data tersebut, tak

Humanity Insight

3

heran jika listrik dan akses internet dapat dianggap menghambat pembangunan manusia dan ekonomi di Indonesia Timur. Keterbatasan itu membelenggu masyarakat di sana untuk mengecap pendidikan berbasis teknologi atau merambah pangsa usaha e-commerce. Padahal potensinya tak kalah kaya dengan wilayah di bagian barat Indonesia. Paling mendasar, tentu saja berimbas pada peningkatan mutu pendidikan formal. Kita masih sering mendengar, bahkan menjumpai anak-anak putus sekolah, minimnya guru serta tak memadainya sarana prasarana di wilayah tersebut.


AKSI NYATA

Isu ketertinggalan dan kemiskinan tentu tak luput dari perhatian Aksi Cepat Tanggap (ACT). Lewat program “Tepian Negeri”, ACT menyapa saudara-saudara yang ada di wilayah 3T sejak 2015 lalu. Sejak itu dan sampai hari ini, ACT menggulirkan program peningkatan kemajuan di bidang pendidikan, kesehatan, kesejahteraan ekonomi dan infrastruktur di wilayah tersebut. Setelah secara berkala membangun sekolah dan fasilitas ibadah, memasuki 2021 program ini juga merambah pada pemenuhan kebutuhan tenaga pendidik khususnya pendidikan agama. Program Tepian Negeri menelurkan sub-program baru seperti Sahabat Guru Indonesia/SGI dan Sahabat Dai Indonesia/SDI. Sahabat Dai Indonesia - Tepian Negeri adalah program pengiriman dai ke berbagai wilayah terluar Indonesia. Para dai bertugas dakwah, membimbing Muslim minoritas atau para mualaf yang berada di daerah 3T.

Humanity Insight

4

Bobby Sandra selaku penanggung jawab menjelaskan, program Sahabat Dai Indonesia menjangkau beberapa wilayah yang masih jarang terjamah dan susah akses. “Kami melakukan perluasan wilayah ke berbagai daerah terpencil, kami juga melakukan pendekatan secara humanis dan agamis, semoga program dai tepian negeri memberi manfaat besar pada masyarakat,” harap Bobby. Niki Sumantri (26) adalah salah satu Sahabat Dai Tepian Negeri yang bertugas di Kabupaten Belu, Malaka, Timor Tengah Utara, dan Timor Tengah Selatan, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Ustaz alumni Mahad Aly An-Nuaimy ini memiliki wilayah dakwah jauh di pelosok Belu dan Timor Tengah Selatan. Ia rutin menyambangi Kampung Susulaku dan Kampung Falas sekitar 20 anak menjadi muridnya. Jangan bayangkan ini seperti kampung biasa di Jawa. Untuk menuju ke


dua kampung itu, Niki harus menempuh perjalanan kurang lebih selama dua jam. Perjalanan untuk mencapai Kampung Falas misalnya, melalui perjuangan yang tak mainmain. Di musim kering, dengan menunggangi motor, jika tubuh tidak dalam kondisi fit dijamin akan mengalami sakit pinggang. Maklum akses sepanjang 80 kilometer itu, tak ada aspal mulus. “Belum lagi kalau hujan, jalanannya yang kebanyakan beralas tanah pasti jadi licin. Kalau nekat melintas, biasanya masuk ke (kubangan) lumpur,” imbuh Niki. Saat hujan, satu-satunya cara menuju kampung tersebut adalah dengan berjalan kaki atau menggunakan kendaraan dengan ban off-road, seperti motor modif dengan ban berkembang besar. Berjalan kaki bukanlah pilihan. Sebab jarak dari Kecamatan Soe ke Kampung Falas memerlukan waktu sekitar 2,5 jam berjalan kaki. Jika tak ada ojek motor dengan

Humanity Insight

5

spesifikasi tadi, maka di kala hujan liburlah dakwah. Kondisi akses yang sulit itu membuat warga Muslim dan anak-anak Kampung Falas kepayahan mendapatkan pendidikan keagamaan Islam. Hanya ada satu penyuluh agama yang datang sepekan sekali, itu juga kalau akses menuju kampung dalam kondisi baik. Sebagai dai di pelosok negeri, Niki melihat langsung minimnya pendidikan masyarakat di sana. Khususnya pendidikan agama Islam. Padahal di kampung itu banyak warganya adalah mualaf yang masih perlu bimbingan. Di desa yang ia bina hanya terdapat 11 Kepala Keluarga yang beragama Islam. Dengan media belajar seadanya laki-laki asal Banten ini tetap gigih mengajarkan ayat demi ayat Al-Qur’an. Beberapa kali seminggu Niki juga mengajarkan tata cara wudu, salat, dan azan. “Anak-anak mualaf itu, kalau ada yang mengajar ngaji mereka antusias. Tapi pengajarnya sedikit, penyuluh agama Islam Kanwil Agama Kabupaten, datang seminggu sekali. Sebab penyuluh nggak bisa datang ke semua tempat dalam satu hari. Jarak antara satu tempat ke tempat yang lain juga cukup jauh. Paling sehari dua tempat yang bisa didatangi,” ungkapanya. Selain di Kampung Falas, saat mengunjungi Desa Susulaku, di Kabupaten TTU, Niki juga mendapati hal yang sangat miris. Warga Muslim di kampung itu selama hidupnya belum pernah merasakan nikmatnya olahan daging. Maka GQ masuk juga ke wilayah program SDI. “Untuk kebutuhan makan sehari-hari saja sudah sulit, apalagi mengonsumsi daging,” tutup Niki dengan nada terbata dan mata berkaca-kaca, mengenang pengalamannya mengabdi [].


Dai bukanlah profesi Dakwah itu bukan profesi tetapi amal termulia dimuka bumi ini.

D

akwah itu bukan profesi tetapi amal termulia dimuka bumi ini. “Dan tiada perkataan terbaik dimuka bumi ini selain perkataan mengajak kejalan Allah dan disertai amal sholeh, dan ia pun berkata, sesungguhnya aku seorang Muslim”. (QS 41:33). Kalimat di atas menjadi motivasi Ustaz Sugiman saban saat mengajarkan anak-anak mengaji pada sore hari. Dai yang mengajar ngaji di Desa Muntuk, Kecamatan Dlingo, Kabupaten Bantul ini selalu menekankan bahwasannya menjadi seorang guru agama TPA bukanlah sebuah pekerjaan. Melainkan pengabdian semata yang dijalani dengan sepenuh hati dan tidak berharap imbalan.

Humanity Insight

6

Lalu, untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari Ustaz Sugiman memilih menjadi pedagang sayur keliling. Setiap harinya, pukul 05.00 pagi dia sudah berbelanja di pasar. Nantinya, Ustaz Sugiman menjual dagangannya dengan berkeliling desa di Kecamatan Dlingo menggunakan sepeda motor. “Untungnya alhamdulillah cukup untuk makan sehari-hari dan bayar listrik. Yang penting modal balik, meski untung nggak gede. Siang sudah pulang dan istirahat,” kata Ustaz Sugiman. Bagi Ustaz Sugiman, inilah (menjual sayuran) pekerjaan utamanya. Baginya, mengajar mengaji saban sore hanyalah aktivitas yang ia orientasikan untuk ibadah. “Jadi santri yang ngaji, gratis,” jelasnya. Hal serupa juga dilakukan oleh Ustaz Asep Juli. Ustaz yang mengabdikan diri di Limbangan, Kecamatan Sukaraja, Kota Sukabumi juga tidak menjadikan mengajar ngaji sebagai profesi. Saban hari memelihara kambing milik orang. Urusan pakan dan kebersihan kandang menjadi tanggung jawabnya. Nantinya, Ustaz Asep dibayar dengan anak kambing yang lahir.


“Jadi bayarannya itu kambing. Kalau ada kambing lahir dua, satunya buat saya satunya lagi buat yang punya kambing. Dari sinilah biaya makan keluarga, dibantu istri juga yang jual makanan ringan depan rumah,” kata pria tiga anak ini. Santri yang mengaji di rumah Ustaz Asep berjumlah 25 orang. Pengajian dibagi dua sesi, bakda A sar bagi yang mengaji iqro dan Al-Qur’an, bakda Maghrib untuk santri yang mengaji kitab kuning. “Semuanya gratis, yang penting datang ke rumah,” jelasnya. Di pihak lain, Ustaz Cece Supriatna seorang guru mengaji di Kelurahan Cisarua, Kecamatan Cikole, Kota Sukabumi berprofesi sebagai pedagang mainan anak di sekolah. Selama pandemi Covid-19 ia tidak bisa berjualan agar akibat kegiatan belajar mengajar tatap muka ditiadakan. “Biasa buka lapak mainan di sekolah. Sekarang lagi vakum, sekolah belum masuk, pasar malam juga tak ada,” kata Ustaz Cece.

Humanity Insight

7

Selagi tak bisa berjualan, Ustaz Cece menjadi kuli serabutan. Pekerjaan halal apapun ia lakukan, mulai dari kuli bangunan hingga buruh tani. “Yang penting keluarga bisa makan,” ujarnya. Meski ekonominya sedang sulit, kegiatan mengajar mengaji tetap ia lakukan. Walau dengan keadaan ekonomi yang tidak mencukupi tak lantas menjadikan Ustaz Cece berhenti mengajar anak-anak mengaji. Terdapat 35 anak belajar mengaji bersamanya. Hanya beberapa anak yang membayarkan uang bulanan. Tapi itu tidak menjadi masalah. Bagi Ustaz Cece mengamalkan ilmu Agama kepada orang yang membutuhkan adalah sebuah rizki. Para dai ikhlas melakukan dakwahnya. Bahkan saat sulit pun, mereka tidak pernah menampakkan kesulitannya. Untuk mensejahterakan para dai, Majelis Ulama indonesia (MUI) meluncurkan Gerakan Nasional Sejahterakan Dai Indonesia. Mendukung gerakan ini, ACT akan memberikan bantuan kepada 1.000 dai.[]


ACT MEMPERMUDAH IBADAH WAKAF Pada era teknologi digital yang terus berkembang, masyarakat dimudahkan untuk melakukan berbagai aktivitas. Menakjubkannya lagi, hal serupa juga mendukung aktivitas ibadah seperti wakaf.

P

ada era teknologi digital terus berkembang, masyarakat dimudahkan untuk melakukan berbagai aktivitas. Mulai dari urusan harian seperti kebutuhan makanan, bepergian, hingga pada masalah kesehatan. Bahkan membeli berbagai kebutuhan bakal dengan mudah dipenuhi dalam satu klik. Menakjubkannya lagi, hal serupa juga mendukung aktivitas ibadah seperti wakaf. Ibadah tak mengenal jarak. Ibadah ini membuat siapapun bisa melakukan wakaf di mana pun, kapan pun, tanpa harus menemui nazir secara langsung. Canggihnya era digital memudahkan beribadah serta memaksimalkan potensi wakaf. Karena itu Global Wakaf- (Aksi Cepat Tanggap) ACT kini menghadirkan platform kemudahan berwakaf melalui Wakaftunai.id. Jangan takut, siapapun yang

Humanity Insight

8

menunaikan wakaf melalui Wakaftunai.id. Maka akan diarahkan sesuai proyek kebaikan yang dipilih. Satu dari sekian banyak proyek kebaikan, adalah Wakaf Al-Qur’an. Penerima manfaatnya sudah meluas dan dipastikan dibagikan kepada mereka yang memang membutuhkan. Seperti pada pertengahan bulan September silam, puluhan mushaf diberikan kepada Majelis Yatim dan Duafa Al Basri di Hunian Sementara (Huntara) Pasir Eurih. Singkat ceritanya, majelis ini bermula dari banjir dan longsor pada awal tahun 2020 silam. Kejadian ini melumpuhkan berbagai kegiatan di Desa Cileuksa, Kecamatan Sukajaya, Kabupaten Bogor. Saat awal bencana terjadi, Ustaz Encep, salah satu pendidik agama di Desa Cileuksa, merasa prihatin karena sebelum bencana,


anak-anak begitu semangat mengaji. Tak kehabisan ide ustaz asal Bogor ini mendirikan Majelis Yatim dan Duafa Al Basri di Hunian Sementara (Huntara) Pasir Eurih. Bermodalkan sebuah ruangan huntara 4x3 meter dan beratapkan seng, majelis tersebut kini mendidik sebanyak 61 penyintas anak-anak yang tinggal di huntara. “Pengajian di sini dibagi menjadi dua sesi. Sesi yang pertama kita laksanakan bakda asar, kemudian yang kedua bakda magrib,” jelas Ustaz Encep. Tetapi tentu fasilitas yang mereka miliki di huntara, tidak sebanyak majelis-majelis lain. Mereka hanya memiliki empat buku IQRA, serta tujuh Al-Qur’an. Itu pun kondisinya sudah kurang baik. Anak-anak menggunakan mushaf-mushaf ini secara bergantian. Anak-anak di majelis juga tidak dipungut biaya ketika belajar. Karena itu, terkadang Ustaz Encep harus membiayai fasilitas majelis ini dari kocek sendiri. Seperti untuk memenuhi biaya listrik, Ustaz Encep membayarnya dari hasil pekerjaannya sebagai petani. Satu kali Ustaz Encep bertanya mengenai bantuan Al-Qur’an kepada Tim Global Wakaf-ACT. Global Wakaf-ACT pun langsung mendukung perjuangan Ustaz Encep ini dengan memberikan puluhan mushaf untuk Majelis Al Basri. “Alhamdulillah, Global Wakaf-ACT sungguh cepat membantu. Baru pekan lalu saya nanya ada Al-Qur’an atau enggak, eh sekarang sudah dikirim. Semoga Al-Qur’an yang diberikan menjadi aliran pahala, dan setiap ayat yang dibacakan menjadikan penggugur dosa untuk para donatur serta para relawan semua,” ucap Ustaz Encep. Global Wakaf-ACT tak hanya memberikan wakaf Al-Qur’an kepada Majelis Yatim dan Duafa Al Basri. Lembaga Pendidikan Tahfizhul Qur’an (LPTQ) Nurul Iman juga mendapatkannya. Lembaga pendidikan terletak di Kampung Tanjung Manggis, Desa Sungai Asam, Kecamatan Sungai Raya, Kabupaten Kubu Raya. Jumlah santrinya semakin hari semakin bertambah, namun tidak seiring dengan fasilitasnya. LPTQ yang didirikan tahun 1998 masih Humanity Insight

9

menggunakan bangunan lama yang sudah direnovasi sebagian. Sementara Al-Qur’an yang saban hari digunakan para santri jumlahnya kurang dan banyak yang rusak. “Awalnya ngaji ala kampung biasa saja, alhamdulillah sekarang sudah menjadi lembaga pesantren tahfiz. Santrinya dari empat orang, sekarang sudah 30-an, mayoritas anak-anak Kampung Tanjung Manggis,” kata Ustaz Syahroni Ketua LPTQ Nurul Iman saat ditemui tim ACT Kalimantan Barat pada pertengahan September lalu. Wakaf Al-Qur’an menjadi salah satu amal saleh yang akan selalu mendatangkan pahala setelah orang yang mengamalkan meninggal dunia. “Sesungguhnya di antara amal saleh yang mendatangkan pahala setelah orang yang mengamalkannya meninggal dunia, yaitu; ilmu yang disebar luaskan olehnya, anak saleh yang ditinggalkannya, mushaf (Al-Qur’an) yang diwariskan nya, masjid yang dibangunnya, rumah yang didirikan dengan tujuan dijadikan sebagai tempat bermalam (penginapan) orang yang sedang dalam perjalanan (ibn sabil), sungai yang dialirkan guna kepentingan orang banyak, dan harta yang disedekahkannya.” Diriwayatkan HR. Ibnu Majah.[]


Kapal Nelayan Terbesar di Gaza

Sebagai lembaga kemanusiaan yang terus membersamai Palestina, ACT memberikan bantuan Kapal nelayan terbesar di Gaza. Kapal yang diikhtiarkan untuk mendulang kesejahteraan nelayan Gaza ini, mulai dirakit di salah satu pelabuhan di wilayah Khan Younis, Gaza Selatan.

D

ampak pertempuran terakhir antara militer Israel dan rakyat Palestina pada bulan Mei 2021, masih sangat parah. Berbagai fasilitas umum hancur, perumahan dan perkantoran serta lokasi aktivitas ekonomi warga. Sebagian warga terdampak perang ini hidupnya masih menggantungkan bantuan kemanusiaan. Ribuan orang masih kehilangan tempat tinggal, juga kesulitan ekonomi karena

Humanity Insight

10

tempat bekerja mereka hancur. Dampak perang ini makin sulit karena blokade Israel semakin ketat. Salah satu aktivitas ekonomi yang terhambat adalah para nelayan Palestina. Selain itu, kebutuhan pangan dan bahanbahan bangunan tidak bisa masuk ke Gaza. Blokade juga membatasi akses listrik dan kebutuhan air bersih. Listrik yang terbatas membuat aktivitas warga Gaza banyak


terhambat. Yang paling menderita adalah mereka yang menjadi korban pertempuran, sakit parah dan butuh perawatan intensif tapi tanpa dukungan alat-alat medis. Alat medis ada tapi tidak berfungsi karena tidak ada aliran listrik. Blokade Israel di Gaza mengakibatkan ekonomi wilayah itu hancur dan PBB menyebut Jalur Gaza sebagai wilayah yang mengalami “kemunduran” artinya perkembangan atau pembangunan tidak terjadi dan justru yang terjadi sebaliknya. Sekitar 56 persen rakyat Palestina di Gaza miskin dan tingkat pengangguran kaum muda mencapai 63 persen, menurut Biro Pusat Statistik Palestina.

Humanity Insight

11

Hingga hari ini Aksi Cepat Tanggap (ACT) secara berkala menyalurkan bantuan Sahabat Dermawan ke Palestina. ACT mengagungkan ratusan program kemanusiaan untuk membantu warga Palestina bangkit pascaserangan Israel. Gaza mulai berbenah. Hampir di setiap aspek membutuhkan bantuan untuk perbaikan. Satu di antaranya adalah kesejahteraan nelayan Gaza. Mana lagi, tidak kurang dari 5 ribu nelayan Gaza menggantungkan hidup mereka pada industri perikanan Gaza. Setelah peningkatan kekerasan terakhir. Israel bahkan untuk sementara melarang penangkapan ikan apa pun dari Jalur Gaza.


Kenapa Harus Kapal Nelayan? Secara geografis Gaza berdekatan dengan laut. Berbagai jenis hasil laut pun bisa didapat seperti ikan, udang hingga kepiting. Jika dibayangkan, Gaza memiliki panjang pantai sekitar 41 kilometer (25 mi) dengan luas lautan Palestina tak kurang dari 605 kilometer. Gaza seharusnya bisa sejahtera. Setidaknya mampu menikmati makanan hasil laut setiap harinya. Nyatanya nelayan di Gaza telah lama hidup dalam keadaan sulit dan prasejahtera. Panjang pantai dibatasi. Titik penangkapan ikan dibatasi. Begitu juga area jelajah yang hanya diperbolehkan maksimal 12 mil dari bibir pantai. Padahal, untuk bisa menjangkau hingga ke 12 mil itu butuh kapal yang cukup besar. Sementara mayoritas nelayan di sana memiliki kapal yang hanya bisa menjangkau empat hingga enam mil saja. Sehingga area yang bisa mereka jadikan tempat mencari ikan juga sedikit. Alhasil, pendapatan nelayan pun juga sangat terbatas. Permasalahan nelayan ini ternyata tak berhenti pada pembatasan saja. Pada Mei 2021, saat agresi besar, semua aktivitas mencari ikan di laut dan perdagangan hasil tangkapan di pelabuhan dihentikan paksa Israel. Hal ini membuat nelayan di Gaza kehilangan pemasukannya. Pemasukan yang minim, membuat nelayan sulit memenuhi kebutuhan keluarganya dan melakukan perawatan

Humanity Insight

12

kapal. Karena tidak digunakan kapal-kapal menumpuk dan mengalami kerusakan. Sebagai lembaga kemanusiaan yang terus membersamai Palestina, ACT memberikan bantuan Kapal nelayan terbesar di Gaza. Usai mendapat izin dari Kementerian Kelautan Palestina, kapal yang diikhtiarkan untuk mendulang kesejahteraan nelayan Gaza ini, mulai dirakit di salah satu pelabuhan di wilayah Khan Younis, Gaza Selatan. Memulai perakitan pada awal Juni lalu, hingga hari ini progresnya telah mencapai 65 persen selesai, dan diharapkan mampu berlayar sebelum tahun 2021 berakhir. Arsitek dari kapal ini, Mohammed Faraj Zo’rob menjelaskan, sejatinya kapal yang direncanakan memiliki dominasi warna hijau dan oranye ini memiliki panjang keseluruhan 26 meter. Namun, karena aturan Israel yang


memblokade Gaza, ukuran tersebut tidak diizinkan. Alhasil ukurannya dipangkas menjadi 21 meter panjangnya, dan lebar 6 meter. Faraj menyebut, kerangka kapal terbuat dari jenis kayu Cinchoa berkualitas yang berukuran 30x40 sentimeter. Setelah itu, kayu tersebut dilapisi besi dengan ketebalan 8 militer yang membentuk huruf ‘U’. Besi ini, sebut Faraj, berguna untuk memperkuat kerangka kapal. “Nantinya kerangka tersebut juga akan diikat lagi menggunakan tali yang memiliki ketebalan sekitar 8x10 sentimeter,” jelas Faraj sambil menunjukkan desain kapal tersebut di layar komputernya. Lebih lanjut, Faraj menjelaskan, untuk bagian penutup luar kapal, dibuat lapisan yang memiliki jenis bahan yang berbeda. Untuk lapisan pertama, terbuat dari kayu pinus dengan ketebalan 5x20 sentimeter. Humanity Insight

13

Sementara pada lapisan kedua, dibuat menggunakan bahan serat gelas. “Ada banyak hal teknis yang dipertimbangkan selama proses perancangan kapal ini. Seperti menilai kematangan desain. Harus ditentukan dengan matang berapa meter lambung kapal yang akan berada dibawah permukaan laut, penentuan bentuk kokpit, tempat jaring, alat pancing, hingga haluan dan buritan di bagian belakang kapal,” imbuh Faraj. Sementara itu, Jommah Al Najjar, tim ACT Palestina di Gaza mengatakan, para nelayan yang berkesempatan menggunakan kapal ini adalah mereka yang berasal dari keluarga prasejahtera. Di mana pekerjaan mereka terdampak blokade di Gaza dan memengaruhi penghasilannya. “Terima kasih banyak kepada dermawan dan tim ACT di Indonesia atas pendirian dan dukungannya untuk rakyat Palestina. Semoga kebaikan kalian dibalas keberkahan oleh Allah SWT,” ucap Jommah. Untuk diketahui, Israel juga kerap menutup daerah penangkapan ikan setiap awal musim menangkap ikan di Gaza. Laporan dari Gaza Fisherman Union Committees pada April 2021 lalu, penutupan ini mengakibatkan sekitar 90 persen dari para nelayan hidup di bawah garis kemiskinan.


Cegah Badai Kemiskinan Angka kemiskinan yang naik mengurangi kemampuan rumah tangga dalam mencukupi kebutuhan sehari-hari. Terutama bagi rumah tangga yang terdampak langsung oleh pandemi Covid-19.

D

ari hari ke hari kasus Covid-19 di Indonesia menunjukan penurunan signifikan. Sebelumnya, kasus aktif mencapai 500 ribu kita telah di bawah 150 hari. Pemerintah pun terus memperpanjang pelaksanaan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM). Kendati demikian pemerintah mulai melonggarkan pembatasan. Dengan penurunan tren kasus harian Covid-19 di Indonesia menjadi kabar baik. Tapi tak semua membahagiakan. Perekonomian Indonesia belum sepenuhnya pulih sebagaimana kondisi sebelum pandemi. Badan Pusat Statistik (BPS) merilis tingkat kemiskinan Indonesia sedikit turun dari 10,19 persen pada September 2020 menjadi 10,14 persen pada Maret 2021, tetapi angka ini masih lebih tinggi dari kondisi sebelum pandemi (9,22 persen pada September 2019). Angka kemiskinan yang naik mengurangi kemampuan rumah tangga dalam mencukupi kebutuhan seharihari. Terutama bagi rumah tangga yang terdampak langsung oleh pandemi Covid-19. Menurut Ekonom senior dari Universitas Indonesia Faisal Basri, 143 juta rakyat Indonesia berstatus rentan

Humanity Insight

14

atau insecure. Penduduk berstatus rentan ini adalah penduduk yang hidupnya belum tenang, yaitu dengan pengeluaran harian Rp 25 ribu sebelum pandemi. Di masa pandemi, pengeluaran mereka diperkirakan bisa lebih jatuh. Sejak awal pandemi, Aksi Cepat Tangga (ACT) sudah menyadari bahwasannya pandemi Covid-19 akan menyebabkan banyak korban. Tak hanya mereka yang terinfeksi virus, tetapi juga mereka yang harus kehilangan pekerjaan. Lantaran itu, ACT berkomitmen memberikan bantuan terbaik dengan berbagai macam aksi. Seperti pemberian makan siap saji, pengantaran beras ke rumah-rumah, pelayanan kesehatan, pemberian modal usaha. ACT memberikan semuanya secara


gratis, hasil kemurahan hati para dermawan. Menyalurkan Kemurahan Hati Dermawan Di Batam, Operasi Pangan Gratis masih terus berjalan. Program yang secara nasional telah bergulir sejak awal pandemi tahun 2020 silam telah menyasar banyak keluarga, khususnya prasejahtera yang terdampak pandemi. ACT juga terus membagikan produk pengelolaan wakaf berupa Beras Wakaf dan Air Minum Wakaf dan kebutuhan pokok lain yang menunjang pangan masyarakat. Aksi hebat tidak dapat berjalan tanpa adanya kerja sama. Dari itu Masyarakat Relawan Indonesia (MRI) hadir membantu Operasi Pangan Gratis. Kali ini aksi hadir di beberapa kecamatan di Batam, pada hari Kamis 23 September Humanity Insight

15

2021. Kelurahan Tanjung Piayu, Sei Beduk, menjadi lokasi implementasi. Warga prasejahtera dan lansia menjadi sasaran penerima. Total ada 415 paket pangan terdistribusi. Kepala Cabang ACT Kepulauan Riau Rahmat Hidayat mengatakan, Operasi Pangan Gratis terus karena dampak ekonomi di Batam belum sepenuhnya belum pulih. “Alasan terbesar Operasi Pangan Gratis terus kami hadirkan di Batam karena geliat ekonomi belum sepenuhnya pulih karena pandemi. Sehingga, ini merupakan ikhtiar penanganan dampak pandemi di bidang pangan,” jelasnya. Selain Operasi Pangan Gratis, ACT bersama MRI juga menggelar Operasi Makan Gratis yang menghidangkan makanan siap santap untuk warga. Aksi ini pun tak hanya fokus di perkotaan, tapi juga diantar hingga ke pulau-pulau di Batam yang dihuni banyak warga prasejahtera.[]


Yaman Rawan Malnutrisi Krisis kemanusiaan di Yaman masih terus berkecamuk. Perkiraan Kantor Koordinasi Urusan Kemanusiaan Perserikatan BangsaBangsa (OCHA), jumlah warga yang meninggal dunia karena krisis kemanusiaan mencapai 223 ribu orang sampai tahun 2020. YBangsaBangsa (PBB).

S

ejak 2014, krisis kemanusiaan di Yaman masih terus berkecamuk. Perang saudara yang pada mulanya hanya melibatkan dua kelompok di dalam negeri, telah meluas dengan terlibatnya beberapa negara. Perkiraan Kantor Koordinasi Urusan Kemanusiaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (OCHA), jumlah warga yang meninggal dunia karena krisis kemanusiaan mencapai 223 ribu orang sampai tahun 2020. Yaman sampai saat ini juga menduduki peringkat pertama sebagai negara krisis kemanusiaan di

Humanity Insight

16

dunia berdasarkan laporan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Akibatnya, kondisi ekonomi, sosial dan politik menjadi tidak stabil. Kerawanan pangan menjadi salah satu permasalahan utama yang tengah melanda Yaman. Jutaan warganya menderita karena pangan yang jumlahnya terbatas dan dijual dengan harga yang tak mampu mereka beli. Namun, permasalahan tidak berhenti di kelaparan. Sebab, kelaparan akut juga membuat berbagai penyakit dapat dengan mudah menyerang warga yang menderitanya. PBB memperkirakan ada lebih dari lima


juta warga Yaman yang terancam dengan penyakit-penyakit penyerta dari kelaparan akut. Dari mulai berbagai jenis infeksi hingga busung lapar. Mohammed Yousuf, salah satu warga di Yaman menceritakan, ia telah kehilangan dua anaknya yang meninggal karena malnutrisi. Anak pertamanya meninggal pada usia 6 bulan. Sedangkan anak keduanya pada usia 4 bulan. “Kehilangan anak saya selagi saya ada di sana dan menyaksikannya, telah menghancurkan hati saya,” kata Yousuf sambil mencoba menenangkan anak ketiganya yang menangis. “Saya merasa sangat khawatir dengan anak saya. Saya tidak akan beristirahat sampai anak saya benar-benar sembuh.” tambahnya. Anak ketiga dari Yousuf yang saat ini berusia 1 tahun, juga tengah mengalami malnutrisi. Yousuf menceritakan, ia dan istrinya harus menempuh perjalanan 15 jam dengan bus melalui puluhan pos pemeriksaan militer untuk membawa anak mereka ke fasilitas kesehatan di Sanaa. Ketika ditimbang, berat anak Yousuf hanya sekitar 6 pon. Berat tersebut kurang dari sepertiga dari berat rata-rata untuk anak di usianya. Ia berharap, anaknya bisa sembuh dan kembali sehat usai dirawat, meski ia juga khawatir bahwa pihak layanan kesehatan akan

Humanity Insight

17

kehabisan obat untuk anaknya. Keluarga Yousuf saat ini sangat bergantung pada bantuan kemanusiaan untuk bisa bertahan hidup. Ia telah kehilangan pekerjaan sebagai petani sejak tahun 2019, karena Yaman kesulitan mendapat solar yang diperlukan untuk menjalankan pompa dan mesin irigasi. Kini, keluarganya hanya mampu makan paling banyak, sekali dalam satu hari. Untuk itu Aksi Cepat Tanggap (ACT) terus berusaha memenuhi kebutuhan masyarakat Yaman yang terdampak. Said Mukaffiy dari Global Humanity Response (GHR)-ACT menyampaikan, kondisi krisis kemanusiaan di Yaman harus segera teratasi secara maksimal. “Kami sadar, kondisi Yaman sudah terjadi sejak 2014 lalu, ditambah pandemi Covid-19 membuat semuanya semakin rumit dan tidak stabil. Namun, kita yang berada di Indonesia dengan segala nikmat yang diberikan Allah SWT, sudah seharusnya untuk selalu berpegangan tangan bersama rakyat Yaman,” ucap Said. Said berharap agar para dermawan di Indonesia dapat terus berperan aktif membantu saudara sesama di Yaman.[]


Kabar pekan ini

S

edari dulu, dunia telah mengakui akan keindahan alam dan ragam budaya Indonesia dan tradisi masyarakatnya yang bersuku-suku. Tetapi di luar hal tersebut terdapat potongan kisah ironi mengenai kesejahteraan masyarakatnya. Menyoal kesejahteraan dan kemakmuran, indonesia punya cerita sendiri. Di balik kota-kota besar terdapat wilayah-wilayah dengan kondisi tertentu; Terdepan, Terluar dan Tertinggal atau “3T”. Ini sebutan untuk wilayah-wilayah yang berada di teras Nusantara, pulau terujung dan daerah perbatasan yang faktanya masih cukup banyak yang belum tersentuh pembangunan. Apabila mengacu pada data Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Kemendes PDTT) mendata masih ada 62 kabupaten masuk kategori tertinggal. Isu ketertinggalan dan kemiskinan tentu tak luput dari perhatian Aksi Cepat Tanggap (ACT). Lewat program “Tepian Negeri”, ACT menyapa saudarasaudara yang ada di wilayah 3T sejak 2015 lalu. Sejak itu dan sampai hari ini, ACT menggulirkan program peningkatan kemajuan di bidang pendidikan, kesehatan, kesejahteraan ekonomi dan infrastruktur di wilayah tersebut. Setelah secara berkala membangun sekolah dan fasilitas ibadah, memasuki 2021 program ini juga merambah pada pemenuhan kebutuhan tenaga pendidik khususnya pendidikan agama. Program Tepian Negeri menelurkan sub-program baru seperti Sahabat Guru Indonesia/SGI dan Sahabat Dai Indonesia/SDI. Niki Sumantri (26) adalah salah satu Sahabat Dai Tepian Negeri yang bertugas di Kabupaten Belu, Malaka, Timor Tengah Utara, dan Timor Tengah Selatan, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Niki melihat langsung minimnya pendidikan masyarakat di sana. Khususnya pendidikan agama Islam. Padahal di Humanity Insight

18

kampung itu banyak warganya adalah mualaf yang masih perlu bimbingan. Selain itu, bantuan sahabat dai juga diberikan pada dai di berbagai wilayah nusantara. Selama mengabdi bertahuntahun mereka tidak mematok imbalan. Dengan bayaran seikhlasnya para dai ini tidak menjadikan sebuah profesi tetapi sebuah ladang dakwah. Ustaz Sugiman saban adalah satunya. Ia mengajar anak-anak mengaji pada sore hari. Dai yang mengajar ngaji di Desa Muntuk, Kecamatan Dlingo, Kabupaten Bantul ini selalu menekankan bahwasannya menjadi seorang guru agama TPA bukanlah sebuah pekerjaan. Melainkan pengabdian semata yang dijalani dengan sepenuh hati dan tidak berharap imbalan. Dakwah itu bukan profesi tetapi amal termulia dimuka bumi ini. “Dan tiada perkataan terbaik dimuka bumi ini selain perkataan mengajak kejalan Allah dan disertai amal sholeh, dan ia pun berkata, sesungguhnya aku seorang Muslim”. (QS 41:33). Kata-kata ini menjadi motivasi Ustaz Sugiman untuk terus berdakwah. Kabar bahagia datang dari Palestina, Kapal nelayan terbesar di Gaza sudah masuk tahap perakitan. hingga hari ini progresnya telah mencapai 65 persen selesai, dan diharapkan mampu berlayar sebelum tahun 2021 berakhir. Arsitek dari kapal ini, Mohammed Faraj Zo’rob menjelaskan, sejatinya kapal yang direncanakan memiliki dominasi warna hijau dan oranye ini memiliki panjang keseluruhan 26 meter. Namun, karena aturan Israel yang memblokade Gaza, ukuran tersebut tidak diizinkan. Alhasil ukurannya dipangkas menjadi 21 meter panjangnya, dan lebar 6 meter. Para nelayan yang berkesempatan menggunakan kapal ini adalah mereka yang berasal dari keluarga prasejahtera. Di mana pekerjaan mereka terdampak blokade di Gaza dan mempengaruhi penghasilannya.[]



HUMANITY INSIGHT Kantor Redaksi Menara 165 office Tower lt.11 Jl. TB Simatupang Kav. 1 Cilandak Timur Jakarta Selatan, 12560 Indonesia


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.