Polemik dan Urgensi Pengaturan Cross Border Insolvency di Indonesia
Bintang Raysa Ramadhan Nurdin, Muhamad Farudin, Nurhidayah Muhcti
Abstrak
Pranata kepailitan merupakan solusi dalam menyelesaikan permsalahan sengketa utang piutangnya kepada kreditor. Permasalahan muncul ketika kepailitan melibatkan unsurunsur internasional atau lebih dikenal sebagai kepailitan lintas batas (Cross Border Insolvency). Terdapat instrumen yang cukup komprehensif dalam mengatur kepailitan lintas batas dalam lingkup internasional, yaitu Model Law on Cross Border Insolvency yangdikeluarkan oleh UNCITRAL. Indonesia belum mengadopsi Model Law on Cross Border Insolvency karena terdapat beberapa perbedaan dalam hal prinsip penerapannya. Namun, Model Law on Cross Border Insolveny bukan merupakan satusatunya upaya dalam menyelesaikan sengketa kepailitan lintas batas. Terdapat upayaupaya lain yang dapat ditempuh yaitu melalui proses pengadilan, perjanjian internasional baik perjanjian bilateral ataupun perjanjian multilateral, dan hubungan diplomatik. Hasil penelitian menunjukan bahwa upaya-upaya tersebut dianggap kurang dapat mengatasi permasalahan kepailitan lintas batas sehingga pada akhirnya penting bagi pemerintah Indonesiauntuk dapat segeramengadopsi Model Law on Cross Border
Insolvency. Pada dasarnya Model Law on Cross Border Insolvency adalah pedoman bagi negara-negara untuk menginternalisasikan ke dalam hukum nasionalnya agar selaras dengan ketentuan yang terdapat pada lingkup internasional.

Kata Kunci: kepailitan, kepailitan lintas batas, Model Law on Cross Border Insolvency,
A. Latar Belakang
Perkembangan dunia bisnis yang sangat dinamis memaksa pihak-pihak yang
terlibat di dalamnya untuk dapat adaptif dalam menghadapi berbagai rintangan. Hal
tersebut mutlak dimiliki oleh pelaku usaha yang diimplementasikan dengan upayaupaya tertentu agar bisnisnya dapat berjalan secara kontinuitas. Di dalam dunia usaha, risiko yang harus dihadapi oleh pelaku usaha adalah risiko kepailitan dimana pelaku
usaha tidak dapat membayar utangnya kepada pihak-pihak tertentu atau kreditor.
Dalam sistem hukum Indonesia terdapat mekanisme yang dapat menjadi solusi dari
Himpunan Mahasiswa Hukum Ekonomi

Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran
LEXECON, EDISI 1 TAHUN 2023
ketidakmampuanpelaku usahadalammembayarutangnyakepadakreditor.Mekanisme
tersebut dikenal dengan istilah Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran
Utang (KPKPU) yang secara umum diatur di dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun
2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UU KPKPU).
Kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan debitor pailit yang
pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh kurator di bawah pengawasan Hakim
Pengawas.1 Pranata kepailitan pada hakikatnya merupakan upaya penyelesaian
terhadap debitor yang memenuhi kriteria debitor pailit dan bukan upaya untuk
membangkrutkan usaha. Prinsip tersebut di dalam hukum kepailitan dikenal dengan
prinsip Commercial Exit From Financial Distress. Dengan demikian maka dapat
dipahami bahwa kepailitanmerupakansolusi bagi debitor yangsudahtidak mampulagi membayar utang-utangnya kepada para kreditor.2
Debitor yang ingin mengajukan mekanisme KPKPU harus memperhatikan
ketentuan di dalam Pasal 2 ayat (1) UU KPKPU. Menurut ketentuan pasal tersebut, debitor yang dapat mengajukan KPKPU adalah debitor yang memiliki dua atau lebih kreditor dan belum membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih; debitor tersebut dinyatakan pailit oleh pengadilan baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih kreditornya; dan telah dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan. Selain itu, Pasal 8 ayat 4 UU KPKPU
menyatakan bahwa persyaratan yang disebutkan pada Pasal 2 ayat (1) UU KPKPU tersebut harus dibuktikan secara sederhana. Jika terbukti secara sederhana bahwa persyaratan untuk dinyatakan pailit ada, permohonan pailit harus diterima 3 Dalam UU
KPKPU, hanya permohonan pernyataan pailit yang memungkinkan pembuktian sederhana. Namun, dalam PKPU, pembuktian sederhana tidak ditentukan.4
Ada dua fase dalam kasus kepailitan: fase sekestrasi, atau konservatoir, dan fase insolvensi, atau executoir. Jika dalam fase sekestrasi tidak tercapai perdamaian antara debitor dan kreditornya, debitor yang dinyatakan pailit akan masuk ke fase executoir.
Jika debitor pailit tidak sampai ke fase kedua, fase pertama akan menghasilkan perdamaian antara debitor dan kreditornya, yang di homologasi oleh Pengadilan
1 Indonesia, Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, UU No. 37 Tahun 2004, Ps. 1 angka ke-1.
2 Hadi Shubhan, Hukum Kepailitan: Prinsip, Norma, dan Praktik di Peradilan, (Jakarta: Kencana, 2009), hlm. 1.
3 Ridwan Khairandy, Pokok-Pokok Hukum Dagang Indonesia, (Yogyakarta: FH UII Press, 2017), hlm. 517.
4 Devi Andani dan Wiwin Budi Pratiwi, “Prinsip Pembuktian Sederhana dalam Permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang”, Jurnal Hukum IUS QUIA IUSTUM 3 (September 2021), hlm. 642.
Himpunan Mahasiswa Hukum Ekonomi

Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran
LEXECON, EDISI 1 TAHUN 2023
Niaga. 5 Di dalam perkembangannya, terdapat masalah yang timbul dalam hal debitor
yang telah masuk ke dalam fase insolvensi. Masalah tersebut adalah ketika debitor
memiliki aset di luar wilayah Negara Republik Indonesia sehingga menimbulkan permasalahan baru dalam mengeksekusi boedel pailit milik debitor untuk pemenuhan piutang kreditor. Permasalahan tersebut dikenal juga sebagai Cross Border Insolvency (Selanjutnya disebut sebagai CBI).
CBI atau yang lebih dikenal dengan Kepailitan lintas batas telah menjadi isu yang semakin penting dalam konteks bisnis global saat ini. Dalam era globalisasi, perusahaan-perusahaan semakin terlibat dalam transaksi lintas batas yang kompleks, beroperasi di berbagai negara, dan memiliki jaringan bisnis yang terhubung secara internasional. Namun, dengan meningkatnya kompleksitas bisnis lintas batas, risiko keuangan juga meningkat, dan banyak perusahaan menghadapi kesulitan keuangan yang serius. Menurut Huala Adolf, yang dimaksud dengan CBI adalah keadaan dimana terdapat unsur-unsur asing seperti perbedaan kedudukan hukum para pihak, perbedaan kewarganegaraan, dan debitor memiliki harta kekayaan di beberapa negara.6 Kepailitan lintas batas terjadi ketika perusahaan atau entitas bisnis tidak lagi mampu memenuhi
kewajiban keuangannya dan tidak memiliki sumber daya yang cukup untuk membayar hutang-hutangnya kepada kreditur. Dalam situasi seperti itu, proses kepailitan dimulai, yang melibatkan likuidasi atau reorganisasi keuangan perusahaan untuk mencapai
pembayaran yang adil dan efisien kepada kreditur.
Namun, kepailitan lintas batas berbeda secara signifikan dengan kepailitan dalam satu yurisdiksi tunggal. Dalam kasus kepailitan lintas batas, perusahaan
menghadapi tantangan yang lebih kompleks karena adanya perbedaan hukum, sistem peradilan, dan prosedur di berbagai negara yang terlibat. Faktor-faktor ini memberikan tantangan tambahan dalam melaksanakan proses kepailitan yang efektif dan adil.
Secara formil, eksekusi harta debitor pailit yang berada di luar wilayah Indonesia
tentunya akan mengalami kesulitan ketika berhadapan dengan ketentuan yurisdiksi dari
wilayah negara lain.7 Hal ini menunjukkan bahwa proses kepailitan lintas batas
membutuhkan bantuan baik persetujuan atau kerjasama pihak antar negara demi mewujudkan keberlangsungan proses kepailitan lintas batas yang optimal .
5 Pupung Faisal, “Kajian Hukum Acara Perdata Terhadap Pelaksanaan Renvooi Procedure dalam Proses Kepailitan””, Jurnal Hukum Acara Perdata 1 (Januari-Juni 2016), hlm. 137.
6 Huala Adolf, “Perlindungan Hukum Terhadap Investor Dalam Masalah Hukum Kepailitan, Tinjauan Hukum Bisnis dan Penerapannya”, Jurnal Hukum Bisnis Vol. 28 (2009), hlm. 24.
7 Loura Hardjaloka, “Kepailitan Lintas Batas Perspektif Hukum Internasional dan Perbandingannya dengan Instrumen Nasional di Beberapa Negara”, Yuridika 30 (September 2015), hlm. 483
LEXECON, EDISI 1 TAHUN 2023
Peraturan perundang-undangan Indonesia saat ini tidak memadai untuk perkara
kepailitan yang melibatkan elemen lintas negara. Ketentuan hukum internasional diatur dalam UU KPKPU dalam tiga pasal. Pasal 212 hingga 214 mengatur hukum internasional. Menurut Hadi Shubhan, UU KPKPU tidak komprehensif dalam mengatur masalah CBI. Namun, UU tersebut memberikan dasar bahwa boedel pailit milik debitor di luar wilayah Negara Republik Indonesia dapat digunakan sebagai pelunasan piutang kreditor.8
Berdasarkan kondisi tersebut maka menimbulkan ketidakpastian hukum bagi debitor maupun kreditor yang dalam menjalankan bisnisnya melibatkan pihak-pihak internasional. Terdapat kontradiksi dalam pengaturan mengenai hukum internasional di dalam UU KPKPU yang menganut prinsip universal dan sistem hukum perdata internasional Indonesia yang menganut asas teritorial. Hal tersebut kemudian berdampak pada penyelesaian kepailitan lintas batas menjadi tidak optimal dalam penyelenggaraannya maupun saat eksekusi harta pailit. Sifat universal dalam UU KPKPU tersebut dapat ditepis apabila negara lain menentukan sikap tidak mengakui putusan pailit Indonesia. Terdapat pengakuan masing-masing negara atas prinsip sovereignty (kedaulatan teritori) yang tidak bisa dikesampingkan.
Sebenarnya, negara-negara yang ingin menerapkan kepailitan lintas batas di negaranya telah memperoleh instrumen di ruang internasional. Model Law on CrossBorder Insolvency disahkan oleh United Nations Commission on International Trade Law (UNCITRAL) pada tahun 1997. Tujuan dari Model Law adalah untuk menciptakan kepastian hukum dalam aktivitas perdagangan dan investasi. Selain itu, diharapkan Model Law dapat menangani masalah kepailitan lintas batas yang sering terjadi di seluruh dunia. Namun, pada kenyataannya, tidak semua negara menerapkan
Model Law dalam sistem hukum mereka. Indonesia adalah salah satu negara yang
belum mengadopsi Model Law tentang hukum kepailitan. Hal yang mendasari

mengapa sampai saat ini Indonesia belum mengadopsi Model Law salah satunya adalah
karena terdapat perbedaan prinsip antara hukum kepailitan Indonesia dengan hukum
kepailitan yang berlaku dalam lingkup internasional. Hal ini tentunya menjadi
permasalahan tersendiri bagi pihak-pihak yang terlibat dalam proses kepailitan yang
melibatkan unsur luar negara.
Himpunan Mahasiswa Hukum Ekonomi

Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran
LEXECON, EDISI 1 TAHUN 2023
Dalam kasus tertentu, pada tahun 2002, Pengadilan Negeri Niaga Jakarta Pusat
mengeluarkan putusan No. 30/PAILIT/2002/ PN.NIAGA/JKT/PST8 dalam kasus
sengketa antara Ny. Nyoman Soe Rabratha dan Ir. Marcus Pramono S. sebagai
pemohon pailit melawan pihak termohon The Ortrich Meat & Marketing Co.
(Australia) Ltd., sebuah perusahaan multinasional Australia yang beroperasi di wilayah
Asia,termasuk di Indonesia.Pengadilanmenolak permohonanpailit karena perusahaan multinasional tersebut tidak terbukti berkedudukan di Indonesia dan tidak memiliki kantor perwakilan yang sesuai dengan peraturan Perusahaan dan Penanaman Modal
Asing. Saat keputusan tersebut tidak dapat mewujudkan prinsip keadilan dan kepastian hukum, timbul masalah. Perusahaan yang berkedudukan atau memiliki aset di luar wilayah Indonesia tidak dapat dieksekusi hartanya atau bahkan ada perdebatan dalam memutuskan yurisdiksi berkaitan dengan kompetensi relatifnya.9
Berdasarkanpadapermasalahantersebut,makadi dalamtulisaninipenulis akan merumuskan beberapa rumusan masalah yang akan dikaji yaitu sebagai berikut:
1. Bagaimana perbedaan pengaturan CBI pada UU KPKPU dengan Model Law?
2. Bagaimana implementasi CBI pada negara yang tidak mengadopsi Model Law?
3. Bagaimana urgensi penerapan Model Law di indonesia?
B. Pembahasan
1. Pengaturan CBI pada UU KPKPU dan Model Law
CBI adalah kepailitan yang berasal dari transaksi bisnis internasional yang melewati batas negara, sehingga kepailitan dilakukan tidak berasal dari negara di mana proses kepailitan terjadi. Dengan demikian, CBI akan menjadi masalah jika tidak ada peraturan hukum yang diakui oleh negara-negara yang terlibat dalam transaksi tersebut 10 CBI adalah kepailitan yang berasal dari transaksi bisnis internasional yang melewati batas negara, sehingga kepailitan dilakukan tidak berasal dari negara di mana proses kepailitan terjadi. Dengan demikian, CBI akan menjadi masalah jika tidak ada peraturan hukum yang diakui oleh negara-negara yang terlibat dalam transaksi tersebut. Namun, tidak ada penjelasan lebih lanjut mengenai mekanisme dan prosedur dalam pelaksanaan pasal di atas. Sehingga, timbul kekosongan hukum dalam
9 Asnil, Dicky Moallavi. "UNCITRAL Model Law on Cross Border Insolvency Sebagai Model Pengaturan Kepailitan Lintas Batas Indonesia dalam Integrasi Ekonomi ASEAN." Undang: Jurnal Hukum 1.2 (2018), hlm. 327.
10 Amalia, Jihan. "Urgensi Implementasi UNCITRAL Model Law On Cross-Border Insolvency di Indonesia: Studi Komparasi Hukum Kepailitan Lintas Batas Indonesia dan Singapura." Jurnal Hukum Bisnis Bonum Commune 2.2 (2019), hlm. 163.
Himpunan Mahasiswa Hukum Ekonomi

Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran
LEXECON, EDISI 1 TAHUN 2023
pelaksanaan kepailitan lintas batas di Indonesia. Kekosongan hukum ini
menimbulkan ketidakpastian hukum bagi debitur maupun kreditur yang
menemui kepailitan dalam perjanjian pinjam-meminjam dalam bisnis internasional yang dilakukannya.
Salah satu perbedaan prinsip antara kepailitan yang dianut oleh hukum
kepailitan di Indonesia dengan kepailitan di negara-negara lain adalah dalam hal kriteria debitor dapat dinyatakan pailit. Menurut Hikmahanto Juwana
melalui Hukumonline.com salah satu aspek yang harus dilakukan harmonisasi
dalam aturan kepailitan Indonesia adalah persoalan kriteria pailit perusahaan yang tidak selaras dengan aturan kepailitan di negara lain.11 Kriteria kepailitan menurut hukum Indonesia adalah ketika debitor mempunyai utang kepada dua atau lebih kreditor dan debitor tidak dapat membayar salah satu utangnya yang
telah jatuh tempo dan dapat ditagih.12 Berbeda dengan kriteria kepailitan di negara lain dimana insolvency test digunakan untuk menilai suatu perusahaan
sudah dalam keadaan pailit adalah ketika perusahaan sudah benar-benar tidak
mampu lagi membayar utang. Disparitas tersebut yang kemudian menjadi polemik tersendiri bagi Indonesia ketika ingin mengadopsi UNCITRAL Model Law on Cross-Border Insolvency with Guide to Enactment. Oleh karena itu, kriteria pailit dalam hukum pailit Indonesia harus diperbaiki dan disesuaikan dengan aturan di banyak negara sehingga tidak berpotensi menimbulkan masalah baru ketika putusan pengadilan Indonesia sudah diakui negara yang bersangkutan.
Prinsip universal dan teritorial adalah pedoman penerapannya untuk CBI. Secara teori, prinsip universal berpendapat bahwa putusan kepailitan yang diputuskan di suatu negara memiliki akibat hukum terhadap harta-harta Debitor di berbagai negara. Di sisi lain, prinsip teritorial berpendapat bahwa putusan kepailitan hanya berlaku di negara di mana ia dibuat.
Prinsip Universal yang dipegang oleh UU KPKPU Indonesia adalah bahwa putusan pailit pengadilan nasional berlaku untuk semua harta debitur, baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Konsep ini menekankan
11 Hamalatul Qur’ani, “Revisi UU Kepailitan Buka Pintu Eksekusi Putusan Asing yang Akui Putusan Indonesia”, https://www.hukumonline.com/berita/a/revisi-uu-kepailitan-buka-pintu-eksekusi-putusan-asing-yang-akui-putusan-indonesialt5b973709053da?page=all, diakses 21 Juni 2023.
12 Pasal 2 ayat (1) UU KPKPU
Himpunan Mahasiswa Hukum Ekonomi
Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran
LEXECON, EDISI 1 TAHUN 2023
kemungkinan keberhasilan CBI 13 Namun, prinsip universal yang dianut oleh
UU KPKPU ini bertentangan dengan prinsip kedaulatan setiap negara. Prinsip ini mengatakan bahwa putusan pengadilan asing tidak dapat serta merta diterapkan di wilayah negara lain karena setiap negara memiliki kedaulatannya sendiri, yang tidak dapat dianggap sebelah mata oleh negara lain.14 Selain itu, prinsip teritorialitas Indonesia menghalangi pelaksanaan putusan pengadilan asing di wilayah Republik Indonesia. Prinsip ini mengharuskan putusan pengadilan yang dibuat di luar negeri tidak dapat secara langsung diterapkan di wilayah lain atas kekuatannya sendiri. Prinsip teritorialitas mengatakan bahwa pernyataan pailit, proses, dan pengakhiran kepailitan hanya dapat berlaku di wilayah negara tempat pengadilan yang menangani kepailitan tersebut berada. Oleh karena itu, putusan pailit yang dibuat oleh suatu negara hanya dapat berlaku di wilayah negara tempat putusan pailit tersebut dibuat. Namun, perundang-undangan Indonesia tidak mengatur pengakuan dan pelaksanaan putusan pengadilan asing mengenai CBI 15
Di sisi lain, dalam jangkauan yang lebih luas, Pada tahun 1977, UNCITRAL sebagai badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang memiliki tanggung jawab dalam melakukan modernisasi perdagangan internasional telah mengeluarkan Model Law. Model law dalam lingkup kepailitan lintas batas tersebut merupakan upaya yang dilakukan oleh UNCITRAL agar terdapat harmonisasi dalam hal pengaturan kepailitan lintas batas. Sehingga harapannya negara-negara dapat mengadopsi Model Law tersebut dan dapat mengatasi permasalahan-permasalahan terkait kepailitan lintas batas yang terjadi di seluruh dunia. Lebih dari itu, Model Law juga menekankan pada otorisasi dan kordinasi atau kerja sama antara yurisdiksi antar negara, harmonisasi undangundang kepailitan secara substantif, dan menghormati perbedaan antara undang-undang di tiap negara.16
Model Law ini secara umum memiliki lima tujuan yang disebutkan dalam pembukaan Model Law, yaitu:17
13 Simanjuntak, Herry Anto. "Prinsip prinsip dalam hukum kepailitan dalam penyelesaian utang debitur kepada kreditur." Jurnal Justiqa 2.2 (2020), hlm. 25.
14 Satrio, Adi, R. Kartikasari, and Pupung Faisal. "Eksekusi Harta Debitor Pailit Yang Terdapat Di Luar Indonesia Dihubungkan Dengan Pemenuhan Hak-Hak Kreditor." Ganesha Law Review 2.1 (2020), hlm. 98.

15 Puspitasari, Lia Nopiharni, et al. "ProblematikaEksekusi Harta Pailit Dalam Cross Border Insolvency." Jurnal USM Law Review 4.2 (2021), hlm. 749.
16 United Nations Commission on International Trade Law, https://uncitral.un.org/, diakses pada 10 Juni 2023.
17 Preambule UNCITRAL Model Law on Cross-Border Insolvency with Guide to Enactment.
1. Cooperation between the courts and other competent authorities of this State and foreign States involved in cases of cross-border insolvency (kerjasama antara pengadilan dan pejabat negara lain yang berwenang dan negara-negara asing ini terlibat dalam kasus-kasus kebangkrutan lintas batas).

2. Greater legal certainty for trade and investment (kepastian hukum yang lebih baik untuk perdagangan dan investasi).
3. Fair and efficient administration of cross-border insolvencies that protects the interests of all creditors and other interested persons, including the debtor (administrasi insolvensi lintas batas yang adil dan efisien yang melindungi kepentingan semua kreditor dan orang-orang yang berkepentingan lainnya, termasuk debitor).
4. Protection and maximization of the value of the debtor’s assets (perlindungan dan maksimalisasi nilai aset debitor).
5. Facilitation of the rescue of financially troubled businesses, thereby protecting investment and preserving employment (memfasilitasi penyelamatan bisnis/usaha yang bermasalah secara finansial, sehingga melindungi investasi dan melestarikan ketenagakerjaan).
Dengan kata lain, pengaturan CBI di dalam Model Law lebih detail dan memberikan kepastian hukum yang jelas dibandingkan dengan pengaturan yang berlaku di dalam UU PKPU.
2. Implementasi CBI pada negara yang tidak mengadopsi Model Law
Sejak disahkan pada tahun 1977 terdapat 48 negara yang telah mengadopsi model law ke dalam hukum nasionalnya, termasuk 3 negara
ASEAN yaitu Filipina yang mengadopsi pada tahun 2010, Singapura yang mengadopsipadatahun2017,danMyanmar yang mengadopsipadatahun2020.
Dalam konteks perjanjian bilateral, Singapura dengan Malaysia adalah dua negara ASEAN yang memiliki komitmen dalam melakukan modernisasi dan harmonisasi hukum kepailitan untuk menghadapi interaksi ekonomi dunia.18
Reformasi tersebut diimplementasikan melalui perjanjian bilateral terkait
kepailitan lintas batas atau dikenal sebagai “Mutual Recognition and Mutual
LEXECON, EDISI 1 TAHUN 2023
Enforcement of Republic of Singapore and Malaysia.” Komitmen dari kedua
negara tersebut yang belum ditunjukan oleh perumus kebijakan di Indonesia.
Sampai dengan saat ini Indonesia belum memiliki instrumen hukum, baik sifatnya pengadopsian terhadap UNCITRAL Model Law, maupun perjanjian bilateralantarnegara yangdapatmemungkinkandilaksanakannyaputusanpailit pada pengadilan di Indonesia di luar wilayah NKRI. Hal yang mendasari mengapa sampai saat ini Indonesia belum mengadopsi UNCITRAL Model Law
adalah karena pada prinsipnya terdapat perbedaan antara UNCITRAL Model Law on Cross-Border Insolvency with Guide to Enactment dengan hukum kepailitan yang berlaku di Indonesia.
Pada praktiknya tidak hanya UNCITRAL Model Law saja yang dapat digunakan sebagai instrumen dalam melaksanakan kepailitan lintas batas. Terdapat upaya-upaya lain yangdapat ditempuh agardapat melakukan eksekusi harta debitor pailit yang berada di luar wilayah NKRI. Upaya lain yang dapat

ditempuh adalah melalui proses pengadilan secara umum, menggunakan perjanjian bilateral, atau melalui hubungan diplomatik.19 Dalam hal kepailitan
lintas batas melalui pengadilan secara umum, maka suatu negara harus mengajukan putusan kepailitan yang diputus di pengadilan suatu negara kepada pengadilan di negara tempat harta debitor berada. Penyelesaian kepailitan lintas batas melalui pengadilan secara umum sulit untuk diimplementasikan karena dalam prosesnya akan menyesuaikan dengan sistem hukum dari tiap negara yang tentunya memiliki perbedaan. Hal ini juga berlaku pada proses permohonan pengakuan putusan pailit. Jika pengadilan di luar negeri mengeluarkan putusan pailit terhadap debitor yang memiliki aset yang berada di wilayah NKRI, maka pengadilan negeri dapat meminta putusan asing tersebut untuk diakui dan digunakan sebagai dasar untuk mengambil aset tersebut.
Penyelesaian kepailitan lintas batas melalui perjanjian bilateral pada umumnya melibatkan dua negara yang mengatur mengenai penangguhan, prosedur penyelesaian klaim, dan prosedur komunikasi antar pengadilan.
Contohpenerapanperjanjianbilateraldalampenyelesaiankepailitanlintasbatas adalah perjanjian bilateral antara Singapura dan Malaysia. Perjanjian tersebut
Himpunan Mahasiswa Hukum Ekonomi

Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran
LEXECON, EDISI 1 TAHUN 2023
memungkinkan kedua negara untuk melaksanakan putusan kepailitan dapat dieksekusi baik di Singapura dan Malaysia.20 Selain perjanjian bilateral, perjanjian multilateral juga dapat diimplementasikan dalam menyelesaikan kepailitanlintasbatas.European Uniontelahmembentuk perjanjian multilateral yang mengatur mengenai kepailitan lintas batas sehingga negara yang tergabung dalam European Union dapat secara langsung mengeksekusi karena adanya perjanjian multilateral tersebut.21
Tidak semua negara memiliki perjanjian yang mengatur mengenai kepailitan lintas batas, baik perjanjian bilateral ataupun perjanjian multilateral. Upaya lain yang dapat ditempuh oleh negara yang tidak mempunyai perjanjian kepailitan lintas batas adalah melalui hubungan diplomatik. Hubungan diplomatik ini mengedepankan prinsip hukum internasional berupa kerja sama internasional sehingga dapat mendukung pemecahan masalah yang berkaitan dengan ekonomi, termasuk penyelesaian kasus kepailitan lintas batas negara. Namun, dalam praktiknya penyelesaian kasus kepailitan lintas batas negara jarang digunakan karena basis pendekatannya lebih condong kepada aspek politik. Sehingga hanya akan diwujudkan ketika masing-masing negara merasa saling diuntungkan saja.22
3. Urgensi penerapan Model Law di Indonesia
Pada dasarnya, hukum kepailitan yang telah berlaku di Indonesia tidak diatur secara rinci berkaitan dengan permasalahan kepailitan lintas batas suatu negara. Hal ini berimbas kepada beberapa kasus yang telah terjadi dan dirasa merugikan warga negara Indonesia. Kasus sengketa yang telah terjadi pada Nyoman Soerabratha dengan Ir. Marcus Pramono S yang kala itu mengajukan
permohonan gugatankepailitan yangdiajukankepadaPengadilan Niaga Jakarta
Pusat atas Perusahaan The Ortrich Meat & Marketing Co. yang merupakan
suatu perusahaan besar yang berasal dan berkedudukan di Australia
menimbulkan kerugian kepada Nyoman dan Marcus, karena pengadilan
tersebut tidak dapat menerima pengajuan permohonan pailitnya karena
20 Arnoldi Wachid, dan Levina Yustitianingtyas, “Bankruptcy Boedel Execution Practices in IndonesiaI”, Journal of Private and Commercial Law, Vol, 4, No. 1 (2020), hlm. 45
21 Wirjono Prodjodikoro, Asas Hukum Perdata Internasional, (Jakarta: N.V.VanDorp&Co.,1954), hlm. 140
22 Hamalatus Qur’ani, “Cross Border Insolvency: Perlukah Indonesia Adopsi UNCITRAL Model Law 1977”, https://www.hukumonline.com/stories/article/lt5fa3ff00cfa54/cross-border-insolvency perlukah-indonesia-adopsi-uncitral-model-law1997#, diakses 23 Juni 2023.
LEXECON, EDISI 1 TAHUN 2023
diketahui bahwa perusahaan yang digugat tersebut ternyata tidak memiliki
kedudukan domisili di Indonesia.23 Perkara ini menunjukkan pentingnya
pemerintah Indonesia mulai bergerak untuk melakukan usaha memberlakukan
sistem kepailitan lintas batas negara dengan upaya melakukan pengadopsian
dari sistem Model Law
Pembentukan suatu pengaturan hukum mengenai kepailitan lintas batas
negara yang telah diatur dalam dokumen Model Law on ini dipandang sebagai
langkah solusi yang mudah untuk dilaksanakan.24 Penerapannya akan
memungkinkan terwujudnya proses kepailitan secara umum yang efektif, terutama dalam penyelesaian eksekusi boedel pailit apabila diketahui terletak
dan berada di suatu wilayah negara lain atau sebagai kepemilikan debitor yang
berkewarganegaraan asing yang negara tersebut juga menerapkan Model Law
ini. Pelaksanaan eksekusi boedel pailit pun akan terasa mudah oleh kurator
Indonesia untuk proses pengeksekusian aset atau barang yang berlokasi di wilayah luar negeri.
Pada dasarnya pengadopsian Model Law oleh suatu negara merupakan
langkah penting dalam membangun pola kerjasama peradilan yang efektif dalam melakukan penyelesaian kasus kepailitan yang melibatkan lintas batas antar negara. Singapura menjadi salah satu contoh negara yang telah mengimplementasikan satu langkah ini dengan mengadopsi Model Law melalui perubahan dari The Companies Act of 2013 menjadi The Companies (Amendment) Act 2017. Dengan adopsi Model Law ini, Singapura secara resmi membuka diri untuk menerapkan konsep kerjasama peradilan dalam melaksanakan proses eksekusi kepailitan yang berkaitan erat dengan kasus kepailitan lintas batas negara. Hal ini menunjukkan komitmen Singapura dalam menghadapi tantangan yang timbul dalam penyelesaian kepailitan yang melibatkan perusahaan multinasional dengan aset dan kreditor yang tersebar di berbagai yurisdiksi.
Penerapan konsep kerjasama peradilan dalam eksekusi kepailitan lintas batas antar negara dengan melalui Model Law memiliki tujuan untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas proses penyelesaian kepailitan. Dengan
23 Dicky Moallavi Asnil, "Uncitral Model Law on Cross Border Insolvency sebagai Model Pengaturan Kepailitan Lintas Batas Indonesia dalam Integrasi Ekonomi ASEAN”, Undang : Jurnal Hukum, Vol. 1, No. 2 (2018), hlm. 327.
24 Jihan Amalia, “Urgensi Implementasi Uncitral Model Law on Cross Border Insolvency di Indonesia : Studi Komparasi Hukum Kepailitan Lintas Batas Indonesia dan Singapura.” Jurnal Hukum Bisnis Bonum Commune, Vol. 2, No. 2 (Agustus 2019), hlm. 170

LEXECON, EDISI 1 TAHUN 2023
mengadopsi Model Law, Singapura memperoleh kerangka hukum yang jelas dan terstruktur untuk memfasilitasi kolaborasi antara pengadilan dalam
mengelola kasus kepailitan yang melibatkan perusahaan dengan aset dan kreditor yang tersebar secara internasional. Dalam konteks ini, pengadopsian
Model Law yang dilakukan Singapura juga memberikan sinyal positif kepada
negara-negara lain dan komunitas internasional mengenai kesiapan dan komitmen Singapura untuk menjadi pusat penyelesaian kepailitan lintas batas yang kompeten dan terpercaya. Langkah ini dapat membantu memperkuat citra
Singapura sebagai pusat bisnis dan keuangan yang memiliki lingkungan hukum yang kondusif dan modern untuk menangani masalah kepailitan yang kompleks dan melintasi batas-batas negara.
Dengan mengadopsi Model Law, Singapura telah melakukan perubahan dalam peraturan perundang-undangannya. Tindakan ini menunjukkan urgensi dan pentingnya menerapkan kerangka hukum internasional ini dalam menyelesaikan kasus kepailitan yang melibatkan perusahaan dari berbagai negara. Langkah ini memiliki beberapa manfaat, antara lain memperkuat kerjasamaperadilan,memfasilitasiproseseksekusikepailitanyangefisien,serta meningkatkan posisi Singapura sebagai tujuan menarik bagi perusahaan multinasional dan kreditor internasional.

Melihat manfaat yang diperoleh oleh Singapura dari tindakannya, Negara Indonesia sebaiknya mempertimbangkan untuk mengadopsi pola yang sama dengan mengadopsi sistem Model Law. Langkah ini akan memperkuat kepastian hukum bagi masyarakat Indonesia yang terlibat dalam transaksi lintas batas negara. Dengan memprioritaskan asas kepastian hukum, pengadopsian sistem Model Law ini diharapkan dapat memperkuat kerjasama ekonomi antara Indonesia dan negara-negara lain yang terlibat dalam transaksi lintas batas.
C. Penutup
1. Kesimpulan
CBI adalah kepailitan yang terjadi dalam transaksi bisnis internasional yang melewati batas negara. Hukum kepailitan di Indonesia belum mengatur secara rinci tentang kepailitan lintas batas sehingga menyebabkan kekosongan hukum dan ketidakpastian hukum bagi debitur dan kreditor yang terlibat untuk
LEXECON, EDISI 1 TAHUN 2023
melakukan eksekusi pailit dalam lintas batas negara. Walaupun UU KPKPU di Indonesia menganut prinsip universal dimana suatu putusan kepailitan yang
diucapkan suatu negara memiliki akibat hukum terhadap harta-harta Debitor yang berada di berbagai negara. Namun, prinsip tersebut bertentangan dengan prinsip sovereignty dan prinsip teritorialitas yang ada. Adapun di sisi lain, Model Law hadir memberikan pengaturan yang lebih detail dan kepastian hukum yang jelas dalam kepailitan lintas batas. Model Law ini memiliki tujuan kerjasama antara pengadilan dan negara lain, kepastian hukum, perlindungan kepentingan kreditor dan pihak terkait, perlindungan aset debitor, serta fasilitasi penyelamatan bisnis yang bermasalah secara finansial.
Tidaksemuanegara mengadopsi Model Law.Sejakdisahkan padatahun

1977 Model Law baru diadopsi oleh 49 negara di seluruh dunia. Dalam lingkup Asia Tenggara, hanya 3 negara saja yang sudah mengadopsi Model Law yaitu
Filipina, Singapura, dan Myanmar. Indonesia sampai dengan saat ini belum mengadopsi Model Law.Hal ini tentunya menjadi polemik tersendiri mengingat terdapat perbedaan dalam hal prinsip antara UU KPKPU dengan Model Law.
Pada praktiknya Model Law bukan satu-satunya instrumen yang dapat digunakan dalam menyelesaikan kepailitan lintas batas. Terdapat upaya lain yaitu melalui proses pengadilan, perjanjian internasional baik perjanjian
bilateral ataupun perjanjian multilateral, dan hubungan diplomatik.
Penyelesaiankepailitan lintasbatasmelalui pengadilansecaraumum sulit untuk diimplementasikan karena dalam prosesnya akan melibatkan beberapa sistem hukum dari tiap negara. Kemudian untuk penyelesaian kepailitan lintas batas melaluiperjanjianinternasionalsudahterbuktiefektifsebagaimanaterlihatpada perjanjian bilateral antara Malaysia dengan Singapura dalam hal perjanjian bilateral, dan European Union dalam hal perjanjian multilateral. Selanjutnya penyelesaian kepailitan lintas batas dengan cara hubungan diplomatik dalam praktiknya jarang digunakan karena menggunakan pendekatan politik sehingga
hanya akan terwujud apabila masing-masing negara memiliki kepentingan.
Penting bagi pemerintah Indonesia untuk segera mengadopsi sistem
Model Law. Kasus-kasus kepailitan lintas batas yang telah terjadi di Indonesia
menunjukkan kebutuhan akan kerangka hukum yang lebih jelas dan terstruktur dalam menyelesaikan sengketa tersebut. Dengan mengadopsi Model Law ini,
LEXECON, EDISI 1 TAHUN 2023
Indonesia dapat memperkuat kerjasama peradilan dengan negara lain, meningkatkan efisiensi proses penyelesaian kepailitan, dan memperoleh
kepastian hukum yang diperlukan dalam transaksi lintas batas negara. Melihat langkah yang telah dilakukan negara lain seperti Singapura, pengadopsian
Model Law ini juga akan membantu Indonesia memperkuat citra sebagai negara yang kompeten dan terpercaya dalam menangani kasus kepailitan lintas batas. Oleh karena itu, pemerintah Indonesia harus segera mengambil tindakan untuk mengadopsi Model Law demi kepentingan masyarakat dan perekonomian negara.
Pemerintah sudah seharusnya melakukan sinkronisasi terhadap hukum
kepailitan Indonesia. Hal ini dilakukan dengan tujuan agar hukum kepailitan yang berlaku di Indonesia tidak bertentangan dengan hukum kepailitan yang berlaku secara internasional sehingga lebih mudah dalam melaksanakan kepailitan lintas batas di Indonesia. Pemerintah harus segera melakukan revisi terhadap UU KPKPU, khususnya pada pasal yang mengatur mengenai hukum internasional yaitu pada Pasal 212 sampai dengan Pasal 214. Setelah revisi
terhadap UU KPKPU sudah dilakukan dan hukum kepailitan Indonesia sudah sesuai dengan hukum kepailitan di dunia internasional, maka selanjutnya pemerintah dapat segera mengadopsi Model Law.

Himpunan Mahasiswa Hukum Ekonomi
Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran
LEXECON, EDISI 1 TAHUN 2023
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Khairandy,Ridwan. Pokok-PokokHukum Dagang Indonesia.Yogyakarta: FHUIIPress,2017.
Prodjodikoro, Wirjono. Asas Hukum Perdata Internasional.Jakarta: N.V.VanDorp&Co, 1954.
Shubhan, Hadi. Hukum Kepailitan: Prinsip, Norma, dan Praktik di Peradilan. Jakarta: Kencana, 2009.
Jurnal
Adolf, Huala. “Perlindungan Hukum Terhadap Investor Dalam Masalah Hukum Kepailitan, Tinjauan Hukum Bisnis dan Penerapannya.” Jurnal Hukum Bisnis, Vol. 28, 2009.
Amalia, Jihan, “Urgensi Implementasi Uncitral Model Law on Cross Border Insolvency di Indonesia: Studi Komparasi HukumKepailitan LintasBatas Indonesiadan Singapura.”
Jurnal Hukum Bisnis Bonum Commune, Vol. 2, No. 2 (Agustus 2019).
Andani, Devi dan Wiwin Budi Pratiwi. “Prinsip Pembuktian Sederhana dalam Permohonan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.” Jurnal Hukum IUS QUIA IUSTUM 3 (September 2021)
Faisal, Pupung. “Kajian Hukum Acara Perdata Terhadap Pelaksanaan Renvooi Procedure dalam Proses Kepailitan.” Jurnal Hukum Acara Perdata 1 (Januari-Juni 2016).
Hardjaloka, Loura. “Kepailitan Lintas Batas Perspektif Hukum Internasional dan Perbandingannya dengan Instrumen Nasional di Beberapa Negara.” Yuridika 30 (September 2015).
Moallavi, Dicky. "Uncitral Model Law on Cross Border Insolvency sebagai Model Pengaturan Kepailitan Lintas Batas Indonesia dalam Integrasi Ekonomi ASEAN." Undang: Jurnal Hukum, Vol. 1, No. 2 (2018).
Puspitasari, Lia Nopiharni, et al. "Problematika Eksekusi Harta Pailit Dalam Cross Border Insolvency." Jurnal USM Law Review 4.2 (2021).
Rahmawati, Rizka. “Eksekusi Aset Devitor yang Berada Di Luar Negeri dalam Penyelesaian Sengketa Kepailitan.” SASI, Vol. 23, No. 2, (Juli-Desember 2019).
Satrio, Adi, R. Kartikasari, and Pupung Faisal. "Eksekusi Harta Debitor Pailit Yang Terdapat Di Luar Indonesia Dihubungkan Dengan Pemenuhan Hak-Hak Kreditor." Ganesha Law Review 2.1 (2020).

Himpunan Mahasiswa Hukum Ekonomi Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran LEXECON, EDISI 1 TAHUN 2023
Simanjuntak, Herry Anto. "Prinsip prinsip dalam hukum kepailitan dalam penyelesaian utang debitur kepada kreditur." Jurnal Justiqa 2.2 (2020).
Tania, Neysa, Gunardi Lie, and Moody R. Syailendra. "Problematika Eksekusi Harta Pailit di Luar Yurisdiksi Indonesia dalam Perkara Kepailitan Lintas Negara." Prosiding Serina
1.1 (2021)
Wachid, Arnoldi dan Levina Yustitianingtyas. “Bankruptcy Boedel Execution Practices in IndonesiaI.” Journal of Private and Commercial Law, Vol, 4, No. 1 (2020).
Internet
Hamalatul Qur’ani, “Revisi UU Kepailitan Buka Pintu Eksekusi Putusan Asing yang Akui Putusan Indonesia”, https://www.hukumonline.com/berita/a/revisi-uu-kepailitan-bukapintu-eksekusi-putusan-asing-yang-akui-putusan-indonesialt5b973709053da?page=all, diakses 21 Juni 2023.

Hamalatus Qur’ani, “Cross Border Insolvency: Perlukah IndonesiaAdopsi UNCITRAL Model Law 1977”,
https://www.hukumonline.com/stories/article/lt5fa3ff00cfa54/crossborder-insolvency perlukah-indonesia-adopsi-uncitral-model-law-1997#, diakses 23 Juni 2023.