
3 minute read
Sura itu Bulan di Tahun Jawa Lho...
ADA yang sering keliru pada masyarakat kita. Misalnya saja dalam menyambut datangnya tahun baru, kita sering saling mengicapkan selamat tahun baru. Nah, kekeliruan itu sering terjadi karena, kalender Jawa dan kalender Hijriyah waktunya bersamaan atau selisih satu hari. Maka bila besok Kamis, 21 September 2017 yang merupakan tahun baru Jawa sekaligus Hijriyah, semestinya kita tidak salahmengucapkan selamat tahun baru.
Kesalahan itu biasanya terjadi pada ucapan “SELAMAT TAHUN BARU 1 Sura 1439”.
Advertisement
Itu keliru. Yang benar adalah “Selamat Tahun Baru 1 Muharam 1439”. Karena tahun Jawa dan tahun Hijriyah itu berbeda. Tahun baru Jawa yang akan segera datang adalah 1951. Jadi kalau mau berucap yang benar adalah “Selamat Tahun Baru 1 Sura 1951”. Kalender atau penanggalan Jawa adalah system penanggalan yang diawali oleh Sultan Agung. Penanggalan ini sebenarnya merupakan gabungan dari penanggalan Jawa/Hindu (Saka), Arab (Hijriyah), dan ada juga pengaruh kalen- der Julian yang merupakan pengaruh Barat.
Uniknya juga, kalender Jawa ini menggunakan dua siklus hari, yakni siklus mingguan (Minggu-Sabtu) dan siklus pekan yang disebut pancawara atau hari pasaran Pon, Wage, Kliwon, Legi, Paing. Pada tahun Saka 1547 atau tahun Masehi 1625, Sultan Agung sangat ingin menanamkan agama Islam di Jawa. Dan, slah satu upaya yang dilakukannya adalah dengan mengganti penanggalan Saka yang berbasis pada perputaran matahari ke sistem kalender kamariah atau lunar yang berbasis pada perputaran bulan. Tetapi, Sultan Agung tetap mempertahankan tahun Saka 1547 untuk meneruskan penanggalan Jawa ini, dan tidak menggunakan penanggalan Hijriyah yang waktu itu tahun 1035. Ini adalah upaya akulturasi budaya, yakni budaya Arab dan Jawa yang kemudian kita seakan tidak merasa. Meskipun sebenarnya ada yang sangat berbeda, yakni angka tahun itu, yang bedanya 78 tahun. Nama bulan dalam al- manak Jawa itu adalah Sura, Sapar, Mulud, Bakda Mulud, Jumadilawal, Jumadilakir, Rejeb, Ruwah, Pasa, Sawal, Dulkaidah, Besar. Ada nama alternative untuk Dulkaidah yakni Sela atau Apit. Nama ini merupakan peninggalan nama Jawa Kuno untuk nama musim ke-11 yang disebut sebagai hapit lemah. Kemudian sela yang maknanya batu, berhubungan dengan tanah yang dimaknakan juga sebagai tanah.
Adapun nama bulan Jawa pada mulanya adalah Warana –Sura, Wadana – Sapar, Wijangga – Mulud, WiyanaBakda Mulud, Widada – Jumadil awal, Widarpa – Jumadil akir, Wilapa – Rejeb, Wahana –Ruwah, Wanana – Pasa, Wurana – Sawal, Wujana –Sela/Apit atau Dulkaidah, dan Wujala – Besar.
■ Pranata Mangsa
Kita paham benar, bahwa masyarakat Jawa adalah masyarakat agraris yang menggantungkan hidupnya pada tanah dan pertanian. Sunan Pakubuwana VII, pada tahun 1856 Masehi, menganggap penanggalan kamariah yang berbasis bulan itu tidak memadai bila digunakan untuk patokan petani dalam bercocok tanam. Kemudian
Sunan PB VII melakukan kodifikasi bulan-bulan musim atau bulan-bulan yang berbasis pada matahari sebagai pranata mangsa
Pranata mangsa ini sudah digunakan pada zaman praIslam, hanya saja disesuaikan dengan kalender Gregorian yang merupakan kalender matahari dan meninggalkan tarikh Hindu. Inilah yang kemudian menjadi umur tiap mangsa berbeda. Adapaun nama-nama pranata mangsa dalam kalender Jawa itu adalah Kasa (23 Juni – 2 Agustus), Karo (3 Agustus -25 Agustus), Ketiga/Katelu (26
KUNGKUM: Menjelang malam 1 Sura, masyarakat Jawa biasa menjalankan tradisi kungkum atau berendam ■ Foto: Nasional.co
Agustus-18 September), Kapat (19 September -13 Oktober), Kalima (14 Oktober-9 November), Kanem (10 November – 22 Desember), Kapitu (23 desember – 3 Februari), Kawolu (4 Februari – 1 Maret), Kasanga (2 Maret – 26 Maret), Kadasa (27 Maret – 19 April), Dhesta (20 April – 12 Mei), dan Sadha (13 Mei – 22 Juni). Jawa memang luar biasa (ya, karena penulisnya orang Jawa kemudian berkata seperti itu). Bulan yang jumlahnya dua belas dan membentuk tahun itu, oleh orang Jawa dimunculkan lagi aturan waktu yang disebut windu, yakni periode delapan tahunan. Dan masing-masing windu itu juga ada namanya. Windu ini sendiri bergulir dalam empat putaran (32 tahun) yang masing-masing punya nama yakni Adi, Kuntara, Sangara, dan Sancaya Adapun tahun-tahun selama sewindu juga ada namanya Alip, Ehe, Jimawal, Je, Dal, Be, Wawu, Jimakiri Maka, mungkin kita pernah mende- ngar celotehan terhadap orang yang berjanji tetapi tidak pernah menepati, dikatakan, “Nganti kapan? Nganti taun Dal?”. Ternyata ada nama Dal pada istilah Jawa.
■ Tentang Sura Dalam masyarakat Jawa ada mitos bahwa bulan Sura itu harus mendapatkan perhatian. Orang Jawa akan menahan diri pada bulan Sura, karena ada kepercayaan bila melanggar pantangan itu akan mendapatkan bala atau bencana. Menjelang Sura juga harus berhati-hati karena banyak kecelakaan. Intinya bulan Sura dianggap keramat atau sacral, hingga orang Jawa tidak berani, misalnya, melakukan pernikahan atau sunatan pada bulan ini, juga tidak boleh berhura-hura. Intinya, pada bulan ini mesti prihatin. Sura itu untuk menjamas pusaka, maka keraton pun melakukan jamasan pusaka pada bulan Sura ini. Mengapa demikian? Memang tidak ada penjelasan logis dan metodologis tentang hal ini. Tetapi dalam sebuah diskusi usai misa Suran di Gereja Hati Kudus Yesus, Tanah Mas Semarang, Romo Aloys Budi Purnomo menjelaskan, bahwa ada penelitian yang menyebutkan, pada bulan Sura ini ada pergeseran gelombang elektromagnetik dalam perut bumi. Jadi, kata Romo Aloys, bila seseorang misalnya sedang naik sepeda di jalan lurus sekalipun, bila tidak berkonsentrasi maka bisa tiba-tiba jatuh. Karena ada tarikan gelombang elektormagnetik itu. Itu sebabnya kita diminta berhati-hati. Ya, simbah-simbah kita dulu memang tidak pernah memebri tahu alasannya, tetapi pada masa ultramodern seperti sekarang ini, kita memang semestinya mengungkap hal-hal yang dianggap mistis itu, kemudian diterjemahkan secara ilmiah. Agar kita tidak selalu terjebak dalam mitos dan gugon tuhon.■ Widiyartono R