6 minute read

Cak Nur dan ‘Common Platform’ Bernegara

jaga “kereta ideologis” Cak Nur?

Mengapa Tidak Pakai Buah Lokal?

Advertisement

DI kota-kota di Jawa Tengah, di pinggir-pinggir jalan utama, kini banyak dijumpai penjual buah. Baik yang secara PKL-an digelar begitu saja di pinggir jalan, atau ada yang menggunakan mobil sebagai tempat untuk menggelar dagangannya. Dan, yang menarik, para penjual buah itu menambah tulisan “madu”, seperti halnya nanas madu, melon madu, jeruk madu. Sangat menarik, memang, untuk menunjukkan bahwa buah yang dijual itu manis. Dan, kata madu itu tidak menunjuk ke varietas buah dengan nama madu tersebut. Dan, yang membahagiakan, buah-buah yang dijual di pinggir jalan itu umumnya buah-buah lokal.

Buah memang menjadi kebutuhan hidup manusia, untuk keseimbangan di dalam tubuh. Buah dengan kandungan seratnya yang tinggi, kemudian zat-zat yang terkandung di dalamnya juga bermanfaat untuk menangkal berbagai penyakit karean berfungsi sebagai penangkal radikal bebas. Dan, sebagai negara yang berada di kawasan ekuator, sangat banyak buah yang dihasilkan. Ada buah yang tidak pernah mengenal musim seperti salak, jeruk, pipaya,pisang, sawo, dan sebagainya. Tetapi banyak pula yang sifatnya musiman seperti durian, rambutan, dan sebagainya. Jadi mestinya kita tidak perlu bergantung pada buah impor, karena kita sendiri sangat kaya.

Di Jawa Tengah, misalnya, dulu kita kenal blimbing Demak. Buah itu, meskipun masih ada, tetapi tidak semoncer dulu. Kini Demak punya buah jambu air merah bernama jambu delima. Buah ini dikenal sangat segar dan manis. Dari Magelang kita kenal salak pondoh yang manis, juga salak nglumut yang manis dan wangi. Kemudian Purbalingga dikenal sebagai penghasil duku. Durian Jepara sangat terkenal, dan beberapa daerah di Jateng juga dikenal sebagai penghasil durian. Mangga dari Rembang, semangka, melon dari Sragen dan Grobogan. Dan kini, di Grobogan, juga dikenal jambu air varietas Madu Deli. Pembudidayaan jamu Madu Deli ini memanfaatkan lahan tandus di daerah Godong. Jambu ini memang berbeda secara fisik dengan jambu Delima Demak. Warna jambu ini hijau meskipun sudah masak. Namun dari segi ukuran bisa dua kali lipat lebih besar, dan rasanya sangat manis.

Mengingat begitu besar potensi buah di Jawa Tengah yang luar biasa itu, mengapa tidak kita berdayakan lebih dahsyat lagi. Memang, yang diperlukan adalah teknologi di bidang pertanian, baik untuk produksi maupun pascaproduksinya. Bagaimana menjaga agar buah tetap segar tanpa harus dengan pengawet. Artinya, begitu petik, distribusinya harus dengan waktu cepat. Kemudian ada buah-buah yang memang awet seperti jeruk bali dengan aneka varietasnya. Karena di Colo, Kudus, juga banyak dijual buah ini. Kita harus yakin bahwa buah lokal bisa menjadi pengganti, bukan sekadar substitusi, bagi buah impor. Dan, yakinkah kita bahwa buah impor tidak berpengawet? Bagaimama mungkin apel impor itu bisa awet sampai berminggu-minggu? Nah, buah kita adalah buah alami, organik, dan punya manfaat tinggi. Mari kita tingkatkan konsumsi buah lokal dengan mendorong budi daya buah-buah tersebut oleh para petani kita.■

Indria Piliang ngaku nyabu untuk riset novel.

Untuk nangkap maling harus jadi maling? * * *

Kelas menengah beli rumah untuk investasi

Kelas bawah terengah-engah untuk beli rumah

(Nulis novel buat beli rumah)

HARI Selasa 29 Agustus 2017 kemarin merupakan haul Nurcholish Madjid (Cak Nur) yang ke-12. Nurcholish Madjid Society merayakannya pada Rabu 30 Agustus 2017 dengan tema “Relevansi dan Efek Pemikiran Cak Nur Kini”. Melihat kondisi Indonesia yang semakin terkoyak dalam berbagai aspek, gagasan pluralisme, modernisme, toleransi Cak Nur menjadi sangat dibutuhkan. Mengapa? Ibarat gerbong kereta, Indonesia kini banyak dihuni “penumpang gelap” yang justru ingin keluar dari rel kebangsaan. Keempat rel itu yaitu Pancasila, Bhineka Tunggal Ika, NKRI dan UUD 1945. Belakangan, kita dihadapkan dengan pertentangan antara “nasionalisme keindonesiaan” dan sikap beragama yang dipaksa dipisahkan. Padahal, Cak Nur adalah orang yang secara tegas menggagas konsep berislam tak harus melepas nasionalisme, menjadi nasionalis tak harus melepas Islam. Pemikiran seperti ini bagaikan mercusuar yang bisa menerangi kegelapan bernegara saat ini. Sedikitnya anak-anak ideologis Cak Nur semakin membuktikan bahwa gerbong pluralisme, modernisme dan humanisme makin terkikis. Bahkan, warisan di bidang pendidikan, misalnya, juga tidak serius meneruskan cita-cita dan pemikiran Cak Nur. Bahkan, Omi Komariah (2014) mengatakan yang pantas disebut anak ideologis Cak Nur hanya ada tiga, yaitu Budhy Munawar Rachman, Wahyuni Nafis dan Yudi Latief. Padahal, banyak murid-murid ideologis Cak Nur yang kini bersinar. Katakan saja, Ihsan Ali Fauzi, Rudy Harisyah Alam, Saiful Mujani, Ulil Abshar Abdalla dan lainnya. Lalu, siapkah kita meneruskan dan men-

■ Perang Idelogis Ibarat kereta, faham keagamaan di negeri ini sudah jauh keluar dari relnya. Artinya, memahami agama masih dalam tataran tekstual dan formal, padahal memahami agama harus kontekstual, intertekstual bahkan supratekstual. Apalagi, sekularisasi masih dimaknai mengawinkan “agama” dan “kebangsaan” atau nasionalisme. Hal itu jelas ditentang Cak Nur, karena menurutnya, menjadi Islam, Hindu, Budha, Kristen, tidak berarti tidak bisa menjadi nasionalis. Justru, menjadi religius itu bisa berbarengan dengan menjadi nasionalis. Akan tetapi, munculnya faham yang mengusung “negara Islam” atau khilafah, belakangan memperkeruh kondisi bangsa.

Faham dan gerakan takfiri (mengafirkan), tasyrik (mensyirikkan), tajhil (menjahiliyahkan), tanfik (memunafikkan) dan tabdi’ (mebidahkan) saat ini makin merajalela. Hal itu menunjukkan masyarakat masih dalam fase “puber beragama”. Sangat jelas, mereka belum dewasa dalam beragama karena belum mengimplementasikan substansi agama. Mereka masih memandang bungkus, formalitas dan belum mengutamakan subtansi.

Maka di tahun 1960-an, Cak Nur menentang gagasan Masyumi yang ingin mendirikan “parpol Islam” dan “negara Islam”. Lewat gagasan “Islam yes, Partai Islam no!”, Cak Nur secara tegas tidak ingin menggabungkan masalah duniawi dengan agama. Cak Nur berpendapat, agama dan negara bukanlah hal sakral, ilahiyah, maka tidak bisa digabungkan. Bahkan, Cak Nur secara tegas mengatakan hal itu akan memperkeruh kondisi bangsa. Sebab, ciri Islam yang menonjol adalah keadilan, dan Islam tidak bertujuan mendirikan politik atau suatu negara. Ternyata, pemikiran Cak Nur tentang sekularisasi ini masih relevan bahkan sangat dibutuhkan.

Sekularisme yang dimaksud Cak Nur bukan seperti pemahaman publik. Cak Nur ingin memisahkan hal-hal yang tidak sakral dan ilahiyah dengan halhal duniawi. Sebab, Indonesia sudah memiliki Pancasila yang kelima sila itu sudah menampung semua bentuk faham dan ideologi. Dalam Pancasila, sudah ada substansi agama bahkan sudah sangat religius karena mengandung inti dari ajaran agama. Cak Nur membuat rumusan Indonesia diubah menjadi “negara Islam” justru tidak bisa survive tanpa bekal nasionalisme. Sebab, NKRI sudah memiliki Pancasila yang di dalamnya memuat unsur religi yang sangat terbuka, modern, moderat dan plural.

■ Common Platfom

Mengenang Cak Nur, berarti kita mengenang pembaruan, toleransi, pluralisme, juga sekularisme, modernisasi dan juga keterbukaan. Salah satu pemikiran Cak Nur yang masih sedikit dipahami publik dan justru dibutuhkan Nusantara saat ini adalah gagasannya tentang titik temu antaragama, kebhinenakaan budaya dan suku bangsa atau dikenal “common platform”.

Cak Nur dalam beberapa buku berpandangan, selain Pancasila, salah satu modal hidup di negari plural adalah memegang “kalimat sawa” yang diambil dari Alquran surat Ali Imran ayat 3. Allah berfirman; Katakanlah: “Hai Ahli Kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatupun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai tuhan selain Allah”. Jika mereka berpaling maka katakanlah kepada mereka: “Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah)”. (QS Ali Imran [3]: 64).

Dalam beberapa tafsir ayat di atas, pada intinya semua agama itu sama. Artinya, meski ajaran berbeda, namun substansi agama titik temunya sama. Agama apa saja, sangat mengutamakan keadilan sosial, pluralisme, toleransi dan menjadi implementasi dari iman, ilmu dan amal.

Muqoyyidin (2013) menjelaskan, ada 10 platform yang dibangun Cak Nur untuk memajukan Indonesia. Pertama, mewujudkan good governance pada semua lapisan pengelolaan negara. Kedua, menegakkan supremasi hukum dengan konsisten dan konsekuen.

Ketiga, rekonsiliasi nasional. Keempat, merintis reformasi ekonomi dengan mengutamakan pengembangan kegiatan produktif dari bawah. Kelima, mengembangkan dan memperkuat pranata-pranata demokrasi, kebebasan sipil (khususnya kebebasan pers dan akademik), pembagian tugas dan wewenang yang jelas antara pemerintahan, perwakilan, dan pengadilan. Keenam, meningkatkan ketahanan dan keamanan sosial dengan membangun harkat dan martabat personal dan pranata TNI dan Polri dalam bingkai demokrasi. Ketujuh, memelihara keutuhan wilayah negara melalui pendekatan budaya, peneguhan ke-Bhinneka-an dan ke-Eka-an, serta pembangunan otonomisasi. Kedelapan, meratakan dan meningkatkan mutu pendidikan di seluruh Nusantara. Kesembilan, mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat sebagai tujuan bernegara. Kesepuluh, mengambil peran aktif dalam usaha bersama menciptakan perdamaian dunia. Gagasan common platform ini tidak hanya urusan beragama, namun juga berbudaya, berpolitik dan bernegara. Jika bisa direalisasikan, saya yakin problem bangsa yang semakin kisruh akan teratasi.

Cak Nur merupakan salah satu pemikir yang melampuai zaman. Maka tak heran jika Gus Dur menyebut Cak Nur, Amien Rais, dan Ahmad Syafi’i Ma’arif sebagai “tiga pendekar” dari Unversitas Chicago. Sedangkan dua pendekar Universitas Al Azhar di Kairo, Mesir yang tersohor adalah Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dan Mustofa Bisri (Gus Mus). Juga pendekar kawakan dari Makkah seperti KH. Hasyim Asyari pendiri Nahdlatul Ulama (NU) dan KH. Ahmad Dahlan pendiri Muhammadiyah. Sampai detik ini, pemikiran mereka menjadi rujukan untuk merawat Indonesia dan heterogenitas bangsa. Tanpa Cak Nur, bisa jadi negara ini akan gersang dan miskin gagasan. Apalagi, kemajuan di bidang apa saja dimulai dari kemajuan cara berpikirnya. Masalahnya, masihkah Cak Nur masih berharga bagi negeri ini? ■

Penulis, Pengajar pada Jurusan Tarbiyah STAINU Temanggung.

This article is from: