5 minute read

Ketimpangan Sosial dalam Cerita Lo Fen Koei Karya Gouw Peng Liang

Ketimpangan Sosial dalam Cerita Lo Fen Koei Karya Gouw Peng Liang

Oleh Indi Mutiara Saniyah Karya sastra mencerminkan tingkat kehidupan suatu bangsa. Karya sastra sebagai salah satu struktur dari suatu budaya yang menjadi penting artinya dalam konteks pengenalan budaya. Pada hakikatnya, karya sastra berisikan hasil adaptasi seorang pengarang terhadap kehidupan lingkungan masyarakat. Dapat dikatakan bahwa karya sastra sebagai hasil dari suatu budaya bangsa merupakan kekayaan yang tidak ternilai. Novel merupakan salah satu dari berbagai jenis karya sastra. Novel dapat diartikan sebagai hasil ciptaan manusia yang mengekspresikan pikiran, gagasan, dan tanggapan mengenai hakikat kehidupan dengan menggunakan bahasa yang imajinatif dan emosional. Selain itu, novel sebagai karya sastra yang menghasilkan imajinasi, tidak hanya berfungsi sebagai hiburan, melainkan dapat menambah pengalaman bagi pembacanya. Sastra Melayu Tionghoa merupakan hasil karya penulis peranakan Tionghoa yang sudah ada sejak akhir abad ke-19 hingga pertengahan abad ke-20. Dalam Sastra Melayu Tionghoa, penulis novel banyak terinspirasi dari kehidupan nyata. Terdapat beberapa kriteria dalam menentukan apakah sebuah karya sastra Indonesia tergolong sastra klasik. Terdapat beberapa nama pengarang yang berkontribusi atas kepiawaiannya dalam menghasilkan karya fiksi, antara lain Gouw Peng Liang, Im Yang Tjoe, Lie Kim Hok, Liem Khing Hoo, Njoo Cheong Seng, Soo Lie Piet, Tie le Soei, dan tentu saja ada Kwee Tek Hoay. Dapat disimpulkan bahwa sastra Melayu Tionghoa sudah masuk kategori sastra Indonesia dan tidak boleh dikesampingkan. Salah satu pengarang Cina Peranakan adalah Gouw Peng Liang yang menuliskan cerita dengan judul Lo Fen Koei. Cerita tersebut diangkat dari kisah nyata. Gouw Peng Liang (GPL) lahir dari keluarga berada pada 1869 di Jatinegara, Jakarta dan meninggal pada tahun 1928 di tempat yang sama. Karya Gouw Peng Liang mengenai kehidupan pachter opium, Lo Fen Koei (1903), diangkat dari kisah nyata yang pernah dimuat bersambung dalam Bintang Betawi. Lo Fen Koei merupakan cerita mengenai tuan tanah yang ingin memperistri perempuan cantik, anak dari pedagang sayur. Tuan tanah yang bernama Lo Fen Koei menggunakan berbagai cara agar perempuan itu ingin menjadi istrinya, salah satunya dengan menindas pedagang sayur tersebut hingga dimasukkan ke penjara. Tidak hanya tukang sayur yang mendapat perilaku seperti itu, melainkan tokoh-tokoh yang ingin membantu perempuan itu juga mendapat perilaku penindasan hingga dimasukkan ke penjara. Suatu saat, tuan tanah ketahuan bahwa ia adalah pelaku dari semua masalah yang terjadi. Namun, pada akhirnya saat ingin ditangkap dan dihukum, tuan tanah itu meninggal dengan cara bunuh diri.

Advertisement

Cerita Lo Fen Koei termasuk dalam masa perkembangan dari tahun 1911-1923. Sastra Melayu Tionghoa termasuk dalam sastra populer. Sastra populer memiliki tema kriminal, percintaan, misteri, dan persoalan sehari-hari yang banyak dipilih penulis. Selain itu, terdapat ciri-ciri dari sastra populer, seperti tokohnya jelas dan lazim stereotip. Gouw Pen Liang sebagai salah satu penulis yang menuliskan cerita percintaan dan sesuai dengan kehidupan bertujuan untuk menghibur pembaca, terutama untuk kalangan bawah yang pada masa itu masih minim pendidikan. Tema yang diangkat dalam cerita Lo Fen Koei mengenai uang dan perempuan. Gouw Peng Liang memberikan gambaran melalui dialog antartokoh. Selain itu, ia ingin menunjukkan dan memberikan pelajaran kehidupan bahwa tidak selamanya semua hal dapat dibeli dengan uang, termasuk untuk mendapatkan cinta perempuan. Ditambah dengan perlakuan sikap tokoh Lo Fen Koei yang menghalalkan segala cara untuk mewujudkan keinginannya. Gaya bahasa yang dipakai dalam cerita Lo Fen Koei adalah bahasa Melayu Pasar atau Melayu Rendah. Terdapat pemakaian kata pachter dalam cerita Lo Fen Koei yang dapat diartikan sebagai penyewa tanah usaha. Pada abad ke-19, perdagangan candu atau bahan untuk menghasilkan obat terlarang banyak terjadi di Nusantara. Banyak konsumen bergabung dari berbagai golongan, mulai dari kaum Tionghoa hingga kaum pribumi. Pemerintah kolonial Belanda yang memegang kekuasaan dalam menjalankan sistem pacht. Sistem pacht banyak memberi keuntungan, terutama kaum Tionghoa yang banyak memenangkan keuntungan dan mendapat hak sebagai pachter atau penyewa tanah usaha. Dalam cerita tersebut terdapat ketimpangan sosial. Ketimpangan sosial merupakan sesuatu yang masih banyak dijumpai dalam kehidupan sehari-hari. Ketimpangan sosial banyak dirasakan oleh kaum dengan kelas sosial rendah yang digambarkan dalam cerita dan sebaliknya, tidak dirasakan oleh kaum menengah ke atas, seperti tuan tanah dan tokoh lainnya. Kaum dengan kelas sosial rendah banyak mendapat ketidakadilan, salah satunya penindasan yang dilakukan oleh tuan tanah dari kalangan kaum menengah ke atas. Dalam Lo Fen Koei, Gouw Peng Liang menggambarkan orang-orang Belanda atau Eropa sebagai penguasa yang paling tinggi, sedangkan kaum Tionghoa memiliki strata di bawahnya, serta orang-orang pribumi, terutama orang-orang muslim termasuk dalam golongan strata yang paling rendah. Meskipun Gouw Peng Liang tidak membicarakan secara jelas mengenai kaum Belanda atau Eropa, tetapi jelas terlihat dalam cara Gouw Peng Liang menggambarkan kekuatan atau kekuasaan yang dimiliki oleh tokoh Lo Fen Koei. Selain itu, dari cara berbicara dan sikap yang sombong serta licik ditunjukkan oleh tokoh dari kaum Belanda yang telah membentuk stereotip, yaitu sebagai tokoh penguasa.

Gouw Peng Liang melukiskan betapa sengsaranya Tan Hin Seng ketika ditindas oleh Lo Fen Koei yang memiliki kekuasaan tertinggi. Tan Hin Seng difitnah bahwa Ia menyimpan candu gelap dan dimasukkan ke dalam penjara. Haji Sa’ari merupakan mata-mata sekaligus anak buah dari Lo Fen Koei yang disuruh untuk meletakkan candu gelap di rumah milik Tan Hing Seng. Haji Sa’ari merupakan kaum pribumi yang duduk dalam birokrasi pemerintahan lokal, mudah disuap, dan berani dalam memainkan hukum. Sistematika mata pencaharian digambarkan Gouw Peng Liang dalam Loe Fen Koei. Kaum Tionghoa digambarkan banyak memiliki mata pencaharian dalam perdagangan, terutama perdagangan candu atau bahan yang diolah untuk menghasilkan obat terlarang di masyarakat. Selain itu, terdapat gambaran secara jelas mengenai status sosial orang-orang Tionghoa yang sebagian merupakan orang kaya. Dari cerita Lo Fen Koei, kita dapat mengetahui bahwa Gouw Peng Liang mengambil tema cerita dari masalah yang ada di kehidupan sehari-hari. Gouw Peng Liang menggambarkan cerita yang sesuai dan nyata terjadi di kehidupan, seperti mengenai uang dan perempuan. Selain itu, terdapat ketimpangan sosial di masyarakat yang secara jelas digambarkan oleh penulis. Masalah ketimpangan sosial masih banyak terjadi di masyarakat, tidak hanya ketimpangan dalam latar sosial, melainkan terjadi dalam latar ekonomi. Selain itu, cerita Lo Fen Koei dapat kita jadikan pelajaran untuk membenahi dan menaggulangi ketimpangan sosial yang terjadi di masyarakat untuk menghasilkan kehidupan yang lebih baik.

This article is from: