
5 minute read
Peran Asrul Sani dalam Kebudayaan dan Perkembangan Kesusastraan Indonesia
Peran Asrul Sani dalam Kebudayaan dan Perkembangan Kesusastraan Indonesia Oleh Nika Halida Hashina
Ketika membicarakan perihal kesusastraan Indonesia, diakronis dari perkembangan kesusastraan itu sendiri tidak dapat luput dalam ingatan. Salah satu peristiwa pengawal segala kritik pada kesusastraan Indonesia pascakemerdekaan, yaitu munculnya Surat Kepercayaan Gelanggang dan Mukadimah Lekra, serta peristiwa-peristiwa yang terjadi setelahnya. Surat Kepercayaan Gelanggang (SKG) pertama kali muncul dalam rubrik Cahier Seni dan Sastera atau yang lebih dikenal dengan rubrik Gelanggang. Rubrik ini merupakan bagian dari majalah Siasat yang pertama kali muncul pada 22 Oktober 1950. Gelanggang lahir atas inisiatif sekelompok seniman bernama “Gelanggang Seniman Merdeka” yang diprakarsai oleh Chairil Anwar, Rivai Apin, dan Asrul Sani yang kemudian juga menjadi redaktur dari rubrik ini.
Advertisement
Secara umum, SKG berisi pernyataan sikap terhadap kebebasan kreatifitas bagi perkembangan kebudayaan. Kalimat pembuka surat ini dipahami sebagai landasan argumen bahwa seni dan kebudayaan umumnya bersifat universal. Sedangkan, paragraf kedua mengandung kritik terhadap sebagian masyarakat yang hanya memandang fisik atau etnis orang lain dan kesewenang-wenangan dalam implementasi kebudayaan. Hal itu merupakan gertakan terhadap penilaian yang tidak subjektif, adanya batasan dalam berkarya, dan hilangnya kebebasan mengkritik. Menurut hemat saya, surat tersebut berusaha menyampaikan bahwa seni juga dapat berperan dalam upaya pengembangan bangsa, asal dalam pelaksanaannya tidak dihalanghalangi. Alasan surat ini menjadi kontroversial, yaitu isi surat yang seolah merelatifkan segala hal. Salah satunya terdapat dalam kalimat, “Kami adalah ahli waris yang sah dari kebudayaan dunia” yang dalam konteksnya juga mengikutsertakan “bangsa barat”. Pada tahun 1950-an, hal ini mungkin dapat diartikan sebagai upaya menghilangkan perbedaan antara penjajah (bangsa barat) dan yang dijajah (pribumi). Akan tetapi, dengan watak pemerintahan Soekarno yang sangat anti Barat dengan slogan anti Nekolim (Neokolonialisme dan imperalisme), beberapa orang menganggap SKG adalah sebuah pengkhianatan. Jika kita menengok ke masa sebelum Jassin hadir sebagai kritikus sastra yang mumpuni, sebenarnya persoalan kritik itu sendiri telah menjadi perdebatan. Perbedaan paham dan pandangan sudah menjadi agenda biasa bagi para tokoh masa itu. Para konseptor SKG juga melihat keadaan sosial politik Indonesia di tahun 1950-an dengan sudut pandang yang berbeda-
beda. Pada masa itu banyak sekali partai bermunculan, keadaan menjadi sulit terkendali karena aktivitas partai didominasi kader yang hanya mementingkan kepentingan pribadi. Maka dari itu ada upaya dari para seniman dan penggiat sosial politik di Indonesia, termasuk para jurnalis dan sastrawan, dalam memberikan pandangannya melalui apa yang mereka tulis. Dalam hal ini, salah satu konseptor SKG yang giat menyampaikan kritiknya adalah Asrul Sani. Ia mempunyai peran penting dalam peta perkembangan sastra Indonesia. Prof. Dr. A. Teeuw mengatakan, Asrul Sani adalah salah tokoh terpenting yang menjadi harapan dari angkatan sesudah perang.
Pribadi yang kritis
Asrul Sani terkenal sebagai sosok yang kritis terhadap persoalan sosial politik Indonesia pada masa itu. Banyak tulisannya yang dimuat di berbagai media massa dan menuai kritik. Salah satunya adalah tulisan yang disinyalir menjadi alasan mengapa Gelanggang Seniman Merdeka mengeluarkan Surat Kepercayaan Gelanggang. Tulisan itu terdiri dari tiga tulisan yang dimuat dalam rubrik Gelanggang dengan judul Fragmen Keadaan I, Fragmen keadaan II, dan Fragmen Keadaan III. Dalam Fragmen Keadaan, Asrul Sani mengungkapkan pendapatnya atas dominasi partai-partai politik dan kehidupannya. Termasuk perihal pandangannya akan karya-karya sastra yang pada saat itu semakin banyak memuat unsur politik.
Menurutnya, dalam Surat-surat kepercayaan (1997), pada masa itu orang-orang tidak lagi melihat sajak sebagai sajak, melainkan sebuah manifestasi politik. Selain itu, kebudayaan perlahan juga menjadi urusan birokratis. Para pejabat atau politikus pada masa itu mulai menanamkan ideologi politiknya dalam ranah kebudayaan, termasuk dalam sastra. Menurut penuturan M. Yoesoef, pengajar dalam kelas Perkembangan Kesusastraan Indonesia tahun 2019, “Pada saat itu didapati beberapa pejabat yang memegang peranan penting di penerbitan, baik sebagai penanam modal, atau pemimpin.” Menanggapi persoalan tersebut, Asrul Sani menuntut kejujuran dalam upaya pengembangan kebudayaan. Salah satunya dengan cara mengembalikan hakikat kebudayaan itu secara penuh ke manusia sebagai subjek penciptanya. Menurut Ajip Rosidi, selaku penyunting Surat-Surat Kepercayaan dalam “Kata Pengantar Penyunting” (1977), sumbangan pemikiran Asrul Sani dalam dunia sastra sebenarnya lebih banyak dalam bentuk esai dibandingkan dengan sajak ataupun cerita pendek. Akan tetapi, tulisannya dalam bentuk esai itu kurang diketahui banyak orang karena kebiasaannya menggunakan nama samaran untuk esai-esainya.
Dalam kata pengantar tersebut Ajip menceritakan pertemuan dengan Asrul Sani ketika membahas buku Surat-surat Kepercayaan. Pada saat itu ia berhasil mengetahui beberapa nama yang diduga sebagai nama pena Asrul Sani dalam esai-esainya. Nama-nama tersebut ialah Ida Anwar, Idham Mahmud, Ali Akbar, Ali Emran, Fadjria Novari, F.Annur, dan masih banyak lagi.
Pembuatan buku kumpulan esai Surat-surat Kepercayaan yang diprakarsai oleh Ajip Rosidi membuahkan hasil walaupun hanya beberapa yang dapat terkumpul. Asrul Sani mengaku ia tidak pernah menyimpan dokumentasi tulisannya. Selain itu, tulisan-tulisan tersebut telah tersebar ke banyak media. Beberapa di antaranya juga masih tersimpan di PDS H.B. Jassin dan beberapa salinan lainnya di Leiden. Kritik yang Asrul Sani sampaikan tidak hanya dalam esai-esainya saja, tetapi juga lewat karya sastra dan seni peran yang digelutinya. Sejak duduk di bangku sekolah menengah, ia sudah aktif mengirimkan puisi atau cerpen ke berbagai media massa. Media-media itu di antaranya, majalah Gema Suasana, Siasat, Kisah dan Konfrontasi, serta surat kabar Mimbar Indonesia dan Indonesia Raja. Karya-karya yang ia hasilkan meliputi Tiga Menguak Takdir (buku kumpulan puisi bersama Chairil Anwar dan Rivai Apin, 1950); Mantera (kumpulan puisi, 1975); Dari Suatu Masa dari Suatu Tempat (kumpulan cerpen, 1972); Mahkamah (drama, 1988); Jenderal Naga Bonar (skenario film, 1988); serta esai-esainya dan puluhan karya yang ia terjemahkan. Asrul Sani juga sangat produktif dalam dunia seni peran, seperti drama, film, dan sinetron. Ia pernah menjadi Direktur Teater Nasional Indonesia (ATNI). Di panggung teater ia menerjemahkan, menyadur, dan menyutradarai lakon-lakon terkenal seperti karya Anton Chekov, Jean Paul Satre, dan Albert Camus. Asrul Sani menjadi satu-satunya eksponen dari angkatan 45 yang masih berkarya dalam industri perfilman pada periode 1945 hingga akhir tahun 1950-an. Film hasil karyanya yang paling terkenal adalah Naga Bonar. Dalam film, Asrul Sani banyak mengangkat tema perjuangan dan isu sosial. Film garapannya sangat realistik dengan menekankan pada apa yang terjadi di masyarakat pada masa itu, berbeda dengan film lainnya yang lebih mengutamakan visual. Maka dari itu, sebagian orang menganggap ia merupakan seorang pembaru dalam industri perfilman di zamannya.