
6 minute read
Hal-hal Tentang Sastra Indonesia
Hal-hal Tentang Sastra Indonesia Oleh Suci Risanti Rahmadania
Apa Itu Sastra dan Karya Sastra?
Advertisement
Istilah “sastra” berasal dari bahasa Sansekerta yang berarti pengetahuan. Dikutip dari buku karya Untung Yuwono yang berjudul Gerbang Sastra Indonesia Klasik, istilah “sastra” berkembang menjadi “susastra” yang berasal dari gabungan kata “su” ‘baik, bagus’ dan “sastra”, kemudian menjadi “susastra” yang berarti “tulisan yang baik; tulisan yang indah”. Kata sastra menurunkan kata kesusastraan yang berarti “hal tentang sastra; mengenai sastra”. Sastrawan adalah orang yang menghasilkan sebuah karya tulisan, sedangkan karya sastra adalah hasil dari kegiatan sastrawan tersebut. Tak hanya itu, karya yang ditulis juga menggunakan bahasa yang indah, isi yang bermanfaat bagi pembacanya, dan penyajian yang menarik.
Bahasa yang digunakan dalam karya sastra menggunakan bahasa yang indah dan disusun sedemikian rupa sehingga enak didengar dan dibaca. Isi yang dimuat harus bermanfaat bagi masyarakat, baik masyarakat dunia maupun masyarakat di tempat lahirnya karya sastra tersebut. Selain itu, karya sastra memiliki beberapa fungsi yang bisa didapatkan oleh para pembacanya, yaitu memberi hiburan, memberi keindahan, mendidik dengan nilai kebaikan dan kebenaran yang terkandung di dalamnya, serta memberi pengetahuan moral. Secara keseluruhan, sastra dibagi menjadi dua bagian, yaitu secara imajinatif atau fiksi dan sastra nonimajinatif atau non-fiksi. Secara imajinatif, sastra dihasilkan dari proses daya imajinasi atau khayalan si pengarang, sedangkan non-imajinatif mengutamakan keaslian dari suatu peristiwa atau kejadian. Berdasarkan bentuknya, sastra dibagi menjadi tiga bagian, yaitu puisi, prosa, dan drama. Sedangkan isinya, sastra dibagi menjadi empat bagian, yaitu epic, lirik, didaktik, dan dramatik. Epic adalah suatu karya sastra yang melukiskan sesuatu secara objektif tanpa menyertakan pikiran dan perasaan pribadi pengarang. Kemudian lirik, karya sastra yang pengarangnya lebih mengutamakan unsur subjektivitas dengan cara memperindah bahasanya karya sastranya. Selanjutnya didaktik atau suatu karya sastra yang isinya memiliki tujuan untuk mendidik pembaca, sedangkan dramatik suatu karya sastra yang melukiskan peristiwa atau kejadian dengan menggebu-gebu atau berlebihan.
Sejarah Perkembangan Sastra Indonesia
Kesusastraan Indonesia tercatat sudah ada sekitar empat ratus tahun sebelum Masehi. Pada zaman tersebut telah menghasilkan karya sastra Indonesia klasik dalam bentuk lisan yang disampaikan dari mulut ke mulut. Namun, belum ada karya sastra Indonesia dalam bentuk
tertulis pada saat itu. Jika ada, karya sastra tersebut menggunakan bahasa Sansekerta dan bukan bahasa Indonesia, seperti Ramayana yang ditulis oleh Empu Walmiki, sebuah karya sastra tulis yang terkenal di Nusantara pada saat itu, dan sudah muncul sekitar dua ratus tahun sebelum Masehi. Ada pun yang berpendapat bahwa karya sastra tulis Indonesia pertama kali muncul pada tahun 1380. Bentuknya seperti dua bait syair yang ditulis menggunakan huruf Pallawa dan berbahasa Melayu bercampur kata-kata Sansekerta. Syair tersebut dituliskan pada batu nisan makam seorang muslim di Minye Tujoh, Aceh. dan tertulis angka 781 H (1380 M) pada batu nisannya. Beberapa orang penelaah sastra Indonesia telah mencoba membuat periodisasi sastra atau pembagian babak sejarah sastra Indonesia berdasarkan bahasa yang digunakan, tema karya sastra yang lahir pada masa tertentu, pengarangnya, dan keadaan masyarakat pada masa itu. Meskipun di antara para ahli dan para sarjana terdapat persamaan-persamaan yang mencolok dalam membagi-bagi periodisasi waktu sejarah sastra Indonesia. Akan tetapi, kalau diteliti lebih lanjut, masing-masing periodisasi tersebut menunjukkan perbedaan-perbedaan yang mencolok juga, baik istilah mau pun konsepnya. Pembagian periodisasi sastra dibagi mulai dari masa kelahiran, yaitu periode awal hingga 1933, periode 1933—1942, periode 1942—1945, dan masa perkembangan, yaitu periode 1945—1953, periode 1953—1961, periode 1961—sekarang. Pembeda antara periode yang satu dengan yang lain, yaitu berdasarkan adanya perbedaan norma-norma umum dalam sastra sebagai pengaruh situasi masing-masing zaman. Sementara itu, perbedaan antara angkatan yang satu dengan yang lain sering ditekankan adanya perbedaan konsepsi masingmasing angkatan. Dalam suatu periode, mungkin saja ditemukan aktivitas lebih dari satu golongan pengarang yang mempunyai konsep yang berbeda-beda, sedangkan periode baru, adanya angkatan dengan konsepsi yang baru. Perbedaan norma-norma umum dalam sastra sebagai pengaruh situasi suatu zaman, mungkin menimbulkan suasana baru dalam kehidupan sastra tanpa melahirkan suatu konsepsi sastra baru yang dirumuskan oleh seorang atau sekelompok sastrawan.
Angkatan Sastra Indonesia
Sastra Indonesia merupakan sastra yang dibuat di wilayah kepulauan Indonesia. Sastra Indonesia ini merujuk pada sastra yang bahasa akarnya berdasarkan bahasa melayu, di mana bahasa Indonesia adalah satu turunannya. Dalam sejarah sastra Indonesia dikenal dengan istilah angkatan. Angkatan adalah suatu usaha pengelompokan sastra dalam suatu masa tertentu berdasarkan atas ciri khas karya yang dihasilkan pada masa itu.
Merangkum dari buku karya Ajip Rosidi yang berjudul Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia, angkatan yang pertama adalah Pujangga Lama, karya sastra Indonesia yang dihasilkan sebelum abad ke-20. Pada masa itu, karya sastra didominasi oleh syair, pantun, gurindam, dan hikayat yang dipengaruhi oleh budaya Melayu klasik. Angkatan yang kedua adalah Angkatan Sastra Melayu Lama, karya sastra Indonesia yang dihasilkan antara tahun 1870-1942, berkembang dilingkungan masyarakat Sumatra, orang Tionghoa, dan masyarakat Indo-Eropa. Karya sastra pertama yang terbit sekitar tahun 1870 masih dalam bentuk syair, hikayat, dan terjemahan novel barat. Angkatan yang ketiga adalah Balai Pustaka, karya sastra Indonesia yang terbit sejak tahun 1920 dan banyak penerbit yang menerbitkan buku-buku sastra, seperti Prosa roman, novel, cerita pendek, drama, dan puisi, yang mulai menggantikan kedudukan pantun, gurindam, dan hikayat dalam dunia sastra Indonesia. Angkatan keempat adalah Pujangga Baru, muncul sebagai reaksi atas banyaknya sensor yang dilakukan oleh Balai Pustaka terhadap karya tulis sastrawan pada masa tersebut. Pada angkatan Pujangga Baru, prosa yang dihasilkan memiliki tiga ciri umum, yakni menggunakan bahasa Indonesia tidak baku, temanya membahas tentang emansipasi wanita, kawin paksa, adat istiadat, serta perlawanan kaum terpelajar, dan latar belakang cerita terjadi pada masa penjajahan. Selanjutnya yang kelima adalah Angkatan ‘45 atau disebut angkatan Chairil Anwar yang dianggap sebagai pelopor Angkatan ‘45. Selain Chairil Anwar, masih ada beberapa penyair yang juga mempelopori Angkatan ‘45, seperti H.B. Jassin, Asrul Sani, Rivai Apin, Idrus, Rosihan Anwar, Mochtar Lubis, dan lain-lain. Kemudian, angkatan keenam adalah angkatan ’50-an hingga ’60-an yang ditandai dengan terbitnya majalah sastra Kisah asuhan H.B. Jassin. Majalah tersebut bertahan sampai tahun 1956 dan diteruskan dengan majalah sastra lainnya. Pada angkatan ’50-an hingga ’60an, karya sastra didominasi dengan cerita pendek dan kumpulan puisi, serta kalangan sastrawan bergabung dalam Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) berkonsep sastra realisme-sosialis. Kemudian timbul perpecahan yang menyebabkan berhentinya perkembangan sastra karena masuk ke dalam politik praktis dan berakhir pada tahun 1965. Angkatan yang ketujuh adalah angkatan ’66-an hingga’70-an yang ditandai dengan terbitnya majalah sastra Horison pimpinan Mochtar Lubis. Sastrawan Angkatan ‘50an yang termasuk dalam kelompok ini adalah Motinggo Busye, Purnawan Tjondronegoro, Djamil Suherman, Bur Rasuanto, Goenawan Mohamad, Sapardi Djoko Damono, Satyagraha Hoerip Soeprobo dan H.B. Jassin. Pada masa tersebut terjadi persaingan antara kelompok Lekra di bawah lindungan PKI dengan kelompok Manifes Kebudayaan (Manikebu) yang masih
memegang teguh oleh sendi-sendi kesenian, kedamaian, serta pembangunan bangsa berdasarkan Pancasila.
Angkatan yang kedelapan adalah angkatan ‘80-an hingga ’90-an. Pada kurun waktu setelah tahun 1980, karya sastra di Indonesia ditandai dengan banyaknya roman percintaan. Mira W. dan Marga T. adalah dua sastrawan wanita Indonesia yang menonjol dengan fiksi romantis sebagai ciri-ciri novel mereka. Kemudian, angkatan kesembilan adalah Angkatan Reformasi yang ditandai dengan maraknya karya-karya sastra, puisi, cerpen, maupun novel yang bertema sosial-politik, khususnya seputar reformasi. Sastrawan Angkatan Reformasi merefleksikan keadaan sosial-politik yang terjadi pada akhir tahun 1990-an, seiring jatuhnya Orde Baru.
Terakhir, angkatan kesepuluh adalah angkatan 2000-an. Korrie Layun Rampan pada tahun 2002 melempar wacana tentang lahirnya “Sastrawan Angkatan 2000-an”. Seratus lebih penyair, cerpenis, novelis, esais, dan kritikus sastra, dimasukkan Korrie ke dalam Angkatan 2000, termasuk mereka yang sudah mulai menulis sejak 1980-an, seperti Afrizal Malna, Ahmadun Yosi Herfanda dan Seno Gumira Ajidarma, serta yang muncul pada akhir tahun 1990-an, seperti Ayu Utami dan Dorothea Rosa Herliany. Nah! Seperti inilah kiranya hal-hal mengenai sastra di Indonesia. Setiap situasi dan kondisi suatu kaum atau negara bisa mempengaruhi isi dari karya-karya sastra Indonesia. Seiring berjalannya waktu, sastra Indonesia akan semakin berkembang sesuai dengan perkembangan zaman.