
9 minute read
Sepak Terjang H.B. Jassin di Dunia Sastra Indonesia
Sepak Terjang H.B. Jassin di Dunia Sastra Indonesia Oleh Zahra Nur Anzani
Sastra adalah ungkapan ekspresi manusia berupa karya tulisan atau lisan berdasarkan pemikiran, pendapat, pengalaman, hingga ke perasaan dalam bentuk yang imajinatif. Cerminan kenyataan atau data asli dibalut dalam kemasan estetis melalui media bahasa. Sastra sudah ada sebelum negara Indonesia merdeka. Sastra lisan dan sastra tulisan berkembang di berbagai daerah di Indonesia. Sejarah sastra Indonesia sudah dimulai sejak tahun 1850-an dengan adanya kesusastraan Melayu Tionghoa. Periodisasi dan dinamika perkembangan kesusastraan Indonesia mengalami perubahan-perubahan. Hal ini dapat dipengaruhi oleh gagasan masyarakat pada saat itu dan lingkungannya. Setiap angkatan sastra dan sastrawannya mengisi plot perkembangan sastra Indonesia menjadi satu kesatuan yang utuh. Kesusastraan Indonesia modern semakin variatif melalui peran dan kontribusi sastrawannya. Kesusastraan Indonesia modern tidak lepas dari kontribusi H.B. Jassin. Hans Bague Jassin atau yang lebih dikenal dengan H.B. Jassin lahir 31 Juli 1917 di Gorontalo. Beliau adalah tokoh yang berperan besar dalam dunia sastra Indonesia. Sebelum menjadi alumnus UI, beliau menamatkan pendidikannya di HIS Gorontalo (1932) dan HBS-B 5 tahun di Medan (1939). H.B. Jassin adalah alumnus Fakultas Sastra UI (1957). Beliau juga pernah mempelajari ilmu perbandingan kesusastraan di Universitas Yale, AS (1958-1959). Saat menempuh studi di AS, Jassin menceritakan kisahnya dalam bentuk surat yang dibukukan dalam Omong-Omong H.B. Jassin (1997). Dengan bahasa sehari-hari, Jassin bercerita tentang kisahnya selama berada di Amerika. Beliau juga menggambarkan cara pengajaran dan budaya di Amerika pada saat itu.
Advertisement
Kiprah H.B. Jassin Mengembangkan Kesusastraan Indonesia
Setelah lulus dari HBS-B, H.B. Jassin menjadi pegawai kantor Asisten Residen Gorontalo (1939). Tokoh fenomenal ini merupakan dosen Sejarah Kesusastraan Indonesia Modern dan Ilmu Perbandingan Kesusastraan di Fakultas Sastra UI (1953 – 1959; lalu sejak 1973 hingga pensiun menjadi lektor tetap). Beliau juga menjadi anggota Akademi Jakarta untuk seumur hidup (1970) serta menjadi ketua Yayasan Dokumentasi Sastra H.B. Jassin yang terletak di Taman Ismail Marzuki (1976). Beliau pernah menjadi redaktur Balai Pustaka (1940 – 1942), Panji Pustaka (1942 – 1945), Panca Raya (1945 – 1947), Mimbar Indonesia (1947 –1956), Zenith (1951 – 1954), Bahasa dan Budaya (1952 – 1963), Kisah (1953 – 1956), Seni (1955), Sastra (1961 –1964 dan 1967 – 1969), Horison (1966), serta Bahasa dan Sastra (1975) sehingga dapat disebut sebagai redaktur abadi. H.B. Jassin juga menjadi pegawai Lembaga Bahasa Nasional (1954 –1973). Tidak hanya itu, H.B. Jassin pun berkiprah sebagai penerjemah dan editor. Terdapat 13 karya terjemahan berbentuk buku ditambah dengan terjemahan dalam
karangan-karangan lepasnya. Sebagai penerjemah, reputasi Jassin sudah diakui secara nasional maupun internasional. Di samping menerjemahkan artikel, Jassin pun pernah menerjemahkan Al-Quran. Selain itu, terdapat delapan bunga rampai yang berhasil disunting dan disusun H.B. Jassin.
Sebagai dokumentator sastra, Jassin rajin dan tekun terhadap karya-karya yang dikumpulkannya. Dapat dikatakan bahwa Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin adalah pusat dokumentasi kesusastraan Indonesia Modern yang paling lengkap saat ini. Pusat dokumentasi yang didirikan H.B. Jassin pada tanggal 28 Juni 1976 ini menyimpan buku sastra yang telah terbit, surat-surat pribadi para sastrawan, naskah tulisan tangan, foto, majalah sastra/seni/kebudayaan, serta guntingan koran dan majalah. Dalam acara peresmian lembaga tersebut, Jassin mengatakan dokumentasi adalah alat untuk memperpanjang ingatan, memperdalam, dan memperluasnya. Salah satu hasil dokumentasi Jassin yaitu karyanya yang berjudul Chairil Anwar: Pelopor Angkatan 45. Buku ini disusun Jassin berdasarkan kronologis penerbitan, serta dikelompokkan lengkap berdasarkan puisi asli, puisi saduran, puisi terjemahan, sajak-sajak yang mempengaruhi “kepada kawan”, prosa, dan prosa terjemahan. Perannya sebagai kritikus sastra membuatnya dijuluki “Paus Sastra Indonesia” oleh Gayus Siagian. Beliau menghasilkan 8 buku berisi pendapat-pendapat kritisnya. Menurutnya, kiat-kiat mengkritik sebuah karya berdasarkan bahan yang dikritik, jangan pada pengarangnya, sehingga tanggapan yang diberikan lebih objektif sesuai fakta. Jika dilihat dari lain sisi, penamaan “Paus Sastra Indonesia” kepada H.B. Jassin tanpa sadar menaruh beban pada H.B. Jassin untuk terus berpikir kritis, mengayomi, dan objektif tanpa mengenal rasa salah atau gagal. Seolah-olah masyarakat atau pengarang meminta pengakuan dan perlindungan kepada seorang tokoh. Selain itu, H.B. Jassin dikenal sebagai “Pembela Sastra Indonesia” atas karyakarya pengarang yang terlibat konflik. Pembelaannya berkaitan dengan Krisis dalam Sastra Indonesia (1953 – 1954), Jiplakan Chairil Anwar (tahun 1950-an), Tenggelamnya Kapal Van der Wick karangan Hamka (1961 – 1962), Cerpen Langit Makin Mendung Karangan Kipanjikusmin (1968), dan Pengadilan Puisi (1974). Sesudah perang kemerdekaan, H.B. Jassin giat mengumpulkan dokumentasi sastra dan mengemukakan kumpulan bahan yang cukup lengkap dalam bunga rampainya. Kerja kerasnya sebagai seorang guru pun dapat mendorong orang lain menulis tesis atau penelitian sehingga menjadi warisan kesusastraan bagi bangsa Indonesia.
Sikap, Gagasan, dan Kontribusi H.B. Jassin sebagai Warisan Berharga Sastra Indonesia
Yudiono (2009:137) mengungkapkan Kesusastraan Indonesia Modern dalam Kritik dan Esai jilid I-IV karya H.B. Jassin dapat dikatakan mewakili kritik sastra Indonesia pada
masa pertumbuhan dan awal masa pergolakan sastra Indonesia. 28 artikel kritik dimuat dalam bukunya. Selain itu, artikel H.B. Jassin yang dimuat di surat kabar dan majalah menggunakan gaya bahasa populer tanpa bagian karangan secara eksplisit, seperti pendahuluan, metode penelitian, kerangka teori, analisis, dan simpulan. Melalui gaya tersebut, Yudiono (2009:143) menyampaikan bahwa Jassin dapat memaparkan gagasannya lebih bebas, Jassin seolah “berbicara” kepada pembacanya. Kosa kata, istilah, dan struktur kalimatnya yang terbilang sederhana membuatnya mudah dipahami pembaca. Kritik Jassin dalam Kesusastraan Indonesia Modern dalam Kritik dan Esai belum mendalam karena dibahas dalam sebuah
karangan. Telaah Jassin terhadap artikel tersebut tidak terlepas dari keadaan pengarang dan masyarakatnya. Saat memberikan tanggapan, Jassin cenderung menghubungkan karya sastra dengan latar belakang atau pandangan hidup pengarang yang bersangkutan. Sumbangan pemikiran tersebut sebagai ekspresi terhadap karya suatu zaman. Pendapat H.B. Jassin saat memuat cerita Sularto yaitu ia menolak adanya penyempitan daerah pengalaman seorang sastrawan. Menurut Jassin (dalam Mohamad, 1993:18), hasil kesusastraan yang didasarkan pada slogan-slogan politik dan ideologi semata hanya menghasilkan karya yang kering dan kerdil seperti di masa Jepang. Saat menjadi redaktur Sastra pun Jassin memberikan pengantar, “Landasan kami adalah peri kemanusiaan, kemudi kami akal budi”. Jassin menegaskan majalah Sastra tidak masuk partai kiri atau kanan. Sastra berusaha tetap independen dan kritis melihat fenomena yang terjadi. Dalam majalah Kisah dan Sastra, tampak pandangan umum kesusastraan yang dikemukakan berupa contoh yang nyata, seperti cerita, sajak, dan lain-lain. Majalah ini lebih banyak memuat cerpen dibanding puisi, sajak, dan esai. Tentunya ini tidak terlepas dari arahan H.B. Jassin. Akan tetapi, karena pergolakan politik yang kurang menguntungkan, majalah tersebut menutup penerbitannya pada akhir Maret 1964.
Pada tanggal 1 Mei 1966, terbit Majalah Horison yang membawa angin segar bagi kesusastraan Indonesia. Majalah ini diawali dengan deklarasi angkatan 66 oleh H.B. Jassin. Nama Angkatan 66 semakin populer setelah H.B. Jassin mengumumkan karangannya yang berjudul “Angkatan 66: Bangkitnya Satu Generasi” dalam Horison yang disusul dengan antologi puisi dan prosa yang disusunnya sempat menimbulkan polemik di kalangan sastrawan., Agustus 1966. Menurut Jassin, Angkatan 66 lahir sebagai ganti angkatan 45, atau paling sedikit mendampingi angkatan 45. Sastra yang muncul pada awal orde baru ini menunjukkan semangat dan gairah berkarya. Angkatan ini lahir bersamaan dengan pendobrakan terhadap kebobrokan yang disebabkan penyelewengan negara besar-besaran pada tahun 1966. Jassin dianggap mencampurbaurkan sastra dan politik. Kenyataannya adalah
secara politis Angkatan 66 terlahir dari pergolakan politik dalam masyarakat. Karena menandatangani Manifes Kebudayaan (1963), Jassin pernah dipecat dari Fakultas Sastra UI. Majalah Sastra terbitan tahun 1968 memuat cerpen Kipanjukusmin yang berjudul Langit Makin Mendung. Cerpen ini menimbulkan kehebohan karena dianggap menghina Tuhan, malaikat, Nabi Muhammad SAW., dan agama Islam. Perlu diketahui bahwa Kipanjikusmin adalah nama samaran. Nama sebenarnya hanya diketahui oleh redaksi majalah Sastra yaitu H.B. Jassin. H.B. Jassin harus berhadapan dengan pengadilan. Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara di Medan menyita masalah tersebut dan kantor majalah Sastra di Jakarta didemonstrasi sekelompok orang. Tidak lama berselang, Kipanjikusmin langsung mencabut cerita itu dan menganggapnya tidak pernah diterbitkan. H.B. Jassin adalah sosok pemimpin yang melindungi dan membela karya cerpen kontroversial itu. Kasus ini cukup banyak menarik perhatian karena baru kali tersebut sebuah karya sastra diperkarakan. Jassin tak takut dengan ancaman dan cemoohan orang-orang. Menurut Jassin, Langit Makin Mendung merupakan imajinasi pengarang yang berbeda dari realita dan tidak bermaksud menghina suatu golongan. Karya ini adalah cerita fiksi, bukan cerita sejarah yang objektif dan berdasarkan kejadian nyata. Lebih lanjutnya Jassin menyatakan bahwa dalam seni diperlukan imajinasi sebagai salah satu penghayatan estetis. Beliau juga mengatakan bahwa Langit Makin Mendung bukanlah suatu tulisan keagamaan yang melakukan penafsiran tentang sesuatu agama yang dianut di Indonesia, tetapi hanya suatu karya fantasi yang tidak berpretensi sebagai karya agama, yang hendak meruntuhkan kaidah-kaidah sesuatu agama. Akan tetapi, pada tanggal 28 Oktober 1970, Jassin tetap dijatuhi hukuman satu tahun penjara dengan masa percobaan dua tahun penjara. Karyanya yang berjudul Heboh Sastra 1968 (1970) merupakan bentuk pertanggungjawaban Jassin sebagai pemimpin redaksi majalah Sastra atas pemuatan cerpen Kipanjikusmin. Jassin (1970:18) menegaskan bahwa suatu karya sastra bukanlah buku katekismus dan bukan buku sejarah. Janganlah membaca cerita fiktif seperti membaca riwayat hidup seseorang yang otentik. Janganlah menanggapi secara dangkal, hanya melihat yang tersurat, bukan yang tersirat, hanya melihat yang lahir, bukan yang batin. Selanjutnya, Jassin memaparkan pendapatnya “Pengarang dan seniman merupakan hati nurani masyarakat dan bangsanya” (Jassin, 1970:20). Upaya Jassin yang berani pasang badan menunjukkan bahwa kita harus lebih memperlakukan karya sastra dengan lebih apresiatif dibanding destruktif. “Jassin adalah tokoh yang tak mungkin dicari gantinya dan amat penting dalam kesusastraan Indonesia selama seperempat abad yang lalu. Meskipun esei-eseinya tidak gemilang juga tulisannya dan pendapat-pendapatnya dapat diperdebatkan, namun dia sedikitnya memberikan
fakta yang tepat, fakta yang lengkap yang diketahuinya dan yang sayang sekali diabaikan oleh para kritikus lainnya” (Teeuw, 1980:168). Kesetiaan H.B. Jassin terhadap Sastra Indonesia hingga akhir hayatnya pantas diteladani dan dijadikan inspirasi oleh masyarakat luas. Sutardji Calzoum Bachri (2007:427) mengungkapkan “Jassin adalah seorang kritikus yang sudah mendapatkan tempat yang jelas dalam sejarah kesusastraan kita. Penemuannya terhadap karya puisi penyair angkatan 45, Chairil Anwar, dedikasinya yang luar biasa mendokumentasikan karya sastra, menyebabkan kita harus respek terhadapnya,”. Peranannya sebagai seorang pendorong, penjaga, dan pelindung menghadapi cemooh, rasa benci, dan iri penulis atau masyarakat membuatnya tetap berdiri tegak membela kesusastraan Indonesia. Sikapnya yang optimis tidak mematikan semangat atau menghancurkan para penulis muda dengan kritik yang keras. Seiring perkembangan zaman, H.B. Jassin dapat membentuk pemikiran dan perkembangan kesusastraan Indonesia. Karya-karyanya yang berharga menjadi warisan penting bagi para penelaah sampai saat ini. Jassin (1970:40) menegaskan bahwa karya sastra adalah bahan untuk menggugah pemikiran. Karya sastra bukanlah textbook yang harus ditelan begitu saja. Ini berarti bahwa kita harus menghadapinya dengan jiwa yang dewasa. Pendirian Jassin terhadap seni menyatakan bahwa kecil kemungkinan karya seorang seniman mempunyai interpretasi tunggal. Walaupun beliau sudah wafat pada tanggal 11 Maret 2000 di Jakarta, karya dan pemikirannya akan tetap abadi. Salah satu perhatiannya dalam melestarikan dunia sastra dapat terlihat dari lebih kurang 40.000 koleksi sastra di Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin. Jassin yang sudah menekuni dunia sastra sejak masih muda ini konsisten mengembangkan dan menghidupkan kesusastraan Indonesia. Kontribusinya yang gigih membuat H.B. Jassin memperoleh Satyalencana Kebudayaan dari Pemerintah RI (1969), hadiah Martinus Nijhoff dari Prins Bernhard Fonds, Belanda, untuk terjemahan Max Havelaar karya Multatuli (1973), gelar Doctor Honoris Causa oleh Universitas Indonesia untuk menghormati jasanya di bidang sastra Indonesia (1975), penghargaan dari Pemerintah RI untuk jasa-jasanya di bidang seni (1983), hadiah Magsaysay dari Yayasan Magsaysay, Filipina (1987), menerima Bintang Mahaputra Nararaya dari Pemerintah Indonesia (1994), dan penghargaan lainnya. H.B. Jassin adalah orang yang berperan besar dalam dunia sastra Indonesia. Kegigihannya menjaga dokumen sastra sejak masih belia dilakukan Jassin dengan konsisten hingga terbentuknya Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin. Warisannya yang berupa karyakarya dan dokumentasi sastra menjadi peninggalan yang sangat berarti bagi generasi masa kini.
Pendapat H.B. Jassin yang kritis, mengayomi, dan peka dengan fenomena bahasa dan sastra membuatnya menjadi sastrawan yang patut dihormati. Kiprahnya sebagai redaktur, penerjemah, editor, dokumentator sastra, kritikus sastra, dan guru merupakan kehebatan yang tidak dimiliki semua orang. Peran besarnya dalam melestarikan kesusastraan Indonesia membuat generasi penerusnya saat ini mengenal, menghargai, dan membangkitkan kembali semangat dan karya H.B. Jassin yang abadi.
