
7 minute read
Pengaruh Lekra terhadap Para Sastrawan dan Karya Sastra pada Angkatan ’45
Pengaruh Lekra terhadap Para Sastrawan dan Karya Sastra pada Angkatan ’45 Oleh Fani Salsabila
Istilah Angkatan ’45 pertama kali ditampilkan dalam majalah Siasat oleh Rosihan Anwar. Angkatan ’45 merupakan angkatan bagi para pengarang yang muncul pada tahun 1940an, yaitu sekitar penjajahan oleh Jepang, zaman Proklamasi, dan setelahnya. Sebelum nama Angkatan ’45 tercetus, masyarakat menyebut angkatan tersebut dengan berbagai istilah, antara lain Angkatan Kemerdekaan, Angkatan Chairil Anwar, Angkatan Sesudah Perang, Angkatan Pembebasan, Generasi Gelanggang, Angkatan Bambu Runcing, dan sebagainya (Maryoto, 2015:2). Berdasarkan banyaknya istilah lain dari Angkatan ’45, diketahui bahwa situasi pada angkatan tersebut diiringi oleh berbagai latar belakang. Latar belakang istilah terbagi atas beberapa penyebab yang berbeda. Pertama, istilah Angkatan Kemerdekaan muncul karena peristiwa proklamasi pada tahun 1945. Kedua, istilah Angkatan Chairil Anwar meluas karena Chairil Anwar memberikan kontribusi tinggi pada Angkatan ’45. Ketiga, istilah Generasi Gelanggang muncul karena adanya perkumpulan seniman yang bernama Gelanggang Seniman Merdeka pada tahun 1947. Perkumpulan yang diprakarsai oleh Chairil Anwar, Asrul Sani, serta Rivai Apin tersebut digunakan sebagai wadah untuk mencetuskan gagasan, ide, dan cita-cita para anggotanya. Sikap berdasarkan perkumpulan Gelanggang Seniman Merdeka menghasilkan SKG (Surat Kepercayaan Gelanggang). SKG berisi pernyataan bahwa perkumpulan tersebut menganggap kebudayaan dunia sebagai warisan yang sah, pemikiran atas adanya kebudayan Indonesia yang baru, dan pandangan atas sebuah revolusi baru. Di sisi lain, kelompok seniman yang dikenal sebagai Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) menyatakan tidak setuju terhadap SKG. Lekra berpendapat bahwa penciptaan dan pembangunan kebudayaan Indonesia yang baru hanya dapat dilakukan oleh rakyat. Sejak saat itu, terdapat perbedaan pandangan antara Gelanggang Seniman Merdeka dengan Lekra tentang kebudayaan Indonesia. Lekra diketahui lebih lanjut sebagai kelompok yang berkiblat pada PKI (Partai Komunis Indonesia). Orientasi Lekra terhadap PKI menjadikan keberpihakannya pada rakyat. Lekra mengabdi kepada rakyat dan menganggap rakyat sebagai satu-satunya jalan untuk para seniman. Berdasarkan buku Lekra dan Geger 1965, Lekra terbentuk atas perintah Presiden Soekarno yang mendorong semua partai memiliki lembaga kebudayaan pada waktu itu. Lekra pun menjadi alat propaganda politik bagi para seniman. Propaganda tersebut berupa penggunaan seni sebagai media perlawanan terhadap ideologi kapitalisme. Menurut Joebaar, Lekra adalah sebuah gerakan kebudayaan yang nasional dan kerakyatan, di dalamnya memang ada orang-orang yang menjadi anggota PKI, akan tetapi
Advertisement
sebagian besarnya bukan (Rosidi, 2015:9). Sedangkan, PKI adalah sebuah partai politik. Meskipun Lekra berkiblat pada PKI, Lekra tidak tergabung dalam PKI. Namun demikian, berdasarkan buku Lekra Bagian dari PKI, Lekra sudah menjadi pelaksana dalam kebijakan politik PKI. Oleh sebab itu, Lekra bertolak belakang dengan Gelanggang Seniman Merdeka yang berpegang teguh pada konsep sastra yang tidak dicampur dengan politik. Sayangnya, beberapa sastrawan Angkatan ’45 tergiur untuk bergabung di Lekra, seperti Rivai Apin dan Utuy Tatang Sontani. Padahal, telah diketahui bahwa Rivai Apin adalah salah satu orang yang memprakarsai perkumpulan Gelanggang Seniman Merdeka. Alasan bergabungnya beberapa seniman dalam Lekra dipercaya karena adanya sponsor fasilitas berupa belajar dan mengajar di luar negeri. Namun demikian, fasilitas tersebut hanya ke negara-negara Blok Timur, seperti Cina, Uni Soviet, Polandia, Jerman Timur, dan lain-lain. Negara-negara tersebut diketahui memiliki ideologi yang sama dengan kiblat orientasi Lekra, yaitu komunis. Pada tahun 1950, sejumlah seniman dan sastrawan menyatakan sikap patriotisme mereka dalam Surat Kepercayaan Gelanggang yang merupakan Manifes Kebudayaan Angkatan 1945 (Suyono, dkk, 2014:5). Manifes Kebudayaan adalah pernyataan sikap-sikap sejumlah sastrawan, seniman, dan budayawan Indonesia yang menentang Lekra. Manifes Kebudayaan ditandatangani oleh beberapa pendukung, yaitu Wiratmo Soekito, H.B. Jassin, Taufiq Ismail, Boen S. Oemarjati, dan lain-lain. Naskah Manifes Kebudayaan menyatakan bahwa para seniman dan cendekiawan Indonesia menjunjung semua sektor kebudayaan dan mempertahankan Pancasila sebagai falsafah kebudayaan. Awalnya, Lekra tidak terlalu memperhatikan kehadiran Manifes Kebudayaan. Akan tetapi, ketika kelompok Lekra mendengar bahwa para pendukung Manifes Kebudayaan akan menyelenggarakan sebuah konferensi pengarang maka pihak Lekra dan simpatisannya pun mulai melancarkan serangan (Eneste, 1988:106). Serangan pertama berupa percobaan untuk menyingkirkan dua tokoh berpengaruh, yaitu H.B. Jassin dan Hamka dengan tuduhan sebagai penjiplak (plagiator). Serangan kedua berupa penyebarluasan tujuan Manifes Kebudayaan yang dianggap hendak menghilangkan lawan dan kawan revolusi. Namun demikian, kedua serangan ini gagal dan Konferensi Karyawan Pengarang se-Indonesia tetap dilaksanakan. KKPI (Konferensi Karyawan Pengarang se-Indonesia) tidak berfungsi dengan baik karena terus-menerus diganggu oleh Lekra. Gangguan tersebut dilakukan oleh Lekra untuk menghancurkan Manifes Kebudayaan. Pada akhirnya, KKPI yang menghasilkan organisasi bernama PKPI (Persatuan Karyawan Pengarang Indonesia) tidak berjalan dan juga tidak bubar. KKPI menghasilkan Ikrar Pengarang Indonesia yang dapat dikatakan kontroversial (Eneste, 1988:112).
Penyebutan kontroversial tersebut didasarkan pada beberapa alasan. Pertama, di satu sisi, para pendukung Manifes Kebudayaan menolak campur tangan politik dalam sastra, akan tetapi ikrar tersebut dipenuhi dengan slogan-slogan politik. Kedua, Manifes Kebudayaan disebutkan berdasarkan Pancasila, akan tetapi ikrar menyatakan taat kepada Bung Karno yang saat itu berada di pihak Lekra. Dengan demikian, ketidakjelasan pendirian dan pandangan dari Manifes Kebudayaan juga menimbulkan pro dan kontra antara para pendukung pernyataan sikap itu sendiri. Kegoyahan Manifes Kebudayaan digunakan oleh Lekra untuk melancarkan serangan lain. Serangan selanjutnya ialah mendekati dan memengaruhi Presiden Soekarno. Hal tersebut berhasil dan membuat Presiden Soekarno melarang Manifes Kebudayaan pada tanggal 8 Mei 1964 dengan alasan bahwa Manifesto Politik Republik Indonesia berdasarkan Pancasila tidak mungkin didampingi dengan Manifesto lain. Atas nama para pendukung Manifes Kebudayaan, tanggal 10 Mei 1964, H.B. Jassin, Wiratmo Soekito, dan Trisno Sumardjo mengirim pernyataan bahwa mematuhi larangan dari Presiden Soekarno (Eneste, 1988:108). Pelarangan Manifes Kebudayaan disusul dengan beberapa peristiwa. Pertama, H.B. Jassin mengundurkan diri dari FSUI (Fakultas Sastra, Universitas Indonesia) karena ia tidak ingin memberi kesulitan terhadap institusi atas kedudukannya. Kedua, Hamka ditahan dan baru dibebaskan setelah peristiwa G-30-S/PKI. Ketiga, Boen S. Oemarjati, salah satu penandatangan Manifes Kebudayaan, juga mengundurkan diri dari FSUI. Keempat, adanya pelarangan beberapa buku yang dibuat oleh para penandatangan Manifes Kebudayaan. Keempat peristiwa tersebut menunjukkan kuatnya pengaruh Lekra dalam mempertahankan posisinya. Dalam kehidupan bermasyarakat, pengaruh Lekra cukup kuat lantaran memiliki struktur lembaga yang mengakar dari pusat hingga daerah (Suyono, dkk, 2014:16). Organisasi hingga tingkat kecamatan menaungi kegiatan seni tradisional, seperti tari, ludruk, wayang, dan ketoprak. Sedangkan, seni rupa untuk kalangan elite Lekra hanya ada di tingkat kabupaten. Lekra semakin bersahabat dengan masyarakat karena aktif menggelar pertunjukan seni hingga mencapai puncak kejayaan di tahun 1960-an. Namun demikian, semua kemeriahan harus berakhir setelah tragedi 30 September 1965. Tragedi pada 30 September 1965 atau G-30-S/PKI menyebabkan para pengarang bagian dari pendukung Lekra ditahan dan buku-buku karangan mereka pun dilarang untuk beredar. Pelarangan buku-buku bertujuan untuk menumpas pengaruh-pengaruh ideologis di masyarakat. Para pengarang yang mengalami kejadian tersebut adalah Pramoedya Ananta Toer, Utuy Tatang Sontani, S. Rukiah, S. Anantaguna, dan lain-lain. Selain itu, buku-buku
karangan S. Takdir Alisjahbana, Idrus, dan M. Balfas juga dilarang untuk beredar karena ketiga pengarang tersebut sedang bermukim di Malaysia dan kebetulan pada saat itu, Indonesia sedang mengadakan konfrontasi dengan Malaysia. Dengan demikian, suasana politik Indonesia yang belum stabil berdampak pada pelarangan karangan yang beredar pada saat itu Lekra telah berusaha sekuat tenaga untuk menjatuhkan Angkatan ’45, akan tetapi Lekra dapat ditaklukan melalui peristiwa G-30-S/PKI. Pada awalnya, gejolak Lekra mengakibatkan situasi yang tidak kondusif untuk para sastrawan. Teror Lekra terhadap para sastrawan yang tidak sepandangan dengan mereka menyebabkan beberapa sastrawan pergi sementara waktu ke luar negeri, seperti Idrus yang melarikan diri ke Malaysia karena situasi politik yang tidak mendukung. Meskipun dipenuhi gejolak politik dan kebudayaan, Angkatan ’45 berhasil memperjuangkan pandangan mereka dan menghasilkan karya-karya sebagai terobosan baru. Angkatan ’45 memiliki terobosan baru yang berbeda dengan angkatan-angkatan sebelumnya. Pertama, Angkatan ’45 memiliki konsepsi humanisme universal yang meletakkan tekanan pembangunan pada kebudayaan dunia, sedangkan Angkatan Pujangga Baru memiliki konsepsi kebudayaan sebagai persatuan kebangsaan. Kedua, Angkatan ’45 memiliki gaya ekspresi yang mengutamakan keaslian pengucapan jiwa (Maryoto, 2015:5). Ketiga, karya sastra Angkatan ’45 bercorak romantik realistis atau naturalis yang disebabkan oleh keinginan pengarang untuk melukiskan sesuatu sampai mendalam (Maryoto, 2015:6). Dengan demikian, dapat diketahui bahwa Angkatan ’45 memiliki ciri-ciri bebas, individualistis, universalitas, dan realistis.
Berdasarkan pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa Angkatan ’45 memiliki hambatan dalam menerbitkan karya-karya sastra oleh para sastrawan. Angkatan ’45 yang lahir bersamaan dengan perkumpulan Gelanggang Seniman Merdeka menghasilkan SKG (Surat Kepercayaan Gelanggang). Hambatan dimulai ketika muncul Lekra sebagai gerakan dengan pandangan berbeda tentang kebudayaan dan revolusi sehingga menolak adanya SKG. Lekra berkiblat pada PKI dan mulai menguasai pergerakan kebudayaan. Berbagai usaha dilakukan oleh seniman, sastrawan, dan cendekiawan Indonesia untuk mengembalikan pergerakan kebudayaan Indonesia tanpa meletakkan sektor tertentu di atas sektor lainnya. Para pendukung Manifes Kebudayaan sebagai perlawanan terhadap Lekra mengadakan KKPI (Konferensi Karyawan Pengarang se-Indonesia). Namun demikian, upaya tersebut digagalkan oleh Lekra dengan cara memengaruhi Presiden Soekarno. Setelah itu, banyak karangan para sastrawan yang tidak setuju terhadap Lekra dilarang untuk beredar. Bahkan, ada sastrawan yang ditahan akibat Lekra.
Pengaruh Lekra semakin kuat ketika aktif mengadakan pagelaran seni untuk masyarakat. Organisasi Lekra semakin mengakar dan berjaya. Tidak lama setelah kejayaannya, Lekra dilarang dan para pendukungnya ditahan. Peristiwa kejatuhan Lekra tersebut ditandai dengan peristiwa G-30-S/PKI. Sejak saat itu, berbagai karangan dari para sastrawan yang termasuk pendukung Lekra dilarang penyebarannya untuk menghentikan pengaruh-pengaruh ideologi komunis. Para sastrawan Angkatan ’45 akhirnya dapat bernapas lega dan mendapatkan kebebasan dalam menuangkan paham kebudayaan melalui sastra. Pengaruh Lekra meninggalkan jejak sejarah dan peristiwa untuk para sastrawan Indonesia. Lekra mengakibatkan kebudayaan bercampur aduk dengan politik dan ideologi selain Pancasila. Para sastrawan Angkatan ’45 yang berpegang teguh dengan konsep kebudayaan universal berhasil memperjuangkan hingga akhir pembubaran Lekra. Oleh sebab itu, Angkatan ’45 memberi kesan yang melekat dalam karya-karya dan sejarah Indonesia.
