Issue #3: Arsitektur Rakyat

Page 1

ARÇAKA#3 | JANUARY 2015

1

ISSUE #3 JANUARY 2015


ARSITEKTUR RAKYAT

2 ARÇAKA#3 | JANUARY 2015


ARÇAKA #3 JANUARY 2015 /CONTENT //Perspective

Senior Architect: Eko Prawoto Young Architect : Yu Sing

//Design

10 16

///Local

Rumah Rempah Karya Bumi Pemuda Rahayu

22 28

Alumni Yoshi Fajar Kresno Murti METI Handmade School

//Art Space //Student Work GONDAR Hunian Koruptor Tahun 2030

TIC TAC TOE HOUSE

/// Alumni

36 /// Worldwide 42 46

/// Competitions 48

52

//Point

///Architectural Event Bamboo Biennale 56 //Campus News WELPARCH’14 58 Ngeband Asik Ala Anak Teknik 59 Shower Seratus Juta Rupiah 60

//Technology & Innovation

Bambu Laminasi 62

//Anjangsana

/// Jejak Arsitektur Air, Permasalahan yang Menjadi Inspirasi 64 ///Fenomena & Lifestyle

Kampung Dolanan 68

ARÇAKA#3 | JANUARY 2015

3


/ABOUT PENERBIT Biro Penulisan dan Penelitian HIMA TRIÇAKA UAJY PELINDUNG Ir. Soesilo Budi Leksono, ST. MT. (Kaprodi Arsitektur UAJY) PEMBIMBING | PIMPINAN REDAKSI Dr. Ir. Y. Djarot Purbadi, M.T. EDITOR Billy Gerrardus Santo REDAKTUR PELAKSANA Agnes Ardiana A. (Koordinator Biro) BENDAHARA | MARKETING Thomas A. Santoso SEKRETARIS Veronika Selly REPORTER Maria Styany D.C.

VISI ARÇAKA Membangun kecerdasan, kecintaan, dan kelestarian dunia arsitektur nusantara yang berwawasan internasional . MISI ARÇAKA 1.Menyajikan informasi sesuai dengan realita dalam proses berfikir kritis mahasiswa. 2.Menjadi acuan dan pedoman untuk memperkaya keilmuan di bidang arsitektur 3.Membangun, mengajak, dan menginspirasi pembaca untuk sadar, berpikir, dan berkarya bagi masyarakat. CONTACT US: Biro Penulisan dan Penelitian Himpunan Mahasiswa Arsitektur TRIÇAKA Universitas Atma Jaya Yogyakarta Jl. Babarsari No. 44, Sleman, Yogyakarta - Indonesia email : arcakauajy@gmail.com

4 ARÇAKA#3 | JANUARY 2015


/EDITORIAL ARSITEKTUR RAKYAT ??? Tema yang diangkat ARCAKA kali ini adalah tentang Arsitektur Rakyat. Frase “Arsitektur Rakyat” terasa ganjil di telinga kebanyakan orang. Apakah ada apa itu yang disebut Arsitektur Rakyat? Bagi kita, lebih lanjut muncul pertanyaan, apakah ada Arsitektur Rakyat di Indonesia? Mengapa pertanyaan itu menjadi penting? Kebanyakan orang berpikir, arsitektur itu milik orang kaya, orang berduit, bahkan hanya ada untuk kalangan elit masyarakat. Persepsi ini tidak salah, sebab sejarah arsitektur umumnya ditandai dengan bangunan-bangunan yang megah, besar, dan indah. Bangunan-bangunan istana raja atau orang kaya mendominasi sejarah arsitektur dimanapun di dunia ini. Bangunan-bangunan itu mendemonstrasikan kekuatan seorang raja dan kekayaan para saudagar, seolah-olah sengaja dibangun untuk menjadi monumen baginya. Sejarah arsitektur memang didominasi bangunan serba raksasa yang indah dan megah di masa lalu. Arus arsitektur yang dekat dengan rakyat minimal dapat ditelusuri sejak pecahnya revolusi ilmu pengetahuan, dan lebih khusus sejak lahirnya revolusi industri. Ketika itu istana raja mulai kehilangan pamornya karena ada sekelompok manusia di luar istana yang memiliki kekuatan lain, yaitu ilmu pengetahuan dan teknologi. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang kemudian melahirkan industri telah mengubah peta kehidupan masyarakat secara radikal. Istana raja lambat laun bukan lagi menjadi pusat kehidupan seperti sebelumnya. Kini pusat kehidupan telah bergeser dari kalangan istana menyebar ke berbagai tempat, khususnya pusat-pusat ilmu pengetahuan, teknologi dan industri. Kalangan orang kaya atau saudagar, termasuk industrialis, menjadi pusat arus kehidupan baru yang semakin berkembang. Kota-kota industri muncul dimana-mana dan menjadi fenonema baru yang mewarnai permukaan bumi. Dinamika sejarah itu ternyata juga terkait dengan dinamika dunia arsitektur dan profesi arsitek. Pada era kejayaan masa lalu, profesi arsitek menempel pada kehidupan istana raja maupun istana para orang kaya. Mangunwijaya bahkan pernah mengatakan, arsitek adalah kekasih raja atau orang kaya. Kota-kota dan bangunan-bangunan megah masa lalu dibangun oleh raja atau orang kaya menjadi monumen dirinya. Siapa lagi yang menjadi pencipta desainnya jika bukan seorang arsitek. Artinya, pada masa lalu, profesi arsitek memang elitis sebab menyembah dan memuja raja dan orang kaya. Tentu pandangan ini ada dasarnya. Bagi Mangunwijaya, kondisi itu sangat memprihatinkan dan adalah tesis yang harus dilawan. Antitesis arsitektur elitis ditemukan pada Arsitektur Rakyat yang dipelopori arsitek-arsitek arus baru. Revolusi Industri menciptakan kemajuan dalam bidang industri dan kehidupan lainnya, tetapi juga melahirkan kawasan-kawasan kumuh, juga bangunan-bangunan kumuh di kota terutama di kawasan atau kota industri. Para pekerja umumnya tinggal di kawasan dan hunian yang kotor serta tidak sehat. Kota atau hunian bukan lagi tempat tinggal yang sehat dan bagi manusia bermartabat. Situasi ini menjadi titik lahirnya arus Arsitektur Rakyat, arsitektur yang ingin memperbaiki situasi kehidupan rakyat. Sejak saat itu, lahir arsitek yang konsern pada kehidupan rakyat, arsitektur mulai melihat bahwa rakyat adalah klien utama yang harus dilayani. Arsitektur Rakyat adalah bagian dari upaya dunia arsitektur mengangkat kehidupan manusia menjadi lebih bermartabat. Setidaknya itu menurut beberapa arsitek di Indonesia yang diangkat dalam terbitan ARCAKA kali ini. Terbitan ini rasanya seperti mengangkat berkah yang tersembunyi ke permukaan bagi kehidupan di Indonesia. Tema ini menarik, sebab satu tema ini digeluti oleh banyak arsitek dan terus berkembang. Sejak Mangunwijaya, Hasan Purbo dan Johan Silas berkarya nyata, dapat dikatakan arus Arsitektur Rakyat mulai menunjukkan wujud dan bentuknya. Generasi awal ini kemudian diikuti generasi yang lebih muda, Eko Prawoto, Yu Sing, Paulus Mintarga, dan Yoshi, yang diangkat dalam terbitan ini dapat mewakilinya. Tentu akan lahir arsitek-arsitek baru yang mengikuti jejaknya, dengan keunikan pemikiran, pendekatan dan karya masing-masing. Dalam manistream Arsitektur Rakyat, ternyata Arsitek adalah kekasih rakyat. Tidak hanya itu, Arsitektur Rakyat juga dapat menjadi saluran hasrat hati untuk melestarikan alam. Setidaknya, dalam terbitan ini jelas terlihat bahwa arsitektur rakyat itu sebuah bentang penjelajahan kehidupan dan profesi yang amat luas dan menarik. Arsitektur rakyat sangat peduli dan bermakna bagi rakyat sekaligus alam. Memang, Arsitektur Rakyat itu kekasih rakyat dan alam. Dalam paradigma Arsitektur Rakyat inilah, barangkali profesi arsitek dapat menjadi berkah bagi kehidupan. Lantas, pertanyaannya, Anda mahasiswa arsitektur ada di posisi atau arus yang mana ??? Babarsari, Mei 2014 Djarot Purbadi

ARÇAKA#3 | JANUARY 2015

5


6 ARÇAKA#3 | JANUARY 2015


ARÇAKA#3 | JANUARY 2015

7


8 ARÇAKA#3 | JANUARY 2015


/CONTRIBUTORS Biro Penulisan dan Penelitian

Agnes Ardiana A. Thomas A. Santoso ARS’12

ARS’12

Maria Styany D.C. ARS’13

Veronika Selly ARS’12

Contributors

Billy Gerrardus S. ARS’11

Yulius Duta Prabowo

Titis Rum Kuntari ARS’10

Waya Theresia U. ARS’11

Titus Abimanyu D. Elizabeth Nada T.W

Theodorus Alryano D.O. ARS’11

Wisdom Sandjaya .P

ARS’13

ARS’12

Desy K.

Alfa Desta A.

A.Dewi Paramitha

C.K.Bhatara Randa

ARS’12

ARS’12

ARS’12

ARS’12

ARS’13

ARS’11

ARÇAKA#3 | JANUARY 2015

9


/PERSPECTIVE/SENIOR.ARCHITECT

“ Berawal dan Berakhir pada dirinya Sendiri “

Saat berkunjung dan berbincang dengan Pak Eko Prawoto

10 ARÇAKA#3 | JANUARY 2015


Text by Veronika Selly Photos by ARÇAKA & Courtesy of Desy K.

M

emanusiakan manusia, kalimat ini adalah sebuah prinsip dari seorang arsitek legendaris Romo Mangun yang kini masih diterapkan oleh arsitek yang terkenal dengan arsitektur bambunya yaitu Eko Prawoto, seorang arsitek sekaligus dosen di sebuah Universitas Swasta di Yogyakarta. Sabtu, 18 oktober 2014, tim ARÇAKA berkunjung di kediaman pak Eko Prawoto yang berada di daerah Tegalrejo, Yogyakarta untuk berdiskusi tentang arsitektur rakyat menurut sudut pandang beliau. Arsitektur rakyat adalah sebuah arsitektur yang bervisi tentang kerakyatan. menurut beliau Arsitektur Rakyat dibedakan menjadi dua kategori yaitu arsitektur rakyat dimana arsitek membantu pemerintah untuk mewujudkan sebuah negara yang tertata dan tertib, lalu yang kedua adalah arsitek yang memang membantu rakyat, agar masyarakat tersebut dapat memenuhi kebutuhannya sesuai dengan apa yang dibutuhkan.

Peran Arsitek untuk rakyat Pak Eko berpendapat bahwa masyarakat merupakan penentu awal dari terwujudnya sebuah arsitektur yang digunakan untuk memenuhi kebutuhannya sendiri, hal ini membuat arsitek membatasi dirinya untuk masuk ke ruang lingkup klien atau dalam konteks ini adalah masyarakat. Arsitek memberikan pertanyaan serta solusi, sejenis dialog untuk menemukan sebuah cita-cita dari rakyat, sehingga arsitektur yang di inginkan dapat terwujud. Sang pemilik arsitektur atau masyarakat

tahu akan kebutuhannya sendiri. Pak Eko memberi ilustrasi, arsitek seperti seorang bidan yang membantu proses kelahiran anak pasiennya. Setelah lahir orang tua anak tersebut yang membesarkan dan merawatnya. Maksud dari ilustrasi tersebut adalah arsitek membantu proses terwujudnya asitektur yang diinginkan oleh masyarakat, selanjutnya kembali kepada masyarakat sendiri mau dikembangkan kedepannya atau tidak, sesuai kebutuhannya.

Individual House, struktur Fleksibel dan Generik Arsitektur rakyat diterapkan Eko Prawoto menerapkan oleh pak Eko melalui Individual sistem struktur ruang yang House. Dalam kasus ini pak fleksibel pada bangunan hunian Eko sangat berhati-hati, rumah atau residential. Struktur ruang merupakan tempat bertumbuh dan fleksibel dalam bangunan hunian berkembangnya suatu keluarga. digunakan untuk mengantisipasi Setiap keluarga memiliki jumlah perkembangan suatu keluarga, anggota keluarga yang berbedamisalnya dalam suatu keluarga beda, hobi bahkan perilaku setiap mengalami pertambahan jumlah individunya berbeda karena setiap anggota keluarga, maka ruang pada rumah memiliki kebutuhan ruang bangunan tersebut harus dapat yang berbeda untuk memenuhi bersifat fleksibel sehingga ruangan aktivas penghuninya, sehingga dapat tercukupi untuk memenuhi mendesain sebuah rumah sesuai kebutuhan anggota keluarga baru dengan keinginan dan kebutuhan ini. struktur ruang yang fleksibel, penghuninya merupakan sebuah dapat membantu masyarakat tantangan yang cukup besar. secara personal yaitu menciptakan Untuk mewujudkan aritektur yang sendiri ruang-ruang rumahnya, yang dapat berkembang mengikuti disesuaikan oleh kebutuhannya pertumbuhan dan aktivitas sendiri karena realitanya masyarakat penghuninya, membuat pak Eko Indonesia memiliki kemampuan menemukan sistem struktur ruang untuk mencipta secara estetik dan yang dapat membantu masyarakat hakiki. untuk menciptakan ruang sesuai kebutuhannya, yaitu sistem struktur ruang fleksibel.

ARÇAKA#3 | JANUARY 2015

11


/PERSPECTIVE/SENIOR.ARCHITECT

Rumah sekaligus Cimeti Art House milik Nindtyo-Mella

Interior rumah Pak Eko Prawoto yang unik dan kental dengan ukiran tradisional Jawa

12 ARÇAKA#3 | JANUARY 2015


Arsitektur rakyat ala Eko Prawoto Salah satu karya pak Eko adalah rumah Nindityo-Mella atau yang dikenal dengan Cemeti Art House. Rumah yang dirancang selama 8 bulan, merupakan sebuah rumah yang dicita-citakan oleh pemilik rumah yaitu Nindityo seorang seniman dengan istrinya Mella yang berasal dari Belanda. Cemeti Art House dibangun di atas tanah seluas 245 m2.

Ketika proses perancangan Pak Eko membuat maket abstraksi yang dapat digunakan bersama Nindtyo dan Mella untuk menyusun tatanan ruang Cemeti Art House. Pada proses ini klien berperan sebagai pencipta dan arsitek sebagai fasilitator sehingga terwujudlah Cemeti Art House dengan konsep tradisional yang merupakan hasil gabungan pemikiran dari seorang seniman dan arsitek.

Peran Arsitektur Rakyat Pasca-Bencana Pemukiman warga di Bantul, Pak Maryono yang sebagai ketua Yogyakarta yaitu Dusun Ngibikan RT 05 dusun Ngibikan sekaligus mengalami bencana gempa kerabat dari pak Eko membantu bumi pada tahun 2006 yang menkoordinir warga yang memiliki menyebabkan sebagian besar rumah keinginan untuk membangun penduduk runtuh akibat lemahnya kembali rumah mereka. setelah konstruksi bangunan rumah warga, semua berkumpul , kemudian menyebabkan hampir semua diadakan diskusi bersama antara warganya kehilangan tempat tinggal. pak Eko, pak Maryono, warga Dusun Saat pasca bencana, pak Eko Ngibikan, dan tim kompas yang yang datang melihat keadaan turut menyumbangkan dana untuk dusun yang hancur dan bangunan pembangunan. rata dengan tanah. Munculah Diskusi yang dilakukan bersama pemikiran beliau untuk membantu, ini membahas proses pembangunan membangun kembali hunian kembali yang akan segera korban. Beliau tidak hanya sekedar dilaksanakan. Pembangunan rumah membangun rumah yang tahan warga menggunakan material sisagempa untuk warga dusun ini tetapi sisa dari reruntuhan, namun hanya membangun kehidupan warga yang beberapa puing-puing reruntuhan hancur dan trauma akibat gempa. seperti kayu yang masih dapat Membangun kehidupan dalam digunakan. Sebagian besar sisa kayu konteks ini adalah membangun tersebut sudah rapuh dan tidak lagi rumah yang tidak hanya sekedar kuat menahan beban sehingga perlu menggunakan konsep dan teori, mencari kayu yang masih bagus dan namun juga memikirkan potensi mampu menahan beban. Rumah serta kebutuhan warga. warga dibangun secara tipikal dengan bentuk atap limas yang sesuai dengan konteks dan iklim Indonesia.

Hampir sebagian besar desain rumah hunian Pak Eko menggunakan struktur fleksibilitas yang dapat membantu pemiliknya untuk mengembangkan sendiri ruangruang yang dibutuhkan, begitupun dengan Cemeti Art House. Arsitek hanya sebagai fasilitator untuk mewujudkannya dan klien sebagai perancang utamanya, karena klien yang mengetahui secara persis aktivitas ruang yang akan dibutuhkan untuk memenuhi aktivitas.

Konsep yang didapat dari hasil pemikiran bersama adalah hunian yang memiliki ruang fleksibel dengan tipe rumah kampung. Ruang fleksibel didesain guna memberikan wewenang penuh kepada pemilik rumah untuk mewujudkan sendiri fungsi dan penempatan ruang sesuai kebutuhannya. Ketika proses pembangunan, masyarakat menambahkan sekat pada interior rumah untuk membedakan fungsi ruang, yang penempatan ruangnya direncanakan oeh masing-masing pemilik rumah. Rumah terbuat dari material batu bata yang digunakan sebagai dinding, tingginya hanya sekitar 1,5 meter lalu digabungkan dengan papan kayu yang dipasang menghubungkan dinding ke plafon. Hal ini dilakukan untuk meminimalisir kemungkinan reruntuhan bata mengenai penghuni rumah saat terjadi gempa.

ARÇAKA#3 | JANUARY 2015

13


/PERSPECTIVE/SENIOR.ARCHITECT

Pembangunan rumah untuk warga dusun Ngibikan ini berjalan dengan cepat, sekitar 3 bulan. Membangun 65 rumah dengan bentuk yang tipikal dan berukuran 6m x 7.5 m. Pekerjaan pembangunan rumah warga ini dilakukan secara gotong royong. Nilai sosial dan budaya Indonesia sangat terasa dan terlihat, khususnya di daerah Yogyakarta yang saat ini mulai mengikuti perkembangan zaman modern sehingga kegiatan gotong royong jarang ditemui, karena nilai individualis masyarakat yang tinggi. Maka sudah sepantasnya Dusun Ngibikan ini masuk dalam nominasi peraih Aga Khan Awards for Architecture 2010.

Makna Arsitektur Rakyat Arsitektur rakyat merupakan peran masyarakat yang lebih mendominasi ketika merancang sebuah arsitektur untuk dirinya sendiri. Arsitek untuk rakyat adalah seorang arsitek yang mau melayani dan memahami akan kebutuhan serta kebersamaan didalam suatu masyarakat, dengan cara empati dan menghilangkan ego dalam merancang.

14 ARÇAKA#3 | JANUARY 2015


Salah satu rumah warga Desa Ngibikan dan contoh detail kuda-kuda rancangan Pak Eko

Eko Prawoto 1982 1993 1985 2000

B.Arch, Faculty of Eng. Gadjah Mada M.Arch ,The Berlage Institute Amsterdam Working Experience Present Lecturer at Dept. of Architecture Faculty of Engineering Duta Wacana Christian University Present Chief Architect at Eko Prawoto Architecture Workshop

ARÇAKA#3 | JANUARY 2015

15


/PERSPECTIVE/YOUNG.ARCHITECT

Tindakan Nyata Untuk “Orang Kecil” Text by Thomas A. Santoso Photos by Courtesy of http://rumah-yusing.blogspot.

16 ARÇAKA#3 | JANUARY 2015


Baginya membantu masyarakat miskin telah melengkapi jawaban tentang apa itu arsitek dan arsitektur.

S

aat pertama melihat sosoknya, sulit menyangka bila beliau adalah seorang arsitek. Sarung, kaos oblong, dan sandal sering kali digunakan dalam kesehariannya, bahkan dalam sesi foto majalah arsitektur kenamaan sekalipun. Sederhana, menjadi kesan yang pertama kali muncul saat melihatnya, memang arsitek yang satu ini dikenal akan keberpihakannya kepada masyarakat ekonomi lemah. Lewat “papan untuk semua” menjadi media untuk menjalankan pandangannya. Banyak pencapaian yang telah ia raih, namun ditengah kesibukannya, apa yang membuat ia tetap berusaha meluangkan waktu untuk melayani kaum miskin?

Berawal dari pertanyaan Lim Yu Sing dilahirkan di bandung pada 5 Juli 1976, menempuh pendidikan Teknik Arsitektur di Institut Teknologi Bandung pada 1994 dan lulus pada 1999. Setelah lulus ia memberanikan diri mendirikan studio arsitektur bernama GENESIS. Dalam berkarya, Yu Sing banyak melakukan eksplorasi pada material, bentuk geometris , serta nilai lokalitas daerah dalam rancangannya. Memasuki bangku kuliah, muncul sebuah pertanyaan dalam benaknya yang menjadikan Yu Sing seperti sekarang, “untuk apa aku hidup?” Pertanyaan itu memberikannya pengertian baru tentang apa itu arsitek. Dahulu ia menganggap arsitek merupakan sebatas profesi yang santai, namun menghasilkan banyak uang, dan ia sadar arsitek lebih dari itu. Arsitek bisa langsung dirasakan manfaatnya oleh masyarakat, karena langsung berhubungan dengan kebutuhan pokok manusia yaitu papan atau rumah. Menurutnya ada anggapan keliru yang telah mengakar dalam masyarakat, yaitu arsitek untuk mereka yang kaya saja. Bagi kaum miskin, mereka akan berpikir dua kali untuk membeli jasa arsitek yang mahal, lebih baik untuk memenuhi biaya sekolah anaknya atau keperluan lain yang lebih mendesak. Oleh karenanya, banyak pembangunan rumah yang berjalan tanpa campur tangan arsitek, karena bukannya biaya yang lantas dapat murah, justru mahal dengan hasil kualitas bangunan yang buruk. Yu Sing percaya bila bangunan yang baik akan berdampak baik bagi penghuninya, begitu pula bangunan yang buruk akan berdampak buruk bagi penghuninya. Oleh karena itu, ia begitu getol untuk mengusahakan rumah murah bagi kaum miskin, supaya arsitektur tidak hanya untuk yang kaya saja, karena arsitektur itu untuk semua.

ARÇAKA#3 | JANUARY 2015

17


/PERSPECTIVE/YOUNG.ARCHITECT

Indah tidak selalu mahal Semua manusia tanpa disadari membutuhkan keindahan, hingga kemewahan meski hanya untuk mengejar gengsi. Yu Sing memiliki pengertian tersendiri akan kemewahan bangunan, baginya kemewahan sebaiknya dilihat dari kualitas ruang yang terbentuk, yaitu kehadiran ruang yang sesuai kebutuhan dengan kekayaan sensasi meruang yang penghuni dapat rasakan. Bangunan menjadi indah saat bangunan tersebut memanfaatkan material daur ulang, mudah dalam pembuatan dan perawatan, serta ramah terhadap lingkungan. Oleh karenanya, hal ini menjadi karakter Yu Sing yang kita dapat jumpai dalam karya-karyanya. Termasuk dalam bangunan Baleajar Tegal Arum, sebuah balai belajar untuk anak-anak warga desa Tegal Arum, kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Bambu yang ditekuk, ditata berderet, hingga dilengkungkan, mendominasi bangunan ini. Yu Sing memang merasa bambu merupakan salah satu material indah karena murah, kuat, dan melimpah.

Suasana pengerjaan Baleajar Tegal Arum bersama masyarakat

18 ARÇAKA#3 | JANUARY 2015

Seratus Rumah Murah Yu Sing memiliki visi untuk membantu pembangunan seratus rumah murah selama hidupnya. Oleh karenanya, arsitek utama di biro AKANOMA ini membuat proyek filantropis bertajuk “papan untuk semua”. Sebuah proyek filantropis yang digarap bersama rekan-rekan yang memiliki keinginan untuk membantu masyarakat miskin membangun rumah impian mereka. Dana pembangunan didapat dari sumbangan donatur yang tergerak untuk membantu. Setelah dana terkumpul sesuai kebutuhan biaya pembangunan, maka pengerjaan bangunan dapat dimulai. Laporan tahap demi tahap pembangunan selalu diperbaharui di laman internet milik Yu sing sebagai bentuk pertanggung jawaban kepada para donatur. Setelah rumah selesai terbangun pihak terbantu berkewajiban untuk mencicil biaya pembangunan tersebut. Lalu setelah terkumpul uang tersebut akan dipergunakan membangun rumah murah lainnya. Seperti rumah milik bapak Uay, seorang tukang ojek dengan 2 anak, yang bertempat tinggal di daerah Dago, Bandung. Rumah beliau hampir ambruk, yang mana membahayakan keselamatan jiwa penghuninya. Desain rumah berkonsep rumah tumbuh dirasa cocok untuk rumah ini, sehingga saat pemilik memiliki uang berlebih mereka dapat membangun lantai dibawah panggung untuk memperluas ruang rumah mereka. Rumah yang menghabiskan dana dua puluh jutaan ini menggunakan material murah namun layak dan aman seperti kayu kolom struktur berupa kayu bekas, dinding GRC , dan atap fiber. Meski sederhana hal ini sangat membantu bapak Uay dan keluarga. “Papan Untuk Semua” masih berjalan dan menjadi sebuah langkah nyata Yu Sing dalam mengerjakan mimpinya untuk memasyarakatkan arsitektur.


ARÇAKA#3 | JANUARY 2015

19


/PERSPECTIVE/YOUNG.ARCHITECT

Desain Rumah Bapak Uay

Rumah Bapak Uay

LIM YU SING 1994-1999 1999-sekarang 2006-2007 2007-2009

20 ARÇAKA#3 | JANUARY 2015

Lulus dari ITB Owner Studio AKANOMA (dulu Genesis) Koordinator Forum IAI Jawa Barat Sukarelawan Studio HABITAT Bandung


ARÇAKA#3 | JANUARY 2015

21


/DESIGN

Rumah Rempah Karya Dibuang Kok Eman-Eman

Jika ditanya mengenai sampah, jawabannya singkat, yaitu “ngeman-eman, dibuang sayang”, itulah kata-kata yang terlontar dari sosok Paulus Mintarga. Beliau adalah arsitek yang namanya melambung karena keuletannya mengumpulkan barang bekas. Selain mengumpulkan barang bekas, beliau juga seorang kolektor barang-barang antik maka tidak heran jika karya dihasilkan juga merupakan hasil mutasi barang bekas. Di sinilah partisipasi beliau menjadi seorang arsitek yang peka akan isu masyarakat dan berhasil mengangkat sampah menjadi sesuatu yang berguna dalam arsitektur. Arsitektur Rakyat di mata Pak Paulus Bagi Pak Paulus arsitektur rakyat memiliki ranah yang menggaris bawahi sikap arsitek terhadap klien yang harus berkelanjutan. Oleh karena itu peran arsitek tidak hanya sebatas mendesain dengan idealisme saja, melainkan juga memberi perhatian secara terus menerus. Sesungguhnya arsitek harus memberikan empati terhadap rakyat, rakyat boleh memutuskan hasil yang terbaik karena sustainable. Arsitektur rakyat berarti kita memihak rakyat, kontekstual dan mementingkan kepentingan rakyat. Rakyatlah sebagai tokoh utama. “Sebagai arsitek tidak boleh menonjolkan diri di atas klien, tetapi kita harus masuk dan menjadi bagian diantara mereka. Kita hanya bisa memfasilitasi, kita bisa membantu dengan kemampuan kita, tetapi kita tetap harus medengarkan mereka dan mereka belum tentu mendengarkan kita, kita harus mendengarkan mereka terlebih dahulu, tahu dulu, dan setelah mengerti itulah kita baru membantu mereka dengan kemampuan kita tanpa menghilangkan esensinya”, jelas Pak Paulus. Melalui hobinya mengumpulkan barang bekas inilah, Pak Paulus dapat menginspirasi masyarakat bahwa sampah juga dapat menjadi material bangunan. Selain itu beliau juga menerapkan 5R yaitu Rapi, Resik, Ringkas, Rawat, dan Rajin.

22 ARÇAKA#3 | JANUARY 2015


Text by Agnes Ardiana A. Photos by Alfa Desta

Barang-barang koleksi di Rumah Rempah

PAULUS MINTARGA 1985 2000 2006 2007 2010 2013

Teknik Sipil UNS Solo Diperkenalkan Arsitektur oleh Idris Samad dan teman-teman AMI, serta Adi Purnomo. Rumah Mangkunegaran solo Rumah Turi Solo Rempah Rumah karya Greenhost Boutique hotel di jogja

ARÇAKA#3 | JANUARY 2015

23


/DESIGN/LOCAL

1. Prespektif massa bangunan utama 2. Bengkel kayu milik Pak Paulus dari dua atap massa bangunan 3. Detail24 plat besi sisa hasil cutting |yang gagal ARÇAKA#3 JANUARY 2015

4. Aliran air parit yang melintas di bawah bangunan 5. Besi yang disusun menyerupai payung sebagai tempat pot bunga


Rumah Rempah karya adalah sebuah bangunan gudang unik yang dibangun tahun 2010 dan berdiri di atas lahan dekat dengan persawahan. Awalnya Pak Paulus ingin “mindah gudang” dan pada waktu itu hanya terdapat lahan di persawahan, maka ia pun juga tidak mengubah segala potensi yang ada pada site. Hal tersebut dapat dibuktikan melalui saluran air persawahan yang melintas di bawah bangunan ini dan sengaja diekspos. Rumah Rempah sendiri memiliki filosofi seperti rempah-rempah yang merupakan produk tangible yg mendunia pada masa kejayaan Indonesia jaman dahulu. Pada konteks ini Pak Paulus menginginkan Indonesia kembali bangkit, berjuang dan berjaya melalui rempah intangible, yaitu Indonesia sebagai bangsa perajin dan memiliki skill craftmanship yang kuat. Melalui kesempatan, pelatihan, kerja keras dan apresiasi, maka sumber daya manusia indonesia kembali bisa berjaya seperti jaman rempah tangible mencapai ke emasan nya.Rumah Rempah memiliki cita-cita bahwa Indonesia maju tidak hanya sumber daya alamnya yg melimpah, tetapi juga karena sumber daya manusianya yang berbhinneka, bunga Rampai nusantara dengan segala potensi kelokalannya. Struktur Saat tim Arcaka berkunjung ke Rumah Rempah, hujanpun turun maka muncullah sebuah pertanyaan, apakah bangunan dari sampah ini tidak hancur? Pak Paulus sebagai seorang dengan latar Sipil, justru ingin menunjukkan bahwa apa yang ia buat tetap kuat. Bangunan ini menggunakan Baja bekas profil CNP yang dirangkai menjadi kerangka struktural dua buah bangunan tanpa mengubah dimensi yang ada bervariasi 1,7 m sampai 2 m. Keunikan Pada desain rumah rempah ini, material yang digunakan semua menggunakan sampah atau material bekas. Seperti yang terdapat pada bagian atap, pada awalnya menggunakan aspal, kini berubah menjadi kain dan untuk interior secara keseluruhan menggunakan material sampah. Bangunan ini banyak memanfaatkan potongan kayu bekas sebagai ornamen dinding, bambu sebagai plafon dan plat lantai, plat besi sebagai railing, strimin bekas sebagai penahan dinding, sterofoam sebagai bahan balok, gedheg bambu sebagai alas lantai. Sampah Yang Berbicara Saat mendesain Pak Paulus selalu memulai rancangannya dengan material terlebih dahulu, sehingga dengan ketekunannya ia dapat merakit sampah sedemikian rupa hingga mengasilkan bentuk yang indah. Dalam proses pembangunan Rumah Rempah, sampah disusun dengan simulasi gambar, dan memiliki 2-3 option, dengan pertimbangan jumlah potongan-potongan barang sisa itu pas, dan efisien dan ndilalah potongan itu pas, sempurna. “Kalo gojekane (canda) materialnya yang minta, material pun bisa ngomong” Lebih seperti merajut kembali barang-barang bekas. Hingga saat ini Rumah Rempah terus berkembang, sehingga muncul massa baru pada site dan Pak Paulus terus bereksplorasi pada bangunan ini. Bangunan yang awalnya merupakan gudang dan bengkel kayu ini sekarang dapat digunakan sebagai galeri, ruang erskursi, cafe, bahkan kantor biro arsitek.

ARÇAKA#3 | JANUARY 2015

25


/DESIGN/LOCAL

26 ARÇAKA#3 | JANUARY 2015


Susunan jendela yang terbuat dari kaca dan frame bekas

ARÇAKA#3 | JANUARY 2015

27


/DESIGN

A Place to Learn . A Place to Act .

Bumi Pemuda Rahayu Text & Photo by Billy Gerrardus Santo

28 ARÇAKA#3 | JANUARY 2015


ARÇAKA#3 | JANUARY 2015

29


/DESIGN/LOCAL

B

rosur-brosur perumahan dan apartemen di pusat kota kini berlomba-lomba menjual unit huniannya dengan retorika seperti “mewah dan eksklusif”. Apakah arsitektur yang baik harus mewah dan eksklusif? Apa yang terjadi bila arsitektur diimplementasikan dengan begitu sederhana dan inklusif, bahkan menjadi katalis bagi pemberdayaan manusia di sekitarnya dalam skala kecil maupun besar? Bumi Pemuda Rahayu (BPR), sebuah sentra pendidikan, pelatihan dan pelestarian arsitektur, urbanisme, dan kebencanaan, adalah wujud nyata yang menjawab pertanyaan tersebut.

The Hidden Village Berlokasi di Desa Muntuk, Dlingo, Daerah Istimewa Yogyakarta, BPR merupakan hasil kolaborasi dari Rujak Urban Studies Center Jakarta dengan ARKOM (Arsitek Komunitas) Jogja dan KUNCI Cultural Studies Center. Selain digunakan untuk berbagai macam meeting komunitas arsitektur dan seni, BPR secara rutin membuka kesempatan residensi bagi seniman, penulis dan peneliti. Program ini mengajak para peserta residensi untuk saling berkolaborasi dalam berkarya bersama dan untuk lingkungan sekitar. Dibangun pada tahun 2011, BPR dirancang oleh arsitek-arsitek dari ARKOM Jogja, antara lain Marco Kusumawijaya, Effan Adhiwira, dan Andesh Tomo, untuk menampung kegiatan-kegiatan pelestarian yang kreatif. Salah satunya adalah workshop “Kreativitas dan Kesiagaan Bencana” yang didukung oleh Japan Foundation tahun 2013. Workshop ini mempertemukan berbagai pihak yang menaruh perhatian dalam isu kebencanaan. Berada di sebuah desa yang sangat jauh dari hiruk pikuk kesibukan kota, BPR hadir dengan humble di antara rumah-rumah kecil di desa Muntuk. BPR bahkan relatif sulit untuk ditemukan apabila baru pertama kali datang, selain karena minimnya signage, juga karena tampak depan bangunan dengan warna dinding bata dan atap pelana yang begitu menyatu dengan lingkungan sekitarnya. Arsitektur yang Membumi Pada bagian depan, terdapat sebuah ruang workshop. Ruangan ini digunakan untuk kegiatan workshop yang banyak menggunakan material bambu, kayu, dan batu. Bangunan dirancang dengan sangat sederhana. Bata dan beton ekspos tanpa finishing beradu dengan vista pepohonan di belakang bangunan menghasilkan suasana ruang yang membumi sekaligus artistik. Kesan artistik juga terasa dalam kreativitas dalam susunan bata dan penataan ubin kombinasi warna biru, kuning dan merah secara acak. Mulai masuk ke area dalam, di sebelah barat terdapat sebuah pendopo joglo, sementara di sebelah

30 ARÇAKA#3 | JANUARY 2015

timur terdapat sebuah panggung terbuka. Pendopo ini dijadikan sebagai tempat diskusi dan pertemuan warga dan Karang Taruna, juga sebagai tempat sholat berjamaah. Panggung terbuka digunakan sebagai area presentasi peserta residensi, penampilan seni tari & teater, dan juga untuk tempat yoga. Menariknya, pendopo joglo ini “diselamatkan” dari adanya keinginan untuk membongkar joglo tersebut, sementara panggung terbuka dibuat tanpa menebang pohon-pohon mahoni yang ada. Keduanya merupakan sebuah aksi nyata pelestarian alam dan budaya yang diterapkan di BPR. Di tengah site, sebuah ruang serbaguna dengan naungan konstruksi bambu melengkung dengan atap rumbia terlihat jelas sebagai jantung BPR. Ruangan ini digunakan sebagai ruang pertemuan setiap acara yang diadakan di BPR, dan juga sebagai ruang pamer karya-karya peserta residensi dan anak-anak. Di ruangan ini juga terdapat berbagai furnitur yang merupakan produk recycle yang kreatif dari Rumah Rempah Solo, seperti meja, kursi, dan rak buku yang digunakan untuk menyimpan buku anak-anak. “Rumah Bambu”, begitu warga menyebut bangunan ini, dikelilingi pohon-pohon mahoni dan bersebelahan dengan lahan yang digunakan untuk berkebun di sebelah barat. Suasana yang begitu alami juga dirasakan lewat pelestarian pohon-pohon mahoni eksisting yang “menembus” lantai beton. Skylight juga dibuat di beberapa titik untuk mencapai pohon-pohon di dalam ruang. Konstruksi tanpa dinding dan atap bertingkat dengan celah pergerakan udara menunjukkan pemanfaatan dan antisipasi beban angin pada bangunan. Duduk di bawah naungan Rumah Bambu ini terasa sangat nyaman dan sejuk, belum lagi dengan backsound suara-suara gesekan daun pada pepohonan dan kicauan burung-burung di sekitar. Area belakang digunakan untuk kamar tidur para peserta residensi, dengan peserta residensi senior di bagian timur dan peserta residensi junior di bagian barat. Kedua bangunan memanfaatkan view ke arah pepohonan bambu yang rindang di sisi selatan site. Penggunaan beton dan bata ekspos kembali diterapkan, kali ini dengan anyaman bambu untuk dan roster beton. Sebelum memasuki lorong ruang-ruang tidur, terdapat sebuah ruang teras untuk berkumpul, dilingkupi susunan bata tanpa acian dengan ketinggian sekitar 80cm yang bisa digunakan sebagai tempat duduk. Seperti rumah-rumah di dekatnya, keseluruhan area BPR yang berdiri di tanah yang berundag-undag ini juga dirancang tanpa pagar, sehingga batas ruang publik dan privat menjadi blur. Namun hal ini justru menarik, karena warga berlalu-lalang, menyapa, dan kadang berhenti sejenak untuk mengobrol dengan siapa saja yang sedang singgah di BPR.


Rumah Bambu berada di tengah site, menjadi jantung BPR yang mempertemukan banyak insan kreatif dari seluruh nusantara

Pictures & Modeling is courtesy of mkusumawijaya.wordpress.com

ARÇAKA#3 | JANUARY 2015

31


/DESIGN/LOCAL

Ruang Workshop

“Rumah Bambu” / Ruang Serbaguna

Panggung Terbuka

Penginapan Residensi Senior

Sistem Pengolahan Limbah Air Kotor

Dapur Kebun BPR

Penginapan Residensi Senior SITEPLAN BUMI PEMUDA RAHAYU 0 1m

32 ARÇAKA#3 | JANUARY 2015

5m 10m


Sebuah panggung terbuka “muncul” diantara rindangnya pepohonan mahoni

Pertemuan antara warna dan tesktur material alami dengan view pohon-pohon bambu yang begitu dekat berhasil menekankan konsep “membumi” pada ruang residensi senior

ARÇAKA#3 | JANUARY 2015

33


/DESIGN/ LOCAL /DESIGN/LOCAL

Ruang lorong residensi junior

Hasil karya anak-anak melukis di botol kaca bekas

Pak Lilik Rohmad Ahmadi, pengelola BPR saat wawancara

Ruang workshop yang banyak digunakan untuk aktivitas warga dan peserta residensi

34 ARÇAKA#3 | JANUARY 2015

Pendopo Joglo yang berhasil diselamatkan sebelum dihancurkan dan dijadikan kusen


Sebuah Implementasi Pelestarian Lingkungan Mengemban misi pelestarian lingkungan, BPR dibangun dengan berbagai pendekatan ekologis. Upaya untuk meminimalisir jejak karbon dilakukan dengan penggunaan bahan-bahan bangunan yang diambil dari sekitar kota Yogyakarta. Material genting dan bata, yang berasal dari jalan Godean Yogyakarta, merupakan material bata press yang tidak dibakar. Perlu diketahui, pembakaran batu bata banyak menghasilkan karbon dioksida (CO2) yang merupakan salah satu gas yang menyebabkan efek rumah kaca. Material bambu yang digunakan di BPR berasal dari sekitar desa dan Imogiri. Penggunaan material bambu pada bangunan BPR ini mengajak masyarakat untuk melihat kembali bambu sebagai kekayaan alam Indonesia yang melimpah dan dapat digunakan sebagai material konstruksi bangunan, bahkan dengan skala yang lebih besar. Penanganan limbah di BPR juga diperhatikan secara khusus dengan dibuatnya sistem pengolahan air limbah untuk kemudian dapat digunakan kembali di kebun. Sistem pengolahan kotoran berupa biodigester sewage treatment juga diterapkan untuk memanfaatkan kembali gas metan pada kotoran manusia. Namun dalam penerapannya sistem biodigester tersebut belum berjalan secara efektif karena minimnya limbah kotoran yang dihasilkan sehingga gas metan yang dihasilkan sangat sedikit. A Cultural & Social Catalyst Keterlibatan begitu banyak pihak dalam pembangunan dan perkembangan BPR sangat patut diacungi jempol. Sebelum bangunan BPR selesai dibangun saja, warga sudah banyak terlibat dalam pembangunan BPR. Menurut pengelola BPR, Lilik Rohmad Ahmadi, tenaga ahli konstruksi didatangkan dari luar, untuk kemudian mentransfer ilmu mereka ke warga di

sekitar lokasi. Para bapak dan pemuda-pemuda desa diajarkan membuat dinding bata ekspos dan konstruksi bambu yang cukup rumit. Setelah mendapat bekal dan pengarahan, mereka bersama-sama membangun BPR. Keahlian yang diberikan kemudian menjadi bekal bagi kehidupan mereka, bahkan kini banyak berkesempatan untuk bekerja ke luar kota berkat keahlian yang dipelajari dalam membangun BPR. Ibu-ibu di sekitar BPR juga ikut dilibatkan dalam berbagai kegiatan BPR, salah satunya untuk ikut memasak ketika ada banyak tamu yang datang. Para ibu juga diberi wawasan dan pelatihan untuk kembali memasak menu-menu tradisional, untuk membentuk ketahanan pangan dan mengurangi konsumsi makananmakanan yang serba instan. Anak-anak seringkali diikutsertakan dalam kegiatan residensi bersama peserta. Selain diperbolehkan membaca buku di rak dengan bebas, sesekali anak-anak juga dilibatkan dalam pembuatan karya seni, contohnya ikut memetakan rumahnya masing-masing dengan potongan-potongan kertas dan melukis dengan cat di botol-botol kaca bekas. Cara ini memberikan sebuah pandangan baru bagi anak-anak terhadap limbah rumah tangga seperti botol kaca yang seringkali dianggap tidak berguna lagi. Masih banyak kegiatan-kegiatan yang dilakukan warga di BPR, seperti senam ibu-ibu, latihan tim voli desa, dan lain-lain. Selain bagi warga, BPR telah melahirkan peserta-peserta residensi yang secara kreatif berkarya dengan melibatkan warga tanpa melupakan kepedulian akan lingkungan sekitar. Para peserta residensi, selain diwajibkan berkarya bersama warga, juga harus memperhatikan peraturan-peraturan residensi seperti membawa kembali sampah plastik dan lingkungan bebas rokok dan alkohol. BPR boleh saja tersembunyi di dalam sebuah desa yang jauh dari kota, namun BPR telah memberikan begitu banyak kontribusi yang tak ternilai harganya.

ARÇAKA#3 | JANUARY 2015

35


/DESIGN/ALUMNI

Alumni Arsitektur : Yoshi Fajar Kresno Murti

BERMULA DARI BALAI Text by Agnes Ardiana Photos by Alfa Desta

36 ARÇAKA#3 | JANUARY 2015


Saat ini Yogyakarta sedang menjadi kota yang begitu aktif dalam pembangunan. Munculnya bangunan-bangunan tinggi pada beberapa tahun terakhir ini seakan menjadi sebuah ajang kompetisi hebat para investor untuk mengejar keuntungan, namun tidak lagi mempedulikan masa depan kota heritage ini. Menanggapi masalah tersebut, masih adakah orang yang peduli akan nasib pembangunan di kota Yogyakarta?

S

iang itu tim ARÇAKA mendatangi kediaman sekaligus kantor seorang Alumni yang bernama Yoshi Fajar kresno Murti, atau biasa disapa “Mas Yoshi” di Lempongsari, Sleman. Ketika memasuki halaman rumah, kami langsung di sapa oleh sebuah Pendopo mungil yang merupakan hasil rancangannya. Suasana yang asri ini semakin memancing kami untuk semakin ingin tahu bagaimana proses yang ia lakukan dalam mendesain. Sempat terancam tidak lulus, bukan masalah baginya, justru ia semakin membulatkan tekadnya bahwa belajar berarsitektur bukan hanya di kampus tetapi juga di lapangan. Ketika berada di bangku kuliah, mahasiswa angkatan 1994 ini telah memulai karir di luar dengan mengikuti proyek pemberdayaan masyarakat Code termasuk dalam proses pembuatan sanggar belajar dan perpustakaan untuk masyarakat bersama Romo Mangun. Sosok yang begitu merakyat ini tentu memiliki latar belakang yang kuat mengapa ia begitu peduli terhadap masyarakat. Melalui keterlibatannya dalam masyarakatlah yang semakin membentuk dirinya untuk terus ikut serta dalam memikirkan aspek-aspek sosial di Yayasan Pondok Rakyat (YPR). Tidak heran jika karya yang ia buat mendapat respon positif dari masyarakat. Pada masa itu ia juga sempat ikut serta dalam penerbitan majalah Warta Kampung.

UGAHARI bagi Yoshi Sempat bekerja dengan Romo Mangun, arsitek yang “nyeni” ini mengaku bahwa sosok Romo Mangun begitu melekat dalam dirinya.Baginya arsitektur rakyat memiliki penerjemahan yang begitu luas, salah satu wujud yang dapat dilakukan dan terlihat adalah melalui YPR. Setelah YPR berhenti, saat ini ia bekerja di Indonesian Visual Art Archive (IVAA) pada bagian dokumentasi, riset, perpustakaan dan organisasi pendidikan seni rupa. Bila ditanya mengenai biro arsitek, Mas Yoshi memiliki sudut pandang yang berbeda. Seiring berjalannya waktu, akhirnya ia menemukan sebuah cara praktik dalam berarsitektur, baik itu proses, tempat atau konteks, team work yang tepat baginya dan itu semua dinamai dengan UGAHARI, Oleh karena itu, apa yang terwujud saat ini dalam desainnya adalah hasil dari UGAHARI.

YOSHI FAJAR KRESNO MURTI

1994 - 2002 2001 2003 - 2004 2000 - 2008 2008 2008

Architecture UAJY Present Ugahari Architecture | Founder Sit in student at Magister Program of Religious and Cultural Studies, Sanata Dharma University, Yogyakarta Yayasan Pondok Rakyat (YPR )| Social worker. Present Freelance Lecture : UAJY - (Subject: Urban Sociology) UKDW -(Subject: Kampong Architecture) UII - (Subject: Vernacular Settlement and Urban Informalities) Indonesian Visual Art Archive (IVAA), Yogyakarta

ARÇAKA#3 | JANUARY 2015

37


/DESIGN/ALUMNI

Eksterior dan interior Balai warga 35 kampung Kricak

38 ARÇAKA#3 | JANUARY 2015

Tanahku juga tanahmu Melalui YPR, Mas Yoshi mencoba menerapkan hasil pemikirannya dengan memperhatikan masyarakat, terutama yang berdomisili di sekitar pinggiran kali. Wujud pengabdiannya dilakukan dengan melihat kebutuhan warga terutama yang berkekurangan tempat untuk berkumpul warga. Salah satunya adalah membuat balai warga. Arsitektur rakyat akan terus berkembang seiring berjalannya waktu, hal tersebut tentunya didasari kebutuhan masyarakat sendiri yang semakin bertambah. Kunci utamanya adalah “Setiap orang punya tanah yang dapat dibagi rata, contohnya lapangan” ujar Mas Yoshi. Membangun untuk rakyat bukan soal murah atau mahal, kaya atau miskin, melainkan persoalan tanah yang akan mempengaruhi proses desain. Oleh karena itu, “murah hanyalah efek” jelasnya lagi. Dalam kasus ini, mas Yoshi memberi gambaran dengan menceritakan transformasi yang terjadi pada beberapa balai warga yang pernah ia rancang bersama masyarakat.


Balai warga 49 kampung Badran yang terletak di pinggir sungai

Balai dalam Kampung Balai warga 49 adalah sebuah balai warga yang berada di kampung Badran, Yogyakarta. Tempat yang semula berupa tumpukan sampah di pinggir sungai ini pada tahun 2005 berhasil ia sulap bersama warga menjadi sebuah balai. Balai tersebut berdiri atas tanah milik seorang Pak RT yang diIkhlaskan untuk menjadi sarana pemberdayaan warga setempat. Pada tahun yang sama berdiri pula balai warga 35, yaitu sebuah balai yang unik karena berada di atas anak kali, letaknya berada di kampung Kricak, Yogyakarta. Tidak punya tanah, itulah yang menjadi alasan mendasar bagi warga yang tidak memiliki fasilitas ruang kumpul bersama. Sebelum dibangun balai, warga melakukan aktifitas kumpul dari rumah ke rumah. Antusiasme warga yang begitu ingin memiliki sebuah balai di bantu oleh Mas Yoshi melalui YPR, sehingga pemerintah memberi ijin mendirikan bangunan di atas kali.

Kedua balai tersebut menghadirkan suasana rindu akan sosok Romo Mangun dengan memberikan kesan sederhana dalam penggunaan material, namun tetap menjaga estetika. Mas Yoshi menciptakan sebuah balai yang dilengkapi fasilitas perpustakaan bagi anak-anak. Ia memanfaatkan material yang dekat dengan site. Pada proses pembuatannya ia selalu membawa tukang khusus, namun untuk secara keseluruhan warga ikut andil dalam proses pembuatannya. Seiring berjalannya waktu terjadi perubahan pada kedua balai tersebut. Pada kasus balai warga 49, justru malah terjadi penambahan bentuk serta perubahan fungsi menjadi tempat tinggal dan kegiatan warga belakangan ini mulai vakum. Sedangkan pada kasus balai 35 saat ini masih sering digunakan bahkan terjadi beberapa perubahan secara fisik karena perawatan, namun pada lantai dua yang berupa perputakaan juga terhenti karena ruangan terasa panas.

ARÇAKA#3 | JANUARY 2015

39


1. Eksterior IVAA 2. Interior IVAA lantai 2 3. Interior IVAA lantai 1 4. Detail kuda-kuda Y ciri khas Mas Yoshi 5. Perpustakaan IVAA

Bangunan yang Baik akan Baik Pula Bila Dilihat dari Manapun Beberapa waktu lalu, tim Arcaka mencoba berkunjung ke Indonesian Visual Art Archive (IVAA) yaitu kantor arsip seni rupa tempat Mas Yoshi bekerja sekaligus hasil rancangannya. Kantor yang tampak menyatu dengan alam ini terlihat sederhana, namun tetap kontektual terhadap sekitar. Bata ekspos dan dinding tanpa plesteran itu juga digunakan sebagai perpustakaan umum bagi warga yang ingin berkunjung. Tatanan kuda-kuda kayu yang menjulang menjadi ciri khas setiap karya juga turut meramaikan bangunan IVAA. IVAA dibuat dengan material yang tidak beda dengan sekitarnya.

40 ARÇAKA#3 | JANUARY 2015


Pada bangunan IVAA inilah kita dapat melihat hasil desain Mas Yoshi yang begitu mengayomi para pengguna bangunan. Ruang tanpa batas yang menjadi andalannya menata ruang. Seminimal mungkin menggunakan dinding, karena menurutnya “dinding adalah ruang”, sehingga tidak membatasi para pengguna secara permanen. Selain mendesain Balai, arsitek yang dekat dengan rakyat ini juga mendesain galeri, rumah tinggal, guest house, homestay, dan banyak lainnya. Baginya bangunan yang baik tidak harus dengan material yang berat atau serba modern, melainkan melihat dari potensi yang ada disekitar lokasi. Justru karena keahliannya mengolah material inilah menjadikan karya desainnya memiliki khas pada setiap detail dan menyatu dengan sekitar, karena

ARÇAKA#3 | JANUARY 2015

41


/DESIGN/WORLDWIDE

METI Handmade Arsitektur Rakyat Bangladesh

Text by Yulius Duta Prabowo Photos by courtesy of Moma.org and Archdaily

ABOUT Architects :Anna Heringer & EikeRoswag Location

:Rudrapur, Dinajpur district, Bangladesh

Client

:Dipshikha Society for Village Development

Year

:2007

Awards

: - Aga Khan Award for Architecture 2007 - Curry Stone Design Prize 2009

42 ARÇAKA#3 | JANUARY 2015

A

nna Heringer dibesarkan di Laufen, Bavaria, Jerman bagian selatan. Beliau belajar di Universitas Seni dan Desain Industri di Linz, Austria, lulus pada tahun 2004. Perhatiannya pada masyarakat Bangladesh bermula pada tahun 1997 ketika ia menghabiskan setahun untuk melakukan pekerjaan sukarela di sana. Setelah menyelesaikan tesisnya tahun 2004 “School: Handmade in Bangladesh” , beliau mulai mengerjakan proyek METI (Modern Education and Training Institute) Handmade School, bersama Eike Roswag. Proyek tersebut dilakukan dengan bantuan masyarakat setempat. Mereka memanfaatkan lumpur dan bambu, bahan bangunan yang lazim digunakan di


Sebagaimana hakikat manusia sebagai homo faber, yang berpikir, mencari cara dan menciptakan solusi untuk memenuhi kebutuhan hidup. Hal ini juga berlaku ketika manusia dihadapkan pada kebutuhannya untuk bernaung, berlindung dari lingkungannya agar merasa aman, maka manusia mencoba menciptakan ruang. Pengetahuan dan keterampilan mencipta ruang sebagai solusi untuk hidup inilah yang kita sebut sebagai arsitektur. Sesungguhnya arsitektur melekat erat dalam jiwa dan tradisi masyarakat manapun di dunia.

Jika di Indonesia memiliki suri tauladan dalam dunia arsitektur, yaitu Romo Mangun yang berhasil meraih penghargaan IAI Award dan Aga Khan Award for Architecture atas sikap dan karyanya. Ada pula arsitek perempuan asal Jerman yang banyak berkontribusi bagi masyarakat Bangladesh dan Maroko, yaitu Anna Heringer. Melalui kedua tokoh tersebut kita dapat belajar bahwa karya arsitektur lebih dari sekedar keahlian untuk menggabungkan bentuk, tetapi juga terdapat partisipasi aktif dari semua yang terlibat di dalamnya.

NB: Homo faber merupakan konsep filosofis yang dijelaskan oleh Hannah Arendt dan Max Scheler yang mengacu pada manusia yang mengendalikan lingkungan melalui peralatan. Homo faber, sebagai “manusia yang bekerja” merupakan konfrontasi dari Homo ludens “manusia yang bermain”, yang berkaitan dengan hiburan, humor, dan rekreasi.

ARÇAKA#3 | JANUARY 2015

43


/DESIGN/WORLDWIDE

Detail arsitektural METI Handmade School yang memperlihatkan bambu sebagai penahan atapnya serta perpaduan berbagai warna pada bagian pintu

Sumber Referensi: http://www.archdaily.com/51664/handmade-school-annaheringer-eike-roswag/ http://www.akdn.org/architecture/pdf/3392_Ban.pdf Sumber Gambar : http://www.archdaily.com/51664/handmade-school-annaheringer-eike-roswag/ http://www.moma.org/interactives/exhibitions/2010/smallscalebigchange/projects/meti_handmade_school

44 ARÇAKA#3 | JANUARY 2015

Konteks dan Tujuan Selain untuk memfasilitasi anak-anak dalam mengembangkan potensinya menggunakannya secara kreatif dan bertanggungjawab, Heringer juga berupaya untuk memberikan kepercayaan diri bagi para pengrajin dan masyarakat setempat tentang teknik dalam penggunaan metode pembangunan lokal serta mempersiapkan mereka untuk masa depan. Banyak dari masyarakat yang membangun dengan teknik dan konstruksi yang keliru seperti tidak menggunakan pondasi serta damp-proofing (penahan kelembaban), sehingga bangunan rentan kerusakan dan hanya bertahan 10 tahun. Melalui metode pembangunan lokal tersebut, beliau berupaya menjaga keseimbangan ekologi dan menghindari efek merugikan dari metode arsitektur modern. Proyek yang berada di negara dengan kepadatan penduduk tertinggi di dunia atau sekitar 1000 orang/km2 ini merupakan pendekatan baru dalam pembangunan berkelanjutan dengan penggunaan material dan pekerja lokal. Konstruksi Sekolah yang berada di daerah Rudrapur, Bangladesh ini berdiri di atas pondasi bata dengan kedalaman 50 cm yang dilapisi dengan plester semen. Bangladesh hampir tidak memiliki sumber daya berupa batu alam, sehingga batu bata merupakan industri bangunan yang paling umum. Batu bata yang telah dipecah juga biasa digunakan pada campuran beton. Konstruksi METI Handmade School sendiri dibangun tanpa bantuan mesin. Menggunakan lapisan Polyethylene ganda dipakai sebagai dampproofing. Dinding lantai dasar terbuat tanah yang dicampur dengan jerami lebih rendah, diproduksi dengan bantuan tenaga sapi dan kerbau. Kemudian campuran tanah dan jerami tersebut disusun di atas pondasi hingga ketinggiannya 65 cm per lapisan. Setelah beberapa hari, sisa material yang lebih pada dinding dirapihkan dengan sekop tajam. Setelah waktu pengeringan yang berlngsung selama seminggu, dinding dapat dilapisi dengan tanah lagi. Struktur atapnya merupakan rangka yang terdiri dari balok empat bambu utuh yang dipasang secara vertikal dan diagonal.


METI Handmade School sebagai fasilitas belajar bagi anak-anak

Dalam pembuatan lantai yang menggunakan bahan tanah dan jerami membutuhkan tenaga sapi dan kerbau

ARÇAKA#3 | JANUARY 2015

45


/ART-SPACE

Thanks for your participation!

Rumah warga Desa Ngibikan by Desy K.

46 ARÇAKA#3 | JANUARY 2015


Pura Ulun Danu Betaran, Bali by A.Bagus

Kupercayakan Padamu by Alfa Desta

ARÇAKA#3 | JANUARY 2015

47


GONDAR

HUNIAN KORUPTOR TAHUN 2030

“Ide kamu memang beda dan saya pikir ini adalah sebuah ide yang brilian” Cosmas D. Gozali, IAI - Juri Nippon Paint Young Designer Award 2014

Sumber: Transparency International

Berawal dari Keprihatinan

Pengasingan dan Pemiskinan di Bawah Laut

Indeks Persepsi Korupsi tahun 2013 menunjukkan bahwa Indonesia menjadi salah satu negara dengan praktek korupsi terbesar. Maraknya tindak korupsi tersebut tidak seimbang dengan pemberantasan yang dilakukan. Indonesia hanya menempati posisi ke-7 di Asia Tenggara dan posisi ke-114 di Dunia. Berdasarkan fenomena tersebut, jika ditarik garis proyeksi sampai tahun 2030, mungkin tindak korupsi bangsa ini akan semakin merajalela. Sudah bukan saatnya lagi bagi seorang arsitek untuk tinggal diam sambil melihat sinetron para “tikus-tikus” memainkan sandiwara mereka. Pertanyaannya selanjutnya yang muncul adalah “bagaimana arsitek memberantas koruptor?”

Fenomena “tikus-tikus kabur dari kandang” yang berdampingan dengan perkembangan teknologi saat ini, menjadi latar belakang keberanian si Arsitek untuk mengonsep pembangunan hunian koruptor ini dibawah laut, tepatnya pada perairan Nusakambangan. Pembangunan ini sebagai bentuk pengembangan Pulau Nusakambangan yang sampai saat ini masih dinobatkan sebagai pulau tahanan nomor 1 di Indonesia. Selain itu pembangunan di bawah laut ini juga bertujuan untuk lebih mengasingkan para koruptor dari kehidupan duniawi, dan dengan lebih intensif akan mendidik moral para koruptor untuk menjadi pribadi yang lebih baik.

THEODORUS ALRYANO DEOTAMA OHMAR

FINALIS NIPPON PAINT YOUNG DESIGNER AWARD 2014

Theodorus Alryano Deotama Ohmar dalam ajang Nippon Paint Young Designer Award 2014 yang bertema “Re-Think Re-Create Future Living 2030”, ingin menggebrak bangsa Indonesia dengan menciptakan sebuah hunian masa depan koruptor yang terletak di perairan Nusakambangan.

48 ARÇAKA#3 | JANUARY 2015


ARÇAKA#3 | JANUARY 2015

49


3 Massa 3 Kelas “Saya masih bertanya-tanya, mengapa kamu memberi warna yang sebegitu seramnya pada bangunan kamu ini?” Komentar Ahmad Djuhara saat penjurian. Memang terlihat sangat unik, karena biasanya seorang arsitek memberi warna-warna gembira pada setiap bangunan yang dikerjakannya. Tetapi kali ini si arsitek mencoba menghadirkan warna-warna yang seram untuk mengklasifikasikan kelas pada hunian masa depan koruptor ini. Tujuannya hanya satu, yaitu memberi efek jera bagi para tahanan. Warna yang dipilih ada tiga jenis karena nantinya akan ada tiga kelas pula yang disajikan dalam proyek ini sesuai tingkat kejahatan para koruptor.

Tingkat A - Biru Tua Tingkat A berisi para koruptor dengan tingkat kejahatan yang sangat besar. Warna ruangan yang ditampilkan dalam hunian ini adalah biru kehitaman yang membuat orang semakin putus asa, larut dalam kegelapan dan ketakutannya.

Tingkat B - Merah Darah Tingkat B berisi para koruptor dengan tingkat kejahatan yang sedang. Warna ruangan yang ditampilkan dalam hunian ini adalah merah darah yang membuat orang akan semakin marah dan tidak tenang didalam kesendiriannya.

Tingkat C - Kuning Terang Tingkat C berisi para koruptor dengan tingkat kejahatan yang cukup Warna ruangan yang ditampilkan 50 ringan. ARÇAKA#3 | JANUARY 2015 dalam hunian ini adalah kuning terang yang membuat orang semakin panas sehingga tidak nyaman


ARÇAKA#3 | JANUARY 2015

51


TIC TAC TOE HOUSE Rumah fabrikasi minimalis untuk masyarakat kelas ekonomi menengah

“Tampilan bisa jadi nomor 2, nomor 1 lebih kepada tingkat fungsional, bagaimana orang yang tinggal didalamnya bisa nyaman sampai waktu yang lama.”

“Keindahan sebuah bangunan akan lahir sendiri dari kesederhanaannya.”

Dari segi tampilan, rumah ini bergaya minimalis yang erat kaitannya dengan rumah-rumah modern saat ini. “Merakyat” dimaknai lebih kepada segi fungsional yang menjawab keinginan masyarakat kelas menengah. Seiring dengan pertambahan penduduk yang kian pesat, berakibat pada meningkatnya permintaan rumah tinggal. Pembangunan di Indonesia yang masih menggunakan teknologi konvensional dinilai tidak efisien dari segi penggunaan material, tenaga kerja, waktu dan kualitas. Rumah Tic Tac Toe mencoba mengembangkan teknologi rumah fabrikasi dengan mengusung konsep minimalis yang fungsional. Rumah fabrikasi ini dapat menjadi jalan keluar terhadap permasalahan efisiensi material, tenaga kerja, waktu dan kualitas, sekaligus dapat mengatasi kelemahan teknologi fabrikasi itu sendiri yaitu mengenai masalah stabilitas dan sambungan antar komponennya.

Konsep

52 ARÇAKA#3 | JANUARY 2015

Less is more - Ludwig Mies Van Der Rohe

Konsep dalam sistem precast ini adalah permainan Tic Tac Toe, dimana alur penempatan bulat dan silang dalam permainan Tic Tac Toe menjadi inspirasi kami dalam membuat pola sambungan sistem precast ini yaitu straight line, L shape, + shape, dan T shape. WISDOM SANDJAYA PAPENDANG Angkatan 2011 PERSONEL TIM KIT KAT : FINALIS GRUP 8 BESAR INDOCEMENT FABRICATED HOUSE COMPETITION.


ARÇAKA#3 | JANUARY 2015

53


Skylight Skylight sebagai jalan masuk cahaya pada ruang kamar mandi, hal ini tentunya dapat mengurangi pemakaian lampu disiang hari. Konsep rumah tumbuh-sustainable ini dapat menyesuaikan kebutuhan penghuninya. Kenyamanan termal menjadi salah satu pertimbangan penting. Lubang angin yang terdapat tepat dibawah atap dapat mempengaruhi suhu didalam ruangan, sehingga mengurangi hawa panas dalam ruangan akibat adanya aliran udara dari luar yang masuk melalui celah lubang, selain itu kenyamanan termal pada rumah ini didukung dengan bukaan jendela yang lebar.

54 ARÇAKA#3 | JANUARY 2015


Desain rumah Tic Tac Toe tergolong murah karena harga yang dikeluarkan untuk proses pembangunan lebih rendah dibandingkan biaya membangun rumah pada umumnya. Dapat dilihat pada rician RAB di samping. Harga merupakan pembulatan dari Rencana Anggaran Biaya, dan dengan menggunakan data-data harga bahan bangunan serta upah pekerja di daerah jawa.

Inovasi

Sambungan sistem precast yang bersifat kering, mudah dipasang, mudah dibongkar, dan tidak memerlukan banyak tukang apabila akan dilakukan penambahan ruang (rumah tumbuh). Prinsip kerja sambungan ini mirip dengan sistem engsel yang memiliki sebuah batang sebagai tumpuan pusat.

Rincian Harga I. Pekerjaan Persiapan Rp. 1.210.000 II. Pekerjaan Tanah Rp. 800.000 III. Pekerjaan Pondasi Rp. 4.125.000 IV. Pekerjaan Beton Rp. 10.115.000 V. Pekerjaan Modular Rp. 34.200.000 VI. Pekerjaan Atap Rp. 8.530.000 VII. Pekerjaan Lantai Rp. 6.140.000 VIII Pekerjaan Plafon Rp. 6.200.000 IX. Pekerjaan Pengecatan Rp. 5.000.000 X. Pekerjaan Kusen, Pintu, dan Jendela Rp. 10.300.000 XI. Pekerjaan Mechanincal Electric Rp. 1.580.000 XII. Pekerjaan Sanitasi Rp. 6.000.000 XIII. Pekerjaan Ornamen Rp. 3.500.000

Total Rp. 97.700.000 *

DETAIL PERAKITAN RUMAH

ARÇAKA#3 | JANUARY 2015

55


/POINT/ARCHITECTURAL EVENT

BAMBOO BIENNALE “BORN” di Benteng Vastenburg Solo

Text by Veronika Selly Photos by C.K. Bhatara Randa

56 ARÇAKA#3 | JANUARY 2015


Anak-anak begitu senang menikmati instalasi yang diletakkan di atas pohon

Anak-anak begitu senang bermain bersama di dalam Instalasi “Sangkar manu(k)sia”

B

Seorang anak tampak asik sendiri di dalam instalasi “Ruang Raba Raya”

amboo Biennale merupakan rangkaian acara yang pertama kali diadakan di Solo pada tanggal 31 Agustus - 28 September 2014 , tepatnya di halaman Benteng Vastenburg. Acara ini bertujuan untuk memperkenalkan bambu dan mengajak para arsitek dan designer muda untuk ikut terlibat dalam sebuah proses melahirkan kembali budaya bambu yang memiliki berbagai manfaat. Kota Solo merupakan kota yang terpilih untuk diadakannya Bamboo Biennale karena kota Solo merupakan sebuah kota yang masyarakatnya memiliki semangat dalam kreatifitas. Acara ini diharapkan dapat membantu masyarakat mengembangkan potensipotensi yang dimiliki serta dapat mendukung visi dari kota Solo yaitu eco-cultural city. Menurut Pak Anto, seorang seniman bambu yang berkontribusi untuk Bamboo Biennale mengatakan bahwa acara ini dibuat untuk para pelajar dan mahasiswa arsitek serta seniman muda agar mereka dapat mengenal dan memiliki keterampilan dalam mengolah bambu menjadi karya seni maupun menjadi karya arsitektur. Berlokasi di halaman Benteng Vastenburg, instalasi-instalasi bambu di Bamboo Biennale ini berhasil menarik perhatian masyarakat Solo dari berbagai kalangan dan usia.

Salah satu contoh instalasi sangkar manu(k)sia yang dirancang oleh Pak Paulus Mintarga dan Pak Oky Kusprianto. Bentuk yang menyerupai sangkar burung raksasa ini diharapkan mampu merubah sudut pandang masyarakat terhadap sangkar burung yang selama ini menjadi rumah burung, kini dijadikan ruang untuk manusia beraktifitas. Sehingga manusia diharapkan dapat melihat secara lebih jelas akan keindahan, kekuatan dan intensitas yang ada dalam sebuah produk sangkar bambu ini. Anak-anak yang bertempat tinggal di sekitar Benteng Vastenburgpun antusias menikmati pameran instalasi Bambu Biennale ini. Tak hanya melihat pameran, mereka juga asik bermain di beberapa instalasi bambu. Bamboo Biennale juga menjadi sarana inspirasi bagi masyarakat yang menggemari bidang arsitektur dan interior. Pak Santo, salah seorang warga yang saat ini sedang membangun usaha resto dan pemancingan, ikut tertarik dengan karya-karya instalasi bambu yang dipamerkan, bahkan tertarik untuk menerapkannya pada interior restoran miliknya. Tak hanya masyarakat solo, pameran Instalasi bambu ini juga menarik perhatian para wisatawan lokal maupun internasional.

ARÇAKA#3 | JANUARY 2015

57


/POINT/CAMPUS NEWS

WELPARCH’14

Pestanya Mahasiswa Baru Arsitektur 2014 Text by Maria S. Photos by HUMAS Hima TriÇaka

P

ada tanggal 6 September 2014, Himpunan Mahasiswa Arsitektur Tricaka Universitas Atma Jaya Yogyakarta ( HIMA TriÇaka) mengadakan sebuah welcome party bagi mahasiswa baru atau yang lebih dikenal dengan WELPARCH’14. WELPARCH tidak hanya bertujuan untuk menyambut mahasiswa baru angkatan 2014 tetapi juga sebagai acara keakraban antar angkatan. Matahari bersinar cukup terik di area kampus Thomas Aquinas Universitas Atma Jaya Yogyakarta dan jam telah menunjukan pukul 14.00 rangkaian acara wellparch’14 dimulai. Diawali dengan absensi, pengumpulan makanan dan botol air mineral bekas dan dilanjutkan dengan beberapa game yang telah dipersiapkan oleh lima biro dari HimaTriÇaka yaitu klinik, pameran, ekskursi, cerdis serta penulisan dan penelitian.

58 ARÇAKA#3 | JANUARY 2015

Game yang disuguhkan dari setiap biro tentu memiliki tema masing-masing yang memang tidak kalah asik. Salah satu contohnya adalah permainan balap koran dari biro ekskursi. Permainan yang menggunakan media koran ini membutuhkan kekompakan dari setiap kelompok peserta, sehingga secara tidak langsung menambah keakraban bagi mahasiswa. Hari telah gelap, area lapangan lilin mulai dihiasi dengan sorotan lampu warna – warni. Malam puncak wellparch’14 di mulai dengan acara band – band yang langsung di sambut dengan sorak – sorai mahasiswa baru. Semakin malam semakin meriah dan malam yang istimewa itu ditutup dengan beberapa lagu dari DJ. Acara wellparch’14 berlangsung hingga pukul 20.50 WIB. “Seru, asik dan mendapat teman baru.” Tutur Nanda salah seorang mahasiswa baru setelah acara usai. Mahasiswa baru pulang dengan membawa kesan sendiri – sendiri.


Ngeband Asik Ala Anak Teknik Text by Agnes Ardianaw Photos by HUMAS HimaTriÇaka

Jenuh dikalangan mahasiswa itu hal yang wajar, tentunya hal tersebut menjadi alasan para mahasiswa teknik di UAJY khususnya mahasiswa Arsitektur dan Sipil ini untuk mencari hiburan dengan cara ngeband bersama. Acara yang dilakukan pada tanggal 20 September 2014 ini digelar di parkiran belakang Kampus Thomas Aquinas UAJY. Hari semakin gelap, ditambah dengan efek sorotan lampu semakin membuat suasana menyatu dengan musik. Para penonton tampak antusias menikmati setiap penampilan dari bandband yang berasal dari prodi arsitektur dan sipil.

Kegiatan semacam ini sangat diapresiasi oleh para mahasiswa, karena selain untuk hiburan dan media penyaluran bakat, mahasiswa juga dapat menjalin keakraban antar prodi. Penampilan band para pesertapun juga tidak tanggung-tanggung, setiap band berlomba-lomba menunjukkan aksi terbaiknya. Semangat yang dikeluarkan merupakan wujud kesungguhan dalam dunia perkuliahan. Semoga acara musik antar prodi semacam ini tidak hanya berhenti disini saja, tetapi juga diadakan kembali pada kesempatan berikutnya.

ARÇAKA#3 | JANUARY 2015

59


/POINT/CAMPUS NEWS

Shower Seratus Juta Rupiah Text by Thomas A. Santoso Photos by HUMAS Hima TriÇaka

60 ARÇAKA#3 | JANUARY 2015


Hobi yang melenceng dari dunia arsitektur, bukan halangan menjadi arsitek. Pada 3 Oktober 2014 lalu, Biro Ceramah dan Diskusi HIMA TriÇaka mengadakan diskusi bersama alumni dan dosen. Ardi Prasetya, alumni arsitektur UAJY angkatan 2002, bercerita tentang masa-masa kuliahnya yang lucu dan kesenangannya bermain game PC, sampai-sampai lebih sering ngegame daripada mengerjakan tugas. Dunia perkuliahannya mulai berubah saat beranjak ke semester 5, tepatnya saat dimintai tolong oleh temannya untuk membantu mengerjakan proyek bangunan. Mas Ardi juga bercerita, ada kebanggaan saat teman-teman yang lain masih belajar, dia sudah mulai bekerja. Pekerjaan membuatnya mengerti banyak permasalahan yang terjadi di lapangan. “Dulu saat dikelas ada masalah papan tripleks, karena saya sudah sering lihat langsung di lapangan jadi saya bisa tampil dan menjelaskan bagaimana papan tripleks itu ke teman-teman” candanya. Hal ini membuatnya bangga, karena berbeda dari teman-teman yang umumnya hanya belajar di kelas. Namun hobi nge-game semenjak dulu itu tak lantas undur dari kesehariannya, justru melengkapi skill arsitektur yang ia miliki. Dalam dunia permodelan, game merupakan bidang yang paling up-todate akan perkembangan teknologi visualisasi. Nge-game bagi mas Ardi selain untuk kesenangan, juga memperbaharui pengetahuannya akan kualitas visual permodelan desain arsitektur. Misinya adalah bagaimana desain bangunan dapat ditampilkan serealistis mungkin. Dalam dunia kerja sekarang, dia mengaku kualitas visual dari desain sangat berpengaruh akan keberhasilan desain tersebut untuk terbangun. Klien memang perlu mendapat gambaran nyata akan bangunan yang menjadi impiannya. Saat ini mas Ardi memfokuskan diri pada desain interior. Banyak proyek interior yang ia telah kerjakan bersama kawan-kawan. ia mengaku banyak tawaran pekerjaan memang datang dari teman, teman lama, dan bahkan teman-dari temannya. Termasuk proyek yang paling berkesan baginya, yaitu kamar mandi. Desain kamar mandi memang terdengar sepele, namun masihkah sepele jika shower mandinya saja seharga 100 juta rupiah? Ya, proyek yang terbangun di timur tengah ini masih menjadi proyek paling berkesan bagi mas Ardi.

Ardi Prasetya Arsitektur UAJY Angkatan 2002

ARÇAKA#3 | JANUARY 2015

61


/TECHNOLOGY & INNOVATION

BAMBU LAMINASI

ALTERNATIF KAYU MASA DEPAN Text by Elizabeth Nada & Titus Abimanyu Photos by ARÇAKA and courtesy of Lab. Struktur

Tumpukan Bambu Laminasi

B

ambu sudah menjadi tanaman yang populer di Indonesia. Tanaman dengan akar rimpang dan tumbuh secara vertikal ini telah dimanfaatkan sejak lama oleh nenek moyang sebagai alat pemenuh kebutuhan mereka. Selain itu, jika melihat manfaat bambu dari segi lingkungan, bambu merupakan penyerap karbondioksida yang tinggi dan penghasil oksigen yang baik. Sehingga bambu bisa dibilang bermanfaat bagi kehidupan manusia. Namun di era modern ini penggunaan bambu di Indonesia mengalami penurunan. Bentuknya yang non prismatis ,berongga dan terkesan ringkih, membuat tanaman ini kurang diminati masyarakat sebagai bahan baku bangunan. Padahal jika dikemas secara tepat, bambu dapat menjadi alternatif pengganti kayu yang comparable. Salah satunya adalah dengan teknik bambu laminasi. Tokoh di Indonesia yang serius mendalami bambu sekaligus pionir teknologi bambu laminasi adalah almarhum Prof. Dr. Ir. Morisco yang berprofesi sebagai dosen tetap Jurusan Teknik Sipil dan Lingkungan Fakultas Teknik, serta Prof. Prayitno dari Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Sebuah Inovasi Tanaman bambu yang banyak tumbuh di Indonesia, menjadi peluang tersendiri bagi sebagian orang untuk dijadikan bahan pengganti kayu. Selain populasinya yang berlimpah, bambu merupakan tanaman yang mudah dibudidayakan serta cepat untuk dipanen. Bambu dapat dipanen dalam waktu 3-5 tahun. Saat ini teknologi yang dinilai dapat memanfaatkan bambu secara maksimal adalah teknologi bambu laminasi.

62 ARÇAKA#3 | JANUARY 2015

Bambu Mentah Sebelum Diolah

Bilah - Bilah Bambu


Teknologi bambu laminasi merupakan teknologi inovasi yang menyatukan bilah-bilah bambu dengan cara direkatkan sehingga dihasilkan produk balok atau papan. Bambu yang digunakan adalah jenis bambu petung. Bambu ini dipilih karena memiliki ketebalan yang cukup serta lebih kuat. Bambu petung pertama-tama ditebang dengan teknik dan waktu yang tepat. Penebangan sebaiknya dilakukan setelah tengah hari, hal ini berguna untuk mendapatkan kelembaban bambu dalam kadar terendah, serta menghindari kumbang bubuk. Setelah dilakukan penebangan, bambu kemudian dipotong menjadi bilah-bilah bambu dan dibentuk menjadi segi empat. Selanjutnya, bambu dialasi dan dijemur selama beberapa hari dibawah sinar matahari langsung untuk mengurangi cairan alami dari bambu. Penjemuran bambu dengan alas berguna untuk menghindari kelembaban tanah yang masuk kembali pada serat bambu karena bambu yang lembab akan mudah lapuk dan rapuh saat digunakan. Setelah bambu selesai dijemur, teknik pengawetan dilakukan untuk memperpanjang umur bambu dengan menggunakan boraks, kemudian dijemur kembali untuk mengurangi kadar air. Proses selanjutnya dilakukan pernyortiran untuk menentukan warna dan ukuran yang seragam, lalu dilakukan pengempaan dengan perekat lem sehingga benar-benar menyatu. Proses terakhir adalah finishing berupa penghalusan permukaan dan pengecatan atau divernis. Bambu laminasi dapat disetarakan fungsinya dengan kayu pada umumnya. Kekuatan yang dihasilkan juga tidak jauh berbeda dengan kekuatan yang dihasilkan oleh kayu. Bukan hanya itu, modulus lentur bambu laminasi tidak jauh berbeda dengan kayu. Bahkan kuat tarik dari bambu laminasi lebih baik dari kayu, sehingga dapat disimpulkan bahwa bambu laminasi setara dengan kayu. Bambu laminasi juga dapat digunakan sebagai bahan baku non konstruksi seperti furniture, lantai, hingga dinding partisi. Sedangkan untuk bahan baku konstruksi seperti pembuatan kuda-kuda, balok hingga plat lantai, bambu laminasi perlu dikaji lebih lanjut dengan kontrol kelembaban, tekanan, dan kuat geser tekanan. Maka bisa dikatakan bahwa hampir semua peran kayu dapat digantikan oleh bambu laminasi. *** Bambu merupakan material yang ramah lingkungan dan sangat potensial untuk terus diolah dan dikembangkan. Bambu yang non prismatis kini dapat diolah menjadi balok dan papan bambu seperti kayu sehingga masyarakat dapat lebih mudah memanfaatkannya. Bambu laminasi diharapkan mampu menjadi salah satu alternatif bahan bangunan pengganti kayu dan dapat diolah sendiri oleh masyarakat, sehingga bambu laminasi dapat lebih akrab di kalangan masyarakat luas sebagai bahan baku pengganti kayu.

Balok bambu laminasi Photos by Courtesy of Morisco Bamboo

Bambu laminasi sebagai lemari Photos by Courtesy of Morisco Bamboo

Sumber Referensi : Wawancara dengan Ibu Inggar Septhia Irawati , S.T.,M.T (Dosen Fakultas Teknik Jurusan Teknik Sipil dan Lingkungan UGM) Bapak Aji (putera Prof. Morisco) Website : Morisco Bamboo / www.moriscobamboo.com

ARÇAKA#3 | JANUARY 2015

63


/ANJANGSANA/JEJAK.ARSITEKTUR

Air,

Permasalahan yang Menjadi Inspirasi Text and Photos by Alberta Maria Titis Rum Kuntari

Apakah anda sudah pernah menonton film yang berjudul “The Fault in Our Stars”? Film drama bernuansa romansa dengan suasana haru tersebut dirilis pada pertengahan tahun 2014 yang diangkat dari novel berjudul sama karangan John Green. Film ini sebagian besar mengambil latar yang berlokasi di Belanda. Apabila diperhatikan, kanal, sungai, kapal, sepeda, pejalan kaki, dan bangunan yang sempit dengan tinggi yang menjulang banyak menjadi sorotan dalam latar lokasi dalam film tersebut.

B

erdasarkan sejarahnya, Belanda adalah negara yang memiliki kepadatan yang cukup tinggi dibandingkan dengan negara-negara lain di Eropa. Perkembangan arsitektur di Belanda dimulai pada abad ke-17 diiringi dengan perkembangan ekonomi yang pesat. Pembangunan kanal-kanal baru dan transportasi air yang efektif mendukung pembangunan kota di sepanjang kanal, sepeti di Amsterdam, Leiden, dan Delft.

Belanda memiliki populasi yang sangat tinggi, namun tidak diimbangi dengan luas lahan dan ruang yang dimilikinya. Permasalahan tersebut yang mendasari para ilmuwan Belanda untuk menemukan solusi dengan cara mengembangkan ilmu dan teknologi dalam perancangan kota dan perencanaan permukiman. Ilmuwan di Belanda berusaha menambah lahan dan ruang untuk mencukupi kebutuhan tempat tinggal

64 ARÇAKA#3 | JANUARY 2015

penduduknya. Rekayasa lingkungan menjadi suatu hal yang sangat penting dalam perencanaan penambahan lahan dan konservasi tanah.

Kini, hampir setengah dari masyarakat Belanda tinggal di atas tanah yang merupakan hasil rekayasa lingkungan. Lebih dari satu per tiga luas lahan di Belanda dulunya adalah daerah perairan. Rekayasa lingkungan yang dilakukan oleh ilmuwan Belanda untuk menambahkan lahan dari area perairan disebut dengan “empoldering”, sebuah proses pembentukan gundukan tanah pada area perairan yang disebut “polder” untuk membatasi perairan tersebut dan mencegah terjadinya banjir. Tanah ini ditanami oleh tanaman yang bersifat menjaga kepadatan tanah sehingga tanah yang berada pada area tersebut tidak terkikis oleh air.


Kota Volendam dengan jarak yang begitu dekat dengan area perairan, dibatasi oleh gundukan tanah yang menjaga lahan

Pada awalnya, ilmuwan menggunakan teknologi kincir angin untuk memompa air keluar dari “polder” sehingga tanah kering yang tersisa dapat direncanakan sebagai area permukiman. Kini, kincir angin tidak hanya digerakkan oleh angin namun dibantu dengan adanya energi listrik, energi uap, dan mesin diesel. Adapun teknologi baru yang sedang dikembangkan yang bernama zandmotor (secara harafiah berarti mesin pasir) yang digunakan untuk usaha konservasi lahan di Belanda. Terdapat lebih dari 1000 kincir angin di Belanda, baik yang dimanfaatkan untuk keperluan permukiman maupun keperluan lain seperti industri, pertanian, peternakan, dan energi listrik. Dengan adanya teknologi inilah Belanda disebut sebagai “Negara Kincir Angin”

Perancangan Area Sekitar Kanal Perencanaan kota-kota di Belanda menggunakan sumbu yang berasal dari kanal-kanal air yang melewati kota tersebut, maka kapal menjadi transportasi utama pada kota-kota yang berbatasan langsung dengan air (waterfront cities). Sedangkan transportasi darat yang dominan digunakan adalah sepeda dan sebagian kecil menggunakan sepeda motor dan mobil. Bangunan pada area di sekitar kanal dirancang dengan desain yang ramping dan menjulang tinggi ke atas sebagai pemenuhan kebutuhan akan tempat tinggal (housing needs) mengingat populasi yang begitu tinggi di Belanda. Area kanal ini juga dilengkapi dengan jalur pedestrian, jalur sepeda, dan jalur mobil. Pada umumnya bangunan menghadap ke arah kanal dan memasuki jalan-jalan arteri dari jalan utama, bangunan dirancang berhadap-hadapan. Pada perancangan bangunan tempat tinggal, material yang banyak digunakan adalah batu bata merah dan kayu yang diberi finishing warna sederhana.

ARÇAKA#3 | JANUARY 2015

65


/ANJANGSANA/JEJAK.ARSITEKTUR

Pemanasan Global Akibat pemanasan global, meningkatnya permukaan air laut setiap tahunnya mengakibatkan kekhawatiran bagi masyarakat Belanda karena harus menambah usaha untuk menjaga lahannya. Belanda kini berusaha mengembangkan kota modern di luar area konservasinya. Pada area yang memiliki bangunan bangunan kuno dengan ornamen khas Eropa Kuno tetap dilestarikan sedemikian rupa, sedangkan area baru yang bernama ‘Het nieuwe land’ atau The New Land dikembangkan dengan cara yang modern oleh arsitek-arsitek modern ternama seperti Rem Koolhaas dan René van Zuuk. Area modern yang berumur kurang dari 35 tahun ini, direncanakan dengan tetap mengambil inspirasi dari area perairan. Konsep yang diangkat adalah bagaimana sebuah kota yang modern berdampingan dengan kota yang kuno dan dihubungkan melalui area perairan dan dapat ditelusuri dengan mudah oleh kapal dan sepeda. Bangunan baru yang berada di area modern ini menggunakan proses pembangunan dan konstruksi yang berteknologi tinggi, namun tetap mengedepankan prinsip keberlanjutan. Pemilihan material yang sesuai dengan citra diri Belanda juga tetap dijaga dengan adanya perpaduan material baru dan lama. ***

Dalam merancang sebuah karya baik sebuah kota maupun sebuah bangunan, terdapat berbagai pertimbangan secara makro dan mikro yang perlu dipikirkan demi pemecahan masalah. Arsitektur adalah salah satu bentuk problem-solving. Dalam memecahkan masalah tersebut, tetap ada esensi desain yang perlu dipegang teguh. Dalam hal ini, Belanda tetap kukuh pada inspirasi yang berasal dari permasalahan area perairan dan permasalahan kebutuhan lahan. Dari sebuah hal yang dianggap sebagai suatu masalah, dijadikan inspirasi dalam merancang dan mengembangkan ilmu pengetahuan. Dari artikel mengenai arsitektur yang berpengaruh pada rakyat Belanda di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa ketika merancang sebuah bangunan, kita juga ditantang untuk berpikir secara makro tentang lingkungan di sekitarnya. Ketika kita merancang sebuah lingkungan, kita ditantang untuk berpikir secara makro tentang kota dimana lingkungan itu berada, dan seterusnya. Umpan balik dan dialog antara desain dengan lingkungan perlu selalu dilakukan dan bila perlu saling memberikan pengaruh positif maupun perbaikan demi keberlanjutan sebuah lingkungan hidup.

66 ARÇAKA#3 | JANUARY 2015

Gereja di Delft

Balai Kota Amsterdam di Dam Square


Area taman kota di Erasmusburg, Kota Rotterdam dengan pemandangan bangunan modern. Rotterdam merupakan salah satu kota pelabuhan di Eropa. Area perairan dan transportasi kapal dan sepeda juga banyak ditemui di kota ini

Alat transportasi di Amsterdam dengan kapal dan sepeda yang mendominasi

EYE Amsterdam, sebuah museum perfilman yang dibangun di atas tanah yang berbatasan langsung dengan perairan di kota Amsterdam sebagai bagian dari het nieuwe land

Alberta Maria Titis Rum Kuntari Arsitektur UAJY Angkatan 2010

ARÇAKA#3 | JANUARY 2015

67


/ANJANGSANA/FENOMENA&LIFESTYLE

KAMPUNG DOLANAN Mutiara Budaya yang Tersembunyi Text by Waya Theresia Utomo Photos by ARÇAKA

Dijaman yang serba canggih ini, kini semua orang lebih memilih bermain dengan gedgetnya. Lantas bagaimanakah nasib produksi permainan tradisional saat ini?

M

endengar istilah kampung Dolanan, Tim ARÇAKA menjadi penasaran. Tanpa pikir panjang kami mencoba menelusuri kampung tersebut, mengapa disebut kampung Dolanan? Kampung Dolanan terletak di desa Pandes, Bantul. Ketika memasuki desa Pandes, suasana terasa hening dan asri serta terdapat “orang-orangan sawah” yang diletakkan dibeberapa titik pada kampung dolanan. Memang berbeda dengan kampung lainnya, layak jika disebut sebagai kampung Dolanan. Hampir setiap perempatan atau pertigaan jalan terdapat penunjuk arah menuju rumah-rumah yang memproduksi mainan-mainan tradisional ini. Fenomena lain yang patut diapresiasi dari kampung ini adalah para ahli pembuat mainan tradisional anak yang semuanya merupakan para manula yang usianya sudah menginjak 70 tahun ke atas. Penasaran ingin bertemu dengan orang-orang hebat ini, tim ARÇAKA mampir ke dua rumah pengrajin mainan tradisional anak di kampung ini. Rindu Generasi Muda Mbah Tomo, begitu kerap beliau dipanggil oleh para tetangga dan anak-anak di kampung dolanan. Pada usianya yang sudah menginjak 76 tahun, beliau masih mengisi waktu untuk membuat berbagai mainan tradisional. Sejak kecil mbah Tomo sudah sering membuat mainan-mainan tradisional ini. “Dari dulu Desa Pandes memang terkenal memproduksi dolanan, ya jadi sampai sekarang terkenal sebagai Desa Dolanan”, ujar mbah Tomo. Jenis mainan yang dibuat oleh mbah Tomo tidak pernah berubah dari dulu hingga sekarang, seperti, kitiran, wayangan, othok-othok, kipasan, tabuhan, dan sebagainya.

68 ARÇAKA#3 | JANUARY 2015

Mbah Tomo tetap tersenyum gembira menceritakan suka duka menjual mainan buatannya

Dolanan anak-anak yang di jual mulai Rp. 2.000,hingga Rp. 5.000,-


Mbah Joyo menunjukkan kitiran berbentuk bunga hasil tangannya

ARÇAKA#3 | JANUARY 2015

69


/ANJANGSANA/FENOMENA&LIFESTYLE Tak jauh dari rumah mbah Tomo, kami mampir ke kediaman mbah Joyo. Sama seperti mbah Tomo, mbah Joyo juga mengisi waktu senggangnya dengan membuat mainan-mainn tradisional anak. Mbah Joyo membuat 5 jenis dolanan yang serupa dengan dolanan yang dibuat oleh mbah Tomo. Namun, bagi mbah Tomo dan mbah Joyo, motivasi utama mereka tetap membuat mainan tradisional anak ini sampai hari tuanya hanyalah untuk mencari nafkah dan melestarikan budaya, karena sudah tidak ada lagi yang tertarik untuk meneruskannya. Generasi muda yang peduli budaya, inilah yang sangat diharapkan para pengrajin mainan tradisional di kampung dolanan ini. Mereka merindukan generasi muda yang ingin belajar lalu mengembangkan potensi budaya yang hampir punah ini. Kini sudah mulai banyak kegiatan yang secara rutin dilakukan pada kampung ini, seperti Festival Dolanan Anak. Selain itu juga terdapat Komunitas Pojok Budaya yang ikut mengembangkan kegiatan di kampung ini agar tetap hidup.

Anak-anak tampak asik di bawah orang-orangan sawah yang terbuat dari jerami

Grafiti “KAMPUNG DOLANAN” yang terdapat pada sebuah dinding rumah warga di pojok kampung

70 ARÇAKA#3 | JANUARY 2015


Petunjuk jalan menuju rumah para pengrajin dolanan

Memoles Mutiara yang Tersembunyi Kampung Dolanan jelas memiliki potensi besar untuk berkembang sebagai kawasan pariwisata, sebut saja pariwisata mainan tradisional. Namun, tidak terlihat adanya penataan kawasan yang memanfaatkan potensi desa ini untuk menarik pengunjung. Saat kami menyusuri kampung ini, kami sadar bahwa sentuhan arstitektur perlu dilakukan pada kampung ini. Kampung Dolanan yang sarat akan budaya seharusnya dapat diasah sehingga menjadi kawasan desa wisata yang menarik untuk dikunjungi oleh wisatawan. Dengan demikian kebudayaan mainan tradisional anakpun makin dikenal oleh masyarakat dan dolanan tradisional anakpun tidak dipandang sebelah mata oleh anak-anak nusantara yang merupakan generasi penerus bangsa.

ARÇAKA#3 | JANUARY 2015

71


72 ARÇAKA#3 | JANUARY 2015


ARÇAKA#3 | JANUARY 2015

73


74 ARÇAKA#3 | JANUARY 2015


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.