Issue #7: Yogyakarta: Monggo Pinarak

Page 1

UAJY

ISSUE #7 DECEMBER 2016

YOGYAKARTA:

MONGGO PINARAK




/CONTENTS

10

18

PERSPECTIVE

10 |

Gatot Suprihadi Transformasi Karangwaru Riverside sebagai perwujudan arsitektur bagi semesta

14 |

Ardhyasa Fabrian Gusma Di balik layar wajah baru Malioboro

DESIGN

18 |

Masjid Baiturrahim Melenting mengembalikan ikatan gotong royong warga desa Kopeng

22 |

Karangwaru Riverside Harapan baru atas buah pikir dan kerja sama penataan pinggiran Kali Buntung

28 |

Rumah Modern Dengan Sentuhan Etnik Penerapan metode golden section pada desain rumah

34 |

Ber-Arsitektur Proses, realita, dan relasi

40 |

Hjo Town Waterfront city di Swedia

ARTSPACE OPINI

4

ARÇAKA #7 | DECEMBER 2016


65

70

POINT

58 |

Jalani Aja Dulu Diskusi bersama peraih STARS Award

59 |

Welparch 2K16 Penyambutan mahasiswa baru aristektur 2016

60 | KMTA WISWAKHARMAN Kunjungan singkat dari mahasiswa arsitektur UGM 62 |

LUSTRUM VII Rangkaian kegiatan untuk memeriahkan ulang tahun ke-35 Prodi Arsitektur Fakultas Teknik Atma Jaya Yogyakarta

68 |

IndonesiaLand Arsitektur paripurna Indonesia

69 |

Obrolan IAI Jogja Rancangan kota Jogja istimewa

70 |

Bamboo Binnale Pameran instalasi bambu

STUDENT WORKS

72 |

Wiyata Budaya Sarana edukasi dan panggung rakyat

76 |

Malioboro Sebuah pendekatan terhadap wajah dan identitas kota jogja

TECHNOLOGY & INOVATION

ANJANGSANA

80

86 | Masjid Pathok Negoro Peninggalan fisik “negara” yang diyakini dapat menjamin keberlangsungan hidup masyarakat 92 |

Indonesian Sketcher Memperkenalkan jogja melalui sketsa

ARÇAKA #7 | DECEMBER 2016

5


PENERBIT

BIRO PENULISAN DAN PENELITIAN HIMA TRIÇAKA UAJY

PELINDUNG

Ir. Soesilo Budi Leksono, ST. MT. (Kaprodi Arsitektur UAJY) Ir. Ahmad Saifudin Mutaqi, M.T., IAI, AA (Ketua IAI DIY)

PEMBIMBING

Dr. Ir. Y. Djarot Purbadi, M.T. Catharina Dwi Astuti Depari, S.T., M.T.

REDAKTUR PELAKSANA

/ABOUT VISI ARÇAKA

Membangun kecerdasan, kecintaan, dan kelestarian dunia arsitektur nusantara yang berwawasan internasional

Chrispina Yovita Putri (Koordinator Biro)

PEMASARAN

Elisse Johanna Tandyo (Wakil Koordinator Biro)

SEKRETARIS

A. Christian Pratama Putra

BENDAHARA

Diah Hanityasari

MISI ARÇAKA

1.

Menyajikan informasi sesuai dengan realita dalam proses berfikir kritis mahasiswa. 2. Menjadi acuan dan pedoman untuk memperkaya keilmuan di bidang arsitektur 3. Membangun, mengajak, dan menginspirasi pembaca untuk sadar, berpikir, dan berkarya bagi masyarakat.

TIM EDITORIAL

Gilang Pidianku Dhanni Novianto Yoseph Duna Sihesa

LAYOUTER

Aldea Febryan Rachmadani

WEBSITE i s s u u . c o m / a r c a k a

6

SOCIAL

CONTACT

f a c e b o o k . c o m / a r c a k a instagram.com/arcaka

majalaharcaka@gmail.com

ARÇAKA #7 | DECEMBER 2016


/AGENDA

// ARCHITECTURE FESTIVAL 2017: Urban Housing (UK PETRA)

/PENDAFTARAN :

8 Desember 2016 20 Januari 2017 /DEADLINE: 23 Januari - 1 Februari 2017 /JURI: Prof. Heng Chye Kiang, Yu Sing, Prof. Lilianny Sigit Arifin /LINK : http://himaartra.petra.ac.id/archfest/

// LOMBA DESAIN RUMAH KAYU 2017: Rumah Mandiri (RUMAH INTARAN)

/PENDAFTARAN :

5 Desember 2016 5 Januari 2017 /DEADLINE: 28 Januari 2017 /JURI: Lintang Rembulan, Novieta Tourisia A, Ayu Gayatri K, Ni Luh Djelantik, Evie Hatch, Melati Blanca D /LINK : http://www.facebook.com/ RumahIntaran/

// WISWAKHARMAN EXPO 2017: Culture Injection (UGM)

/PENDAFTARAN :

26 Desember 2016 10 Maret 2017 /DEADLINE: 10 Maret 2017 /JURI: Andra Matin, Eko Prawoto, IAI DIY /LINK : www.wiswakharmanexpo.com

// SEPEKAN ARSITEKTUR 2017: Yen Pasar Ilang Kumandhange (UAJY)

/PENDAFTARAN :

3 Desember 2016 3 Maret 2017 /DEADLINE: 4 Maret 2017 /JURI: Andra Matin, Eugenius Pradipto, I Gede Kresna, Chyntia Ratih /LINK : sepekanarsitektur.wixsite.com

// SAYEMBARA ARCHI RAY 2016: Rumah Kreatif Untuk Masyarakat Marginal (UNHAS)

/PENDAFTARAN : 15 Desember 2016 31 Januari 2017 /DEADLINE: 7 Februari 2017 /LINK : https://archiray2016.wordpress.com

ARÇAKA #7 | DECEMBER 2016

7


/REDAKSI Ada banyak hal yang membuat Yogyakarta istimewa. Dari segi sejarah, keberadaan Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat yang sangat berpengaruh, bahkan sebelum Indonesia merdeka, terus mempengaruhi perkembangan Daerah Istimewa Yogyakarta hingga saat ini. Selama bertahun-tahun, Daerah Istimewa Yogyakarta telah menjadi magnet bagi penduduk dari luar Yogyakarta dalam 3 hal: pendidikan, pariwisata dan kebudayaan. Pada era perkembangan zaman yang semakin modern, Yogyakarta menjadi salah satu daerah yang terpengaruh arus modernisasi yang melanda. Modernisasi ikut mempengaruhi perkembangan ketiga magnet Daerah Istimewa Yogyakarta tadi, baik memunculkan pengaruh positif maupun menimbulkan isu negatif. Namun yang terjadi, isu negatif-lah yang dominan disorot oleh berbagai kalangan, terutama oleh arsitek dan berbagai pihak yang terlibat dalam bidang arsitektur dan masyarakat Yogyakarta itu sendiri. Isu negatif yang menjadi keprihatinan adalah maraknya pembangunanpembangunan yang mengarah pada konsep modern dan dipandang tidak kontekstual terhadap kondisi Yogyakarta. Isu modernisasi yang mempengaruhi pembangunan di Yogyakarta ini mengakibatkan Yogyakarta dipandang telah kehilangan “wajah asli�-nya. Namun, yang sebenarnya terjadi adalah Yogyakarta tidak kehilangan wajah aslinya. Wajah asli itu hanya tersembunyi oleh wajah modern yang dianggap menghilangkan wajah asli Yogyakarta: wajah modern yang membuat masyarakat Yogyakarta lupa bahwa di tengah arus modernisasi yang melanda, Yogyakarta masih memiliki karya yang mencerminkan wajah asli Yogyakarta. Edisi Yogyakarta: Monggo Pinarak ingin memperkenalkan kembali karya-karya arsitektur Yogyakarta yang berhasil mempertahankan wajah asli Yogyakarta, baik karya arsitektur yang telah ada sebelumnya maupun karya yang baru muncul karena isu modernisasi yang melanda. Istilah Monggo Pinarak merupakan sapaan khas masyarakat Jawa, khususnya Yogyakarta, yang berarti mari mampir. Yogyakarta: Monggo Pinarak ingin mengajak para pembaca mampir sejenak ke Yogyakarta untuk melihat dan mengapresiasi karya-karya yang telah mempertahankan wajah asli Yogyakarta: memunculkan harapan untuk berkembangnya Yogyakarta yang lebih baik. Enjoy! Elisse Johanna Tandyo

Redaksi

8

ARÇAKA #7 | DECEMBER 2016


/CONTRIBUTORS BIRO PENULISAN DAN PENELITIAN

Chrispina Yovita Putri

Elisse Johanna Tandyo

Yoseph Duna Sihesa

Dhanni Novianto

Gilang Pidianku

A. Christian Pratama P.

Diah Hanityasari

Aldea Febryan R.

Ars 14

Ars 15

Ars 14

Ars 15

Ars 14

Ars 14

Ars 14

Ars 14

CONTRIBUTORS

Titis Rum Kuntari Alumni

Rifandi Febrianto Ars 14

Gabriella Sudi D. Ars 14

David Jeffry Nasir Photographer Ars 14 DOKSI HIMA TRIÇAKA

ARÇAKA #7 | DECEMBER 2016

9


/PERSPECTIVE/SENIOR ARCHITECT

Text by Chrispina Yovita Putri Photos by Diah Hanityasari and Gatot Suprihadi

GATOT SUPRIHADI

WASNADIPTA: MEWUJUDKAN ARSITEKTUR TERBAIK BAGI SEMESTA

Karangwaru Riverside “Sae Saestu” merupakan sebuah ruang terbuka hijau baru di kota Yogyakarta yang berangkat dari daerah pinggiran sungai yang tak terawat. Gatot Suprihadi dengan Wasnadipta-nya menjadi salah satu pihak yang turut andil di balik hadirnya kesuksesan besar Karangwaru Riverside ini. Ruang terbuka hijau di tengah permukiman warga ini seolah menjadi satu obat atas citra kota Yogyakarta yang kian memburuk karena hilangnya ruang publik di kota ini.

10 ARÇAKA #7 | DECEMBER 2016


Di Balik Layar Transformasi Karangwaru Riverside Ada ruang baru di kota Yogyakarta, yaitu Karangwaru Riverside. Sebenarnya tempat ini tidak sepenuhnya baru, namun dibaharukan kembali. Kawasan ini dulunya merupakan negative space pada area sepanjang kali Buntung, Karangwaru, kota Yogyakarta. Sebelum ditata seperti sekarang, area sepanjang kali Buntung ini kumuh dan kian diabaikan oleh warga. Karangwaru Riverside “Sae Saestu” yang kini dapat dinikmati oleh banyak orang sebagai salah satu ruang terbuka hijau di tengah permukiman warga di Karangwaru semakin menjadi populer di kalangan luas karena keberhasilannya sebagai Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri yang diselenggarakan oleh pemerintah. Bahkan Karangwaru Riverside sempat didatangi oleh 4 menteri: Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan – Puan Maharani, Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat – Basuki Hadimuljono, Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi – Eko Putro Sandjojo dan Menteri Kesehatan – Nila Moeloek sebagai apresiasi atas berhasilnya pembangunan infrastruktur kawasan ini. Pembangunan Karangwaru Riverside ini tentunya menjadi hal yang luar biasa. Ruang terbuka di pinggir sungai yang kini sudah tertata rapi, indah, bersih, sehat dan hidup ini tidak lepas dari kerja sama yang terjadi antarmasyarakat sekitar. Namun ada satu tokoh yang patut untuk diapresiasi atas keberhasilannya menata ruang terbuka ini, yaitu Gatot Suprihadi dan Wasnadiptanya.

Suasana pada salah satu sudut di Karangwaru Riverside

Wasnadipta dari Bangku Kuliah Pak Gatot Suprihadi mengenyam pendidikan arsitektur di Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Pada semester satu, Pak Gatot memenangkan sayembara sculpture yang diadakan oleh Fakultas Teknik UGM. Pencapaian awal ini membagun kepercayaan diri bagi beliau untuk meraih pencapaian yang lebih lagi sehingga lebih bersemangat dalam kuliah arsitektur. Sejak semester satu tersebut, Pak Gatot sudah mencetuskan kata Wasnadipta: bahwa setelah lulus nanti beliau harus mendirikan sebuah biro arsitektur bernama Wasnadipta. Mimpi itu pun menjadi kenyataan. Pada 2003, enam tahun setelah menamatkan pendidikan arsitekturnya, Gatot Suprihadi mendirikan biro arsitekturnya sendiri yang diberi nama CV Buana Adi Cipta yang biasa disebut Wasnadipta. Wasnadipta sendiri adalah gabungan dari beberapa kata: wastu, buana, adi dan cipta. Wastu adalah arsitektur, sementara buana adalah semesta. Adi merupakan nama beliau, yang juga berarti terbaik. Cipta adalah karya. Dari gabungan artian kata-kata itu, Wasnadipta membangun visi dirinya untuk membentuk lingkungan binaan yang terbaik bagi semesta melalui arsitektur. “Wasnadipta berdiri dengan satu dasar, yaitu kita ingin menjadi biro arsitek yang beda,” demikian tutur Pak Gatot. Beda diartikan sebagai visinya yang tinggi, di mana menekankan bahwa segala proyek yang dikerjakan Wasnadipta benar-benar bersih dan berada pada jalan yang benar untuk mewujudkan nilai arsitektur yang mulia bagi semesta. Karangwaru, Sebuah Ajakan untuk Berpartisipasi Proyek Karangwaru Riverside bisa dibilang sebagai proyek Corporate Social Responsibility (CSR) paling besar yang dikerjakan oleh Wasnadipta yang membuahkan hasil tak terduga secara luar biasa. Pembangunan negative space berbasis sinergi dan kolaborasi dengan masyarakat sekitar ternyata membawa dampak positif yang begitu besar secara langsung bagi lingkungan Karangwaru maupun dampak secara tidak langsung melalui berita atau ulasan yang menginspirasi masyarakat luas untuk lebih memperhatikan lingkungannya. Pak Gatot sebagai founding father Wasnadipta tergerak hatinya untuk menerima ajakan dari guru sekolah dasarnya dulu untuk memberikan sesuatu kepada Karangwaru, desanya, melalui partisipasinya dalam program PNPM Mandiri dengan media arsitektur yang sesuai dengan bidangnya. Usaha untuk menjalankan proyek ini tidaklah mudah karena pada awalnya masyarakat belum mau bergerak untuk bersama membangun Karangwaru

ARÇAKA #7 | DECEMBER 2016 11


/PERSPECTIVE/SENIOR ARCHITECT Riverside. Namun, Pak Gatot tidak patah semangat untuk mendekati masyarakat. Beliau melakukan dialog dengan masyarakat dengan mengundang berbagai ahli untuk menjelaskan kepada masyarakat betapa pentingnya menjaga lingkungan sungai dengan baik. Hasilnya berbuah manis. Masyarakat akhirnya mulai bergerak dan bergotong royong untuk mewujudkan Karangwaru Riverside yang indah seperti saat ini. Jembatan “Bahtera Silaturahmi”, mini amphitheater juga sebagai Titik Nol Karangwaru Riverside, pengembangan Om Simas (omah sinau masyarakat) wujud nyata sinergi dengan masyarakat. Isu maintenance dan pemeliharaan di mana-mana menjadi permasalahan klasik terhadap pembangunan

infrasturktur yang dilakukan oleh pemerintah. Di Karangwaru Riverside inilah Pak Gatot menginisiasi berdirinya Komunitas Karangwaru Riverside, yang sekaligus sebagai koordinatornya. Organisasi ini didirikan sebagai jawaban masalah perawatan yang diselesaikan dengan berbasis komunitas. Banyak event, kegiatan yang digelar dan sudah dilaksakan yang semua bertujuan untuk perawatan dan pengelolaan kawasan. Sudah setahun lebih dari 2015 hingga saat ini komunitas Karangwaru Riverside menjadi tulang punggung motor penggerak perawatan dan pengelolaan kawasan. Komunitas ini dari waktu ke waktu semakin besar, dan semakin banyak relawan yang terlibat di dalamnya.

Jembatan “Bahtera Silaturahmi”, wujud nyata sinergi dengan masyarakat

12 ARÇAKA #7 | DECEMBER 2016


Magang: Sebuah Bekal Berharga Gatot sempat mengalami masa magang di beberapa biro arsitektur dan konsultan di Yogyakarta. Menurut beliau, magang menjadi satu pengalaman yang penting. Magang bukan melulu belajar soal hal-hal positif saja, tapi juga harus banyak belajar mengenai hal-hal negatif pula dalam pengalaman tersebut. Dari pengalaman magang, ada tiga hal yang benarbenar dipelajari oleh Pak Gatot yang sekaligus menjadi bekal bagi beliau untuk mendirikan biro arsiteknya, yaitu: bagaimana cara mendapat pekerjaan, menyelesaikan pekerjaan, dan membagi waktu pekerjaan. Sementara sebaliknya, dari pengalamannya selama magang beliau melihat praktik arsitektur yang tidak baik, seperti mendapatkan proyek dengan cara yang tidak semestinya. Hal ini menjadi sentilan bagi beliau untuk tidak melakukan hal yang sama di Wasnadipta. Pak Gatot tidak ingin Wasnadipta hanya menjadi “pelacur arsitektur” yang tidak punya konsep; hanya menjadi pemuas nafsu kaum hedonis dan penguasa yang menciptakan sesuatu tidak untuk kepentingan besar yang mulia. Beliau bahkan berani mengakui bahwa sejak didirikan hingga saat ini Wasnadipta mengusahakan proyek dengan cara yang semestinya. Hingga saat ini, proyek terus berdatangan dengan sendirinya melalui Wasnadipta karena klien merasa percaya dan puas atas pelayanan bersih dan baik yang diberikan oleh Wasnadipta. Dari magang pula beliau benar-benar mempelajari bagaimana untuk memahami dan memperlakukan orang lain sesuai dengan kapasitasnya. Menurut beliau meningkatkan kapasitas itu adalah keharusan, tapi harus dipahami juga bahwa kapasitas manusia itu terbatas. Beliau juga meyakini tiga prinsip: harus yakin bahwa sudah bekerja di tempat yang benar, bekerja pada saat yang tepat dan melakukan pekerjaan dengan cara yang benar. Jika sudah melakukan semuanya itu, segala hal yang dilakukan diyakini akan membawa dampak positif tidak hanya bagi manusia, melainkan juga semesta. Pada tahun 2016 Pak Gatot dipercaya memimpin salah satu Bidang di organisasi profesi Ikatan Arsitektur Indonesia (IAI) Propinsi DIY, sebagai Ketua Bidang Pengabdian Masyarakat IAI DIY (BPM-IAI DIY), sebuah wadah untuk mengajak seluruh arsitek di naungan

Arch Timeline

IAI berkontribusi nyata khususnya untuk masyakarat luas dalam bentuk pengabdian masyarakat (Corporate Social Response/CSR, dan lain sebagainya). IAI sebagai organisasi profesi yang menjunjung tinggi moral hazard seluruh anggotanya. Arsitektur dan Yogyakarta Menurut Pak Gatot, kini Yogyakarta tidak lagi mencerminkan citranya sebagai kota yang baik dan ramah dalam arsitektur dan penataan kota. Kita dapat mengetahui dengan mudah bahwa pada masa ini Yogyakarta telah kehilangan jati dirinya sebagai kota budaya sekaligus kota yang humanis dengan kehilangan beberapa aset budaya dan juga ruang terbuka komunal untuk bersosialisasi dengan isu “Jogja ora didol” yang menjadi respon masyarakat kota untuk melawan perampasan aset-aset tersebut. “Kita harus memiliki sikap yang baik karena arsitek itulah yang membentuk citra kota.” Sehingga Yogyakarta tidak akan menjadi kota yang semrawut seperti ini jika asalnya tidak dari sana: tidak ada ruang publik yang dirampas habis-habisan untuk kepentingan ekonomi oleh penguasa.

“Jangan menjadikan karya arsitektur/ proyek desain arsitektural sebagai komoditas. Jadikanlah proyek arsitektural, sekecil apapun itu, sebagai sarana untuk membentuk citra kota yang baik.” Bermula dari Karangwaru Riverside, ruang-ruang publik di Yogyakarta mulai bermunculan, merambah ke Malioboro dengan pedestrian yang mulai ditata dan menjadi sarana publik untuk dapat bersosialisasi, mengembalikan nilai humanis pada Yogyakarta yang beberapa waktu ini telah hilang. Slogan monggo pinarak secara tidak langsung mengatakan bahwa kota ini ramah dan welcome terhadap masyarakatnya maupun terhadap pendatang. Menurut Pak Gatot, latar belakang tersebut harus direspon dengan pembangunan Yogyakarta yang harus terus dikembangkan dengan tidak meninggalkan identitasnya.

GATOT SUPRIHADI 1997 Graduated from Universitas Gadjah Mada Yogyakarta 1998 - 2000 Sebagai Kepala Divisi Bidang Perencanaan di CV Dhipa Multitama 1998 - 2003 Staf Teknik Project Implementation Unit (PIU) - OECF/JBIC, UGM Bulaksumur Yogyakarta 2003 - now Mendirikan Biro Arsitek CV. Wasnadipta (Wastu Buana Adi Ciptana), Owner, Director, dan Principal Architect

ARÇAKA #7 | DECEMBER 2016 13


/PERSPECTIVE/JUNIOR / YOUNGARCHITECT ARCHITECT

ARDHYASA FABRIAN GUSMA

DI BALIK LAYAR WAJAH BARU MALIOBORO

Text by Chrispina Yovita Putri Photos by Diah Hanityasari and Gonosantoso and courtesy of https://ardhyasa.blogspot.co.id/

Ardhyasa Fabrian Gusma barangkali menjadi nama yang banyak diperbincangkan belakangan ini berkat kemenangannya dan tim pada sayembara kawasan Malioboro pada 2014 lalu, yang pembangunannya sudah direalisasikan dan selesai pada tahap awal sehingga sudah mulai dapat dinikmati oleh publik. Barunya wajah pedestrian Malioboro menjadi daya tarik tersediri bagi masyarakat Yogyakarta dan juga bagi kalangan luas. Perubahan positif ini menarik animo masyarakat menyambut ruang publik baru ini, yang kian memperindah citra Malioboro yang lebih ramah terhadap pedestrian. Penataan pedestrian Malioboro ini mendapat respon baik dari berbagai kalangan.

14 ARÇAKA #7 | DECEMBER 2016


Transformasi Sejak Bangku Kuliah Gusma, begitu dia akrab disapa, merasa iri atas kemajuan zaman sekarang karena pada masanya mengenyam pendidikan, kemajuan teknologi tidak sepesat sekarang. Gusma mendapat proyek pertamanya pada semester keduanya saat kuliah. Berawal dari keberaniannya, Gusma sudah berani membangun proyek rumah tinggal tetangganya. Meski kewalahan karena masih amatir, Gusma menjadikan pengalaman ini untuk menghadapi klien kedepannya. Pada 2009 Gusma mengetahui bahwa ada temannya yang memenangkan sayembara, padahal hanya melakukan render secara asal-asalan. Sejak saat itu Gusma merasa terpacu untuk dapat mengikuti lomba desain maupun sayembara. Gusma mulai aktif mengikuti kompetisi mulai semester akhir. Ternyata mencari partner dalam kompetisi merupakan masalah awal yang harus diselesaikan terlebih dahulu. Ia menyadari bahwa partner kerja akan berlaku selama pengerjaan kompetisi, sehingga diusahakan untuk mencari yang secocok mungkin. Kolaborasi dalam Tim Dalam mengikuti lomba desain maupun sayembara Gusma lebih senang bekerja dalam tim bersama dengan partner dari lintas ilmu yang masih berkaitan dengan arsitektur daripada dengan tim yang beranggotakan

sesama partner arsitektur. Mengapa demikian, karena jika bekerja dengan sesama bidang arsitektur bidang yang dikuasai akan kurang lebih sama sehingga akan terjadi overlapping. Sementara jika bekerja dengan partner lintas ilmu, anggota tim dapat saling berkolaborasi sesuai dengan kebutuhan dan porsinya masing-masing. Sebagai contoh, saat mengikuti sayembara penataan kawasan Malioboro, Gusma berkolaborasi dengan empat orang dengan spesialis masing-masing: Irwan Yudha Hadinata spesialis tipologi, program, diagram; Widi Cahya Yudhanta spesialisasi sirkulasi, penggunaan software; Akbar Setiawan spesialis detail arsitektural DED; Muhammad Iqbal spesialis landscape, yang sangat berguna namun banyak yang sering lupa karena landscape kalau tidak ada ahlinya juga tidak akan bagus; sedangkan Gusma sendiri mengambil porsi pada bidang ruang publik. Kolaborasi dalam tim merupakan hal yang mendukung kualitas desain. Gusma sendiri dapat membuktikan bahwa dengan tim yang baik akan memunculkan hasil desain yang baik pula. Bahkan sebagai efek sampingnya Gusma dan tim hampir selalu menjuarai kompetisi yang diikuti. “Teras Budaya� Malioboro menjadi salah satu buah dari kolaborasi tim yang baik. Melalui proyek yang sedang dalam tahap realisasi ini Gusma dan tim mendapat kepercayaan dari pemerintah kota untuk dapat mendesain berbagai fasilitas publik lainnya.

ARÇAKA #7 | DECEMBER 2016 15


/PERSPECTIVE/JUNIOR ARCHITECT

Suasana pedestrian Malioboro pada malam hari

Design by Research Dalam menyusun rancangan desain, konsep selalu dibuat dengan istilah paling besar dan paling mudah diterima oleh orang, lalu mulai di-breakdown. Turunanturunan ini yang memudahkan orang untuk memahami rancangan desain yang dibuat. Terdapat dua metode perancangan yang biasa digunakan oleh kebanyakan orang, yaitu design by idea dan design by research. Gusma lebih menerapkan

16 ARÇAKA #7 | DECEMBER 2016

metode design by research, sehingga tidak mendewakan ego si perancang untuk memaksakan keinginannya pada desain. Dengan menerapkan metode design by research yang memiliki basis teori dasar dan Gusma yakin bahwa desain yang dirancang dapat memenuhi kebutuhan bersama karena data ternyata menjadi aspek yang penting sekali.


Sayembara Fasilitas Publik sebagai Usulan bagi Pemerintah Yogyakarta kekurangan fasilitas publik menjadi sebuah fakta yang tak terelakkan lagi. Padahal fasilitas publik merupakan elemen penting yang harus dimiliki setiap kota sebagai fasilitas komunal untuk sosialisasi masyarakat. Sekalipun ada fasilitas publik, fasilitas tersebut biasanya “seadanya” saja. Yogyakarta masih ada kelemahan untuk pengerjaan proyek arsitektural. Detailed Engineering Drawing (DED) harus include design. Konsultan tanpa tim DED tidak akan bisa jalan. Begitu juga jika sebaliknya. Karena lelang DED sudah sekalian dengan gambar kerja. Ini adalah salah satu alasan mengapa arsitektur di Jogja kurang maju. Salah satu yang perlu disadari oleh pemerintah kota adalah mengenai pengadaan sayembara fasilitas publik bagi masyarakat. Sayembara memang membutukan waktu yang lama, tapi hasilnya akan lebih bagus dari yang lain. Selain itu, sayembara dapat meningkatkan animo masyarakat untuk dapat turut serta merencanakan fasilitas publik yang relevan bagi kebutuhan masyarakat saat ini. “Teras Budaya” Malioboro menjadi salah satu contoh realisasi sayembara yang baik. Dari contoh ini terbukti bahwa ruang publik yang disayembarakan dapat lebih relevan bagi kebutuhan masyarakat.

Arch Timeline

ARDHYASA FABRIAN GUSMA 2012 Graduated from Universitas Gadjah Mada Yogyakarta 2016 Graduated from Universitas Gadjah Mada Yogyakarta (Master Degree of Urban Design) 2012 Architect at W Studio 2012 - 2013 Architect at Studio JUTAP 2012 - now Architect and Urban Designer at A+A Studio

ARÇAKA #7 | DECEMBER 2016 17


/DESIGN/ LOCAL MASJID BAITURRAHIM

MELENTING MENITIS

18 ARÇAKA #7 | DECEMBER 2016


M

asyarakat Yogyakarta dikenal guyub (ramah) sehingga memiliki ketahanan saat menghadapi situasi bencana. Cukup jelas terlihat rasa solidaritas atau kegotongroyongan masyarakat kala menghadapi bencana erupsi Gunung Merapi pada tahun 2010. Makna dari slogan melenting dan menitis sangat jelas dilaksanakan setelah bencana berlalu. Masyarakat mampu “melenting/pulih� secara cepat untuk menjalankan aktivitasnya kembali. Makna menitis/melahirkan kembali bukan sekedar membangun kembali kehidupan pasca bencana namun juga membangun kembali desanya yang porak poranda dengan menggunakan sisa-sisa rekam masa lampau dan mencoba mengkinikan sesuai dengan budaya dan teknologi yang ada. Hikmah Sebuah Bencana Yogyakarta memang Istimewa. Bencana erupsi Gunung Merapi 2010 yang menyebarkan awan panas yang biasa disebut Wedhus Gembel oleh masyarakat lokal mendapat perhatian yang luar biasa dari dalam dan luar negeri. Kepedulian itu tidak hanya ditunjukkan dalam bentuk sumbangan berupa uang, barang, dan bantuan medis berupa obat-obatan, namun juga bantuan secara moril untuk mendukung warga setempat membangun kembali infrastruktur desanya. Salah satu di antara desa yang terkena dampak bencana adalah Dusun Kopeng, Kepuharjo, Cangkringan Kabupaten Sleman yang terletak di sisi selatan lereng Gunung Merapi. Di dusun yang hanya berjarak sekitar tujuh kilometer dari puncak Merapi ini, terdapat sebuah Masjid yang dibangun berkat kepedulian yayasan amal Baitul Maal Muamalat dan kolaborasi antara Ridwan Kamil dari firma arsitektur Urbane Indonesia dengan masyarakat setempat untuk membangun kembali desanya secara bertahap. Masjid yang merupakan salah satu proyek Corporate Social Responsibilty (CSR) ini dibangun dari abu letusan gunung Merapi yang menyelimuti seluruh desa, kemudian abu letusan dikonversi menjadi bahan material pem bentuk batako yang diolah dengan mesin pres

Text by Rifandi Febrianto Photos by Pambudi Yoga Permana and Courtesy of Urbane Indonesia

cetak. Warga dilatih untuk bisa membuat batako dengan mesin pres cetak. Selain sebagai bahan material untuk membangun kembali bangunan-bangunan desa pasca bencana, hasil batako juga dijual untuk menghidupi perekonomian masyarakat desa. Budaya Gotong royong Desain awal pembangunan masjid ini adalah untuk menciptakan masjid modern yang tidak memiliki kubah layaknya kebanyakan masjid konvensional di Indonesia. Baitul maal Muamalat selaku klien Urbane Indonesia sempat menolak konsep tersebut namun menyukai ide menggunakan material batako hasil konversi abu vulkanik. Pihak Urbane kemudian mengajukan desain alternatif berupa penggunaan atap susun tradisional jawa. Konsep bangunan merupakan permainan bayangan dengan menciptakan banyak bukaan kecil di dinding dan atap masjid. Bukaan masjid dibuat menggunakan susunan batako yang membentuk pola kaligrafi lafadz Allah. Bukaan itu memungkinkan banyak cahaya dan udara segar yang bebas masuk ke dalam masjid. Setelah desain dipresentasikan ke Baitul Maal Muamalat, selanjutnya pada akhir bulan Agustus 2011 proyek desain masjid ini dipresentasikan di depan warga Dusun Kopeng dan direspon dengan sangat positif karena menyukai penggabungan konsep tradisional dan modern. Masjid setinggi empat lantai dengan luas 250 meter persegi ini selesai dibangun pada bulan Oktober 2011 dan kini selain digunakan sebagai sarana beribadah juga dimanfaatkan sebagai pusat pendidikan Islam anakanak. Lokasi masjid yang berada di kaki gunung membuat temperatur rata-rata ruangan di dalamnya berkisar antara 16-17 derajat celcius. Maka untuk menjaga temperatur agar tidak bertambah dingin, bukaan-bukaan masjid ditutupi menggunakan kaca. Sebagai bentuk antisipasi karena lokasi yang berada di daerah rawan bencana struktur bangunan diperkuat dengan menggunakan kerangka beton.

ARÇAKA #7 | DECEMBER 2016 19


/DESIGN/ LOCAL

Fasad Batako ekspos disusun secara berpola sekaligus berfungsi sebagai ventilasi alami

Penggunaan pencahayaan alami lebih ditekankan pada ruang masjid

View dari jalan desa, bentuk geometri sederhana namun tetap menarik perhatian

Kontemplasi Ruang Pada teras depan masjid memungkinkan aktivitas publik untuk bersosialisasi. Ruang atas merupakan ruang Mezzanine multifungsi sebagai ruang Taman Pendidikan Al-Quran (TPA) dan bisa menjadi ruang sholat jika kapasitas pada lantai dasar tidak mencukupi. Ikatan-ikatan emosional tercipta antara desain masjid dengan Gunung Merapi, mengingat bahan material masjid didominasi oleh batako yang merupakan hasil

20 ARÇAKA #7 | DECEMBER 2016

Permainan bidang-bidang vertikal mendominasi entrance masjid

konversi dari abu vulkanik yang dimuntahkan. Pengguna diajak mengingat kembali bagaimana musibah erupsi yang dahsyat mampu menghasilkan suatu pemikiran desain yang tanggap terhadap situasi pasca-bencana di saat itu. Tampak jelas pesan yang ingin disampaikan sang arsitek, Ridwan Kamil untuk terus berimajinasi, bagaimana suatu musibah tak hanya dipandang sebagai suatu ketakutan dan rasa trauma pasca bencana. Namun hal tersebut dapat berubah menjadi suatu berkah yang


dapat bermanfaat bagi warga di sekitarnya. Tak hanya itu saja, suatu ikatan antarwarga terbangun kembali melalui gerakan gotong royong serta partisipasi aktif warga desa untuk membangun masjid. Masyarakat yang cenderung individualis akibat modernisasi, kini tercipta rasa saling memiliki untuk membangun kembali desa secara bergotong royong.

ARÇAKA #7 | DECEMBER 2016 21


/DESIGN/ LOCAL

“Karangwaru Riverside Sae Saestu� begitulah warga Kelurahan di Karangwaru, Kecamatan Tegalrejo, Kota Yogyakarta menyebutnya. Penataan Kali Buntung yang dulunya digunakan warga untuk BAB, buang sampah dan limbah kini menjadi salah satu kawasan bersih dan tertata dengan Ruang terbuka Hijau (RTH) yang dilengkapi dengan fasilitas ruang publik. Kawasan publik ini merupakan bagian Program Penataan Lingkungan Permukiman Berbasis Komunitas. Masyarakat sekitar dan pemerintah bekerja sama guna mewujudkan Karangwaru Riverside yang bebas kumuh. Ruang terbuka hijau ini telah menunjukan beberapa perbaikan sarana publik seperti drainase, jalan untuk pedestrian, tanaman, penyediaan bak sampah, fasilitas berupa ruang publik untuk srawung (pertemuan), serta ruang sinau (belajar) masyarakat.

22 ARÇAKA #7 | DECEMBER 2016

Karangwaru Riverside juga merupakan bagian dari program pemerintah KOTAKU (Kota Tanpa Kumuh). Sasaran program ini adalah tercapainya pengentasan permukiman kumuh perkotaan menjadi 0 Ha, serta meningkatkan akses terhadap infrastruktur dan pelayanan dasar di kawasan kumuh perkotaan untuk mendukung terwujudnya permukiman perkotaan yang layak huni, produktif dan berkelanjutan. Pembangunan mulai dicanangkan pada tahun 2009 yang pada awalnya dilakukan sosialisasi kepada warga sekitar. Tidaklah mudah di dalam menggerakkan pemikiran warga setempat agar mau kompak di dalam mencanangkan Program KOTAKU di Karangwaru ini, hingga dibutuhkan waktu 1 tahun dalam perencanaan desain penataan lingkungan maupun sosialisasi ke masyarakat. Setelah pandangan dan kesadaran warga mulai terbangun maka dilakukan penataan fisik. Awal pembangunan dimulai dengan dibangunnya jalan di sepanjang Sungai Buntung tersebut. Kesadaran warga yang mulai terbangun terlihat dari kerelaan warga akan tanahnya untuk digunakan sebagai akses jalan. Kemudian hingga akhirnya mulai terbentuklah Karangwaru Riverside yang telah berhasil direvitalisasi mencapai segmen 4 dari 6 segmen yang direncanakan. Walaupun sudah dapat dikatakan berjalan dengan lancar, terdapat beberapa pelaksanaan yang tidak sesuai dengan rencana semula. Salah satunya jalan inspeksi, jalan inpeksi tidak bisa dibuat sesuai dengan lebar yang direncanakan karena adanya beberapa warga yang


KARANGWARU RIVERSIDE

PEMIKIRAN DAN TINDAKAN YANG MELAHIRKAN HARAPAN BARU

Text by Dhanni Novianto Photos by Dhanni Novianto, Diah Hanityasari

kurang setuju dengan lebar tanah mereka yang harus diberikan. Namun pada akhirnya mereka tetap mau mengorbankan sedikit lebar tanahnya, karena mindset warga yang didorong dan diubah. Jalan inpeksi tetap dibangun namun dengan lebar jalan yang lebih kecil dari rencana. Berkunjung ke Karangwaru Riverside Saat melakukan kunjungan ke Karangwaru Riverside kesan pertama yang dirasakan adalah nyaman, bersih dan kagum. Ya, kagum karena baru menyadari dan mengetahui keberadaan dari Karangwaru Riverside ini, yang mana sangatlah jauh dari pemikiran. Ternyata Karangwaru Riverside ini sangatlah indah dan awalnya tampak seperti tempat rekreasi. Realisasi dari program KOTAKU itu sudah tampak dari segi fisiknya. Peran masyarakat akan penataan lingkungan Kelurahan Karangwaru ini telah nampak nyata dengan adanya pembangunan jalan inpeksi di kedua sisi Kali Buntung, perbaikan tanggul sungai, pagar pembatas di sepanjang sungai dan penataan pemukiman warga yang tadinya sangat berdekatan dengan pinggiran sungai. Aktivitas warga sekitar, mulai dari memancing, gotong royong dan anak-anak yang bermain menambah padu suasana yang diciptakan di Karangwaru Riverside ini. Berdasarkan dari penuturan Bapak Bandono yang merupakan salah satu tokoh masyarakat di daerah Karangwaru, pada dasarnya pembangunan Karangwaru Riverside lebih difokuskan dalam membangun mindset

warga masyarakatnya, yang dimulai dari mengubah pola pikir dan kebiasaan buruk yang sering dilakukan warga, seperti membuang sampah sembarangan, buang air besar sembarangan dan keadaan sosial yang kurang baik. Salah satu upaya yang dilakukan yaitu melibatkan peran warga di dalam pembangunan Karangwaru Riverside ini sehingga semakin lama warga sadar akan pentingnya menjaga kebersihan lingkungan karena memang mempertahankannya membutuhkan upaya yang sungguh-sungguh juga mampu berpikir dampak dengan jangka yang panjang. Ditinjau dari keberhasilan pemberantasan dan pengolahan sampah, warga Karangwaru sudah tidak lagi membuang sampah di sungai demi menjaga kebersihan Kali Buntung. Namun sayangnya masih terdapat sampah yang berasal dari hulu sungai. Kurangnya koordinasi dengan wilayah lain menjadi tantangan tersediri agar gerakan Kota Tanpa Kumuh ini dapat dilaksanakan tidak hanya di wilayah Karangwaru namun juga di sepanjang kawasan pinggir Kali Buntung. Bahkan menurut penuturan warga sekitar selalu ada orang yang lewat dengan kendaraan bermotor kemudian tanpa sepengetahuan warga ia membuang sampah di sungai. Memang tidaklah mudah mengubah mindset warga, apalagi di zaman yang serba instan ini, warga hanya asal membuang sampah sembarangan tanpa memikirkan resiko yang ditimbulkan. Walaupun sulit, namun masih ada harapan untuk mengubah mindset warga dalam skala yang besar, salah satunya dimulai dari

ARÇAKA #7 | DECEMBER 2016 23


/DESIGN/ LOCAL kawasan yang membutuhkan pembenahan seperti di Karangwaru ini tadinya. Karena pengembangan kawasan Karangwaru Riverside ini berasal dari usaha dan keinginan warga kelurahan Karangwaru sendiri, maka terbentuklah rencana yang berkelanjutan. Artinya segalanya diatur oleh warga, warga berkewenangan mengatur bagaimana selanjutnya arah pembangunan Karangwaru Riverside ini yang akan selalu berkembang, manajemen pun diserahkan kepada warga untuk dapat menyelenggarakan berbagai event di kawasan ini. Berkelanjutan juga artinya tantangan bagi warga untuk mampu mengintegrasikan isu-isu lingkungan, sosial, dan budaya ke dalam perkembangan Karangwaru Riverside selanjutnya. Karakteristik Karangwaru terkait dengan keberhasilan mengubah mindset warganya yang patut dicontoh untuk

24 ARÇAKA #7 | DECEMBER 2016

pengembangan masyarakat dari kawasan lain. Swadaya dan keikhlasan warga serta adanya saling koordinasi antara warga, komunitas, badan pengembangan masyarakat dan pengembangan kawasan di Karangwaru patut diacungi jempol. Hal ini membawa harapan baru akan pemberantasan daerah kumuh yang menjadi persoalan utama permukiman di Indonesia. Komunitas Karangwaru Riverside Dalam meningkatkan kepedulian terhadap lingkungan terutama di sekitar Kali Buntung, masyarakat membuat komunitas bernama Komunitas Karangwaru Riverside. Keanggotaan dari komunitas ini bersifat terbuka dari semua kalangan. Hal yang diutamakan adalah semangat untuk mau berubah dan menjaga lingkungan. Melalui aktivitas dan kegiatannya yang


berdasarkan pada local wisdom, dengan menggali dan meningkatkan potensi masyarakat sekitar, diharapkan nantinya masyarakat dapat mandiri dalam mengelola, memelihara dan mengembangkan lingkungan binaan terdekat. Tujuan yang hendak dicapai dari komunitas ini adalah menuju perubahan masyarakat yang lebih baik dengan menghasilkan lingkungan yang nyaman, bersih dan layak huni. Komunitas Karangwaru Riverside berfokus pada 3 bagian. Pertama Program Pemeliharaan dan Operasional, di mana program ini dilakukan atas dasar dari, oleh, dan untuk masyarakat secara mandiri. Kedua Channeling Program, maksudnya komunitas ini menjembatani antara masyarakat di Kelurahan Karangwaru Riverside dengan pemerintah atau pihak lain yang terlibat dalam manajemen pemeliharaan Karangwaru Riverside. Dan

yang ketiga adalah Program Berbasis Komunitas, yang mengutamakan semangat gotong royong. Gapura Bahtera Silaturahmi Terdapat gapura yang terbuat dari bahan sustainable yaitu bambu. Gapura ini menjadi penanda kawasan (landmark) yang letaknya tepat di atas jembatan. Gapura ini merupakan pengingat akan pentingnya membangun silaturahmi dalam kehidupan sosial kemasyarakatan, yang mengingatkan bahwa Indonesia dapat menjadi lebih baik dan dimulai dari hal kecil. Perubahan itu dapat diraih ketika masyarakat sadar dan mau bergerak dengan tindakan yang nyata, dimulai dari usaha merencanakan, membangun dan memelihara lingkungan terdekat yang mereka tempati. Perubahan mindset perlu ditanamkan secara dini dan perubahan itu tidak datang dengan sendirinya, melainkan mengenai bagaimana usaha kita untuk mau bangkit, untuk mau berubah, ke arah yang lebih baik. Pengolahan Limbah Air di Karangwaru Riverside Karena warga pinggiran sungai kebanyakan tidak memiliki akses pembuangan limbah air seperti jamban atau WC dan banyak juga yang belum memiliki septictank maka munculah ide pembangunan septictank komunal yang saat ini baru dalam tahap membangun, meskipun juga ada yang telah difungsikan. Septictank komunal dipasang di kanan dan kiri sungai, agar memudahkan limbah rumah tangga masuk di septictank komunal. Septictank yang digunakan adalah septictank pabrikan, biofil BF 08. Di segment satu di sisi timur dipasang 3 biofil, sisi barat 3 biofil. Di segment dua sisi timur 1 biofil, sebelah barat 2 biofil. Di segmen 3, meskipun belum dibangun infrastrukturnya, sudah terpasang Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) Komunal untuk 100 rumah. Untuk melakukan perawatannya IPAL ini dibentuk KSM atau Kelompok Swadaya Masyarakat. Di dalam pengairan tanaman di sepanjang Karangwaru Riverside, atas inisiatif warga sendiri telah disediakan pompa yang dapat mengambil air kemudian digunakan untuk pengairan tanaman. Pompa ini diletakkan pada beberapa sisi yang berdekatan dengan jembatan. Pengelolaan Limbah Sampah Warga Karangwaru tidak lagi membuang sampah ke sungai dan secara rutin mengadakan kerja bakti yang dilaksanakan tiap minggunya. Kerja bakti ini adalah upaya untuk meneruskan dan mempertahankan kebersihan lingkungan. Tak jarang terlihat anak-anak ikut berpartisipasi membersihkan dan menata lingkungan.

ARÇAKA #7 | DECEMBER 2016 25


/DESIGN/ LOCAL Warga di pinggiran sungai memanfaatkan pasir yang dibawa air sungai untuk dijadikan tanggul dan juga material pembangunan Karangwaru Riverside. Telah tersedianya bak sampah di sepanjang jalan pedestrian Karangwaru Riverside merupakan gambaran akan kesadaran pentingnya mempertahankan kebersihan lingkungan. Tidak terlihat limbah yang berceceran di jalan. Warga juga mengolah limbah organik pada bak-bak komposter yang nantinya akan dijadikan pupuk. Pak Puji, salah satu warga Karangwaru mengatakan bahwa jika sampahnya anorganik seperti botol minuman maka tindakan yang dilakukan adalah mengumpulkannya kemudian menjualnya, selain itu juga digunakan untuk kerajinan dan pot tanaman. Harapan Warga ke Depannya Berdasarkan wawancara yang dilakukan dengan warga sekitar terdapat harapan yang timbul agar Karangwaru Riverside ini menjadi semakin maju. Salah satunya yaitu Pak Sam. Pak Sam bercerita bahwa ia pribadi telah merasakan kepuasan dengan adanya pembangunan Karangwaru Riverside ini, ia sangat senang dan akan terus mendukung usaha ini karena pinggiran sungai yang tadinya sangat kumuh dipenuhi sampah kini menjadi sangat bersih dan layak huni. Pak Sam menuturkan walaupun ia telah puas akan kondisi Karangwaru Riverside yang sekarang, ia berharap akan lebih baik bahwa di Sungai Buntung ini dapat dimanfaatkan untuk sarana rekreasi misal dengan canoeing sehingga dapat menambah pendapatan daerah sekitar. Selanjutnya adalah Pak Puji, beliau menuturkan bahwa sebenarnya ia berharap lebih dengan pembangunan Karangwaru Riverside ini, ia sedikit menyayangkan lebar jalan inspeksi yang cukup kecil juga penataan tanaman yang dirasa kurang. Ia berharap di sepanjang jalan inspeksi ini terdapat saluran yang dapat menyalurkan air hujan menuju sungai, karena menurutnya pada kenyataannya saat hujan terjadi genangan air di beberapa sisi jalan inspeksi. Ia juga berharap agar lebih lagi di dalam mengolah taman sehingga penampilannya akan lebih menarik dan asri. Faktor Keberhasilan Berdasarkan wawancara yang dilakukan dengan warga, keberhasilan program Karangwaru Riverside ini dipengaruhi oleh faktor internal, eksternal dan peran tokoh masyarakat. Faktor internal berasal dari keinginan masyarakat agar daerahnya menjadi lebih baik. Mayoritas masyarakat sekitar mau diajak kerja sama dalam pelaksanaan program dengan dana yang minim tapi menghasilkan suatu yang optimal. Program Karangwaru Riverside ini dapat dikatakan lancar karena masyarakat

26 ARÇAKA #7 | DECEMBER 2016

yang mau menyumbangkan waktu, pemikiran dan tenaganya. Adanya komunitas dan tokoh yang paham akan perencanaan dan pembangunan membuat biaya yang dikeluarkan dapat ditekan dan digunakan secara efektif. Faktor ekstenal yang juga memberikan pengaruh besar terhadap kelancaran program ini adalah adanya dukungan dari pemerintah. Hal penting yang menjadi dasar suksesnya pelaksanaan program adalah adanya dana yang diberikan dari World Bank lewat Kementerian Pekerjaan Umum. Dengan adanya dana tersebut, pembangunan riverside dapat terus berjalan dan mendapat dukungan dari masyarakat. Sedangkan yang terakhir adalah peran tokoh masyarakat. Tokoh masyarakat merupakan ujung tombak yang memiliki kekuatan untuk menggerakkan masyarakat dalam pelaksanaan program. Lembaga yang terlibat seperti BKM, Kelurahan dan LPMK yang bekerja sama secara terintegrasi memberikan pengaruh besar agar masyarakat selalu mau bertindak. Pembelajaran Proses pelaksanaan yang melibatkan tindakan dan kesadaran masyarakat terutama pihak-pihak yang memiliki pengaruh di Kelurahan Karangwaru merupakan inti keberhasilan program. Adanya warga yang menjadikan dirinya sebagai tokoh masyarakat seperti Bapak Bandono menambah dorongan yang mampu menggerakkan dan mengubah mindset warga sekitar akan pentingnya menjaga kebersihan lingkungan dengan pengolahan limbah. Pembangunan kawasan dengan melibatkan masyarakat dapat meminimalkan pengeluaran dana karena semua pekerjaan dikerjakan sendiri secara gotong royong rutin oleh warga setempat tanpa menggunakan jasa dan tenaga kerja dari luar kawasan. Dengan menggunakan tenaga warga setempat juga memudahkan tokoh masyarakat seperti Bapak Bandono dalam mengkoordinasi kegiatan. Selain itu, keberhasilan juga didukung adanya bantuan dana langsung dari World Bank juga sponsor-sponsor yang mulai berdatangan akibat dari bukti nyata revitalisasi Karangwaru Riverside ini. Juga tokoh masyarakat menjadi panutan dari masyarakat di sekitarnya, tokoh masyarakat hadir untuk menyatukan, mengumpulkan dan mengarahkan masyarakat untuk mau berperan dengan benar dan maksimal, bahkan tokoh masyarakat juga mampu memberikan sosialisasi secara personal bagi masyarakat yang masih kontra atau kurang setuju dengan program Karangwaru Riverside.


ARÇAKA #7 | DECEMBER 2016 27


/DESIGN/ LOCAL

MEMBANGUN RUMAH MODERN DENGAN SENTUHAN ETNIK DI LAHAN YANG SEMPIT Text by Dhanni Novianto Photos by Gilang Pidianku

28 ARÇAKA #7 | DECEMBER 2016


Memang sudah sifat kita sebagai manusia bahwa kita memperoleh kesenangan dengan menyaksikan orang lain sibuk melakukan kegiatan yang menyenangkan. Itulah mengapa beberapa kegiatan dapat saling berkaitan satu sama lain, karena kencenderungan hal menyenangkan yang saling terhubung juga. Fotografi dan arsitektur, dapat dikatakan dua hal tersebut saling berkaitan. Fotografi arsitektur menangkap dan mengabadikan, tepatnya memvisualisasikan obyek arsitektur ke dalam estetika fotografi. Sehingga kita mampu ‘merasakan’ kesan arsitektur itu meskipun hanya dalam berupa foto atau gambar. Fotografi arsitektur akan lebih bermakna ketika mampu merepresentasikan gambar yang sesuai dengan keadaan nyata atau aslinya. Didit Saputro atau biasa disapa Mas Didit, fotografer arsitektur ini meluangkan waktunya untuk berbagi pengalamannya bersama dengan tim ARÇAKA di kediamannya yang ia rancang sendiri di kompleks perumahan Villa Bukit Asri, Gunung Sempu, Bangunjiwo, Kasihan Bantul, Yogyakarta. Sore itu, 30 Desember 2016 kedatangan kami langsung disambut oleh Mas Didit di ‘gazebo’ yang dulunya merupakan kandang sapi. Tanpa basa-basi Mas Didit langsung menuturkan alasannya ‘menghancurkan’ rumah yang berasal dari desain perumahan menjadi rumah ‘joglo’ dengan desainnya sendiri, menurutnya proyek rumah joglo ini merupakan ekperimental, yang berasal dari ego pribadi. Rumah yang berdiri di tanah dengan ukuran cukup minim 6 x 13 meter ini mampu memberi kesan yang luas. Karena tak hanya di desain yang menyerupai filosofi joglo, penggunaan materialnya pun sangat berpadu dengan sentuhan ethnik. Rumah modern di lahan kecil dengan sentuhan gaya etnik begitulah Mas Didit menyebutnya.

Sisi depan rumah yang dirancang Mas Didit

“Don’t think outside the box. Think like there is no box.”

Rumah dengan Sentuhan Gaya Joglo Dasar dari desainnya adalah bagaimana agar rumah dengan gaya ethnic joglo mampu berdiri di lahan yang terbilang minim. Mas Didit mencoba menerapkan gaya Joglo di rumah desainnya ini. Filofosi atap joglo mengharuskan hadirnya soko sebagai kolom-kolom pembagi ruang. Pembagian ruang menjadi tidak fleksibel karena adanya tiang-tiang atau soko sebagai penyalur beban atap. Bila tetap ingin menggunakan filosofi konstruksi atap joglo, pembagian ruang-ruangnya pun harus mengikuti letak dari soko tersebut.

ARÇAKA #7 | DECEMBER 2016 29


/DESIGN/ LOCAL

Jika lahannya minim kurang dari 20 meter peletakkannya di pinggir dan di atas 20 meter letaknya di tengah. Agar keinginan menerapkan konstruksi atap joglo masih dapat dilaksanakan, maka sah saja apabila menggunakan model atap joglo tetapi menggunakan konstruksi atap limasan. Ini salah satu alternatif agar pembagian ruang masih fleksibel dan sesuai dengan kebutuhan penghuni, tetapi masih dapat memakai atap model joglo. Tantangannya yaitu menampilkan kesan dan atmosfir yang berbeda saat memasuki rumah. Rumah ini telah mengalami beberapa kali bongkar pasang walaupun akhirnya mampu membentuk rumah tinggal seperti yang sekarang ini. Proses Perancangan Kaidah proporsi dalam desain arsitektur dikenal sebagai salah satu komponen untuk membantu penetapan dimensi estetis secara visual. Dalam arsitektur Golden Section atau Golden Ratio dikenal sebagai salah satu metode untuk menghadirkan sebuah bangunan yang dapat dikatakan bagus secara proporsi. Golden section digunakan untuk mengatur komposisi elemenelemen bangunan. Proporsi yang dihasilkan oleh metode ini dianggap menghasilkan bentuk yang paling indah. Golden section bisa diterapkan dalam menentukan denah, tampak, potongan dan lain sebagainya. Golden section ini tidak subjektif, tidak dipengaruhi oleh budaya, jenis kelamin, suku, usia dan lain-lain. Karena golden section ini berlandaskan proporsi dan matematis yaitu yang membatasi jarak terbesar dan terkecil, yang sering disebut bilangan phi atau 1:1,618. Penerapan Golden Section dibagi menjadi 2 tipe, yaitu ‘tertangkap mata manusia’ dan ‘tidak tertangkap mata manusia’. Tertangkap manusia maksudnya adalah bisa dilihat manusia di sekitar maupun pengguna bangunan tersebut sehingga bisa dinikmati secara langsung. Sedangkan ‘tidak tertangkap mata manusia’ maksudnya adalah penerapan proporsi yang sesuai Golden Section tersebut tidak bisa dinikmati secara langsung oleh manusia pengguna bangunan tersebut, kecuali oleh si perancangnya. Fasad rumah Mas Didit didesain dari hasil otakatik imajinasinya sendiri. Dari ilmu fotografi, Mas Didit menerapkannya di desain rumahnya ini. Salah satunya peletakan pintu yang tidak berada di tengah atau fasad asimetri, karena mengambil prinsip dari Golden Section

30 ARÇAKA #7 | DECEMBER 2016

yang juga ada didalam ilmu fotografi. Selain itu metode Golden Section juga mempengaruhi tata letak ruang dan kesan yang dihadirkan di dalam rumah Mas Didit. Salah satu kesulitan dalam proses perancangan rumah ini adalah mencari ‘gebyok’ atau partisi khas rumah joglo, yang menyesuaikan ukuran, karena sebagian besar gebyok memiliki ukuran yang lebar. Gebyok adalah semacam partisi khas jawa yang digunakan untuk sekat atau pembatas antarruang. Gebyok biasanya memiliki ukiran khas jawa dan dibuat dari kayu bermutu tinggi seperti kayu jati. Daya tarik gebyok terutama ditentukan oleh keindahan detail ukirannya, partisi ini memang khas dan memiliki nilai estetika yang tinggi dan terbilang sangat bagus. Mas Didit juga memberi sentuhan rustic di dalam rumahnya. Ciri-ciri gaya rustic terutama pada penggunaan material yang alami dan tidak di-finishing, misalnya daripada menggunakan tembok yang diaci, dalam gaya ini menggunakan tembok dengan menampilkan bata ekspos. Plafondnya sendiri menggunakan material ‘gedek’ bambu. Di ruang kamar mandi menggunakan tembok dengan unsur batuan dengan tekstur yang kuat. Intinya yang ditonjolkan adalah kesan material yang kasar dan tua. Selain memberikan kesan alami, desain ini juga membawa kita pada kesan mewah namun masih dalam lingkup sederhana. Kenyamanan dan jati diri sangat diutamakan pada seluruh bagian yang diberi sentuhan rustic. Rumah Tumbuh Rumah tumbuh adalah salah satu cara merencanakan dan membangun rumah dengan cara bertahap dan dilakukan dalam jangka panjang. Menyiasati lahan kecil merupakan salah satu alasan Mas Didit menerapkan konsep ini di rumahnya. Rumah tumbuh dapat berubah setiap saat saat ada penambahan ruang, maka dari itu sejak awal telah menggunakan pondasi cakar ayam. Banyak yang menggunakan konsep rumah tumbuh tidak ingin rumahnya berkualitas rendah sehingga membangunnya secara bertahap. Akan tetapi, rumah yang ideal, sesuai dengan keinginan pemilik, bisa didapatkan. Letak dapur berada di samping kiri depan dengan alasan mudah diakses dan karena fungsinya yang merupakan dapur basah. Awal membangunnya adalah rumah yang sedang dalam tahap pengerjaannya


Interior rumah dengan gaya rustic

Interior kamar mandi

kemudian diubah oleh Mas Didit, ia berhasil ‘merenovasi’ desain awal yang tergolong kaku menjadi desain yang tergolong baru, rumah tumbuh bersentuhan ethnic dengan penerapan konsep golden section. Rumah dengan satu kamar, ruang keluarga, kamar mandi, dapur dan area penerima tamu ini walaupun di lahan sempit namun tetap terasa luas saat berada di dalamnya. Bagi Mas Didit salah satu ciri rumah sehat tentunya memiliki halaman. Walaupun ia tidak suka dengan desain perumahan, dengan mengubahnya sesuai yang ia kehendaki maka rumah yang kini ia tempati dengan istrinya itu berhasil memberi sentuhan baru, sentuhan ethnic di dalam desain perumahan.

memiliki konsep yang hampir sama dengan Golden Section tadi. Hal tersebut yang membuatnya cukup paham akan dunia arsitektur juga. Tantangan Fotografi yaitu mengolah objek yang 3D menjadi 2D, bagaimana unsur ketigadimensian dari benda yang kita foto tetap mampu tervisualkan di media dua dimensi. Selain penguasaan terhadap kamera dan berbagai perlengkapannya, fotografi arsitektur juga sangat ditentukan dalam mengolah komposisi, yang pada hakekatnya adalah pengetahuan tentang estetika. Tingkat kemampuan berkreasi untuk menghasilkan fotografi arsitektur yang baik sifatnya sangat individual, seperti kemampuan membuat desain arsitektur perancangan.

Pengalaman dari Ilmu Fotografi Metode rule of third adalah metode yang membagi layar kamera menjadi tiga bagian sama besar secara horizontal dan vertical. Metode ini menggunakan garis dan titik dari pertemuan garis-garisnya sebagai paduan dalam memposisikan objek yang ingin difoto pada layar kamera. Mas Didit menuturkan sebenarnya rule of third

Arsitektur di Yogyakarta Bagi Mas Didit sebagai idealis pekerja seni yang punya banyak ketertarikan terhadap bidang arsitektur dicampur idealis sebagai orang asli Jogja, hotel yang berada di Jogja yang hanya mengejar budget sehingga kurang lebih hanya 20% mengadopsi arsitektur Jogja. Berbeda di Bali yang memiliki perda bahwa 40-45% hotel ataupun homestay

ARÇAKA #7 | DECEMBER 2016 31


/DESIGN/ LOCAL

harus melakukan penerapan arsitektur Bali. Hotel-hotel yang berada di Jogja menurutnya kurang merespon budayanya sendiri. Yogyakarta yang merupakan kota beragam budaya ini seharusnya menjadikan budayanya sebagai ujung tombak perekonomian dan juga wisatanya. Sayangnya hal itu kurang ditanggapi oleh pembangunan akhir-akhir ini yang gencar digiatkan. Bangunan heritage harusnya tetap dipertahankan keasliannya bukannya mengubahnya menjadi sesuatu yang dianggap menjadi tren masa kini untuk menarik minat pengunjung. Pendapat itulah yang menjadikan Yogyakarta semakin kehilangan identitas dirinya. Sudah menjadi tugas bagi kita di dalam merancang tidak mengabaikan pengaruh arsitektur lokal. Mengedukasikan tentang budaya kepada klien merupakan salah satu cara pembangunan di Yogyakarta tetap memperhatikan budayanya. Don’t think outside the box. Think like there is no box. Maksudnya cara berpikir kita yang berbeda dari yang lainnya, berpikir tanpa batasan, berpikir di luar dari yang umumnya, berpikir kreatif. Harus berani melakukan sesuatu yang berbeda, dengan demikian kita akan menciptakan sesuatu yang berbeda dibandingkan orang lain dan memiliki nilai yang lebih. Sama halnya dalam bidang arsitektur, menangkap apa yang disampaikan Mas Didit, think like there is no box atau berpikirlah tanpa batas. Lahan yang hanya berukuran 6 x 13 meter, dengan pemikiran beyond imagination akan mampu berinovasi dan merancang menjadi sesuatu yang memiliki nilai. Inovasi bisa juga dengan menambah atau memperbaiki yang sudah ada. Jangan takut jika apa yang kita desain atau ciptakan dianggap aneh karena berbeda, tetapi jadikanlah perbedaan itu menjadi hal unik yang sangat berharga di mata orang lain.

32 ARÇAKA #7 | DECEMBER 2016

Interior ruang keluarga


Gazebo yang sering digunakan untuk menerima tamu

Arch Timeline

DIDIT SAPUTRO 1999 Graduated from Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta 2003 Graduated from Amikom, Yogyakarta 2009 Graduated from RMIT University, Australia 2006-2007 Freelance European Pressphoto Agency 2011-2012 Dosen terbang Indonesian Institute of the Arts, Yogyakarta 2012-now Freelance (Spesialisasi Interior dan Arsitektur Fotografi)

ARÇAKA #7 | DECEMBER 2016 33


/DESIGN/ ALUMNI

BER-ARSITEKTUR PROSES, REALITA DAN RELASI

Text by Dhanni Novianto Photos by Dhanni Novianto, Stella Dewi

34 ARÇAKA #7 | DECEMBER 2016


Tim ARÇAKA berkesempatan berkunjung dan melakukan wawancara dengan alumni bernama Yoshi Fajar Kresna Murti di salah satu rumah homestay baru rancangannya yang beralamat di Jalan Dukuh Dua, Sinduharjo, Ngaglik, Kabupaten Sleman, Yogyakarta. Ini merupakan kali kedua tim ARÇAKA mewawancarai mahasiswa UAJY angkatan 1994 ini, bedanya dengan yang pertama, kali ini kami akan lebih membahas mengenai Yogyakarta dan cara beliau dalam berarsitektur yang tidak terikat pada ‘jargon’ semata. Arsitektur di Yogyakarta Menurut Pandangannya Mas Yoshi mengambil contoh permukiman yang ada di sekitar bantaran Kali Code. Rumah Kali Code memberi kesan tersendiri di Yogyakarta, tampak terlihat hidup, sayangnya pembangunan hotel dan mall yang barubaru ini sangat gencar didirikan menurutnya membuat itu terlihat ‘rusak’. Menurut beliau yang juga suka akan urban, ciri khas kota Yogyakarta terdapat pada jantung sungainya yaitu Sungai Kali Code, Sungai Winongo dan Sungai Gajah Wong. Permukiman di pinggir kali itu membentuk seperti lembah dan bukit yang jika dilihat dari jembatan atau mata burung akan terlihat letak kehidupannya. Mas Yoshi juga menuturkan tidak ada ciri khas Jogja yang berhubungan dengan bangunan arsitektur, hanya terdapat beberapa elemen dan bentuk. Menurutnya, Yogyakarta merupakan campuran dari beragam gaya arsitektur sehingga sebenarnya tidak ada gaya arsitektur di Yogyakarta yang benar-benar “khas Jogja”. Rumah dengan halaman luas dengan kebun buah, tanaman dan kebun sayur merupakan gaya arsitektur yang mencirikan Yogyakarta. Ugahari Biro arsitek ini dibentuk dari perjalanan yang cukup lama, setelah beberapa kali berpraktik, membaca dan bertemu banyak orang dengan proses bertahun-tahun terbentuklah Ugahari, nama yang dirasa pas, tidak lebih tidak kurang bagi anggota yang membentuknya. Romo Yusuf Bilyarta Mangunwijaya merupakan salah satu sosok yang menjadi inspirasi untuk mas Yoshi dalam berkarir di Ugahari. Baginya secara pemikiran ia banyak belajar dari Romo Mangun, terlebih lagi karena telah beberapa kali bertemu dengan beliau. Selain itu bertemu dengan banyak orang yang terlibat dalam bidang arsitektur dapat membentuk cara dalam berarsitektur, tapi lebih banyak belajar justru bukan dari arsitek, baginya arsitek hanya memberi kerangka dalam menjalin komunikasi. Menurut Yoshi, beliau belajar dari Romo Mangun bukan dari segi arsitekturnya, melainkan dari luar arsitektur

misalnya seperti pemikiran akan bahasa, budaya lain dan hubungan antarmanusia. Di Ugahari dalam meyakinkan klien atau partner tidak dengan developer namun dimulai dari membentuk tukang, membangun tim dan teamwork. Meyakinkan team agar mereka percaya bahwa yang semua akan dilakukan baik adalah mengelola dan berdiskusi dengan modal pengetahuan pengalaman dan pemahaman antara pemilik dan perancang, yang nantinya akan bisa terjadi saling yakin akan apa yang dilakukan. Meyakinkan tukang agar bekerja dengan hati yang senang tidak hanya menyodorkan desain namun perlu melihat bahwa problem tukang itu banyak tidak hanya disuruh seenaknya, seperti dimulai dari komunikasi. Problem itu dapat dipecahkan dengan tim yang bekerja dengan senang hati. Di luar arsitektur terdapat banyak hal yang dapat membantu kita dalam melihat arsitektur itu sendiri. Misal saat menjelaskan pada client tentang hujan tampias yang masuk, biarkan saja, yang terpenting adalah bagaimana ia dapat menerima itu dengan logis

Ruang Tamu Rumah Wardani

‘Hutan’ kecil di area sekitar yang tetap dijaga keasriannya

ARÇAKA #7 | DECEMBER 2016 35


/DESIGN/ ALUMNI

Bak tampungan air yang tiangnya dilapisi bambu

Interior Rumah Baca Cimot

36 ARÇAKA #7 | DECEMBER 2016

atau masuk akal, dapat merespon dan mengatasinya dengan membuat material/sesuatu jadi cepat kering, dengan angin banyak, ataupun teksturnya. Konsep di dalam Ugahari, yang pertama adalah Proses, maksudnya prinsip utama adalah dengan menghormati proses, agar dapat berjalan dengan baik. Proses itu tidak mudah, pasti banyak kendala di dalamnya, namun sebelumnya yang terpenting telah memikirkan dua-tiga langkah sesudahnya. Negosiasi antara tukang, pemilik rumah, tetangga, arsitek, pemilik material dan lain sebagainya harus dijaga. Setiap proses yang dilalui harus dapat dinikmati dan ditemukan manfaatnya. Yang kedua adalah Kenyataan atau Realitas, di dalam Ugahari menggambar desain harus teliti hingga pada pohon/ tanaman yang kecil-kecil, seminimal mungkin menebang pohon. Desain yang baik adalah sesuai dengan keadaan nyata, misal rencana rumah yang tadinya 7 meter karena ada pohon disampingnya maka dibuat menjadi 6 meter, mengikuti yang nyata, bukannya memaksakan desain yang tidak real ke dalam dunia yang real. Hal yang perlu diingat adalah bagaimana meresponnya dengan tepat. Yang ketiga adalah Relasi atau Hubungan, tidak hanya semata hubungan dengan manusia namun menjaga hubungan antara sesama makhluk hidup seperti pohon dan hewan. Ber-arsitektur sebaiknya lebih ekologis dengan memperhatikan semua ekosistem, bukan hanya manusia. Mas Yoshi menuturkan di dalam mendesain jargon hanyalah efek yang dihasilkan. Misal Arsitektur Hijau tidak hanya sekedar ‘menempelkan’ pohon di sekitar bangunan, lebih luas lagi maksudnya, namun memikirkan konsekuensi dari pohon itu, seperti jenisnya dan pengaruhnya terhadap makhluk di sekitarnya. Lebih memikirkan seluruh aspek dan konsekuensi ke depannya. Selama Proses, Realita dan Relasi menjadi hal yang tetap diperhatikan maka desain akan berjalan sesuai dengan yang diharapkan, jargon seperti aspek green, sustainable, rustic dan sebagainya hanyalah efek yang dihasilkan. Bukan memulai dari tampilan, tetapi memulai dari dalam. Tantangan yang Dialami Dalam merancang di Ugahari pastinya telah menemukan banyak kesulitan dalam bekerja. Tantangan pasti kita alami jika kita mau maju dan berproses. Salah satunya adalah energy, seorang arsitek baiknya memliki energy untuk terfokus karena jika fokus itu hilang maka akan buyar atau merusak hasil. Terlalu banyak pekerjaan juga menjadi salah satu yang menjadikan kurang fokus. Maka dari itu di Ugahari membatasi proyek yang dikerjakan, maksimal 3 proyek sekali jalan dan itu


dibentuk dari tim-tim arsitek. Ugahari merupakan ruang untuk belajar banyak orang, setelah keluar diharapkan membawa nilai tersendiri. Tidak sekedar belajar arsitektur namun mengelola tukang, material, membuat material efektif, bernegosiasi dengan tetangga dan lain sebagainya. Nilai dan sikap menjadi pondasi di dalamnya. Pengalaman Lain Berawal dari IVAA (Indonesian Visual Art Archive), yang telah bertermu dengan bermacam orang seniman, seni rupa, sastra, tari, Mas Yoshi juga masuk dalam dunia seni, karena baginya seni itu bebas tidak terikat sesuatu namun memiliki suatu yang ekspresif tidak dibatasi. YKFS (Yogyakarta Kampung Field School), Mas Yoshi bersama Bapak Paulus dan Bapak Patrick dan beberapa dosen di UKDW menggabungkan akademisi di kampus dengan persoalan di kampung, melalui mahasiswa dari UKDW dengan mahasiswa antropologi Australia untuk menggeluti issue kampung kota. Hasilnya adalah audiensi dengan walikota dan memperoleh issue yang ada di kampung tersebut.

Kamar mandi di Rumah Wardani

Interior Rumah Wardani

Salah satu pemanfaatan sisa genteng sebagai hiasan pagar

ARÇAKA #7 | DECEMBER 2016 37


/DESIGN/ ALUMNI

Area baca di Rumah Baca Cimot

Ornamen penghias Rumah Baca Cimot

Rumah Wardani Berawal dari membeli tanah, Mas Yoshi dan temannya Farah Wardani, yang merupakan kurator seni membangun Rumah Wardani ini. Rumah ini juga disewakan sebagai homestay. Rumah dengan ukuran 6 x 8 meter ini masih dalam proses pembangunan yang baru akan diresmikan bulan November mendatang. Metode dalam mendesainnya juga memperhatikan aspek yang di luar arsitektur, seperti pohon, tetangga dan kondisi sekitar. Dalam perjalanan membangunnya desain ikut berkembang sesuai dengan material yang ‘ditemukan’ dan sesuai untuk diterapkan. Pembangunannya sangat meminimalkan limbah yang tidak terpakai bahkan sisa materialnya akan digunakan dalam proyek yang lain. Rumah ini juga memiliki sekat yang sengaja didesain tidak permanen. Sangat minimalis namun rumah dengan dua lantai ini memiliki fitur rumah yang lengkap. Rumah homestay Wardani ini memiliki material sisa tidak terpakai, namun bukan bekas. Dan dibentuk seperti jendela, pintu, penutup lampu, tangga dan lainlain. Bahan sejelek apapun dapat dijadikan hal yang bagus dan berguna jika dikerjakan dengan senang hati, tidak hanya sekedar desain. Desain yang baik adalah desain yang dapat setiap saat berubah dan berkembang. Rumah dibangun tidak untuk mengikuti hidup atau menyesuaikan penggunanya melainkan penggunanya yang ‘dipaksa’ untuk dapat menyesuaikan diri dengan rumah dan lingkungannya. Rumah dikatakan hidup karena memang seharusnya mampu hidup bersama dengan penggunannya.

Arch Timeline

Rumah Baca Cimot Merupakan rumah tinggal milik Mas Yoshi yang memiliki perpustakaan atau area membaca di dalamnya. Letaknya berada di belakang Rumah Wardani tadi. Dengan ukuran 3 x 9 meter, rumah ini sama dengan Rumah Wardani menggunakan material sisa dan meminimalkan limbah. Kata Cimot sendiri berasal dari nama kucing Mas Yoshi yang bernama Cimot. Namun sayangnya kucing itu telah mati karena usianya yang telah tua. Keunikan dari rumah ini juga bersifat terbuka dan memakai kayu sengon pada beberapa bagian. Kudakuda yang digunakan juga sangat sederhana dan tidak permanen, artinya masih dapat dirubah sesuai kemauan. Rumah ini juga memiliki prinsip di mana antara satu bagian dan bagian lain saling bertumpu terhubung sehingga rumah ini dapat berdiri kokoh walaupun menggunakan material yang dapat dikatakan ‘ringan’. Kesan nyaman dan asri sangat terasa di rumah ini, karena selain desainnya yang unik dengan material yang ramah lingkungan, rumah yang juga berlantai dua ini dikelilingi oleh berbagai tanaman dan pohon yang membentuk seperti hutan kecil. Seperti prinsip Mas Yoshi tadi yaitu memperhatikan kondisi sekitar melalui proses, realita dan relasi sehingga desain rumah atau bangunan akan dengan sendirinya memberi kenyamanan dan kepuasan bagi penghuninya.

YOSHI FAJAR KRESNO MUKTI 2001 Founder Ugahari Architecture 2002 Graduated from Architecture UAJY 2003-2004 Sit in at Magister Program of Religious and Cultural Studies at University of Sanata Dharma 2000-2008 Yayasan Pondok Rakyat (YPR) as Social Worker 2008 Freelance Lecturer at UAJY, UKDW, and UII 2008 IndonesianVisual Art Archive (IVAA)

38 ARÇAKA #7 | DECEMBER 2016


instead of speaking, I’d rather to drawing for drawing leaves less space to lie

- Le Corbusier

Photo by Prawira Wardana

ARÇAKA #7 | DECEMBER 2016 39


/DESIGN / WORLDWIDE

HJO TOWN Tentang Hjo Hjo adalah sebuah kota di Swedia yang terbentuk pada tahun 1413. Hjo berbatasan langsung dengan danau Vättern pada sisi timur dan dataran hijau yang luas di sisi barat, utara, dan selatan. Wilayah ini memiliki kekayaan agrikultur yang bervariasi, seperti produksi kayu, peternakan ayam, sapi, dan bison, serta perkebunan stroberi dan blueberry. Lokasinya yang berdekatan dengan danau Vättern juga memberikan Hjo produk ikan air tawar yang beragam. Dalam sejarahnya, Hjo merupakan kota medieval yang dibangun dengan bangunan kayu khas Skandinavia. Beberapa ciri khas kota medieval adalah bentuknya yang organik, mengikuti kontur tanah, topografi dan kondisi alam. Kota ini adalah salah satu waterfront city yang berhasil mengkonservasi dan preservasi warisan pusaka dengan baik. Sebagian dari kota ini terbakar karena adanya kebakaran besar di masa lampau, namun bangunan-bangunan villa dan mansion serta alun-alun kota ini berhasil selamat dan direstorasi. Bangunan kayu yang menghiasi wilayah kota ini kebanyakan adalah bangunan dengan fungsi residensial dan komersial. Kota ini memiliki pelabuhan yang indah (Hamnen) dan pusat kota berupa alun-alun (Torget). Siang hari yang terik di musim panas itu saya berjalan di kota Hjo. Saya begitu senang melihat pelabuhan yang begitu cantik dengan airnya yang berdebur lembut ke pesisir. Banyak bebek dan burung camar yang ikut bersantai-santai di air yang dangkal. Kota yang sepi ini memang kecil, namun menarik hati. Jika saya harus memilih 2 kata yang mendeskripsikan Hjo, 2 kata itu adalah imut dan tenang. Warna skema kota ini pun sungguh unik seperti merah, putih, hitam, kuning muda, krem, hijau muda dan biru muda. Saya dapat melihat begitu banyak rumah kayu di kota ini dengan bentuk khas rumah Skandinavia: atap miring, jendela tiga warna, detail kayu dan hiasan yang bertema alam. Secara spesifik, saya paling jatuh cinta pada hiasan-hiasan dan detail di setiap rumah yang terinspirasi oleh air. Saya dapat melihat hiasan berbentuk ikan, jangkar, lampu kapal, jendela lingkaran dan hiasan mercusuar. Masalah di Hjo Hjo memiliki populasi sebanyak kurang lebih 10000 orang dalam seluruh areanya. Angka ini adalah angka yang cukup kecil untuk area seluas 4.54 km2. Kepadatan penduduknya hanya 1.34/km2. Apabila dibandingkan dengan Yogyakarta yang penduduknya mendekati 3.7 juta orang di tahun 2015 dengan kepadatan 1155/km2, kota Hjo merupakan kota yang sangat lengang. Ketika saya berjalan berkeliling di kota ini, saya berusaha menghitung orang yang saya temui di jalan dan begitu mengagetkan bahwa saya hanya berjumpa 13 orang dalam waktu 2 jam. Permasalahan ini menjadi sebuah kekhawatiran bagi masyarakat di Hjo bahwa kota ini akan menjadi kota yang ditinggalkan dan kemudian mati karena populasinya yang rendah. Sebuah dilema yang cukup intens antara keinginan untuk tetap menjaga kepusakaan wilayah dan keinginan untuk berkembang secara modern untuk menarik penduduk baru untuk pindah ke Hjo. Globalisasi, modernisasi, dan robotisasi

40 ARÇAKA #7 | DECEMBER 2016


Text and photos by Titis Rum Kuntari

Torget (alun-alun) kota Hjo

ARÇAKA #7 | DECEMBER 2016 41


/DESIGN / WORLDWIDE

Proyek perumahan baru yang dirancang oleh pemerintah. Seluruh proyek baru tingginya tidak boleh melebihi tinggi gereja.

yang menjadi tren di seluruh dunia menjadi sebuah ancaman bagi kota kecil seperti Hjo, karena ketertarikan masyarakat modern akan kota-kota yang lebih canggih meningkat sehingga angka kependudukan di kota Hjo stagnan, bahkan menurun karena penduduknya memilih untuk pindah ke kota lain. Selain permasalahan populasi yang menurun, adapun permasalahan ketidakseimbangan usia penduduk di mana sebagian besar penduduk kota Hjo adalah usia pensiun yang menghabiskan masa tuanya di rumah atau di panti jompo. Hal ini menyebabkan kota Hjo seperti kota tidur ”Sleeping City”. Saya berkesempatan untuk berdialog dengan arsitek kota Hjo yaitu Per-Goran Ylander untuk membicarakan permasalahan-permasalahan yang dihadapi kota pusaka Hjo. ”We must accept that Hjo is a small-scale wooden city which embraces its quiet and peaceful environment. Love what we have, and work with that.” (“Kita harus menerima bahwa Hjo adalah kota kayu berskala kecil yang merangkul lingkungan yang tenang dan damai.

42 ARÇAKA #7 | DECEMBER 2016

Cintai apa yang kita miliki dan berusahalah dengan itu.”) Per-Goran memang mengatakan bahwa permasalahan seperti populasi usia tua dan globalisasi memang permasalahan yang berpengaruh di Hjo, terutama apabila dikaitkan dengan permasalahan politik, perpajakan, dan keberlanjutan sosial ekonomi. Selain itu, kota ini hanya hidup pada musim panas sedangkan pada musim semi, gugur, dan dingin, kota ini semakin sepi. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, pemerintah kota Hjo memiliki visi untuk membuat kota lebih hidup dengan aktivitas yang beragam sepanjang tahun. Dari Mereka, Untuk Mereka Pemerintah kota Hjo memiliki basis perancangan kota yang didasarkan pada rencana nasional Swedia dengan dasar pembangunan keberlanjutan. Pembangunan berkelanjutan di Swedia tidak hanya menekankan pada pendekatan lingkungan dan energi saja, namun juga pendekatan sosial, budaya, dan ekonomi. Bagaimana sebuah kota dapat mendukung hidup manusia di


dalamnya sehingga dapat hidup dengan layak, sehat, berkecukupan, bahagia, tanpa diskriminasi, dan damai merupakan tantangan untuk Hjo. Pemerintah kota Hjo merencanakan pembangunan berkelanjutan dengan menyediakan semakin banyak rumah yang akan menarik pendatang baru yang akan meningkatkan populasi. Konfigurasi rumah berupa rowhouse dan apartment yang direncanakan menggunakan strategi di mana penduduk berusia tua hidup berdampingan dengan penduduk berusia muda agar meningkatkan rasa saling tolong-menolong dan nilai sosial yang positif. Selain itu, pemerintah juga berusaha untuk menyediakan fasilitas edukasi, infrastruktur, dan transportasi yang ramah lingkungan untuk menghubungkan area urban dan rural dengan tujuan akhir pembangunan yang merata di seluruh wilayah Hjo. Dari Kami, Untuk Mereka Saya dan kolega dari Chalmers Tekniska HĂśgskola berkesempatan untuk bekerja sama dengan pemerintah kota Hjo dalam merencanakan proposal desain inovasi baru untuk Hjo. Selama 6 minggu kami berusaha untuk menggodok ide-ide baru yang dapat dipakai masyarakat Hjo demi kemajuan yang berkelanjutan. Merupakan pengalaman yang sungguh berharga dapat bekerja sama dengan mahasiswa internasional dari berbagai negara dan latar belakang yang membuat saya membuka mata bahwa peran arsitek di dalam pembangunan wilayah tak hanya sebagai desainer, namun sebagai fasilitator yang menumbuhkan diskusi dan keberlanjutan sosial.

Rumah kayu di Hjo yang menghadap langsung ke Danau Vattern

Hjo, kota kayu yang sepi dan damai dengan rona warna yang kalem

Pada akhir dari masa perencanaan proposal tersebut, muncul ide-ide proposal pembangunan Hjo yang beragam, di antaranya adalah penggunaan architecture for dissassembly (arsitektur bongkar pasang) yang terinspirasi dari pembangunan rumah kayu di masa lampau untuk ruang publik spontan, penyediaan ruang bertemu dan digitalisasi sejarah menggunakan media smartphone dan virtual reality untuk menghidupkan kembali sejarah yang ditinggalkan, perencanaan pembangunan jangka panjang di atas air, perencanaan jalur pusaka yang terinspirasi dari wanita berpengaruh di Hjo, dan perencanaan jalur olahraga berdasarkan tema alam di dalam kota Hjo. Dari Kita, Untuk Kita Berkaca dari pengalaman ini, kita dapat merefleksikan bahwa sebenarnya pembangunan berkelanjutan di bidang sosial dan budaya adalah sama pentingnya dengan pembangunan ekonomi, inovasi energi dan ketahanan lingkungan. Diskusi multi-disiplin yang menarik akan dapat terangkat, apabila kita menyadari bahwa sebenarnya Indonesia – dan spesifiknya Yogyakarta – mungkin tak (hanya) membutuhkan pembangunan fisik namun pembangunan sosial yang menumbuhkan kesadaran. Mungkinkah sebenarnya Indonesia sudah cukup sustainable dengan cara hidupnya di masa lampau, dan perlu belajar darinya sebelum membangun di masa depan?

ARÇAKA #7 | DECEMBER 2016 43


/ ARTSPACE

Thanks for your participation!

Kampung Kota Romantis Jagalan, Kota Gede by Rifandi Febrianto ARS14

Fast Lane by Andreas Perbowo ARS16

44 ARÇAKA #7 | DECEMBER 2016


Ampun Menggalih Majenging Jaman. -Kristanto Suryo by Eric Marvin ARS14

ARÇAKA #7 | DECEMBER 2016 45


/ ARTSPACE

Thanks for your participation!

Keheningan dalam Hitam Putih by Gustian Yudistira Putra ARS14

46 ARÇAKA #7 | DECEMBER 2016


Harmony in Diversity by Christian Dwicahyo Nugroho ARS15

ARÇAKA #7 | DECEMBER 2016 47


/ ARTSPACE

Thanks for your participation!

Jogja Istimewa by Angelina Anneke ARS16

Selamat Pagi dari Malioboro by Gustian Yudistira Putra ARS14

48 ARÇAKA #7 | DECEMBER 2016


Memaku Memori Pernah Muda, Memaku Zaman Melewati Masa by Angelina Anneke ARS16

ARÇAKA #7 | DECEMBER 2016 49


/ ARTSPACE

Thanks for your participation!

Naluri Lokal by Raka Bayu Ardanta ARS14

50 ARÇAKA #7 | DECEMBER 2016


Saat Para Raja Tertidur by Christian Dwicahyo Nugroho ARS15

Kesendirian dalam Ketakwaan by Axel Jay Marcianno ARS15

ARÇAKA #7 | DECEMBER 2016 51


/ OPINI

Akhir-akhir ini ada dua fenomena menarik di kota Jogja. Fenomena pertama adalah terkait dengan pembangunan hotel yang sempat membuat heboh masyarakat Jogja. Pembangunan yang dinilai mengkhawatirkan dari berbagai aspek (ekonomi, lingkungan, sosial, budaya, dsb) tersebut sempat memicu kemarahan orang Jogja. Syukurlah, sebagai kota budaya, kemarahan tersebut dikemas dalam berbagai bentuk ekspresi kultural yang tidak brutal. Salah satu di antaranya adalah munculnya jargon yang tajam dan sarat dengan kritik: Jogja ora didol (Jogja tidak dijual). Maksudnya jelas bahwa pembangunan hotel yang sangat masif tersebut hanya melihat (ruang dan tanah di) Jogja sebagai komoditas tanpa nilai lain selain nilai ekonomis dan mungkin hanya menguntungkan segelintir orang dengan risiko kerugian besar jangka panjang. Kemarahan itu memang sangat beralasan karena saat itu dalam kurun waktu yang relatif singkat di manamana bermunculan bangunan hotel baru. Untung akhirnya pemerintah cukup bijaksana menanggapi secara positif kemarahan masyarakat tersebut dengan melakukan penghentian sementara (moratorium) pembangunan hotel di wilayah kota Yogyakarta. Fenomena kedua terkait dengan gambar yang beredar di media sosial beberapa saat sebelum liburan Natal dan Tahun Baru 2017 yang kemudian menjadi sangat viral, yaitu gambar Revitalisasi pedestrian Malioboro!!! Dalam gambar tersebut terlihat pedestrian Malioboro di senja hari. Pedestrian Malioboro yang dulu disesaki oleh sepeda motor yang diparkir, sekarang menjadi jalur pejalan kaki yang lebar, bersih, rapi dilengkapi dengan fasilitas dan amenitas berupa bangku, pot tanaman dan tiang lampu dengan latar belakang langit berwarna biru. Luar biasa memang... Meskipun revitalisasi pedestrian Malioboro akan menjadi magnet wisatawan untuk datang memadati Malioboro tapi sama sekali tidak menyulut kemarahan orang Jogja. Sebaliknya, justru rasa bangga yang muncul. Tidak sedikit yang menjadikan gambar tersebut sebagai display picture di ponsel mereka. Seolah-olah ingin mengatakan saya adalah Jogja, dan Jogja adalah saya... Reaksi masyarakat Jogja terhadap dua fenomena tersebut merupakan indikator bahwa masyarakat saat ini sudah sangat cerdas. Mereka paham bahwa keseimbangan antara aspek fungsi (aktivitas), bentuk (ruang) dan makna (nilai) tampaknya harus semakin menjadi perhatian bagi para pengambil keputusan pembangunan kota bersejarah seperti Jogja. Meninggalkan salah satu dari tiga aspek tersebut pasti akan menghasilkan ketimpangan yang memicu keresahan. Fenomena pembangunan hotel menunjukkan bahwa hanya aspek fungsi dan bentuk saja yang diperhatikan dan meninggalkan aspek nilai. Sah-sah saja membangun hotel dengan alasan untuk menunjang dan mengembangkan sektor industri pariwisata yang memang menjadi andalan kota Jogja. Tetapi, apakah sudah diperhitungkan dampak sosial dari aktivitas hotel yang akan melibatkan

52 ARÇAKA #7 | DECEMBER 2016


orang (khususnya wisatawan) dalam jumlah besar? Apa lagi jika pembangunan itu dilaksanakan dengan menggusur kampung-kampung yang justru kaya akan nilai-nilai yang menjadi daya tarik pariwisata. Fenomena pembangunan hotel secara masif oleh masyarakat Jogja telah dimaknai sebagai representasi dari pembangunan fisik yang (dikhawatirkan) akan diikuti dengan berbagai macam aktivitas yang memisahkan Jogja dari rohnya. Sebaliknya, revitalisasi pedestrian Malioboro mendemonstrasikan keseimbangan antar ketiga aspek. Revitalisasi diawali dengan gagasan untuk mengembalikan nilai Malioboro sebagai ruang kultural yang mengutamakan interaksi sosial. Oleh karena itu aktivitas parkir sepeda motor yang selama ini telah merebut ruang bagi para pejalan kaki harus disingkirkan. Kemudian diciptakan wadah aktivitas berupa jalur pejalan kaki yang luas, bersih, aman, nyaman dilengkapi dengan berbagai perabot jalan seperti bangku, pot tanaman hias, lampu serta fasilitas untuk penyandang cacat netra. Kini giliran masyarakat untuk memanfaatkannya dengan melakukan berbagai aktivitas di atasnya. Jelas sekali bahwa revitalisasi pedestrian Malioboro telah dimaknai sebagai representasi dari pembangunan fisik yang akan menghadirkan kembali roh Jogja yang sempat hilang. Jogja, selain memiliki Kawasan Malioboro, juga memiliki kawasan-kawasan lain yang telah ditetapkan sebagai kawasan cagar budaya, seperti Kawasan Kraton, Pakualaman, Kotagede, Kotabaru, dan Kawasan Jetis. Model revitalisasi pedestrian Malioboro tampaknya sangat tepat dikembangkan bagi pembangunan kawasan-kawasan cagar budaya tersebut. Kenali aspek nilai yang seharusnya hidup di sana. Kenali faktor apa yang selama ini telah mengokupansi kawasankawasan tersebut sehingga nilai-nilainya menjadi pudar atau bahkan hilang. Kelola faktor tersebut sehingga dapat “keluar� dari kawasan yang bersangkutan dan pada saat yang sama hadirkan aktivitas yang mendukung nilai yang akan kembali dihidupkan. Baru terakhir ciptakan wadah yang mampu mewadahi aktivitas yang akan dikembangkan dan selaras dengan nilai-nilai yang akan dihidupkan. Dengan demikian, di tengah perubahan sebagai konsekuensi logis derapnya pembangunan kota Jogja, orang Jogja masih tetap memiliki kantongkantong yang punya karakter Jogja. [04/01/17].

Dr. Ir. B. Sumardiyanto, M.Sc

Dosen Fakultas Teknik Prodi Arsitektur Universitas Atma Jaya Yogyakarta

ARÇAKA #7 | DECEMBER 2016 53


/ OPINI

Yogyakarta, kota ini mungkin tidak akan pernah kehabisan topik untuk dibahas. Mulai dari sejarah kota, kuliner atau bangunan menjadi segelintir contohnya. Kota yang pernah menjadi ibukota Indonesia ini memang memiliki nilai historis yang sangat tinggi. Hal ini juga yang membuat Yogyakarta menjadi sangat terkenal dalam skala nasional maupun skala internasional. Potensi wisata yang beragam mulai dari wisata kuliner sampai wisata dengan spot bangunan bersejarah menjadi hal yang banyak diminati turis. Namun seiring dengan perkembangan zaman, Yogyakarta mulai menanggapinya dengan melakukan perkembangan kota dengan sangat pesat. Pemerintah mulai banyak berbenah, terutama pada segi fasilitas penunjang wisata seperti hotel, penginapan maupun rest area serta ruang terbuka hijau (RTH). Berbicara soal sejarah perkembangan kota, secara pribadi saya belum banyak mengenal dan memahaminya secara dalam. Namun, menurut apa yang telah saya alami selama berada di Yogyakarta, pembangunan yang dilakukan di sini amat cepat, kalau boleh dibilang seperti membabi buta. Pembangunan seakan tiada henti dilakukan. Bangunan tinggi, entah itu pusat perbelanjaan maupun hotel, mulai tak bisa lagi dihitung dengan jari. Hal ini jelas akan berdampak dengan keadaan iklim kota dan wilayah sekitarnya. Dengan dibukanya lahan pembangunan yang jelas membabat pohon-pohon yang ada secara tidak langsung akan mengurangi unsur hijau kota dan membuat suhu meningkat dari tahun-tahun sebelumnya. Pembangunan yang pesat ini jelas ikut ambil bagian di dalamnya. Belum lagi masalah izin dan letak bangunan yang kadang merusak pola hidup maupun pola sirkulasi kendaraan dan masyarakat di sekitarnya. Dari sekian permasalahan yang ditimbulkan dari pembangunan itu, ada satu yang sangat membuat saya resah dan tergelitik untuk berkomentar: masalah visual bangunan-bangunan yang baru saja hadir. Entah hanya sekedar memenuhi aturan atau bahkan sekedar formalitas, mereka memberikan sentuhan lokalitas hanya pada kulit bangunan. Itupun kurang dari 25% dari keseluruhan fasad dan terlihat dipaksakan. Tampak sekali bahwa mereka masih menempatkan desain di bawah kepentingan formalitas semata. Lokalitasnya tak ubahnya sebuah topeng

54 ARÇAKA #7 | DECEMBER 2016


nafsu duniawi semata. Terkadang sebagai mahasiswa arsitektur saya merasa bahwa semudah itukah idealisme kami para calon arsitek, yang dengan sepenuh hati menempatkan lokalitas sebagai sebuah aspek yang harus ada dalam desain kami, digantikan dan berubah sekejap hanya dengan segelintir keuntungan yang pada akhirnya merusak citra di mana bangunan itu didirikan? Ironis memang, namun itulah kenyataannya. Secara pribadi, saya menginginkan citra Yogyakarta sebagai kota yang jujur, kota yang memang mencitrakan dirinya sebagai sebuah kota budaya, kota yang kekal dengan citra bangunan lokal, citra bangunan yang mendukung masyarakatnya untuk saling berinteraksi, saling berbagi dan bersosialisasi. Bukan dengan citra bangunan tinggi nan sombong. Saya merindukan kembali sentuhan Yogyakarta pada bangunan, dengan pintu masuk yang sederhana, bangunan yang terkesan hangat, rendah, terbuka, namun menjanjikan sebuah privasi bagi yang membutuhkan. Kita bersama perlu mendukung program pembangunan zona publik dan bangunan tanggap lingkungan yang konkrit seperti pedestrian Malioboro yang kembali memenuhi fungsinya sebagai jalur pejalan kaki. Saya tidak sabar untuk melihatnya kembali sebagai panggung seniman jalanan. Bagi mahasiswa arsitektur sendiri, cara yang paling sederhana adalah menjaga motivasi dalam desain kita agar selalu tanggap terhadap lingkungan dan jangan pernah lupa akan di mana desain tersebut akan dibangun. Karena di masa yang akan datang, kita yang akan memegang kendali akan sebuah wilayah, khususnya Yogyakarta. #SaveOurCulture

Adrian Pamungkas

Mahasiswa Fakultas Teknik Prodi Arsitektur Universitas Atma Jaya Yogyakarta

ARÇAKA #7 | DECEMBER 2016 55


Dalam bahasa Latin berarti persembahan. Dalam bahasa karakteristik berarti tenang, memiliki jiwa pembimbing dan penyembuh, lembut, baik, pekerja keras, dinamis, kritis terhadap diri dan orang lain.

sepekan arsitektur Serangkaian acara tahunan Prodi Arsitektur Universitas Atma Jaya Yogyakarta yang bertujuan untuk memperkenalkan dan memperdalam wawasan masyarakat tentang arsitektur.

MINGGU, 12 MARET 2017 09.00-21.00 WIB

SELASA, 14 MARET 2017 09.00-21.00 WIB

Pembukaan | Pameran Akbar Arsitektur | Penerbitan Majalah ARÇAKA | Donor Darah dan Cek Kesehatan Gratis

jadwal kegiatan

portia

KAMIS, 16 MARET 2017 09.00-21.00 WIB

Lomba Minat Bakat (Maket dan Mural) dan Pameran Akbar Arsitektur

Lomba Minat Bakat (Sketsa dan FotograďŹ ) dan Pameran Akbar Arsitektur

SENIN, 13 MARET 2017 09.00-21.00 WIB

SABTU, 18 MARET 2017 09.00-21.00 WIB

Presentasi Lomba Desain, Workshop Sketsa, dan Pameran Akbar Arsitektur

Seminar Nasional dan Pameran Akbar Arsitektur

rabu, 15 MARET 2017 09.00-21.00 WIB

jumat, 17 MARET 2017 09.00-21.00 WIB

tempat kegiatan


pengabdian masyarakat

01

“MARINGI KASARASAN KAWILUJENGAN”

02 penerbitan majalah arçaka

“BERKACA DARI NEGERI SEBRANG”

Minggu, 12 Maret 2017 Jogja National Museum Majalah Arçaka merupakan majalah ilmiah populer Arsitektur UAJY. Dalam Sepekan Arsitektur 2017, Majalah Arçaka akan menerbitkan Arçaka #8 yang mengambil lokasi ekspedisi di Singapura.

Minggu, 12 Maret 2017 08.00-12.00 WIB Jogja National Museum

12-18 maret 2017

Sepekan Arsitektur 2017 akan dibuka dengan pengabdian masyarakat berupa kegiatan donor darah dan cek kesehatan gratis.

pameran akbar arsitektur

“ K O L AT E R A L ”

03

Minggu, 12 Maret 2017 - Sabtu, 18 Maret 2017 09.00-21.00 Jogja National Museum

04 LOMBA MINAT BAKAT

Dengan tema “Kolateral”, Pameran Akbar Sepekan Arsitektur 2017 berupaya menyadarkan masyarakat akan jati diri mereka yang kental dengan lokalitas.

“MANUNGGAL”

Senin, 13 Maret 2017 - Selasa, 14 Maret 2017 09.00-15.00 Jogja National Museum & Kotagede

SEMINAR NASIONAL “ PA M AWA S ”

Sepekan Arsitektur 2017 mengadakan lomba sketsa, fotografi, maket, dan mural dengan tema "Manunggal"

05

Rabu, 15 Maret 2017 07.00-16.00 Auditorium Kampus II UAJY Seminar Nasional bertema "Pamawas", Tema ini melihat arsitektur dari berbagai sudut pandang atas dasar lokalitas yang mulai ditinggalkan.

06

calon pembicara *) Dalam tahap konfirmasi

lomba desain nasional

Kamis, 16 Maret 2017 09.00-15.00 Jogja National Museum Sepekan Arsitektur 2017 mengadakan lomba desain yang bertujuan agar mahasiswa tanggap akan pentingnya pasar tradisional bagi kesejahteraan masyarakat.

Andra Matin*

Achmad Tardiyana*

“ Y E N PA S A R I L A N G K U M A N D H A N G E ”

workshop sketsa

Eugenius Pradipto

07

“ K O M U N I TA S K A N D A N G K A R YA ”

Kamis, 15 Maret 2017 15.00-21.00 Jogja National Museum Workshop sketsa merupakan kegiatan puncak komunitas Kandang Karya Arsitektur UAJY yang bergerak dibidang seni menggambar arsitektural maupun non arsitektural.

08 TALK SHOW

“ N G AY O G YA K I TA ”

STAGE OF ARCHITECTURE “ R U PA K A R YA ”

09

Sabtu, 18 Maret 2017 16.00-22.00 Jogja National Museum SOA merupakan panggung pertunjukkan sebagai penutup serangkaian acara Sepekan Arsitektur 2017.


/POINT /CAMPUS / CAMPUSNEWS NEWS

DISKUSI STARS

JALANI AJA DULU

P

ada Jumat 23 September 2016, Biro Cerdis (Ceramah dan Diskusi) Himpunan Mahasiswa Arsitektur Triҫaka UAJY mengadakan diskusi mengenai mata kuliah STARS (Studio Arsitektur) yang mengangkat tema ‘Jalani Aja Dulu’. “Acara ini bertujuan untuk menanggapi keluhan-keluhan kita sesama mahasiswa mengenai mata kuliah STARS yang selama ini dianggap sebagai ‘momok’ dalam studi di Arsitektur. Oleh karena itu, kami mengundang beberapa pembicara yang dapat menjelaskan serta menjawab keluh kesah kita sebagai mahasiswa,” ucap Stela selaku ketua panitia menjelaskan alasan diadakannya acara tersebut. Diskusi ini diisi oleh dua pembicara utama yaitu Pak Adityo yang mewakili tim dosen STARS serta Donatus Respati yang merupakan alumni arsitektur UAJY. Pak Adityo menjelaskan mengenai fungsi mata kuliah STARS sebagai tempat berdiskusi, membangun wawasan, membentuk mental, serta sebagai cerminan dari hasil pembelajaran mata kuliah yang lain. Sementara Donatus Respati lebih bercerita mengenai pengalamannya saat masih menjalani mata kuliah STARS dan pengaruhnya terhadap kehidupan profesional

58 ARÇAKA #7 | DECEMBER 2016

Text by Christian Pratama Putra Photos by Gilang Pidianku

bahwa passion, ability, dan prospek merupakan hal yang penting. Ia juga memberi masukan tentang pentingnya added velue dalam desain arsitektur. Selain itu, acara ini juga menghadirkan dua pemenang STARS Award yaitu Dhanni Novianto dengan project Studio dan Pelatihan Animasi sebagai pemenang STARS 4, dan Alvian Imantaka dengan project Tempat Pengolahan Sampah sebagai pemenanang STARS 6. Mereka menceritakan mengenai desain mereka masingmasing yang terpilih menjadi pemenang STARS Award. “Dengan mengundang dosen, alumni, serta para pemenang STARS Award, kami berharap agar semua yang mendengarkan dapat menjalani studio dengan rasa senang dan lebih bergairah lagi. Itulah mengapa kami mengusung tema ‘Jalani Aja Dulu’ yakni agar semua percaya bahwa apa yang kita lakukan di Studio sekarang akan bermanfaat bagi kehidupan profesional kita di kemudian hari,” tambah Stela.


/POINT / CAMPUS NEWS

WELCOME PARTY ARCHITECTURE 2016

WELPARCH 2K16 Pada hari Sabtu, 24 September 2016, Biro Architecture Sport and Music Hima Triçaka menyelenggarakan acara Welcome Party Architecture atau biasa disingkat Welparch. Tujuan utama dari Welparch adalah menyambut mahasiswa baru Program Studi Arsitektur UAJY angkatan 2016. “Welparch tahun ini mengangkat konsep yaitu mempererat hubungan kekeluargaan antara mahasiswa baru dengan kakak tingkat, serta memberi gambaran agar mahasiswa baru angkatan 2016 berpikiran bahwa kuliah di jurusan arsitektur itu tidak semengerikan yang mereka kira,” ujar Anjas, ketua panitia Welparch 2016. Welparch kali ini dimulai pukul 13.00 WIB di area parkir belakang. Hujan yang mengguyur sejak pagi tak mengurungkan niat para panitia dan peserta untuk melangsungkan kegiatan tersebut. Tahun ini tercatat sebanyak 160 peserta mengikuti Welparch yang dibagi menjadi kelompok kecil dan dibimbing oleh Pendamping Kelompok (PK), yang masing-masing mengarahkan anggotanya untuk mengikuti game-game yang telah dipersiapkan biro-biro Hima Triçaka. Pada tahun ini Welparch dibuat sedikit berbeda dengan tahun lalu. Jika tahun lalu Welparch hanya sebatas mempererat hubungan kekeluargaan saja, kali ini panitia Welparch menambahkan doktrin dengan tujuan utama memberi gambaran tentang sisi bahagia kuliah di Arsitektur, sehingga pemikiran para mahasiswa baru tidak tegang

Text by Dhanni Novianto Photos by DOKSI HIMA

terlebih dahulu. “Acara Welparch sudah bagus, dilihat dari tujuannya untuk mengenalkan angkatan 16 dirasa cukup berhasil. Untuk promosi proker dan komunitas juga sudah baik, dilihat dari antusias angkatan 16 yang mendaftar lebih banyak setelah acara Welparch. Kendalanya hanya hujan yang menjadikan acara inti kurang tersampaikan dengan baik walaupun juga sudah mengena,” ungkap Gabriella, salah satu pengurus harian dari Hima Triçaka. Para peserta pun tampak menyampaikan antusiasnya. “Acaranya mengejutkan selain dapat pengalaman juga teman baru. Sayangnya kendalanya yaitu tempat yang kurang nyaman karena hujan,” ungkap Johan, salah satu mahasiswa baru angkatan 2016. “Awalnya sih rasanya malas dan ngantuk apalagi kami harus hujan-hujan, ya walaupun pada akhirnya dapet pengalaman dan sharing yang mampu merangkul dengan baik,” kata Eli, salah satu mahasiswa baru Angkatan 2016. Walaupun hujan merupakan kendala utamanya, Welparch 2016 berjalan dengan meriah. “Harapan untuk Welparch tahun depan untuk semakin lebih baik, seru dan pastinya tetap pada tujuan utama yaitu mengakrabkan hubungan maba dan kakak tingkatnya.” ujar Anjas, ketua panitia Welparch 2016. Acara diakhiri dengan ucapan selamat datang bagi mahasiswa baru angkatan 2016 dan pertunjukan musik yang meriah.

ARÇAKA #7 | DECEMBER 2016 59


/POINT //CAMPUS CAMPUSNEWS NEWS

KMTA WISWAKHARMAN

B E R K U N J U N G

Pada hari itu, di pagi yang cerah Universitas Atma Jaya Yogyakarta kedatangan beberapa mahasiswa yang memakai korsa berwarna merah yang kemudian disambut oleh Hima Triçaka selaku tuan rumah Prodi Arsitektur Universitas Atma Jaya. Mereka adalah KMTA Wiswakharman, himpunan mahasiswa Prodi Arsitektur Universitas Gadjah Mada Yogyakarta (UGM). Menjalin relasi silaturahmi antarhimpunan merupakan tujuan dari kunjungan yang diadakan pada Sabtu, 15 Oktober 2016, dan juga dimaksud untuk mengenalkan satu sama lain anggota dan bagaimana program kerja masing-masing himpunan. Kunjungan ini diawali dengan presentasi program himpunan yang dilakukan oleh ketua himpunan dari masing-masing Universitas yang membicarakan tentang sejarah himpunan, anggota, program kerja per biro divisi himpunan, dan tanya jawab, serta mempromosikan acara Sepekan Arsitektur kepada mahasiswa UGM. Kemudian dilanjutkan sesi sharing per biro divisi, di mana suasana pada sesi ini cenderung lebih rileks dengan membentuk grup kecil yang memiliki minat akan bidang yang sama, membahas sekilas mengenai bagaimana keseharian masing-masing dalam pembelajaran arsitektur maupun seputar lingkup himpunan.

60 ARÇAKA #7 | DECEMBER 2016

Text by Diah Hanityasari Photos by Gilang Pidianku; Welly Yaptianto

Setelah sesi sharing selesai, dilakukan acara touring Kampus II Gedung Thomas Aquinas Atma Jaya, dimulai dari lantai 4 yang merupakan lantai khusus untuk kelas pembelajaran mahasiswa Prodi Arsitektur Atma Jaya. Dilanjutkan ke lantai 3 terdapat ruang TGA dan Auditorium yang biasa digunakan untuk acaraacara besar seperti seminar, pameran, dan lain-lain. Selanjutnya turun ke lantai 2, di lantai ini tersedia ruang LAD yang digunakan untuk mata kuliah yang memerlukan penggunaan software seperti dialux, ecotect, autocad, dll. Selanjutnya berpindah ke lantai 1 melewati ruang tata


/POINT / CAMPUS NEWS

usaha dan ruang dosen, kemudian turun ke basement terdapat kantin, Audiovisual, Student Lounge, ruangruang yang khusus digunakan untuk Prodi Teknobiologi dan Teknik Sipil, lalu kembali ke lantai 1 yang berakhir di Lobby kampus II Atma Jaya. “Oke banget! Selebrasinya keren-keren banget kalian, terus sampai tour-tour juga sampai dikenalin sama alumni juga. Kami merasa welcome sama kunjungan hari ini. Untuk sarannya pertahankan kualitas aja sih, udah keren, semoga skita saling mempererat tali silaturahmi juga,” ungkap Savira Azaria, anggota KMTA Wiswakharman, mengenai kunjungan pertama ke Universitas Atma Jaya Yogyakarta. Pada akhir dari kunjungan kali ini dilakukan sesi foto bersama dan jabat tangan. Semoga kunjungan kali ini memiliki dampak positif bagi masing-masing himpunan dan dapat mempererat tali silaturahmi KMTA Wiswakharman dan Hima Triçaka. Sampai jumpa di kunjungan selanjutnya, teman-teman KMTA Wiswakharman.

ARÇAKA #7 | DECEMBER 2016 61


/POINT /CAMPUS / CAMPUSNEWS NEWS

PAMERAN LINTAS GENERASI

MEMPERSATUKAN LIDI, MEMBANGKITKAN MEMORI Pada 6 Oktober 2016, Program Studi Arsitektur Universitas Atma Jaya Yogyakarta tepat berusia 35 tahun. Sebuah rangkaian kegiatan diadakan di Kampus II Gedung Santo Thomas Aquinas dalam rangka perayaan Lustrum VII Prodi Arsitektur Universitas Atma Jaya Yogyakarta dengan mengangkat tema besar “Lakon Lidi” sebagai sebuah wujud syukur dan refleksi selama 35 tahun berkarya. Salah satu kegiatan dalam rangkaian perayaan Lustrum VII adalah Pameran Lintas Generasi yang berlangsung pada 18-22 Oktober 2016. Alur pameran dimulai dari lobby dan berakhir di auditorium lantai 3 sebagai pusat kegiatan Lustrum VII. Dengan berdasar pada tema besar “Lakon Lidi”, Pameran Lintas Generasi mengusung konsep mempersatukan “lidi-lidi”, yaitu warga Prodi Arsitektur UAJY dalam bentuk pameran karya yang membangkitkan memori dunia arsitektur lama, terutama bagi alumni. Upaya membangkitkan memori dilakukan dengan penggunaan meja gambar arsitek sebagai pengganti beberapa panel board untuk menampilkan karya. Meja gambar sebagai panel board ini menjadi daya tarik tersendiri dalam pameran. Karya yang ditampilkan dalam pameran sendiri

62 ARÇAKA #7 | DECEMBER 2016

Text by Elisse Johanna T. Photo by Gilang Pidianku

berupa instalasi, maket, ilustrasi, lukisan, karya fotografi dan karya desain arsitektural baik dari dosen, alumni maupun mahasiswa aktif. Salah satu karya yang ditampilkan adalah instalasi “Lakon Lidi” karya Tim Pameran Lustrum VII dengan Arsvitananto Wijaya, alumni TA-UAJY angkatan 2001 sebagai konseptor. Wujud instalasi berupa 3 pilar, masing-masing terbentuk dari 5 kubus yang ditumpuk secara vertikal. Tiap pilar dibungkus dengan kertas roti dan di dalamnya terdapat sapu lidi yang membentuk siluet jika dilihat dari luar serta memancarkan cahaya kuning dan biru. Di sekitar pilar terdapat 35 cikal yang diletakkan di atas besi tulangan penyangga. Penataan pilar dan cikal menyesuaikan posisi pilar Triçaka, pola lantai dan struktur waffle ruang lobby. Kegiatan pameran ini mendapat respon yang sangat positif dari berbagai pihak. Terbukti dari antusiasme dosen, alumni dan mahasiswa dalam mengirimkan karya untuk ditampillkan dalam pameran sehingga tercatat lebih dari 53 orang mengirimkan karya. Selain itu, selama Lustrum VII berlangsung tampak tidak hanya dosen dan mahasiswa arsitektur yang menikmati pameran, tapi juga dari fakultas lain, terutama warga Kampus II UAJY.


/POINT / CAMPUS NEWS

HIGH-RISE BUILDING INTERNAL COMPETITION

PROSES ADALAH KUNCI

Text by David Jeffry Nasir Photo by DOKSI HIMA

Batam merupakan kota yang memiliki kedekatan geografis dengan Singapura, hal ini menjadikan Batam sebagai salah satu akses utama masyarakat Indonesia maupun Singapura dalam bidang perdagangan dan bisnis. Berkaitan dengan hal itu, Program Studi Arsitektur Universitas Atma Jaya Yogyakarta bekerja sama dengan PT. Sketsa Mega Integra yang merupakan biro konsultan arsitektur yang berdomisili di Batam menantang arsitek muda maupun calon arsitek muda dari Universitas Atma Jaya Yogyakarta untuk berkompetisi dalam perancangan mix-use building berupa ruko, hotel dan apartemen di Kota Batam. Andy Kurniawan, owner PT Sketsa Megah Integra yang juga seorang alumni Prodi Arsitektur Universitas Atma Jaya Yogyakarta bersemangat untuk kembali ke Kampus Universitas Atma Jaya untuk memberi kesempatan dan inovasi bagi adik-adik tingkatnya. Sayembara dimulai dengan pendaftaran yang di mulai dari 1 Juni 2016 hingga 2 September 2016, pada waktu ini juga diadakan briefing sayembara yang terbuka bagi seluruh calon peserta. Para peserta briefing terlihat sangat antusias hingga mengelilingi Pak Andy saat penjelasan mengenai existing site. Lalu karya yang telah diterima diseleksi melalui penjurian internal yang dilakukan oleh beberapa dosen, hasilnya 10 tim terbaik diumumkan pada tanggal 10 September 2016. Perjuangan belum selesai, seluruh

tim yang sudah lolos penjurian internal diminta untuk melanjutkan pengerjaan design hingga detail untuk diseleksi lagi menjadi 5 besar. Akhirnya, mereka diundang untuk mempresentasikan karyanya pada penjurian terbuka pada tanggal 15 Oktober 2016. Juri internal yang hadir adalah Ir. Djoko Istiadji, M.Sc., Bld.Sc, Ir. MK Sinta Dewi, M.Sc. serta principal dan owner PT Sketsa Megah Integra namun digantikan oleh Pius Honggo Wijoyo S.T. selaku perwakilan sementara. Penjurian berlangsung dengan sangat menarik, masing-masing tim mempresentasikan karyanya dengan menarik dan antusias, dewan juri juga memberi tanggapan dan lontaran pertanyaan yang cukup pedas, hingga peserta terakhir membawakan konsep brilliant seluruh audience di dalam ruang Student Lounge itu terdiam. Akhirnya setelah juri berdiskusi, juara diumumkan saat puncak acara Lustrum ke-7 Prodi Arsitektur UAJY dengan urutan sebagai berikut: 1. The Quays (Yulius Duta Prabowo, Christophorus Hasto, Sigit Prayogo), 2. Green Stacko (Titus Pandu Wismahaksi, Maria Nersiartista Putri), 3. Fresh One (Rifky Muhammad Ramadhan, Christopher Bahana W., Alfian Rombe, M. Ade Setiawan Bakri).

ARÇAKA #7 | DECEMBER 2016 63


/POINT /CAMPUS / CAMPUSNEWS NEWS

SEMINAR NASIONAL SCAN #7

KESELARASAN BUDAYA DAN GLOBALISASI

Text by Gabriella Sudi Dwiyanti Photos by DOKSI HIMA

Seminar Nasional SCAN (Sustainable Culture, Architecture, and Nature) yang ke-7 kembali digelar di Auditorium Kampus 2 Universitas Atma Jaya Yogyakarta pada hari Kamis, 20 Oktober 2016. Kali ini Seminar Nasional SCAN #7 mengangkat tema “The Lost World” karena melihat isu kearifan lokal serta budaya dan lingkungan yang mulai terabaikan akhir-akhir ini akibat globalisasi dan efisiensi. Terdapat 3 konteks utama yang diambil, phylosophical advances in integrating culture, architecture and nature; days of future past policies in achieving environmentally sustainable design; practical endeavor in harmonizing local wisdom, technology and built environment; di mana ketiganya membahas tentang hubungan antara budaya dengan teknologi yang memiliki keterkaitan erat. Tahun ini Seminar Nasional SCAN #7 mengundang 3 pembicara. Yang pertama sebagai perwakilan dari Universitas Atma Jaya Yogyakarta yaitu Lucia Asdra Ludwiarti mengatakan “Pemikiran filosofis mengenai kearifan lokal dan ilmu pengetahuan modern yang mampu menjamin keberlanjutan, kebudayaan, arsitektur dan alam.” Kemudian Pak Gede Kresna mewakili seorang praktisi dari Bali menjelaskan bahwa secara teknis

64 ARÇAKA #7 | DECEMBER 2016

kearifan lokal dan ilmu pengetahuan modern sebenarnya dapat berkolaborasi dengan baik. Yang ketiga Abdullah Azwar Anas yang memegang jabatan Bupati Banyuwangi sebagai perwakilan dari pemerintah, berbagi cerita tentang kota Banyuwangi yang mulai tertata dengan baik. Menurut Gregorius Agung Setyonugroho selaku penanggung jawab Seminar Nasional SCAN #7, kali ini tema yang diangkat lebih menekankan ke ruang terbuka hijau karena perkembangan kota saat ini kurang teratur, “Kita lihat Kota Yogyakarta sendiri masih memiliki ruang terbuka hijau yang minim, oleh karena itu topik kali ini sangat relevan sekali.” Untuk Seminar Nasioanl SCAN #8 mendatang akan mengambil tema “Putting ECO DNA in Our Kids”, yang membahas tentang pendidikan akan kesadaran dan keberlanjutan lingkungan hidup (environmental and sustainable educational) yang harus ditanamkan sejak dini. Dengan tema yang memiliki keterkaitan dengan tema Seminar Nasional SCAN sebelumnya, diharapkan dapat mendidik dan mengajak masyarakat untuk melestarikan alam dengan perilaku yang sadar dan ramah lingkungan.


/POINT / CAMPUS NEWS

PENGABDIAN MASYARAKAT

PENGHIJAUAN KAMPUS

Text by Aldea Febryan Photos by DOKSI HIMA

Pada tanggal 21 Oktober 2016, lapangan lilin dipenuhi 35 mahasiswa Program Studi Arsitektur Universitas Atma Jaya Yogyakarta. Dalam rangkaian perayaan Lustrum VII, siang itu berlangsung kegiatan penanaman tanaman pada dinding sepanjang parkiran belakang kampus Thomas Aquinas. Kegiatan ini dipilih sebagai salah satu pengabdian untuk masyarakat Atma Jaya Yogyakarta. Untuk mengemas kegiatan ini agar lebih menarik dan tetap arsitektural, maka dibuatlah sebuah permainan. 35 mahasiswa yang datang dibagi menjadi tiga grup dan mereka akan berlomba untuk mengkomposisikan tanaman yang ada dalam waktu 30 menit. Permainan yang terinspirasi dari pembelajaran Studio Arsitektur 1 dinilai oleh salah satu alumni tahun 1996 yaitu Mas Gorgom. Beliau menilai berdasarkan kecepatan, kerapian dan konsep. Setelah 30 menit ketiga kelompok tersebut mempresentasikan karyanya satu persatu. Konsep yang ditawarkan ketiga kelompok tersebut berbeda-beda. Kelompok pertama menawarkan diagram warna yang di mana semakin ke dalam warna tanaman tersebut semakin kuning. Kelompok kedua menggunakan hirarki dengan filosofi tumbuhan. Sedangkan kelompok yang

ketiga menggunakan organisasi radial. Tidak lama kemudian juri sudah menemukan pemenangnya, yaitu kelompok kedua yang diketuai oleh Stepha Gabriella. Dalam kegiatan ini tidak hanya untuk merayakan acara Lustrum VII. Akan tetapi, penghijauan dinding parkiran ini menjadi contoh untuk KPSP (Kantor Pemeliharaan dan Sarana Prasarana). Dinding parkiran belakang dipilih karena semakin meningkatnya kendaraan yang parkir menjadikan lahan menyempit. Sehingga penghijauan kampus sudah dalam ranah penghijauan secara vertikal. Jika kegiatan ini berhasil, nantinya akan diteruskan kembali oleh pihak KPSP. Sehingga, parkiran belakang kampus Thomas Aquinas akan hijau dan mampu menyeimbangkan polusi yang berasal dari kendaraan yang parkir di sana. “Semoga saja setiap event kampus yang berlangsung akan ada kegiatan penghijauan seperti ini. Sehingga suasana kampus hijau akan tercipta seperti jaman dahulu yang masih banyak ruang-ruang hijau di area kampus�, sahut Bapak Nino selaku ketua kegiatan pengabdian Lustrum VII.

ARÇAKA #7 | DECEMBER 2016 65


/POINT //CAMPUS CAMPUSNEWS NEWS

TALKSHOW DAN SARASEHAN

BERBAGI KISAH Dalam rangka Lustrum ke-7, Program Studi Arsitektur Universitas Atma Jaya Yogyakarta menyelenggarakan acara talkshow dan sarasehan bersama dengan alumni. Acara ini dilaksanakan sebagai wujud syukur Prodi Arsitektur UAJY yang sudah menghasilkan lidi-lidi yang sudah sukses di masyarakat, dihadirkan ‘kembali lagi ke rumah’ untuk berbagi pengalaman dengan peneruspenerusnya kelak. Talkshow diadakan pada 19 Oktober 2016, sedangkan sarasehan diadakan pada 21 Oktober 2016. Kedua acara ini merupakan bagian dari rangkaian Pameran Lakon Lidi yang diberi tajuk ‘berbagi kisah’. Talkshow dilaksanakan dengan pembicara Yuli Sri Hartanto dari angkatan 2001 dan Yoshi Fajar Kresno Mukti dari angkatan 1994. Keduanya berprofesi sebagai arsitek dengan latar belakang yang berbeda. Yuli Hartanto, menyampaikan pembahasannya dengan judul “Benang Merah”. Yuli, menganalogikan benang merah yang dianggap sebagai penghubung menjadi penghubung perjalanannya selama ini dalam menapaki profesi sebagai arsitek, mulai dari kehidupannya selama menjadi mahasiswa – pengalaman bekerja – dunia kerja. Sementara itu, Yoshi Fajar memulai pembahasannya dengan mengutip salah satu judul buku karangan Ben Anderson: “Keluar dari Tempurung”. Yoshi mengajak setiap mahasiswa untuk tidak hanya memahami

66 ARÇAKA #7 | DECEMBER 2016

Text by Chrispina Yovita & Christian Pratama Photos by DOKSI HIMA

arsitektur hanya di dalam lingkup arsitektur saja, melainkan mau untuk keluar dan belajar bersama orangorang yang memiliki lintas disiplin dan latar belakang yang berbeda agar seorang arsitek nantinya akan lebih peka terhadap berbagai situasi. Menurutnya, komunikasi adalah proses paling penting dalam mendesain untuk mendapatkan solusi dari suatu permasalahan desain. Sedangkan pada acara sarasehan diisi oleh Ben Sarasvati dari angkatan 1999 dan Bima Adhitya dari angkatan 2003. Ben meceritakan proyek-proyeknya sebagai arsitek dimulai dari semasa kuliah, magang hingga dapat mendirikan bironya sendiri, yaitu Kusa Architect. Lain halnya dengan Bima Ahitya yang tidak berprofesi sebagai arsitek, namun seorang wedding photographer yang mengaku tidak menyesal telah mengenyam pendidikan arsitektur walaupun profesinya kini bukan sebagai arsitek. Bima malah merasa bersyukur pernah kuliah di bidang arsitektur karena mendapat banyak ilmu yang berguna dalam profesinya yang sekarang dan tidak akan ia dapatkan jika berkuliah dalam bidang fotografi. Sarasehan ini dihadiri beberapa alumni: Nelson Liaw, Rabani Kusuma Putra, Yuli Sri Hartanto, Yudi Pranata dan beberapa alumni yang turut memeriahkan sarasehan ini. Mereka semua menginginkan acara sarasehan seperti ini dilangsungkan lebih sering lagi agar mahasiswa dan alumni dapat lebih intens dalam berbagi ilmu.


/POINT / CAMPUS NEWS

GATHERING LUSTRUM VII Pada tanggal 22 Oktober 2016 di Auditorium Kampus 2 Universitas Atma Jaya Yogyakarta berlangsung acara Gathering serta penutup dari serangkaian acara Lustrum VII UAJY. Acara yang dihadiri kurang lebih 250 orang ini bertujuan untuk melakukan refleksi bersama mengenai apa yang harus ditingkatkan lagi terhadap Prodi Arsitektur dan juga menjalin kerja sama antara alumni dengan mahasiswa, maupun alumni dengan dosen. Acara itu dimeriahkan oleh kedatangan alumni Universitas Atma Jaya Yogyakarta berbagai angkatan. Dimulai dari pembukaan dan sharing pengalaman antara dosen, alumni dan para mahasiswa yang hadir. Dosen dan Alumni menceritakan pengalaman mereka baik yang bersangkutan dengan bidang arsitektur maupun tentang pengalaman kerja mereka setelah lulus dari Arsitektur Universitas Atma Jaya Yogyakarta. Kemudian dilanjutkan dengan acara ramah tamah yang dibarengi dengan makan malam dan pentas seni yang menampilkan tarian dari mahasiswa. Dalam acara Gathering ini tampak mahasiswa angkatan 2016 yang sedang duduk di tengah auditorium untuk melakukan sketsa sepanjang acara berlangsung. Hal itu berhubungan dengan tugas mata kuliah Presentasi Arsitektur. Hal itu bertujuan mengingatkan bahwa sketsa merupakan langkah awal bagi setiap perancang dalam memulai menuangkan imajinasinya. Baik arsitek maupun

Text by Dhanni Novianto Photos by DOKSI HIMA Desainer, keduanya akan selalu memulai sebuah langkah menuangkan imajinasi melalui sketsa. Acara semakin meriah saat penampilan musik dari G-Five, penonton tampak antusias menyaksikan penampilan dari awal hingga akhir walaupun ditengah penampilan mereka terdapat kendala arus listrik yang tiba-tiba mati. Selain penampilan musik, kembali hadir penampilan dance dari ACDC dan tarian dari beberapa mahasiswa. Beragam penampilan yang berasal dari mahasiswa itu membuktikan bahwa mahasiswa Arsitektur UAJY memiliki ketertarikan dan kelebihan masing-masing. Memasuki penghujung acara adalah saat pengumuman dari pemenang kompetisi sayembara High-Rise Building yaitu tim dari The Quays yang beranggotakan Yulius Duta Prabowo, Christophorus Hasto dan Sigit Prayogo. Sekitar pukul 21.00 acara ditutup dengan penampilan musik dari mahasiswa dan dosen. Momen menarik dan mengundang perhatian seluruh hadirin di ruangan tersebut adalah saat penampilan dari band Dosen, mulai dari gitaris, drummer, pianis dan penyanyi semuanya adalah dosen dari Fakultas Teknik Universitas Atma Jaya Yogyakarta. Tentunya acara Gathering ini dapat mempererat kekerabatan, kekeluargaan serta tali silaturahmi antara mahasiswa, alumni dan dosen.

ARÇAKA #7 | DECEMBER 2016 67


/POINT / ARCHITECTURAL EVENTS

FESTIVAL ARSITEKTUR INDONESIALAND

ARSITEKTUR PARIPURNA INDONESIA

Text and photos by Chrispina Yovita

Festival Arsitektur Indonesialand diselenggarakan di Selasar Sunaryo pada 2 September - 2 Oktober 2016. Festival arsitektur yang diselenggarakan oleh SAGI Architects ini terdiri dari beberapa rangkaian acara, salah satunya adalah pameran arsitektur yang bisa dibilang sebagai yang terbesar di Indonesia karena melibatkan hingga 30 arsitek, akademisi, komunitas, pemerintah kota hingga seniman ternama seperti: Baskoro Tedjo, Andra Matin Architect, Studio Akanoma, Pemerintah Kota Bandung, Atelier Cosmas Gozali, Eugenius Pradipto, RAW Architects hingga Atelier 6 Arsitek yang legendaris. Salah satu display yang menarik perhatian saat pameran yaitu “Kampung (Susun) Kota” karya Studio Akanoma. Yang membuat display ini menarik adalah selain membuat panel berisi deskripsi karya, Studio Akanoma juga menyertakan maket dan prototype Kampung (Susun) Kota yang dapat dinaiki pengunjung. Karya ini mendapat respon yang cukup ramai dibicarakan oleh banyak pihak karena mengangkat isu permukiman yang sedang booming akibat maraknya isu penggusuran di daerah ibukota. Terlebih lagi Yu Sing, principal Studio Akanoma dinilai gencar dalam mempublikasikan karya ini melalui Facebook dan Instagram.

68 ARÇAKA #7 | DECEMBER 2016

Selain mewadahi pameran arsitektur, Indonesialand juga mengadakan berbagai rangkaian acara seperti workshop, diskusi serta sayembara arsitektur “Aku Arsitek Indonesia”. Menjelang penutupan Festival Arsitektur Indonesialand diadakan presentasi 5 besar sayembara arsitektur dan pengumuman pemenang sayembara arsitektur “Aku Arsitek Indonesia” yang mengangkat arsitektur Indonesia melalui isu lokalitas. Festival ini ditutup dengan diskusi Curator’s Talk. Sarah M. A. Ginting, pendiri SAGI Architects sekaligus kurator pameran Indonesialand, dalam kurasinya mengatakan bahwa ikhtiar yang ingin dikembalikan Indonesialand adalah mengarsitekturkan manusia dan memanusiakan arsitektur – bahwa Indonesialand dapat merepresentasikan arsitektur paripurna Indonesia. Indonesialand juga menjadi wadah bagi para peserta pameran untuk menyumbangkan gagasannya sebagai sebuah proyeksi realitas arsitektur Indonesia saat ini untuk mendapatkan berbagai solusi sebagai keputusan rancangan di tengah segala latar belakang permasalahan yang ada di Indonesia pada era ini.


/HALAMAN IAI DIY

DIALOG ARSITEK ISTIMEWA

RANCANG KOTA JOGJA ISTIMEWA

Text by Chrispina Yovita and Aldea Febryan Photos by Chrispina Yovita

Dalam rangka acara HUT IAI ke-57, IAI DIY menyelenggarakan acara talkshow bertajuk “Dialog Arsitek Istimewa” yang memperbincangkan arsitektur, arsitek dan hubungannya dengan kota Yogyakarta pada 22 November 2017. Acara ini bekerja sama dengan stasiun televisi TVRI Yogyakarta. Talkshow ini dibagi menjadi tiga segmen yang dimoderatori oleh Ketua IAI DIY, Ahmad Saifudin Mutaqi, IAI. Segmen pertama memperbincangkan “RUU Arsitek, Arsitektur dan MEA” dengan pembicara Endy Subijono, IAI, AA, wakil presiden ARCASIA dan DR. A. B. Susanto dari The Jakarta Consulting. Pada segmen ini audience disadarkan bahwa Indonesia perlu segera menetapkan undang-undang yang mengatur kinerja arsitek sebagai standar untuk bersaing dalam pasar global MEA. Segmen kedua membahas topik “Rancang Kota Jogja Istimewa” dengan pembicara Drs. Tavip Agus Rayanto sebagai perwakilan Bappeda DIY, DR. Ing. Gregorius Sri Wuryanto, P. U. mewakili Kaprodi Arsitektur UAJY serta Imelda Akmal, arsitek dan penulis buku. Dalam kesempatan ini Imelda Akmal mengatakan bahwa Yogyakarta memiliki modal kreativitas yang tumbuh

dalam masyarakatnya. Beliau juga mencoba memberikan contoh pembanding dari beberapa negara yang dianggap sebagai creative city. Untuk mewujudkan creative city, arsitek memiliki peran yang penting di dalamnya. Akan tetapi, hingga saat ini profesi arsitek belum banyak dikenal baik oleh masyarakat. Paradigma yang mengatakan bahwa arsitek hanyalah untuk kalangan menengah ke atas juga dapat menjadikan masyarakat tidak bisa cukup mengenal para arsitek. Sehingga tugas dari arsitek juga harus turut mengajak masyarakat untuk bekerja sama bersamanya agar masyarakat dapat mengenal arsiteknya lebih baik. Segmen terakhir membahas isu yang lebih serius, yaitu mengenai pembangunan kota dan permukiman berbasis transportasi dengan pembicara Prof. Dr. Tech. Ir. Danang Parikesit, M.Sc. dan M. Sani Roychansyah, S.T., M.Eng., D.Eng. dari UGM dan Ir. Suparwoko, MURP, Ph.D., IAI dari UII yang juga sekaligus menjadi perwakilan dari IAI. Pada kesempatan ini dipaparkan bawa untuk mencapai kota yang efektif, perlu sistem transportasi yang efektif pula untuk menunjang aktivitas masyarakat.

ARÇAKA #7 | DECEMBER 2016 69


/POINT /ARCHITECTURAL EVENT BAMBOO BIENNALE

HOPE 2016 Bulan Oktober 2016 menjadi agenda penting untuk event Bamboo Biennale 2016 bertemakan HOPE yang merupakan kelanjutan dari Bamboo Biennale 2014 “BORN”. Pameran Bamboo Biennale 2016 berlangsung selama tiga minggu pada 8-30 Oktober 2016, terdiri dari pameran instalasi bambu yang kembali diadakan di Benteng Vastenburg Solo dan pameran produk interior dari bambu yang diadakan di lantai 2 Gedung Barat Pasar Gede Solo. Bamboo Biennale 2016 “HOPE” dilambangkan memasuki fase “rebung” yang merepresentasikan tumbuh kembang secara mandiri dan kesiapan di usia muda untuk memberikan manfaat bagi banyak orang. Sesuai dengan tema yang diangkat, Bamboo Biennale tahun ini ingin menumbuhkan harapan agar nilai kearifan lokal dari bambu dapat terus dilestarikan. Acara ini juga menjadi sarana bagi masyarakat dari berbagai daerah untuk mengembangkan kreativitasnya terkait dengan

70 ARÇAKA #7 | DECEMBER 2016

Text by Elisse Johanna Tandyo Photos by Gilang Pidianku

pemanfaatan bambu dalam berbagai bidang seperti instalasi, seni kriya, produk furniture dan shelter. Bamboo Biennale menampung aspirasi dan harapan masyarakat terhadap bambu sehingga bambu sebagai salah satu potensi budaya yang mencerminkan lokalitas dan ciri tradisional dapat terus mengalami perkembangan hingga menjadi material lokal yang universal dan dapat dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan. Perwakilan Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) sebagai lembaga pemerintah pendukung acara Bamboo Biennale, Hari Santosa Sungkari menyebutkan bahwa pemanfaatan bambu dapat ikut meningkatkan pendapatan daerah dan semakin menumbuhkan kemandirian di bidang kreatif sehingga dapat menjadi sumber kekuatan untuk meningkatkan perekonomian di Indonesia. Bamboo Biennale 2016 “HOPE” diikuti oleh arsitekarsitek ternama yang menyumbang beragam ide desain terkait dengan bambu sesuai karakteristik desain mereka


#bbulet karya Studio Akanoma, salah satu desain shelter dalam Bamboo Biennale 2016

Para pengunjung menikmati acara dengan berfoto pada Bamboo Biennale 2016

masing-masing. Salah satunya yaitu karya #bbulet dari Studio Akanoma. #bbulet, singkatan dari bambu yang ulet (kuat atau gigih) merupakan desain shelter berupa alternatif penginapan ekologis yang sederhana, murah dan mudah dibangun sendiri. Dengan bentuk seperti penjual bilik bambu keliling, #bbulet menjadi simbol ketekunan dan kegigihan masyarakat kecil dalam bertahan hidup serta menumbuhkan harapan agar kehidupan warga menengah ke bawah dapat lebih terjamin. Struktur #bbulet sendiri menggunakan bambu bulat dengan dinding berupa anyaman bilik bambu 2 lapis yang di bagian tengahnya dipasang plastik agar tidak bocor. Selain diikuti arsitek ternama, antusiasme penduduk lokal dapat dirasakan dalam rangkaian acara Bamboo Biennale 2016 “HOPE�. Pameran instalasi bambu di Benteng Vastenburg hampir setiap hari ramai oleh pengunjung dari Solo dan daerah-daerah sekitarnya.

Banyak pengunjung menikmati pameran dengan mengabadikannya dalam bentuk foto, menikmati suasana serta bermain dengan beberapa karya instalasi. Selain itu, kegiatan pameran juga dimeriahkan oleh seni pertunjukan dari 5 kecamatan di Solo setiap malam Minggu selama pameran berlangsung sehingga penduduk lokal terus berpartisipasi aktif dalam meramaikan acara Bamboo Biennale 2016.

ARÇAKA #7 | DECEMBER 2016 71


/STUDENT WORKS /COMPETITION

WIYATA BUDAYA SARANA EDUKASI DAN PANGGUNG RAKYAT Yogyakarta, Indonesia

Konsep

Denah

LOKASI TAPAK OPEN SPACE

Sebuah ruang sebagai tempat komunal untuk berbagai golongan masyarakat dan komunitaskomunitas sosial serta sebagai prasarana rekreasi yang edukatif.

72 ARÇAKA #7 | DECEMBER 2016

ELEVATED PLATFORM

Panggung di aplikasikan kepada massa bangunan agar bangunan terhindar dari kelembapan tanah dan tidak mengurangi area resapan pada tapak. Pembagian zona secara vertikal juga diterapkan untuk efektifitas ruang.

LESS STAIRS - RAM

Penggunaan ramp sebagai utama pada bangunan agar pengguna segala umur h


MENGAPA YOGYAKARTA?

Yogyakarta, kota yang mendapatkan julukan sebagai “Kota Budaya” dan “Kota Pelajar” ini menjadi salah satu pusat perhatian bagi masyarakat luar Yogya untuk datang ke kota ini. Namun, segala keistimewaan di atas pada realita sekarang hanya menjadi sebuah ironi. Julukan ‘Kota Pelajar’ dan ‘Kota Budaya’ tidak relevan dengan apa yang terjadi sekarang. Kasus-kasus seperti tawuran antar kelompok pelajar, degradasi karakter muda, tindak kejahatan (klitih) serta pembangunan hotel dan mall yang semakin menjamur menjadi stakeholder dari semua ironi tersebut.

First Project by DA.LANG studio

Konsep Utama

ART AS ENLIGHTENMENT

Panggung Rakyat Komunitas Kreatif CULTURE INTERNALIZATION

Prasarana Edukasi

sirkulasi vertikal dapat akses oleh hingga difabel.

Pengenalan

Pengajaran

Pengaplikasian

Panggung Rakyat

Prasarana Edukasi

Komunitas Kreatif

respon atas mengembalikan pembangunan nilai-nilai bangsa

p Massa

MP MORE

CREATIVE COMMUNITY

LESS BORDER

Mengurangi penyekat-penyekat ruang yang masif agar tercipta kualitas visual dan sirkulasi udara antar ruang yang baik serta memaksimalkan interaksi sosial antar pengguna.

memicu aksi posi f

aspirasi warga

meningkatkan moralitas

kri kan untuk pemerintahan

menghargai mengop malkan kemajemukan SDM lokal

melestarikan budaya

ELEVATED ROOF

Memberikan jarak antara atap dengan dinding pembatas, dimaksudkan untuk memperkuat hubungan ruang luar dengan ruang dalam serta menjadi ventilasi pasif.

ARÇAKA #7 | DECEMBER 2016 73


Elemen Tapak

Ground

nataan Massa

en Tapak

Administrasi

Eunoia

Elevated Pedestrian

Penataan Massa

Rencana Desain

Penataan Massa Denah

Denah Lt.1

1

11 .

trasi

ncana Desain

3

Service

Ruang Guru

Administrasi

oia

13

2

3

Service

Ruang Guru

Rencana Desain

Mandala

6

Denah Lt.2,5

Denah Lt.1

Mandala

4

5

13

3

1 Penampungan Air Air 1 Penampungan

5

5

2 Lounge

4

2 Lounge

3 Taman Serapan

13

13 12

3 Taman Serapan 4 Parkiran Mobil Denah Lt.1,5 4 Parkiran Mobil Motor 5 Parkiran

8

7

12

9

6 Ruang Transit 5 Parkiran Motor

24 10

24 25

14

20 23

Kamar Penjaga 6 Ruang7 Transit

20

8 Panggung Serbaguna

7 Kamar Penjaga

9 Kamar Mandi

22 21

14

23

25

Denah Lt.1,5

22 Denah Lt.3

2

21

4

10

13 Kursi Penonton

26 15

16

15 Panggung Nostalgia

U

26

13 Kursi 16Penonton WC 17 Lt.2 Dapur 14 Denah Panggung Pameran

18 Panggung Gamelan

15 Panggung Nostalgia

26

17

27

26

Denah Lt.2

8 Panggung Serbaguna 10 Jalur Kendaraan 9 Kamar11 Mandi Panggung PKL 15Panggung Eunoia 10 Jalur 12Kendaraan 11 Panggung PKL 14 Panggung Pameran 17Eunoia 16 12 Panggung

Denah Lt.3

10

Panggung Nostalgia

19 Panggung Administrasi

16 WC 20 Panggung Diskusi 17 Dapur21 Jalur Kendaraan

28

Denah Lt.3,5

22 Ruang Alat Kebersihan 18 Panggung Gamelan 23 Ruang Kesehatan 19 Panggung Administrasi

28

27

24 Perpustakaan Terbuka

20 Panggung Diskusi

25 Kamar Mandi / WC

21 Jalur 26 Kendaraan Ruang Kelas

Denah Lt.3,5

27 Alat Tempat Ibadah 22 Ruang Kebersihan

18

28 Kesehatan Panggung Pengajar 23 Ruang

29

29 Panggung Diskusi

24 Perpustakaan Terbuka

19

25 Kamar Mandi / WC Jalur Kendaraan 18 29 74 ARÇAKA #7 | DECEMBER 2016 19

12

Legenda: Legenda:

Denah Lt.2,5

11

11

Panggung Nostalgia

2 4

26 Ruang Kelas 2710Tempat Ibadah 28 Panggung Pengajar 29 Panggung Diskusi

14


nggung Eunoia

Panggung Eounia

Panggung Eunoia Eunoia Panggung

Panggung Eunoia

Area Kelas

Material

seng bekas

insulator

s s

botol bekas

Area SerbagunaArea Membaca

Area Membaca Membaca Area

anyaman bambu

Area Serbaguna Serbaguna Area kayu bekas

Area Membaca Panggung Diskusi

Arsitektur sejatinya bukan hanya sebuah perwujudan fisik bangunan namun pencerminan dari pola pikir serta tradisitradisi lokal yang digambarkan dalam suatu tatanan spasial.

Ar Ar Area Serbaguna ban ban

Dalam hal ini Wiyata Budaya berusaha menjadi contoh dari perwujudan sejati arsitektur itu sendiri. Bukan hanya sebagai bangunan saja, namun suatu ruang yang memberikan nilai-nilai kehidupan.

Ruang Nostalgia

Ruang Nostalgia Nostalgia Ruang

anyaman ba anyaman ba

Panggung Diskusi Diskusi Panggung

ARÇAKA #7 | DECEMBER 2016 75

Dal Dal


/STUDENT WORKS /RESEARCH

MALIOBORO SEBUAH PENDEKATAN TERHADAP WAJAH DAN IDENTITAS KOTA JOGJA

Text by Yoseph Duna S Photos by Gilang Pidianku

“Sebuah kota selalu memiliki tempat yang menjadi identitas diri serta menunjukkan cermin jati dirinya. Ya, Malioboro-lah yang sampai saat ini menjadi ‘jantung’ kota Yogyakarta. Nama Malioboro sudah eksis sampai ke berbagai penjuru tempat, bahkan dulunya Malioboro adalah tempat yang paling diminati oleh turis yang datang ke Indonesia.”

76 ARÇAKA #7 | DECEMBER 2016

Meskipun di masa sekarang Malioboro secara fisik hanya mencangkup persimpangan rel kereta api hingga simpang empat Jalan Suryatirajan, namun banyak saksi sejarah yang menyebutkan bahwa Malioboro adalah perwujudan sumbu spiritual yang telah digariskan sejak masa Pangeran Mangkubumi (Sultan Hamengkubuwono I) yang membentang dari Gunung Merapi hingga pantai Parangkusumo, yang dikenal mitosnya sebagai gerbang istana Nyi Roro Kidul. Adanya sumbu ini menunjukkan bahwa kota Yogyakarta terbangun dengan adanya pemikiran-pemikiran semesta kosmologis Jawa yang sangat mendalam, bukan hanya angan-angan. Pada masa terbentuknya kota, selain Sultan, pihak Belanda juga berkeinginan untuk menduduki pusat kota. Tepat di sebelah utara simpang 4 di depan Keraton telah berdiri kediaman resmi residen tangsi militer. Upaya Belanda mendirikan kubu di depan Keraton adalah untuk mempertahankan Keraton serta untuk mengawasi gerakgerik Sultan dan orang-orang di sekitarnya. Di sekitarnya pun mulai terbangun loji. Loji adalah sebutan untuk pemukiman orang-orang Belanda. Loji Ageng, tempat garnisen (tantara) Belanda berkubu. Loji Kebon, tempat kediaman residen yang dikelilingi taman. Dan Loji Kecil, tempat kediaman perwira militer di sebelah timur Loji Ageng. Ketiga loji ini tempatnya saling berdekatan dan


Para pejalan kaki menikmati suasana malam hari pada Jalan Malioboro

dapat dijangkau dengan mudah karena masih ada dalam satu wilayah yang sama. Jogja mulai terlihat kembali pembangunannya pada peralihan abad IX ke XX sebagai akibat dari kehadiran komunitas Eropa swasta dalam jumlah besar akibat dari liberalisasi ekonomi di negara asalnya pada tahun 1870. Dulunya, hampir tidak terlihat fasilitas publik dan layanan pada kawasan Malioboro karena sebelumnya orang-orang Belanda yang menetap di Indonesia hanya didominasi oleh kalangan militer sehingga yang mereka butuhkan hanyalah perumahan dinas sebagai hunian dengan kelengkapan fasilitas yang seadanya. Di antara bangunan publik pertama yang mempengaruhi kebanyakan masyarakat adalah stasiun kereta api, sehingga perkembangan stasiun kereta api di Yogyakarta sendiri sangat pesat. Stasiun pertama yang dibangun adalah Stasiun Lempuyangan (1872). Karena banyaknya minat masyarakat di era itu, maka dibangunlah stasiun kedua dengan nama Staats Spoonwage yang terletak di sebelah selatan Tugu sehingga berubah nama menjadi Stasiun Tugu pada tahun 1887. Dilihat dari gaya bangunan, perancang stasiun ini lebih mengutamakan kehadiran ungkapan monumental seperti di Eropa, yaitu dengan langgam Neo Klasik. Ciri yang langsung terlihat ialah pada fasad bangunan dihiasi dengan

Stasiun Tugu Yogyakarta

ARÇAKA #7 | DECEMBER 2016 77


4 kolom dorik yang masif dilengkapi dengan pelipitpelipit bersusun. Pada fasad juga terdapat plengkung yang menjadikan komposisi bentuk muka bangunan menyerupai bangunan Gedung Agung. Fasad kedua bangunan mungkin diserupakan untuk menunjukkan keterkaitan antara kedua bangunan tersebut lantaran banyak pejabat Belanda yang datang dengan kereta dan kemudian melakukan perjalanan sepanjang Malioboro ke Gedung Agung. Hingga kini, bangunan-bangunan tersebutlah yang menjadi cerminan utama wajah kota Yogyakarta selain Tugu Yogyakarta sendiri, Keraton dan Benteng. Dahulu Malioboro dipenuhi oleh seniman-seniman yang karyakaryanya selalui menghiasi wajah kota. Wajah yang atraktif dan nyentrik dengan pusat perbelanjaan yang nyaman sebagai ruang hunian inilah yang membuat Malioboro menjadi target wisata bagi wisatawan mancanegara. Namun sekarang semuanya terasa telah sirna. Banyak orang dan pengunjung mengatakan Jogja tak sama seperti dahulu. Kini di Jogja serba mahal dan masyarakatnya tak lagi seramah yang dibicarakan. Malioboro telah menjadi

78 ARÇAKA #7 | DECEMBER 2016

tempat yang padat dan semrawut, itulah yang sering dikatakan oleh turis dan pendatang yang dulunya juga pernah datang ke Jogja. Walaupun telah mengalami beberapa kali pembenahan namun rasanya masih ada yang kurang karena sifat kota sebagai ruang hidup warga, kota yang estetis dan sebagai ruang niaga tidak lagi terlihat. Arsitek jelas memiliki peran yang besar terhadap masalah ini. Bagaimana para perancang menggambarkan wajah kota ini ke depannya sangat mempengaruhi masa depan wajah kota Yogyakarta, apakah Jogja akan kembali atau menjadi kota yang tak lagi memiliki identitas. Solo, saudara kembar Jogja terasa lebih mempertahankan identitas dan wajah kotanya. Namun kita masih dapat bernafas lega Karena nampaknya pemerintah mulai kembali memperhatikan kondisi sang jantung kota Jogja, yaitu Malioboro dengan mencanangkan pedestrianisasi di kawasan Malioboro melalui adanya pembatasan kendaraan bermotor serta dengan adanya ruang parkir kendaraan yang dikhususkan. Mari bersama-sama kita menjaga apa yang masih tersisa dan membangun kembali wajah serta identitas kota Jogja yang sempat hilang.

Suasana kawasan Malioboro pada siang hari


Architecture has to be greater than just architecture. It has to address social values, as well as technical and aesthetic values.

Samuel Mockbee

2004 AIA Gold Medal Award

ARÇAKA #7 | DECEMBER 2016 79


/ TECHNOLOGY&INNOVATION

WATER SQUARE

SOLUSI MULTIFUNGSI UNTUK “AIR BERLEBIH”

Ilustrasi kondisi Water Square di Rotterdam saat hujan lebat

Courtesy of Next City

80 ARÇAKA #7 | DECEMBER 2016


Text by Elisse Johanna Tandyo Photos from various sources

Kondisi cuaca ekstrim akibat perubahan iklim yang disebabkan oleh fenomena global warming semakin sering melanda Indonesia. Kondisi pagi dan siang hari yang begitu panas tidak menutup kemungkinan turunnya hujan deras pada sore hingga malam hari sehingga menyebabkan banjir di berbagai daerah di Indonesia. Untuk mengatasi banjir yang sering melanda, Indonesia dirasa perlu belajar dari negeri Belanda yang sudah hampir selama keberadaannya terus “dikelilingi air� akibat kondisi geografis negaranya yang berpermukaan rendah (below sea level) dengan 20% wilayah dan 21% populasinya berada di bawah permukaan air laut. Kondisi Belanda dengan permukaannya yang rendah dan kerap dilanda banjir mendorong Belanda untuk terus berinovasi mengatasi permasalahan air. Salah satu inovasi yang muncul adalah pembuatan Water Square atau Sponge Park Water Square di Rotterdam, kota terbesar kedua di Belanda yang berada pada ketinggian 6 meter di bawah permukaan air laut dengan populasi 620.000 penduduk. Sponge Park Water Square merupakan alunalun multifungsi yang terletak pada ketinggian lebih rendah dari jalan, paving pepohonan dan taman. Sesuai dengan namanya, alun-alun ini berfungsi sebagai ruang publik (taman bermain dan olahraga) dan dapat berubah fungsi sebagai tempat penampungan air raksasa yang dapat menampung air hingga 1.700.000 liter. Sponge Park Water Square dibangun karena keberadaan Rotterdam yang masih rawan banjir, terutama saat musim gugur yang sering turun hujan deras, akibat dikelilingi langsung oleh air pada keempat sisinya.

ARÇAKA #7 | DECEMBER 2016 81


/ TECHNOLOGY&INNOVATION

Sponge Park Water Square: Public space sekaligus tempat penampungan air

Dalam mendesain Sponge Park Water Square, Pemerintah Rotterdam bekerja sama dengan De Urbanistan dengan melibatkan warga Rotterdam. Water Square ini memiliki tiga cekungan yang menampung sekaligus menyalurkan air. Dua dari 3 cekungan tersebut merupakan basin dangkal yang berfungsi untuk mengumpulkan air setiap kali turun hujan, sedangkan satu cekungan yang dalam menerima air hanya saat hujan turun secara terus-menerus. Cekungan ini menerima air dari area yang lebih luas di sekitar alun-alun. Saat hujan, air hujan akan disalurkan melalui stainless steel gutters ke tiga cekungan tersebut. Sponge Park Water Square juga dilengkapi oleh rain well dan water wall yang berfungsi untuk mengalirkan air hujan secara terlihat ke dalam cekungan alun-alun. Rain well berfungsi untuk membawa air dari bangunan-bangunan terdekat menuju ke gutter. Water wall berfungsi untuk membawa air menuju ke cekungan yang paling dalam. Setelah hujan, air dari dua cekungan yang dangkal mengalir ke sebuah

82 ARÇAKA #7 | DECEMBER 2016

Rain well


Water wall

Stainless steel gutters

alat penyerapan bawah tanah dan dari sini, air meresap kembali ke air tanah secara bertahap sehingga keseimbangan air tanah dapat terjaga saat musim panas atau kering. Hal ini membantu menjaga pepohonan tan tanaman kota untuk tetap berada pada kondisi yang baik dan membantu mengurangi efek urban heat island. Pada saat tidak menampung air, cekungancekungan tadi memiliki fungsi yang berbedabeda. Cekungan pertama yang paling dangkal berfungsi sebagai area bersepeda atau bermain skateboard. Cekungan kedua berbentuk seperti “pulau� dengan dasar lantai mengkilap berfungsi sebagai area jogging dan bermain. Sedangkan cekungan ketiga yang paling dalam berfungsi sebagai lapangan olahraga seperti sepak bola, voli dan basket yang dikelilingi oleh area duduk untuk penonton.

ARÇAKA #7 | DECEMBER 2016 83


/ TECHNOLOGY&INNOVATION

Bird eye view dari Sponge Park Water Square

Selain multifungsi, Sponge Park Water Square juga memiliki nilai estetika tinggi. Setiap entrance ke Water Square dilengkapi dengan taman berupa rumput-rumput tinggi dan wildflower yang dirancang untuk semakin mempertegas keindahan pohon-pohon existing. Taman ini “dibingkai” dengan pembatas dari beton setinggi standar tempat duduk. Selain itu, terdapat permainan warna untuk membedakan fungsi masing-masing elemen. Bagian yang menampung air dicat dengan warna biru dan bagian yang mengalirkan air terbuat dari stainless steel yang mengkilap. Warna-warna ini memperkuat elemen-elemen alam yang hadir pada Sponge Park Water Square. Inovasi ruang publik yang berfungsi sekaligus sebagai penampung air ini sudah mulai diterapkan di berbagai kota yang sering mengalami masalah banjir, seperti Ho Chi Minh City (Vietnam), New Orleans (Amerika Serikat), bahkan di Bandung (Indonesia). Proyek danau retensi berkonsep hampir serupa dengan Sponge Park Water Square sudah mulai berjalan untuk mengatasi banjir di berbagai daerah di Bandung. Water Square terbukti menjadi inovasi multifungsi yang efektif diterapkan pada berbagai kota di berbagai belahan dunia.

84 ARÇAKA #7 | DECEMBER 2016

“The Dutch have lived below the sea level for centuries and are used to dykes and barriers. But today we’re experiencing heavier and more unpredictable rainfalls, so behind the barriers we’re turning the city into a sponge.” – Alexandra van Huffelen (Rotterdam’s vice mayor in charge of sustainability)


Referensi

Kondisi Water Square di Rotterdam yang tergenang air setelah hujan lebat Courtesy of De Urbanisten

Braw, E. (2013, November 18). The Guardian. Retrieved Februari 4, 2017, from Guardian Sustainable Business: https://www.theguardian. com/sustainable-business/ rotterdam-flood-proof-climatechange De Urbanisten. (n.d.). De Urbanisten Projects. Retrieved Februari 4, 2017, from Water Square Benthemplein: h t t p : / / w w w. u r b a n i s t e n . n l / wp/?portfolio=waterpleinbenthemplein Novitasari, R. D. (2015, April 20). Holland Writing Competition 2015. Retrieved Februari 4, 2017, from http://hwc2015.nvo.or.id/082bukan-sponge-bob-square-pantstapi-sponge-park-water-square/

Entrance area dengan taman yang dibingkai dengan area duduk

ARÇAKA #7 | DECEMBER 2016 85


/ANJANGSANA /JEJAK ARSITEKTUR

MASJID PATHOK NAGORO AD-DAROJAT BABADAN PENINGGALAN FISIK “NEGARA” YOGYAKARTA Text by Elisse Johanna Tandyo Photos by Gilang Pidianku

86 ARÇAKA #7 | DECEMBER 2016


Masjid Pathok Nagoro Ad-Darojat Babadan merupakan salah satu Masjid Kagungan Dalem Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat yang terletak di Kecamatan Banguntapan, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Pathok nagoro berasal dari bahasa Jawa: pathok artinya pancang atau tonggak dan nagoro artinya negara sehingga pathok nagoro dapat diartikan sebagai tonggak batas fisik negara. Masjid Pathok Nagoro AdDarojat Babadan merupakan bagian dari kawasan pathok nagoro Yogyakarta yang memiliki nilai-nilai sejarah tinggi dan keberadaannya sejak zaman pra-kolonialisme Belanda masih bertahan hingga saat ini. Sejarah Kawasan Masyarakat Yogyakarta merupakan masyarakat yang mudah meleburkan budaya lokal dengan berbagai jenis budaya yang masuk. Hal inilah yang mengawali terbentuknya kawasan pathok nagoro. Perkembangan kawasan pathok nagoro telah dimulai sejak sebelum pengaruh Islam berkembang di Indonesia. Pola bentuk kawasan pathok nagoro bermula dari pengaturan ruang simbolik kepercayaan Hindu Kuno yang disebut mancapat yaitu sistem klasifikasi simbolis ruang yang membagi kawasan ke dalam 4 penjuru mata angin dengan satu titik pusat. Pada waktu itu, belum ada batas fisik yang menandai kawasan. Batas-batas kawasan ditentukan

hanya berdasarkan pamor penguasa yang menduduki kawasan tersebut. Pengaturan ruang berdasarkan mancapat diyakini mampu menjamin keberlangsungan hidup masyarakat Yogyakarta. Perkembangan kawasan pathok nagoro selanjutnya dipengaruhi oleh berdirinya Keraton Yogyakarta yang merupakan pemisahan dari Kerajaan Mataram Islam akibat Perjanjian Giyanti pada tahun 1755. Setelah berdirinya keraton, Sri Sultan Hamengkubuwono I memberikan tanah perdikan (daerah yang dibebaskan dari kewajiban membayar pajak) kepada tokoh Islam bernama Kyai Nur Iman. Tanah perdikan tersebut menempati keempat kawasan yang belum memiliki batas fisik dari sistem mancapat tadi. Kyai Nur Iman kemudian mengembangkan tanah perdikan menjadi sentra pendidikan agama Islam dan berkembang menjadi permukiman para santri. Setelah Sultan HB I wafat, Sultan HB II membangun masjid di masing-masing penjuru tanah perdikan pada tahun 1723-1819. Masjidmasjid inilah yang kemudian berfungsi sebagai batas kerajaan (pathok nagoro) wilayah Keraton Yogyakarta, meliputi Masjid Pathok Nagoro di Dusun Mlangi sebagai batas barat, Desa Plosokuning sebagai batas utara, Desa Dongkelan sebagai batas selatan dan Desa Babadan sebagai batas timur.

Provinsi Jawa Tengah

Kabupaten Kulonprogo Kabupaten Sleman

Masjid Mlangi Masjid Agung Kauman (Pusat) Masjid Nurul Huda (Dongkelan)

Masjid Sulthoni Plosokuning

Kota Yogyakarta

MASJID AD-DAROJAT BABADAN

Kabupaten Bantul Kabupaten Gunung Kidul

Pembagian masjid-masjid pathok nagoro dengan sistem mancapat sebagai batas kawasan Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Masjid Pathok Nagoro Ad-Darojat Babadan merupakan pathok atau batas bagian timur.

ARÇAKA #7 | DECEMBER 2016 87


/ANJANGSANA /JEJAK ARSITEKTUR Masa Lalu Masjid Babadan Setelah dibangunnya masjid pathok nagoro di Desa Babadan pada tahun 1774, kawasan Babadan yang awalnya hanya berupa hutan dengan sedikit permukiman mengikuti kontur sungai kini semakin padat dengan permukiman penduduk. Di bawah kekuasaan Keraton, rumah-rumah penduduk dibangun dengan Masjid Pathok Nagoro Babadan (waktu itu belum bernama Ad-Darojat Babadan) sebagai pusatnya. Selain sebagai pathok yang membatasi wilayah Keraton, masjid juga berfungsi sebagai alat pertahanan Keraton dari serangan pihak luar dan menjadi pusat aktivitas masyarakat Desa Babadan. Masjid menjadi tempat ibadah, tempat penyiaran agama Islam, tempat melaksanakan pengadilan agama seperti perkara cerai, dan sekaligus sebagai kantor penghulu. Masjid Pathok Nagoro Babadan mulai mengalami perubahan sejak tahun 1942 pada masa penjajahan Jepang di Indonesia. Saat itu, pemerintah Jepang akan memperluas landasan udara Bandara Adisutjipto Yogyakarta hingga mencapai Wonokromo. Perluasan ini melewati Desa Babadan sehingga kawasan tersebut harus bersih dari permukiman penduduk. Bangunan masjid pathok nagoro Babadan akhirnya dipindahkan ke

wilayah “Babadan Baru� yang berada di sebelah timur Pasar Kolombo Yogyakarta. Keseluruhan bangunan dipindahkan hingga menyisakan bagian pondasi bangunan saja. Pada tahun 1945, Jepang tidak lagi berkuasa di Indonesia dan perluasan landasan udara dibatalkan. Sebagian penduduk kembali ke Desa Babadan. Namun, pamong Desa Babadan menjual tanah-tanah desa sehingga status kepemilikan tanah di kawasan Babadan tidak lagi menjadi milik Keraton. Meleburnya Keraton Yogyakarta (yang sebelumnya merupakan negara sendiri) dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia mengakibatkan kawasan Babadan tidak lagi berada di bawah kekuasaan Keraton. Hanya tanah bangunan masjid yang berada di bawah kekuasaan Keraton. Permukiman mulai tumbuh kembali dan pada tahun 1965, seorang warga Babadan bernama Ad-Darojat mengusulkan pembangunan kembali Masjid Babadan dengan memanfaatkan pondasi yang tersisa dari Masjid Babadan lama dan akhirnya nama masjid saat ini menjadi Masjid Pathok Nagoro Ad-Darojat Babadan.

Pintu masuk beberapa rumah penduduk berbatasan langsung dengan Masjid Pathok Negoro Ad-Darojat Babadan setelah permukiman penduduk tumbuh kembali tahun 1945.

88 ARÇAKA #7 | DECEMBER 2016


Bangunan Masjid Masjid Pathok Nagoro Ad-Darojat Babadan berdiri di atas lahan seluas 120 m2 dengan elemen pembentuk masjid yang sama dengan Masjid Kagungan Dalem Keraton lainnya yaitu bangunan masjid, ruang terbuka dan makam. Bangunan masjid, yang telah mengalami perubahan sesuai kebutuhan dan perkembangan zaman, kini tampak sama seperti masjid-masjid modern dengan material berupa beton dan kayu. Bangunan utama masjid memiliki komposisi bujur sangkar sederhana dan berbentuk bangunan joglo yang disokong oleh 4 soko guru setinggi 7 meter dan beralaskan batu umpak. Pada bagian atap terdapat kubah khas Keraton yaitu berbentuk menyerupai nanas dari bahan perunggu sebagai pengganti kubah tanah liat lama yang sudah termakan usia. Bentuk kubah ini masih mengikuti paugeran (tatanan dasar) yang telah ditetapkan sejak masjid-masjid pathok nagoro pertama kali dibangun. Bentuk ini memiliki makna mengarah atau menuju ke Atas (ke arah Tuhan). Selain bangunan utama, terdapat pula peninggalan masjid Babadan lama berupa ruang wudhu yang sekarang sudah diperbarui dan serambi masjid yang dulunya merupakan kolam masjid. Ruang terbuka masjid berada di bagian depan dan sekarang berfungsi sebagai tempat parkir masjid dan akses masuk utama ke beberapa rumah penduduk. Sedangkan makam berada di bagian belakang masjid.

U

Ruang Utama Masjid Makam Masjid

Halaman Masjid

akses masuk

Teras Masjid Serambi Masjid

Skema Tata Ruang Masjid Pathok Negoro Ad-Darojat Babadan

Ruang Wudhu Masjid Pathok Negoro Ad-Darojat Babadan

Serambi Masjid

ARÇAKA #7 | DECEMBER 2016 89


/ANJANGSANA /JEJAK ARSITEKTUR

Kubah asli dari tanah liat

Empat soko guru yang menopang bangunan

Batu umpak berukir sebagai alas soko guru

90 ARÇAKA #7 | DECEMBER 2016


Masjid Ad-Darojat Babadan Kini Saat ini Masjid Pathok Nagoro Ad-Darojat Babadan masih berada di bawah kekuasaan Keraton. Masjid dijaga oleh Ta’mir, tokoh keagamaan setempat yang memperoleh pengetahuan mengenai sejarah masjid secara turun-temurun. Masjid ini masih memegang peranan penting dalam kegiatan ibadah bagi umat Islam dan menjadi tempat untuk menyelenggarakan kegiatan rutin yang diadakan oleh Keraton seperti kegiatan Kajian Ilmu Qathis, Festival Pathok Nagoro dan lain-lain. Kawasan di sekitar Masjid sudah tidak lagi berada di bawah kekuasaan Keraton dan tidak terikat oleh aturan-aturan membangun yang terkait dengan Masjid. Meskipun demikian, axis yang terbentuk oleh jalan menuju Masjid tetap bertahan atau dengan kata lain, tidak ada bangunan yang berdiri di depan masjid. Pola yang terbentuk di kawasan sekitar Masjid tetap menjadikan Masjid sebagai pusat dan bangunan-bangunan berupa rumah penduduk mengelilingi Masjid. Sejarah panjang Masjid Pathok Nagoro AdDarojat Babadan menjadikan masjid ini sebagai salah satu bangunan tertua di Yogyakarta, meskipun telah mengalami beberapa kali perubahan dan renovasi dengan mengikuti perkembangan zaman sehingga bentuk fisik bangunan menjadi seperti sekarang ini. Masjid Pathok Nagoro, terutama Masjid Ad-Darojat Babadan, menjadi bukti nyata peninggalan bersejarah di Yogyakarta pada era modernisasi yang masih bertahan mendapatkan pengaruh dari beragam kepercayaan kuno yaitu pengaruh Hindu dan Islam.

Kawasan sekitar Masjid Ad-Darojat Babadan

Salah satu rumah dekat Masjid Ad-Darojat Babadan

Material tradisional kayu yang dominan

Referensi

Depari, C.D.A. 2014. Membaca Ruang Arsitektur dari Masa ke Masa. Yogyakarta: PT Kanisius & Laboratorium Perencanaan & Perancangan Lingkungan & Kawasan Prodi Arsitektur Fakultas Teknik UAJY. Masjid Pathok Negoro Ad-Darojat Babadan. https://teamtouring.net/ masjid-pathok-negoro-ad-darojat-babadan.html. Diakses 23 Desember 2016.

ARÇAKA #7 | DECEMBER 2016 91


/ANJANGSANA / FENOMENA&LIFESTYLE

INDONESIAN SKETCHER

JOGJA DALAM SKETSA Text by Yoseph Duna S Photos by Gilang Pidianku

92 ARÇAKA #7 | DECEMBER 2016

Proses livesketching pada salah satu kegiatan rutin IS Jogja


Bermula di Jakarta, IS atau Indonesian Sketcher didirikan oleh Ibu Atita dan Bapak Dhar Cedhar dari komunitas Urban Sketcher. IS sendiri merupakan sebuah kelompok atau komunitas yang didirikan sebagai wadah berbagi cerita, pengalaman melalui karya live sketch atau sketsa langsung. IS yang dipelopori oleh kedua orang ini mulai aktif semenjak tahun 2009. Seiring berjalannya waktu, keberadaan IS menyebar ke berbagai wilayah di Indonesia seperti Makassar, Bandung, Semarang, Bali, Surabaya, termasuk Yogyakarta. IS Yogyakarta berdiri di tahun 2011 dan diketuai oleh seorang alumni lulusan Universitas Atma Jaya Yogyakarta Prodi Arsitektur, yaitu Bapak Yusuf Rendy. Anggota aktif dari IS Jogja sekitar 20-30 orang yang hadir dalam setiap pertemuan dan berasal dari berbagai kalangan dari mulai siswa SMA, mahasiswa, dosen, bahkan yang sudah berkeluarga sekalipun. Ada yang sejak bergabung memang sudah mahir mensketsa, tetapi tidak sedikit pula yang mulai dari nol dan mendapat bimbingan dari para senior. Kegiatan rutin bulanan yang dilakukan IS Jogja ada dua, yaitu Sketching and Sharing dan SNSD yang merupakan kepanjangan dari Seneng Nian Sketsa Dadakan. Bedanya adalah jika Sketching and Sharing dilakukan secara terjadwal pada waktu tertentu setiap bulan, SNSD dilakukan secara lebih mandadak ketika ada event tertentu di Jogja seperti pada tanggal 21 Oktober kemarin pada waktu peresmian jalur pedestrian di Malioboro, IS Jogja melakukan pertemuan mendadak untuk melakukan sketsa bersama. Biasanya anggota yang datang lebih sedikit namun kegiatan sketsa tetap berjalan dengan baik dan menyenangkan. Setelah kegiatan mensketsa selesai, para anggota yang tadi menyebar dikumpulkan kembali untuk berbagi cerita dan hasil sketsa yang baru saja dilakukan. Selain dua program rutin tersebut, IS Jogja juga memiliki program lain seperti workshop dan pameran. Semenjak masa berdirinya, IS Jogja sudah mengadakan sebanyak 3 kali pameran yang biasanya berlangsung selama 1-2 minggu dan bertempat di sebuah kafe. Bendabenda yang dipamerkan berupa gambar-gambar hasil sketsa yang diberi bingkai, buku sketsa dan juga alat-alat sketsa. Pameran terakhir dilakukan di bulan April 2016 lalu dan bertempat di Loop Station.

Beberapa sketcher sedang melakukan livesketching pada acara peresmian jalur pedestrian Malioboro

Bapak Yusuf Rendi mengatakan bahwa keasyikan dari kegiatan live sketching ini adalah kita dapat bercerita melalui sketsa, bisa mengamati objek dengan lebih detail, dan dapat berkomunikasi dengan orang-orang sekitar karena ketika kita mensketsa banyak yang tertarik untuk melihat. Melalui komunitas ini, Bapak Yusuf Rendi berharap IS Jogja dapat memperkenalkan Jogja melalui sketsa seperti halnya seorang jurnalis. IS Jogja sangat terbuka bagi siapa saja yang berminat untuk bergabung. Untuk jadwal kegiatan yang akan dilakukan, bisa dicek di media sosial seperti Instagram, Facebook, dan Twitter. Selamat mensketsa!

ARÇAKA #7 | DECEMBER 2016 93


WE WANT YOU! TO BE THE NEXT CONTRIBUTORS FOR OUR NEXT ISSUES

ARÇAKA #8: RETHINKING ARCHITECTURE EDISI SEPEKAN ARSITEKTUR 2017

{ kritik, saran, dan info : majalaharcaka@gmail.com }


ARÇAKA

issue #1

issue #2

issue #3

issue #4

issue #5

issue #6

Scan this barcode for digital version!

ARÇAKA #7 | DECEMBER 2016 95


96 ARÇAKA #7 | DECEMBER 2016


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.