tkh_651_10-16_juli_2011

Page 10

12

Tokoh

10 - 16 Juli 2011

Optimalkan Peran........................................................................................dari halaman 1 Tembang Alam..........................................................................................................................................................dari halaman 1

Ny. Ayu Pastika berkomunikasi dengan salah seorang murid SDN 4 Suana, Nusa Penida

antaranya program bedah rumah bagi masyarakat miskin, membantu para penyandang cacat, pengobatan gratis bagi lansia serta bantuan bagi penderita gangguan jiwa. “Program ini dapat kami laksanakan dengan baik, berkat dukungan dan kerja sama banyak pihak, baik swasta, BUMN, BUMD serta dunia usaha lainnya. Begitu pula komponen masyarakat lainnya yang kami koordinasikan melalui program corporate social responsibility (CSR),” ujar Ny. Ayu Pastika. Salah satu aksi sosial yang dilakukan di Nusa Penida, beberapa waktu lalu, BK3S Bali menggandeng Perhimpuan Indonesia Tionghoa (INTI) Bali, bersama menyerahkan bantuan, berupa 100 paket meja dan kursi belajar siswa dan enam paket kursi dan meja guru di SD 4 Suana, Nusa Penida. Pada kesempatan tersebut Gubernur Bali Made Mangku Pastika sempat meminta para guru di sana agar bekerja lebih keras dan sungguhsungguh mengajar serta mendidik siswanya. Sebab, melalui kerja keras dan kesungguhan mengajar akan melahirkan SDM yang cerdas, pintar, memiliki daya juang tinggi, berani juga kuat menghadapi penderitaan hidup ini. “Tidak ada istilah pamrih atau hitung-hitungan, tidak mudah mengucapkan kata lelah karena mengajar serta mendidik anak itu adalah bagian dari yadnya,” lanjut Ny. Ayu Pastika mengutip sebagian ucapan gubernur dalam kegiatan sosial yang juga dihadiri Ketua INTI Bali Cahaya Wirawan Hadi,

Ny. Ayu Pastika saat menyerahkan bantuan kursi roda kepada Wayan Anteg di Singakerta Ubud

Kadis Sosial Bali I Ketut Susrama, Kepala Sekolah SDN 4 Suana Dewa Gede Watuaya, Ketua Komite SD 4 Suana dan beberapa orangtua murid. Belum lama juga ibu tiga anak yang mudah tersentuh atas penderitaan orang lain ini pun melanjutkan aktivitas sosialnya di daerah Gianyar. Salah satunya di Banjar Dangin Labak, Singakerta, Ubud, Gianyar. Sejumlah warga kurang mampu di wilayah tersebut dan wilayah lainnya mendapatkan bantuan kursi roda. Salah seorang yang mendapatkan kursi roda adalah Wayan Anteg (85), yang selama ini hanya berdiam diri di kamarnya akibat lumpuh. Sementara itu Ny. Ayu Pastika tak kalah trenyuhnya begitu mengetahui banyaknya derita yang menimpa keluarga Wayan Anteg.” Keponakannya Made Sumertini mengidap gangguan jantung. Ada juga saudaranya yang lain menderita katarak,” ujarnya sembari mengatakan akan mengupayakan bantuan operasi katarak serta bedah rumah rumah bagi keluarga Wayan Anteg. Laki-laki usia lanjut itu pun merasa sangat terharu, dengan bantuan Ny. Ayu Pastika, terhadap dirinya hingga ia dapat berakvitas di luar kamar. Ia pun tak dapat menahan airmatanya begitu mengetahui kepedulian yang besar dari Ny. Ayu Pastika pada keluarganya yang lain. Menurut Ny. Ayu Pastika, konsep CSR yang dilaksanakan pelaku usaha selama ini selaras dengan falsafah Tri Hita Karana, mewujud-

kan keharmonisan alam Bali serta jadi panduan masyarakat Bali melaksanakan swadarma-nya masingmasing. “Kami juga biasa terjun langsung memverifikasi kebenaran data rumah tangga miskin yang selama ini perlu bantuan,” ujar Ny. Ayu Pastika sembari menambahkan jika kegiatan dengan konsep CSR telah dilaksanakan sejumlah perusahaan di Bali. Komitmen program CSR juga sudah dilakukan Dirut BPD Bali I Wayan Sudja, yang menyerahkan secara simbolis bantuan bedah rumah untuk 300 keluarga miskin se-Bali kepada Ketua Umum BK3S Bali, Ny. Ayu Pastika, pekan lalu. “Ini adalah realisasi komitmen pengusaha dalam membantu dan mendukung program pemerintah untuk memberikan pelayanan dan mewujudkan kesejahteraan masyarakat,” ucapnya. Di tengah aktivitas sosial yang terus- menerus, istri orang nomor satu di Bali ini, menyatakan akan terus menggugah kepekaan perusahan melalui realisasi CSR sebagai tanggung jawab sosialnya sesuai yang diamanatkan undangundang. Di samping berharap ada respons positif masyarakat lainnya sebagai peluang dan kesempatan berperan secara proaktif dalam pelayanan kesejahteraan sosial di masyarakat. Semua penguatan dari berbagai pihak terhadap lembaga kesejahteraan ini secara simultan, katanya perlu dilakukan untuk mempercepat terwujudnya optimalisasi dan efektifnya layanan BK3S Bali. —ard

Memaknai 24 Jam........................................................................................dari halaman 3 masuk ke Pura Pasupatinath harus mengenakan pakaian seperti orang Muslim yang sedang menunaikan ibadah haji. Karena kami mengenakan pakaian kasual, jadi tidak masuk ke dalam pura. Kami hanya melihat dari luar. Di depan Pura Pasupatinath ada 13 lingga besar tempat pemujaan Mahadewa. Tempat ini biasanya ramai saat hari Siwaratri. Jutaan orang datang ke Pasupatinath untuk melakukan pemujaan Siwa. Saat kami mengunjungi linggalingga tersebut, sedang ada kegiatan syuting acara televisi. Lokasi tersebut dipasangi police line. Untungnya, rombongan pemenang kuis tirtayatra Telkomsel ini masih bisa berfoto di dekat lingga bersama para sadhu. Sadhu adalah orang yang sudah melepaskan diri dari ikatan duniawi. Walaupun ada yang sudah memiliki jabatan tinggi di perusahaan, tetapi kalau ada panggilan jiwa untuk mencari makna aksara mereka akan melepas semua jabatannya. Keluarga akan ditinggalkan untuk memperdalam ajaran spiritual. Namun, jika istrinya ikut, mereka akan bertempat tinggal di ashram untuk melakukan penciptaan-penciptaan spiritual. “Sadhu tidak pernah mandi. Tetapi, badan mereka tidak bau. Rambut yang gimbal pun tak bau. Orang akan berebut untuk mendapatkan restu dari para sadhu,” kata Putu Edi yang juga pemilik SAT Tours. Peserta tirtayatra pun beruntung bisa berfoto dengan para sadhu yang ada di dekat Pura Pasupatinath dan mendapat berkat. Tangan sadhu me-

nyentuh kepala kami dan kami menyentuh kaki mereka. Sebagai punia, kami memberikan koin untuk mereka. Koin-koin ini dikumpulkan untuk disumbangkan lagi ke pura atau ashram. Di depan Pura Pasupatinath juga ada tempat kremasi. Dalam konsep Hindu, saat badan lepas dengan jiwa, kewajiban orang yang masih hidup mengembalikan badan yang mati itu kepada yang punya. Dalam tatanan Panca Maha Bhuta, unsur padat kembali ke padat (dalam hal ini Ibu Pertiwi). Kunci angka Ibu Pertiwi adalah 24 jam. Jadi, kepercayaan masyarakat Hindu di Nepal, sebelum 24 jam, harus diadakan kremasi. Biaya kremasi tidak mahal. Jika dihitung dalam rupiah, tidak akan sampai Rp 100 ribu. Prosesinya sangat sederhana. Mayat dibakar di lokasi yang ada sesuai dengan kasta yang meninggal. Ada kasta Brahmana (paling dekat dengan Pura), lalu Ksatria, Wesya, dan Sudra. Yang paling jauh ada tempat kremasi untuk Candala (orang yang tidak diketahui asal-usulnya). Seringkali kasta Candala inilah yang membantu proses kremasi. Bagi orang kaya, kremasi dilakukan dengan menggunakan kayu cendana. Selesai pembakaran, abu dimasukkan ke dalam kelapa atau tempayan dan dibawa pulang. Jika mayat tidak dikremasi dalam waktu 24 jam, artinya badan yang lepas dari jiwa ini sudah meminjam waktu. Ini harus dikembalikan agar tercipta keharmonisan. Upacara pengembalian ini disebut dengan car atau caru.

Orang yang dekat dengan orang yang meninggal akan menjadi “panitia” upacara pembakaran. Ia mudah dikenali karena mengenakan pakaian serba putih. Setelah upacara selesai, ia akan menggundul kepalanya. Sesampai di rumah, abu tersebut disemayamkan untuk didoakan selama 12 hari agar roh orang yang meninggal mendapat tempat yang sesuai. Bagi orang biasa, doa-doa selama 12 hari hanya melibatkan keluarga. Tetapi, bagi orang kaya, mereka akan mendatangkan para pendeta dan orang-orang suci untuk melakukan doadoa. Di Bali, konsep seperti ini dikenal dengan “ngrorasin”. Roras artinya 12 dalam bahasa Bali. Selama 12 hari ini seharusnya dilakukan pembacaan doa-doa untuk mengantarkan roh orang yang sudah meninggal termasuk menyampaikan permohonan maaf jika ada kesalahan yang pernah dibuat selama ia hidup. Angka 12 ini berkaitan dengan angka suci Brahma sebagai pencipta. Tujuannya, agar dalam reinkarnasi berikutnya mendapat tempat dan kehidupan yang lebih baik. Karena Pura Pasupatinath ini banyak dikunjungi orang-orang yang tirtayatra, pedagang acung pun memanfaatkan kesempatan. Mereka rata-rata fasih berbahasa Inggris untuk menawarkan barangnya. Jika satu pedagang, barangnya dibeli, yang lain akan menuntut agar barangnya dibeli juga. Dari Pura Siwa terbesar, kami melanjutkan perjalanan menuju Pura Changu Narayana sebagai Pura Wisnu tertua di Nepal. –wah

Sanksi Adat.........................................................................................................dari halaman 2 Peran Desa Adat di Penebel Saat perkawinan kita datang beramai-ramai. Pas bercerai tidak ada yang datang. Ini salah kita bersama termasuk masyarakat. Sayangnya, masyarakat kita rasa malunya tinggi. Kalau punya masalah tidak diceritakan. Padahal, masalah bisa dirembukkan dan dicarikan jalan keluar. Di Desa Penebel, desa adat sudah berperan. Yang bermasalah diundang ke banjar. Mereka diajak berembuk bukan untuk memutuskan. Mereka dirukunkan kembali. Nang Tualen

Perceraian perlu Dikenai Sanksi? Perceraian masalah karma. Menurut saya, peran desa adat sudah maksimal. Dalam perkawinan ada dewa saksi dan manusa saksi. Desa adat sudah memberi dukungan. Dalam perceraian, jangankan desa adat, keluarga terdekat saja tidak bisa menahan, karena keputusan terletak pada suami dan istri. Apalagi perbedaan sudah begitu tajam. Saya prihatin angka perceraian di Bali sangat tinggi. Biasanya kalau orang Bali bercerai juga diselesaikan desa adat. Menurut saya, masingmasing desa adat punya kiat tertentu mencegah terjadinya perceraian. Tetapi, kembali lagi pa-

da si pelaku perceraian. Terkadang keluarga terdekat saja memberikan nasihat tidak mempan. Apalagi desa adat yang sudah dalam konteks di luar. Selama ini, kewenangan desa adat sudah dijalankan tetapi belum maksimal dan perlu ditingkatkan. Apa perlu dalam awig-awig dimasukkan mereka yang bercerai dikenai sanksi? Perceraian tidak bisa dipaksakan. Kalau titik temu tidak dipahami, itulah sebab terjadinya perceraian. Tidak ada pasutri yang merencanakan setelah menikah lantas bercerai. Kita tidak bisa mengelola karma karena itu kehendak Tuhan. Syukur kalau perkawinan bisa langgeng sampai tua. Ginawa

Sanksi ’Macaru’ tidak boleh ke Pura Menurut saya, aturan bercerai harus dimasukkan dalam awig-awig untuk mencegah hal yang tidak diinginkan. Pengurus adat juga mempunyai payung hukum yang bisa mengikat masyarakat. Di desa saya kalau bercerai dikenai sanksi beras dan macaru. Apalagi bercerai karena berselingkuh. Dikenai sanksi tidak boleh ke pura. Santha, Ubud

Sulit jika Cinta Monyet Sudah banyak yang me-

nangani persoalan perceraian tetapi sulit. Jarang sekali bisa dirujuk kembali untuk rukun. Apalagi rumah tangga dibangun atas dasar cinta monyet. Kari, Songan

Emansipasi yang Kebablasan Kalau Tuhan saja membenci perceraian mengapa manusia melakukannya. Banyak penyebab terjadi perceraian. Tidak siapnya kedua belah pihak untuk menjalankan perkawinan baik secara lahir, batin, dan finansial. Emansipasi wanita yang kebablasan juga dapat memicu perceraian. Perempuan ke luar pagar sudah berisiko besar. Memberi peluang hal negatif. Kalau bisa mengendalikan diri, hal itu bisa diminimalisir. Dengan kemajuan teknologi dan globalisasi begitu mudah mengakses teknologi informasi sehingga mendekatkan orang yang bisa memicu perceraian. Jawabannya, terletak pada diri kita sendiri. Bagaimana membentengi diri dari hal negatif. Desa adat hanya bisa mengimbau, tidak bisa melarang. Kalau salah satu pihak tidak setuju sampai kapan pun tidak bisa cerai. Peran adat hanya menyadarkan mengapa mereka harus bercerai. Becik

kembali pada masa-masa indahnya dulu. Salah satu lagunya berjudul ‘Alam Rindu’, mengisahkan kerinduannya yang teramat dalam pada sang suami. Namun, ia sadar semua akan sirna, karena tak mungkin bersama lagi, dan hanya bisa dikenang di alam rindu. “Walau Bapak sudah tak ada, namun kasih sayangnya selalu terkenang,” ujar Pridari. Lagu ‘Mimpi’ menceritakan mimpinya melihat bulan berjalan. Konon katanya itu berarti jodoh sudah dekat. Pridari mempercayai itu, mimpi tak sekadar bunga tidur. “Seminggu kemudian, saya menikah dengan Bapak,” ujarnya. Bahkan, pada detikdetik hari bahagia itu, Pridari pun harus berjuang melawan ganasnya ombak pantai Nusa Penida yang harus diseberangi hingga jauh tergerus arus, yang akhirnya sampai pula menuju pelabuhan hatinya yang setia menunggu hingga sore di Kusamba itu. Kenangan itu pun tersurat dalam lagu ‘Harapan’. Lagu lain seperti ‘Musik Padang Rumput’ dan ‘Menghitung Bintang’ lebih banyak menceritakan alam Nusa Penida yang indah, tempat kelahiran ibu Putu Gede Indriawan Karna, Kadek Yogi

Pridari Karna (ketiga dari kiri) bersama sebagian anggota Kharisma Dance

Mawarwati Karna, dan Komang Bayuada Yustiawan Karna ini. Tak kurang dari 50 lirik lagu telah tergores dalam kertas yang ditata rapi. Lagu-lagu berirama tango, salsa, waltz, chacha, balada, rumba, big band swing, country, Melayu, Mandarin, reggae, bahkan lagu rohani itu kini telah terekam dalam empat keping CD sebagai koleksi pribadinya. Ia banyak dibantu Ida Bagus Darnawa dan Ida Bagus Tara dari Griya Pidada Klungkung dalam aransemen lagu-lagunya ini. Juga dukungan teman-teman terbaiknya, Dayu Dani yang juga ikut urun suara dalam lagu-lagunya itu, yang juga tergabung dalam Kharisma

Dance bersama Dayu Indrawati, Endang Minarsih, Inga, Retno, dan Bu Budi. Kharisma Dance ini turut mengiringi tiap penampilan Pridari, salah satunya dalam acara “Mari Berdendang” di Bali TV yang akan ditayangkan, Minggu (17/7). Meski lagu-lagu ciptaan Pridari Karna ini belum ada rencana diluncurkan, toh sudah banyak pihak yang naksir dan meminta izin untuk menyanyikannya. Sesungguhnya, sewaktu bocah Pridari sudah senang menyanyi, namun tak mempunyai keberanian untuk tampil. Ketika menikahi almarhum yang seorang pejabat, para istri kerapkali didaulat menyum-

bangkan suaranya. Mau tak mau Pridari harus tampil ditambah dengan iringan organ yang dipelajarinya dalam waktu dua bulan. Pridari mengaku tak mengalami kesulitan berarti baik dalam mencipta lagu maupun gerak. Alasannya, ia memang memiliki dasar menari. Bahkan, lulusan Akademi Seni Tari Indonesia (ASTI) Denpasar (sekarang ISI) itu, pernah juga dikirim menari dalam misi kesenian, mengisi Pasar Malam Tongtong di Den Haag. Ia juga sempat mengajar khusus anak-anak di sanggar senam irama “Krida Ria” pada tahun 1970an. Sudah menjadi agenda dua bulanan, sanggar ini tampil dalam acara “Arena Anak-anak” di TVRI, lebih dari 10 tahun. “Awalnya, murid kami hanya 16 orang. Selanjutnya berkembang sampai 600 orang,” kisahnya. Tak hanya itu, Pridari juga memiliki seabrek prestasi di bidang tata rias, antara lain Juara I Lomba Tata Rias Pengantin (TRP) Bali Madya tingkat Nasional Tahun 1995 oleh DPP HARPI Melati, dan Juara I TRP Aceh Gayo Lomba TRP 18 Gaya Tingkat Nasional Tahun 1997 oleh DPP HARPI Melati. –ten

Adat Bali..........................................................................................................................................................................dari halaman 1 yang sekarang dipersonifikasi lagi melalaui kebanggaan seorang wanita yang diperistri pejabat,” ujarnya. Tetapi, raja pun menjalankan misi untuk menjaga kesatuan dan persatuan warganya. “Salah satu caranya menerjemahkan misi ini melalui perkawinan politik,” kata Agung Widiada. Praktik perceraian zaman kerajaan dulu diyakinkan jarang yang terungkap ke permukaan. Ini, menurut Ngurah Agung, bukan saja lantaran masih tebalnya rasa malu jika terjadi cekcok dalam keluarga. “Istri zaman dulu itu menjadi simbol pangayah. Status simbolik ini meneguhkan kesetiaan seorang istri untuk total mengabdi kepada suaminya, termasuk ngayah dalam berbagai aktivitas sosial budaya di lingkungan puri,” tambah Agung Widiada. Cekcok suami istri yang bisa berujung perceraian akhirnya seolah tabu dipraktikkan. Apalagi, kata kedua tokoh puri ini, peristiwa perkawinan bagi umat Hindu sungguh dinilai sakral. Perkawinan bukan hanya sebatas hidup bersama sebagai suami istri. “Ada upacara adat dan agama Hindu yang terlibat dalam proses ini. Di sinilah nilai sakralnya perkawinan itu,” ujar Ngurah Agung. Sakralnya perkawinan tadi pun dinilai membuat kehidupan harmonis suami istri sungguh ditekankan. Adat Bali bahkan bisa implisit mengandung makna anticerai bagi sepasang suami istri. Ini tercermin dari tahapan demi tahapan prosesi perkawinan adat Bali. “Seorang perempuan yang kawin biasa, misalnya, harus melalui upacara mapamit di mrajan keluarganya untuk masuk dalam lingkungan keluarga suami. Jika muncul perceraian kan si wanita otomatis harus mapamit lagi ke mrajan keluarga mantan suaminya. Ada lagi upacara untuk diterima di keluarga orangtuanya,” jelas Ngurah Agung. Proses upacara adat semacam itu dinilai mencerminkan adat Bali sebenarnya tidak mudah meloloskan pasutri yang hendak bercerai. Ada konsekuensi adat yang harus

dipikul seorang wanita jika bercerai dengan suami yang mengawininya melalui perkawinan biasa, misalnya. Makna adat Bali yang anticerai tadi juga tercermin dalam konsep pawarangan dan sewala brahmacari. Hal ini ditegaskan Kepala Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bali, NTB, NTT Drs. I Made Purna, M.Si. Menurutnya, pawarangan (berasal dari kata warang = kerja sama) merupakan tradisi yang dilakukan orangtua kedua mempelai dalam memberikan nasihat perkawinan kepada putra-putrinya yang menikah yang disaksikan prajuru adat. Ini tidak saja dilakukan saat upacara mapamit seorang mempelai kepada keluarganya, juga jika ada masalah dalam kehidupan keluarga pasutri baru tersebut,” ujar peneliti uatam lembaga yang bernaung di bawah kemenbudpar itu. Nasihat perkawinan yang diberikan itu menekankan pentingnya semua keluarga baru memahami makna sewala brahmacari. Konsep ini mengajarkan perkawinan hanya dibolehkan sekali bagi wanita lajang (deha) dan lelaki bujang (teruna). “Prinsipnya, perkawinan hanya diizinkan sekali saja,” ujar Purna. Pendapat senada diutarakan pengamat sosial Dra Ida Ayu Putu Tirta. Konsep semacam itu masih kuat mengakar dalam kehidupan komunitas adat Bali di perdesaan. Misalnya, kata Dayu Tirta, potret kehidupan adat di desa leluhurnya, Desa Bongaya, Kecamatan Bebandem, Karangasem. Ikatan adat masih amat kuat dalam mengawal keutuhan kehidupan rumah tangga warga adatnya. “Ini dikawal dalam awig-awig. Jika ada masalah dalam keluarga selalu adat ikut menyelesaikan,” ujarnya. Itu tidak hanya menyangkut masalah konflik rumah tangga yang bisa mengancam terjadinya perceraian. Adat biasanya menentukan masalah kesakralan masa berpacaran hingga perkawinan. Jika ada kasus perselingkuhan, pihak yang terlibat akan dikenakan sanksi adat yang berat. Ini dianggap aib bagi masyarakat. “Hal yang sama

jika ada anak lahir di luar nikah. Jika ini menimpa orang berkasta biasanya kastanya bisa turun. Di sini saya melihat peran adat Bali sebenarnya amat kuat untuk menjaga keutuhan rumah tangga sekaligus mencegah perceraian,” jelasnya. Tradisi semacam itu, menurut Purna, tidak lagi terasa kuat di wilayah kehidupan masyarakat perkotaan di Bali. Tradisi semacam itu masih kental dijalankan komunitas adat yang tinggal di desadesa tua, seperti Tenganan Pegringsingan, Trunyan, Sembiran, dan lain-lain. “Makanya, dalam kehidupan keluarga di desa-desa tua ini hampir tidak terdengar ada kasus perceraian,” ujarnya. Namun, gambarannya berbeda dengan kehidupan warga di perkotaan. Dalam pendekatan budaya, ini berkaitan dengan konstruksi budaya Bali dalam menempatkan fungsi dan tanggung jawab lakilaki dan perempuan. “Dalam dinamika budaya, tradisi yang dulu dianggap tidak bermasalah justru menjadi perkara ketika masuk

budaya global dan teknologi informasi. Ini membukakan dan menyebarkan budaya lain yang mungkin kontra dengan konstruksi budaya yang ada selama ini,” jelas peneliti gender dan seksualitas LIPI Jakarta Jaleswari Pramodhawardani, Ph.D. dalam percakapan melalaui ponsel dengan wartawan Koran Tokoh pekan lalu. Akibatnya, menurutnya, ‘pemberontakan’ serta resistensi pun terjadi dalam masyarakat perkotaan. Ini harus diletakkan sebagai proses dan bagaimana Bali menghadapi dinamika perubahan itu. Nah, institusi adat juga perlu dilhiat. Pendekatannya harus mengikuti kebutuhan hari ini,” ujarnya. Pendekatan tersebut, menurut Agung Widiada, harus dimulai dengan memperkuat komunikasi dalam keluarga. Ajaran moral agama tetap menjadi modal dasar untuk itu. “Komunikasikan ajaran moral agama ini melalui keteladanan yang baik. Agama jangan hanya dijalankan secara seremonial saja,” harapnya. —sam

Usia Harapan Hidup.........................dari halaman 1 tinggi angka kematian ibu dan bayi, makin rendahlah usia harapan hidup. Tahun 2010 di Bali angka kematian ibu 58,9 per 100.000 kelahiran hidup. Angka absolutnya 37 ibu meninggal saat melahiran pada tahun 2010. Sementara angka kematian bayi di Bali 7,18 per 1.000 kelahiran hidup. Dilihat dari rata-rata nasional, Bali berada di bawahnya. “Angka kematian ibu secara nasional tahun 2010, 228 per 100.000 kelahiran hidup. Target pemerintah, angka kematian ibu tahun 2015 dipatok 110 per 100.000 kelahiran hidup,” kata Sutedja. Karena dukungan program pemerintah yang bersinergi dengan masyarakat itulah, beragam sosialisasi bidang kesehatan terus digalakkan. Upaya ini membuahkan hasil dengan tingginya usia harapan hidup di Bali yang melampui Yogyakarta. Sebelumnya, usia harapan hidup tertinggi dipegang Provinsi D.I. Yogyakarta. Namun, usianya masih dalam kisaran 72 tahun. Secara nasional, usia harapan hidup mencapai 69 tahun. “Ke depan, tugas dan tanggung jawab kita makin berat. Ini memerlukan koordinasi dan sinergi semua komponen. Apalagi jumlah penduduk Bali terus bertambah. Sensus 2010 menunjukkan penduduk Bali sudah 3,9 juta jiwa. Mari bersamasama menjaga kehidupan di Bali agar derajat kesehatan bisa terus ditingkatkan,” tandas Sutedja. —wah,ten

Ketua TP PKK...........................................................................................................................................................dari halaman 1 dinikmati anugerahnya bersamasama. “Semoga pula dengan bersamasama mulat sarira, persatuan dan kesatuan di Kota Denpasar ini senantiasa terjaga serta kita semua dapat melaksanakan swadharma masing-masing dengan damai,” lanjut Ny. IA Selly D. Mantra. Di balik untaian perayaan Galungan dan Kuningan, ada ungkapan rasa bahagia dari ketiga penggerak PKK di Kota Denpasar ini. Betapa tidak belum lama ini dua penghargaan nasional kembali diraih Kota Denpasar. Ada penghargaan Manggala Karya Kencana, yang diterima Ketua TP PKK Kota Denpasar Ny. IA Selly D. Mantra terkait prestasi yang menonjol dalam menggerakkan program KB nasional di Kota Denpasar. Di antara kegiatan yang telah dilaksanakannya dalam menggerakkan program KB di Denpasar, Ny. IA Selly D. Mantra telah mem-

bentuk 189 kelompok bina keluarga balita (BKB) yang tersebar di banjar-banjar. Kelompok-kelompok ini pun terus mendapatkan pelatihan sehingga memiliki keterampilan yang cukup dalam menyampaikan program-program KB. Berikutnya penghargaan Prakerti Utama sebagai pelaksana terbaik lomba Kesatuan Gerak PKK KB-Kes, Posyandu dan PHBS (perilaku hidup bersih dan sehat). Menurut Ny. IA Selly D. Mantra untuk kali ini Denpasar diwakili Kelurahan Padangsambian, yang berhasil menyisihkan 145 kota seIndonesia. Hal ini karena berbagai program terpadu telah pula dilaksanakan demi pelaksanakan KB-Kes di Kota Denpasar, di antaranya revitalisasi posyandu, pemberian insentif pada kader, memberikan kartu miskin serta berbagai kegiatan lainnya. Sedangkan untuk menanggulangi kemiskinan, kata Ny. IA

Selly D. Mantra, pemerintah Kota Denpasar telah memberikan di antaranya bantuan ternak, modal usaha, bantuan untuk penyandang cacat, melakukan bedah rumah, mengadakan kursus berbagai keterampilan, pengobatan gratis dan pendirian sekolah bagi anak-anak berkebutuhan khusus. Untuk kegiatan KB-Kes diarahkan pola hidup bersih dan sehat mulai dari rumah tangga dengan mengolah sampah rumah tangga, kebersihan lingkungan, PSN dan kegiatan inovasi pembuatan bank sampah. Perihal anugerah yang diterimanya langsung dari Wakil Presiden RI Boediono di Kota Baru Parahyangan Bandung pada perayaan Peringatan Hari Keluarga Tingkat Nasional XVII, Ny. IA Selly D. Mantra menyatakan penghargaan tersebut adalah kerja keras semua pihak termasuk kader PKK, masyarakat serta pemerintah.

Lebih lanjut istri Wali Kota Denpasar ini menjelaskan berbagai kegiatan kreatif dan inovatif telah pula dilaksanakan dalam menyukseskan program-program KB di Kota Denpasar. Sebagai Ketua TP PKK Kota Denpasar ia secara terus-menerus menyosialisasikan program KB dipadukan program PKK, yang langsung bersentuhan dengan para ibu di banjar. “Saat ini di Denpasar ada 189 kelompok bina keluarga balita (BKB) yang tersebar di banjar-banjar. Kegiatan inovatif lainnya yang kami lakukan seperti lomba APE (alat permain edukatif) serta mendirikan sekolah bagi anak berkebutuhan khusus,” tuturnya sembari berharap apa yang diraih warga kotanya kini, mampu memberikan motivasi untuk terus meningkatkan kreativitas dalam mewujudkan keluarga sehat, bahagia dan sejahtera di Kota Denpasar. —ard

Untung Ada...................................................................................................................................................................dari halaman 2 Konon di sana orang-orang yang belum pantas masuk surga harus menderita yang amat sangat menyakitkan karena harus menjalani dan merasakan hukuman sebagai akibat melakukan pelanggaran perintah Tuhan. Orang-orang itu pada mengaduh dengan caranya sendiri-sendiri dengan jeritanjeritan yang memilukan. Konon di sana tidak ada yang memuji Tuhan, bahkan berdoa pun tidak dapat. Itulah sebabnya orang yang masih di dunia wajib mendoakan mereka. Pasien yang sudah ditangani dibawa keluar, tetapi pasien baru datang lagi dan datang lagi sampai malam. Saya tetap masih di UGD. Kata anak saya belum ada tempat bagi saya. Semua tempat penuh. Malam hari saya tidur di UGD. Pagi harinya agak sepi karena poliklinik buka. Kira-kira pukul 14.00

saya dibawa ke sal Ratna kamar nomor 2 C. Di 2 D sudah ada pasien diabetes yang akan diamputasi kakinya. Baunya menyengat sampai di kamar 2 C. Di 2 B tergeletak pasien dengan kulit sekujur tubuhnya sampai muka yang seperti sisik. Ia ditunggui istrinya. Baiknya mereka berdua berkomunikasi secara berbisik-bisik. Di 2 A ada pasien bayi laki-laki berusia lima bulan yang kepalanya terus-menerus keluar cairan. Ia menangis keras-keras. Ia diam kalau kelelahan atau tidur. Begitu bangun, ia menangis lagi keras-keras sambil meronta-ronta barangkali menahan sakitnya. Rasanya sakit jantung saya tidak kunjung mereda. Keesokan harinya si pasien diabetes dibawa ke ruang operasi. Tetapi, tempatnya digantikan pasien lain yang akan

dioperasi usus buntunya. Ruparupanya di desanya ia orang terkenal. Ia ditunggui banyak penunggu yang kesemuanya suka berbicara sehingga berisik sampai pukul 02.00 dini hari. Saya sulit memperoleh ketenangan. Selain diinfus dua macam infus biasa dan infus obat, dibantu oksigen, saya harus pula diobati dengan menyuntikkan obat ke perut saya pagi dan malam. Kata dokter Wignantara, saya harus menerima suntikan 10 kali. Jadi, paling tidak saya harus menginap lima hari lima malam. Setelah pasien di 2 D dioperasi, rasanya tenang karena yang menjaga hanya istrinya. Sakit saya berangsur-angur mereda, tetapi belum boleh turun dari tempat tidur. Saya sangat bersyukur karena para sahabat berkenan membesuk saya yang ditunggui istri dan

anak saya bergantian. Hari keenam (Senin 4/7) saya menerima suntikan yang ke-l0 (terakhir) di perut pukul 14.00. Istri saya dipanggil ke kantor untuk menyelesaikan administrasi. Sesudah itu saya boleh pulang. Lima hari lagi, pascaliburan Galungan, kembali kontrol. Untung, ada JKBM. Walaupun ada obat-obat mahal yang tidak ditanggung JKBM. namun tetap meringankan beban kami Kami sangat berterima kasih kepada Gubernur Bali yang memberikan JKBM. Semoga Tuhan memberkati Bapak Gubernur, para dokter, para perawat (Suster Sudresi dkk) dan para sahabat yang berkenan membesuk, mendoakan dan membantu saya. Mbah Harto Pensiunan guru


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.