

SWARA DOKTER
Primum Non Nocere
DAFTAR ISI
Dewan Pengarah : dr. Ulul Albab SpOG Dr. dr. Beni Satria, MKes, SH, MH
Pemimpin Redaksi/ Redaltur Pelaksana dr. Muhammad Shoifi SpOT(K)
Editor/Kontributor :
1. dr. Farhan H. F. Rahman 2. dr. Ahmadin Yusuf R. S. 3. dr. Prima Ardiansah S. 4. dr. Pandit Bagus T. S.
Editorial oleh : dr. Muhammad Shoifi., SpOT (K)
Penanggung Jawab : dr. Moh Adib Khumaidi SpOT 2. Wawancara "Profil dr. Moh Adib Khumaidi : Visi IDI Reborn dan Mendayung IDI di tengah tantangan Masa Depan" oleh : dr. Pandit Bagus T. S.
Profil Majelis - Majelis oleh : dr. Prima Ardiansah, dr. Ahmadin Y. R. Susatyo
Edukator Sosial Media IDI Network oleh : dr. Farhan H. F. Rahman, dr. Muhammad Shoifi., SpOT (K), Dr. dr. Dhelya Widasmara, Sp.KK
Layout/Ilu rator : dr. Ahmadin Yusuf R. S. Naomi Lesmana oleh : dr. Abidinsyah Siregar., DHSM., MBA., MKes
Alamat Kantor : Sekretariat PB IDI Jalan Jl. Dr. GSSJ Ratulangi No.29, RT.2/RW.3, Gondangdia, Kec. Menteng, Kota Jakarta Pusat, Daerah Khusus Ibukota Jakarta 10350
Email : swaradokter@gmail.com
IDI REBORN !
oleh : dr. Muhammad Shoifi., SpOT (K)
Sejarah panjang Ikatan Dokter Indonesia telah terangkai lama. Sejak pra kemerdekaan Indonesia. Berawal tahun 2011 organisasi kedokteran awalnya bermula dari perhimpunan yang bernama Vereniging van lndische Artsen. Berubah namanya menjadi Vereniging Van Indonesische Genesjkundigen (VGI) di tahun 1926. Ada alasan politik yang kuat saat itu yakni timbulnya rasa nasionalisme sehingga membuat kata "indische" menjadi Indonesische". Dokter-dokter pribumi yang semula dianggap sebagai dokter kelas 2 mulai menata eksistensinya, setidaknya meletakkan sendi nasionalisme dan semangat persatuan diantara mereka. Tahun 1943 saat masa pendudukan Jepang, VIG dibubarkan dan diganti menjadi Jawa izi Hooko-Kai.
Muktamar pertama Ikatan Dokter Indonesia (MIDI) digelar di Jakarta pada 22-25 september 1950. Sebanyak 181 dokter WNI (62 diantaranya datang dari luar Jakarta) menghadiri muktamar tersebut. Dr. Sarwono Prawirohardjo terpilih menjadi Ketua Umum IDI pertama.
Dr. Mohammad Adib Khumaidi SpOT adalah Ketua Umum PB IDI ke 23. Setelah menjalani proses “magang” sebagai Ketua Terpilih selama 3 tahun saat ini telah siap untuk memimpin IDI.
Dokter 47 tahun kelahiran Lamongan. Menamatkan S 1 di FK Universitas Airlangga dan Spesialisasi Orthopaedi dan Traumatologi di FK UI. Dikenal sebagai aktivis organisasi sejak mahasiswa. Secara kemampuan dan pengalaman Adib cukup mumpuni untuk memimpin organisasi profesi sebesar IDI. Ditengah gelombang pancaroba yang terjadi di IDI saat ini dan tantangan dokter di masa depan tentu tidak mudah. Ujian dan tantangan besar selalu membutuhkan sosok Pemimpin yang tangguh pula. Dan disinilah posisi Adib sebagai Ketua Umum PB IDI saat ini.
IDI Reborn adalah slogan yang digaungkan untuk kepengurusan PB IDI 2022-2025 saat ini. IDI yang terlahir kembali. Tidak hanya melepas dan menyelesaikan beban masalah masa lalu, tapi juga membangun semangat keberanian untuk menghadapi masa depan. Reborn adalah Kebaruan. Reborn adalah Semangat Perubahan. Dan yang jauh lebih penting Reborn adalah Gagasan. Gagasan besar dengan eksekusi aksi yang baik akan melahirkan kerja-kerja yang dinamis dan membuka ruang perubahan yang hebat.
Dokter Indonesia yang saat ini berjumlah lebih 200.000 orang sedang berada di tengah teriknya musim pancaroba. Belum meratanya penempatan dokter, kurangnya jumlah dokter spesialis, menjamurnya pendirian fakultas-fakultas kedokteran dengan kualitas pendidikan yang masih diragukan. Ditambah lagi isu masuknya dokter asing dan kuatnya hegemoni pemegang modal dalam penguasaan bisnis kesehatan.
Pun demikian dengan masyarakat Indonesia. Problem wabah Covid 19 belum usai disusul kemudian ancaman stunting, gizi buruk, masih tingginya angka kematian ibu dan bayi dan sederet lagi masalah kesehatan masyarakat yang membutuhkan jawaban yang tepat.
IDI berada di situasi yang tidak mudah. Mindset segenap pengurus PB IDI baru harus berubah. Sejalan dengan semangat Reborn. Menjawab tantangan harus dengan keberanian. Jika hanya sekedar menjalankan rutinitas program maka bisa dipastikan IDI akan semakin tertinggal. Akankah IDI Reborn ini hanya sebatas slogan ataukah Gagasan Hebat yang mengejawantah?
Selamat kepada seluruh Pengurus Baru PB IDI periode 2022-2025. Sepenuh hati doa kami panjatkan. Semoga Allah SWT selalu memberi jalan kemudahan. Selamat mengemban amanah. Selamat Berjuang!!

MENGENAL SOSOK
KETUA UMUM PB IDI

Nama lengkapnya Mohammad Adib Khumaidi. Ia lebih akrab dipanggil dengan sapaan Mas Adib. Sosoknya muda, sederhana, egaliter, dan mudah membaur.
Mas Adib lahir di Lamongan tanggal 28 Juni 1974. Sejak kecil, ia tumbuh dan besar dalam lingkungan yang agamis dan disiplin. Ayahnya adalah mustayasar NU cabang lamongan. Karir aktivis dan organisasi-nya dimulai sejak di Surabaya, saat sebagai aktivis mahasiswa di Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dan berbagai organisasi lain di Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga. Sejak mahasiswa, mas Adib aktif dalam mengambil peran di baik di tingkat senat universitas maupun nasional.
Kecintaanya berkontribusi ke masyarakat melalui organisasi mengantarnya ke Jakarta, lalu ia melanjutkan pendidikan spesialis orthopedi dan traumatologi di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Di Jakarta, ia bertemu dengan banyak figur, diantaranya Prof. Aryono, Prof. Idurs dan Prof. Farid Anfasa Moeloek yang nantinya menjadi tempat “Nyantri bagi mas Adib”. Saat ini mas Adib juga aktif mengajar di perguruan tinggi Muhammadiyah.
Mas Adib telah lama aktif dalam penanganan bencana, baik di tingkat nasional maupun internasional. Seperti saat menjadi ketua pelaksana harian PB IDI pada bencana besar gempa dan Tsunami Aceh 2005, dan menjadi tim bantuan kemanusiaan gempa bumi Bam di Iran 2004. Pada tahun 2020, ia menjadi ketua tim mitigasi pandemik COVID-19 PB IDI. Pekerjaan yang tidak mudah ditengah “kolapsnya” sistem kesehatan kala itu.
Sebelum diamanahi menjadi ketua PB IDI, ia mengemban tugas sebagai ketua PDEI (Perhimpunan Dokter Emergensi Indonesia) dan sekretaris jendral PABOI (Perhimpunan Ahli Bedah Orthopedi Indonesia). Pengalaman mas Adib dalam berbagai bidang merupakan salah satu modal yang sangat penting di tengah revolusi zaman yang menuntut kolaborasi.
Dalam berbagai pertemuan, kita dapat melihat gagasan-gagasan cemerlang mas Adib terhadap berbagai isu terkini di bidang kedokteran atau kesehatan, yang disampaikan dengan cara yang apik. Salah satunya isu terkait digitalisasi pelayanan kedokteran. Saat ini revolusi digital, di bidang kesehatan menjadi tantangan tersendiri bagi seluruh dokter dan tenaga kesehatan di Indonesia. Sebagai sosok muda yang fleksibel, mas Adib mengaggap itu sebagai peluang dalam membuat big data. Paparnya, dengan big data yang akurat kita bisa mengidentifikasi masalah dengan presisi, dan memberikan solusi yang tepat. Beliau mengungkapkan, bahwa IDI memiliki peran penting dalam pembentukan big data yang akurat, beserta pemerintah dan stakeholder lainya.
Selain bidang teknologi kesehatan, isu pendidikan kedokteran, kompetensi dokter, jumlah dan distribusi dokter yang kurang merata menjadi garapan bagi IDI dan stakeholder lain dalam meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan di seluruh rakyat Indonesia. Tidak bisa dipungkiri, wawasan yang segar dan luas sangat dibutuhkan ditengah zaman yang begitu cepat.
Selain dikenal baik dengan gagasan dan track record-nya, mas Adib juga dikenal sebagai orang yang luwes namun disiplin. Luwes dalam bekerja, dan disiplin ketika ada pelanggaran yang dirasa melanggar aturan atau merugikan masyarakat.
Kehadiran mas Adib beserta jajaran pengurus IDI lainya adalah angin segar yang diharapkan dapat membawa IDI semakin baik.
WAWANCARA

Saat ini perkembangan zaman berjalan begitu pesat, termasuk berbagai revolusi di bidang kesehatan. Apa saja tantangan yang dihadapi dokter Indonesia kedepanya?
Profesi dokter di Indonesia saat ini dihadapkan dengan tantangan yang sangat luar biasa bahkan ancaman terhadap eksistensi profesi yang dapat dibagi menjadi tantangan yang berasal dari dalam maupun luar. Tantangan dari dalam terutama terkait dengan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap pelayanan kedokteran yang disebabkan oleh beberapa isu yang kerap kali diangkat oleh media massa antara lain dugaan malpraktek dokter , buruknya mutu pelayanan dokter terutama di fasilitas kesehatan tertentu, dan isu kolusi gratifikasi yang dinilai menghilangkan independensi dokter. Termasuk, tingginya harapan masyarakat terhadap profesi dokter untuk aktif dalam penanganan pandemi.
Sedangkan tantangan dari luar saat ini adalah tuntutan globalisasi berupa mekanisme pasar bebas yang telah masuk dalam area jasa pelayanan kesehatan sehingga menjadi ancaman dalam era industrialisasi pelayanan kesehatan atau era korporasi medik. Selain itu, munculnya pendekatan baru dalam tantangan kesehatan internasional yaitu Kesehatan Global, termasuk penekanan yang diberikan pada biosecurity dan upaya untuk mencegah penyebaran penyakit menular. Ditambah semakin gencarnya potensi kehadiran dokter asing di Indonesia.
Tantangan lainnya termasuk era Revolusi industry 4.0 yang mengakibatkan disrupsi dalam pelayanan Kesehatan. Diantaranya digitalisasi informasi kesehatan, amazon effect, dan era konsumerisme yang mengharapkan pelayanan Kesehatan yang lebih cepat dan memanfaatkan teknologi informasi.
Bagaimana IDI menjawab tantangan-tantangan tersebut?
Pertama, harus dilakukan adalah konsolidasi internal sebagai modal sosial untuk melakukan transformasi organisasi. Ikatan Dokter Indonesia menjadi intelectual power yang bertugas memberikan gagasan dan aktivitasnya. Ikatan Dokter Indonesia hadir di masyarakat sebagai penyeimbang dan memberikan kebenaran, serta siap menjadi mitra strategis pemerintah dengan mengedepankan sebagai organisasi intelektual, akademis, profesional dan independen.
Kedua, Ikatan Dokter Indonesia ibarat kendaraan yang akan dipakai untuk maju ke depan. Pondasi yang utama adalah kolegalitas yaitu ikatan spiritual tertinggi yang dibutuhkan, persamaan awareness dengan mengemukaan dialog,
suportif dan komunikasi yang baik. Kita bersama-sama juga perlu mengidentifikasi permasalahan (root cause analysis), dan membuat manajemen strategi pengelolaan organisasi dengan team work yang terintegrasi, serta bekerja secara transparan dan cerdas. Membangun sistem organisasi yang kuat dan update terutama big data dokter Indonesia .
Dua hal diatas akan menjadi pondasi dan modal kuat dalam membangun IDI ke depan sekaligus mempertegas posisi bahwa IDI harus satu. Dokter Indonesia harus satu.
Belakangan ini, digaungkan "IDI Reborn" yang menjadi jargon PB IDI masa bhakti 2022-2025 . Sebenarnya, apakah makna dari "IDI Reborn", serta apa saja visi nya?
Dengan mindset “IDI Reborn” yang diartikan dengan IDI yang terlahir kembali menjadi lebih visioner yang antisipasif & prospektif, didukung oleh bentuk organisasi yang horizontal berbasis (big) data. Semua informasi dapat ditampung dalam bentuk data yang valid. Perubahan & perkembangan eksternal dan internal IDI, dapat dipantau real time. Sehingga dapat segera dilakukan penilaian (assessment), analisa secara seksama, dicarikan solusi yang tepat dan segera menyiapkan tindakan antisipasif. Dengan demikian, IDI akan senantiasa up date, siap menghadapi perubahan didepan. Dengan data yang lengkap dan valid, maka dapat disusun prioritas kerja berdasarkan besaran masalah yang ada. Sehingga IDI akan selalu siap dengan sikap dan tindakan yang tepat sesuai dengan perubahan situa si eksternal dan keadaan internal IDI.
Kemudian Visi IDI kedepan adalah “IDI MAJU BERSAMA DOKTER BAIK 4.0” Visi ini seperti yang saya sampaikan saat di Muktamar IDI Ke- XXX di Samarinda yang sangat relevan dengan kondisi saat ini .
Bagaimana visi "IDI Reborn" dapat relevan dengan tantangan-tantangan IDI yang ada saat ini dan kedepanya?
IDI reborn adalah sebuah pola yang membuat IDI yang lebih solid, peka, cerdas, fleksible yang mampu bergerak cepat dan dengan strategi yang tepat.
Suatu organisasi (IDI), dapat diibaratkan sebagai kendaraan yang digunakan anggota nya untuk melewati tantangan kedepan, mencapai masa yang gemilang. Diperlukan organisasi (IDI) yang reliable. Mempunyai reputasi cemerlang ( Branding ) dimata masyarakat & pengambil kebijakan sehingga diyakini kendaraan itu mampu membawa kita semua ke masa depan yang gemilang.
Dalam mencapai visi "IDI Reborn", apa saja yang menjadi prioritas garapan IDI dalam 3 tahun kedepan?
Prioritas pertama adalah memperkuat internal organisasi sebagai upaya konsolidasi anggota dan konsolidasi organisasi. Pondasi utama ini menjadi modal sosial untuk menjalankan program-program IDI ke depan
Kedua, branding (integrity, identity dan image) sebagai bagian upaya untuk meningkatkan kepercayaan publik dan pemerintah kepada organisasi IDI. Upaya yang dilakukan adalah membuat program promotif, edukatif dan pemberdayaan masyarakat.
Ketiga, meningkatkan dan merubah pola advokasi yang lebih adaptif untuk dapat mengintervensi kebijakan strategis pemerintah dalam bidang kedokteran dan kesehatan dengan intellectual power dan Intelectual struggle. Termasuk diantaranya advokasi dalam percepatan pembangunan Kesehatan di daerah dengan berintegrasi dengan stakeholder terkait .
Keempat, melakukan transformasi manajemen organisasi internal dengan berbasis IT dan big data.
Kelima, memperjuangkan hak para anggota dalam mendapatkan kesejahteraan, perlindungan hukum dan pembinaan anggota. Termasuk diantaranya mengembangkan entrepreneurship, serta pengembangan usaha para anggota.
Keenam, meningkatkan dan menjaga kompetensi para anggota terutama dokter umum, melalui upaya pemberdayaan SDM dokter Indonesia yang kompeten dan kompetitif .
Pandemi COVID-19 menunjukan hantaman pada aspek kesehatan, dapat bedampak pada ketahanan aspek lain seperti ekonomi, pendidikan dan sosial. Kedepanya, bagaimana IDI menjawab kemungkinan ancaman ketahanan nasional di bidang kesehatan?
Perlu adanya upaya untuk melakukan reformasi sektor kesehatan. Belajar dari pandemi COVID-19, ketahanan kesehatan menjadi sebuah keharusan yang harus ditingkatkan melalui penguatan sinergitas regulasi tentang sistem kesehatan nasional; penyiapan sistem kesehatan nasional; percepatan industri dan teknologi kesehatan; serta penguatan kesadaran dan kepatuhan masyarakat Akhir-akhir ini, ada yang mengangkat isu bahwa dokter Indonesia banyak yang tidak kompeten, bahkan kalah kompeten dengan dokter asing. Bagaimana tanggapan IDI terhadap isu tersebut?
Ada 3 hal yang membuat munculnya isu diatas dan upaya yang harus dilakukan, khususnya upaya transformasi di bidang Pendidikan kedokteran. Upaya tersebut terdiri dari mengatasi technology gap, certification gap dan language gap. Jadi bukan berkutat pada permasalahan kompetensi internal, tapi untuk meningkatkan daya saing dilakukanupaya penyetaraan sertifikasi/ kompetensi yang sama dengan ASEAN atau internasional. Selain itu, tidak lupa dukungan dari pemerintah untuk kemudahan dalam memanfaatkan teknologi Kesehatan sangat diperlukan
Teknis pendidikan kedokteran di Indonesia masih menyisakan polemik untuk menghasilkan yang dokter sesuai kebutuhan zamanya. Bagaimana peran IDI dalam mencetak dokter sesuai kebutuhan zaman?
Mencetak atau memproduksi dokter bukan hanya peran IDI, tapi yang harus lebih banyak berperan adalah institusi Pendidikan kedokteran sebagai pabrik mencetak para dokter. Ikatan dokter Indonesia adalah mitra institusi pendidikan melalui penjaminan mutu lulusan. Selain itu, IDI juga berperan melalui pendidikan kedokteran berkelanjutan (PKB) Bersama perhimpunan atau keseminatan dan kolegium terkait.
Transformasi bidang Pendidikan kedokteran menjadi satu upaya dukungan terhadap program untuk usulan Revisi UU Pendidikan Kedokteran. Jumlah dan persebaran dokter adalah salah satu tantangan utama dalam memenuhi kebutuhan pelayanan kesehatan yang berkualitas. Bagaimana rencana IDI dalam mengatasi terkait jumlah dokter saat ini, serta persebaranya yang masih kurang merata?
Ada beberapa hal yang menjadi permasalahan utama yang menyebabkan disparitas dan persebaran dokter yang tidak merata. Masalahnya bukan hanya kekurangan jumlah dokter secara keseluruhan, tapi yang lebih mencemaskan adalah ketimpangan distribusi dokter antara kota besar dan kota kecil, Jawa dan luar Jawa, perkotaan dan pedesaan. Yaitu: ketidaksiapan insfrastruktur, sarana prasarana kesehatan, ketersediaan obat dan alat kesehatan, jenjang karir dan kesejahteraan serta barrier entry. Menyiapakan hal-hal yang bersifat internal dan memberikan advokasi ke pemerintah, khususnya untuk menyiapkan sarana-prasarana adalah sebuah keharusan dalam rangka meratakan distribusi dokter.
Apa harapan dokter Adib terhadap anggota IDI di seluruh Indonesia? Serta kepada perhimpunan profesi kesehatan lainya?
Pertama, Ikatan Dokter Indonesia harus solid dan kompak dalam Satu IDI. Momentum pasca Muktamar Aceh menunjukkan kebutuhan akan kesolidan anggota dan unsur-unsur IDI semua cabang, wilayah, perhimpunan dan keseminatan. Kedua, meningkatkan sense belonging dan sense participant anggota IDI, sehingga keberadaan IDI akan semakinkuat dan dirasakan oleh semua komponen. Ketiga, program-program pemberdayaan SDM dan pengembangan usaha harus ditingkatkan. Tidak pernah lupa, organisasi profesi kesehatan lain, termasuk asosiasi fasilitas Kesehatan, merupakan mitra dan sahabat yang harus semakin diperkuat kolaborasinya untuk dapat bersama-sama memperjuangkan kepentingan keasehatan masyarakat dan anggota.
PROFIL MAJELIS-MAJELIS MKKI MPPK MKEK
MKKI
Majelis Kolegium Kedokteran Indonesia 2022-2025
Dr.dr. Setyo Widi Nugroho Sp.BS (K)
Harapan terhadap IDI kepengurusan baru: IDI reborn, maka diharapkan IDI melaksanakan tujuan mulia organisasi Profesi Dokter satu-satunya di Indonesia dengan terus menerus mempertahankan nilai perjuangan organisasi untuk mensejahterakan masyarakat di bidang kesehatan melalui tatakelola organisasi yang tertib, bersih, transparan dan berwibawa dan tentu juga memperjuangkan kepentingan dokter sebagai anggota IDI. Pengurus ditingkat Pusat, Wilayah dan cabang selain memiliki tugas mengelola organisasi diharapkan bisa menjadi role model dokter Indonesia.

Garis besar program MKKI : Penyelesaian Standar Pendidikan Dokter, Dokter Subspesialis dan Fellowship seluruh bidang ilmu.
Penyelesaian shared competency antar bidang ilmu dan dilanjutkan pembuatan white paper.
Berperan aktif dalam pendataan dan perencanaan produksi dan distribusi dokter dan dokter spesialis bersama stakeholder lain.
Menyempurnakan panduan Uji Kompetensi Dokter, Dokter Spesialis dan Subspesialis berstandar Internasional termasuk untuk Dokter Adaptasi.
Menyempurnakan Standar Sertifikasi Dokter, Dokter Spesialis dan Subspesialis dan alur registrasi.
Terlibat aktif bersama PB dalam memberi masukan RUU Pendidikan Kedokteran menjadi UU.
MPPK
Majelis Pengembangan Pelayanan Keprofesian 2022-2025
1. MPPK adalah badan otonom IDI di tingkat pusat yang bertanggung jawab kepada sidang khusus muktamar.
2. MPPK bertanggung jawab mengkoordinasi kegiatan internal organisasi dalam pengembangan kebijakan, pembinaan pelaksanaan dan pengawasan penerapan sistem pelayanan keprofesian yang bermutu dan terjangkau.
3. Dalam hal pengembangan dan pelaksanaan kebijakan yang bersifat nasional dan strategis, MPPK wajib mendapat persetujuan dalam forum Musyawarah Pimpinan Pusat.
4. MPPK dibentuk pada tingkat pusat dan wilayah.
5. MPPK di tingkat wilayah dibentuk apabila memungkinkan.
6. Anggota-anggota Majelis Pengembangan Pelayanan Keprofesian terdiri dari :
1.
Perhimpunan Dokter Pelayanan Kedokteran tingkat Pertama (PDPP).
2. Perhimpunan Dokter Pelayanan tingkat Rujukan/Perhimpunan Dokter Spesialis (PDSp).
3. Perhimpunan Dokter Seminat (PDSm).
4. Perhimpunan dalam Badan Kajian
7. Masa jabatan MPPK sama dengan PB IDI.

8. Personalia Kepengurusan MPPK berasal perwakilan yang terdiri dari ketua-ketua perhimpunan.
9. Personalia kepengurusan MPPK disesuaikan dengan kebutuhan organisasi.
MKEK
Majelis
Kehormatan Etik Kedokteran 2022-2025
Dr. Djoko Widyarto JS, DMH, MH.Kes
Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) ialah salah satu badan otonom Ikatan Dokter Indonesa (IDI) yang dibentuk secara khusus di tingkat Pusat, Wilayah dan Cabang untuk menjalankan tugas kemahkamahan profesi, pembinaan etika profesi dan atau tugas kelembagaan dan ad hoc lainnya dalam tingkatannya masing-masing.
Tugas MKEK melalui divisi kemahkamahan sesuai yurisdiksinya sebagai lembaga etika yang memeriksa, menyidangkan, membuat putusan setiap konflik etikolegal yang berpotensi sengketa medikdi antara perangkat dan jajaran IDI dan setiap sengketa medik antara dokter pengadunya yang belum atau tidak ditangani oleh Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia.
Menciptakan Konten & Trending Topic

Social media merupakan platform digital yang dapat memfasilitasi penggunanya untuk saling bersosialisasi, baik berkomunikasi atau membagikan konten baik berupa tulisan, foto, dan video. Seiring kemajuan teknologi, semakin banyak masyarakat yang menggunakan social media, termasuk dokter. Social media dapat digunakan sebagai ruang untuk bersosialisasi yang memudahkan dokter dalam melakukan promosi kesehatan (terutama promotif & preventif). Selain itu, dokter sebagai entrepreneur dapat mengembangkan diri dan berinovasi melaui media tersebut untuk meningkatkan kesehatan masyarakat sesuai dengan etik kedokteran.
Terdapat beberapa platform social media yang cukup banyak digunakan di Indonesia, diantaranya Twitter, Instagram dan Facebook. Instagram dapat kita gunakan sebagai media edukasi dengan cara membagikan gambar, video dan live. Twitter dapat digunakan untuk mencari topik yang sedang trending di masyarakat. Sedangkan Facebook dapat kita gunakan sebagai media untuk mencari relasi, teman, ataupun grup untuk sharing seputar informasi khususnya di bidang kesehatan.
Social media dapat kita manfaatkan pula untuk mencari topik sebagai bahan konten edukasi. Beberapa tips cara mencari topik yang trending di social media diantaranya dengan mengikuti atau memfollow akun orang / organisasi sesuai bidang yang diminati, memperhatikan kolom komentar untuk melihat topik apa yang ingin dibahas oleh masyarakat pengguna social media, membuat poling di social media, dan menggunakan keyword yang tepat pada kolom pencarian.
Topik yang telah kita dapatkan, dapat diolah menjadi sebuah konten. Lalu, bagaimana cara untuk menciptakan konten yang baik dan tepat? Pertama, kita harus mengetahui siapa saja audiens kita, mulai dari jenis kelamin, usia, pekerjaan, karena setiap -
kalangan mempunyai ketertarikan terhadap permasalahan yang berbeda.
Misalnya permasalahan di kalangan usia remaja lebih sering terkait soal acne. Berikutnya, konten yang telah dibuat dapat dibagikan menggunakan platform social media yang sesuai. Selain itu, konten sebaiknya dibagikan pada waktu yang tepat, karena dapat mempengaruhi jumlah viewers.
Setelah menciptakan konten yang trending, kita juga perlu mempertahankan engagement. Engagement adalah keterikatan antara pembuat konten dan viewers. Terdapat beberapa cara yang dapat kita lakukan untuk mempertahankan engagement, antara lain membuat rencana untuk jangka waktu tertentu mengenai topik-topik yang akan dibahas. Kemudian menggunakan hashtag yang relevan pada konten, dengan tujuan memudahkan pengguna social media untuk mencari kembali topik yang sebelumnya telah kita bahas. Selain itu, kita juga perlu berkolaborasi dengan content creator lain serta memperbanyak interaksi dengan viewers.
Akhir kata, mari kita manfaatkan social media dengan bijak, tepat, dan sesuai etik untuk memberikan manfaat terhadap kesehatan masyarakat.
oleh : Dr. dr. Dhelya Widasmara, Sp.KK
KLAIM-KLAIM TERAPI MEDIS
oleh : Iqbal Mochtar
(Dokter dan Doktor Bidang Kedokteran dan Kesehatan. Ketua Perhimpunan Dokter Indonesia Timur Tengah dan anggota IAKMI dan PERDOKI).

Klaim-klaim keberhasilan terapi medis (miracle health claims) adalah fenomena jamak sejak dulu. Klaim bisa dilakukan oleh dokter, rumah sakit atau siapapun yang berkepentingan dengan tindakan terapi, tetapi bisa juga oleh pasien. Fenomena ini makin marak di era digital saat ini. Seorang dokter dapat dengan mudah menyebarkan opininya tentang kemanjuran sebuah terapi atau bahkan mempromosikan terapinya sendiri. Dari sisi pasien lebih ramai lagi. Pasien bisa dengan mudah meng-share pengalaman terapinya, baik atau buruk, dan membuat kesimpulan kemanjuran terapi. Klaim-klaim medis ini tentu saja mempengtearuhi opini publik. Bila klaimnya palsu atau keliru, efeknya sangat merugikan. Masyarakat bukan hanya terbuai oleh harapan palsu tetapi juga menderita kerugian waktu dan finansial serta berisiko mengalami efek kesehatan serius.
Klaim Pasien Pesatnya perkembangan teknologi informasi memantik munculnya sebuah fenomena baru dimasyarakat, yaitu fenomena post-truth. Pada fenomena ini, opini publik lebih banyak dibentuk oleh perasaan, emosi dan keyakinan pribadi (personal belief) daripada fakta obyektif. Dalam bidang kesehatan, pasien adalah obyek terapi yang rentan mengalami efek post-truth. Alasannya, pengetahuan medis mereka terbatas (limited health literacy). Akibatnya, penilaian mereka terhadap berbagai aspek medispun cenderung subyektif. Mereka, misalnya, mengukur keberhasilan terapi berdasar perasaan mereka. Sudah sering terdengar testimoni pasien yang puas dengan pengobatannya karena ‘merasa lebih baik dan sehat’ setelah terapi. Dengan modal ‘merasa lebih baik dan sehat’ mereka mengklaim kemanjuran terapi dan bahkan mempromosikannya kemana-mana, termasuk menyanjung dokter pemberi terapi.
Dulu, testimoni pasien memang menjadi parameter penting keberhasilan terapi. Hingga abad ke-14, kemanjuran terapi hanya ditentukan oleh dua indikator, yaitu testimoni pasien dan perubahan klinis yang dialaminya. Setelah memberikan terapi, dokter mengevaluasi terapinya dengan menanyakan perasaan pasien dan memantau keluhannya. Bila pasien menyatakan kondisinya membaik dan keluhannya menghilang, ini cukup menjadi ukuran keberhasilan terapi. Testimoni pasien bahkan menjadi standar benar-salahnya seorang dokter dipengadilan. Dokter bisa masuk penjara akibat testimoni pasien. Saat itu, dunia kedokteran memang masih prematur dan konvensional. Belum banyak alat pemeriksaan dan parameter obyektif tersedia.
Dunia kedokteran selanjutnya mengalami evolusi. Mulai ditemukan berbagai alat dan teknik pemeriksaan yang memungkinkan penilaian obyektif struktur dan fungsi tubuh. Mikroskop berkembang pada periode 1590-1665. Alat pengukur tekanan darah mulai digunakan tahun 1881. Pada awal abad ke-20, penemuan teknologi medis makin marak, termasuk ditemukannya roentgen (X-ray), ultrasonografi dan nuclear magnetic resonance. Beberapa abad terakhir, penemuan alat-alat baru dan canggih makin masif. Dengan beragam alat ini, hampir semua fungsi dan struktur tubuh telah dapat dikuantifikasi secara obyektif, bahkan hingga tingkat molekuler. Timbullah paradigma baru; dunia kedokteran makin presisi dan obyektif dan peranan testimoni pasien mulai termarginalisasi.
Saat ini testimoni pasien dianggap tidak lebih dari anekdot, yaitu narasi subyektif yang belum dibuktikan kebenarannya (unverified argument). Kedudukannya dalam aspek legal dan pembuktian ilmiah tidak kuat. Untuk membuatnya relevan, testimoni pasien harus bisa dikuntifikasi secara obyektif. Narasi pasien yang ‘merasa bertambah sehat’ perlu diukur secara obyektif. Apanya yang makin sehat; apakah elemen tekanan darah, kadar gula, kadar lemak, aliran darah ke otak, aliran darah ke jantung, jumlah sel darah,
kadar hemoglobin, kemampuan melakukan kegiatan, kapasitas paru dan ginjal atau elemen lain? Untuk membuktikan kesahihan klaim ‘merasa bertambah sehat’ elemen-elemen diatas perlu diukur secara obyektif. Mujurnya, semua elemen ini telah bisa diukur saat ini. Pengukuran penting untuk mencegah testimoni yang tidak adekuat atau keliru (false claim), yang berpotensi merugikan masyarakat. Ironisnya, masih banyak masyarakat yang percaya testimoni-testimoni subyektif; apalagi bila digaungkan oleh figur publik. Ini menjadi alasan, banyak institusi yang tetap menggunakan testimoni pasien dalam mempromosikan produknya.
Klaim Dokter
Seorang dokter perlu super hati-hati saat ingin menggaungkan efek terapi. Ada aturan dan etikanya. Dunia kedokteran saat ini berada pada era evidence-base medicine. Semua nasihat dan terapi medis yang diberikan kepada pasien harus memiliki bukti klinis yang adekuat berdasar studi-studi yang valid. Tidak bisa didasarkan hanya pada pertimbangan logika dan pengalaman pribadi dokter. Alasannya, pertimbangan logika dan pengalaman pribadi sifatnya terbatas dan subyektif. Hal yang dianggapnya baik belum tentu baik saat diuji pada populasi pasien yang lebih luas. Pengalamannya mengobati sejumlah pasien tidak serta merta dapat diektrapolasi sebagai pengalaman yang dapat berlaku untuk ribuan atau jutaan pasien lain. Efek positif terapinya terhadap sejumlah pasien dapat berbeda ketika terapi tersebut diberikan pada pasien yang lebih banyak. Sebuah studi melaporkan bahwa saat ini terdapat lebih 400 terapi yang jamak dilakukan dokter berdasar pertimbangan logika ternyata bertentangan dengan hasil studi klinis. Salah satunya, pemberian hormon pengganti estrogen. Saat menopause, wanita mengalami peningkatan risiko menderita penyakit jantung akibat berkurangnya kadar hormon estrogen. Secara logika, pemberian hormon estrogen dapat mengurangi risiko penyakit jantung. Pemberian hormon estrogen pada wanita menopause pun menjadi sangat marak.
Sayangnya, beberapa penelitian yang muncul justru menyimpulkan hal paradoks; penelitian-penelitian ini menyebutkan bahwa pemberian hormon ini justru dapat meningkatkan risiko penyakit jantung pada wanita menopause. Kini masih terjadi kontroversi terkait hal ini. Terapi yang awalnya tampak logis ternyata tidak bersesuaian dengan hasil studi klinis.
Keharusan menggunakan bukti klinis komprehensif merupakan upaya dokter menjaga prinsip etik tindakan medis, yaitu memenuhi prinsip nonmalefecence (tidak membahayakan) dan beneficence (memiliki manfaat). Prinsip ini tidak boleh dilanggar. Dengan mereview dan menganalisis berbagai sumber, dokter berikhtiar menelisik bukti klinis tentang bahaya dan manfaat tindakan yang akan dilakukannya. Bila bukti klinis menunjukkan dapat membahayakan pasien, tindakan tersebut tidak dilakukan. Dokter tidak dibenarkan memberikan terapi yang belum memiliki bukti klinis atau bukti klinisnya lemah, sekalipun terapi tersebut diyakini bermanfaat. Menabrak prinsip ini bukan hanya melanggar sumpah dan etika dokter tetapi juga mencederai standar profesional kedokteran.
Era bukti klinis
Klaim-klaim medis, baik dari dokter maupun pasien, bisa valid dan bisa tidak valid. Tergantung landasan argumennya. Bila didasarkan pada bukti klinis yang adekuat, maka klaimnya bisa saja valid dan benar. Klaim subyektif pasien semata tidak bisa dijadikan ukuran kemanjuran terapi sekalipun yang mengklaim adalah figur publik. Narasi ‘saya merasa lebih sehat’ tidak relevan menggambarkan kemanjuran sebuah terapi. Untuk membuat klaim pasien relevan, klaim tersebut mesti diuji secara obyektif dengan berbagai tes. Klaim dokter juga tidak bisa diterima bila argumennya hanya didasarkan pada pemikiran atau pengalaman pribadi. Klaim valid mesti didasari oleh bukti klinis yang adekuat. Tindakan yang diklaim bermanfaat tapi belum dilakukan uji klinis mesti ditunda sementara sambil menunggu uji klinis yang valid dan adekuat.
Di era teknologi informasi saat ini, mestinya tidak ada lagi alasan menggaungkan klaim-kalim medis yang tidak disertai bukti klinis. Dunia kedokteran sudah sangat maju. Bidang ini memiliki banyak alat yang bisa digunakan dalam studi-studi klinis. Ini mestinya bisa dimanfaatkan untuk menguji terapi-terapi yang belum memiliki landasan ilmiah. Penelitian-penelitian ilmiah juga booming. Pada tahun 2000, studi klinik yang terdaftar di WHO berkisar 2000-an; jumlah ini meningkat mendekati 700 ribu studi tahun ini. Dengan jumlah studi yang masif ini, dunia kedokteran memiliki sumber referensi yang adekuat. Issu-issu medis bisa dianalisis dengan referensi ilmiah yang tersedia. Kedokteran berkembang menjadi bidang yang makin akurat dan presisi dan ruang untuk berspekulasi atau berargumentasi pada ranah subyektif menjadi makin berkurang. Artinya, klaim-klaim subyektif mestinya sudah tidak mendapat tempat. Namun faktanya, hingga kini klaim-klaim subyektif masih marak bersirkulasi. Testimoni subyektif terus menghiasi media. Juga masih ada dokter yang tetap menjalankan terapi yang dianggapnya benar meski terapi tersebut belum memiliki basis studi klinis yang adekuat. Bahkan ada dokter yang tetap mempraktekkan terapi yang bertentangan dengan hasil studi klinis. Alasannya beragam : permintaan pasien, pertimbangan keuntungan finansial atau karena tindakan tersebut terlanjur populer dan diterima masyarakat. Padahal ditengah kondisi mudahnya mencari sumber informasi, praktik-praktik seperti diatas mestinya sudah tereliminasi. Benarlah kata beberapa ahli, bahwa dunia kita saat ini bukan hanya diterpa oleh pandemi Covid-19 tetapi juga pandemi praktik-praktik dengan spirit post-truth.
DOKTER DIASPORA



KANSAS, USA
Penulis:
Ardy Fenando, MD Rheumatolgy Fellow at University of Kansas Health System Kansas City, Kansas USA

Saat ini saya sedang menjalani studi subspesialis reumatologi di University of Kansas Health System di Kansas, Amerika Serikat (USA). Saya akan menjelaskan secara singkat namun sistematis apa saja tahapan – tahapan yang telah saya tempuh sebelum mengambil subspesialisasi di USA. Saya menyelesaikan studi kedokteran saya di fakultas kedokteran Universitas Katolik Atma Jaya pada akhir tahun 2014. Setelah itu, saya mengikuti program internsip kedokteran selama setahun di Tobelo, Halmahera Utara. Pada pertegahan tahun 2016, saya datang ke USA untuk persiapan ujian United States Medical Licensing Examination (USMLE). Ujian tersebut merupakan ujian penyetaraan kompetensi bagi dokter – dokter yang ingin melanjutkan studi spesialisasi di USA. Selain itu, saya juga mengikuti rotasi – rotasi klinis, baik di rumah sakit ataupun klinik agar lebih mengerti sistem kesehatan di USA.
Pada tahun 2018, saya memulai program residensi penyakit dalam di Michigan State University (MSU) di Michigan, USA. Pada beberapa bulan pertama, saya cukup terkejut karena banyak sekali perbedaan sistem kesehatan dan pendidikan kesehatan antara Indonesia dan USA.

UNITED KINGDOM
Penulis:
Dyah Prawesti, MD

Consultant Obstetrician and Gynaecologist at United Kingdom
Nama saya Dyah, namun teman-teman dekat dan keluarga biasa memanggil Pitha. Saya lahir di Magetan, Jawa TImur, namun besar di Bandung. Setelah menyelesaikan SMA di Bandung, saya melanjutkan pendidikan dokter umum di FKUI Jakarta, dan lulus pada tahun 2004.
Keinginan sejak SMA untuk mengincipi pendidikan di luar negeri pertama kalinya saya dapatkan ketika berhasil lulus seleksi beasiswa Australian Development Scholarship dari pemerintah Australia untuk mengambil program master. Setelah menyelesaikan program Master of Health Services Management dari University of New South Wales, Sydney, di tahun 2006, saya kembali pulang untuk melanjutkan pendidikan spesialis Obstetri dan Ginekologi di FKUI, Jakarta.
DI tengah pendidikan spesialis, suami mendapatkan pekerjaan baru dan harus pindah ke London, Inggris. Saya kemudian mengambil cuti akademik selama setahun untuk menemani suami, dan memulai proses untuk bisa melakukan registrasi sebagai dokter dengan General Medical Council (konsil kedokteran Inggris).

Dimulai dari penggunaan Electronic Medical Record (EMR), pemberdayaan dokter keluarga, sampai ke pembagian tugas mahasiswa kedokteran dan residen. Selain itu, Bahasa Inggris yang bukan merupakan bahasa utama saya, menambah daftar kesulitan dalam proses adaptasi. Namun, berkat dukungan dari teman – teman, mentor, dan juga keluarga, akhirnya saya dapat menyesuaikan diri dengan cukup baik.

Sebagai residen penyakit dalam, saya harus menjalani rotasi wajib, seperti bangsal rawat inap, ruang perawatan intensif, dan poli rawat jalan untuk penyakit dalam. Saya juga dapat memilih rotasi elekfif, seperti patologi, elektrofisiologi, radiologi, reumatologi, dan lainnya. Selama rotasi bangsal rawat inap, terdapat pembagian tugas antara residen junior dan senior. Residen junior tingkat satu (intern) diberi tanggung jawab untuk merawat 8 pasien, sedangkan residen senior akan mensupervisi pasien yang dirawat oleh 2 orang intern dan menerima pasien baru. Dalam satu tim biasanya terdiri dari 1 orang dokter pembimbing, 1 residen senior, dan 2 residen junior.
Setelah menjalani residensi penyakit dalam selama 3 tahun, saya melanjutkan studi subspesialisasi di bidang reumatologi (Rheumatology fellowship). Sebagai seorang fellow, saya memiliki panel pasien saya sendiri di stase poliklinik, namun tetap dibawah supervisi pembimbing. Saya juga harus menjawab konsultasi dari departemen lain di stase rawat inap. Para fellow juga memiliki poli khusus untuk tindakan di mana kami boleh melakukan tindakan di bawah supervisi pembimbing, seperti injeksi, aspirasi sendi atau tindakan lainnya menggunakan bantuan ultra sonografi (USG).
Saya sangat menikmati proses pembelajaran dan lingkungan pekerjaan di USA. Saya dapat dengan mudah mengutarakan pendapat dan berdiskusi kepada senior dan dokter pembimbing. Jam kerja dan jumlah pasien juga dibatasi agar dapat memaksimalkan potensi masing – masing individu, serta menjaga well-being para residen dan fellow. Kami juga diberikan kesempatan untuk pengembangan ilmu pengetahuan melalui bimbingan, journal club, grand rounds, dan juga kesempatan untuk membuat karya ilmiah dan berpartisipasi dalam penelitian sesuai dengan minat masing – masing.

Setelah cuti setahun, saya kembali untuk menyelesaikan pendidikan spesialis saya di FKUI, lulus ujian board nasional Kolegium Obstetri dan Ginekologi di awal tahun 2012. DI tengah pendidikan residen, saya juga mulai mencicil melakukan ujian untuk registrasi dengan GMC, PLAB (Professional and Linguistic Assessment Board). Saya juga mulai melakukan ujian untuk Royal College of Obstetrician and Gynaecologist RCOG).
Sejak Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) didirikan, saya adalah dokter lulusan Indonesia pertama yang melakukan registrasi. Ketika saya melakukan registrasi, medical regulatory body di Indonesia dalam daftar GMC masih Kemdikbud. Proses verifikasi KKI memakan waktu sangat lama dan mengakibatkan proses registrasi saya tertunda hampir setahun. Namun sekarang, KKI sudah dikenal oleh GMC dan ini tentu mempermudah para dokter lulusan Indonesia untuk melakukan registrasi dengan GMC.
Setelah mendapatkan registrasi dan licence to practice di tahun 2013, saya mulai bekerja di Inggris, meniti jenjang sesuai system di sini. National Health Service (NHS), provider layanan kesehatan di Inggris yang gratis untuk semua pasien. Saya juga berhasil menjadi member of RCOG di tahun 2016. Kesempatan untuk training lebih lanjut datang di tahun 2018 dan saya berhasil lolos seleksi nasional. Saya memutuskan untuk mengambil Gynaecology Oncology advanced training module, dan juga ambulatory hysteroscopy.
Saya beruntung mendapatkan training di berbagai rumah sakit pendidikan besar dan cancer center ternama di London. Training lanjutan ini saya selesaikan di tahun 2021 dan saya berhasil mendapatkan Consultant post di Milton Keynes University Hospital.

Sebagai Consultant Obstetrician and Gynaecologist, job plan saya terbagi menjadi clinic (antenatal clnic dan gynaecology oncology clinic), theatre list, outpatient hysteroscopy, serta out of hours on call consultant
Selain itu, bagian dari pekerjaan saya adalah juga mengajar medical students (dari University of Oxford dan University of Buckingham), serta menjadi educational/clinical supervisor untuk O&G trainees (Thames Valley Deanery) di samping terlibat dalam berbagai audit/quality improvement project dan riset.
Saya juga aktif dalam berbagai kegiatan komunitas Indonesia di Inggris, edukasi masyarakat (bersama KBRI London, melalui social media : facebook page “Dokter Pitha”, menulis dan menerbitkan 3 buku), mengajar/pembicara tamu untuk berbagai Universitas di Indonesia, dan aktif sebagai dokter diaspora
Sabtu pagi di resort kecil negara bagian Hessen dekat kota Kassel HP saya tiba tiba memberi notifikasi Whatsapp dari Dr. Prasti Pomarius. Ketua IASI Jerman periode 2021-2023. "Eh, Ton, lo tulisin dong crita mulai dari pendidikan spesialis sampai berkarir disini. Deadlinenya besok ya." Kaget juga tidak ada persiapan sama sekali, berusaha menolak tapi sang ketua tetap memaksa alhasil saya memberanikan diri menulis sesuatu terutama hal-hal yang penting serta titik balik sepanjang karir saya. Saya adalah dokter umum lulusan Unika Atmajaya Jakarta tahun 2009. Sejak masa pendidikan saya memang bermimpi menjadi seorang klinisi terutama menjadi kardiologi. Pada masa masa praktikum sebagai dokter muda, saya menghadiri seminar mengenai pendidikan spesialis di jerman. Beserta pacar saya waktu itu, kami berdua bertekad bila lulus kami akan melanjutkan studi kami disana. Setelah berbicara dengan orang tua dan mendapat restu, mulailah di tahun 2008 persiapan-persiapan yang tidak mudah. Pelajaran bahasa jerman yg disambi praktikum dokter muda setelah bekerja 32 jam, melewati macet Rush Hour, ujian kenaikan tingkat, dll tidaklah mudah.

JE RMAN
Penulis: Dr. Tony Hartanto, Internist + critical care specialist Jerman
Tahun 2010 setelah 18 bulan dan mencapai level bahasa minimal yg diperlukan untuk menjadi residen dimulailah tahap surat menyurat dan melamar kerja. Pilihan jatuh saat itu di Uni Klinik Heidelberg. Sebuah Universitas dan RS ternama di kota Heidelberg, Jerman bagian selatan. Bulan Juli 2010 saya memulai karir saya sebagai dokter tamu. 9 bulan berlalu, ternyata tidak mudah menjadi seorang dokter yg menurut mereka berasal dari dunia ketiga tanpa Approbatian (Ijin kerja Dokter negara Jerman). Alhasil saya banting setir ke negara bagian lain dimana saya dan istri mendapat tempat di RS yg lebih kecil dan menjanjikan honorar sesuai tarif negara.
Pilihan kali ini jatuh di kota Herford, kota kecil di negara Bagian North Rhine-Westfalen. Kadang jg disebut kota Mode. Beberapa merek pakaian terkenal berasal dari kota ini contohnya Bugatti dan Brax. Juli 2011 mulailah pendidikan saya kali ini sebagai residen internis. Saya diberikan tugas awal sebagai dokter penanggung jawab bangsal Gastroenterologi dibawah supervisi konsulen. Tahun berikutnya saya masuk ke rotasi di kardiologi dan emergency care.
Banyak sekali jenis jenis penyakit yang saya temui mulai dari yang umum seperti dehidrasi, parkinson, kanker lambung,usus, limfoma,dll hingga yang jarang sekali seperti Empty Sella Syndrom dan Common Variable Immune Defect).
Yang menarik adalah saya mengalami syok budaya karena etos kerja, hirarki antara kolega, hubungan interpersonal (pasien-dokter, dokter dengan dokter) berbeda sekali dengan yang saya alami selama masa pendidikan.
Terlihat sekali ada batas antara kerja dan kehidupan pribadi. Setiap dokter jg sudah mempunyai peran dan tugas yang jelas. Tidak ada senioritas dan kultur "permisi" sama sekali. Kita bisa mendamprat profesor dari anestesi tanpa takut konsekuensi bilamana seseorang bertindak tidak pada tempatnya (contoh: pernyataan sexismus, rasismus, menghina, dll). Kita boleh berkata "tidak" bilamana atasan meminta sesuatu hal di luar jam kerja. Ada aturan jelas tentang jam kerja, masa istirahat.
Tapi yang terbaik menurut saya adalah kita bisa membantu pasien tanpa memikirkan harga suatu obat/tindakan. Dengan dukungan sistem asuransi kesehatan nasional yang kuat, setiap warga mendapat apa yang diperlukan sesuai indikasi. Overtherapy dan undertherapy menjadi minimal. Tentu saja berbeda dengan sistem Uni based. Kita dituntut belajar mandiri, mencari seminar sendiri, kursus sendiri. Jarang ada sistem rotasi yang jelas. Seseorang harus berusaha dan melobi sendiri bila mau bekerja di kardiologi misalnya. Maka terjadilah survival of the fittest. Yg malas tertinggal dan promosinya tertunda. Karirnya tak menanjak. Yg berambisi, mempunyai social skill yang bagus karirnya akan menanjak.
Tahun 2013, 2 tahun berkarir dan belajar saya memutuskan mengajukan aplikasi Deutsche Approbation. Beruntung saya kena peraturan lama. Masa studi selama 7 tahun di Indonesia dianggap setara dengan pendidikan Jerman sehingga saya harus menjalani ujian bahasa saja. Juli 2013 saya mendapatkan sertifikat Approbation dari pak pos. Wah hati saya berbunga bunga sekali.
Februari 2014 menjelang 3 tahun berkarir Tuhan memberkati kami dengan menitipkan anak kembar. Di waktu itu juga saya pindah RS sekitar 40 km dari domisili. Disini saya belajar lebih lanjut di bagian pulmonologi, paliatif dan hemato-onkologi. Berpindah dari suatu tempat ke tempat lain memberikan perspektif yang lebih luas dan bisa memandang suatu hal, penyakit, organisasi, gaya kepemimpinan dari sudut pandang yang berbeda. Namun tak lama saya bertahan disana dikarenakan masalah kesehatan anak saya (1 anak saya menderita PJB kompleks langka yang membutuhkan perhatian ekstra), pengaturan janji dokter, jadwal operasi, pekerjaan, jaga malam, keluarga akhirnya saya keluar dan melamar ke RS pendidikan lain di kota Herford.
Tahun 2015 dimulailah rotasi saya di ICU. Suatu rotasi yang menurut saya paling menarik, kompleks tapi penuh tantangan. Ini adalah trigger saya dimana saya tahu bagian ini adalah "my passion".
Setelah 9 bulan di ICU masuklah di masa-masa akhir pendidikan internis. Gastroskopi, kolonoskopi, bronkoskopi , pungsi sumsum tulang, pleura,ascites,dll lebih sering dilakukan. Apalagi saat ini adalah masa perang siria. Jerman kebanjiran pengungsi tidak hanya dari siria tapi juga negara konflik lainnya seperti Sudan, Eritrea,dll.
Tak akan lupa pasien saya di usia 29 tahun menyeberangi lautan dari Eritrea datang dengan keluhan mual muntah dan akhirnya didiagnosa kanker lambung dengan metastase getah bening. Desember 2016. Another milestone in my life. Setelah 6,5 tahun berpetualang di berbagai bagian akhirnya saya memberanikan diri mengambil ujian spesialis. Ujian spesialis dilaksanakan di kolegium setempat, lisan di hadapan 2 Profesor dan 1 profesor sebagai juri netral dan pencatat. Ternyata ujian dr.spesialis tidak sehoror yang dibayangkan. Penguji hanya ingin tahu bagaimana alur pikir kita mulai dari pasien datang hingga ke diagnosis akhir dan teori teori dasar. Pertanyaan penguji bisa saya jawab dengan baik, terlihat mereka manggut manggut dengan jawaban saya. Setelah 30 menit sertifikat dokter spesialis berpindah tangan.
Tahun 2017-2019 adalah waktu dimana saya menjalani program sub spesialis.pilihan saya jatuh pada Critical Care Medicine. Berbeda dengan Indonesia dimana lazimnya kompetensi KIC didominasi anestesi di jerman critical care medicine dibagi empat.
1. Interna CCM
2. Operatif CCM
3. Neuroligis CCM
4. Pediatrik CCM
Karena latar belakang saya sebagai internis maka otomatis program saya adalah interna CCM. 2 tahun berjibaku dengan sistem shift. Mempelajari patofisiologi pasien pasien kritis, post resusitasi, syok, manajemen jalan napas, sirkulasi, ECLS, bunuh diri, intoksikasi,dll.
Adrenalin rush berubah menjadi rutinitas. Tak ada lagi adrenalin pada saat kegawatdaruratan. Semuanya berubah menjadi otomatisasi. Muscle memory mengambil alih.
Tahun 2019 bulan agustus setelah 2 tahun terulang lg ujian sertifikasi. Tak mudah seperti sebelumnya, tapi kali ini setelah 1 jam sertifikat sub spesialis berpindah tangan. Saya memberanikan diri mengambil posisi di tangga karir yang lebih tinggi sebagai konsulen. Dimana tugas tidak saja bertanggung jawab penuh dengan konsep terapi tapi juga manajemen dan pendidikan untuk residen.
Di sini juga saya diharuskan menghadapi pasien pasien post operatif. Pasien yang dimana saya belum pernah lihat sebelumnya. Beruntung kolega anestesi membantu saya belajar mendalami hal baru ini. Tim kami mengembangkan konsep di ICU kami "less is more". Konsep yang mungkin baru akan mulai jamak 10-15 tahun lagi.
Tahun 2020 dunia diguncang pandemi Corona.
Maret 2020 pasien no 1 positif di Region Heinsberg. 2 minggu berikutnya sudah ada 5000 kasus. Jerman lockdown. Tagar flattenthecurve dan stayathome viral. RS masuk ke modus darurat. Kapasitas dilipatgandakan. OP terencana ditunda. Personal OP dialihgunakan ke ICU. Kami dan tim jadi benteng terakhir pertahanan pasien.
Akhir maret 2020 pasien Covid pertama di RS masuk ICU. Tanpa ada riwayat bepergian. 5 hari terbaring di kamar tanpa APD. RS kecolongan!!!!! Beberapa Nakes ketularan. Saya salah satunya. Beruntung tak ada korban jiwa.
Gelombang pertama naik tajam. Pasien pasien ARDS masuk rata-rata 1 pasien per hari. Bed cepat terisi. Tingkat kematian 50% pada full blown ARDS.salah satunya kolega dokter keluarga di kota setempat. Ia menyerah kalah karena sepsis biarpun memdapatkam ECMO.
Mei 2020 dokter Ratna salah satu diaspora mencari dokter diaspora juga yang menangani pasien Corona. Disinilah mulai perkenalan dengan IASI Jerman. Organisasi non profit Diaspora yg didirikan oleh presiden ke-3 RI alm. Prof. Dr. BJ Habibi. Saya berkenalan dengan koordinator bidang science dr. Prasti yang saat ini menjadi ketua. Kami dengan beberapa dokter diaspora memberikan webinar, info mengenai penanganan COVID di Jerman.
Di tahun 2021 saya diberikan tanggung jawab membantu lg di IASI Jerman kali ini sebagai koordinator bidang kedokteran. Begitu banyak diaspora nakes yang bersedia membantu sukarela berusaha memberikan kontribusi dari negara dingin ini.
Tengah malam telah tiba. Saya rasa saya harus menyudahi tulisan saya. Dan saya harap bisa memberikan efek positif ke komunitas nakes Indonesia.
Salam sehat dan sukses selalu, Dr. Tony Hartanto, Internist + critical care specialist
MELINDUNGI MASYARAKAT MENGAWAL DOKTER
oleh : dr. Abidinsyah Siregar DHSM., MBA., MKes

(Sekretaris KKI 2006-2008/ Ketua IDI Cabang Medan 2003-2005/ Ketua PB IDI 2006-2009, 2009-2012/ Majelis Pakar PB IDI).
Dokter Indonesia (PB-IDI) Periode 2022-2025 segera berkesinambungan, sejak terlantik pada 25 April 2022. Dipimpin tokoh muda tegas berintegritas Dr.Mohammad Adib Khumaidi,Sp.OT didampingi Ketua Terpilih pada Muktamar XXXI IDI di Banda Aceh Dr.Slamet Budiarto,SH,MH sekaligus menjadi Wakil Ketua Umum, berbakti memastikan Pasien/Masyarakat terlayani dan terlindungi dalam praktik Kedokteran diseluruh wilayah Indonesia.
Perlindungan kepada Pasien merupakan komitmen utama dalam Praktik Kedokteran. Itu segaris dengan prinsip yang tertera pada Sumpah Dokter Indonesia khususnya pada Sumpah ke 11 dari 12 isi Sumpah yaitu Saya akan menaati dan mengamalkan Kode Etik Kedokteran Indonesia. Masyarakat pengguna layanan Dokter sesungguhnya sangat amat dilindungi, ada tiga cara atau sistem yang secara berlapis dan berbeda menjaga dan melindungi pasien.
Yang pertama mencegah dari kelalaian atau kesengajaan yang boleh jadi tidak terlihat, masuk kepada wilayah ETIK. Dimana sang Dokter melaku-
kan suatu tindakan medik yang seharusnya tidak dilakukan atau tidak melakukan suatu tindakan medik padahal seharusnya dilakukan. Pelanggarannya berproses pada sidang Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) yang ada pada setiap jenjang Struktur Organisasi IDI. Hukuman terberat bisa sampai Pemberhentian keanggotaan IDI. Kedua, kelalaian atau kesalahan karena tidak melakukan kewajibannya untuk memberikan pelayanan kesehatan sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional serta kebutuhan kesehatan pasien dan tidak meminta persetujuan pasien atau keluarganya mengenai tindakan medis serta dalam menjalankan praktik kedokteran tidak membuat rekam medis dan menyimpan atau menjaga kerahasiaan dokumen rekam medis termasuk menyimpan rahasia kedokteran, ini masuk diranah pelanggaran DISIPLIN.
Mekanisme penyelesaiannya melalui Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI) yang merupakan unit Otonom dalam Konsil Kedokteran Indonesia (KKI). Sanksi disiplin berupa, pemberian peringatan tertulis atau rekomendasi pencabutan Surat tanda registrasi (STR) atau surat izin praktik; dan/atau kewajiban mengikuti pendidikan atau pelatihan di Institusi Pendidikan Kedokteran.
Yang Ketiga, adalah keteledoran atau kelalaian yang berakibat kerugian bagi pasien dan pasien melaporkan dengan bukti yang nyata. Kerugian dimaksud bisa berupa kecacatan bahkan kematian. Kondisi ini bisa membuat sang Dokter berhadapan dengan Peradilan Umum baik Perdata maupun Pidana, dengan ancaman Penjara dan Denda.
Ketiga aspek hukum diatas, Etik, Disiplin dan Pidana/Perdata, bisa terjadi sendiri atau bersama berturutan.
Pengalaman Penulis ketika menjadi Ketua IDI Cabang Medan (2004), saat mendampingi seorang Dokter dihadapan Penyidik Reserse Poltabes Medan (ketika itu belum ada UU Praktik Kedokteran No.29 Tahun 2004 dan tentu belum ada KKI), sehingga semua pengaduan (apapun jenisnya) masuk ke ranah Reskrimum Polri. Ketika sampai pertanyaan kesekian kepada sang Dokter untuk menjelaskan “tindakan apa yang dilakukan”, sang Dokter menjelaskan secara detil dan panjanglebar tindakan medik yang dilakukan. Pak Polisi kemudian bertanya “Apakah semua yang diucapkan ada dituliskan dalam Catatan Medik?”, sang Dokter dengan cepat membuka Map dan menunjukkan Catatan Medik dalam lembar Rekam Medik yang penuh dengan tulisan, seperti apa yang diucapkan sebelumnya. Kemudian pak Polisi menunjukkan lembar Rekam Medik yang sama tetapi tanpa tulisan apapun kecuali satu dua kata tentang keluhan saat pasien. Pak Polisi bertanya, “Yang mana dari kedua Catatan Medik ini yang Benar?”. Sang Dokter langsung menyerah bahwa yang benar yang ditangan pak Polisi.
Dalam kasus ini terjadi pergeseran, mulai dari kelalaian Etik, pelanggaran Disiplin dan akhirnya jatuh kepada Pelanggaran Hukum yang sengaja dilakukan demi “menyelamatkan alibi, yang justru menjerumuskan diri pada kesalahan yang fatal”.
EGO VS ETIKA KEDOKTERAN
Etik dan Etika Dokter dikawal melalui Organ Otonom IDI yakni Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK).
Etik adalah (semua) tindakan yang harus dilakukan oleh manusia sesuai moral profesinya.
Sedangkan Etika, adalah Pedoman bagi seseorang atau kelompok ;perkumpulan profesi untuk berprilaku dan berbuat.
Etika dan Ego selalu jalan bersamaan, namun belum tentu berdampingan, bahkan bisa saling mempengaruhi atau bertentangan. Dokter praktisi atau klinis, begitu tersambung dengan pasien, maka terbangun relasi sebagai “doctor and patien relationship”. Dengan relasi yang baik, terbuka kejujuran dan mudah baginya menelusuri keluhan, menemukan sebab penyakit, menetapkan Diagnosa paling memungkinkan dan menetapkan rencana pengobatan untuk dikomunikasikan kepada pasien secara transparan, memberi kesempatan second opinion serta mengedukasinya agar tercapai tujuan bersama yaitu sang pasien memahami petunjuk medis dan Dokter sukses sebagai sang pemberi jalan kesembuhan.
Terakhir, menetapkan “harga jasa” yang perlu ditagih sesuai dengan kepantasan. Sikap Dokter merupakan implementasi hidup dari aktualisasi 12 pernyataan dalam Sumpah Dokter yang menjadi janji setiap Dokter sejak dilafalkan pada hari pengangkatan sumpah.
Lafal Sumpah Dokter Indonesia wajib diucapkan oleh setiap Dokter. Sumpah Dokter Indonesia didasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 1960 (serta perubahannya) yang sejalan dengan Deklarasi Geneva 1948 yang isinya menyempurnakan Sumpah Hippokrates, sang Bapak Kedokteran Dunia pada 400 Tahun Sebelum Masehi.
Spencer and Spencer, 1993 mengingatkan, ada sisi yang tersembunyi pada konstruksi kompetensi seorang profesional, yaitu Konsep Diri, Karakter dan Motif. Sedang sisi yang terlihat adalah Knowledge (Pengetahuan dan Pengalaman komparatif) dan Skill (Ketrampilan/ Keahlian). Karenanya dalam wilayah Etik yang isinya konsep diri, karakter dan motif, sang Dokterlah yang PALING TAHU apa yang sebenarnya terjadi. Etika sebagai panduan dapat membantu merasa apakah ada pelanggaran etik.
Penulis ingat saat awal kuliah di Fakultas Kedokteran USU di Medan, era 70-80an, Dua Gurubesar pemberi materi kuliah Etika Kedokteran yaitu Guru Besar Fakultas Hukum Prof.Mr.Ani Abbas Manopo,SH dan Guru besar Fakultas Kedokteran Prof.Dr.Yusuf Hanafiah, Sp.OG. Kuliah Etika Kedokteran selalu menjadi perhatian Mahasiswa Kedokteran. Bukan saja karena materinya yang menarik juga luasnya wawasan Sang Gurubesar dalam memberikan latar urgensi etika, contoh dan permasalahan yang selalu muncul. Semakin menarik, karena kekuatan etika bukan karena tantangan dari luar, tetapi pada integritas dan kontrol diri, dimana diri sendirilah yang menjadi pusat penentu dan penakar. Menjadi Dokter yang baik adalah impian semua Dokter. Menjadi Dokter yang baik adalah standar minimal bagi setiap Dokter.
TANTANGAN IDI KE DEPAN
IDI kedepan (era Periode 2022-2025) harus mengelaborasi, mengadvokasikan dan mengimplementasikan Thema Muktamar XXXI IDI Tahun 2022 yakni Peran Strategis IDI Dalam Membangun Kemandirian dan Upaya Meningkatkan Ketahanan Bangsa. Tema yang sangat cerdas dan sensitif terhadap problem Kesehatan Nasional.
IDI saatnya lebih aktif memberikan gagasan-gagasan cerdas kepada Pemerintah melalui Kementerian Kesehatan, Kementerian Pendidikan, BRIN, BKKBN, KKI, AIPKI, BPOM, Asosiasi Kepala Dinas Kesehatan, dan sebagainya.
Gagasan tersebut sejalan dengan Tujuan didirikannya IDI, sebagaimana tertera dalam Anggaran Dasar IDI yaitu :
(1). Meningkatkan derajat kesehatan rakyat Indonesia.
(2). Mengembangkan ilmu kesehatan serta IPTEK Kedokteran.
(3). Membina Mengembangkan kemampuan profesi anggota.
(4). Meningkatkan kesejahteraan anggota.
Otoritas IDI dalam menjalankan tugas dan misi sudah KUAT dan PASTI. Tidak ada peluang bagi siapapun untuk “men-2-kan atau men-3-kan” IDI. Negara melalui Mahkamah Konstitusi telah menerbitkan putusan No.10/PUU-XV/2017. Putusan ini menegaskan”ketunggalan” IDI memiliki Konformitas dan Justifikasi. Otoritas itu tegas dan jelas ditulis dalam buku Jejak Advokasi SATU IDI Rumah Besar Profesi Kedokteran yang ditulis lawyer kondang Muhammad Joni,SH,MH dari Joni&Tanamas Law Office, terbitan 2018. Delegitimasi IDI sudah terjadi berulang. Badai terkeras terjadi pada era 2015-2017. Terasa berat karena Penggugat dalam Judicial Review adalah Anggota IDI itu sendiri. “Panglima Perang” terdepan yang menghadapi badai ketika itu adalah Profesor.DR.Ilham Oetama Marsis, Sp.OG (Ketua Umum PB IDI Periode 2015-2018) yang juga dikenal dengan panggilan Om Boy. Didampingi Sekretaris Jenderalnya bung Dr.Mohd.Adib Khumaidi,Sp.OT yang kini menjadi Ketua Umum PB IDI Periode 2022-2025. Badai dihadapi dengan kompak, cermat dan cerdas didukung Konsultan Hukum PB IDI HM.Joni,SH.MH yang secara Profesional membantu proses Advokasi di Mahkamah Konstitusi.
Tim Ahli, Miranty Abidin dan Refli Harun sama berpendapat, bahwa Organisasi Profesi yang urusannya terkait hajat nyawa manusia, Asosiasi Profesi Dokter harus Tunggal (Kompas 5 Agustus 2017).
Buku SATU IDI merupakan kumpulan fikiran dan pendapat, ketika IDI berjuang melawan delegitimasi. Jajaran Pimpinan, Pengurus dan bahkan Anggota IDI pantas memiliki Buku ini untuk membuat semangat pengabdian dan kebanggaan dalam pengabdian semakin membuncah, dan memberi keluaran peningkatan kualitas kesehatan sebagai wujud Kemandirian dan Ketahanan Bangsa.
Tantangan IDI lainnya,sejalan dengan Tema Muktamar XXXI IDI Tahun 2022, pernah ditawarkan penulis dalam tulisan tanggal 22 Maret 2022, mendorong IDI semakin membantu Pemerintah untuk mewujudkan Kemandirian berdasar pengalaman lapangan dan big-data kesehatan, dengan 7 agenda, yaitu : (1).Mengatasi segera Maldistribusi Dokter. (2).Perhatian Besar Kepada Lingkungan dan Perilaku (Perkuat Edukasi Pasien dan Keluarga) (3).Komitmen Upaya Kesehatan Yang Terpadu, Menyeluruh dan Berkesinambungan (4).Memperkuat Konsep Paradigma Sehat (Promotif dan Preventif, tidak hanya Kuratif) (5).Kolaborasi Kedokteran dan Farmasi untuk Mengurangi Ketergantungan Import bahan baku obat yang sudah Irrasional. Termasuk dukungan Pengembangan Kesehatan Tradisional. (6).Pelayanan Kesehatan dengan mengoptimalkan Pendekatan Digitalisasi. (7).Penerapan Model Pelayanan berbasis Dokter Keluarga.
Selamat Bekerja PB-IDI Periode 2022-2025.
Ingat Sumpah ke-12 Sumpah Dokter Indonesia : Saya ikrarkan sumpah ini dengan sungguh-sungguh dan dengan mempertaruhkan kehormatan diri saya.
Jakarta, SunterJaya , 23 April 2022
SELAMAT ATAS DILANTIKNYA
PENGURUS BESAR & MAJELIS-MAJELIS IKATAN DOKTER INDONESIA
MASA BAKTI 2022-2025

“Assalamualaikum. wr. wb. Alhamdulillah, puji syukur kehadirat Allah SWT karena pada bulan April tahun 2022 dilakukan pelantikan Pengurus PB IDI masa bakti 2022-2025. Segenap pengurus Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, mengucapkan selamat atas pelantikan Pengurus PB IDI 2022-2025. Semoga pengurus PB IDI yang dilantik dapat menjalankan amanah dengan baik, bekerja dengan sungguh-sungguh untuk kebaikan anggota IDI, masyarakat, dan bangsa Indonesia.Semoga pengurus baru dapat membawa IDI menjadi organisasi dokter yang kuat, solid, dan makin terdepan menghadapi tantangan kemajuan jaman di era modern saat ini. Wassalamualaikum wr. wb.”
Dr. dr. Agus Dwi Susanto, Sp.P(K), FISR, FAPSR Ketua PP PDPI
“IDI harus berani mengatakan kebenaran, bersatu, dan mengayomi anggotanya.”
Dr. dr. Besut Daryanto, Sp.B, Sp.U(K) Ketua Umum PP IAUI 2020-2023
“Selamat atas pelantikan Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia. Semoga Sukses dan diberikan kemudahan dalam menjalankan amanah. In sya Allah, bernilai ibadah di sisi Allah SWT.”
Prof. Dr. dr. Andi Asadul Islam, Sp.BS(K) Ketua PP IKABI 2018-2021
“Selamat atas pelantikan Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia. Semoga sukses dan diberikan kemudahan dalam menjalankan amanah.“
Dr. dr. Tirza Z. Tamin, Sp.KFR(K) Ketua Umum PB PERDOSRI 2019-2022
“Selamat atas pelantikan PB IDI 2022-2025. Semoga kepengurusan baru ini dapat mendukung para Dokter agar mempunyai kinerja baik dan profesional untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat Indonesia. Dan dapat menjadi mitra kritis & strategis bagi pemerintah dan semua stakeholder dalam memajukan dunia kesehatan Indonesia.”
Dr. dr. Nur Rasyid, Sp.U(K) Ketua PP IAUI 2017-2020
“Saya Ketua Umum PB PAPDI mengucapkan selamat dan sukses kepada kepengurusan PB IDI beserta seluruh Majelis periode 2022-2025. Semoga IDI semakin berjaya dan tetap menjadi satu-satunya organisasi profesi yang menjadi wadah dan pengayom seluruh Dokter Indonesia. Selamat untuk PB IDI dan Majelis-majelisnya”
Dr. dr. Sally Aman Nasution, Sp.PD-KKV, FINASIM, FACP Ketua PB PAPDI
“Selamat atas pelantikan Pengurus Besar dan Majelis-majelis Ikatan Dokter Indonesia masa bakti 2022-2025. Selamat bekerja, semoga amanah, dimudahkan dalam menjalankan tugas, dapat membawa dokter-dokter Indonesia bertambah maju dan sejahtera serta selalu berada dalam Lindungan-Nya” dr. M. Sidik, Sp.M(K)
Ketua Umum PP PERDAMI 2019-2022
“Assalamualaikum wr. wb. IDI adalah rumah besar bagi setiap dokter di Indonesia. Rumah yang memiliki segenap upaya untuk merangkul semua dokter agar bisa bersatu bersama menegakkan pilar-pilar pelayanan kesehatan di Indonesia dengan penuh tanggung jawab dan tertata dalam aturan-aturan yang jelas. Tidak mudah bagi mereka yang mengemban amanah sebagai pengurus IDI ini untuk menyatukan banyak pendapat dan ide dari para dokter Indonesia. Dan untuk menjalankan pelayanan kesehatan yang harus dilakukan sesuai skala prioritas, dengan hati nurani, tanggung jawab, dan terukur secara ilmiah. PERHATI-KL yang menaungi para dokter spesialis THT Indonesia akan tetap berada bersama IDI untuk kesuksesan terselenggaranya pelayanan kesehatan di Indonesia. Selamat bertugas untuk pengurus baru PB IDI tahun 2022-2025. Tetap tegak dan semangat dalam menjalankan amanah tugas kepengurusan dengan perlindungan Allah SWT. Sukses selalu. Wassalamualaikum wr. wb.”
Prof. Dr. dr. Jenny Bashiruddin, Sp.T.H.T.K.L.(K)
Ketua Umum PP PERHATI-KL 2019-2022
“Selamat kepada dr. Adib, Sp.OT menjalankan amanah sebagai ketua Umum PB IDI yang baru. Semoga selalu dilindungi oleh Allah SWT dalam mengambil keputusan strategis yang menjadikan IDI sebagai organisasi modern yang mandiri, akuntabel, dinamis, tegar, dan kompak menghadapi tantangan yang makin disruptive. PERDOSKI akan selalu mensupport. Bersama kita bisa.”
Dr. dr. Yulianto M. Listyawan, Sp.KK(K)
Ketua PP PERDOSKI 2017-2020
“Selamat atas pelantikan Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia. Semoga Sukses dan diberikan kemudahan dalam menjalankan amanah. “ Dr. dr. Isman Firdaus, Sp.JP(K), FIHA, FAPSIC, FESC, FACC, FSCAI Ketua Umum PP PERKI 2019-2022
“Selamat atas pelantikan Ketua PB IDI beserta jajarannya, Ketua MKKI beserta jajarannya, Ketua MPPK beserta jajarannya, dan Ketua MKEK beserta jajarannya. Semoga selama menjalankan tugas mendapat lindungan dan limpahan kasih sayang Allah, dan semua urusan yang dijalankan diberikan kelancaran dan kesuksesan”
Prof. Dr. dr. David S. Perdanakusuma, Sp.BP-RE(K) Ketua MKKI PB IDI Masa Bakti 2018-2022
“Kami, seluruh keluarga besar Perhimpunan Dokter Spesialis Orthopaedi dan Traumatologi Indonesia (PABOI) mengucapkan selamat atas pelantikan pengurus baru PB IDI di bawah kepemimpinan dr. Mohammad Adib Khumaidi, Sp.OT. Selamat bertugas menjalankan amanah organisasi, semoga IDI akan terus maju dan berkembang menjadi organisasi profesi yang modern, tangguh, mandiri, disegani, dan mampu mengayomi serta menginspirasi anggotanya. Kami akan terus bersama IDI....”
Dr. dr. Edi Mustamsir, Sp.OT(K) Ketua Umum PP PABOI 2019-2022