SWARA DOKTER


Primum Non Nocere
Dewan Pengarah : dr. Ulul Albab SpOG Dr. dr. Beni Satria, MKes, SH, MH
Pemimpin Redaksi/ Redaltur Pelaksana dr. Muhammad Shoifi SpOT(K)
Editor/Kontributor : 1. dr. Farhan H. F. Rahman 2. dr. Ahmadin Yusuf R. S. 3. dr. Prima Ardiansah S.
Penanggung Jawab : dr. Moh Adib Khumaidi SpOT 2. Kata Pengantar oleh : dr. Moh Adib Khumaidi., SpOT
Layout/Ilu rator : Alamat Kantor :
dr. Ahmadin Yusuf R. S. Sekretariat PB IDI Jalan Jl. Dr. GSSJ Ratulangi No.29, RT.2/RW.3, Gondangdia, Kec. Menteng, Kota Jakarta Pusat, Daerah Khusus Ibukota Jakarta 10350
Email : swaradokter@gmail.com
1. Editorial oleh : dr. Muhammad Shoifi., SpOT (K) 3. Brain Washing Dokter Terawan oleh : Alm Prof. Dr. dr. Moh Hasan Machfoed., Sp.S (K) 4. Nilai Testimoni di Dunia Medis oleh : dr. Bambang Budiono, Sp.JP, FIHA. FAPSIC, FSCAI 5. Mencari Alasan Logis Mendirikan Organisasi Profesi Dokter Baru Sebagai Tandingan IDI oleh : dr. Abidinsyah Siregar., DHSM., MBA., MKes
oleh : dr. Muhammad Shoifi SpOT (K)
Keputusan Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) terkait kasus dr. Terawan (dr. TAP) yang sudah diputuskan sejak tahun 2018 kembali menghangat pasca Muktamar IDI ke-31 di Banda Aceh. Keputusan “Pemberhentian Tetap” sesuai dengan Surat Keputusan MKEK dan disahkan sebagai salah satu hasil muktamar IDI ke-31 memberikan instruksi kepada PB IDI yang baru saja dikukuhkan untuk menjalankannya. Belum lagi surat keputusan PB IDI itu dikeluarkan situasi kembali menghangat. Tidak kurang para pejabat pemerintahan dan anggota DPR yang terhormat bersuara menanggapi hasil keputusan yang sebenarnya adalah keputusan internal dalam ranah organisasi profesi Ikatan Dokter Indonesia.
Kronologi panjang kasus dr. TAP sejak tahun 2013 yang artinya sudah sejak 9 tahun yang lalu sebenarnya dapat menjadi pembelajaran publik tentang bagaimana sebuah proses organisasi Ikatan Dokter Indonesia (IDI) menjaga dengan sangat kuat etika para anggotanya dengan menjunjung tinggi norma saintifik sebagai upaya yang sungguh-sungguh untuk menjaga kesehatan dan keselamatan masyarakat.
Upaya-upaya tarikan politik kasus dr. TAP ini tidak saja akan mencederai tegaknya norma aturan internal organisasi profesi tetapi juga menumpulkan nalar saintifik yang harusnya terus kita edukasikan kepada masyarakat serta menafikan potensi resiko munculnya akibat yang lebih berat pada aspek kesehatan dan keselamatan pasien/masyarakat.
Tantangan besar bagi seluruh masyarakat Indonesia, tidak hanya sebatas komunitas kesehatan, akan menjadi ujian penting apakah norma etik dan saintifik akan terus menjadi landasan penting suatu tindakan medis boleh dilakukan oleh seorang dokter. Jangan sampai pembelaan yang berlebihan dan “out of context” akan beresiko munculnya dokter-dokter yang tidak mampu menjaga etika profesinya. Dan jika itu terjadi siapa yang akan dirugikan?
Di era digital informasi seperti saat ini, kecepatan persebaran informasi adalah sesuatu hal yang tidak terelakkan. Persebaran informasi terjadi sangat cepat dan bahkan dapat dikatakan hampir tidak terbatas oleh apapun. Pesan yang disampaikan oleh seseorang dapat dengan cepat diterima oleh yang lainnya tanpa mengenal batasan tempat dan waktu. Hal ini merupakan disrupsi dalam dunia informasi dan komunikasi yang harus disikapi dan diantisipasi secara cepat dan tepat untuk memberikan keseimbangan informasi sekaligus melakukan edukasi kepada masyarakat.
Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) sebagai induk organisasi profesi dokter Indonesia terkait secara intens dengan berbagai dinamika perkembangan dunia kesehatan dan kedokteran di Indonesia. Berita, informasi, dan segala hal yang berkaitan dengan kesehatan dan keberlangsungan profesi dokter ini tentu sangat penting untuk diketahui dan dipahami oleh seluruh dokter di Indonesia. Upaya PB IDI kedepan adalah IDI REBORN. Bertujuan untuk menjadikan IDI lebih responsif dan antisipatif terhadap dinamika kesejawatan dan problematika kesehatan masyarakat. Edukasi, kecepatan, dan validitas informasi yang disampaikan menjadi pertimbangan yang utama.
PB IDI sebagai organisasi profesi kedokteran yang menaungi seluruh dokter di Indonesia sudah saatnya melakukan transformasi peran untuk bisa berkomunikasi secara intens, memberikan informasi dan fakta yang akurat tentang dinamika dan berita dunia kedokteran kepada seluruh dokter dan masyarakat di Indonesia. Menjadikan dokter dan masyarakat Indonesia yang cerdas, berdaya, dan tidak mudah percaya dengan informasi hoaks. Menjadikan komunitas kedokteran dan kesehatan di Indonesia siap bersaing dan berinteraksi dalam kancah global.
Media Swara Dokter hadir menjadi media digital pertama Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) ditujukan sebagai jawaban atas tuntutan dinamika semakin mengglobalnya informasi dengan segala problematikanya.
Semoga Media Swara Dokter ini dapat menjadi jembatan komunikasi dan informasi bagi PB IDI dan seluruh dokter di Indonesia.
Swara Dokter, dari dan untuk Dokter Indonesia.
dr. Moh. Adib Khumaidi, Sp.OT Ketua Umum PB IDI
Oleh : Alm Prof. Dr. dr. Moh Hasan Machfoed., Sp.S (K) Penyunting : dr. Prima Ardiansyah
Dalam banyak diskusi dan postingan sosial media yang membahas dokter Terawan sang penemu brainwashing, sebenarnya saya secara pribadi malas berkomentar. Namun, karena keterpaksaan akibat ada sejawat yang menyebut “Neuro Indonesia” yang mana saya sebagai Ketua Umum-nya (waktu itu), maka saya perlu menanggapinya supaya kita semua sama-sama memperoleh informasi yang seimbang.
Tanpa penelitian apapun, dokter Terawan sudah melakukan brainwashing sejak tahun 2011 untuk segala macam stroke baik iskemik maupun perdarahan. Selain itu, brainwashing digunakan juga pada penyakit non stroke seperti parkinson, juga penyakit non neurologis seperti diabetes melitus. Obat yang digunakan pada brainwashing adalah heparin. Sedangkan heparin sendiri tidak bisa dignakan sebagai terapi stroke.
Sebagai bahan tinjauan ulang bersama, obat yang digunakan untuk menghancurkan clot, yang biasa kita sebut trombolitik adalah r-tPA. Heparin hanya berfungsi mencegah clot selama tindakan DSA (Digital Subtraction Angiography), sebagai dasar prosedur brainwashing yangdilakukan dokter Terawan.
Analoginya begini, bila baju kita kena lumpur, maka noda itu bisa dibersihkan dengan air. Namun bila kena cat, maka nodanya perlu dibersihkan dengan hal lain, misalnya minyak tanah. Dengan catatan, karena cat larut dalam minyak tanah. Sumbatan pada stroke dianalogikan sebagai noda cat yang perlu dicuci dengan minyak tanah, dalam hal ini nama obatnya adalah (r-tPA). Sebaliknya, noda tidak akan hancur bila hanya dicuci dengan air (heparin). Secara klinis, heparin dalam DSA hanya berfungsi sebagai sarana diagnostik untuk melihat deviasi pembuluh darah pada otak. Namun, dokter Terawan sudah membengkokan- nya menjadi sarana terapi, bahkan prevensi.
Setelah mengkaji prosedur brainwashing dan demi melindungi kepentingan masyarakat, maka saya sebagai Ketua Umum PP PERDOSSI (Pengurus Pusat Perhimpunan Dokter Saraf Indonesia), telah mengeluarkan statemen resmi bahwa brainwashing tidak memiliki landasan ilmiah kuat.
Walaupun begitu, saya senang karena dokter Terawan telah menyelesaikan disertasi tentang brainwashing di program pasca sarjana FK Unhas. Artinya, brainwashing telah diuji secara ilmiah. Bila terbukti, hal ini bisa digunakan sebagai justifikasi penggunaan brainwashing pada masyarakat. Hasil disertasi tersebut, menyebutkan bahwa heparin yang disuntikan intra arterial kedalam pembuluh darah otak dapat mengobati stroke iskemik kronik. Sebagian hasil disertasi telah dipublikasi di Bali Medical Journal (BMJ). Bisa Anda lihat jurnal tersebut referensi pertama pada bagian paling bawah esai ini.
Saya jadi penasaran, kok bisa ya heparin mengobati stroke? Karena itu saya dan teman-teman membuat tulisan yang dipublikasi secara internasional pada BAOJ Neurology, jurnal dari USA. Lengkapnya bisa Anda baca di referensi kedua yang saya sertakan di bawah. Di jurnal tersebut, saya dan rekan-rekan membahas tuntas bahwa terapi heparin pada stroke tidak memiliki landasan ilmiah yang kuat.
Masih dalam rasa penasaran, saya dan kawan-kawan masih mencoba mengkaji publikasi dokter Terawan yang tertuang dalam satu jurnal di Bali Medical Journal. Lagi-lagi, kami menyimpulkan bahwa hasil penelitian milik dokter Terawan tidak memiliki landasan ilmiah. Ya, saya pasti menyertakan jurnal tersebut di baris ketiga referensi di bawah.
Secara implisit, dokter Terawan menyebutkan bahwa heparin bisa mengobati stroke iskemik kronis. Yang dipakai sebagai referensi adalah jurnal karya Guggenmos et al, (2013). Padahal, jurnal tersebut menyatakan bahwa kondisi klinis stroke dapat diperbaiki bila dilakukan implantasi microelectrodes di korteks otak. Jurnal karya Guggenmos et al (2013), bisa Anda lihat di baris keempat referensi dibawah.
Jadi, perbaikan stroke bukan karena heparin, hal-hal yang tidak akurat semacam ini terjadi pada seluruh diskusi hasil penelitian. Itu sama artinya bahwa tidak ada satupun referensi yang mendukung hasil disertasi dokter Terawan.
Bagi kawan-kawan sejawat semua, supaya kita sama-sama memiliki penilaian obyektif tentang dokter Terawan, silahkan Anda pelajari ketiga jurnal diatas. Sebagai penulis utama pada dua diantara tiga jurnal yang saya sertakan, secara ilmiah saya bertanggung jawab penuh atas validitas kedua tulisan tadi.
Saya amat senang, bahkan sangat berharap apabila sejawat sekalian mau berdiskusi secara ilmiah tentang prosedur brainwashing milik dokter Terawan. Ini adalah cara yang paling elegan untuk menyelesaikan persoalan ilmiah dengan cara yang ilmiah pula.
Semua hal di atas itu saya lakukan atas dasar prinsip Amar ma'ruf Nahi Munkar, mengajak kepada kebaikan dan menjauhi keburukan. Bagaimanapun juga kebenaran ilmiah harus ditegakan.
Machfoed, M., Usman, F., Barus, J., et al. 2016. In connection with the publication in Bali Med J 2016, Volume 5, Number 2: 25-29, entitled "Intra-Arterial Heparin Flushing Increases Manual Muscle Test – Medical Research Councils (MMT-MRC) Score in Chronic Ischemic Stroke Patient ". Bali Medical Journal 5(2): 290-291. DOI:10.15562/bmj.v5i2.229
Moh, Hasan & Machfoed, et al. (2019). Is the Cerebral Intra-Arterial Heparin Flushing (IAHF), Beneficial for the Treatment of Ischemic Stroke? BAOJ Neurology. 13.
Machfoed, M., Usman, F., Barus, J., et al. 2016. In connection with the publication in Bali Med J 2016, Volume 5, Number 2: 25-29, entitled "Intra-Arterial Heparin Flushing Increases Manual Muscle Test – Medical Research Councils (MMT-MRC) Score in Chronic Ischemic SDt OroIk: 1e0P.1a5ti5e6n2t/"b.mBja.lvi5Mi2e.2d2ic9al Journal 5(2): 290-291.
Guggenmos, D. J., Azin, M., Barbay, S., Mahnken, J. D., Dunham, C., Mohseni, P., & Nudo, R. J. (2013). Restoration of function after brain damage using a neural prosthesis. Proceedings of the National Academy of Sciences of the United States of America, 110(52), 21177–21182. https://doi.org/10.1073/pnas.1316885110
Oleh : dr. Bambang Budiono, Sp.JP, FIHA. FAPSIC, FSCAI Pengamat Masalah Kesehatan
Belakangan ini media online dan televisi diwarnai berita pemecatan seorang tokoh ternama dari keanggotaan IDI. Sebagai sejawat yang telah menyatakan sumpah sebagai saudara kandung, tentu ikut prihatin dan sedih akan peristiwa tersebut, namun itu suatu keputusan yang telah diambil di forum tertinggi organisasi. Saya tak akan masuk dalam masalah itu, karena tak memiliki interes untuk terlibat dalam pusaran konflik. Yang ingin saya bahas adalah maraknya para tokoh masyarakat memberi testimoni yang menyatakan bahwa selama ini yang bersangkutan telah berhasil menyembuhkan ribuan orang dengan metoda terapi yang masih diperdebatkan manfaatnya, dan menjadi salah satu penyebab alasan pemecatan.
Dalam menguji keampuhan suatu metoda pengobatan ada beberapa cara atau metodologi yang lazim dilakukan dan telah diterima secara luas di dunia medis.
Bisa menggunakan hasil antara atau “surrogate end point”, misalnya melihat adanya perubahan penanda khusus dari hasil laboratorium, melihat perubahan dari pencitraan khusus (kardiologi nuklir, ekokardiografi, dll) yang digunakan untuk melihat dampak suatu pengobatan. Bisa juga dengan menggunakan data klinis sebagai hasil akhir, misalnya peningkatan kemampuan fisik, penurunan kekerapan dirawat di rumah sakit akibat gagal jantung, penurunan kejadian serangan jantung dan kematian, dan lain lain. Menilai keunggulan suatu metoda pengobatan, bisa dilakukan dengan membandingkan obat atau metoda baru dengan terapi standar (jika sudah ada), atau membandingkan dengan suatu bahan yang tidak aktif yang disebut plasebo. Metoda penelitian yang terbaik jika dilakukan randomisasi atau acak, pasien dan dokter tak tahu yang mana obat aktif dan mana plasebo, karena kemasan plasebo dibuat sedemikian rupa sehingga menyerupai bentuk obat atau zat aktif, biasanya akan diberi kode dan pada akhir penelitian baru dibuka untuk mengetahui mana yang zat aktif dan mana yang plasebo.
Perlu diketahui, plasebo meskipun bukan suatu zat aktif, bisa memiliki dampak seperti zat aktif, baik khasiat maupun efek sampingnya. Jadi jangan heran jika ada pasien yang memperoleh kapsul berisi tepung, bisa terjadi penurunan kadar gula darah, penurunan tensi, penurunan kadar cholesterol, maupun berkurangnya keluhan klinis. Jangan heran juga jika pasien yang memperoleh plasebo mengeluhkan efek samping mirip halnya obat aktif, misal batuk, diare, demam, pusing, dan sebagainya. Nah, penelitian dengan desain yang baik akan menjawab apakah obat atau metoda yang diberikan pada pasien benar benar memiliki manfaat klinis atau tidak. Semakin banyak yang terlibat penelitian, semakin kuat kesimpulan yang bisa diambil apakah memang bermanfaat atau tak lebih baik dari plasebo.
Memahami tentang efek plasebo, menarik untuk menyitir kembali kisah nyata tentang tongkat Perkins. Elisha Perkins lahir tahun 1741 di Norwich, Connecticut. Dia dididik oleh ayahnya Joseph Perkins di Plainfield, Connecticut, di mana dia kemudian mengikuti pendidikan kedokteran dengan sukses. Ketika Perang Revolusi Amerika pecah, Elisha Perkins menjabat sebagai ahli bedah untuk Angkatan Darat Kontinental selama Pertempuran Bunker Hill. Pada akhir abad ke-18, perkembangan kedokteran menuntut adanya temuan temuan baru yang bisa lebih menjanjikan kesembuhan. Akibatnya, sekitar tahun 1795–96, Perkins menemukan "Tongkat" ciptaan nya. Ia mematenkan alat tersebut selama 14 tahun pada 19 Februari 1796. Tongkat tersebut terdiri dari dua batang logam 3 inci dengan ujung runcing. Meskipun terbuat dari baja dan kuningan, Perkins mengklaim bahwa tongkat ciptaan nya terbuat dari paduan logam yang tidak biasa. Perkins mengklaim tongkatnya bisa menyembuhkan berbagai peradangan, rematik dan nyeri kepala dan wajah. Dia menerapkan titik-titik pada bagian tubuh yang sakit dan menggunakan tongkatnya untuk melakukan penyembuhan selama sekitar 20 menit.
Testimoni dari mulut ke mulut membuat metode ini mengalami ‘booming’ dimasa itu. Perkins mengklaim cara ini bisa "mengeluarkan cairan listrik berbahaya yang menjadi penyebab keluhan pasien".
Ikatan Dokter Connecticut mengutuk metoda ini sebagai "perdukunan delusi", dan mengeluarkan Perkins dari keanggotaan. Namun Perkins berhasil meyakinkan tiga fakultas kedokteran AS bahwa metodenya berhasil. Di Kopenhagen, Denmark, dua belas ahli bedah di Royal Frederiks Hospital juga mulai mendukung metode ini. Kritik dokter lain disambut dengan tuduhan elitisme dan arogansi profesional. Perkins membanggakan 5.000 kasus yang telah berhasil disembuhkan oleh tongkatnya. Bahkan, metoda penyembuhan tersebut disertifikasi oleh delapan profesor, empat puluh dokter, dan tiga puluh pendeta. Bahkan Presiden Washington pun tergiur untuk membelinya. Putra Perkins, Benjamin Perkins, mengatakan bahwa "Presiden Amerika Serikat, yakin akan khasiat tongkat tersebut dan menggunakan nya di keluarganya sendiri, dengan membeli satu set tongkat.
Setelah kematian Perkins, dokter Inggris mulai meragukan kehebatan tongkatnya. Pada tahun 1799, Dr. John Haygarth melakukan uji coba. Ia merawat lima pasien rematik dengan tongkat kayu yang dibuat menyerupai logam. Empat dari mereka melaporkan bahwa rasa sakitnya berkurang. Keesokan harinya pasien dirawat dengan tongkat logam dengan hasil yang sama. Dr. Haygarth melaporkan temuannya dalam publikasi berjudul “On the Imagination as a Cause & as a Cure of the Disorders of the Body”. Upaya menggunakan tongkat tersebut untuk menyembuhkan hewan terbukti sia-sia, mungkin karena efek plasebo tak dikenal di dunia hewan. Pada saat itu, Perkins memiliki banyak pendukung berpengaruh dan penjualan tongkat nya masih tetap berlanjut. Putra Perkins meninggal pada tahun 1810. Setelah itu popularitas tongkat Perkins mulai menhilang.
Kisah diatas memperlihatkan betapa besar pengaruh suatu efek plasebo, ketika pasien meyakini bahwa itu bisa menyembuhkan. Tak heran, jika ‘batu Ponari’ pun pernah berhasil menyembuhkan berbagai penyakit pada ratusan orang.
Perlu dipahami, dunia kedokteran tak memberi tempat untuk testimoni karena tak bisa diuji. Sekalipun diucapkan oleh seorang Menteri atau bahkan Presiden pun, testimoni tak akan pernah memiliki nilai setara bukti klinis.
"Dunia Kedokteran tak memberi tempat untuk te imoni karena tak bisa diuji. Sekalipun diucapkan oleh seorang Menteri atau bahkan Presiden pun, te imoni tak akan pernah memiliki nilai setara bukti klinis"
Publik tergelitik dengan pernyataan spontan follower media sosial dan bahkan tokoh yang mewacanakan berdirinya Ikatan Dokter Indonesia (IDI) baru. Wacana itu muncul karena seorang dokter dikenai sanksi organisatoris berupa pemecatan sebagai anggota IDI.
Tentu akibatnya, saat nanti sang dokter mengajukan perpanjangan Surat Izin Praktik (SIP) yang diterbitkan pemerintah melalui dinas kesehatan kabupaten/kota setempat atau pada beberapa daerah lainnya diselenggarakan oleh suatu UPT/dinas perizinan terpadu, kelak tidak memenuhi persyaratan untuk diberikan izin karena tidak memiliki rekomendasi IDI setempat.
Melihat situasi itu, publik yang “belum paham”, mewacanakan macam-macam, termasuk mendorong pembentukan IDI-lain. Dengan harapan lewat IDI-lain itu, kebutuhan sesaat dapat dipenuhi. Mungkin sudah terbayang besok sudah bisa berdiri Ikatan Dokter Batak Indonesia (IDBI), Ikatan Dokter Makassar Indonesia (IDMI), Ikatan Dokter Sunda Indonesia (IDSI), dan lain-lain, bahkan mungkin ada yang semangat memberi nama Ikatan Dokter Bukan IDI Indonesia (IDBII).
Sering gaduhnya dunia keorganisasian telah membuat sebagian masyarakat kita “men-generalisasi” kebiasaan gampangan yang selama ini ditempuh, dengan mendirikan organisasi baru. Banyak organisasi kemasyarakatan, tiba-tiba menjadi dua atau tiga organisasi baru, dan direspons dengan sedikit riak kemudian diam dan diam selamanya. Demikian pula partai politik, sebesar apapun, partai itu bisa beranak-pinak dan minta pengakuan kedudukan yang sama, bisa kemudian diam dan diam selamanya.
Profesi dan pengawalan profesi
Dokter adalah sebuah profesi. Sama halnya dengan sarjana hukum, akuntan, guru atau dosen. Profesi (dikutip dari Wikipedia) bermakna: Janji untuk memenuhi kewajiban melakukan suatu tugas khusus secara tetap/permanen.
Profesi memiliki kompetensi, kompetensinya meliputi: knowledge (pengetahuan yang terakreditasi dengan standar diakui), skill (keterampilan yang teruji dan terukur), dan attitude (perilaku, yang diukur dari etika dan pemahamannya atas berbagai peraturan perundang-undangan yang terkait dengan profesinya).
Untuk itu, setiap profesi, agar semakin matang dan kuat menjaga kompetensinya serta patuh dan disiplin dalam profesinya, perlu dan butuh pelatihan yang mempertajam kompetensinya, yang untuk itu profesi harus memiliki asosiasi profesi, memiliki kode etik, uji kompetensi dan uji ulangnya untuk terregistrasi, registrasi dan lisensi/perizinan.
Hanya dengan persyaratan dan prosedur yang ketat, dilahirkan profesional yang amanah dan setia pada sumpah profesi dan kode etik organiasinya.
Tidak jarang pula ada kabar rekan koas yang sampai di-skors karena perilaku buruk terhadap pasiennya. Itupun belum cukup untuk dinyatakan selesai pendidikan formal ilmu kedokterannya, seblum disumpah.
Sumpah dokter sudah berlangsung sejak 400 tahun sebelum masehi, dimana Hippocrates, bapaknya para dokter, memberlakukan pengangkatan sumpah karena rentannya profesi ini dan tingginya tuntutan untuk menjadikan dokter sebagai profesi yang mulia.
Jauh sebelum adanya Undang-Undang tentang Praktik Kedokteran, yang disahkan dan diundangkan pada tahun 2004, organisasi profesi dokter yaitu Ikatan Dokter Indonesia (IDI) sudah eksis dan efektif menjaga etika dan kompetensi dokter di Indonesia, termasuk dokter lulusan asing.
Pengaturan bagi dokter memang tidak mudah karena banyak kepentingan dan keinginan sang dokter, disamping adanya kepentingan pengusaha fasilitas kesehatan dimana sang dokter bekerja dan juga kepentingan pabrik farmasi/ obat yang berlomba satu sama lain untuk mencapai target penjualannya.
Namun juga tidak pula sulit untuk diatur, karena sejak dini, dibangku kuliah para mahasiswa kedokteran sudah mendapat mata pelajaran “Etika dan Hukum Kesehatan dan Kedokteran”. Para pengajar umumnya guru besar dari fakultas hukum. Pemahaman etika dan hukum menjadi semakin penting saat fase kepaniteraan klinik atau koas (ko-asisten).
Koas adalah tahapan pendidikan kedokteran yang paling berat dan kritis. Dalam fase ini, sang calon dokter menjalani praktik di rumah sakit. Banyak yang merasa fase ini menegangkan, emosional, sedih, merasa bodoh atau dibodohi. Tidak jarang di hadapan pasien “direndahkan” oleh dokter klinik karena kelalaian kecil yang dilakukan koas. Semangat dan pilihan profesi, mengendalikan rasa dan emosi sang koas yang menyadari bahwa semua itu untuk membuatnya terasah dan tetap waspada untuk semua kemungkinan buruk terhadap pasien. Karena prinsip dasar pelayanan kedokteran termasuk melindungi pasien.
Indonesia baru mulai merumuskan Rancangan Undang-Undang tentang Praktik Kedokteran sekitar tahun 1999-2000, saat itu Menteri Kesehatannya adalah Profesor Farid A. Moeloek. Tim penyusun naskah bekerja dan mencari referensi hingga ke beberapa negara, termasuk Amerika Serikat, Inggris, Belanda, dan beberapa negara di Asia.
Semua negara punya sistem yang berat dan dipandang belum saatnya untuk diterapkan di Indonesia. Percepatan proses pembahasan bersama pihak DPR RI setelah menyadari bahwa banyak negara sudah punya regulasi yang mengatur tentang praktik dokter. Bahkan Banglades sudah mendapat sertifikasi internasional.
Tahun 2000 Presiden BJ Habibie menerbitkan Amanat Presiden atas 5 RUU yang diajukan kepada DPR RI yang meliputi praktik dokter (yang kemudian digabungkan dengan dokter gigi), farmasi, bidan dan perawat. Empat tahun kemudian, pada tanggal 6 Oktober 2004 dengan ditandatangani Presiden RI Ibu Megawati Soekarnoputri, barulah undang-undang tersebut sah dan termuat di UU No.29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran yang berisi 12 Bab dan 88 Pasal.
Pada akhir Pasal 88 tertulis: Agar setiap orang mengetahdokter gigi dengan pengayaan dan pengawalan atas kompetensi dan tanggung jawab medik untuk memberikan pelayanan yang terbaik berdasar standar dan melindungi pasien.
Dalam narasi penjelasan atas Undang-Undang No.29 Tahun 2004, antara lain pada alinea ke-6 dan 7 tertulis : Berbagai upaya hukum yang dilakukan dalam memberikan perlindungan menyeluruh kepada masyarakat sebagai penerima pelayanan, dokter dan dokter gigi sebagai pemberi pelayanan telah banyak dilakukan, akan tetapi kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran yang berkembang sangat cepat tidak seimbang dengan perkembangan hukum.
Perangkat hukum yang mengatur penyelenggaraan praktik kedokteran dan kedokteran gigi dirasakan belum memadai, selama ini masih didominasi oleh kebutuhan formal dan kepentingan pemerintah, sedangkan porsi profesi masih sangat kurang Selanjutnya alinea ke-10 Penjelasan UU No.29 tahun 2004, tertulis : Dengan demikian, dokter dan dokter gigi dalam menjalankan praktik kedokteran selain tunduk pada ketentuan hukum yang berlaku, juga harus menaati ketentuan kode etik yang disusun oleh organisasi profesi dan didasarkan pada disiplin ilmu kedokteran atau kedokteran gigi. Melihat kepada proses kesejarahan, latar belakang dan penyusunan Undang-Undang Praktik Kedokteran, bukan sekedar bicara hukum tetapi yang utama adalah bagaimana setiap orang dokter dan dokter gigi utuh integritasnya dengan komptensi yang dimiliki.
Organisasi profesi dokter lintas negara, yang disebut World Medical Association (WMA), adalah suatu konfederasi internasional yang independen, beranggotakan asosiasi-asosiasi profesi medis yang juga independen.
WMA yang didirikan 18 September 1947, kini beranggotakan seluruh dokter dari seluruh dunia yang terhimpun dalam 113 Asosiasi di tingkat Nasional. Di Indonesia sendiri adalah Ikatan Dokter Indonesia (IDI) yang berdiri tahun 1950. WMA memfasilitasi forum bagi asosiasi anggota untuk dapat berkomunikasi secara bebas, bekerja sama secara aktif, dan mencapai standar etik medis dan kompetensi profesi yang tinggi, untuk membantu meningkatkan kebebasan profesi bagi dokter di seluruh dunia.
Forum WMA bertujuan untuk memfasilitasi penanganan pasien yang berkualitas dalam lingkungan yang sehat, yang bermuara pada peningkatan kualitas hidup bagi seluruh manusia di dunia.
Pengalaman penulis ketika menjadi Sekretaris Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) tahun 2006-2008 dan bahkan hingga sekarang selalu dihubungi oleh banyak dokter juga orangtua dokter yang merasa kecewa dan keberatan misalnya, karena sang anak sudah berulang kali mengikuti UKMPPD (Uji Kompetensi Mahasiswa Program Pendidikan Dokter), namun tetap saja gagal.
Sang orang tua merasa anaknya bagaikan dipersulit menjadi dokter untuk mendapatkan Surat Tanda Registrasi (STR) yang diterbitkan KKI, sebagai persyaratan awal setiap dokter untuk berpraktik. Sebagian dengan emosional mengatakan bahwa Indonesia masih kekurangan dokter.
Ada lagi mengatakan bahwa kami membiayai pendidikan anak kami sudah sampai ratusan juta dan macam-macam kata-kata sumpah serapah. Penulis hanya menjawab bahwa itulah konsekuensi menjadi dokter yang tidak cukup hanya pengetahuan atau kognitif semata, karena di dalam penilaian juga dinilai skill atau keterampilan serta etika atau pemahaman terhadap berbagai peraturan perundang-undangan.
Dengan demikian setiap dokter apabila sudah memiliki STR, maka ia sudah memiliki keseluruhan apa yang dimaksud dengan kompetensi yaitu pengetahuan yang utuh dan mutakhir, keterampilan yang terasah dan cepat dalam bertindak, serta etika yang terpuji.
Itulah yang menjadikan pekerjaan setiap dokter boleh dikatakan sebagai sebuah profesi yang mulia. Dokter atau dokter gigi yang tidak menjalankan profesinya sejalan dengan kompetensi yang dimiliki dan diakui, sesungguhnya bukan berhadapan dengan organisasi profesi seperti IDI bagi dokter atau PDGI bagi dokter gigi, tetapi dalam narasi UU No.29 tahun 2004 adalah “melawan” negara dan dapat terancam pasal pidana.
Peran organisasi profesiOrganisasi profesi (IDI dan PDGI), Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK), Konsil Kedokteran Indonesia (KKI), Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI), Kolegium Keilmuan dan semua perangkat yang tersebut dalam undang-undang adalah bekerja untuk atas nama negara dan hak asasi manusia yang diamanatkan UUD 1945.
Pernyataan yang sedang viral apakah bisa mendirikan organisasi profesi dokter lain di luar IDI?
Mudah-mudahan penjelasan sederhana ini bisa membantu menyegarkan wawasan kita tentang makna organisasi profesi di dunia kedokteran, yang alirannya bukan sektarian, politik, kedaerahan bahkan keagamaan.
Profesi dokter dan dokter gigi, lintas semua interest dan komitmennya tunggal untuk keselamatan dan perlindungan kepada pasien. Dalam konteks itu, dunia kedokteran tidak mentolerir kesalahan sekecil apapun, sekalipun sang dokter tidak menjanjikan kesembuhan bagi pasiennya, tetapi berkewajiban memberikan pelayanan kedokteran dengan sebaik-baiknya sesuai standar yang ditetapkan profesi sejenis dan telah ditetapkan Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) atas nama Undang-Undang RI.
“Seorang dokter tak bisa hanya menyembuhkan luka pada badan seorang pasien, tapi juga harus menyembuhkan luka sebuah bangsa yang sedang sakit.”