Kami berterima kasih kepada seluruh pihak yang telah berkontribusi dalam
penyusunan Metode Baku Perhitungan Susut Pangan pada Petani ini:
Tohir
Petani - Gunung Sari, Kota Batu
HeruSutomo
Petani - Dadaprejo, Kota Batu
DjoniDjunaedi
Petani - Sumber
Brantas, Kota Batu
ArifAgungSetyawan
Petani - Songgokerto, Kota Batu
BudiPangalipur
Petani - Mojorejo, Kota Batu
AchmadZaini
Petani Pandanrejo, Kota Batu
FitinAnaS.
Petani - Tlekung, Kota Batu
DinatuMahmudah
Petani - Tlekung, Kota Batu
Moh.Chalil
Petani - Temas, Kota Batu
Moh.Suharto
Petani - Temas, Kota Batu
SriReni
Petani - Toyomerto, Kota Batu
DianiIstanti
Petani - Toyomerto, Kota Batu
DidikS.
Petani - Sumbergondo, Kota Batu
Suparno
Petani - Bulukerto, Kota Batu
Joko
Petani - Bulukerto, Kota Batu
Mustain
Petani - Pendem, Kota Batu
Purnomo
Petani - Beji, Kota Batu
TartoSuswanto
Petani - Klerek, Kota Batu
Sopii
Petani - Torongrejo, Kota Batu
Suharwanto
Petani - Sumberejo, Kota Batu
Suwaji
Petani - Sumberejo, Kota Batu
Ichwandi
Petani Oro-oro Ombo, Kota Batu
AhmadM.
Petani Kota Batu
EdyWawoko
Petani Kota Batu
Ediyanto
Petani Kota Batu
SriSakdiyah
Petani Kota Batu
RonyKurniawan
Petani Kota Batu
KATA SAMBUTAN
Upaya untuk menangani food loss and pangan atau SSP) di Indonesia telah m dan memerlukan perhatian serius dari di sepanjang rantai pasok pangan ber ketersediaan pangan, meningkatnya e kerugian ekonomi yang sangat besar yang harus segera diatasi sebagai up pangan nasional di tengah beragam t
Kerja sama lintas sektor menjadi kunc penanggulangan permasalahan ini Be petani, pelaku usaha, distributor, ritel, hingga konsumen akhir, harus berpera mencegah dan mengurangi SSP Selai menyusun kebijakan yang tepat dan m praktik-praktik yang efektif di lapanga kalah penting. Segala bentuk inisiatif u mengurangi SSP akan memberikan da pencapaian ketahanan pangan nasion memperkuat stabilitas ekonomi dan ke
Akurasi penghitungan SSP sangat pen pangan. Telah terdapat berbagai pend bervariasi secara global dalam mengh tentunya menjadi tantangan tersendir diperhatikan kesesuaian metode dalam akurat dan reliabel di Indonesia Untuk upaya yang dilakukan oleh Koalisi Sist bersama dengan Badan Pangan Nasio Kementerian PPN/Bappenas dan FAO d metode baku perhitungan SSP. Metode dirujuk oleh semua pengguna dalam m Sebagai informasi, metode ini telah di pemerintah daerah, melibatkan OPD P provinsi pelaksana kegiatan Gerakan S
Dengan adanya metode baku ini, pem pelaku usaha pangan, penyedia pang kepentingan lainnya dapat melakukan akurat Melalui data yang lebih akurat menangani SSP dapat diarahkan seca titik-titik kritis di sepanjang rantai paso solusi yang lebih strategis Saya berha menjadi pijakan penting dalam upaya dan menangani, termasuk meredistrib mengurangi kerugian ekonomi, sosial, ditimbulkan
Akhir kata, semoga kerja sama yang te terus berkembang dan semakin mantap dalam mewujudkan sistem pangan yang lebih berkelanjutan
Bab ini menjelaskan tentang aspek-aspek yang perlu dipahami dan dipertimbangkan sebelum melakukan perhitungan susut pangan pada petani, yang terdiri dari:
1.1 Tujuan
1.2 Latar Belakang
1.3 Penggunaan Metode Baku
1.4 Fleksibilitas Penggunaan Metode Baku
15 Unit Perhitungan
16 Pengaplikasian Metode Baku
17 Langkah Perhitungan
18 Prinsip Dasar
1.1 TUJUAN
Metode Baku Perhitungan Susut Pangan
pada Petani adalah dokumen yang menjelaskan cara perhitungan dan pelaporan susut pangan yang spesifik terjadi di lahan pertanian Metode baku ini memungkinkan pemerintah, perusahaan, koperasi, penyuluh, asosiasi, kelompok tani, petani, dan entitas lainnya untuk menghitung jumlah susut pangan yang dihasilkan serta penanganannya.
Hasil perhitungan dapat memberikan gambaran utuh tentang jumlah susut pangan yang dihasilkan, sehingga pihak yang berwenang dapat mengambil langkah yang tepat untuk meminimalisir susut pangan tersebut. Manfaat jangka panjang dari pengurangan susut pangan di antaranya adalah meningkatkan ketahanan pangan, meningkatkan efisiensi penggunaan sumber daya, dan mengurangi dampak lingkungannya.
Metode Baku Perhitungan Susut Pangan pada Petani diperlukan sebagai standar cara perhitungan susut pangan, agar data yang dilaporkan konsisten dan transparan. Metode baku ini juga memungkinkan kuantifikasi susut pangan dapat dipantau, untuk mencapai
Sustainable Development Goals Target 123¹, yaitu mengurangi separuh susut dan sisa pangan di tahun 2030, dan mendukung target pengurangan emisi
Gas Rumah Kaca (GRK) sesuai
Persetujuan Paris pada tahun 2030²
Metode baku ini dirancang agar praktis dan dapat digunakan oleh pihak manapun untuk menghitung jumlah susut pangan yang dihasilkan, sesuai dengan tujuan perhitungan yang diinginkan
Penggunaan terminologi dan metode yang baku memastikan bahwa data yang dihasilkan sesuai dengan standar internasional, dan dapat digunakan baik untuk kepentingan internal atau sebagai bahan perbandingan antarentitas.
1.2 PENYUSUNAN METODE BAKU
Metode Baku Perhitungan Susut Pangan pada Petani adalah dokumen yang mengadaptasi dari dokumen internasional, yaitu Food Loss and Waste Accounting and Reporting Standard , yang disusun oleh tim FLW Protocol dari World Resources Institute (WRI), The Consumer Goods Forum (CGF), Food and Agriculture Organization of the United Nations (FAO), FUSIONS, United Nations Environment Programme (UNEP), The Waste and Resources Action Programme (WRAP), World Business Council for Sustainable Development (WBCSD), dan Natural Resources Institute (NRI).
Adaptasi dilakukan dengan menyesuaikan metode perhitungan sesuai konteks penggunaannya di Indonesia agar lebih relevan, mudah dipahami, dan dapat diaplikasikan sesuai kondisi di Indonesia
Metode baku ini disusun untuk satu sektor spesifik yaitu sektor pertanian, sebagai panduan perhitungan susut pangan di lahan pertanian yang ketersediaan datanya di Indonesia masih sangat terbatas Ketersediaan data jumlah susut pangan pada akhirnya dapat memberikan gambaran utuh tentang fenomena susut pangan yang terjadi, dan mendorong upaya-upaya pencegahan dan pengurangan yang relevan
Pengaplikasian metode baku ini telah diuji melalui perhitungan susut pangan pada 30 petani hortikultura di Kota Batu, Jawa Timur pada tanggal Oktober 2023
Sektor hortikultura dipilih sebagai pengujian dengan menimbang hasil temuan laporan Kajian Final Food Loss and Waste di Indonesia 2021 dari Bappenas yang menjelaskan bahwa sektor tanaman holtikultura merupakan sektor yang paling tidak efisien di Indonesia.
Hasil perhitungan kuantitatif dan temuan dalam laporan ini juga telah disampaikan kepada 27 perwakilan petani dari seluruh desa di Kota Batu, serta Dinas Ketahanan Pangan dan Dinas Pertanian di wilayah Malang Raya; dalam kegiatan Focus Group Discussion (FGD)
Dokumen lain yang dapat digunakan sebagai acuan perhitungan susut pangan pada petani, yaitu:
Versi ringkas Metode Baku Perhitungan Susut Pangan pada Petani dapat diakses di bitly/MBPSPP2
Lembar Bantuan Perhitungan, yang dapat digunakan untuk membantu entitas mempertimbangkan metode perhitungan berdasarkan tingkat akurasi dan akses terhadap susut pangan di lahan, membantu melakukan perhitungan dengan metode sampling di lahan, dan membantu memastikan semua komponen yang perlu dimasukkan dalam laporan telah dipertimbangkan; dapat diakses di bit.ly/MBPSPP3
Contoh hasil perhitungan dan laporan susut pangan pada 30 petani hortikultura dapat diakses di bit.ly/MBPSPP4
Lainnya:7,34%
Kaca:2,21%
Karet/Kulit:2,14%
Kain:2,59%
Logam:3,02%
KOMPOSISI SAMPAH
DI INDONESIA
Sumber:SIPSNKLHK(2022)
Plastik: 18,11%
Kertas/Karton: 11,3%
1.3 LATAR BELAKANG
Berdasarkan data Kementerian
Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) tahun 2022, proporsi jenis sampah yang paling banyak dihasilkan di Indonesia adalah sampah makanan, yaitu sebesar 40,3% timbulan sampah³. Berdasarkan data yang diterbitkan di The Economist Intelligence Unit tahun 2022, Indonesia kini berada di urutan ke-2 negara dengan pembuang sampah makanan terbesar di antara negara G20 dan di posisi ke-35 di antara negara lainnya dunia⁴ .
Timbulan susut dan sisa pangan di Indonesia berkisar di angka 115184kg/kapita/tahun. Yang menarik, persentase timbulan susut pangan terus menurun selama 20 tahun terakhir dari 61% di tahun 2000 ke 45% di tahun 2019⁵ .
Kayu/Ranting: 12,99%
Sisa Makanan: 40,3%
Sementara itu, sisa pangan cenderung meningkat, dari 39% di tahun 2000 ke 55% di tahun 2019 Itu berarti, saat ini Indonesia memiliki porsi sisa pangan yang lebih besar dibanding susut pangannya⁶
Susut dan sisa pangan juga menimbulkan dampak yang signifikan di berbagai sektor Dalam kurun waktu tahun 20002019, timbulan sampah makanan ini menghasilkan kerugian ekonomi sebesar 213-551 triliun rupiah/tahun atau setara dengan 4-5% PDB Indonesia⁷
Selain itu, dari segi lingkungan, timbulan sampah makanan menghasilkan 1702 Mt CO₂ek atau sekitar 7,29% emisi gas rumah kaca Indonesia⁸ Di tahun 2005 bahkan sempat terjadi ledakan di TPA Leuwigajah yang menewaskan 143 orang dan menimbun 57 rumah, yang disinyalir dipicu oleh konsentrasi gas metana dari dalam tumpukan sampah⁹
Tingginya timbulan sampah makanan juga merupakan ironi, karena jika dipulihkan, jumlah ini disinyalir dapat memberi makan 61125 juta orang atau 29-47% populasi Indonesia¹⁰
Berdasarkan data Hasil Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) pada tahun 2022, angka prevalensi underweight di Indonesia sebesar 17,1%, sementara untuk stunting mencapai 21,6%¹¹
Sebelum menentukan strategi pengurangan susut pangan yang berdampak, langkah pertama yang perlu dilakukan adalah mengetahui jumlah susut pangan yang dihasilkan. Metode baku ini dapat digunakan secara konsisten oleh berbagai entitas, sebagai pedoman untuk menghitung susut pangan sesuai standar internasional, yang bisa diakses di flwprotocol.org. DAMPAK SAMPAH MAKANAN
Metode Baku Perhitungan Susut Pangan pada Petani dirancang untuk dapat digunakan oleh berbagai jenis entitas yang relevan, termasuk pemerintah, perusahaan, koperasi, penyuluh, asosiasi, kelompok tani, petani, dan entitas lainnya
Tujuan perhitungan susut pangan dari setiap entitas bisa bervariasi, namun penting untuk mengartikulasikan tujuan yang jelas dalam perhitungan susut pangan yang hendak dilakukan Metode baku ini dapat digunakan untuk berbagai keperluan, misalnya:
Menghasilkan data perhitungan susut pangan yang dapat berguna sebagai bahan pengambilan keputusan; Sebagai bahan laporan untuk mengikuti pedoman yang telah dibuat pemerintah, asosiasi, atau institusi lainnya;
Sebagai bahan pelaporan pemantauan dari sebuah kebijakan, inisiatif, atau program pengurangan susut pangan; Menghitung jumlah susut pangan di tahun dasar (sebelum dilakukan tindakan) dan untuk menghitung kemajuannya seiring waktu; Menetapkan target pengurangan susut pangan; Membandingkan kinerja beberapa entitas sebagai tolak ukur; Mengetahui jumlah susut pangan yang berakhir dengan penanganan yang berbeda; Mencari tahu proses yang menghasilkan susut pangan paling besar, yang akan menjadi prioritas aksi ke depan; Menentukan strategi paling tepat untuk mengurangi susut pangan; Mengetahui kecenderungan produksi susut pangan di masa yang akan datang
TARGET PENGURANGAN SUSUT DAN SISA PANGAN PADA TARGET SDGS 12.3
Pada September 2015, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) secara resmi menentukan 17 target Sustainable Development Goals (SDGs). SDGs merupakan tujuan global untuk mengakhiri kemiskinan, menjaga kelestarian Bumi, dan menjamin kesejahteraan warga dunia.
Target 12 - Konsumsi dan Produksi yang Bertanggung Jawab memiliki target ke-3 (12.3) yaitu mengurangi separuh sisa pangan per kapita global di tingkat ritel dan konsumen dan mengurangi separuh susut pangan sepanjang produksi dan rantai pasok termasuk kehilangan saat pascapanen pada tahun 2030
Info lebih lengkap: http://wwwunorg/sustainabledevelopment/sustainable-development-goals/
1.5 FLEKSIBILITAS PENGGUNAAN METODE BAKU
Meskipun definisi dan ruang lingkup perhitungan susut pangan dibuat sekonsisten mungkin, metode baku ini masih memungkinkan fleksibilitas dalam penggunaannya. Beberapa aspek wajib diikuti, seperti definisi komponen susut pangan dan prinsip perhitungan; sementara beberapa aspek lainnya seperti metode perhitungan bersifat fleksibel mengingat ketersediaan data dan kapasitas yang berbeda di setiap entitas. Namun, yang wajib diingat, pilihan yang diambil harus merefleksikan tujuan perhitungan susut pangan yang dilakukan.
Sebagai contoh, entitas yang bertujuan untuk meningkatkan ketahanan pangan dapat mendefinisikan susut pangan hanya dari bagian yang dapat dimakan (misalnya hanya daging buah pisang, dan tidak mengikutsertakan kulit pisangnya)
Sementara entitas lain yang bertujuan untuk mengukur emisi gas rumah kaca dari sampah makanan dapat mendefinisikan susut pangan sebagai keseluruhan bagian yang dapat dimakan dan bagian yang tidak dapat dimakan (misalnya daging buah pisang beserta kulit pisangnya).
Dalam beberapa kasus, entitas mungkin akan dihadapkan pada beberapa pilihan dalam menghitung susut pangan. Misalnya, untuk menghasilkan perhitungan yang lengkap dan sangat akurat dibutuhkan ongkos perhitungan yang lebih tinggi. Metode baku perhitungan ini memungkinkan penggunaan berbagai metode perhitungan dengan tingkat akurasi dan kelengkapan yang bervariasi, sesuai dengan sumber daya yang dimiliki entitas (misalnya kapasitas teknis, finansial) dan ketersediaan data
Sebagai contoh, entitas yang memiliki tujuan spesifik untuk menghitung jumlah susut pangan di tahun dasar (sebelum dilakukan tindakan) lalu menghitung kemajuannya setiap tahun, bisa memilih opsi metode yang menghasilkan data dengan akurasi yang lebih tinggi Sementara entitas lain yang memiliki tujuan untuk memberi gambaran umum tentang jumlah susut pangan yang dihasilkan, boleh memilih menggunakan metode dengan akurasi yang lebih rendah.
Untuk memastikan transparansi, Metode Baku Perhitungan Susut Pangan pada Petani mengharuskan entitas untuk melaporkan metode perhitungan yang digunakan dan menjelaskan tingkat ketidakpastiannya.
Penting diingat bahwa ketika entitas memiliki keterbatasan kapasitas dalam menggunakan metode perhitungan yang paling baik dan akurat sebaiknya tidak menghalangi entitas untuk mulai melakukan perhitungan susut pangan dan menyusun rencana aksi pengurangan susut pangan
Meskipun perhitungan susut pangan merupakan aspek kritikal, jangan menunda aksi pengurangan susut pangan hingga perhitungan susut pangan selesai dilakukan secara akurat.
1.6 UNIT PERHITUNGAN
Unit perhitungan susut pangan pada metode baku ini dinyatakan dalam bentuk berat¹². Meskipun demikian, entitas juga bisa menggunakan unit perhitungan susut pangan lain yang relevan sebagai tambahan; untuk menggambarkan dampak lingkungan, nutrisi, dan implikasi finansial, yang selengkapnya dibahas pada Lampiran D.
1.7 PENGAPLIKASIAN METODE BAKU
Tabel berikut menggambarkan cakupan metode baku terhadap beberapa komponen tertentu dalam rantai pasok pangan
Apakahmetodebakuini mencakup:
Bagianyangdapat dimakan?
Bagianyangtidakdapat dimakan?
Jawaban Penjelasan
Ya Tujuandariperhitungansusutpanganakan menentukanjenismaterialapayangakan dimasukkankedalamperhitungandanlaporan Jenis materialyangdimasukkandalamperhitunganbisa berupabagianyangdapatdimakansaja,bagian yangtidakdapatdimakansaja,ataukeduanya.
Ya Minuman? Ya Definisibagianyangdapatdimakanjugamencakup minuman
Tidak Meskipunmetodebakuinidapatdigunakanuntuk produkagrikulturyangditujukanselainuntukpangan (sepertiuntukpakanternak,tembakau,biofuel, kosmetik,bungadekorasi,dansebagainya),hal tersebuttidaktermasukdalammetodebakuini.
Dalamkondisiketikatujuanprodukagrikulturtidak diketahui,silakanperiksaBab223JikaTujuan PenggunaanMaterialTidakDiketahuiatauMengalami Perubahan
Jawaban Penjelasan
1.8 LANGKAH PERHITUNGAN
Berikut ini merupakan langkah yang harus diikuti saat melakukan perhitungan susut pangan Penjelasan lebih lanjut tentang langkah-langkah tersebut tersedia pada bab berikutnya
Gambar1.1LangkahPerhitunganSusutPangan
Tentukan tujuan perhitungan
Kalkulasi hasil perhitungan
Periksa kembali prinsip perhitungan dan pelaporan susut pangan
Identifikasi tingkat ketidakpastian
Tentukan cakupan perhitungan
Tentukan metode perhitungan susut pangan
Lakukan peninjauan ulang
1.Tentukantujuanperhitungan. Entitas harus menentukan terlebih dahulu tujuan dilakukannya perhitungan susut pangan, karena tujuan ini akan menentukan komponen yang akan diukur dan metode perhitungan yang digunakan. Tujuan ini bisa berkaitan dengan ketahanan pangan, kerugian ekonomi, dampak lingkungan, atau kombinasi ketiganya.
2.Periksakembaliprinsipperhitungan danpelaporansusutpangan. Entitas harus mengikuti lima prinsip dasar: keterkaitan, kelengkapan, konsistensi, transparansi, dan akurasi. Prinsip dasar ini akan menjadi acuan, khususnya saat terdapat situasi-situasi yang belum tercakup oleh metode baku ini.
Laporkan hasil perhitungan susut pangan
Pengumpulan dan analisis data
Tentukan target dan pantau kemajuan seiring waktu
3.Tentukancakupanperhitungan. Langkah ini termasuk menentukan jangka waktu perhitungan, jenis material, jenis penanganan, status material, dan batasan dalam melakukan perhitungan susut pangan.
4.Tentukanmetodeperhitungansusut pangan. Entitas perlu menentukan apakah akan melakukan pengumpulan data baru dan/atau menggunakan data yang sudah ada, serta menentukan metode perhitungan yang akan digunakan. Metode yang dipilih akan dipengaruhi oleh tujuan perhitungan, cakupan yang diinginkan, dan kondisikondisi lainnya seperti ketersediaan sumber daya (tenaga kerja dan pendanaan), dan apakah tersedia akses langsung terhadap susut pangan di lapangan.
5.Pengumpulandananalisisdata. Entitas perlu melakukan pengumpulan data yang dibutuhkan untuk perhitungan susut pangan. Metode baku ini menyediakan pedoman detail tentang berbagai metode pengumpulan, pengukuran, dan analisis data susut pangan. Metode baku ini juga menyediakan pedoman pencatatan penyebab terjadinya susut pangan tersebut, agar entitas dapat mengidentifikasi strategi pengurangan susut pangan.
6.Kalkulasihasilperhitungan.Setelah data terkumpul dan dianalisis, hasilnya dapat dikalkulasi.Metode baku ini menyediakan pedoman dalam melakukan kalkulasi tersebut Selain unit yang wajib dilaporkan dalam bentuk berat, entitas juga boleh melaporkan susut pangan dalam unit tambahan seperti dampak lingkungan, nilai nutrisi, kerugian ekonomi, atau menghitung susut pangan per kapita; yang dijelaskan lebih jauh di Lampiran D
7.Identifikasitingkatketidakpastian
Entitas perlu mengidentifikasi dan mendokumentasikan sumber-sumber ketidakpastian yang muncul dalam proses perhitungan susut pangan Metode baku ini memberi pedoman agar beberapa jenis ketidakpastian dapat diantisipasi dan diminimalkan
8.Lakukanpeninjauanulang. Entitas dapat mengambil langkah opsional untuk melakukan peninjauan internal atau eksternal untuk memastikan akurasi dan konsistensi perhitungan.
9.Laporkanhasilperhitungansusut pangan. Setelah semua langkah selesai, entitas dapat melaporkan perhitungan susut pangan yang telah dilakukan. Metode baku ini menyediakan pedoman untuk melaporkan informasi yang dibutuhkan dan elemen-elemen yang perlu ditambahkan dalam laporan.
10.Tentukantargetdanpantau kemajuanseiringwaktu. Entitas dapat menentukan target pengurangan susut pangan dan menggunakan metode baku ini untuk memantau kemajuan implementasinya seiring waktu Metode baku ini menyediakan pedoman dalam menentukan target pengurangan susut pangan dan cara pemantauannya
1.9 PRINSIP DASAR
Terdapat lima prinsip dasar dalam perhitungan dan pelaporan susut pangan, untuk memastikan bahwa perhitungan yang dilakukan telah sesuai dan merepresentasikan keadaan yang sebenarnya Prinsip dasar ini juga akan menjadi acuan, khususnya saat terdapat situasi-situasi yang belum tercakup oleh metode baku ini
Tingkatakurasiperhitunganperludibuatseakurat mungkinagarpihakberwenangdapatmengambil keputusanberdasarkanlaporanyangkredibel Jika dataperhitungantidakseksama,entitasperlu menelaahulangperubahanapayangperlu dilakukanagarmemperolehdatayanglebihakurat Entitasjugaperlumeminimalisasitingkat ketidakpastiandalamprosesperhitungan Informasi lebihlanjuttentangakurasisaatpengumpulandata dijelaskandi Bab31danBab32
BAB 2 MENENTUKAN CAKUPAN PERHITUNGAN SUSUTPANGAN
Bab ini menjelaskan tentang penentuan cakupan perhitungan susut pangan yang harus didefinisikan dengan jelas sebelum melakukan perhitungan
21 Jangka Waktu
22 Jenis Material
23 Penanganan
24 Batasan
25 Isu Terkait
26 Status Material
27 Menentukan Cakupan Sesuai Tujuan Perhitungan Susut Pangan
Bab ini membahas lebih dalam tentang penentuan cakupan perhitungan susut pangan, atau menjawab pertanyaan “apa yang akan diukur?”. Sementara itu, metode perhitungan untuk menjawab pertanyaan “bagaimana cara mengukurnya?” akan dijelaskan pada Bab 3.
Cakupan perhitungan harus terdefinisikan dengan jelas dan selaras dengan lima prinsip dasar Agar sesuai dengan metode baku, entitas perlu menentukan dan melaporkan cakupan perhitungan susut pangan, yang dibagi ke dalam lima komponen:
Jangkawaktu, merupakan periode waktu perhitungan susut pangan
Jenismaterial, merupakan jenis material (bagian yang dapat dimakan, bagian yang tidak dapat dimakan, atau keduanya) yang dimasukkan dalam perhitungan
Penanganan, merupakan tujuan di mana susut pangan diarahkan
Batasan, yang terdiri dari kategori makanan¹³, lifecycle stage (tahapan dalam rantai pasok), geografi, dan organisasi.
Statusmaterial(opsional), yaitu kondisi material ketika berada dalam penanganan (layak konsumsi, tidak layak konsumsi, atau tidak umum dikonsumsi tapi layak konsumsi).
Dalam beberapa kasus, cakupan ini bisa saja telah ditentukan oleh pihak eksternal, seperti asosiasi petani atau pemerintah, yang telah menentukan komponenkomponen tertentu yang wajib dihitung
Di kasus lain, cakupan perhitungan dapat ditentukan oleh entitas itu sendiri, sesuai dengan tujuan dilakukannya perhitungan
Jika demikian, entitas memiliki kebebasan untuk menentukan cakupan perhitungan yang dianggap paling sesuai dengan tujuan perhitungan susut pangan yang akan dilakukan
dengan tujuan entitas melakukan perhitungan susut pangan.
2.1 JANGKA WAKTU
Jangka waktu perhitungan harus ditentukan dan dilaporkan, termasuk tanggal dimulainya dan berakhirnya perhitungan
Jangka waktu perhitungan yang ideal dan paling direkomendasikan adalah 12 bulan, karena dapat mengakomodasi berbagai kemungkinan susut pangan yang diakibatkan variasi musim tanam dan musim panen yang berbeda
Meskipun demikian, fleksibilitas masih dimungkinkan jika jangka waktu 12 bulan dianggap tidak relevan dengan tujuan perhitungan Misalnya, entitas dapat mengukur susut pangan dalam jangka waktu sebulan, melakukan tindak lanjut, lalu kembali mengukur susut pangan yang dihasilkan Jika tidak terdapat fluktuasi akibat faktor musiman, pendekatan ini justru mungkin lebih akurat dibanding melakukan ekstrapolasi sepanjang 12 bulan.
Di kasus lain, entitas juga dapat melaporkan perhitungan pada satu peristiwa, misalnya pada satu musim panen saja
Metode baku ini tidak menentukan seberapa sering suatu entitas sebaiknya melakukan perhitungan susut pangan; misalnya setiap tahun, setiap dua tahun, dan sebagainya Keputusan ini harus kembali didasarkan pada tujuan perhitungan, sumber daya yang tersedia, kebutuhan eksternal, dan estimasi waktu yang dibutuhkan hingga jumlah susut pangan mengalami perubahan Pedoman frekuensi perhitungan dijelaskan lebih jauh pada Bab 384.
2.2 JENIS MATERIAL
Jenis material yang dimasukkan ke dalam perhitungan harus ditentukan dan dilaporkan
Jenis material mengacu pada pangan yang terbuang dari rantai pasok dan dibagi menjadi tiga, yaitu:
Bagian yang dapat dimakan
Bagian yang tidak dapat dimakan
Bagian yang dapat dimakan dan bagian yang tidak dapat dimakan
Bagianyangdapatdimakan¹⁴
Bagian yang dapat dimakan merupakan makanan (baik yang mentah, setengah jadi, atau telah dimasak) yang ditujukan untuk konsumsi manusia.
Bagian yang dapat dimakan juga termasuk minuman, zat yang ditambahkan dalam proses manufaktur, persiapan, atau pengolahan makanan.
Bagian yang dapat dimakan juga termasuk makanan yang sudah rusak, cacat, busuk, atau sudah tidak layak konsumsi.
Bagian yang dapat dimakan tidak termasuk kosmetik, tembakau, atau zat yang digunakan hanya sebagai obat.
Bagian yang dapat dimakan tidak termasuk bahan pengolah yang digunakan pada rantai pasok pangan, seperti air untuk membersihkan atau memasak makanan mentah
Bagianyangtidakdapatdimakan¹⁵
Bagian yang tidak dapat dimakan merupakan komponen terkait bahan pangan yang tidak ditujukan untuk konsumsi manusia.
Contoh dari bagian yang tidak dapat dimakan misalnya tulang, kulit buah, dan biji.
Bagian yang tidak dapat dimakan tidak termasuk kemasan makanan.
Yang dianggap sebagai “tidak dapat dimakan” kemungkinan dapat berbedabeda di tiap daerah, berubah seiring waktu, dan dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti budaya, sosial ekonomi, ketersediaan pangan, harga, kemajuan teknologi, perdagangan internasional, dan geografis
Salah satu contoh yang mudah dipahami adalah pada buah pisang Daging buah pisang dapat dianggap sebagai bagian yang dapat dimakan karena ditujukan untuk konsumsi manusia, sementara kulit pisang dianggap sebagai bagian yang tidak dapat dimakan karena dalam berbagai budaya tidak dikonsumsi manusia
Perhitungan susut pangan dapat memasukkan dua jenis material tersebut secara bersamaan atau terpisah. Dengan demikian, terdapat empat kemungkinan cakupan jenis material yang dihitung dan dilaporkan:
Bagian yang dapat dimakan dan bagian yang tidak dapat dimakan (tanpa dipisahkan);
Bagian yang dapat dimakan dan bagian yang tidak dapat dimakan (dengan hasil terpisah);
Bagian yang dapat dimakan saja; Bagian yang tidak dapat dimakan saja.
Untuk pilihan ke-2, 3, dan 4; jika dilakukan pemisahan antara bagian yang dapat dimakan dan bagian yang tidak dapat dimakan, terdapat dua kebutuhan pelaporan tambahan yang perlu dilakukan:
Jelaskan sumber referensi yang digunakan untuk memisahkan jenis material ke dalam bagian yang dapat dimakan dan bagian yang tidak dapat dimakan Ini termasuk menjelaskan asumsi yang digunakan untuk menentukan jika suatu makanan ditujukan untuk konsumsi manusia atau tidak
Jika dilakukan estimasi untuk mengukur proporsi bagian yang dapat dimakan dan bagian yang tidak dapat dimakan; jelaskan pendekatan, faktor konversi, dan sumber yang digunakan. Hal ini dijelaskan lebih detail pada Bab 3.2.2.
2.2.1MANFAATPERHITUNGAN
JENISMATERIALSECARA TERPISAH
Melakukan perhitungan susut pangan dengan memisahkan jenis material menjadi bagian yang dapat dimakan yang ditujukan untuk konsumsi manusia (dengan berbagai pertimbangan kultur dan kebiasaan masyarakat setempat) dan bagian yang tidak dapat dimakan, memiliki beberapa manfaat tambahan
Mengetahui jumlah bagian yang dapat dimakan dan bagian yang tidak dapat dimakan secara terpisah dapat membantu menunjukkan peluangpeluang yang mungkin dilakukan untuk meningkatkan ketahanan pangan, mengurangi emisi, dan sebagainya
Sebagai contoh, diketahui bahwa terdapat sampah dapur dalam jumlah besar yang dihasilkan oleh rumah tangga di Inggris Akan tetapi, karena proporsi antara bagian yang dapat dimakan dan bagian yang tidak dapat dimakan tidak diketahui, sangat sedikit tindakan berarti yang dilakukan oleh masyarakat. Kebanyakan berasumsi bahwa sampah dapur tersebut berisi sampah yang tidak dapat dimakan.
Hingga di tahun 2007, sebuah studi berjudul “The Food We Waste”¹⁶ menunjukkan bahwa mayoritas komponen dari sampah tersebut merupakan bagian yang dapat dimakan yang terbuang. Semenjak itulah kampanye publik yang dilakukan berbagai pihak untuk mencegah sampah makanan gencar dilakukan.
Di sisi yang lain, memahami proporsi bagian yang tidak dapat dimakan juga dapat menunjukkan peluang pengolahannya menjadi sumber pangan baru. Telah banyak pihak misalnya, yang kini mengeksplor teknologi dan metode pemrosesan, atau mengubah cara pandang masyarakat untuk mengubah material yang dianggap tidak dapat dimakan saat ini menjadi sumber pangan di masa depan
Jika dalam perhitungan susut pangan diketahui jumlah bagian yang tidak dapat dimakan, entitas dapat mempertimbangkan ulang jika bagian tersebut berpeluang untuk dapat dimanfaatkan sebagai konsumsi manusia, dan memasukkannya ke dalam strategi pengurangan susut pangan yang dirancang
2.2.2PEDOMAN:MEMILAHJENIS
MATERIALSEBAGAIBAGIANYANG
DAPATDIMAKANDANBAGIAN
YANGTIDAKDAPATDIMAKAN
Bagian ini ditujukan untuk entitas yang melakukan perhitungan terpisah antara bagian yang dapat dimakan dan bagian yang tidak dapat dimakan Dalam pelaporan, sumber referensi atau asumsi yang digunakan untuk memisahkan kedua bagian tersebut perlu disebutkan secara jelas
Saat menentukan material sebagai “bagian yang dapat dimakan”, perlu dijelaskan asumsi apa yang digunakan dalam menganggap material tersebut sebagai “ditujukan untuk konsumsi manusia”. Demikian juga saat menentukan material sebagai “bagian yang tidak dapat dimakan”, perlu dijelaskan pula asumsi yang digunakan dalam menganggap material tersebut sebagai “tidak ditujukan untuk konsumsi manusia”
Yang dianggap sebagai “ditujukan untuk konsumsi manusia” bisa jadi berbeda antarentitas Misalnya, suatu Kelompok Wanita Tani (KWT) menjual keripik kentang yang tidak menggunakan kulit kentang dalam produknya boleh mengategorikan kulit kentang sebagai “tidak ditujukan untuk konsumsi manusia”, dan menghitungnya sebagai bagian yang tidak dapat dimakan Sedangkan KWT yang menjual keripik kentang lain yang menggunakan kulit kentang di dalam produknya boleh mengategorikan kulit kentang sebagai “ditujukan untuk konsumsi manusia” dan menghitungnya sebagai bagian yang dapat dimakan.
METODE BAKU PERHITUNGAN SUSUT PANGAN PADA PETANI
Panduan praktis untuk menentukan apakah suatu material ditujukan untuk konsumsi manusia atau tidak, adalah dengan mengecek jika material tersebut dijual atau diedarkan dalam rantai pasok Sebagai contoh, jika suatu KWT menjual keripik kentang di mana kulit kentang menjadi bagian dari produk keripiknya, atau jika KWT menjual bumbu makanan yang menjadikan tulang ayam sebagai bagian dari produk kaldu yang dihasilkan; maka kulit atau tulang dalam konteks ini dikategorikan sebagai bagian yang dapat dimakan.
Faktor kultur atau budaya juga merupakan faktor penting dalam menentukan jika sebuah material dianggap bagian yang dapat dimakan atau bagian yang tidak dapat dimakan. Sebagai contoh, ampas kedelai biasanya tidak umum dikonsumsi, tapi di Jawa Timur ampas kedelai lumrah dimanfaatkan dan diolah menjadi tempe menjes. Di Inggris, kaki ayam dianggap sebagai bagian yang tidak dapat dimakan, tetapi merupakan bagian yang dapat dimakan di Indonesia atau Tiongkok Bahkan, kaki ayam yang diproduksi dari Inggris biasanya dijual ke pasaran di Tiongkok untuk konsumsi manusia Ini menggambarkan bahwa perhitungan terpisah antara bagian yang dapat dimakan dan bagian yang tidak dapat dimakan bermanfaat baik dari segi ekonomi maupun ketahanan pangan global
Terlepas dari ambiguitas di atas, definisi konsisten antara bagian yang dapat dimakan dan bagian yang tidak dapat dimakan sebaiknya tetap digunakan Sebagai referensi, beberapa pendekatan yang relevan juga bisa digunakan sebagai pedoman Bab 322 menjelaskan pedoman tambahan terkait hal ini, dan Lampiran B mencantumkan beberapa sumber yang bisa digunakan untuk mendefinisikan bagian yang tidak dapat dimakan.
2.2.3PEDOMAN:JIKATUJUAN PENGGUNAANMATERIALTIDAK DIKETAHUIATAUMENGALAMI PERUBAHAN
Dalam beberapa kasus mungkin tidak diketahui apakah suatu material akan dijadikan bahan pangan atau tidak. Sebagai contoh, seorang petani mungkin tidak tahu jika hasil panennya kemudian akan dijadikan obat, kosmetik, biofuel, atau bahan pangan.
Dalam situasi seperti ini, entitas boleh menghitung susut pangan berdasarkan proporsi hasil panen pada wilayah dan waktu tersebut yang dijadikan bahan pangan, dari data statistik umum
Meskipun metode baku ini juga dapat diterapkan untuk produk agrikultur yang ditujukan selain untuk bahan pangan (seperti untuk pakan ternak, tembakau, biofuel, kosmetik, bunga dekorasi, dan sebagainya), perlu diingat bahwa metode baku ini tidak mencakup produk agrikultur tersebut
Tujuan penggunaan material juga bisa berubah sepanjang rantai pasok karena berbagai faktor, seperti karena perhitungan keuntungan Metode baku ini ditujukan untuk menghitung komponen dari rantai pasok di mana material tersebut dijadikan sebagai bahan pangan.
2.3 PENANGANAN
Penanganan mengacu pada tujuan di mana susut pangan diarahkan, yang harus diterangkan dan dilaporkan sejelas mungkin. Jika penanganan akhir dari susut pangan tidak diketahui, entitas perlu melaporkan jalur penanganannya. “Jalur” ini mengacu pada rute di mana susut pangan diarahkan sebelum tiba pada penanganan akhirnya
Terdapat berbagai kemungkinan penanganan susut pangan, yang beberapa di antaranya mengalami valorisasi¹⁷ . Tabel di bawah menunjukkan 11 kategori penanganan yang digunakan dalam Metode Baku Perhitungan Susut Pangan pada Petani.
Kesebelaskategori di atas merupakan jenis penganganan paling umum untuk bagian yang dapat dimakan dan bagian yang tidak dapat dimakan yang terbuang. Dalam kasus khusus di mana penanganan yang dilakukan tidak termasuk ke dalam salah satu kategori yang ada, entitas bisa menggunakan kategori “lainnya” dan menerangkan penanganan tersebut dengan jelas
Seluruhjenis penanganan ini difokuskan pada proses penanganan susut pangan, dan bukan pada bentuk akhirnya (seperti biofuel, pupuk, dan sebagainya), karena seringkali tujuan akhir penanganan tidak diketahui.
Meskipun diketahui, akan sulit mengalokasikan berat pada output akhirnya, karena pemrosesan dapat mengubah bentuk susut pangan menjadi beberapa jenis material baru (seperti biogas, produk cair, dan residu padat) yang kemudian dikonversi lagi menjadi produk lainnya (seperti bahan bakar, pupuk, dan sebagainya)
Seperti halnya pemilihan jenis material sebagai “bagian yang dapat dimakan” dan/atau “bagian yang tidak dapat dimakan” bisa berbeda antar entitas, jenis penanganan yang dianggap sebagai “sampah makanan” juga bisa berbeda di masing-masing entitas.
Jenis penanganan yang dianggap sebagai “sampah makanan” bisa ditentukan oleh target entitas, kebijakan eksternal, program tertentu, dan sebagainya. Sebagai contoh, rekomendasi FUSIONS dari European Commission menyebutkan bahwa “sisa pangan” mengacu pada bagian yang dapat dimakan dan bagian yang tidak dapat dimakan yang dikirimkan pada jenis penanganan selain pakan ternak dan pemrosesan biokimia (biochemical processing)¹⁸ Sementara itu, The Consumer Goods Forum’s Food Waste Resolution of 2015 mendefinisikan “sisa pangan” sebagai bagian yang dapat dimakan dan/atau bagian yang tidak dapat dimakan yang dikirim ke TPA, insinerasi tanpa pemulihan energi, dan saluran pembuangan¹⁹ Di Indonesia, yang dianggap sebagai sampah makanan adalah yang masuk ke dalam penanganan insinerasi (tanpa pemulihan energi), TPA tidak dipanen, tercecer, dan saluran pembuangan
Setiap entitas mungkin memiliki tingkat pengetahuan yang bervariasi mengenai penanganan susut pangan mereka.
Metode baku ini mengharuskan entitas untuk melaporkan penanganan tersebut sejauh yang mereka ketahui
Jika penanganan akhir dari susut pangan belum diketahui, entitas setidaknya perlu melaporkan jalur awal penanganan
Terdapat tiga jenis jalur penanganan:
1.On-site: Pembuangan, penggunaan, atau pengolahan susut pangan langsung di lokasi di mana susut pangan dihasilkan
2.Off-site: Terdapat pihak lain yang mengumpulkan atau mengangkut susut pangan ke luar lahan
3.Lainnya: Jalur informal lainnya, misalnya bahan pangan yang dibuang di pinggir jalan.
Jika penanganan diketahui, entitas perlu mencantumkan jenis penanganan (dari kesebelas jenis penanganan), dan boleh mencantumkan jalurnya (tidak wajib).
Jika jumlah susut pangan yang menuju tiap penanganan diketahui, maka entitas perlu mencantumkan berat susut pangan untuk setiap penanganan.
Jika terdapat pemrosesan tambahan yang dilakukan di lokasi, misalnya maserasi (pelarutan), dehidrasi (pengeringan), atau pencairan; maka yang perlu dilaporkan adalah penanganan akhir (atau jalur penanganan) setelah pemrosesan ini dilakukan Akan tetapi, jumlah susut pangan yang dilaporkan harus berdasarkan berat susut pangan sebelum pemrosesan tambahan dilakukan (lihat Bab 25)
2.3.2PEDOMAN:VALORISASI SUSUTPANGAN
Jika penanganan susut pangan diketahui, untuk meningkatkan transparansi, metode baku ini merekomendasikan untuk mencantumkan keterangan jika susut pangan tersebut divalorisasi oleh fasilitas yang menangani susut pangan tersebut.
Dalam Metode Baku Perhitungan Susut Pangan ini, valorisasi bertujuan untuk menambah nilai dari susut pangan, di mana susut pangan dikonversi menjadi bentuk lain yang memiliki daya guna (contohnya diubah menjadi energi atau pupuk)
Untuk lima jenis penanganan (pengolahan anaerobik/codigestion, pengomposan aerobik, insinerasi, TPA/landfill, dan pengolahan pada saluran pembuangan), perlakuan beberapa jenis fasilitas yang memproses susut pangan bisa sangat berbeda, sehingga mempengaruhi sejauh mana susut pangan menjalani valorisasi Sebagai contoh, beberapa fasilitas insinerasi didesain untuk melakukan konversi menjadi energi, sementara yang lainnya langsung memproses susut pangan tanpa valorisasi
Tidak
Tidak
Untuk kelima jenis penanganan tersebut, seberapa jauh susut pangan divalorisasi perlu dicantumkan dalam laporan, jika informasinya cukup tersedia Yang perlu dicantumkan adalah apakah susut pangan mengalami valorisasi, proporsi dari susut pangan yang divalorisasi, dan konversi output apa yang dihasilkan. Jika entitas tidak mengetahui persis proses apa yang dilakukan dalam suatu penanganan, entitas dapat menanyakan pada fasilitas penanganan tersebut apakah susut pangan mengalami valorisasi atau tidak.
Untuk enam jenis penanganan lainnya (pakan ternak, pemrosesan biokimia/biochemical processing, aplikasi pada tanah, tidak dipanen, tercecer, dan donasi/dipulihkan), susut pangan biasanya sudah jelas apakah mengalami valorisasi atau tidak
Khusus untuk dua penanganan yaitu pengolahan anaerobik/codigestion dan pengomposan aerobik, susut pangan pada umumnya mengalami valorisasi, meskipun tingkat valorisasinya bisa jadi berbeda
Misalnya:
Pemrosesan anaerobik/codigestion memproduksi biogas sekaligus material padat dan residu cair Pada umumnya biogas dikonversi menjadi energi. Dalam beberapa kasus, material padat dan/atau cair dapat dikonversi dan diproses menjadi output lainnya, seperti pembenah tanah. Namun dalam kasus lainnya, material residu ini juga tidak divalorisasi dan langsung dikirim ke tujuan lain, seperti TPA.
Pengomposan dengan proses aerobik menghasilkan material padat yang bisa dikonversi menjadi produk berdaya guna, seperti untuk pembenah tanah. Namun proses ini juga menghasilkan cairan yang bisa jadi dikonversi menjadi produk lain atau tidak
Grafik berikut menggambarkan elemen apa saja yang harus dilaporkan terkait dengan jalur penanganan, penanganan, dan valorisasi susut pangan
Hierarki ini biasanya ditampilkan dalam bentuk piramida terbalik, di mana bagian paling atas menunjukkan prioritas tertinggi, dan bagian paling bawah menjadi opsi yang paling dihindari (biasanya berupa pembuangan ke TPA)
Metode Baku Perhitungan Susut Pangan pada Petani ini tidak bertujuan untuk merekomendasikan hierarki manajemen susut pangan tertentu, melainkan menyediakan opsi penanganan yang komprehensif yang mencakup berbagai tingkatan hierarki²⁰ . Hal tersebut bertujuan agar metode baku ini tetap relevan di berbagai lokasi, provinsi, atau lintas sektor.
Lainnya
Palingdiutamakan
HIERARKI PEMULIHAN MAKANAN
Sumber: United States Environmental Protection Agency (EPA)²¹
PENGURANGANSUSUTPANGAN
PAKANTERNAK
PENGGUNAAN
Palingdihindari
Meskipun demikian, rekomendasi universal yang mengedepankan pencegahan susut pangan dan pendonasian makanan surplus tetap harus didukung. Mengingat pentingnya redistribusi makanan untuk warga yang membutuhkan, Lampiran E akan menjelaskan lebih jauh tentang aktivitas pendonasian atau pemulihan makanan.
Perspektif entitas bisa jadi berbeda dalam menentukan opsi yang dianggap lebih baik atau lebih bermanfaat. Hal ini bisa ditentukan oleh berbagai faktor, misalnya peraturan yang berlaku, serta ketersediaan infrastuktur dan teknologi untuk pengolahan susut pangan Akan tetapi secara umum, jika susut pangan dikumpulkan dan ditangani secara terpisah dari material lainnya, maka kemungkinan pengolahan susut pangan menjadi hal yang lebih berguna akan lebih besar, termasuk juga akurasi perhitungannya
Kotak 2.1 Contoh Pelaporan Jalur Penanganan, Penanganan, dan Jumlah Susut Pangan
Batasan perhitungan susut pangan perlu ditentukan dan dilaporkan dalam bentuk: kategori makanan, lifecycle stage, geografi, dan unit organisasi
Khusus untuk perhitungan yang akan dibandingkan secara global, terdapat klasifikasi dan kode tertentu yang perlu diikuti untuk memastikan transparansi dan konsistensi perhitungan. Klasifikasi ini dapat dilihat lebih lanjut di www.flwprotocol.org.
Tabel di bawah menunjukkan definisi dari batasan ini, sekaligus beberapa contoh yang relevan
“Kategori makanan” berbeda dengan “jenis material”. “Kategori makanan” mengacu pada jenis makanan yang dimasukkan dalam perhitungan susut pangan, sementara “jenis material” mengacu pada komposisi susut pangan yang terdiri dari bagian yang dapat dimakan, bagian yang tidak dapat dimakan, atau keduanya.
Pembagian kategori makanan yang jelas dalam perhitungan susut pangan memberi informasi penting bagi pengambil keputusan Perlu diingat bahwa komposisi dari kategori makanan dapat berdampak pada berat susut pangan
Entitas perlu memasukkan kategori makanan dalam perhitungan berdasarkan tujuan perhitungan dan kemampuan untuk memisahkan komponen makanan yang berbeda Sebagai contoh, seorang petani brokoli penyuplai supermarket yang ingin mengetahui jumlah susut pangan yang dihasilkan bisa memilih kategori “brokoli” saja Akan tetapi Dinas Pertanian provinsi yang ingin mengetahui jumlah susut pangan yang diolah menjadi kompos bisa memilih kategori “semua jenis sayur dan buah”.
Selagi makanan bergerak di rantai pasok, beratnya bisa mengalami perubahan. Hal ini biasanya merupakan hasil dari proses biologis yang seiring waktu mengurangi kadar air dari suatu produk²². Kandungan air juga bisa berubah karena berbagai jenis pemrosesan yang bisa menyebabkan kadar air menjadi:
Meningkat setelah pemrosesan makanan (misalnya dari beras menjadi nasi) Berkurang jika terkena panas atau dikeringkan (misalnya buah kering)
Karena perubahan kadar air bisa berdampak signifikan pada berat suatu produk, entitas bisa melaporkan detail tambahan tentang kondisi suatu produk pangan (misalnya apakah yang dihitung adalah beras atau nasi, apel segar atau keripik apel) Keputusan untuk memasukkan detail tambahan seperti ini bisa ditentukan sendiri oleh entitas, berdasarkan prinsip dasar perhitungan dan pelaporan yang telah dijelaskan di Bab 1.8, khususnya jika informasi tersebut relevan dan mempengaruhi pengambilan keputusan.
2.4.2PEDOMAN:PELAPORAN ORGANISASI
Tidak ada aturan khusus yang mengatur unit organisasi yang perlu dilaporkan Saat melaporkan ‘organisasi’, entitas setidaknya perlu mencantumkan berapa ‘unit penghasil susut pangan’ dan jenis unit tersebut Detail tambahan boleh ditambahkan untuk memberi deskripsi yang dibutuhkan audiens jika dibutuhkan
Istilah ‘unit penghasil susut pangan’ pada metode baku ini mengacu pada entitas tertentu yang menghasilkan susut pangan; seperti petani, kelompok tani, lahan perkebunan, dan sebagainya Jumlah susut pangan yang dihasilkan oleh keseluruhan ‘unit penghasil susut pangan’ inilah yang dalam kurun waktu tertentu akan dihitung dan dilaporkan
Beberapa contoh batasan organisasi adalah 50 lahan pertanian, seluruh petani jagung, seluruh tambak udang, dan sejenisnya.
Saat menuliskan organisasi, entitas perlu menerangkan dengan jelas bagian mana saja dalam operasionalnya yang dimasukkan ke dalam perhitungan Transparansi ini akan memudahkan pemantauan dan perbandingan dengan entitas lain secara konsisten Pemisahan yang jelas akan memudahkan pengambilan keputusan, sehingga perlu dijabarkan sejelas mungkin Sebagai gambaran:
Seorang petani yang menggarap beberapa lahan di mana sebagian merupakan lahan miliknya sendiri, sementara lahan yang lain lewat sistem sewa; dalam pelaporan susut pangan perlu menjelaskan jika perhitungan susut pangan berasal hanya dari lahan yang ia miliki atau termasuk lahan yang ia sewa juga.
Dinas Pertanian kabupaten yang bermaksud menghitung susut pangan dari tanaman hortikultura dapat menjelaskan jika susut pangan yang dihitung tidak termasuk tanaman pekarangan.
2.5 ISU TERKAIT
Berikut ini merupakan hal-hal lainnya yang perlu diperhatikan saat melaporkan perhitungan susut pangan
2.5.1KEMASANDANMATERIAL NON-SUSUTPANGAN
Saat perhitungan, susut pangan bisa saja dalam keadaan tercampur dengan material lain; baik dengan material nonorganik seperti kemasan²³, atau dengan material organik seperti serpihan rumput Laporan susut pangan harus mengeluarkan berat material lain tersebut dari perhitungan
Jika dibutuhkan perhitungan tertentu untuk memisahkan berat susut pangan dari material non-susut pangan, maka metode perhitungan yang digunakan harus dicantumkan Demikian juga dengan tingkat ketidakpastian yang terkait dengan estimasi data susut pangan juga perlu dijelaskan (lihat Bab 3.3).
Entitas dapat memisahkan jumlah susut pangan dari material non-susut pangan dengan cara:
Melakukan analisis komposisi dari sampah yang tercampur untuk memisahkan dan menimbang berat masing-masing komponen.
Menggunakan metode berbasis inferensi (contohnya dengan pemodelan, keseimbangan massa, atau data proksi) untuk mengestimasi proporsi berat susut pangan dalam sampah yang tercampur Melakukan survei atau pengumpulan data harian
Metode-metode perhitungan di atas dijelaskan lebih jauh pada Bab 3.1.2.
Situasi yang membutuhkan pemisahan berat adalah pada kasus berikut:
Susut pangan masih berada dalam kemasannya, misalnya buah jambu yang masih berada pada brongsong (pembungkus buah di pohon).
Susut pangan tercampur dengan kemasan, misalnya sisa sawi putih yang tercampur bersama keranjang rotan.
Referensi data susut pangan yang tersedia masih mencakup berat kemasan.
Bab 3.2.3 menyediakan pedoman lebih jauh tentang cara mengeluarkan berat kemasan dari perhitungan susut pangan
2.5.2KADARAIRYANG
DITAMBAHKANATAUDIBUANG
DARISUSUTPANGAN
Berat dari susut pangan yang dilaporkan harus merefleksikan kondisi ketika susut pangan dihasilkan, sebelum air ditambahkan, atau sebelum kadar air pada susut pangan dihilangkan.
Terdapat beberapa penanganan yang membutuhkan penambahan air ke dalam susut pangan sebelum diproses, misalnya dalam sistem waste-to-water, atau melarutkan susut pangan dalam air sebelum dibuang Air juga bisa digunakan untuk mencuci area penyimpanan yang menyebabkan susut pangan tercampur dengan air
Jika susut pangan tercampur dengan air, maka berat air tersebut harus dikeluarkan dari perhitungan Sebagai contoh, jika sebuah kelompok tani membersihkan area penyimpanan dengan air, sehingga 2 kg susut pangan terbuang bersama air ke dalam saluran pembuangan, maka dalam laporan perhitungan hanya berat 2 kg susut pangan yang perlu dimasukkan Jika dibutuhkan perhitungan tertentu untuk mengestimasi berat susut pangan, maka pendekatan dan metode perhitungan yang digunakan harus dijelaskan.
Dalam kasus lain, beberapa entitas membuang kadar air susut pangan selama penyimpanan sebelum dikirim ke lokasi penanganan Kadar air dapat dikurangi dengan sistem pemerasan atau pengeringan, untuk mengekstraksi air dan mengurangi area yang dibutuhkan untuk menyimpan susut pangan sehingga mengurangi biaya pembuangan sampah
Mengurangi kadar air dengan tujuan untuk mengurangi volume penyimpanan atau pembuangan berbeda dengan situasi yang digambarkan pada Bab 24 yang fokus pada pencantuman kondisi ketika kadar air pada susut pangan meningkat atau berkurang sebagai hasil dari pemrosesan makanan atau perubahan biologis yang terjadi
Jika kadar air pada susut pangan telah diekstraksi, maka berat susut pangan yang dilaporkan adalah sebelum kadar airnya dibuang, agar merefleksikan kondisi asli susut pangan ketika dihasilkan.
Pada beberapa kasus di mana sangat sulit untuk mengestimasi berat susut pangan secara akurat sebelum air ditambahkan atau dibuang, entitas boleh memutuskan apakah akan memasukkan atau mengeluarkan perhitungan susut pangan tersebut, dengan memperhatikan prinsip dasar perhitungan dan pelaporan yang telah dijelaskan di Bab 1.8, dan mempertimbangkan apakah pilihan ini dapat mengganggu kebutuhan pengambilan keputusan²⁴
2.5.3KEHILANGANSEBELUM PANEN
Metode baku ini tidak mencakup perhitungan dari susut pangan yang terjadi sebelum panen, atau tahap dalam produksi pangan yang terjadi sebelum tanaman atau ternak siap dipanen Oleh sebab itu, entitas perlu mengecualikan susut pangan sebelum panen dalam perhitungan agar sesuai dengan standar internasional
Meskipun metode baku perhitungan susut pangan ini bisa jadi relevan untuk menghitung kehilangan sebelum panen, tetapi dalam metode baku perhitungan hal ini belum dimasukkan. Tidak menutup kemungkinan, kehilangan sebelum panen akan dimasukkan dalam penyusunan metode baku berikutnya.
Perhitungan kehilangan sebelum panen berbeda dengan perhitungan susut pangan ketika panen, sebab tahap sebelum panen cenderung melihat pada lost opportunity atau potensi kehilangan dibandingkan kehilangan yang betulbetul nyata atau ada. Menangani kehilangan sebelum panen berarti memaksimalkan potensi produksi, sementara menangani kehilangan saat atau sesudah panen cenderung fokus pada meminimalkan kehilangan pangan dan sampah pangan Kedua hal ini merupakan dua fenomena yang berbeda
Menghitung performa sebelum panen berarti menghitung jumlah teoretis dari potensi panen maksimal, dan kemudian mengukur jumlah panen aktualnya Ini berarti perhitungan teoretis versus aktual Sebaliknya, menghitung performa saat panen atau tahap sesudah panen berarti menghitung jumlah panen aktual dan kemudian mengukur jumlah susut pangan aktual. Ini berarti aktual versus aktual.
Meskipun demikian, memahami dan menghitung kehilangan yang terjadi sebelum panen dapat bermanfaat untuk meningkatkan ketersediaan pangan untuk konsumsi manusia. Selain itu, halhal yang terjadi sebelum panen seperti serangan hama dapat berkontribusi terhadap susut pangan yang terjadi saat panen dan seterusnya. Metode baku ini merekomendasikan agar entitas mengidentifikasi faktor penyebab susut pangan, karena dapat mencakup faktor yang terjadi sebelum panen
Entitas juga boleh memilih untuk tetap menghitung kehilangan sebelum panen jika dirasa diperlukan untuk menunjang tujuan perhitungan, tetapi data ini perlu disimpan terpisah dari data perhitungan susut pangan
2.5.4PERMULAANRANTAI PASOKPANGAN
Rantai pasok pangan didefinisikan sebagai rangkaian kegiatan yang terhubung untuk memproduksi, memproses, mendistribusi, dan mengonsumsi pangan. Dalam metode baku ini, kata “memproduksi” mengacu pada kondisi ketika material mentah untuk pangan siap dipanen, atau misalnya siap untuk masuk ke dalam sistem produksi atau konsumsi.
Beberapa contoh yang dimaksud “siap dipanen”²⁵ termasuk:
Tanaman siap panen
Buah yang sudah matang untuk dipanen
Tanaman atau buah liar yang
diramban
Hewan ternak yang siap disembelih
Hewan liar yang ditangkap atau
diburu
Susu yang diperah
Telur dari unggas
Ikan hasil ternak di kolam atau
tambak yang siap panen
Tahapan-tahapan rantai pasok yang dimasukkan oleh entitas dalam cakupan perhitungannya perlu dituliskan dalam laporan pada bagian “lifecycle stage” (lihat Tabel 22)
2.6 STATUS MATERIAL
Status material menjelaskan tentang kondisi material ketika berada dalam penanganan, yang dibagi menjadi:
Layak konsumsi
Tidak layak konsumsi
Tidak umum dikonsumsi tapi layak konsumsi
Status material tidak wajib diidentifikasi dan dilaporkan, tapi sangat direkomendasikan untuk dilakukan Klasifikasi ini merupakan hasil temuan pengujian perhitungan yang dilakukan di Indonesia, karena belum ada klasifikasi khusus untuk mengetahui potensi makanan yang seharusnya masih bisa dimanfaatkan untuk konsumsi manusia
2.6.1KATEGORISTATUS MATERIAL
StatusMaterial:LayakKonsumsi
Susut pangan dikategorikan sebagai
“layak konsumsi” ketika berada dalam kondisi masih dapat dikonsumsi manusia atau masih layak makan
Contoh susut pangan yang layak konsumsi adalah:
Cabe rawit yang mengering di pohon dan tidak dipetik, karena dianggap tidak layak jual
Apel utuh yang jatuh dari pohon namun tidak diambil atau dipungut
Paprika berbentuk tidak sempurna yang tidak memenuhi standar ekspor sehingga dipangkas untuk memberikan nutrisi bagi buah utama
Kentang utuh yang tertinggal di lahan karena luput dipanen. Gabah yang tercecer di lahan ketika proses panen.
StatusMaterial:TidakLayak Konsumsi
Susut pangan dikategorikan sebagai “tidak layak konsumsi” ketika berada dalam kondisi tidak dapat dikonsumsi manusia, tidak umum dikonsumsi, atau tidak layak makan Biasanya yang masuk kategori ini adalah susut pangan yang telah berada dalam keadaan busuk, rusak, dipenuhi hama, tua, kering/keras, menguning, dan sebagainya
Contoh susut pangan yang tidak layak konsumsi adalah:
Tomat yang busuk di pohon karena tidak dipanen akibat harga yang anjlok saat musim panen raya
Susut pangan dikategorikan sebagai ‘tidak umum dikonsumsi tetapi layak konsumsi’ ketika tidak umum dikonsumsi (oleh warga sekitar) karena berbagai faktor, tapi sebenarnya dapat dan layak dikonsumsi manusia
Contoh susut pangan yang tidak umum dikonsumsi tapi layak konsumsi adalah:
Daunwortelyangditinggaldilahan setelahbuahworteldipanen Daun wortel tidak umum dikonsumsi di Indonesia akan tetapi cukup lumrah dikonsumsi di banyak negara
Daundansisabatangtanaman brokoliyangditinggaldilahansaat bungabrokoli(dansebagianbatang) brokolidipanen. Kedua bagian ini sebenarnya dapat diolah dan dikonsumsi, namun tidak umum dikonsumsi oleh warga lokal sehingga kedua bagian ini dibuang di lahan saat proses panen
Seladaairyangbukanmerupakan varietasutamasehinggadipangkas dandibuang Selada air varietas lain ini sebenarnya dapat dikonsumsi, tapi memiliki ketahanan yang lebih rendah (lebih cepat layu) dibanding varietas utama
2.6.2MANFAATIDENTIFIKASI
STATUSMATERIAL
Manfaat utama dari mengetahui status material saat terbuang dari rantai pasok adalah mengetahui potensi makanan yang seharusnya masih bisa dimanfaatkan untuk konsumsi manusia
Susut pangan yang masuk dalam status ‘layak konsumsi’ dan ‘tidak umum dikonsumsi tapi layak konsumsi’ sesungguhnya masih berada dalam keadaan layak makan, sehingga dapat diarahkan untuk konsumsi manusia Pemanfaatan tersebut antara lain dengan cara:
Didonasikan, utamanya kepada warga yang membutuhkan atau warga yang kurang mampu Donasi ini dapat dilakukan dengan berbagai cara, antara lain dengan membagikannya ke warga sekitar jika jumlahnya relatif sedikit dan dapat ditangani sendiri, atau dengan menyalurkannya lewat food bank setempat, fasilitas dapur umum (jika tersedia), badan amal, dan sejenisnya
Diperbolehkanuntukdiambilolehwarga sekitar, jika dirasa aktivitas donasi sulit dilakukan karena keterbatasan sumber daya (waktu, tenaga, atau transportasi) Aktivitas ini khususnya relevan jika praktik pengumpulan hasil panen cukup lumrah di wilayah tersebut Beberapa wilayah di Indonesia mempunyai kearifan lokal di mana warga sekitar diperbolehkan untuk datang ke lahan dan mengumpulkan hasil panen yang tersisa untuk dikonsumsi atau dijual kembali
Dijualpadapasarsekunder, khususnya untuk hasil panen yang tidak dapat dijual karena tidak memenuhi standar pasar atau faktor kosmetik Apel yang berukuran kecil atau bentuknya tidak sempurna misalnya, bisa dijual ke pabrik pengolahan cuka apel. Sedangkan sawi pakcoy yang berukuran kecil bisa dijual di pasar tradisional dengan harga yang lebih murah
Dikonsumsisendiri, jika jumlahnya relatif kecil
Pelaporan status material sangat bermanfaat karena menyediakan informasi berharga untuk para pemangku kepentingan dalam menyusun rencana tindak lanjut, khususnya agar bahan pangan yang ‘layak konsumsi’ dan ‘tidak umum dikonsumsi tetapi layak konsumsi’ dapat dimanfaatkan secara maksimal.
Pendistribusian/pendonasian makanan layak misalnya, pada akhirnya dapat membuka akses pangan terhadap warga rentan, menyediakan asupan nutrisi (hasil pertanian umumnya memiliki nilai nutrisi tinggi), dan pada akhirnya membantu mengurangi kekurangan gizi, stunting, dan kelaparan di suatu wilayah
Pelaporan status material juga bisa menjadi indikasi adanya kebutuhan perbaikan. Jika pada komoditas cabe rawit ditemukan bahwa 70% susut pangan berada dalam kondisi ‘layak konsumsi’, hal ini bisa menjadi indikasi bahwa terdapat kemungkinan cabe dalam kondisi baik yang luput dipanen karena faktor human error misalnya
2.6.3PEDOMANMENENTUKAN STATUSMATERIAL
Menentukan status material ‘layak konsumsi’ dan ‘tidak layak konsumsi’ biasanya cukup mudah dilakukan Kedua status ini erat kaitannya dengan kondisi hasil panen; apakah berada dalam kondisi layak, baik, atau utuh; atau rusak, busuk, menguning, atau layu Pertimbangan ini akan menentukan apakah suatu makanan dianggap masih layak konsumsi atau tidak
Meskipun demikian, faktor “kelayakan” ini juga bisa bersifat multidimensional, misalnya dipengaruhi oleh taraf hidup masyarakat setempat Sebagai contoh, pada komoditas sawi putih, panen umumnya dilakukan dengan memotong sawi di bagian dekat pangkal, meninggalkan beberapa helai daun terbawah. Daun sawi putih di bagian bawah ini adalah daun yang lebih tua, yang meskipun bisa dimakan, tetapi memiliki tekstur yang lebih keras dan biasanya memiliki bulu halus yang mungkin tidak disukai sehingga dianggap ‘tidak layak konsumsi’ bagi sebagian besar masyarakat. Akan tetapi jika warga sekitar mayoritas adalah warga prasejahtera, daun sawi putih yang tua tersebut mungkin dianggap masih ‘layak konsumsi’.
Dalam situasi seperti ini, dibutuhkan observasi dan pemahaman mendalam terhadap apa yang umumnya dipersepsikan masyarakat setempat sebagai ‘layak konsumsi’ atau ‘tidak layak konsumsi’
Pertimbangan mendalam mungkin juga dibutuhkan dalam menilai status material ‘tidak umum dikonsumsi tetapi layak konsumsi’ Status ini erat kaitannya dengan faktor kultur dan kebiasaan masyarakat setempat Sebagai contoh, kelor merupakan makanan yang lumrah dikonsumsi di wilayah Sulawesi, tapi pada beberapa daerah di Jawa tidak umum dikonsumsi karena aspek kepercayaan tertentu. Ini berarti jika terdapat susut pangan pada komoditas kelor di Sulawesi, status materialnya adalah layak konsumsi (jika berada dalam keadaan baik dan layak makan), akan tetapi jika terdapat susut pangan berupa komoditas kelor di beberapa daerah di Jawa yang disebut di atas, status materialnya menjadi ‘tidak umum dikonsumsi tapi layak konsumsi’.
Dalam laporan, status material tidak wajib diidentifikasi dan dilaporkan, tetapi sangat direkomendasikan untuk dilakukan, mengingat manfaat yang telah dijabarkan sebelumnya Jika memutuskan untuk melaporkan status material, maka sumber referensi (jika ada) atau asumsi dan pertimbangan yang digunakan untuk menetapkan status material perlu disebutkan secara jelas
2.6.4PERBEDAANSTATUS MATERIALDENGANJENIS
MATERIAL
Meskipun terlihat mirip dan sama-sama dapat menunjukkan peluang perbaikan untuk meningkatkan ketahanan pangan, perlu diperhatikan bahwa status material berbeda dengan jenis material, dan memiliki kegunaan yang berbeda.
Jenis material, yang dibagi menjadi ‘bagian yang dapat dimakan’ dan ‘bagian yang tidak dapat dimakan’ fokus pada mengetahui komposisi dari susut pangan yang dihasilkan
Mengetahui proporsi bagian yang dapat dimakan atau yang ditujukan untuk konsumsi manusia berarti menunjukkan proporsi makanan yang idealnya dimanfaatkan untuk ketahanan pangan dan harusnya bisa dicegah Sedangkan mengetahui proporsi bagian yang tidak dapat dimakan berarti menunjukkan proporsi makanan yang (secara sederhana) dianggap wajar terbuang dari rantai pasok karena memang tidak ditujukan untuk konsumsi manusia Ini berarti mengetahui komposisi jenis material akan fokus pada upaya pencegahan susut pangan
Sementara itu, status material yang dibagi menjadi ‘layak konsumsi’, ‘tidak layak konsumsi’, dan ‘tidak umum dikonsumsi tetapi layak konsumsi’ fokus pada mengevaluasi kondisi dari susut pangan yang telah dihasilkan.
Mengetahui jumlah material yang ‘layak konsumsi’ dan ‘tidak umum dikonsumsi tetapi layak konsumsi’ berarti menunjukkan jumlah makanan yang harusnya bisa didonasikan, dibagikan, disalurkan, atau dijual Ini berarti fokus pada upaya penanganan susut pangan
Yang juga perlu diperhatikan adalah kedua kategori ini juga dapat dianalisis bersama Sebagai contoh, panen wortel seorang petani diketahui menghasilkan 500 kg susut pangan, di mana 20% susut pangan berstatus layak konsumsi, dan 80% susut pangan tidak layak konsumsi Akan tetapi, pada masing-masing status tersebut, hasilnya bisa dibedah lagi berdasarkan jenis materialnya. Misalnya, 20% susut pangan yang layak konsumsi terdiri dari 95% bagian yang dapat dimakan dan 5% bagian yang tidak layak konsumsi. Ini berarti jumlah ‘bagian yang dapat dimakan’ yang ‘layak konsumsi’ adalah 20% x 95% = 19% atau sebesar 19% x 500 kg = 95 kg.
Sebagai tambahan, klasifikasi jenis material bersifat wajib dalam cakupan perhitungan, sementara status material bersifat opsional, tapi sangat direkomendasikan.
2.7 MENENTUKAN CAKUPAN SESUAI TUJUAN PERHITUNGAN SUSUT PANGAN
Entitas harus memilih cakupan perhitungan susut pangan yang sesuai dengan tujuan dalam menyelesaikan permasalahan susut pangan. Tabel di bawah menunjukkan beberapa contoh praktis dari berbagai tujuan perhitungan dan implikasinya terhadap cakupan perhitungan susut pangan yang dipilih oleh entitas yang berbeda.
Sebagai referensi, target SDGs 12.3 menargetkan untuk mengurangi separuh sisa pangan per kapita global di tingkat ritel dan konsumen dan mengurangi separuh susut pangan sepanjang produksi dan rantai pasok termasuk kehilangan saat pascapanen pada tahun 2030.
Bab ini menjelaskan tentang metode lengkap perhitungan susut pangan
31 Menentukan Metode Perhitungan Susut Pangan
32 Pengumpulan, Perhitungan, dan Analisis Data
3.3 Menilai Tingkat Ketidakpastian
3.4 Koordinasi Analisis Beberapa Perhitungan Susut Pangan
3.5 Mengidentifikasi Penyebab Susut Pangan
3.6 Peninjauan Hasil Perhitungan
3.7 Pelaporan
3.8 Penetapan Target Pengurangan Susut Pangan dan Pemantauan Perubahan Susut Pangan
3.1 MENENTUKAN METODE
PERHITUNGAN
SUSUT PANGAN
Jelaskan metode perhitungan yang digunakan; atau jika menggunakan data atau studi yang tersedia, jelaskan sumbernya.
Bab ini berisi panduan untuk membantu entitas menentukan metode perhitungan susut pangan yang akan dilakukan Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, entitas harus melaporkan jumlah fisik susut pangan dalam unit berat
Metode Baku Perhitungan Susut Pangan pada Petani ini tidak mengharuskan entitas untuk menggunakan metode perhitungan tertentu, sebab metode yang dipilih harus berdasarkan tujuan perhitungan itu sendiri, cakupan perhitungan, ketersediaan sumber daya manusia dan sumber daya finansial, serta ketersediaan akses langsung kepada susut pangan.
3.1.1PANDUANMEMILIHMETODE
PERHITUNGAN
SUSUTPANGAN
Entitas perlu memeriksa terlebih dahulu jika terdapat data yang telah tersedia (baik dari internal maupun eksternal), sebelum mengerahkan waktu dan sumber daya untuk mengumpulkan data baru Data ini juga mungkin tersebar dan perlu dikumpulkan dari beberapa sumber
Jika data yang dibutuhkan tidak tersedia, maka entitas bisa memilih untuk melakukan perhitungan baru menggunakan beberapa pilihan metode. Dalam laporan, entitas harus mencantumkan metode perhitungan yang digunakan dan jika menggunakan studi atau data yang telah tersedia, wajib menjelaskan sumber dan cakupannya
Pedoman:MenggunakanData danStudiyangTersedia
Jika entitas mempertimbangkan untuk menggunakan data susut pangan yang telah tersedia, maka parameter data atau studi tersebut harus diperiksa secara seksama terlebih dahulu Terdapat dua aspek penting yang perlu dipertimbangkan
Yangpertama,apakah cakupan dari data yang tersedia sesuai dengan cakupan perhitungan susut pangan yang akan dibuat? Penting untuk mengecek apakah jangka waktu, jenis material, penanganan, dan batasannya telah sesuai Sebagai contoh, jika entitas bermaksud melaporkan jenis material secara terpisah antara bagian yang dapat dimakan dengan bagian yang tidak dapat dimakan, maka perlu dikonfirmasi jika data yang telah tersedia juga menggunakan jenis material yang sama.
Yangkedua,apakah data tersebut cukup terpercaya untuk digunakan?. Keandalan dari data yang tersedia sangat terkait dengan tingkat ketidakpastiannya (termasuk jika terdapat bias).
Ketidakpastian ditentukan oleh beberapa faktor termasuk pilihan metode perhitungan dan detail metodologi seperti prosedur pengambilan sampel. Pedoman prosedur pengambilan sampel dijelaskan lebih jauh pada Lampiran A dan pedoman untuk mengevaluasi ketidakpastian dijelaskan pada Bab 3.3.
Studi dengan kualitas tinggi akan mencantumkan daftar sumber ketidakpastian dan menjelaskan dampaknya terhadap hasil perhitungan Hal ini bisa digunakan entitas untuk mengecek jika data dari studi tersebut bisa digunakan untuk keperluan perhitungan Dalam beberapa kasus, tingkat ketidakpastiannya mungkin cukup tinggi sehingga tidak layak untuk digunakan
Pada kasus lain, data yang tersedia mungkin tidak persis yang dibutuhkan oleh entitas tapi dianggap cukup memadai, sehingga data tersebut bisa dijadikan basis kalkulasi perhitungan susut pangan Sebagai contoh, suatu pemerintah kota bisa berasumsi bahwa jumlah susut pangan per kapita tidak banyak berubah dalam setahun, akan tetapi populasi mengalami peningkatan. Dengan menganggap cakupan perhitungan tetap sama, pemerintah kota tersebut bisa menggunakan basis jumlah susut pangan per kapita yang telah tersedia sebelumnya, lalu memasukkannya ke dalam perhitungan dengan jumlah populasi terbaru.
Demikian juga seorang produsen jeruk yang telah menghitung susut pangan per luas lahan (kg/m²) pada beberapa area perkebunan, bisa mengaplikasikan rasio yang sama ke perkebunan yang lain jika cakupan perhitungan, karakteristik perkebunan (misalnya jarak tanam), dan praktek manajemennya relatif sama.
Jika data yang tersedia tidak memenuhi kriteria kebutuhan perhitungan entitas, maka entitas perlu menggali cara pengumpulan sisa data yang dibutuhkan. Beberapa studi susut pangan misalnya, menggunakan kombinasi data yang telah tersedia dengan perhitungan baru
Pedoman:Melakukan PerhitunganBaru
Terdapat beberapa langkah yang perlu diambil ketika hendak melakukan perhitungan baru Entitas bisa memulainya dengan menyiapkan pemetaan untuk mengidentifikasi bagian-bagian tertentu dari perhitungan susut pangan yang datanya perlu dikumpulkan Dalam proses ini, pertimbangan tambahan seperti mencari tahu penyebab susut pangan juga dapat turut dipertimbangkan Proses pemetaan ini dapat membantu memastikan semua kebutuhan entitas di tahap perancangan
Tujuan perhitungan, cakupan perhitungan, serta ketersediaan sumber daya akan menentukan apakah entitas perlu mengukur langsung, menaksir, atau melakukan inferensi Ketiga metode yang berbeda ini juga bisa dikombinasikan dalam perhitungan susut pangan yang dilakukan.
Pengukuran
Pengukuran merupakan metode perhitungan susut pangan yang melibatkan kontak langsung Caranya adalah dengan menimbang atau mengukur jumlah susut pangan menggunakan instrumen atau alat dengan unit standar tertentu Hasil pengukuran dituliskan dalam unit berat²⁶ , jumlah, atau volume Unit selain berat perlu dikonversikan ke dalam bentuk berat
Penaksiran
Penaksiran merupakan metode perhitungan yang digunakan untuk menghasilkan estimasi yang mendekati jumlah susut pangan yang sesungguhnya, tapi kurang presisi dibandingkan metode pengukuran langsung Entitas boleh melakukan penaksiran, misalnya ketika alat pengukuran tidak tersedia
Penggunaan “satu karung” atau “satu peti” juga dapat digunakan untuk menaksir jumlah susut pangan dari lahan pertanian. Selain itu, “skala visual” juga bisa digunakan sebagai salah satu cara untuk menaksir jumlah gabah yang rusak karena serangan hama, misalnya. Atau seorang petani yang mengetahui ukuran krat bisa menaksir volume isi di dalamnya dengan memperkirakan seberapa penuh wadah tersebut. Estimasi ini lalu bisa dikonversi menjadi berat menggunakan faktor berat jenis.
Karena melibatkan subjektivitas saat membuat penaksiran, hasilnya pada umumnya kurang akurat dibandingkan jika susut pangan diukur langsung.
Inferensi
Inferensi merupakan cara mengestimasi jumlah susut pangan berdasarkan data lainnya Sebagai contoh, suatu tambak udang bisa menyimpulkan jumlah susut pangan dari data lainnya yang tersedia, yaitu data hasil panen per tahun dikurangi data penjualan udang per tahun Seorang petani yang menjual sayur di pengepul bisa menyimpulkan jumlah susut pangan dari data lainnya, yaitu selisih antara total hasil panen dikurangi sayur yang dibeli pengepul
Selain itu, jumlah susut pangan juga bisa disimpulkan dengan pemodelan menggunakan faktor yang diketahui mempengaruhi jumlah susut pangan, seperti data iklim atau data agrikultur Entitas juga bisa menyimpulkan jumlah susut pangan dengan menggunakan data dari entitas lain, misalnya dari negara lain atau provinsi lain sebagai bahan pembanding untuk mengestimasi jumlah susut pangan.
Inferensi tidak melibatkan pengukuran atau penaksiran susut pangan, meskipun data yang disimpulkan bisa saja berasal dari perhitungan atau penaksiran susut pangan sebelumnya. Sebagai contoh, data input yang digunakan mungkin diperoleh lewat pengukuran langsung (misalnya jumlah bahan makanan).
Karena jumlah susut pangan dari metode inferensi diperoleh dari data lain, maka akurasi hasilnya juga sangat dipengaruhi oleh kualitas dan akurasi data yang digunakan, termasuk asumsi-asumsi yang dipakai Pada banyak kasus, inferensi memiliki akurasi yang lebih rendah dibandingkan pengukuran langsung dan mungkin lebih rendah dibandingkan metode penaksiran
3.1.2RINGKASANMETODE PERHITUNGAN
Tabel 3.1 berikut menggambarkan metode-metode yang umum digunakan dalam perhitungan susut pangan.
Jikaentitastidak dapat mengaksessusut panganfisik secaralangsung
Pemodelan
Dataproksi
Entitas dapat memilih metode mana yang paling sesuai dengan kebutuhan, atau dapat memilih untuk tidak menggunakan metode yang dijelaskan dalam metode baku ini.
Hanya entitas yang dapat mengakses susut pangan secara langsung yang dapat menggunakan metode penimbangan langsung, penghitungan, perhitungan berbasis volume, atau melakukan analisis komposisi sampah sebagai metode perhitungan. Penimbangan langsung biasanya memberikan hasil yang paling akurat karena tidak melibatkan perkiraan dan tidak menggunakan asumsi. Namun hal ini hanya jika entitas dapat menggunakan alat ukur yang tepat yang bisa menghasilkan pengukuran secara akurat, seperti misalnya timbangan atau wadah yang telah dikalibrasi Sebagai tambahan, peningkatan skala pada alat ukur harus cukup kecil untuk jumlah susut pangan yang ditimbang Sebagai contoh, jika jumlah susut pangan biasanya kurang dari 1 kg, maka alat ukur dengan skala kenaikan 10 kg tidak cocok untuk digunakan
Sementara itu, entitas yang tidak dapat mengakses susut pangan fisik secara langsung bisa menggunakan metode pengukuran atau penaksiran jika dokumen atau data susut pangan bisa diperoleh Akurasi data yang dikumpulkan dengan metode ini (misalnya menggunakan catatan harian atau survei) akan bergantung pada bagaimana data tersebut didapatkan dan dianalisis. Sebagai contoh, suatu asosiasi petani boleh memilih untuk mengumpulkan data dari anggotanya lewat survei, tapi akurasi perhitungan susut pangan akan jauh lebih tinggi jika para anggota menyediakan data mentah dari susut pangan yang dihasilkan dibanding jika mereka mengira-ngira jumlah kasarnya. Secara umum, data akan lebih akurat jika melibatkan lebih sedikit asumsi.
Metode yang dipilih juga bisa saling melengkapi, misalnya metode survei dipakai untuk mendapatkan informasi tentang penyebab susut pangan, sementara perhitungan susut pangan menggunakan metode penimbangan langsung.
MetodeuntukMelakukan InferensiJumlahSusutPangan
Jika entitas tidak dapat mengakses susut pangan secara langsung dan tidak bisa mendapatkan dokumen atau data susut pangan lainnya, maka metode lain yang bisa dilakukan adalah metode inferensi. Entitas yang dapat mengakses susut pangan juga boleh memilih metode ini dengan alasan efektifitas biaya atau jika terdapat tantangan teknis untuk melakukan pengukuran atau penaksiran.
Inferensi berarti menggunakan data yang telah tersedia, lalu melakukan perhitungan untuk menyimpulkan estimasi jumlah susut pangan Pada banyak kasus, data yang digunakan untuk inferensi bukan dihasilkan oleh entitas yang menggunakannya, sehingga penting untuk mengerti latar belakang pengambilan data tersebut dan memastikan jika data yang dipakai telah sesuai dengan cakupan yang dibutuhkan
Entitas yang menggunakan metode inferensi harus mengidentifikasi ketidakpastian yang dihasilkan oleh perhitungan tersebut Terkadang kualitas dan asumsi-asumsi yang digunakan pada data yang tersedia kurang presisi untuk kebutuhan pengambilan keputusan entitas. Menentukan batas ketidakpastian yang masih dapat diterima bergantung pada penilaian entitas, dan bergantung pada bagaimana hasil inferensi tersebut akan digunakan. Pedoman terkait penilaian ketidakpastian dijelaskan pada Bab 3.3.
Sering kali pengukuran atau penaksiran keseluruhan susut pangan tidak memungkinkan untuk dilakukan atau tidak efektif dari segi biaya. Dalam kasus ini, entitas boleh mengumpulkan data hanya dari sampel susut pangan yang dihasilkan, atau sampel dari unit penghasil susut pangan Hasil sampling ini lalu bisa di-scale up untuk menghasilkan estimasi total susut pangan dari keseluruhan unit penghasil susut pangan dalam sebuah cakupan perhitungan
Entitas yang melakukan sampling dan scaling up data untuk menghitung susut pangan mereka harus menjelaskan pendekatan dan metode perhitungan yang digunakan, serta periode waktu pengumpulan data, termasuk tanggal dimulainya dan berakhirnya pengambilan sampel
Penting untuk membedakan antara kebutuhan untuk melaporkan periode waktu pengumpulan sampel (misalnya selama 1 bulan dari tanggal 1 Juli 2023 hingga 31 Juli 2023), dengan kebutuhan pada Bab 2.1 untuk melaporkan jangka waktu perhitungan susut pangan yang dilaporkan (misalnya data sampel bisa di-scale up untuk merepresentasikan 12 bulan data, sehingga dalam kasus ini yang perlu dilaporkan sebagai jangka waktu perhitungan susut pangan adalah 12 bulan selama tahun 2023).
SamplingDataSusutPangan
Sampling adalah proses pengukuran atau penaksiran jumlah susut pangan dari sebagian unit penghasil susut pangan dalam suatu populasi, atau dari sebagian susut pangan fisik yang dihasilkan; dalam suatu periode waktu tertentu. Entitas boleh melakukan kedua jenis sampling ini, yang dijelaskan sebagai berikut:
Sampeldariunitpenghasilsusut pangan: Entitas memilih sebagian dari unit penghasil susut pangan yang dianggap representatif menggambarkan cakupan perhitungan, lalu mengukur susut pangan dari unit-unit ini Entitas lalu melakukan scaling up data dari sampel unit tersebut untuk merefleksikan keseluruhan unit penghasil susut pangan atau keseluruhan populasi
Sebagai contoh: Jika Dinas Pertanian suatu kabupaten hendak menghitung susut pangan dari 20 desa di kabupaten tersebut; maka 20 desa merupakan seluruh unit penghasil susut pangan, namun Dinas Pertanian tersebut bisa melakukan sampling dari 6 desa
Sampeldarisusutpanganfisik:
Entitas mengambil sampel dari susut pangan fisik yang dihasilkan dan mengukur atau menaksir berat dari sampel tersebut. Entitas lalu melakukan scaling up data dari sampel susut pangan untuk mendapatkan estimasi total susut pangan yang dihasilkan oleh unit penghasil susut pangan tersebut.
Sebagai contoh: Jika Dinas Pertanian suatu kabupaten hendak menghitung susut pangan dari sebuah lahan dengan luas 10000 m², mereka bisa melakukan sampling dari lahan seluas 100 m²
Ketika mengambil sampel, entitas perlu mempertimbangkan kemungkinan perbedaan susut pangan yang dihasilkan seiring waktu karena faktor musim dan sejenisnya Hal ini bisa dilakukan misalnya dengan mengambil sampel di beberapa musim berbeda dalam setahun, atau mengambil serangkaian sampel setiap bulan sepanjang tahun
Entitas juga perlu memastikan bahwa pengambilan sampel unit penghasil susut pangan atau sampel susut pangan fisik dilakukan serepresentatif mungkin agar mewakili keseluruhan populasi. Pengambilan sampel yang representatif dapat meningkatkan akurasi dari perhitungan susut pangan.
Lampiran A menyediakan pedoman umum dalam memilih sampel yang representatif, memilih metode sampling, dan menentukan ukuran sampel yang tepat.
ScalingUpDataSusutPangan
Entitas perlu melakukan scaling up pada situasi di mana data yang tersedia tidak menjangkau seluruh populasi dan/atau jangka waktu perhitungan susut pangan.
Populasi mengacu pada semua unit penghasil susut pangan dalam cakupan perhitungan; misalnya 50 kelompok tani di suatu dusun, seluruh pertanian brokoli dalam suatu desa, seluruh pertanian hortikultura dalam suatu kabupaten, dan sebagainya
Jangka waktu perhitungan merupakan periode waktu di mana susut pangan dilaporkan, yang direkomendasikan selama 12 bulan Akan tetapi entitas boleh mengambil sampel susut pangan pada periode waktu yang lebih pendek, seperti misalnya satu bulan atau sekali perbulan sepanjang 12 bulan Setelah itu, entitas perlu melakukan scaling up data agar dapat merefleksikan seluruh jangka waktu perhitungan Lampiran A menyediakan pedoman dalam proses scaling up data ini
Jika entitas tidak memiliki pengetahuan yang cukup untuk melakukan sampling atau scaling up data untuk menghasilkan data statistik yang valid, entitas dapat mencari bantuan teknis dari tenaga profesional, seperti misalnya dari ahli statistik.
3.2.2MENGHITUNGJENIS
MATERIALSECARATERPISAH
Seperti telah dijelaskan pada Bab 2.2, salah satu kebutuhan dalam perhitungan susut pangan adalah pelaporan jenis material yang dimasukkan ke dalam perhitungan; yang mencakup bagian yang dapat dimakan dan bagian yang tidak dapat dimakan. Tujuan perhitungan susut pangan dari suatu entitas akan menentukan jenis material apa saja yang dilaporkan.
Jika entitas memilih untuk menghitung bagian yang dapat dimakan dan bagian yang tidak dapat dimakan secara terpisah, maka entitas juga perlu menjelaskan:
Pendekatan yang digunakan untuk memisahkan kedua jenis material Faktor konversi yang digunakan dan sumber referensinya, jika menggunakan faktor konversi Lampiran B menjelaskan beberapa referensi faktor konversi yang dapat digunakan
Entitas boleh memilih metode yang paling sesuai untuk menghitung bagian yang dapat dimakan dan bagian yang tidak dapat dimakan secara terpisah Gambar 31 di bawah ini menunjukkan urutan metode tersebut dari yang akurasinya paling tinggi
Metode ini dilakukan dengan memisahkan susut pangan secara fisik menjadi dua jenis material, yaitu bagian yang dapat dimakan dan bagian yang tidak dapat dimakan; dan kemudian menimbang salah satu atau kedua jenis material tersebut Metode ini merupakan yang paling akurat di antara ketiga metode yang ada
Akan tetapi, memisahkan material secara fisik berpotensi membutuhkan tenaga kerja yang lebih intensif dan menghabiskan cukup banyak waktu, sehingga bisa jadi merupakan metode yang paling membutuhkan banyak biaya Cara ini juga mungkin sulit untuk dilakukan dalam situasi tertentu, misalnya jika susut pangan yang dihitung sudah rusak atau busuk, sehingga memisahkan jenis materialnya mungkin lebih sulit untuk dilakukan dan berbau tidak sedap
MenggunakanFaktorKonversi
untukTiapKomoditas
Faktor konversi bisa digunakan untuk masing-masing jenis barang atau komoditas Faktor konversi ini bisa digunakan untuk memisahkan proporsi material yang dianggap bagian yang dapat dimakan dari bagian yang tidak dapat dimakan berdasarkan beratnya.
Entitas bisa mengembangkan faktor konversinya sendiri dengan memisahkan dan menimbang material tersebut, atau bisa juga menggunakan faktor konversi berdasarkan data yang telah tersedia.
Menggunakan faktor konversi berdasarkan perhitungan sendiri pada umumnya akan menghasilkan perhitungan yang lebih akurat dibanding menggunakan data dari pihak lain Akan tetapi, menggunakan data yang telah tersedia akan lebih menghemat waktu dan mungkin lebih praktis dalam beberapa situasi tertentu
Penggunaan kedua jenis faktor konversi di atas digambarkan dalam contoh berikut:
Seorang petani pisang raja bermaksud untuk menghitung daging buah pisang (bagian yang dapat dimakan) terpisah dari berat kulit pisang yang dianggap sebagai bagian yang tidak dapat dimakan, dari satu kontainer buah pisang raja
Petani pisang raja tersebut bisa mengembangkan faktor konversinya sendiri dengan menghitung beberapa sampel pisang yang representatif, lalu mengupas dan menimbang kulitnya secara terpisah. Produsen pisang ini dapat menghitung persentase dari daging buah pisang dan kulit pisang dari berat total keseluruhan, kemudian menggunakan angka persentase ini sebagai faktor konversi dalam mengestimasi berat dari keseluruhan satu kontainer pisang.
Jika produsen tersebut menganggap proses tersebut tidak praktis, maka mereka dapat menggunakan faktor konversi dari pihak lain untuk mengestimasi persentase berat daging buah dan kulit pisang Terdapat beberapa referensi yang bisa digunakan oleh produsen tersebut dalam memilih faktor konversi Salah satu yang tersedia adalah Tabel Komposisi Pangan Indonesia (TKPI) 2017 yang mengestimasi berat kulit pisang raja di Indonesia sebesar 30% dari berat keseluruhan pisang²⁷
Selain itu, terdapat beberapa faktor konversi dari luar negeri atau global yang dapat digunakan, misalnya Australian Food Composition Database (AFCD) yang dikeluarkan oleh Food Standards Australia - New Zealand (FSANZ)²⁸
Untuk meningkatkan akurasi perhitungan, entitas perlu mencatat detail-detail yang penting dan relevan agar faktor konversi yang tepat bisa digunakan Sebagai contoh, jika sebuah pisang raja utuh terbuang, maka proporsi bagian yang tidak dapat dimakan adalah 30% menurut faktor konversi TKPI Akan tetapi jika daging buah pisang raja tersebut telah dimakan lalu kulitnya dibuang, maka proporsi bagian yang tidak dapat dimakan menjadi 100%.
Oleh sebab itu jika menggunakan faktor konversi, penting untuk mempertimbangkan dan mencantumkan detail kondisi dari komoditas atau produk tersebut saat terbuang
Pedoman untuk memilih faktor konversi tersedia pada Lampiran B Tabel 33 di bawah menyediakan contoh cara entitas melaporkan informasi tentang faktor konversi yang digunakan
Jika susut pangan yang diproduksi berisikan campuran komoditas dan sulit untuk disortir, maka entitas tidak lagi bisa menggunakan faktor konversi untuk masing-masing komoditas. Hal ini misalnya dapat terjadi pada fasilitas pembuangan pada produsen sayur segar, di mana susut pangan-nya merupakan campuran berbagai jenis sayur yang sulit dipisahkan dan diidentifikasi
Dalam situasi seperti ini, entitas bisa menggunakan faktor konversi untuk keseluruhan susut pangan, untuk mengestimasi proporsi bagian yang tidak dapat dimakan Jika jenis komoditasnya tidak terlalu banyak, entitas dapat mengembangkan faktor konversinya sendiri
Cara lain adalah menggunakan faktor konversi dari data yang telah tersedia dari pihak lain. Sebagai contoh, perhitungan susut pangan pada gudang produsen sayur di atas bisa menggunakan data faktor konversi dari produsen lainnya.
Akan tetapi akurasi metode ini sangat bergantung pada seberapa mirip kondisi keduanya; seperti misalnya apakah keduanya memiliki basis kategori yang sama dalam pemisahan bagian yang dapat dimakan dengan bagian yang tidak dimakan; serta apakah keduanya memiliki sistem operasional, skala produksi, dan jumlah tenaga kerja yang serupa
Penting untuk menggunakan faktor konversi dari pihak lain dengan kondisi semirip mungkin, termasuk mengidentifikasi detail-detail yang terkait dengan data dari pihak lain tersebut Pada beberapa situasi, bisa jadi tidak ada faktor konversi dari pihak lain yang tersedia, yang kondisinya cukup serupa dengan kondisi entitas
Jika entitas memutuskan untuk menggunakan faktor konversi dari pihak lain dan hendak memantau jumlah susut pangan seiring waktu, maka pastikan untuk menggunakan faktor konversi yang konsisten. Hal ini untuk memastikan bahwa jika terdapat perubahan angka susut pangan, hal tersebut bukan berasal dari perubahan faktor konversi yang digunakan.
3.2.3
MENGELUARKAN BERAT
KEMASAN DARI PERHITUNGAN
Definisi dari susut pangan tidak mencakup kemasan seperti kardus, plastik, atau keranjang. Kemasan yang dapat dimakan merupakan pengecualian yang perlu dimasukkan ke dalam perhitungan, karena ditujukan untuk konsumsi manusia. Itulah mengapa metode baku ini mengharuskan kemasan untuk dikeluarkan dari perhitungan.
Akan tetapi dalam beberapa situasi di lapangan, susut pangan mungkin masih menyertakan kemasan, seperti:
Susut pangan masih berada dalam kemasannya, seperti misalnya buah jambu yang masih berada pada brongsong (pembungkus buah di pohon)
Susut pangan tercampur dengan kemasan, seperti misalnya sisa sawi putih yang tercampur bersama keranjang rotan
Referensi data susut pangan yang tersedia masih mencakup berat kemasan
Bab ini menyediakan pedoman untuk mengeluarkan berat kemasan dari perhitungan susut pangan Gambar 32 menunjukkan tiga metode untuk mengeluarkan berat kemasan, dimulai dari akurasi yang paling tinggi.
Jika dibutuhkan perhitungan tertentu untuk memisahkan berat susut pangan dari material non-susut pangan, maka metode perhitungan yang digunakan harus dicantumkan. Demikian juga dengan tingkat ketidakpastian yang terkait dengan estimasi data susut pangan juga perlu dijelaskan (lihat Bab 3.3).
Definisi dari susut pangan tidak mencakup kemasan seperti kardus, plastik, keranjang, dan sebagainya.
TINGGI
RENDAH
Gambar3.2
Memisahkankemasansebelum perhitungan
Metode yang paling akurat adalah dengan melakukan perhitungan susut pangan dalam keadaan tanpa kemasan. Hal ini bisa dilakukan dengan cara: Saat melakukan analisis komposisi sampah, entitas dapat memasukkan kegiatan membuka kemasan ke dalam prosedur perhitungan. Jika pengumpulan data dilakukan lewat catatan harian, entitas dapat menginstruksikan orang yang bertugas untuk melepas kemasan Memastikan bahwa berat produk dalam database adalah berat netto tanpa kemasan
Dalam beberapa kondisi, melepas susut pangan dari kemasan mungkin cukup rumit untuk dilakukan atau bisa menambah biaya (misalnya karena membutuhkan waktu yang signifikan untuk memisahkan susut pangan dari kemasannya) Jika kemasan tidak dipisahkan, entitas dapat mengestimasi berat susut pangan tanpa kemasan dengan cara:
Menimbang salah satu berat kemasan dalam keadaan kosong dan bersih, kemudian mengurangi berat total kemasan dari berat total susut pangan dalam kemasan Hal ini dimungkinkan jika entitas menggunakan kemasan standar untuk semua produk
Mengestimasi secara visual jumlah atau berat susut pangan yang tersisa dalam kemasan (misalnya sisa buah dalam peti kayu). Hal ini bisa dilakukan jika jumlah susut pangan yang tersisa dalam kemasan relatif sedikit, sehingga melakukan penaksiran kasar kemungkinan tidak berdampak signifikan.
Jika kedua metode di atas tidak mungkin dilakukan (misalnya jika menggunakan data atau studi susut pangan yang menyertakan berat susut pangan termasuk kemasan), maka entitas dapat mengestimasi berat kemasan lalu menguranginya dari data total yang tersedia untuk mendapatkan berat bersih susut pangan. Metode ini menghasilkan perhitungan yang kurang akurat, tapi dalam beberapa situasi mungkin menjadi opsi satu-satunya yang dapat dilakukan.
Sebagai contoh, jika data berat susut pangan yang dikumpulkan dari sebuah perkebunan masih termasuk kemasan krat kayu, maka persentase berat krat kayu yang terisi penuh bisa diestimasi dan bisa digunakan untuk mengurangi data berat total yang tersedia untuk mendapat berat bersih susut pangannya
3.2.4 ANALISIS DATA SUSUT
PANGAN DALAM BEBERAPA TAHAPAN
Susut pangan bisa terjadi dari rangkaian tahap rantai pasok, atau dari berbagai aktivitas dalam satu tahap rantai pasok Sebagai contoh dalam kasus petani padi, perhitungan susut pangan bisa dilakukan di tahap panen, perontokan gabah, dan pengeringan.
Saat menganalisis data susut pangan, akan lebih baik jika rangkaian proses tersebut digambarkan dalam bentuk diagram alir yang menggambarkan perpindahan pangan dari satu tahapan ke tahapan berikutnya. Hal ini dapat membantu entitas memvisualisasikan aliran material, sekaligus memastikan semua tahapan telah diperhitungkan.
Pada contoh di bawah, tahapan dimulai dari 100 ton gabah (total bagian yang dapat dimakan dan bagian yang tidak dapat dimakan) Terdapat tiga tahapan dalam kasus ini, di mana terdapat susut pangan di setiap tahapannya, sehingga gabah yang tidak terbuang akan menuju tahap berikutnya
Perlu diingat bahwa ketika menganalisis jumlah susut pangan dari beberapa tahapan, persentasenya tidak bisa sertamerta dijumlahkan. Pada contoh ini, jumlah total susut pangan adalah 38 ton dari 100 ton atau sebesar 38%.
Persentase susut pangan pada tiap tahap diperoleh dengan cara membagi berat susut pangan di tahap itu dengan total berat material yang masuk ke dalam tahap tersebut. Akan tetapi, total persentase susut pangan bukan didapat dari menjumlahkan persentase dari tiap tahap. Hal ini karena jumlah material yang masuk ke tahap berikutnya terus berkurang akibat susut pangan yang terjadi di tahap sebelumnya.
Jika persentase susut pangan langsung dijumlahkan, akan diperoleh hasil 43,6% yang merupakan angka yang tidak akurat (persentase yang benar adalah 38%) Total persentase kumulatif harus dihitung dengan cara yang ditunjukkan oleh kolom terakhir
38tonsusutpangan = 38% susut pangan dari seluruhtahapan
Totalpersentasetidakboleh dijumlahkan
3.2.5
PERTIMBANGAN
KERAHASIAAN
Entitas yang melakukan pengumpulan dan analisis data perlu mempertimbangkan apakah data tersebut perlu dirahasiakan Beberapa negara kini telah memiliki regulasi terkait perlindungan dan keamanan data Selain itu, beberapa badan riset juga telah memiliki aturan yang melindungi kerahasiaan partisipan dalam studi; baik data individu, bisnis, atau organisasi Sebagai contoh, data susut pangan mungkin menggunakan data yang menyangkut pangsa pasar suatu bisnis yang kemungkinan besar dianggap rahasia.
Entitas yang memberi informasi sebagai bagian dari studi perhitungan susut pangan (seperti misalnya pemasok yang diminta untuk menyediakan data susut pangan kepada distributor) juga mungkin memiliki kekhawatiran terhadap kerahasiaan
Hal ini bisa diatasi dengan menggunakan dokumen perjanjian kerahasiaan (nondisclosure agreement) atau menggunakan pihak ketiga untuk pengolahan data anonim untuk melindungi identitas pemasok yang menyediakan data.
3.3 MENILAI TINGKAT
KETIDAKPASTIAN
Entitas perlu memahami tingkat ketidakpastian yang terdapat dalam perhitungan susut pangan, karena ketidakpastian akan mempengaruhi interpretasi dari data yang dihasilkan dan kesimpulan yang ditarik dari data tersebut
Semua metode perhitungan susut pangan pasti memiliki tingkat ketidakpastian Ketidakpastian ini mencerminkan kemungkinan perbedaan dari estimasi susut pangan hasil perhitungan dengan jumlah aktual susut pangan yang diperoleh jika menggunakan proses perhitungan yang sempurna Perbedaan keduanya bisa berasal dari ketidakpastian acak²⁹ (misalnya dari proses sampling yang kurang representatif) dan bias (misalnya menggunakan metode perhitungan lewat catatan harian yang secara konsisten menilai susut pangan lebih rendah dari kenyataannya)
Bab ini berisi pedoman cara menilai dan melaporkan ketidakpastian, yang fokus pada:
Melaporkan tingkat ketidakpastian
Mendeskripsikan ketidakpastian secara kualitatif
Menilai ketidakpastian secara kuantitatif
Pertimbangan saat melaporkan hasil perhitungan
3.3.1MELAPORKANTINGKAT KETIDAKPASTIAN
Melaporkan tingkat ketidakpastian dan sumber-sumber yang berkontribusi terhadap ketidakpastian tersebut dapat meningkatkan kredibilitas dari perhitungan
susut pangan yang dilakukan, dan menentukan tingkat kepercayaan pengguna dalam membaca hasilnya. Hal ini juga membantu pihak yang berwenang untuk membuat keputusan yang tepat sesuai hasil perhitungan. Selain itu, mengidentifikasi dan mendokumentasikan sumber ketidakpastian akan membantu entitas meningkatkan kualitas perhitungan susut pangan yang sedang dilakukan
Oleh sebab itu, penting untuk melaporkan deskripsi kualitatif atau penilaian kuantitatif dari ketidakpastian hasil perhitungan, dan jika memungkinkan melaporkan keduanya Jika diperlukan revisi perhitungan susut pangan, entitas juga perlu menggambarkan upayaupaya yang telah dilakukan untuk mengurangi tingkat ketidakpastian
Dengan kata lain, entitas wajib melaporkan ketidakpastian selengkap mungkin
Deskripsi secara kualitatif dilakukan dengan menuliskan dan menggambarkan berbagai sumber ketidakpastian yang ditemui selama proses perhitungan Demikian juga dengan potensi dampak ketidakpastian tersebut wajib dicantumkan jika penilaian kuantitatif tidak tersedia
Terdapat berbagai jenis potensi sumber ketidakpastian yang digambarkan lewat contoh pada tabel 35, beserta langkahlangkah yang direkomendasikan untuk meminimalisir ketidakpastian tersebut
Entitas perlu mengidentifikasi sumber ketidakpastian sejak dari proses perencanaan perhitungan susut pangan. Hal ini bisa dilakukan dengan membuat daftar sumber ketidakpastian di awal proses, termasuk sumber ketidakpastian yang mungkin dianggap tidak signifikan
Daftar ini lalu bisa terus diperbarui jika terdapat sumber baru yang teridentifikasi. Semakin awal potensi sumber ketidakpastian diketahui, maka entitas dapat semakin siap untuk mengambil langkah dalam mengurangi ketidakpastian tersebut
Jika entitas hendak membandingkan dan melaporkan tingkat ketidakpastian dari beberapa perhitungan susut pangan tapi penilaian kuantitatifnya tidak tersedia, maka entitas boleh menggunakan pendekatan kualitatif. Sebagai contoh, entitas bisa membuat sistem penilaian sederhana berdasarkan berbagai sumber ketidakpastian yang dijelaskan pada tabel di atas. Skala penilaian bisa dibuat dengan berbagai cara, tergantung pada kebutuhan dan prioritas entitas. Di bawah ini merupakan dua contoh:
1.Skalaberdasarkanestimasitingkat ketidakpastian (diurutkan dari yang terendah):
Data yang cukup akurat (± 0–10% estimasi tingkat ketidakpastian)
Data yang agak akurat (± 11–25% estimasi tingkat ketidakpastian) Ketidakpastian tinggi (>± 26% estimasi tingkat ketidakpastian)
2.Skalaberdasarkanmetode perhitunganyangdigunakandan upaya-upayayangdilakukanuntuk mengurangitingkatketidakpastian (diurutkan dari yang terendah):
Survei dengan ukuran sampel besar, melibatkan metode pengukuran langsung, serta dengan proses validasi dan peninjauan yang menyeluruh
Survei dengan ukuran sampel besar, melibatkan metode pengukuran langsung, dengan sebagian proses validasi, dan melakukan peninjauan
Survei dengan ukuran sampel besar, dan melibatkan metode pengukuran langsung.
Survei dengan ukuran sampel besar. Survei dengan ukuran sampel yang relatif kecil.
Dalam contoh skala ke-2 di atas, tiga elemen dikombinasikan, yaitu ukuran sampel, ketersediaan elemen pengukuran langsung, dan tingkat keyakinan tentang kualitas hasil pengukuran. Tingkat ketidakpastian yang terkait dengan elemen ini adalah sebagai berikut:
Ukuran sampel (tinggi: sampel sedikit, rendah: sampel banyak)
Metode mengingat dibanding pengukuran langsung (tinggi: mengingat, rendah: pengukuran langsung)
Proses validasi dan peninjauan terhadap kualitas hasil perhitungan (tinggi: tanpa validasi/peninjauan, rendah: dengan validasi/peninjauan)
3.3.3PENILAIAN
KETIDAKPASTIANSECARA KUANTITATIF
Penilaian ketidakpastian secara kuantitatif bisa memberi gambaran yang lebih baik dibanding deskripsi kualitatif, serta dapat membantu entitas memprioritaskan upaya perbaikan terhadap aspek-aspek yang berkontribusi paling besar terhadap tingkat ketidakpastian Saat melaporkan penilaian ketidakpastian secara kuantitatif, perlu diingat: Identifikasi ketidakpastian yang dikuantifikasi dan jelaskan alasan jika ada yang dikecualikan Tampilkan hasil perhitungan bersama rentang kepercayaan yang merefleksikan tingkat ketidakpastian yang bisa dikuantifikasi³⁰ .
Entitas dapat menjelaskan rentang kepercayaan untuk sumber-sumber ketidakpastian. Sebagai contoh, ketidakpastian pada proses sampling biasanya cukup mudah untuk dikuantifikasi. Rentang kepercayaan (hasil perhitungan ± X ton) bisa ditampilkan dengan beberapa tingkat kepercayaan (misalnya 95%, 99%) yang mengindikasikan tingkat akurasi.
Kebanyakan riset menggunakan 95% tingkat kepercayaan, yang mengindikasikan rentang di mana 95% hasil perhitungan akan tetap konsisten jika studi diulang dengan cara yang persis sama Saat menghitung ketidakpastian, entitas perlu menjelaskan tingkat kepercayaan yang digunakan
Dalam beberapa kasus di mana dua hasil perhitungan dibandingkan (misalnya jumlah susut pangan sebelum dan sesudah dilakukan intervensi), hasilnya perlu disampaikan bersama rentang keyakinan dan/atau nilai-p³¹ menggunakan metode perhitungan statistik
Saat melaporkan perbandingan, tingkat kepercayaan dan/atau nilai-p tetap perlu dicantumkan, terlepas apakah standar tingkat kepercayaannya tercapai atau tidak Sebagai contoh, jika hasil perhitungan tidak memenuhi kriteria di mana nilai-p tidak melebihi 0,05 atau ekivalen dengan tingkat kepercayaan 95%, hasilnya tetap perlu dilaporkan supaya pembacanya dapat menggunakan data tersebut sesuai kebutuhan
Sebagai contoh, suatu entitas menghitung susut pangan awal sebesar 500 ton dan 400 ton setelah dilakukan upaya pengurangan susut pangan, dengan nilai-p perubahan ini sebesar 0,06. Karena perubahan jumlah susut pangan merupakan aspek perhitungan yang paling penting, maka perubahan ini tetap perlu dilaporkan bersama dengan nilai-p dan panduan menginterpretasikan perubahan ini untuk pembacanya.
Beberapa pihak mungkin menganggap perubahan ini “tidak signifikan” karena gagal mencapai standar p≤0,05. Akan tetapi, pembaca lain mungkin menggunakan standar yang lebih rendah dan hasil perhitungan ini tetap bermanfaat jika digabungkan dengan studi lainnya
3.3.4PERTIMBANGANSAAT
MELAPORKANHASIL
PERHITUNGAN
Sebagai tambahan dari laporan teknis, entitas dapat mengomunikasikan hasil temuannya kepada audiens umum untuk meningkatkan partisipasi publik, advokasi kebijakan, atau tujuan lainnya
Sebagai rekomendasi, sebaiknya pihak yang bertanggung jawab untuk komunikasi publik berkonsultasi dengan pihak yang mengerti tentang tingkat ketidakpastian hasil perhitungan. Hal ini untuk memastikan bahwa komunikasi publik yang dilakukan didukung oleh hasil studi, referensi data yang digunakan dicantumkan secara tepat, dan hasil temuan disampaikan secara jelas.
Saat menyampaikan perubahan susut pangan misalnya, rentang kepercayaan dan nilai-p perlu disampaikan. Sebagai contoh, jumlah susut pangan yang dihasilkan di Provinsi A adalah 150 kg/ kapita/tahun (±30 kg/kapita/tahun) yang berarti 120–180 kg/kapita/tahun. Di Provinsi B, hasilnya 135 kg/kapita/tahun (±25 kg/ kapita/tahun), atau 109–160 kg/orang/ kapita. Karena hasilnya menunjuk-kan perbedaan yang relatif kecil di antara kedua provinsi, entitas perlu menyampaikan bahwa tidak ada perbedaan antara susut pangan di kedua provinsi tersebut, meskipun terdapat sedikit perbedaan yaitu 15 kg/kapita/tahun pada mediannya.
3.4 KOORDINASI ANALISIS
BEBERAPA
PERHITUNGAN SUSUT PANGAN
Bagian ini berisi pedoman untuk entitas yang akan menganalisis beberapa hasil perhitungan susut pangan Terdapat dua alasan utama suatu entitas melakukannya: untuk menggabungkan perhitungan susut pangan dari sejumlah entitas, atau untuk membandingkan perhitungan susut pangan antar entitas. Dalam metode baku ini, entitas yang memainkan peran penting ini disebut sebagai ‘entitas koordinator’.
Bab ini fokus membahas: Tujuan dan kegiatan entitas koordinator. Menentukan cakupan dan metodologi pengolahan beberapa perhitungan. Panduan khusus untuk koordinasi perhitungan pada tingkat pemerintahan.
Entitas koordinator harus memberi perhatian khusus pada detail cakupan dan metodologi dari tiap perhitungan susut pangan yang dianalisis Perbedaan antara cakupan dan metodologi pada tiap perhitungan susut pangan akan berdampak pada kemampuan entitas koordinator dalam menggabungkan atau membandingkan hasilnya, lalu menarik kesimpulan yang akurat
3.4.1TUJUANDANKEGIATAN ENTITASKOORDINATOR
Tujuan dari entitas koordinator (yang berpengaruh pada jenis kegiatan yang dilakukan) mungkin berbeda-beda. Tabel di bawah mencantumkan beberapa contoh entitas koordinator, termasuk ilustrasi tujuan dan kegiatan yang terkait
Metode baku perhitungan ini memungkinkan fleksibilitas bagi setiap entitas untuk memilih cakupan dan metode perhitungan yang dianggap paling sesuai Akan tetapi, entitas koordinator yang ingin membuat perbandingan hasil perhitungan susut pangan antar entitas tidak dapat menarik kesimpulan yang akurat jika perhitungan tersebut didasarkan pada cakupan yang berbeda
Bahkan meskipun cakupan perhitungannya sama, entitas-entitas tersebut mungkin menggunakan metode dan asumsi perhitungan yang berbeda karena berbagai pertimbangan, seperti ketersediaan anggaran atau perbedaan tingkat akurasi yang dibutuhkan masingmasing entitas.
Penggunaan metode atau asumsi perhitungan yang berbeda dapat mempengaruhi tingkat ketidakpastian dalam hasil perhitungan entitas, dan merupakan faktor lain yang dapat membatasi perbandingan antar entitas.
Dalam beberapa kasus, entitas koordinator mungkin mempunyai posisi untuk menginstruksikan entitas lain menyiapkan perhitungan susut pangan, sekaligus menentukan susut pangan apa yang akan diukur (cakupan perhitungan), serta bagaimana susut pangan diukur (metode dan asumsi perhitungan).
Dalam hal ini, jika memungkinkan, entitas koordinator dianjurkan untuk:
1.Mendiskusikankemungkinanuntuk melakukanperhitungansusutpangan sesuaispesifikasiyangdiinginkan denganentitasyangakanmelakukan perhitungansusutpangan. Jika entitas koordinator dapat mendiskusikan perencanaan dan persiapan perhitungan susut pangan dengan entitas yang akan melaksanakannya sebelum perhitungan dilakukan, hal ini akan memastikan spesifikasi yang dibutuhkan dapat diikuti oleh setiap entitas pelaksana Akan sangat sulit untuk menyelaraskan cakupan dan metodologi perhitungan susut pangan jika perhitungan telah selesai dilakukan
2.Mendokumentasikandenganjelas cakupan,metodeperhitungan,dan asumsiyangditentukan. Hal ini agar entitas yang melaksanakan perhitungan susut pangan dapat merujuk kembali pada spesifikasi tertulis yang telah disepakati.
3.Mengikutsertakanmekanismeumpan balik. Entitas koordinator perlu mendorong entitas yang melakukan perhitungan susut pangan untuk memberikan umpan balik (misalnya jika mereka membutuhkan rincian lebih lanjut tentang cakupan dan metode perhitungan), dan kemudian entitas koordinator harus memperbarui dokumentasinya.
Pedoman:MenentukanCakupan Perhitungan
Menentukan cakupan perhitungan berarti menentukan informasi yang dibutuhkan (berdasarkan komponen-komponen yang telah disebutkan di Bab 2), dan menyampaikannya kepada entitas yang sedang mengembangkan perhitungan susut pangan. Komponen ini termasuk:
JangkaWaktu – jangka waktu perhitungan susut pangan. JenisMaterial – jenis material yang akan dihitung (bagian yang dapat dimakan, bagian yang tidak dapat dimakan, atau keduanya)
Penanganan – jenis penanganan (dari 11 penanganan) susut pangan yang harus dimasukkan (atau dikecualikan) dalam perhitungan susut pangan Batasan – kategori makanan yang dimasukkan atau dikecualikan, lifecycle stage yang perlu dimasukkan, batasan geografis yang relevan, dan unit organisasi yang dimasukkan dalam perhitungan
IsuTerkait – konfirmasi bahwa berat material non-susut pangan (misalnya kemasan) atau kehilangan sebelum panen perlu dikeluarkan dari perhitungan, dan berat susut pangan yang dilaporkan mencerminkan keadaan susut pangan sebelum diproses (misalnya sebelum kadar air ditambahkan atau dihilangkan).
StatusMaterial - penjelasan tentang kondisi material ketika berada dalam penanganan, apakah layak konsumsi, tidak layak konsumsi, atau tidak umum dikonsumsi tetapi layak konsumsi.
Pengaruh tujuan perhitungan terhadap cakupan yang dipilih dalam perhitungan susut pangan dijelaskan pada Bab 2.7. Entitas koordinator harus mendefinisikan dan menjelaskan spesifikasi cakupan dengan rinci agar entitas lain dapat melakukan perhitungan dan pelaporan susut pangan mereka secara konsisten. Misalnya, jika cakupan yang ditentukan adalah mengecualikan bagian yang tidak dapat dimakan, maka entitas koordinator perlu mendefinisikan material apa yang dianggap sebagai “bagian yang tidak dapat dimakan” dengan rinci, sehingga tidak menimbulkan keraguan bagi entitas yang melakukan perhitungan susut pangan Ini berarti entitas koordinator perlu mempertimbangkan konteks budaya yang berkaitan, untuk menentukan apa yang dianggap sebagai bagian yang dapat dimakan dan bagian yang tidak dapat dimakan
Pedoman:MenentukanMetode danAsumsiPerhitungan
Selain menentukan cakupan susut pangan yang akan dihitung, entitas koordinator juga harus memberikan pedoman metode perhitungan susut pangan pada entitas lainnya.
Misalnya, entitas koordinator dapat meminta agar entitas pelapor melakukan sampling dengan seksama, jika dari data tersebut akan dilakukan scaling up (misalnya, Dinas Pertanian kabupaten harus melaporkan lebih dari satu kelompok tani dari 100 kelompok tani yang ada, dengan asumsi terdapat variabilitas di setiap kelompok tani)
Entitas koordinator juga dapat memberikan instruksi lebih rinci mengenai sektor tertentu, termasuk misalnya dalam kondisi seperti apa data susut pangan dari satu perhitungan dapat digunakan untuk perhitungan lainnya (misalnya jika operasional petani cabe dalam satu kelompok tani dianggap cukup mirip, maka hasil perhitungan dari satu petani dapat di-scale up ke seluruh kelompok tani).
Jika entitas koordinator hendak menggabungkan susut pangan yang dihasilkan dari berbagai tahap dalam sektor pertanian, lihat kembali Bab 3.2.4 untuk pedoman terkait metode perhitungan.
Tabel di bawah merangkum sejumlah aspek perhitungan yang dapat ditentukan oleh entitas koordinator.
Pemerintah di semua tingkatan (nasional, provinsi, atau kota) dapat menyiapkan perhitungan susut pangan untuk menentukan tingkat susut pangan dalam wilayah yurisdiksi mereka Dari informasi ini, pemerintah dapat merancang strategi pengurangan susut pangan, memantau jumlah susut pangan dari waktu ke waktu, membandingkan jumlah susut pangan dengan pemerintah lainnya, hingga berbagi pengetahuan tentang strategi pencegahan dan manajemen susut pangan yang efektif. Bagian ini berisi panduan menyiapkan dan melakukan koordinasi perhitungan susut pangan tingkat pemerintahan dengan menggunakan data dari berbagai sektor³².
MenentukanCakupan
PerhitunganTingkat
Pemerintahan
Perhitungan di tingkat pemerintahan, seperti perhitungan lainnya, dimulai dengan identifikasi tujuan dan selanjutnya mengembangkan cakupan perhitungan. Kotak 3.1 memberikan contoh cakupan perhitungan susut pangan yang dilakukan oleh pemerintah nasional.
MelakukanPerhitunganTingkat
Pemerintahan
Segala jenis otoritas pemerintahan, harus mengikuti lima langkah pengumpulan data susut pangan dari berbagai sektor ekonomi (misalnya, pertanian, perkebunan, peternakan, dan sebagainya)³³. Jika perhitungan akan dilakukan kembali dari waktu ke waktu, maka metodologi perhitungan susut pangan ini dapat ditinjau ulang agar lebih akurat, efisien, atau berbiaya rendah
Menentukan cakupan perhitungan pada setiap sektor;
1. Menyusun rencana kerja; 2. Mengidentifikasi dan meninjau data yang telah tersedia; 3. Memilih metodologi perhitungan; 4. Melakukan perhitungan, baik dengan menggunakan data yang tersedia atau melakukan perhitungan baru.
5. 1. Menentukan cakupan perhitungan
Otoritas pemerintah harus mendefinisikan dengan jelas sektor yang masuk dalam perhitungan. Cakupan ini bisa ditetapkan oleh pemerintah itu sendiri, maupun oleh sub-kontraktor yang melakukan perhitungan atas nama pemerintah (dalam konteks ini akan disebut sebagai “pemerintah”).
Jika perhitungannya bertujuan untuk mengetahui jumlah susut dan sisa pangan yang masuk ke TPA misalnya, semua sektor penghasil susut dan sisa pangan dalam seluruh tahapan rantai pasok pangan akan diikutsertakan Jika pemerintah bertujuan untuk mengetahui susut pangan yang terjadi pada penyimpanan pascapanen, maka hanya sektor pertanian dan sektor penyimpanan saja yang dihitung Jika pemerintah hendak memantau perkembangan susut dan sisa pangan untuk mencapai SDGs target 123, maka semua sektor, mulai dari produksi hingga rumah tangga perlu dimasukkan dalam perhitungan
Pemerintah juga harus menjelaskan detail pada masing-masing sektor. Misalnya jika pemerintah hendak melakukan perhitungan susut pangan dari sektor pertanian, maka harus dijelaskan pertanian seperti apa yang dimasukkan dalam perhitungan (misalnya lahan dengan luas tertentu).
Berikut contoh cakupan perhitungan yang dibutuhkan oleh pemerintah nasional (sebagai entitas koordinator) untuk setiap entitas yang melaporkan susut pangan. Sebagai tambahan, instruksi lebih rinci dan spesifik bisa ditambahkan sesuai kebutuhan.
JangkaWaktu: Data susut pangan selama 1 tahun
JenisMaterial: Hitung kedua jenis material, bagian yang dapat dimakan dan bagian yang tidak dapat dimakan. Metode baku ini menyarankan perhitungan bagian yang dapat dimakan dilakukan terpisah dari bagian yang tidak dapat dimakan, jika memungkinkan. Hal ini agar setiap jenis material dapat dianalisis oleh pemerintah nasional (saat ini atau di masa yang akan datang).
Penanganan: Laporkan penanganan yang relevan (pilih dari 11 kategori penanganan, dan laporkan secara terpisah jika memungkinkan). Pemerintah nasional yang berupaya memaksimalkan ketersediaan pangan dan efisiensi sumber daya bisa memilih keseluruhan 11 kategori penanganan Namun jika misalnya pemerintah hanya fokus pada pengurangan bahan organik yang dibuang ke TPA, insinerasi, dan saluran pembuangan; pemerintah boleh meminta entitas hanya melaporkan ketiga penanganan tersebut
Batasan:
Kategori makanan – semua kategori makanan Minuman mungkin sulit untuk dihitung, sehingga pemerintah mungkin perlu membuat panduan tambahan mengenai metode perhitungan minuman
Lifecycle stage – semua sektor pertanian, perkebunan, dan peternakan
Geografi – seluruh wilayah negara
Organisasi – semua unit penghasil susut pangan Batasan organisasi harus mewakili total susut pangan setiap entitas Jika terdapat unit tertentu yang tidak dihitung, maka hal tersebut harus dijelaskan Misalnya, jika pemerintah tidak menghitung susut pangan yang dihasilkan oleh tanaman naungan di lahan, maka pengecualian ini perlu dinyatakan dengan jelas
IsuTerkait: Konfirmasi bahwa berat material non-susut pangan (misalnya karung, krat kayu) atau kehilangan sebelum panen perlu dikeluarkan dari perhitungan, dan berat susut pangan yang dilaporkan mencerminkan keadaan susut pangan sebelum diproses (misalnya sebelum kadar air ditambahkan atau dihilangkan).
StatusMaterial - penjelasan tentang kondisi material ketika berada dalam penanganan, apakah layak konsumsi, tidak layak konsumsi, atau tidak umum dikonsumsi tapi layak konsumsi.
Untuk setiap sektor, pemerintah perlu menjalin hubungan dengan pihak kunci, organisasi, atau perusahaan di sektor tersebut. Para pihak ini akan menjadi sumber data yang penting dalam menyelesaikan perhitungan.
2. Menyusun rencana kerja
Dalam perkembangannya, pemerintah akan melakukan dan memantau berbagai hal, mengingat banyaknya koordinasi dengan organisasi eksternal.
Oleh karena itu, penting untuk menyusun rencana kerja agar pemerintah dapat mengantisipasi jumlah pekerjaan dan sumber daya yang akan dikerahkan.
Agar berjalan lancar, rencana kerja harus memuat unsur-unsur berikut:
Daftar rencana kegiatan yang selaras dengan lima langkah yang diuraikan di atas.
Daftar kontak pihak kunci, organisasi, dan perusahaan dalam setiap sektor yang perlu dihubungi
Daftar informasi yang diperlukan dari masing-masing pihak kunci, organisasi, dan perusahaan dalam setiap sektor (misalnya data susut pangan yang tersedia, data pengelolaan sampah) secara spesifik
Perkiraan sumber daya yang dibutuhkan (misalnya jumlah personel dan anggaran)
Jangka waktu penyelesaian setiap langkah
Individu yang bertanggung jawab dalam setiap proses
Rencana kerja ini akan membantu proses perhitungan tidak berlarut-larut atau terhenti di tengah jalan
3 Mengidentifikasi dan meninjau data yang telah tersedia
Di beberapa sektor mungkin sudah tersedia studi atau data yang memenuhi tujuan perhitungan pemerintah Seperti yang dijelaskan di Bab 311, hal pertama yang harus dilakukan oleh pemerintah adalah menentukan apakah cakupan dari data yang ada cocok dengan cakupan perhitungan susut pangan yang sedang dipersiapkan; yaitu kesamaan jangka waktu, jenis material, penanganan, dan batasannya. Selanjutnya, pemerintah perlu menentukan apakah data tersebut cukup dapat diandalkan untuk digunakan dengan menilai tingkat ketidakpastiannya.
4. Memilih metodologi perhitungan
Setelah meninjau data yang tersedia, pemerintah dapat memutuskan jika data tersebut bisa digunakan atau diperlukan pengambilan data baru pada sektor yang ditentukan Pemerintah harus membuat beberapa keputusan jika memilih untuk mengumpulkan data baru. Bab 3.1 menjabarkan beberapa keputusan yang berkaitan dengan beberapa hal, seperti sumber daya yang tersedia, akses langsung terhadap susut pangan, keterbatasan waktu, dan sebagainya. Khusus pada pemerintah, perlu diputuskan juga pihak yang akan melakukan perhitungan susut pangan, yaitu oleh pemerintah sendiri (atau kontraktornya) atau oleh organisasi dan perusahaan pelaku di sektor yang ditentukan.
Kelebihan dari perhitungan yang dilakukan sendiri oleh pemerintah adalah metodologi perhitungan yang konsisten Akan tetapi kekurangannya adalah kemungkinan pemerintah tidak memiliki pengetahuan yang mendalam tentang suatu sektor dibanding pihak-pihak yang benar-benar bekerja di sektor tersebut, sehingga beberapa aspek berpotensi luput dari perhitungan Selain itu, pihakpihak di sektor tersebut mungkin enggan membuka data karena memiliki kekhawatiran terkait kerahasiaan Kekurangan ini dapat diatasi dengan menggunakan sub-kontraktor yang memiliki pengetahuan spesifik mengenai sektor tersebut dan bersifat independen.
Jika pemerintah memilih untuk mendelegasikan perhitungan pada pihak-pihak dalam sektor yang diteliti, maka pemerintah harus memastikan bahwa pihak tersebut memiliki sumber daya (keuangan dan tenaga kerja) yang diperlukan untuk pengumpulan data. Pemerintah juga perlu menyediakan panduan tentang metode perhitungan dengan tingkat akurasi yang memadai. Informasi tambahan tentang pemilihan metode perhitungan tersedia di Bab 3.1.
5. Melakukan perhitungan, baik menggunakan data yang tersedia atau melakukan perhitungan baru
Berikut beberapa hal yang harus dipertimbangkan ketika melakukan perhitungan susut pangan di tingkat pemerintahan:
Samplingdanscalingupdata
Secara umum, kecil kemungkinan untuk dapat menghitung satu-persatu susut pangan yang dihasilkan tiap lokasi dalam suatu sektor Pemerintah atau sektor yang melakukan perhitungan dapat menggunakan teknik sampling dan scaling up untuk memperkirakan jumlah susut pangan pada suatu sektor
Informasi tambahan mengenai proses sampling dan scaling up tersedia pada Lampiran A
Pelaporandata
Tabel 313 mencantumkan informasi yang perlu disertakan dalam laporan perhitungan susut pangan. Jika memungkinkan, masing-masing sektor yang dihitung memiliki perhitungan tersendiri, agar perubahan jumlah susut pangan dapat dipantau seiring waktu.
Koordinasidankombinasidata sektoral
Setelah data tiap sektor tersedia, pemerintah dapat menggabungkan data-data tersebut menjadi satu perhitungan agregat yang menyeluruh. Pada tahap ini, penting untuk memeriksa kembali cakupan perhitungan di tiap sektor, untuk memastikan bahwa masing-masing memiliki cakupan yang identik sehingga dapat digabungkan. Jika terdapat perbedaan cakupan, maka perbedaan-perbedaan tersebut harus dilaporkan dengan jelas dalam laporan perhitungan akhir Contoh penelitian nasional yang melaporkan sisa pangan yang dihasilkan oleh sektor rumah tangga, perhotelan dan layanan makanan, manufaktur makanan, dan ritel secara tahunan adalah "Estimates of Food and Packaging Waste in the UK Grocery Retail and Hospitality Supply Chains (2013)"
Kotak di bawah menyediakan contoh perhitungan susut pangan di tingkat pemerintah provinsi yang disederhanakan.
Pemerintah di suatu provinsi hendak melakukan studi perhitungan susut pangan yang dihasilkan oleh dua jenis pertanian, yaitu petani sayur-sayuran dan petani buah-buahan Tujuannya adalah untuk memahami berapa banyak susut pangan yang dibuang ke TPA dan berapa banyak yang berakhir dengan penanganan tercecer
Cakupannya adalah:
Jangkawaktu: 1 tahun
Jenismaterial: bagian yang dapat dimakan dan bagian yang tidak dapat dimakan
Penanganan: TPA dan tercecer
Batasan:
Kategori makanan: sayur-sayuran dan buah-buahan
Lifecycle stage: produksi pertanian
Geografi: dalam wilayah provinsi
Organisasi: semua petani sayur-sayuran dan petani buah-buahan
Setelah cakupan perhitungan susut pangan ditetapkan, pemerintah provinsi perlu mulai memetakan petani sayur-sayuran dan petani buah-buahan Dalam contoh ini, pemerintah dapat mengidentifikasi beberapa kelompok tani yang dianggap representatif sebagai sampel dan meminta mereka untuk berpartisipasi dalam studi. Pemerintah dapat menunjuk suatu badan riset untuk melakukan perhitungan, atau juga dapat memberikan cakupan dan metode perhitungan kepada kelompok tani tersebut yang akan melakukan perhitungan susut pangan secara mandiri Penetapan cakupan dan metode perhitungan yang sama akan membuat hasil perhitungan susut pangan dapat dibandingkan
Kelompok tani sampel kemudian dapat melakukan perhitungan masing-masing dengan dukungan teknis dari pemerintah bila diperlukan. Hasilnya lalu akan discale up oleh periset agar dapat mewakili keseluruhan populasi. Contoh hasil perhitungan tersebut ditunjukkan tabel di bawah ini
Dalam contoh yang disederhanakan ini, pemerintah provinsi dapat mengambil kesimpulan bahwa petani sayur-sayuran menghasilkan susut pangan hampir dua kali lipat dari susut pangan yang dihasilkan oleh petani buah-buahan, dan sebagian besar susut pangan yang dihasilkan oleh petani tersebut dibuang ke TPA. Pemahaman ini kemudian dapat menjadi bahan pengambilan keputusan jika susut pangan pada kedua
3.5 MENGIDENTIFIKASI PENYEBAB SUSUT PANGAN
Jika memungkinkan, entitas yang melakukan perhitungan susut pangan sebaiknya juga mengidentifikasi penyebab dan pemicu susut pangan yang dihasilkan Dalam metode baku ini, “penyebab” didefinisikan sebagai alasan langsung terjadinya susut pangan, sementara “pemicu” didefinisikan sebagai faktor yang mendasari munculnya “penyebab”
Mengidentifikasi penyebab dan pemicu susut pangan tidak diwajibkan, tapi sangat direkomendasikan Informasi penyebab dan pemicu susut pangan dapat membantu entitas memahami hal-hal apa yang mendasari timbulnya susut pangan, agar dapat merancang strategi pencegahan dan pengurangan susut pangan
Sebagai contoh, pemerintah kabupaten menemukan fakta bahwa terdapat jumlah susut pangan yang signifikan di komoditas jagung. Tanpa informasi tentang penyebabnya, pemerintah kabupaten akan kesulitan merancang kebijakan untuk mengatasi masalah tersebut.
3.5.1MENGIDENTIFIKASI PENYEBABSUSUTPANGAN
Dalam beberapa situasi, entitas mungkin hanya bisa mengidentifikasi penyebab langsung terjadinya susut pangan saat melakukan perhitungan, karena pemicunya mungkin belum jelas terlihat. Oleh sebab itu, mengidentifikasi penyebab harus diprioritaskan saat melaporkan alasan terjadinya susut pangan.
Dalam beberapa kasus, bisa saja muncul beberapa penyebab, sehingga semua penyebab tersebut harus dilaporkan. Tabel di bawah menyediakan contoh beberapa penyebab susut pangan sebagai referensi.
3.5.2MENGIDENTIFIKASIPEMICU SUSUTPANGAN
Pemicu sering kali ditentukan oleh konteks operasional entitas. Sebagai contoh, jika seorang petani yang memasok tomat ke supermarket menemukan fakta bahwa tomat yang ia jual seringkali ditolak, maka petani tersebut dapat mengidentifikasi standar pasar yang terlalu ketat sebagai pemicunya. Jika pemerintah menemukan fakta bahwa terdapat jumlah ikan busuk yang signifikan di TPA, maka pemerintah tersebut dapat mengidentifikasi kurangnya fasilitas pendingin sebagai pemicunya
Dibanding penyebab, pemicu mungkin
tidak langsung teridentifikasi oleh entitas
Tidak semua entitas juga dapat menemukan pemicu dari susut pangan yang dihasilkan Akan tetapi, entitas yang dapat mengidentifikasi pemicu akan lebih siap untuk merancang strategi pencegahan dan pengurangan susut pangan
Tabel di bawah menyediakan contoh beberapa penyebab dan pemicu susut pangan pada petani sebagai referensi Beberapa contoh tersebut merupakan hasil temuan dari implementasi perhitungan susut pangan di 30 petani di Indonesia
Dalam pelaporan, entitas perlu memasangkan penyebab dengan pemicunya untuk tiap jenis dan jumlah susut pangan
Tabel di bawah merupakan contoh cara seorang petani yang merupakan produsen sayur segar melaporkan penyebab dan pemicu dalam perhitungannya Bisa dilihat pada contoh komoditas paprika, terdapat 50 kg paprika yang ditolak oleh supermarket karena ukurannya yang terlalu kecil (tidak sesuai standar)
Informasi detail seperti ini akan memudahkan entitas menyusun strategi pencegahan atau pengurangan susut pangan di masa yang akan datang, misalnya dengan menjual paprika yang ukurannya tidak sesuai standar di pasar tradisional dengan harga yang lebih murah.
Entitas perlu menyertakan informasi selengkap mungkin dalam pelaporan perhitungan susut pangan yang dibuat. Jika penyebab atau pemicu susut pangan tidak diketahui, hal tersebut juga sebaiknya dijelaskan dalam laporan. Pedoman lebih lengkap dalam pelaporan dapat dilihat pada Bab 3.7.
Peninjauan hasil perhitungan bisa berupa tinjauan sejawat, verifikasi, validasi, tinjauan kualitas, kontrol kualitas, atau audit Proses peninjauan bisa membantu entitas memastikan bahwa perhitungan susut pangan yang dibuat telah akurat, sesuai dengan metode baku perhitungan, transparan, relevan, dan tanpa kesalahan penyajian. Proses peninjauan bisa dilakukan oleh entitas itu sendiri atau oleh pihak eksternal. Peninjauan sebaiknya dilakukan sebelum pelaporan hasil perhitungan.
Meskipun proses peninjauan sifatnya tidak wajib dilakukan, mendapatkan jaminan perhitungan memiliki manfaat sebagai berikut:
Meningkatkan kredibilitas informasi yang disajikan, yang akan menjadi basis dari penyusunan target serta strategi pengurangan susut pangan. Memperbaiki praktik perhitungan dan pelaporan entitas (terkait metodologi, pengumpulan data, perhitungan hasil, dan sebagainya)
Meningkatkan kepercayaan pemangku kepentingan terhadap hasil perhitungan yang dilaporkan
Dokumentasi dari metode perhitungan susut pangan secara komprehensif dan seksama merupakan langkah penting untuk mempersiapkan proses peninjauan. Hasil proses peninjauan adalah ‘pernyataan peninjauan’, yang mencakup:
Jika peninjuan dilakukan oleh entitas itu sendiri (pihak pertama) atau oleh pihak eksternal (pihak ketiga)
Opini hasil peninjauan
Ringkasan proses peninjauan
Kompetensi yang relevan dari pihak yang melakukan peninjauan
Penjelasan jika terdapat potensi konflik kepentingan
3.6.1 ISTILAHKUNCIDALAM PENINJAUAN
Dalam proses peninjauan, terdapat beberapa istilah yang digunakan untuk mendeskripsikan berbagai proses yang dilakukan Di bawah ini adalah definisi beberapa istilah yang mungkin ditemui:
Jika dilakukan peninjauan hasil perhitungan (bisa berupa tinjauan sejawat, verifikasi, validasi, tinjauan kualitas, kontrol kualitas, atau audit), tuliskan pernyataan peninjauan.
Terdapat tiga pihak yang terlibat dalam proses peninjauan: entitas yang membutuhkan peninjauan, pemangku kepentingan yang akan menggunakan laporan perhitungan susut pangan, dan peninjau.
Entitas yang melakukan peninjauannya sendiri disebut peninjauan pihak pertama, sedangkan jika dilakukan oleh pihak eksternal disebut peninjauan pihak ketiga (Tabel 3.11). Entitas harus memilih peninjau yang independen dan tidak memiliki konflik kepentingan dengan proses perhitungan dan pelaporan susut pangan tersebut.
Bagi pemangku kepentingan yang berasal dari eksternal, peninjauan pihak ketiga dapat meningkatkan kredibilitas dari perhitungan yang dilakukan. Akan tetapi, peninjauan pihak pertama pun dapat cukup kredibel dan bisa dijadikan peninjauan pendahuluan sebelum melanjutkan ke peninjauan pihak ketiga.
Secara umum, peninjauan yang dilakukan pihak ketiga memberi tingkat objektivitas dan independensi yang lebih tinggi Beberapa hal yang mungkin mengganggu independensi adalah konflik finansial serta konflik kepentingan lainnya antara entitas yang membutuhkan peninjauan dengan pihak peninjau Potensi konflik ini perlu diidentifikasi di bagian awal proses peninjauan Entitas yang melakukan peninjauan pihak pertama khususnya, harus melaporkan bagaimana konflik kepentingan ini dihindari selama proses peninjauan
KompetensiPeninjau
Peninjau perhitungan susut pangan harus memiliki karakteristik berikut:
Memiliki keahlian dan berpengalaman dalam melakukan peninjauan.
Memiliki pengetahuan dan pengalaman melakukan perhitungan susut dan sisa pangan dan/atau metodologi terkait.
Memiliki kemampuan untuk menilai besarnya potensi kesalahan, kelalaian, dan penyajian yang keliru
Memiliki kredibilitas, independensi, dan skeptisisme profesional untuk mempertanyakan data dan informasi
ProsesPeninjauan
Proses peninjauan, baik jika dilakukan oleh pihak pertama atau ketiga terdiri dari beberapa langkah, yaitu: Perencanaan dan penentuan cakupan. Memahami metodologi perhitungan, sumber data yang digunakan, dan proses perhitungan (termasuk asumsi-asumsi yang digunakan).
Melakukan proses peninjauan (misalnya pengumpulan bukti-bukti, melakukan analisis)
Mengevaluasi hasil
Menentukan dan melaporkan kesimpulan
Sifat dan cakupan proses peninjauan bisa bervariasi, tergantung apakah peninjauan tersebut dilaksanakan untuk mendapatkan jaminan perhitungan wajar atau terbatas. Jaminan perhitungan wajar (reasonable assurance) merupakan tingkat peninjauan yang paling tinggi. Jaminan perhitungan mutlak (absolute assurance) tidak pernah diberikan sebab selalu ada ketidakpastian dalam suatu proses perhitungan. Proses pengumpulan buktibukti lebih ketat pada jaminan perhitungan wajar dibanding jaminan perhitungan terbatas (limited assurance)
WaktuPeninjauan
Proses peninjauan dilakukan sebelum laporan hasil perhitungan susut pangan dirilis ke publik. Hal ini memungkinkan kesalahan penyajian untuk direvisi sebelum opini hasil peninjauan (atau opini setelah laporan direvisi) dirilis Oleh sebab itu, proses peninjauan harusnya dimulai dalam kurun waktu yang cukup sebelum penerbitan hasil perhitungan, sehingga hasil tinjauan dapat digunakan sebagai bahan perbaikan
Entitas yang melakukan laporan perhitungan bahkan juga bisa memilih untuk mulai melakukan peninjauan ketika rencana metodologi dikembangkan, sehingga saran perbaikan dari peninjau bisa segera dijalankan sebelum perhitungan lapangan dilakukan Pendekatan ini memiliki manfaat jika dibanding memulai peninjauan sebelum pelaporan, karena masalah-masalah metodologi perhitungan yang teridentifikasi di tahap pelaporan biasanya akan sulit untuk diperbaiki lagi.
Peninjauan di tahap penyusunan metodologi juga membuat pihak yang melakukan perhitungan mempertimbangkan kembali semua aspek metodologi yang dipilih dan efeknya terhadap hasil perhitungan. Karena peninjau harusnya memiliki keahlian di metode perhitungan yang relevan, pengalaman ini bisa membantu menguatkan metode yang digunakan, dan membantu meningkatkan kredibilitas hasil akhir perhitungan.
Durasi waktu yang dibutuhkan untuk proses peninjauan akan ditentukan oleh kompleksitas perhitungan dan tingkat jaminan perhitungan yang dibutuhkan
Proses peninjauan bisa membantu entitas memastikan bahwa perhitungan susut pangan yang dibuat telah akurat, sesuai dengan metode baku perhitungan, transparan, relevan, dan tanpa kesalahan penyajian.
MenyiapkanPeninjauan
Menyiapkan peninjauan berarti memastikan bukti-bukti dan data yang dibutuhkan oleh peninjau tersedia dan mudah diakses Jenis bukti dan dokumentasi yang dibutuhkan peninjau tergantung pada perhitungan yang diperiksa, dan jenis jaminan yang ditargetkan
Sebelum memulai proses peninjauan, entitas perlu memastikan dokumen berikut siap dan tersedia untuk peninjau: Hasil perhitungan dan laporan susut pangan.
Metodologi lengkap.
Bukti-bukti yang cukup, seperti data mentah dan analisis perhitungan.
Jika proses peninjauan dilakukan bersamaan dengan proses perhitungan, beberapa dokumen di atas mungkin belum siap. Dalam kondisi ini, entitas dapat memberikan dokumen tersebut segera setelah tersedia.
TantangandalamProses Peninjauan
Terdapat beberapa tantangan yang mungkin ditemui saat proses peninjauan. Hasil perhitungan bergantung pada kombinasi data yang dikumpulkan, data yang tersedia, kalkulasi, dan asumsiasumsi. Pada setiap hal tersebut akan muncul ketidakpastian, termasuk bias yang sulit untuk diidentifikasi Oleh sebab itu, ketika melakukan peninjauan, penting untuk mempertimbangkan metode pengumpulan data, integritas data studi yang digunakan, dan ketepatan asumsi yang digunakan
PernyataanPeninjauan
Pernyataan peninjauan berisikan kesimpulan peninjau tentang hasil perhitungan susut pangan. Bentuknya bisa berbeda tergantung apakah peninjauan dilakukan oleh pihak pertama atau pihak ketiga.
Entitas harus memilih peninjau yang independen dan tidak memiliki konflik kepentingan dengan proses perhitungan
Daftar di bawah ini menggambarkan halhal apa saja yang dapat dimasukkan ke dalam pernyataan Isinya merupakan kombinasi dari perihal yang wajib dimasukkan dan yang direkomendasikan untuk dimasukkan sesuai kebutuhan:
Pendahuluan
Deskripsi tentang entitas
Pernyataan entitas
Deskripsi Proses Peninjauan
Kompetensi peninjau yang relevan (wajib)
Ringkasan proses peninjauan dan langkah-langkah yang dilakukan (wajib)
Deskripsi tanggung jawab entitas dan peninjau
Daftar kriteria peninjauan
Jika peninjauan dilakukan oleh pihak pertama atau pihak ketiga (wajib)
Jika peninjauan dilakukan oleh pihak pertama, mekanisme yang dilakukan untuk menghindari konflik kepentingan. Standar peninjauan yang digunakan
Kesimpulan
Opini hasil peninjauan, termasuk tingkat jaminan perhitungan yang diperoleh (wajar atau terbatas)
Detail tambahan terkait kesimpulan peninjau, termasuk jika ada pengecualian, tantangan dalam proses peninjauan, dan sejenisnya
Jika terdapat penyimpangan dalam hasil perhitungan yang tidak sesuai dengan kriteria peninjauan, entitas perlu melaporkan implikasinya Entitas juga boleh memilih untuk memasukkan rekomendasi yang diberikan peninjau terkait perbaikan yang perlu dilakukan, dalam pembaruan perhitungan susut pangan yang akan dilakukan entitas di masa yang akan datang.
3.7 PELAPORAN
Pelaporan sangat penting untuk memastikan akuntabilitas dan komunikasi yang efektif dengan berbagai pemangku kepentingan, baik eksternal maupun internal. Semua informasi yang dilaporkan harus mengikuti 5 prinsip dasar yaitu keterkaitan, kelengkapan, konsistensi, transparansi, dan akurasi (dijelaskan dalam Bab 1.8). Contoh template pelaporan perhitungan tersedia di Lembar Bantuan Perhitungan yang dapat diakses di bit.ly/MBPSPP3.
Sesuai dengan kebutuhan perhitungan dan pelaporan yang telah dijabarkan, bab ini akan merangkum informasi yang harus dicantumkan dalam laporan perhitungan susut pangan agar sesuai dengan metode baku. Selain itu, entitas juga dapat menambahkan elemen-elemen lain dalam laporan yang dirasa dapat membantu menguatkan pesan yang ingin disampaikan atau menjawab kebutuhan audiens. Elemen ini bersifat opsional dan boleh ditambahkan ke laporan perhitungan atau disediakan jika diminta.
Bab ini berisi pedoman tentang:
Tujuan pelaporan
Potensi jangkauan audiens laporan susut pangan
Menyampaikan hasil laporan
Menjelaskan batasan-batasan
Elemen pelaporan yang bersifat wajib
Elemen pelaporan yang bersifat opsional
3.7.1PEDOMANPELAPORAN
TujuanPelaporan
Tujuan utama dari perhitungan dan pelaporan susut pangan yang sesuai dengan metode baku adalah menyediakan data untuk mendorong upaya pencegahan dan pengurangan susut pangan Menentukan tujuan spesifik pengukuran susut pangan adalah langkah pertamanya, dan pelaporan adalah langkah terakhir Keseluruhan prosesnya, mulai dari mengembangkan metodologi perhitungan hingga melaporkan hasilnya, dirancang untuk membantu meningkatkan pemahaman entitas tentang peluang pencegahan dan pengurangan susut pangan.
Pelaporan juga memfasilitasi komunikasi dengan pemangku kepentingan internal dan eksternal, yang pada akhirnya dapat membantu entitas menyusun prioritas penangangan sumber susut pangan.
PotensiJangkauanAudiens
Saat menetapkan tujuan dan mengembangkan perhitungan susut pangan, penting untuk mengingat kebutuhan audiens yang akan membaca dan menggunakan laporan perhitungan. Audiens bisa bervariasi dan mungkin mencakup pihak-pihak yang meminta perhitungan susut pangan dibuat (misalnya dari asosiasi petani, lembaga pemerintah). Tabel di bawah menjelaskan contoh beberapa audiens dan kebutuhan masing-masing
Terlepas dari audiensnya, laporan harus dirancang untuk menyampaikan dengan jelas tujuan dilakukannya perhitungan susut pangan, konteks serta alasan berbagai keputusan dalam proses perhitungan, rangkuman kesimpulan yang bisa ditarik, dan berbagai batasan dalam perhitungan Audiens laporan kemungkinan besar ingin mengetahui jumlah susut pangan, tapi juga mungkin tertarik lebih jauh untuk mengetahui apa yang telah dilakukan entitas, upaya yang akan didorong, atau strategi pengurangan susut pangan yang dirancang berdasarkan perhitungan tersebut
Oleh sebab itu, dalam mempersiapkan laporan, entitas boleh menyampaikan
rencana tindak lanjut dan rekomendasi bagi berbagai pemangku kepentingan (konsumen, pengambil kebijakan) untuk mengambil langkah-langkah tertentu dalam mengurangi susut pangan
Setelah suatu entitas menerbitkan laporan susut pangan pertamanya, laporan berikutnya harus dapat memberikan gambaran tentang setiap perubahan yang terjadi sejak laporan sebelumnya, serta menjelaskan upaya penanganan susut pangan yang telah dilakukan Selain itu bisa dijelaskan juga ringkasan pengurangan atau peningkatan jumlah susut pangan terhadap perhitungan sebelumnya, penjelasan mengapa jumlah susut pangan meningkat atau turun, menjabarkan inisiatif yang paling efektif, dan rencana tindak lanjut pada sumber utama susut pangan.
MenjelaskanBatasanHasil Perhitungan
Penting bagi audiens untuk mengetahui cakupan perhitungan dan faktor-faktor lain yang mempengaruhi hasil dan membatasi penggunaan perhitungan, sehingga entitas harus menyertakan disclaimer yang relevan
Kotak 33 berikut merupakan contoh paragraf pendek yang menjabarkan halhal yang perlu dipertimbangkan ketika mengevaluasi dan menggunakan laporan perhitungan susut pangan yang dibuat Hal ini dilakukan untuk menyampaikan batasan perhitungan yang dapat mempengaruhi komparabilitas dan akurasi hasil perhitungan kepada audiens.
Kotak3.3ContohTeksuntukMenjelaskanBatasan
Hasil perhitungan pada laporan ini bersifat spesifik sesuai dengan asumsi dan praktik di entitas X Pembaca disarankan berhati-hati dalam menarik kesimpulan jika membandingkan hasil perhitungan ini dengan perhitungan susut pangan lainnya Komparabilitas dan akurasi hasil perhitungan ditentukan oleh cakupan perhitungan (yang meliputi jangka waktu, jenis material, penanganan, batasan, dan status material), metode perhitungan, dan asumsi. Pembaca dapat merujuk Metode Baku Perhitungan Susut Pangan pada Petani (bitly/MBPSPP1) untuk mengakses daftar istilah dan informasi tambahan mengenai proses perhitungan susut pangan
3.7.2INFORMASIYANG
DIBUTUHKAN
Tabel 313 berisi ringkasan komponen yang wajib dimasukkan dalam laporan perhitungan susut pangan agar sesuai dengan Metode Baku Perhitungan Susut Pangan pada Petani Contoh template laporan tersedia di Lembar Bantuan Perhitungan yang bisa diakses di bitly/MBPSPP3
Meskipun demikian, entitas boleh melaporkan hasil perhitungan dalam format apapun yang dianggap paling sesuai dengan target audiens, selama semua informasi yang dibutuhkan tertera dengan jelas. Dalam kondisi di mana entitas perlu mendeskripsikan informasi tertentu, entitas perlu menjabarkan informasi tersebut secara memadai sesuai dengan kebutuhan target audiens.
Selain informasi yang sifatnya wajib, entitas juga dapat menambahkan komponen lain sesuai kebutuhan, termasuk untuk menjawab kebutuhan audiens Komponen di bawah ini direkomendasikan untuk ditambahkan ke dalam laporan perhitungan, atau disediakan jika diminta:
RincianCakupan/Metodologi
Latar belakang tambahan tentang hasil dan cara perhitungan. Informasi tambahan tentang pemisahan hasil perhitungan, seperti memisahkan jumlah susut pangan berdasarkan kategori makanan, lifecycle stage, geografi, atau unit organisasi.
Sesuai jenis penanganannya, informasi tentang apakah susut pangan mengalami valorisasi, proporsi susut pangan yang divalorisasi, dan susut pangan yang dikonversi menjadi bentuk lain (lihat Bab 23)
Upaya mengurangi tingkat ketidakpastian (lihat Bab 33)
Ketika faktor normalisasi diterapkan, jelaskan faktor yang digunakan, alasan pemilihan, dan sumber datanya (lihat Lampiran C)
PenggunaanLaporanPerhitungan SusutPangan
Batasan dalam membaca hasil laporan (lihat Kotak 3.3).
Pedoman tambahan tentang cara menginterpretasi dan menggunakan hasil perhitungan .
PenyebabdanPemicuSusut Pangan
Data kualitatif yang dikumpulkan selama perhitungan susut pangan tentang penyebab dan pemicu susut pangan (lihat Bab 3.5).
PenetapanTargetdan PemantauanPerubahan
Alasan pemilihan tahun dasar
Rencana pengurangan susut pangan yang terperinci
Penjelasan setiap perubahan susut pangan sejak perhitungan sebelumnya
Tingkat ketidakpastian terkait hasil perhitungan.
Kebijakan perhitungan ulang tahun dasar beserta alasan dan konteksnya. Metode pemantauan target pengurangan susut pangan.
Target susut pangan dalam rencana tindak lanjut, yang disajikan dalam jumlah susut pangan per metrik tertentu, seperti misalnya jumlah susut pangan per kapita.
Metode baku ini memungkinkan entitas untuk memantau dan melaporkan susut pangan mereka dari waktu ke waktu Entitas juga dapat menetapkan target pengurangan susut pangan sesuai dengan tujuan yang telah ditentukan saat perhitungan susut pangan. Akan tetapi target pengurangan susut pangan juga bisa berasal dari pihak eksternal; seperti manajemen perusahaan, pemerintah, atau asosiasi petani
Entitas boleh melakukan perhitungan susut pangan sesuai metode baku ini tanpa menetapkan target pengurangan dan pemantauan Akan tetapi, entitas yang bermaksud menetapkan target pengurangan dan pemantauan harus mengikuti pedoman di bab ini yang fokus membahas:
Memilih tahun dasar
Menentukan cakupan target
Menetapkan target
Memantau kinerja berdasarkan target
Menghitung ulang tahun dasar
Jika
3.8.1MEMILIHTAHUNDASAR
Periode waktu tertentu, biasanya dalam bentuk tahun, yang menjadi basis periode di mana susut pangan yang dihasilkan dalam periode tersebut akan dibandingkan dengan susut pangan di periode berikutnya; disebut “tahun dasar”. Jumlah susut pangan yang dihasilkan di tahun dasar lalu akan dibandingkan dengan jumlah susut pangan di akhir periode target untuk melihat apakah target tersebut telah tercapai.
Entitas harus memilih tahun dasar, dan menjelaskan alasan pemilihan tahun tersebut. Entitas akan mendapatkan manfaat terbesar jika memilih tahun dasar yang memiliki hasil perhitungan susut pangan dengan tingkat akurasi paling tinggi, sebab proses pemantauan berikutnya akan lebih tepat dan konsisten. Oleh sebab itu, entitas juga boleh memutuskan untuk tidak menetapkan tahun dasar hingga mereka memiliki hasil perhitungan susut pangan yang akurat dan representatif
3.8.2MENENTUKANCAKUPAN TARGET
Entitas wajib menentukan cakupan target, termasuk menerangkan apakah pemantauan akan dilakukan pada seluruh susut pangan yang dihasilkan atau hanya sebagian. Jika entitas memutuskan hanya sebagian yang dijadikan cakupan target dan dipantau, entitas perlu menjelaskan alasannya
Cakupan perhitungan susut pangan di tahun dasar harus dirancang sesuai dengan kebutuhan dan pedoman di Bab 2 Cakupan ini harus tetap sama dan konsisten di periode waktu berikutnya saat penentuan dan pemantauan target
Idealnya, cakupan perhitungan susut pangan dan cakupan target harus identik Akan tetapi, bisa jadi terdapat situasi di mana target yang ditetapkan entitas tidak sama persis dengan perhitungan yang telah dilakukan Hal ini biasanya terjadi jika cakupan target yang ditetapkan lebih sempit dibanding hasil perhitungan susut pangan Tabel di bawah merupakan contoh perbandingan antara cakupan perhitungan susut pangan dengan cakupan target Dalam contoh ini, sebuah kabupaten telah menetapkan target “mengurangi susut pangan di lahan pertanian yang terbuang di lahan pertanian sebanyak 25% di tahun 2030” Dalam kasus ini, pemerintah harus melaporkan perbedaan antara cakupan perhitungan dan cakupan target.
Setelah tahun dasar ditetapkan, entitas dapat menentukan target pengurangan susut pangan seiring waktu. Metode baku ini tidak mewajibkan entitas untuk menetapkan target pengurangan susut pangan, namun merekomendasikan entitas untuk mempertimbangkan menyusun target sesuai tujuan perhitungan di awal.
CakupanTargetPenguranganSusut Pangan
Satutahun(2030)
Hanyabagianyangdapatdimakan
Hanyatidakdipanendantercecer
Semualahanpertaniandalamkabupaten
Adanya target dapat meningkatkan kesadaran, memfokuskan perhatian, dan membantu mengerahkan sumber daya untuk mengurangi susut pangan. Entitas perlu mempertimbangkan beberapa faktor saat menetapkan target pengurangan susut pangan: jenis target, masa penyelesaian target, dan tingkatan target
JenisTarget
Entitas dapat menetapkan target absolut, target relatif (juga disebut target intensitas), atau kombinasi target absolut dan relatif Target absolut dinyatakan dalam jumlah spesifik Sebagai contoh, sebuah perusahaan bermaksud mengurangi susut pangan sebanyak 1 juta ton dari susut pangan yang dihasilkan pada tahun 2016, di tahun 2020 Target relatif dinyatakan dalam bentuk perbandingan dengan metrik lain Sebagai contoh, pemerintah pusat menetapkan target pengurangan susut pangan sebanyak 50% per kapita dari susut pangan yang dihasilkan pada tahun 2016, di tahun 2030 Untuk memastikan transparansi, entitas yang menggunakan target relatif juga perlu melaporkan jumlah absolut susut pangan yang ditetapkan pada target.
Target relatif juga bisa digunakan untuk membandingkan jumlah relatif susut pangan terhadap semua makanan dalam cakupan target. Sebagai contoh, suatu negara menargetkan susut pangan yang dihasilkan sebesar 20% dari seluruh pasokan pangannya, atau suatu provinsi menargetkan maksimal 15% hasil pertanian menjadi susut pangan. Dalam konteks ini, entitas juga perlu menyebutkan jumlah target tersebut dalam bentuk angka.
MasaPenyelesaianTarget
Masa penyelesaian target dapat memberikan indikasi apakah target yang ditetapkan bersifat jangka panjang atau jangka pendek Masa penyelesaian target harus dinyatakan dalam unit waktu yang sama dengan tahun dasar, misalnya dalam bentuk tahun
Penyusunan target jangka panjang, misalnya periode target 10 tahun atau lebih, akan membantu penyusunan rencana kerja jangka panjang. Target jangka pendek atau target pada poin tertentu dalam target jangka panjang, dapat memudahkan entitas untuk memantau kemajuan secara lebih sering. Pemilihan target jangka panjang atau jangka pendek juga akan dipengaruhi oleh rencana frekuensi pemantauan.
TingkatanTarget
Tingkatan target pengurangan susut pangan mencerminkan tingkat ambisi. Jika target ditentukan oleh internal entitas, target tersebut merupakan cerminan ambisi entitas. Jika target ditentukan oleh pihak eksternal seperti pemerintah, entitas dapat mengadopsi target tersebut atau bahkan lebih ambisius. Secara umum, entitas perlu menetapkan target yang dapat menghasilkan pengurangan susut pangan relatif terhadap tahun dasar secara signifikan. Selain itu, target bisa dan perlu dibuat semakin ambisius seiring berjalannya waktu; selagi pengurangan susut pangan terus berjalan, dan seiring kemajuan teknologi dan intervensi baru
Entitas sebaiknya menetapkan target pengurangan susut pangan dan melakukan pemantauan rutin agar meningkatkan kesadaran, memfokuskan perhatian, dan membantu mengerahkan sumber daya untuk mengurangi susut pangan.
3.8.4MEMANTAUKINERJA BERDASARKANTARGET
Terdapat beberapa cara untuk memantau dan mengevaluasi kinerja berdasarkan target yang telah ditentukan. Proses pemantauan berarti menghitung susut pangan di berbagai interval waktu dalam jangka waktu target, agar entitas dapat melihat apakah target telah tercapai, atau berada dalam jalur yang benar untuk mencapai target.
Evaluasi berarti menilai jika upaya-upaya pengurangan susut pangan yang dilakukan telah efektif, agar entitas memahami secara mendalam inisiatif mana yang berhasil mendorong kemajuan untuk mencapai target.
MenyusunRencanaPemantauan SusutPangan
Entitas direkomendasikan untuk menyusun rencana pemantauan di awal periode waktu target, ketika rincian target akan ditetapkan. Hal ini karena banyak aspek praktikalitas saat pemantauan dapat mempengaruhi penyusunan target Saat melaporkan kemajuan, entitas harus menjelaskan metode yang digunakan dalam proses pemantauan Penjelasan di bawah merupakan beberapa contoh hal yang perlu dipertimbangkan dalam pemantauan: frekuensi perhitungan, konsistensi cakupan, dan konsistensi metode perhitungan
Frekuensi Perhitungan
Rencana pemantauan perlu mempertimbangkan aspek frekuensi perhitungan susut pangan.
Pemantauan ini minimal dilakukan di titik awal dan titik akhir periode target. Pemantauan juga bisa dilakukan di antara periode target untuk menunjukkan indikasi awal apakah kemajuannya berada di jalur yang benar. Entitas sebaiknya melakukan perhitungan di antara periode target secara rutin, sehingga dapat menunjukkan tingkat keberhasilan dari strategi pengurangan susut pangan yang sedang dijalankan, dan memungkinkan penyesuaian dilakukan
Sebagai contoh, di Inggris pemerintah kota mengumpulkan sampah rumah tangga dan melakukan perhitungan sisa pangan rumah tangga menggunakan data komposisi sampah yang tersedia Pemerintah kota melakukan analisis komposisi sampah ini dalam rentang waktu tertentu, kemudian datanya dikumpulkan menjadi perhitungan nasional setiap dua tahun sekali
Frekuensi dua tahun sekali dalam kasus di atas telah terbukti menjadi frekuensi pemantauan yang cukup ideal, sebab telah diperoleh cukup data untuk menghasilkan perhitungan yang akurat. Melakukan pemantauan dengan frekuensi lebih sering berarti: Mendasarkan perhitungan dari analisis komposisi sampah dalam jumlah kecil, sehingga meningkatkan tingkat ketidakpastian ke tingkat yang tidak dapat diterima; atau Menggunakan data dari analisis komposisi sampah yang telah digunakan dalam perhitungan sebelumnya, yang merupakan praktik yang sebaiknya dihindari dalam pemantauan kinerja.
Memastikan Konsistensi Cakupan dan Mengurangi Ketidakpastian
Agar sebuah entitas dapat melakukan pemantauan target pengurangan susut pangan secara optimal, cakupan perhitungan susut pangan yang dibandingkan dari waktu ke waktu harus tetap sama dan konsisten. Selain itu, akan lebih baik jika entitas menggunakan data dengan tingkat ketidakpastian yang cukup rendah (jika memungkinkan) agar perubahan kecil pun dapat terdeteksi. Hal ini dapat dicapai dengan cara:
Memilih metode perhitungan dengan tingkat akurasi tinggi Sebagai contoh, melakukan penimbangan langsung
Memastikan Konsistensi Metode Perhitungan
Entitas juga perlu menggunakan metode perhitungan yang sama dalam setiap pemantauan secara konsisten. Entitas perlu memastikan informasi-informasi terkait metode perhitungan yang ditetapkan selalu tersedia saat pemantauan susut pangan di tiap periode waktu. Sebagai contoh, jika perhitungan susut pangan berasal dari data perusahaan pemrosesan sampah, maka data serupa harus terus tersedia, baik di tahun dasar hingga tahun target
Adanya perubahan metode perhitungan, baik besar maupun kecil, bisa berdampak
3.8.5MENGHITUNGULANG TAHUNDASARSUSUTPANGAN
Entitas wajib menghitung dan menentukan ulang tahun dasar jika terjadi perubahan signifikan. Perhitungan ulang penting agar perbandingan dan pemantauan terhadap target dapat dilakukan secara akurat dan konsisten
Perubahan signifikan yang mengindikasikan kebutuhan perhitungan ulang bisa termasuk:
Perubahan struktur organisasi, seperti merger, akuisisi, dan divestasi;
Perubahan cakupan perhitungan; Perubahan metodologi perhitungan, perbaikan akurasi data, atau munculnya temuan kesalahan yang signifikan;
Perubahan batasan yurisdiksi pemerintah; dan/atau
Perubahan faktor konversi yang tidak mewakili perubahan susut pangan yang terjadi
Perubahan signifikan bukan hanya terjadi karena adanya suatu perubahan besar, tetapi juga dari beberapa perubahan kecil yang secara akumulatif menjadi signifikan. Entitas boleh menghitung ulang tahun dasar susut pangan, atau bisa juga menentukan tahun dasar yang baru, asal tidak berkonflik dengan target pengurangan susut pangan.
MenetapkanKebijakan
Saat menetapkan tahun dasar, entitas perlu membuat kebijakan perhitungan ulang tahun dasar, dan menerangkan secara jelas basis dan konteks kebutuhan perhitungan ulang tersebut
Perlu atau tidaknya perhitungan ulang tahun dasar bergantung dari signifikansi perubahan dalam cakupan atau metodologi perhitungan Batas signifikansi yang memicu perhitungan ulang tahun dasar perlu didefinisikan dan dicantumkan secara jelas Contoh dari batasan signifikansi misalnya jika perubahan cakupan atau metodologi perhitungan mengubah hasil jumlah susut pangan sebanyak 10% atau lebih
MenghitungUlangTahunDasar JikaTerjadiPerubahanStruktural Organisasi
Entitas wajib melakukan perhitungan ulang tahun dasar susut pangan jika terjadi perubahan struktural organisasi yang signifikan; seperti merger, akuisisi, divestasi, atau perubahan batas negara
Sebagai contoh, jika sebuah perusahaan melakukan divestasi pada satu anak perusahaan di tahun ketiga pelaporan susut pangan, perusahaan tersebut harus menghitung ulang tahun dasar susut pangan dengan menghapus jumlah susut pangan yang dihasilkan dari anak perusahaan tersebut pada perhitungan tahun dasar.
Penyesuaian ini menunjukkan bahwa pengurangan susut pangan yang tampak di tahun ketiga adalah hasil perubahan struktural organisasi, dan bukannya perubahan dalam praktik pengelolaan susut pangan.
Dalam kasus di mana perusahaan melakukan akuisisi terhadap anak perusahaan yang tidak memiliki perhitungan susut pangan sebelumnya, perusahaan dapat menjelaskan hal ini sebagai alasan kenaikan susut pangan dalam laporan. Opsi lainnya, entitas juga bisa berupaya mendapatkan estimasi kasar jumlah susut pangan dari anak perusahaan tersebut dengan melakukan ekstrapolasi data dari organisasi yang serupa. Selain itu, perusahaan juga bisa melakukan perhitungan susut pangan secara terpisah sehingga tidak berpengaruh pada perhitungan susut pangan yang ada
Entitas bisa melakukan perubahan cakupan seiring waktu. Sebagai contoh, suatu pemerintah provinsi mulai menghitung susut pangan di satu kota pada tahun dasarnya, lalu menambahkan kota lain di tahun berikutnya Seorang petani melakukan perhitungan susut pangan dari komoditas padi di tahun dasar, lalu menambahkan komoditas jagung di tahun berikutnya Jika efek kumulatif dari penambahan atau perubahan cakupan perhitungan susut pangan tersebut cukup signifikan, entitas perlu memasukkan hal baru yang ditambahkan tersebut dalam perhitungan tahun dasar berdasarkan data historis
Akan tetapi jika data ini tidak tersedia, entitas perlu menjelaskan semua perubahan cakupan yang terjadi setelah tahun dasar.
Entitas bisa melakukan perhitungan susut pangan dengan cara yang berbeda seiring waktu Sebagai contoh, entitas dapat meningkatkan kualitas data yang diperoleh secara signifikan dengan cara mengumpulkan lebih banyak data dari berbagai sumber
Entitas perlu memastikan bahwa perubahan jumlah susut pangan yang terjadi adalah benar merupakan hasil kenaikan atau pengurangan susut pangan, dan bukan karena perubahan metodologi. Oleh sebab itu, jika perubahan sumber data atau metodologi menghasilkan perbedaan hasil perhitungan yang signifikan, entitas perlu melakukan perhitungan ulang tahun dasar dengan mengaplikasikan sumber data baru atau metodologi baru tersebut.
Jika data ini tidak tersedia, entitas perlu menjelaskan semua perubahan sumber data atau metodologi yang terjadi setelah tahun dasar.
LAMPIRAN A METODE SAMPLING DAN SCALINGUP DATA
A.1 PENDAHULUAN
Jika entitas melakukan pengumpulan data dengan metode sampling unit penghasil susut pangan dan/atau sampel fisik susut pangan, lalu melakukan scaling up untuk mendapatkan estimasi total susut pangan, maka pendekatan dan metode yang digunakan harus dijabarkan dengan jelas dalam pelaporan
Lampiran ini berisi panduan sampling, termasuk hal-hal yang perlu dipertimbangkan saat memilih metode sampling, memilih sampel susut pangan yang representatif, dan menentukan ukuran sampel yang tepat.
Lampiran ini juga berisi metode scaling up yang dibutuhkan ketika data sampel tidak menjangkau seluruh populasi dan/atau jangka waktu perhitungan susut pangan
Jika entitas tidak memiliki pengetahuan yang cukup untuk melakukan sampling atau scaling up, entitas dapat berkonsultasi dengan ahli statistik atau peneliti yang berpengalaman.
A.2 PEDOMAN SAMPLING
Pemilihan sampel yang representatif berdampak besar terhadap akurasi data Oleh sebab itu, penting untuk memastikan bahwa sampel susut pangan dan sampel unit penghasil susut pangan mewakili seluruh susut pangan dalam seluruh unit penghasil susut pangan dalam populasi
Terdapat dua metode sampling unit penghasil susut pangan yang memiliki dampak yang berbeda dalam keterwakilan seluruh unit Kedua metode ini adalah sampling “probabilitas” dan “nonprobabilitas”. Dalam sampling probabilitas, semua unit penghasil susut pangan dalam populasi memiliki peluang yang sama untuk terpilih, sehingga menghasilkan sampel acak yang secara statistik mewakili karakteristik seluruh populasi yang sedang diteliti. Sementara dalam sampling nonprobabilitas, kemungkinan suatu unit penghasil susut pangan untuk terpilih tidak diketahui, misalnya karena ukuran dan karakteristik populasi tidak sepenuhnya dipahami. Sampel non-probabilitas biasanya merupakan indikator bahwa sampel yang diambil kurang mewakili karakteristik seluruh populasi.
Dalam beberapa situasi, data hanya memungkinkan untuk diperoleh dari sebagian susut pangan yang dihasilkan oleh suatu unit penghasil susut pangan (dalam periode waktu tertentu), sebab pengukuran seluruh susut pangan mungkin sulit untuk dilakukan; misalnya jika jumlah susut pangan yang dihasilkan dalam satu periode terlalu banyak sehingga tidak mungkin ditimbang semuanya Dalam kondisi ini, penting untuk mendapat sampel yang representatif terhadap semua susut pangan yang dihasilkan dari seluruh unit penghasil susut pangan dalam populasi (lihat Lampiran A22)
A.2.1METODESAMPLINGUNIT PENGHASILSUSUTPANGAN
Bagian ini berisi gambaran umum metode sampling probabilitas dan nonprobabilitas, yang ditunjukkan dalam dua contoh berikut
Sebagai contoh sampling probabilitas, sebuah koperasi pertanian hendak menghitung susut pangan dari seluruh petani anggotanya, dan bermaksud memilih sampel beberapa petani karena tidak punya cukup pendanaan untuk menghitung susut pangan dari seluruh petani anggota Karena jumlah total petani anggota diketahui dan koperasi bisa meminta semua petani untuk berpartisipasi, koperasi bisa memilih sepuluh sampel misalnya, dengan memberikan nomor ke setiap petani, lalu memilih sepuluh nomor secara acak
Sebaliknya, jika suatu badan riset hendak menghitung susut pangan dari petani di suatu desa, mereka mungkin tidak mengetahui secara pasti berapa banyak total petani yang ada, dan mungkin tidak berwenang untuk mewajibkan petanipetani tersebut berpartisipasi. Dalam konteks ini, badan riset bisa membuat daftar kompilasi semua petani yang diketahui lalu memilih beberapa petani secara acak. Jika petani yang terpilih menolak untuk berpartisipasi sehingga harus diganti petani lain, sedangkan beberapa petani yang tidak diketahui mungkin telah dieliminasi dari hitungan awal; ini berarti tidak semua petani memiliki kemungkinan yang sama untuk diikutsertakan dalam sampel, atau dengan kata lain sampling ini tidak betulbetul acak, atau disebut sebagai sampling non-probabilitas
SamplingProbabilitas
Sampling probabilitas atau “sampling acak sederhana” dari unit penghasil susut pangan terdiri tiga langkah dasar:
1.Susundaftarsemuaunitpenghasil susutpangan(misalnyapetani, kelompoktani,koperasitani,asosiasi petani)yangmasukcakupan perhitungan. Hal ini dikenal sebagai kerangka sampel dan semua unit penghasil susut pangan dalam kerangka sampel tersebut membentuk populasi Misalnya, Dinas Pertanian memiliki daftar seluruh kelompok tani dalam suatu wilayah yang bisa dipilih sebagai sampel
2.Pilihunitpenghasilsusutpangan secaraacakdaridaftaryang diperoleh. Pemilihan secara acak adalah basis sampling probabilitas, karena menunjukkan semua unit memiliki kesempatan yang sama untuk dipilih, sehingga memastikan sampel bersifat representatif Pemilihan ini dapat dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak yang sesuai atau random number generator Metode lainnya yang bisa digunakan adalah dengan memilih setiap unit ke-n dalam daftar, di mana unit pertama dipilih secara acak.
Berapa banyak jumlah unit penghasil susut pangan yang dipilih (atau ukuran sampel) dijelaskan di Bagian A.2.4. Daftar unit penghasil susut pangan yang terpilih secara acak inilah yang disebut sebagai sampel.
3.Kumpulkandatasusutpangandari sampelunitpenghasilsusutpangan. Dalam beberapa situasi, tidak semua unit penghasil susut pangan bisa menghasilkan data susut pangan, misalnya jika beberapa unit menolak berpartisipasi. Akan tetapi, perlu dilakukan upaya maksimal untuk mengumpulkan data susut pangan dari sebanyak mungkin sampel unit penghasil susut pangan. Hilangnya data dari sampel unit penghasil susut pangan akan menimbulkan nonresponse bias, jika unit penghasil susut pangan yang menyediakan data memiliki level susut pangan yang berbeda dibanding unit yang tidak menyediakan data Mengajak sebanyak mungkin unit penghasil susut pangan untuk berpartisipasi sangat penting karena aspek kunci dalam sampling probabilitas adalah unit yang menolak tidak dapat digantikan untuk meningkatkan ukuran sampel Ini akan bertentangan dengan aturan bahwa semua unit memiliki peluang yang sama untuk dipilih
Salah satu hal yang bisa dilakukan adalah membuat pencatatan sampling untuk mencatat unit-unit yang bersedia didata dan tidak. Jika data sulit didapatkan dari suatu unit penghasil susut pangan, maka keterangan ini perlu dicatat lengkap dengan alasannya.
Beberapa variasi sampling probabilitas yang dikembangkan dari sampling acak sederhana, misalnya sampling kluster dan sampling acak bertingkat juga bisa dipakai dalam kondisi-kondisi tertentu.
Samplingkluster cocok digunakan jika unit penghasil susut pangan tersebar secara geografis sehingga sulit untuk mengumpulkan informasi dari unit yang dipilih secara acak. Sampling kluster biasanya terdiri dari dua tahap (atau multi-tahap) yaitu: terlebih dahulu memilih area geografis (misalnya provinsi) sebagai wilayah penelitian dan kemudian memilih unit penghasil susut pangan secara acak dari wilayah tersebut (misalnya petani dalam suatu provinsi). Metode sampling ini dapat membantu mengurangi biaya jika jumlah sampel yang dibutuhkan cukup banyak dan potensi biaya (misalnya biaya perjalanan, biaya penyortiran) cukup besar
Samplingacakbertingkat cocok digunakan dalam kasus-kasus tertentu di mana terdapat kelompok dengan karakteristik berbeda dalam populasi, yang menghasilkan jumlah atau jenis susut pangan yang berbeda Metode ini dilakukan lewat pengelompokan sampel, yaitu dengan cara membagi populasi ke dalam beberapa kelompok sebelum sampling dan memperlakukan setiap kelompok sebagai populasi terpisah
Pengelompokan yang dilakukan secara seksama akan menurunkan tingkat ketidakpastian keterwakilan seluruh populasi. Sebagai tambahan, pengelompokan dapat membantu entitas membuat keputusan mengenai kelompok dengan karakteristik yang berbeda, terutama jika beberapa kelompok memiliki jumlah unit yang sangat kecil sehingga tidak mencukupi untuk dilakukan sampling acak. Contoh pengelompokan yang dilakukan meliputi:
Lahan pertanian dikelompokkan berdasarkan jenis tanaman yang dibudidayakan
Lahan pertanian dikelompokkan berdasarkan luasan lahan yang dikelola
SamplingNon-Probabilitas
Jika sampling probabilitas tidak mungkin dilakukan karena beberapa alasan, entitas boleh menggunakan sampling non-probabilitas Salah satu jenis sampling non-probabilitas yang sering digunakan adalah sampling kuota yang lumrah digunakan di riset pasar dan penelitian sosial
Samplingkuota adalah versi nonprobabilitas dari sampling acak bertingkat, tapi bukan dengan memilih sampel secara acak dari tiap kelompok, melainkan dengan menentukan jumlah unit (atau kuota) dari tiap kelompok Kelebihan metode ini adalah jika terdapat unit penghasil susut pangan yang sulit dikontak atau menolak berpartisipasi, unit tersebut bisa diganti dengan unit penghasil susut pangan lain dengan karakteristik yang sama (dalam satu kelompok). Tapi karena pemilihan tidak dilakukan secara acak, maka sampel ini mungkin kurang merepresentasikan populasi. Oleh sebab itu, sampling kuota biasanya dilakukan jika sampling acak sederhana tidak mungkin dilakukan (misalnya karena penyusunan kerangka sampling berbiaya tinggi). Metode ini lebih mudah dari sampling acak sebab dapat mengurangi interaksi berulang (yang menghabiskan waktu sehingga berbiaya mahal) sehingga menghasilkan ukuran sampel yang lebih besar dengan harga tetap. Pilihan antara sampling acak bertingkat dan sampling kuota biasanya ditentukan oleh pertimbangan kemudahan, biaya, dan akurasi
Entitas bisa mengisi “kuota” dengan beberapa cara, di mana cara yang dipilih perlu dipastikan tidak menghasilkan bias
Sebagai contoh, jika entitas hendak melakukan sampling pada petani di suatu wilayah, maka hal tersebut harus dilakukan di waktu-waktu yang berbeda untuk memastikan baik petani tanaman pangan (yang cenderung panen lebih jarang) mempunyai peluang yang sama untuk dipilih dengan petani hortikultura (yang cenderung panen lebih sering). Proses yang cermat dalam menghindari bias bisa menjawab kritik bahwa sampling kuota kurang representatif.
Terdapat jenis sampling non-probabilitas lainnya, namun tidak direkomendasikan untuk digunakan dalam metode baku ini, karena berpotensi besar menghasilkan sampel yang tidak representatif terhadap populasi Beberapa contohnya adalah convenience sampling (misalnya, hanya unit penghasil susut pangan yang diketahui oleh peneliti saja yang dihitung) dan snowball sampling (di mana peneliti menghubungi unit penghasil susut pangan yang dikenal terlebih dahulu untuk dirujuk ke unit penghasil susut pangan lain yang mereka ketahui)
A.2.2PENGAMBILANSAMPEL YANGMEREPRESENTASIKAN
SUSUTPANGANYANG
DIHASILKANDARIWAKTUKE WAKTU
Pengambilan sampel fisik susut pangan harus merepresentasikan susut pangan yang dihasilkan. Proses ini membutuhkan pemahaman bagaimana susut pangan dihasilkan, yang kemungkinan besar berkaitan dengan variasi musiman. Sebagai contoh, jika susut pangan yang dihasilkan tiap minggu relatif memiliki jumlah dan jenis yang sama, maka pengambilan sampel cukup dilakukan satu atau dua kali per minggu.
Beberapa contoh pengambilan sampel berdasarkan variasi jumlah susut pangan yang dihasilkan, adalah:
Selama seminggu (misalnya jika jumlah susut pangan yang dihasilkan di akhir pekan berbeda dengan hari kerja);
Selama satu tahun (misalnya jika susut pangan mayoritas dihasilkan saat panen setiap empat bulan); dan Antartahun (misalnya timbulan susut pangan dipengaruhi tahun El Niño dan La Niña)
Untuk susut pangan yang dihasilkan sepanjang tahun, efek musiman juga dapat mempengaruhi komposisi susut pangan yang dihasilkan Pengumpulan data yang dihasilkan sepanjang tahun memungkinkan variasi yang terjadi selama setahun penuh untuk dimasukkan dalam perhitungan Biasanya terdapat efek pola musiman yang cukup signifikan terhadap hasil panen sekaligus jumlah susut pangan Misalnya, panen raya seringkali membuat harga komoditas anjlok, sehingga banyak petani memilih untuk tidak melakukan panen dan meninggalkan hasil panen di lahan sebagai susut pangan.
Contoh lainnya di Indonesia, harga cabe naik secara signifikan pada musim mendekati hari raya sehingga berpotensi mengurangi susut pangan
Untuk susut pangan yang dihasilkan hanya pada satu waktu dalam setahun (misalnya ketika panen), pengambilan sampel hanya perlu dilakukan selama jangka waktu tersebut Dalam konteks ini, perlu dipastikan bahwa pengambilan sampel telah mewakili masa panen.
Cara lain yang bisa dilakukan adalah dengan melakukan penyesuaian efek musiman ketika scaling up (lihat Bagian A3.3). Akan tetapi, hal ini membutuhkan pemahaman mendalam tentang efek musiman tersebut dan perkiraan besarannya. Beberapa negara misalnya memiliki data pembelian makanan dan minuman yang mengindikasikan tren musiman, sehingga bisa diekstrapolasi terhadap jumlah susut dan sisa pangan.
Selain efek musiman, bisa juga muncul variansi susut pangan antartahun. Dalam kasus pertanian misalnya, bisa terjadi perbedaan dalam jumlah dan jenis susut pangan yang diakibatkan oleh faktor cuaca Sebagai contoh, pengaruh El Niño dan La Niña, atau pengaruh tingkat curah hujan selama musim tanam Sebagaimana mengatasi efek musiman, entitas perlu mempertimbangkan variansi ini dalam metodologi perhitungan, misalnya dengan melakukan pengambilan sampel pada tahun yang berbeda atau melakukan penyesuaian efek variansi tersebut dalam perhitungan jika tersedia data yang relevan
Setelah variabel-variabel tersebut dipertimbangkan, entitas dapat menyusun rancangan sampling susut pangan Rencana ini termasuk jumlah sampel, serta bagaimana dan kapan sampel susut pangan diambil.
A.2.3METODEPENGAMBILAN SAMPELFISIKSUSUTPANGAN
Bagian ini berisi hal-hal yang perlu dipertimbangkan terkait pengambilan sampel fisik susut pangan Keputusan tentang pengambilan sampel fisik susut pangan umumnya akan ditentukan oleh pertimbangan praktis Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, sampel harus representatif terhadap semua jenis susut pangan yang dihasilkan oleh semua unit penghasil susut pangan
Idealnya, semua susut pangan yang timbul dalam cakupan perhitungan (dan mewakili semua kemungkinan variasi) akan dikumpulkan, lalu sampel akan diambil dari tumpukan susut pangan tersebut Akan tetapi karena beberapa alasan seperti kurangnya area penyimpanan, pembusukan susut pangan, serta pertimbangan keselamatan dan kesehatan; maka kecil kemungkinan metode ini dapat dilakukan. Pada praktiknya, beberapa sampel akan diambil dari waktu ke waktu, dan jika jumlahnya besar, perlu dilakukan pengambilan sub-sampel.
Pengambilan sampel juga mungkin membutuhkan peralatan dan area tertentu. Hal ini perlu dipertimbangkan ketika entitas memutuskan metode yang akan digunakan, sebab ketersediaan hal tersebut akan berdampak pada metode yang dipakai.
Selain itu, entitas juga perlu menyadari bahwa beberapa teknik yang digunakan, misalnya penyampuran sampah akan membuat jenis material dalam susut pangan susah dipisahkan yang mungkin diperlukan dalam perhitungan susut pangan yang dilakukan
Jika susut pangan tersebut bersifat homogen (misalnya hanya gabah padi), maka pengambilan sampel bisa dilakukan cukup dengan mengambil sebagian dari susut pangan tersebut untuk dihitung. Namun jika susut pangan diketahui atau dicurigai merupakan campuran berbagai material (misalnya semua susut pangan dari pertanian), maka perlu dilakukan pengambilan sampel yang representatif.
Entitas juga perlu mempertimbangkan komposisi susut pangan agar dapat memastikan semua komponen yang diambil sebagai sampel sesuai dengan proporsi awalnya. Sebagai contoh, jika sebuah krat kayu berisi tomat dan selada, tapi selada berada di bagian bawah krat, maka sampel yang diambil dari atas tidaklah representatif. Cara yang benar adalah dengan mengeluarkan seluruh isinya, mencampurnya, lalu mengambil sampel dari material yang telah tercampur tersebut Jika memungkinkan, sampling yang dilakukan sebelum tomat dan selada tersebut diletakkan dalam krat akan menghasilkan perhitungan yang lebih akurat
A.2.4MENENTUKANUKURAN
SAMPELYANGTEPAT
Entitas perlu mempertimbangkan beberapa faktor saat memilih ukuran sampel unit penghasil susut pangan dan ukuran sampel susut pangan fisik. Entitas juga perlu mempertimbangkan tingkat ketidakpastian yang masih dapat diterima pada hasil perhitungan, dan kemungkinan jika beberapa unit atau sampel fisik gagal menghasilkan data yang dapat digunakan. Seringkali beberapa unit penghasil susut pangan yang datanya dibutuhkan pada akhirnya tidak dapat menyediakan data atau memberi data berbeda dengan yang dibutuhkan. Terdapat beberapa teknik statistik yang dapat digunakan entitas dalam menentukan ukuran sampel.
MenyeimbangkanKetidakpastian danUkuranSampel
Ukuran sampel yang dipilih entitas harus berdasarkan tingkat ketidakpastian yang dapat diterima, yang ditentukan oleh tujuan perhitungan sehingga menentukan tingkat akurasi perhitungan susut pangan yang diharapkan. Secara umum, ketika ukuran sampel meningkat, tingkat ketidakpastiannya menurun
Menentukan ukuran sampel mungkin perlu dilakukan berulang kali Entitas sebaiknya memperkirakan tingkat ketidakpastian dari perhitungan susut pangan yang akan dilakukan sebelum melakukan pengumpulan data Hal ini memungkinkan entitas untuk menyesuaikan ukuran sampel jika tingkat ketidakpastiannya diprediksi tidak memenuhi kebutuhan
Perkiraan tingkat ketidakpastian tersebut bisa ditarik dari studi yang pernah dilakukan sebelumnya. Sebagai contoh, sebuah studi susut pangan sebelumnya menemukan bahwa sampling terhadap 200 petani menghasilkan rentang kepercayaan (salah satu ukuran ketidakpastian) 95% sebesar ±10%, sedangkan studi baru memerlukan rentang kepercayaan 95% sebesar ±5% atau kurang. Untuk memperoleh rentang kepercayaan baru ini (yaitu dengan mengurangi separuh rentang studi sebelumnya), maka jumlah sampel yang dibutuhkan menjadi empat kali lipat Oleh karena itu, ukuran sampel untuk studi baru ini adalah 800 petani Contoh ini menunjukkan bahwa meningkatkan akurasi hasil studi mungkin membutuhkan biaya yang besar Panduan lebih lanjut mengenai ketidakpastian dijelaskan dalam Bab 33
Kebutuhan ukuran sampel yang spesifik bisa dihitung menggunakan formula ukuran sampel (sering disebut dengan power analysis)³⁴ Untuk menentukan ukuran sampel yang dibutuhkan, entitas bisa menggunakan informasi terdahulu tentang variasi jumlah susut pangan antar unit penghasil susut pangan, untuk mengetahui standar deviasi atau distribusi datanya.
Jika data terdahulu tidak tersedia, entitas bisa melakukan studi pendahuluan untuk menentukan variasi jumlah susut pangan atau menyesuaikan ukuran sampel sesuai hasil analisis. Jika entitas tidak memiliki pengetahuan yang cukup untuk melakukan sampling, entitas dapat berkonsultasi dengan ahli statistik atau peneliti yang berpengalaman.
MempertimbangkanDataSampel yangTidakTerpakai
Dalam menentukan jumlah sampel unit penghasil susut pangan, entitas juga perlu mempertimbangkan drop-out rate atau persentase data yang berakhir tidak dapat dipakai.
Sebagai contoh, jika perhitungan susut pangan membutuhkan 100 petani sebagai sampel (atau unit penghasil susut pangan yang bisa memberikan data yang terpercaya), sementara dropout rate diperkirakan sebesar 25%, maka sampel yang harus diambil adalah 133 petani. Salah satu cara untuk memperkirakan drop-out rate adalah dari studi yang pernah dilakukan sebelumnya.
A.3 PEDOMAN SCALING UP DATA
A.3.1
SCALINGUPDATADARI SAMPELUNITPENGHASILSUSUT PANGAN
Salah satu metode untuk scaling up data yang dikumpulkan dari sampel unit penghasil susut pangan adalah menggunakan jumlah rata-rata susut pangan per unit penghasil susut pangan (misalnya 70 kilogram susut pangan per petani) yang lalu dikalikan dengan jumlah total unit penghasil susut pangan dalam populasi (misalnya 100 petani).
Jika melakukan sampling bertingkat, entitas dapat melakukan scaling up untuk setiap kelompok terlebih dahulu sebelum menjumlahkannya sehingga diperoleh jumlah total susut pangan dari seluruh populasi. Sebagai contoh, jika populasi terdiri dari dua jenis pertanian (misalnya hortikultura dan tanaman pangan), maka jumlah rata-rata susut pangan di pertanian hortikultura harus ditentukan terlebih dahulu, lalu dikalikan dengan jumlah petani hortikultura Jumlah dari perhitungan pertanian hortikultura lalu digabungkan dengan perhitungan tanaman pangan, yang menjadi total populasi
Metode kedua untuk scaling up data susut pangan adalah menggunakan jumlah susut pangan yang dinormalisasi (misalnya susut pangan per petani, susut pangan per omzet, atau susut pangan per hasil panen) Panduan atau pedoman lengkap tentang normalisasi data tersedia di Lampiran C
Kelebihan penggunaan jumlah susut pangan dengan faktor normalisasi adalah dapat menghasilkan akurasi perhitungan yang lebih tinggi dibandingkan penggunaan jumlah susut pangan per unit penghasil susut pangan. Tingkat akurasi yang tinggi dalam perhitungan susut pangan lebih baik, khususnya jika terdapat target yang perlu dipantau, atau entitas perlu mengambil keputusan dari hasil perhitungan
Untuk melakukan scaling up menggunakan data yang dinormalisasi, entitas terlebih dahulu perlu membagi jumlah susut pangan yang dihasilkan tiap sampel unit penghasil susut pangan dengan faktor normalisasi tertentu (misalnya, berat hasil panen, jumlah orang di unit penghasil susut pangan)
Hal ini akan memberikan jumlah susut pangan ternormalisasi di tiap sampel, seperti jumlah susut pangan per kilogram hasil panen, atau susut pangan per petani
Selanjutnya entitas perlu menghitung nilai rata-rata data susut pangan ternormalisasi (misalnya, rata-rata susut pangan per kilogram hasil panen, ratarata susut pangan per petani). Rata-rata dari data ternormalisasi tersebut kemudian dikalikan dengan jumlah total unit untuk faktor normalisasi yang dipilih (misalnya berat total hasil panen, total jumlah petani).
Kotak A.2 menyediakan contoh perhitungan dengan menggunakan kedua metode scaling up data yang dikumpulkan dari unit penghasil susut pangan.
Jika terdapat data penting yang hilang, entitas juga bisa menggunakan data yang ternormalisasi untuk scaling up perhitungan yang dapat mengisi data yang hilang tersebut Sebagai contoh, suatu riset bermaksud menghitung susut pangan dari seluruh provinsi negara tersebut Oleh sebab itu, pemerintah bermaksud mendapatkan data dari seluruh provinsi yang ada, akan tetapi terdapat 2 provinsi yang tidak dapat menyediakan data susut pangan yang dibutuhkan
Dalam kondisi ini, riset tersebut bisa melakukan normalisasi data susut pangan dari masing-masing provinsi lain menggunakan faktor normalisasi yang berkorelasi erat dengan berat susut pangan (misalnya per luas lahan atau per petani), menghitung rata-rata dari nilai yang dinormalisasi, lalu melakukan scaling up terhadap total jumlah provinsi untuk mendapatkan total hasil perhitungan termasuk dari data provinsi yang tidak tersedia
Memilihfaktornormalisasiyangpaling tepat.Untuk memilih faktor normalisasi yang paling tepat untuk digunakan, entitas dapat melakukan analisis eksploratoris dengan mencoba menerapkan beberapa faktor normalisasi pada data sampel. Faktor normalisasi yang baik akan memiliki korelasi (kemungkinan kausalitas) yang kuat dengan jumlah susut pangan, sehingga menghasilkan estimasi jumlah susut pangan yang lebih akurat. Sebagai contoh, jika jumlah susut pangan per luas lahan lebih tidak fluktuatif di berbagai pertanian dibanding jumlah susut pangan per petani, maka susut pangan per luas lahan kemungkinan besar memiliki korelasi langsung yang lebih erat terhadap jumlah susut pangan, sehingga akan menjadi faktor normalisasi yang lebih sesuai untuk digunakan Lampiran C berisi informasi lebih lengkap tentang faktor normalisasi
Menanganidatayangmenyimpang/ outlier. Entitas perlu memeriksa jika terdapat data outlier, yaitu data yang nilainya menyimpang jauh dari nilai wajar, saat mengecek data yang dikumpulkan dari unit penghasil susut pangan Penilaian ini harus dilakukan menggunakan data yang telah dinormalisasi yang akan digunakan untuk scaling up Jika entitas menganggap data tersebut berpotensi keliru, maka entitas dapat melakukan koreksi data atau mengeluarkan data tersebut dari perhitungan. Akan tetapi jika data tersebut tidak keliru, maka data tersebut harus tetap dimasukkan. Jika entitas merasa ragu untuk memasukkan atau mengeluarkan data outlier, entitas boleh mencoba menghitung hasil dengan dan tanpa data outlier. Hal ini agar efek data tersebut terhadap perhitungan susut pangan dapat ditampilkan.
A.3.2SCALINGUPDATADARI SAMPELFISIKSUSUTPANGAN
Jika sampel fisik susut pangan telah diperoleh, maka dibutuhkan scaling up untuk mendapatkan estimasi total susut pangan yang dihasilkan oleh unit penghasil susut pangan Dalam situasi ini, entitas dapat menggunakan perkalian sebagai metode scaling up
Sebagai contoh, jika satu petani menghasilkan 3 karung susut pangan setiap minggunya dan pada proses sampling fisik susut pangan ditemukan berat satu karung adalah 20 kg dan tidak ada perbedaan antar karung, maka perkalian sederhana akan menghasilkan 60 kg susut pangan per minggu dari unit penghasil susut pangan tersebut.
Jika terdapat variasi, maka strategi sampling yang dilakukan harus telah mengakomodasi hal tersebut, sehingga scaling up bisa dilakukan dalam suatu kelompok (misalnya, sampel susut pangan yang diambil pada berbagai musim, sampel susut pangan fisik yang diambil dari jenis komoditas yang berbeda)
Jika perhitungan susut pangan dilakukan pada lebih dari satu unit penghasil susut pangan tapi data hanya diperoleh dari satu unit, maka entitas perlu melakukan scaling up data tersebut sehingga hasilnya menggambarkan seluruh cakupan perhitungan
A3.3SCALINGUPTERKAITEFEK MUSIMAN
Jangka waktu perhitungan merupakan periode waktu di mana susut pangan dilaporkan, yang direkomendasikan selama 12 bulan. Akan tetapi entitas boleh melakukan sampling susut pangan pada periode waktu yang lebih pendek, seperti misalnya satu bulan atau sekali perbulan sepanjang 12 bulan. Setelah itu, entitas perlu melakukan scaling up data agar dapat merefleksikan seluruh jangka waktu perhitungan
Jika sampel yang dikumpulkan cukup representatif terhadap seluruh jangka waktu perhitungan, atau efek musiman dirasa tidak cukup substansial (lihat panduan sebelumnya tentang efek musiman dan cara mendapatkan sampel susut pangan yang representatif), scaling up dari sampel ke seluruh jangka waktu cukup dilakukan dengan mengalikan hasil susut pangan dengan rasio antar kedua jangka waktu tersebut Sebagai contoh, jika periode sampling dilakukan selama sebulan, maka jumlah total susut pangan yang dihasilkan dalam periode sebulan tersebut dikalikan 12 untuk mendapatkan hasil jumlah susut pangan dalam jangka waktu 12 bulan.³⁵
Jika sampel tidak cukup representatif terhadap seluruh jangka waktu perhitungan atau efek musiman dianggap cukup substansial, maka proses scaling up perlu memperhitungkan ketidaksesuaian ini untuk menghindari bias pada hasil perhitungan Terdapat beberapa cara penyesuaian yang bisa dilakukan
Jika entitas mengumpulkan data hanya selama periode tertentu (misalnya hanya data selama beberapa bulan dalam setahun, maka penyesuaian bisa dilakukan menggunakan data proksi), lalu lakukan scaling up data, dengan asumsi penggunaan data proksi tidak akan mengganggu tingkat akurasi hasil perhitungan susut pangan yang diinginkan. Untuk susut pangan dari pertanian misalnya, data proksi bisa berupa data dari panen sebelumnya.
Jika data proksi tidak tersedia, scaling up bisa dilakukan dengan menggunakan asumsi bahwa susut pangan dihasilkan secara konstan sepanjang waktu, meskipun pendekatan tersebut akan mengurangi tingkat akurasi dari hasil perhitungan
A3.4MENERAPKAN
PEMBOBOTANDATADALAM SCALINGUP
Jika sampel tidak cukup representatif terhadap unit penghasil susut pangan dan/atau jangka waktu perhitungan, entitas bisa menerapkan pembobotan saat scaling up untuk mengurangi bias pada hasil perhitungan dan meningkatkan akurasinya Misalnya jika suatu entitas mengumpulkan data sepanjang tahun tapi hasilnya tidak representatif (misalnya, karena terdapat lima sampel dalam satu bulan, dan sampel yang kosong di bulan lainnya), maka pembobotan dapat diterapkan. Pengelompokan sampel (lihat Bagian A.2.1) juga menghasilkan efek yang serupa.
Untuk mengoreksi kurangnya sampel yang representatif, faktor pembobotan bisa digunakan entitas untuk melakukan penyesuaian. Faktor pembobotan memastikan unit penghasil susut pangan dengan data sampel yang kurang diberikan bobot yang lebih besar, dan sebaliknya. Pembobotan data dapat melibatkan perhitungan yang kompleks. Jika entitas tidak memiliki keahlian yang memadai, entitas dapat meminta bantuan teknis dari tenaga profesional
B.1 PENDAHULUAN
Ketika menghitung bagian yang dapat dimakan dan bagian yang tidak dapat dimakan secara terpisah, entitas dapat menggunakan faktor konversi masingmasing komoditas untuk menghitung proporsi (dalam satuan berat) masingmasing bagian tersebut (lihat Bab 3.2).
Lampiran ini berisi panduan bagi entitas yang hendak mencari referensi data untuk faktor konversi dari pihak eksternal. Dalam lampiran ini juga dijelaskan halhal yang perlu dipertimbangkan saat memilih faktor konversi, termasuk rincian tentang beberapa sumber referensi yang tersedia.
B.2 PEMILIHAN SUMBER DATA
UNTUK FAKTOR KONVERSI
Sejumlah sumber menyediakan data yang dapat digunakan sebagai faktor konversi. Namun perlu diingat bahwa tidak ada satu pun faktor konversi yang dapat diaplikasikan untuk seluruh kondisi di dunia. Entitas perlu menilai kelayakan sumber data berdasarkan faktor berikut:
Ketersediaandatayangrelevan dengan susut pangan yang dihitung Beberapa data dikembangkan spesifik untuk negara tertentu dan hanya berisi informasi tentang makanan yang umum dikonsumsi di negara tersebut
Kategoripemisahan“bagianyang tidakdapatdimakan” Faktor konversi yang dipilih entitas harus menerapkan kategori pemisahan bagian yang dapat dimakan dan bagian yang tidak dapat dimakan yang serupa dengan kategori pemisahan dalam perhitungan susut pangan yang disusun entitas Oleh sebab itu, kategori pemisahan data yang digunakan oleh suatu sumber data penting untuk dipastikan
Informasitentangkondisisuatu makanan/komoditas. Beberapa faktor konversi bersifat spesifik untuk produk makanan dalam bentuk utuh, sebelum diproses dan dikonsumsi (misalnya ikan utuh segar), sedangkan faktor konversi lain spesifik untuk makanan setengah jadi (misalnya ikan fillet) dan makanan olahan (misalnya ikan goreng). Penting untuk memastikan bahwa faktor konversi yang digunakan untuk suatu makanan/komoditas berada dalam kondisi yang sama atau mirip dengan susut pangan yang akan dihitung.
Metodologiyangmendasari. Informasi tentang metodologi yang digunakan dalam menghasilkan faktor konversi mungkin tidak selalu tersedia. Jika terdapat transparansi mengenai metodologi tersebut (misalnya jumlah sampel makanan/komoditas dan seberapa representatif sampel tersebut), entitas dapat melakukan penilaian apakah faktor konversi tersebut kredibel dan layak digunakan
Pertimbangan di atas tidak dapat dipungkiri akan mempengaruhi tingkat ketidakpastian dalam penggunaan faktor konversi untuk memperkirakan proporsi berat makanan/komoditas yang dianggap sebagai bagian yang dapat dimakan dan bagian yang tidak dapat dimakan
Selain itu, proporsi tersebut bisa bervariasi berdasarkan varietas tanaman atau hewan, serta perbedaan kondisi pemeliharaan tanaman atau hewan tersebut (misalnya akibat faktor cuaca atau ketersediaan nutrisi selama musim tanam). Ketika faktor konversi digunakan, entitas harus menyebutkan faktor-faktor yang berkontribusi pada ketidakpastian dalam perhitungan susut pangan, sebagaimana dijelaskan pada Bab 3.1.
B.3 SUMBER DATA UNTUK FAKTOR KONVERSI
B.3.1 FAKTORKONVERSIDI INDONESIA
Salah satu faktor konversi yang bisa digunakan di Indonesia dapat diambil dari TabelKomposisiPanganIndonesia 2017 yang diterbitkan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, dan disempurnakan di tahun 2020
Tabel Komposisi Pangan Indonesia ini sesungguhnya tidak dirancang khusus untuk perhitungan proporsi antara bagian yang dapat dimakan dan bagian yang tidak dapat dimakan. Tabel tersebut dirancang untuk menyediakan informasi secara rinci tentang komposisi nutrisi dari suatu produk makanan, akan tetapi untuk memperoleh informasi nutrisi tersebut dibutuhkan perhitungan bagian yang bisa dimakan.
Dalam Tabel Komposisi Pangan Indonesia, proporsi bagian yang dapat dimakan dicantumkan sebagai “% BDD” dan ditulis berupa persentase terhadap keseluruhan makanan. Akan tetapi, tabel ini tidak menyediakan deskripsi lebih rinci mengenai komponen apa yang dianggap sebagai bagian yang dapat dimakan dan bagian yang tidak dapat dimakan, sehingga entitas tidak bisa mengecek jika terdapat perbedaan asumsi dalam pemisahan komponen
Cara lain dalam membaca Tabel Komposisi Pangan Indonesia terbaru secara lebih mudah adalah dengan mengakses www.panganku.org yang dikembangkan oleh Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia Berikut ini merupakan contoh tampilan hasil pencarian “apel, segar” dari situs tersebut:
Salah satu hal yang perlu dipastikan saat mencari faktor konversi di Tabel Komposisi Pangan Indonesia adalah memastikan kondisi dari komoditas yang dicari, karena untuk komoditas yang sama mungkin terdapat beberapa pilihan, seperti misalnya untuk “apel” terdapat pilihan “apel, segar”, “apel malang, segar”, dan “pai apel”.
B.3.2 SUMBERDATAGLOBAL
Jika faktor konversi untuk komoditas yang dibutuhkan belum terdapat dalam Tabel Komposisi Pangan Indonesia, entitas juga dapat menggunakan acuan data global
Dua referensi yang menyediakan berbagai data komposisi makanan yang disusun oleh organisasi di seluruh dunia adalah InternationalNetworkofFood DataSystems(INFOODS)³⁶ dari FAO dan situs EuropeanFoodInformation Resource(EuroFIR)³⁷ . Mayoritas data ini bersifat spesifik untuk negara tertentu.
Dari daftar tersebut, sesungguhnya tidak ada data yang dirancang khusus untuk perhitungan proporsi antara bagian yang dapat dimakan dengan bagian yang tidak dapat dimakan dari suatu produk makanan. Data-data tersebut biasanya dirancang untuk menyediakan informasi secara rinci tentang komposisi nutrisi dari suatu produk makanan, biasanya pada suatu negara tertentu. Akan tetapi, untuk memperoleh informasi nutrisi dari bagian yang bisa dikonsumsi, kebanyakan data tersebut juga menyertakan proporsi dari bagian yang dianggap tidak dapat dimakan (berdasarkan beratnya) sesuai dengan norma budaya dalam suatu wilayah geografis tertentu, yang biasanya disebut sebagai “sampah/waste” atau “tidak dapat dikonsumsi/refuse” Proporsi inilah yang bisa digunakan sebagai faktor konversi, selama pertimbangan-pertimbangan yang disebutkan di atas telah diperhitungkan
Sebagai informasi, beberapa data yang tersedia membutuhkan akses berbayar Panduan perhitungan susut pangan ini belum melakukan perbandingan komprehensif dari data-data tersebut
Sebagai informasi, beberapa data yang tersedia membutuhkan akses berbayar Metode baku perhitungan susut pangan ini belum melakukan perbandingan komprehensif dari data-data tersebut
Dari beberapa data yang tersedia, AustralianFoodCompositionDatabase (AFCD)³⁸yang dikeluarkan oleh Food Standards Australia - New Zealand (FSANZ) adalah salah satu sumber yang menerangkan dengan jelas komponen dari suatu makanan yang dianggap tidak dapat dikonsumsi.
Kelebihan AFCD adalah menyediakan informasi tentang komponen yang dianggap bagian yang tidak dapat dimakan, sehingga penggunanya dapat menyesuaikan perhitungan dengan asumsi tersebut. Pada AFCD, persentase bagian yang dapat dimakan menggunakan istilah “analysed portion” , sementara persentase bagian yang tidak dapat dimakan menggunakan istilah “unanalysed portion” .
Karena sejumlah alasan, persentase bagian yang tidak dapat dimakan pada suatu makanan yang sama bisa bervariasi (Tabel B1) Perbedaan ini bisa terjadi karena perbedaan jenis barang antar negara (misalnya jenis apel yang biasa dijual antarnegara bisa berbeda) atau karena perbedaan asumsi metode persiapan makanan Misalnya, proporsi bagian kulit dari sebuah apel bisa berbeda, tergantung apakah kulit tersebut dikupas dengan pisau atau alat pengupas/peeler Demikian juga dengan bagian inti apel, data yang berbeda mungkin menggunakan asumsi yang berbeda tentang cara orang mengonsumsi apel
Entitas dapat memilih untuk menormalisasi data susut pangan untuk memberikan kesan yang lebih berdampak kepada audiens Normalisasi dilakukan dengan cara membagi berat susut pangan dengan faktor tertentu yang disebut dengan “faktor normalisasi,” sehingga menghasilkan susut pangan per unit tertentu; seperti misalnya jumlah individu (misalnya populasi nasional), unit keuangan (misalnya omzet penjualan), atau faktor lainnya yang relevan (misalnya berat hasil panen). Normalisasi data menghasilkan metrik seperti susut pangan per kapita, susut pangan per omzet, atau susut pangan per hasil panen.
Entitas dapat melakukan normalisasi untuk membuat data susut pangan lebih mudah dipahami oleh para pemangku kepentingan, membandingkan data antar perhitungan susut pangan, atau untuk memahami perubahan susut pangan dari waktu ke waktu ketika variabel lainnya berubah
Sebagai ilustrasi, pemerintah pusat ingin membandingkan susut pangan yang dihasilkan di tahun 2020 dengan data baru di tahun 2023. Karena jumlah lahan pertanian berkurang 4% selama periode tersebut, membandingkan susut pangan per luas lahan (selain membandingkan perubahan jumlah absolut susut pangan) akan lebih mudah dipahami ketika membandingkan dua tahun tersebut.
C.2 MEMILIH FAKTOR
NORMALISASI
Salah satu pertimbangan penting dalam memilih faktor normalisasi adalah target audiens yang ingin dijangkau entitas (misalnya manajemen perusahaan, masyarakat umum, pembuat kebijakan), dan informasi apa yang dirasa paling relevan, berdasarkan level pengetahuan dan fokus dari audiens tersebut.
Pertimbangan lainnya adalah apakah data yang digunakan sebagai faktor normalisasi dapat dipercaya dan tersedia untuk jangka waktu perhitungan susut pangan yang telah ditentukan. Jika entitas berencana menggunakan data susut pangan yang dinormalisasi sebagai acuan perbandingan dengan perhitungan susut pangan entitas lain, maka entitas tersebut harus memastikan data pada faktor normalisasi (misalnya jumlah petani) juga tersedia pada entitas lain Jika menggunakan data yang dinormalisasi untuk memantau jumlah susut pangan dari waktu ke waktu, entitas juga perlu menggunakan data terkini sebagai faktor normalisasi
Faktor normalisasi juga harus selaras dengan cakupan yang digunakan dalam perhitungan susut pangan Sebagai contoh, jika cakupan perhitungan susut pangan tidak memasukkan bagian yang tidak dapat dimakan ke dalam perhitungan, maka faktor normalisasi juga harus menggunakan sistem kategori yang sama (jika faktor tersebut berkaitan dengan unit perhitungan makanan, misalnya hasil panen)
Jika entitas melakukan perbandingan, baik dalam entitas atau antar entitas, faktor normalisasi yang erat berkaitan dengan susut pangan akan membuat kesimpulan yang dihasilkan lebih berdampak. Sebagai contoh, salah satu faktor normalisasi yang dianggap memiliki relevansi sekaligus proporsional dengan susut pangan di pertanian adalah luas lahan pertanian. Artinya jika luas lahan berkurang sebesar 10% persen misalnya, jumlah susut pangan diperkirakan juga akan berkurang dengan persentase yang sama, yaitu 10% (dengan asumsi semua variabel lain dianggap tetap sama). Menggunakan “luas lahan” sebagai faktor normalisasi akan berguna ketika membandingkan jumlah susut pangan yang dihasilkan dengan pertanian di negara lain, misalnya
Ketika membuat perbandingan, faktor normalisasi yang dipilih dari satu sektor belum tentu sesuai untuk digunakan di sektor lain Sebagai contoh, jumlah penduduk mungkin menjadi faktor normalisasi yang sesuai untuk membandingkan sisa pangan yang dihasilkan rumah tangga antar negara, namun jumlah penduduk di suatu negara kurang tepat jika digunakan sebagai faktor normalisasi untuk membandingkan susut pangan pada sektor pertanian antar negara Hal ini karena jumlah penduduk suatu negara tidak berkorelasi langsung dengan jumlah susut pangan yang dihasilkan oleh produsen pertanian
Secara umum, faktor normalisasi yang paling baik adalah yang: Berdampak bagi target audiens perhitungan susut pangan; Memiliki data terpercaya yang tersedia dalam jangka waktu tertentu serta memiliki aspek yang relevan dengan cakupan perhitungan susut pangan (misalnya geografi); dan
Berkorelasi erat dengan besaran atau jenis susut pangan sehingga dapat mendukung perbandingan dari antar waktu atau antar entitas
Tabel C.1 mencantumkan beberapa contoh faktor normalisasi, tahapan rantai pasok makanan yang terkait, dan pertimbangan lainnya.
Sumber data normalisasi (misalnya sumber data jumlah petani jika faktor normalisasi yang digunakan adalah jumlah petani dalam suatu provinsi).
Tidak ada satupun faktor normalisasi yang sempurna, sehingga entitas boleh memberi catatan tentang potensi batasan dari data susut pangan yang dinormalisasi Sebagai contoh, jika membandingkan susut pangan di lahan pertanian antarnegara, entitas dapat memberi catatan bahwa faktor mekanisasi atau teknologi pertanian bisa sangat berbeda antarnegara, dan dapat mempengaruhi susut pangan yang dihasilkan di lahan pertanian. Demikian pula jika entitas menarik kesimpulan tentang hasil perhitungan susut pangan yang didasarkan pada analisis data yang dinormalisasi, keterangan ini juga perlu disebutkan dalam laporan.
LAMPIRAN D PERHITUNGAN SUSUTPANGAN DALAMUNIT LAIN
D.1 PENDAHULUAN
Metode baku perhitungan susut pangan mewajibkan susut pangan dilaporkan dalam satuan berat Entitas juga dapat melaporkannya dalam unit pengukuran lainnya sebagai tambahan, misalnya dengan mengukur dampak lingkungan, nilai nutrisi, atau implikasi finansialnya Hal ini di luar kebutuhan perhitungan susut pangan, akan tetapi lampiran ini dapat memberi panduan umum untuk entitas yang hendak melaporkan unit pengukuran alternatif yang mungkin lebih berdampak kepada audiens tertentu.
Lampiran ini menyediakan ringkasan untuk perhitungan susut pangan dalam bentuk:
Dampak lingkungan
Penggunaan energi dan gas rumah kaca
Penggunaan air
Penggunaan lahan
Nilai nutrisi
Implikasi finansial
Untuk setiap hal di atas, Lampiran D ini menyediakan pertimbangan teknis, contoh pengaplikasian, dan beberapa sumber yang bisa menjadi panduan tambahan dalam melakukan konversi susut pangan dalam satuan berat menjadi unit pengukuran lain
Entitas perlu menggunakan unit pengukuran dan faktor konversi yang paling sesuai dengan situasi yang dihadapi dan tujuan pengukuran yang diinginkan. Perlu diingat bahwa ketika melakukan konversi, asumsi tambahan akan digunakan sehingga mungkin menambah tingkat ketidakpastian data yang dilaporkan.
Dalam Metode Baku Perhitungan Susut Pangan pada Petani ini juga tersedia Lembar Bantuan Perhitungan yang bisa digunakan untuk membantu entitas menghitung ketiga dampak susut pangan, yang dapat diakses di bit.ly/MBPSPP3.
D.2 PERTIMBANGAN UMUM
Saat memilih faktor konversi untuk mengubah berat susut pangan menjadi unit pengukuran lainnya, entitas perlu: Memahami asal faktor konversi dan asal perhitungannya (termasuk apa yang dimasukkan dan tidak dimasukkan dalam perhitungan), dan batasan lainnya Melaporkan pendekatan dan sumber data yang digunakan.
Cara konversi dari berat susut pangan menjadi unit pengukuran lainnya cukup sederhana, yaitu mengalikan berat susut pangan dengan faktor konversi tertentu.
Dalam beberapa kasus, faktor konversi yang berbeda bisa digunakan meskipun konversi dilakukan ke unit pengukuran yang sama. Sebagai contoh, jika sebuah entitas bermaksud untuk melakukan konversi berat susut pangan menjadi gas rumah kaca dari beberapa kategori makanan (misalnya sayur dan buah), maka masing-masing kategori makanan ini akan menggunakan faktor konversi yang berbeda
Penggunaan faktor konversi untuk kategori makanan tertentu bergantung pada seberapa banyak detail yang diketahui tentang susut pangan tersebut Dalam beberapa kasus, faktor konversi yang diterbitkan sumber yang berbeda bisa menghasilkan angka yang berbeda Entitas bisa menggunakan nilai rata-rata dari faktor konversi yang tersedia, atau menghitung rentang dengan menerapkan faktor konversi terkecil dan terbesar
Entitas juga dapat mengomunikasikan berat susut pangan menggunakan perbandingan yang mudah dimengerti Seperti misalnya berat susut pangan dapat disampaikan dalam bentuk barang yang umum (seperti satu sendok makan), bentuk fisik yang dijejerkan dari satu tempat yang umum dikenal ke tempat lainnya (seperti misalnya dari ujung Jawa Barat ke Jawa Timur), atau sebagai volume yang bisa digambarkan memenuhi satu landmark terkenal (misalnya setinggi Monas). Apapun perbandingan yang digunakan, entitas harus memastikan bahwa perbandingan tersebut dapat meninggalkan kesan yang mendalam dalam komunikasi yang dibuat untuk target audiens.
Entitas juga perlu menyiapkan dokumentasi yang jelas dan transparan dalam perhitungan konversi, karena konversi berat susut pangan ke unit pengukuran lain bisa cukup kompleks.
Entitas juga bisa menggali detail lebih dalam tentang perhitungan dampak sosial-ekonomis dan dampak lingkungan dari susut pangan dalam laporan Criteria for and Baseline Assessment of Environmental and Socio-economic Impacts of Food Waste, yang diterbitkan FUSIONS for the European Commission³⁹ Laporan ini tidak hanya mendokumentasikan pengetahuan dasar tentang dampak sosial-ekonomis dan dampak lingkungan, tapi juga menyediakan informasi tentang apa yang perlu dilakukan dengan informasi tersebut
D.3 DAMPAK LINGKUNGAN
Gas rumah kaca, serta penggunaan air dan lahan, terjadi di setiap tahap rantai pasok semua produk makanan dan minuman, mulai produksi dan distribusi, hingga konsumsi dan pembuangan Jika jumlah susut pangan dapat dikurangi, maka penggunaan sumber daya ini juga dapat dioptimasi. Jika suatu makanan terbuang dari rantai pasok, maka sumber daya yang dipakai untuk memproduksi makanan ini juga akan ikut terbuang. Jika penanganan susut pangan melibatkan valorisasi, maka emisi bisa berkurang sebagian, misalnya karena gas metana yang dihasilkan selama dekomposisi dapat dikurangi.
Jika perhitungan susut pangan dilakukan berdasarkan pemahaman mendalam tentang tahapan dan penanganan susut pangan, maka akurasi dari estimasi dampaknya akan lebih tinggi. Menghitung dampak lingkungan bisa menjadi cara yang ampuh untuk memahami dan melaporkan pentingnya upaya pengurangan susut pangan
Sebuah laporan global tentang jejak karbon dan dampak lingkungan dari susut dan sisa pangan, Food Wastage Footprint diterbitkan oleh FAO tahun 2013 dan diperbaharui tahun 2015⁴⁰ Ini adalah sumber penting untuk menilai dampak susut pangan dalam ketiga bidang lingkungan yang didiskusikan dalam bab ini
D.3.1PENGGUNAANENERGIDAN GASRUMAHKACA
Relevansi
Susut pangan bertanggung jawab terhadap dua sumber utama gas rumah kaca. Yang pertama adalah sumber biogenic, yaitu emisi berupa metana yang terkait dengan proses agrikultur dan dekomposisi susut pangan. Yang kedua adalah sumber combustive, yaitu emisi berupa karbon dioksida yang terkait dengan penggunaan bahan bakar untuk energi sepanjang rantai pasok
Oleh sebab itu, untuk memahami produksi gas rumah kaca, penting juga untuk memahami tentang penggunaan energi
PertimbanganTeknis
Gas rumah kaca biasanya ditampilkan dalam bentuk karbon dioksida-ekuivalen (CO₂e atau CO₂ek), yang telah mempertimbangkan kombinasi gas rumah kaca yang berbeda (misalnya karbondioksida, metana, dinitrogen oksida) dan dampak iklim masingmasing gas tersebut, atau yang biasa disebut sebagai potensi pemanasan global/global warming potential (GWP)⁴¹
Oleh sebab itu entitas perlu berhati-hati dalam menggunakan unit yang benar saat pelaporan, agar tidak terjadi misinterpretasi unit (misalnya emisi karbon dioksida-ekuivalen tidak boleh disingkat menjadi emisi karbon dioksida)
ContohKonversiSusutPangan
menjadiPenggunaanEnergidan
GasRumahKaca
Di bawah ini merupakan beberapa contoh studi yang menghitung dampak susut dan sisa pangan dalam unit pengukuran penggunaan energi atau emisi gas rumah kaca.
Tahun 2021, Laporan Kajian Food Loss and Waste di Indonesia yang diterbitkan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional mengestimasi bahwa total emisi dari timbulan susut dan sisa pangan di Indonesia tahun 2000-2019 diestimasikan sebesar
1702,9 Mt CO₂e, dengan rata-rata kontribusi per tahun setara dengan 7,29% emisi gas rumah kaca
Indonesia⁴²
FAO memperkirakan jejak karbon dari makanan yang diproduksi namun tidak termakan adalah 4,4 gigaton karbondioksida-ekivalen (GtCO₂e) dan sampah makanan tersebut menduduki posisi ketiga setelah Amerika Serikat dan Tiongkok sebagai penghasil emisi karbon terbesar di dunia⁴³
Sakai et al (2014)⁴⁴ memperkirakan bahwa di Jepang, 4,1 ton CO₂e diproduksi setiap tahun dari timbulan susut pangan Ini sesuai dengan temuan oleh Matsuda et al (2012)⁴⁵
Referensi
Lembar Bantuan Perhitungan yang bisa digunakan untuk membantu entitas menghitung dampak emisi gas rumah kaca dari susut pangan dapat diakses di bit.ly/MBPSPP3.
D.3.2PENGGUNAANAIR
Relevansi
Produksi makanan dan minuman membutuhkan penggunaan air yang intensif Penyampaian susut pangan dalam unit pengukuran “jejak air/water footprint” yang dikombinasikan dengan informasi tentang “stres air/water stress” dapat membantu menunjukkan koneksi antara susut pangan dengan isu terkait air, yang memiliki dampak sosial dan lingkungan secara global.
PertimbanganTeknis
Berbeda dengan emisi gas rumah kaca, jejak air punya dampak paling besar di tingkat lokal atau regional Dampak ini bergantung pada beberapa hal, seperti misalnya ketersediaan air secara geografis maupun seiring waktu, dan efisiensi penggunaan air dalam agrikultur dan tahap rantai pasok lainnya. Tingkat efisiensinya bisa jauh berbeda, tergantung pada teknologi dan manajemen yang dipraktekkan. Dalam konteks ini, entitas bisa menggunakan metode water footprint assessment atau life cycle assessment. ⁴⁶
Selagi produk pangan bergerak dari panen ke tahapan rantai pasok berikutnya, jejak airnya cenderung akan terus meningkat. Jejak air bukan menunjukkan jumlah air yang terkandung dalam suatu produk, melainkan jumlah akumulasi penggunaan air yang digunakan dalam produksinya Jejak air juga sering disebut “embedded water” seperti halnya emisi gas rumah kaca juga terkait/embedded dalam produk pangan
Sebagaimana dengan data emisi gas rumah kaca, jika entitas menggunakan data yang tersedia untuk mengestimasi jejak air, penting untuk mengetahui tahap rantai pasok apa saja yang tercakup dalam perhitungan faktor konversi (atau yang tidak tercakup sehingga menghasilkan gap data), berlaku transparan dalam pelaporan gap data tersebut, dan memastikan data yang digunakan telah sesuai kriteria kualitas⁴⁷
ContohKonversiSusutPangan MenjadiPenggunaanAir
Berikut ini merupakan contoh dari beberapa studi di mana susut dan sisa pangan ditampilkan dalam unit penggunaan air:
Hall et al. (2009) memperkirakan bahwa air yang digunakan dalam produksi makanan yang terbuang di Amerika Serikat setara dengan 25% total air yang digunakan untuk pertanian di Amerika Serikat.⁴⁸
FAO (2013) memperkirakan jejak global blue water (penggunaan sumber daya air permukaan dan air bawah tanah (surface and groundwater resources)) dari sampah makanan berkisar 250 kilometer kubik, atau tiga kali volume Danau Geneva⁴⁹
Referensi
Lembar Bantuan Perhitungan yang bisa digunakan untuk membantu entitas menghitung dampak kehilangan air dari susut pangan dapat diakses di bit.ly/MBPSPP3.
D.3.3PENGGUNAANLAHAN
Relevansi
Lahan produktif merupakah sumber daya berharga yang terus berkurang jumlahnya di dunia. Bahan pangan yang diproduksi namun berakhir terbuang dari rantai pasok juga merepresentasikan penggunaan lahan untuk menumbuhkannya yang ikut terbuang. Hal ini penting mengingat populasi global dan kebutuhan pangan yang terus meningkat, yang pada akhirnya mengakibatkan timbulnya tekanan untuk mengalihfungsikan lahan hutan atau lahan alami lainnya menjadi lahan pertanian, yang berdampak negatif pada segi lingkungan dan sosial.
PertimbanganTeknis
Beberapa sumber data di bawah ini menunjukkan rata-rata penggunaan lahan global Karena perbedaan produktivitas agrikultur yang cukup signifikan di berbagai belahan dunia, kebutuhan penggunaan lahan di berbagai negara atau wilayah bisa sangat berbeda dengan rata-rata global
ContohKonversiSusutPangan menjadiPenggunaanLahan
Berikut ini merupakan contoh dari beberapa studi di mana susut dan sisa pangan ditampilkan dalam unit penggunaan lahan:
FAO (2013) mengestimasi penggunaan lahan yang terkait dengan pangan yang terbuang bernilai hampir 1,4 milyar hektar lahan, atau sekitar 30% keseluruhan lahan agrikultur di dunia.⁵⁰
WRAP (2013) mengestimasi bahwa makanan dan minuman yang dibuang oleh rumah tangga di Inggris merepresentasikan penggunaan lahan (yang dibutuhkan untuk produksi baik di Inggris maupun di luar Inggris) senilai 19.000 km2, atau sekitar 91% ukuran Wales.⁵¹
Referensi
Lembar Bantuan Perhitungan yang bisa digunakan untuk membantu entitas menghitung dampak penggunaan lahan dari susut pangan dapat diakses di bit.ly/MBPSPP3.
D.4 NILAI NUTRISI
Relevansi
Susut pangan merepresentasikan kehilangan nutrisi, yang mencakup karbohidrat, protein, lemak, vitamin, dan mineral. Informasi terkait nilai nutrisi ekivalen dari susut pangan bisa jadi sama pentingnya dengan mengetahui berat susut pangan. Mengetahui nilai nutrisi ekuivalen juga dapat bermanfaat saat melakukan perbandingan, agar dapat menentukan prioritas pengurangan susut pangan dari berbagai sektor.
Selain itu, dari data nilai nutrisi yang diperoleh juga bisa dihitung jumlah orang yang dapat dipenuhi kebutuhan nutrisinya Hasilnya dapat menunjukkan potensi penggunaan susut pangan untuk memenuhi asupan nutrisi sejumlah orang
Sebagai tambahan, informasi nilai nutrisi dari susut pangan bisa memberi gambaran yang representatif tentang signifikansi isu susut pangan, terutama di negara-negara yang masih mengalami persoalan malnutrisi
PertimbanganTeknis
Di Indonesia, database tentang nutrisi yang terkandung dalam berat tertentu (per 100 gram) bisa diperoleh dari Tabel KomposisiPanganIndonesia2017yang diterbitkan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, dan disempurnakan di tahun 2020
Nilai kandungan nutrisi ini bisa dijadikan faktor konversi yang dapat digunakan pada berat susut pangan, untuk menentukan jumlah nutrisi yang terbuang pada susut pangan Karena informasi nutrisi tersebut “per 100 gram”, angka ini juga bisa dijadikan persentase pada perhitungan berbasis berat susut pangan
Untuk menggunakan informasi kandungan nutrisi susut pangan, penting untuk mengetahui jenis makanan tersebut, sebab nutrisi dalam susut pangan yang tercampur bisa jadi sangat berbeda dengan susut pangan yang hanya terdiri dari satu jenis bahan.
Begitu juga kandungan nutrisi dari suatu makanan sangat bergantung pada kondisinya. Salah satu hal yang perlu dipastikan saat mencari faktor konversi di Tabel Komposisi Pangan Indonesia adalah memastikan kondisi dari komoditas yang dicari, karena untuk komoditas yang sama mungkin terdapat beberapa pilihan, seperti misalnya untuk “apel” terdapat pilihan “apel, segar”, “apel malang, segar”, dan “pai apel”
Dalam menggunakan informasi
kandungan nutrisi pada susut pangan, juga perlu dicek jika informasi yang tersedia merupakan nilai nutrisi pada bagian yang dapat dimakan saja atau keseluruhan. Misalnya pada ayam, apakah informasi nutrisi ditujukan untuk bagian daging ayam saja, atau keseluruhan termasuk tulangnya.
Pada Tabel Komposisi Pangan Indonesia, nilai nutrisi dihitung dari bagian yang dapat dimakan saja, sehingga jika berat susut pangan mencakup keseluruhan bagian yang dapat dimakan dan yang tidak dapat dimakan, nilainya perlu dikalikan dengan persentase bagian yang dapat dimakan terlebih dahulu. Persentase ini bisa menggunakan perhitungan yang dilakukan sendiri, atau menggunakan referensi data yang juga tersedia di Tabel Komposisi Pangan Indonesia (lihat Lampiran B)
Selanjutnya untuk perhitungan jumlah orang yang bisa dipenuhi nutrisinya per hari bisa didapat dari jumlah kehilangan nutrisi yang dibagi dengan Angka
Kecukupan Gizi (AKG) Indonesia Angka
Kecukupan Gizi bisa diperoleh dari Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi (WNPG) XI yang kemudian ditetapkan melalui
Permenkes Nomor 28 tahun 2019 tentang
Angka Kecukupan Gizi yang dianjurkan untuk Masyarakat Indonesia
ContohKonversiSusutPangan menjadiNilaiNutrisi
Berikut ini merupakan contoh dari beberapa studi di mana susut dan sisa pangan ditampilkan dalam unit nilai nutrisi:
Tahun 2021, Laporan Kajian Food Loss and Waste di Indonesia yang diterbitkan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional mengestimasi bahwa jumlah orang yang dapat diberi makan dari kehilangan kandungan gizi (energi) dari susut dan sisa pangan di Indonesia pada tahun 2000-2019 adalah sebesar 61-124 juta orang atau 29-47% populasi Indonesia Lipinski et al (2013) mengonversi jumlah susut dan sisa pangan di dunia sebagaimana didefinisikan oleh FAO dari kilogram menjadi kalori ekivalen, dan diperkirakan bahwa sekitar 1 dari 4 kalori yang diproduksi untuk konsumsi manusia hilang atau terbuang.⁵²
Referensi
Lembar Bantuan Perhitungan yang bisa digunakan untuk membantu entitas menghitung dampak kehilangan nutrisi dari susut pangan dapat diakses di bitly/MBPSPP3
D.5 IMPLIKASI FINANSIAL
Relevansi
Susut pangan memiliki implikasi finansial yang signifikan di sepanjang rantai pasok, yang berbentuk biaya langsung dan manfaat yang hilang. Susut pangan mengurangi keuntungan dan nilai kompetitif bisnis, dan berdasarkan sebuah studi tentang sampah makanan di Kanada, juga membuat konsumen membayar lebih tinggi untuk makanan. Pendapatan dan keuntungan petani juga terdampak, sebab biaya yang telah dikeluarkan mencakup seluruh tanaman atau ternak yang diproduksi, terlepas dari berapapun jumlah yang terbuang
Selain itu terdapat juga kemungkinan biaya yang timbul dari pengumpulan, pemrosesan, pengolahan, dan pembuangan susut pangan Jika susut pangan dibuang di TPA misalnya, akan terdapat biaya retribusi yang harus dibayarkan Dalam beberapa situasi, susut pangan bisa diproses untuk memberi pemasukan tambahan, misalnya dijual untuk pakan ternak Pemasukan ini biasanya lebih kecil dibanding biaya pemrosesannya, tapi tetap perlu dimasukkan dalam perhitungan agar memberi gambaran yang akurat tentang biaya bersih penanganan susut pangan dalam suatu bisnis atau organisasi. Besarnya biaya finansial yang terkait dengan susut pangan merupakan pertimbangan yang penting dalam pengambilan keputusan untuk mengurangi susut pangan.
Sebagai tambahan, biaya dampak terhadap masyarakat juga bisa dihitung sebagai biaya eksternalitas lingkungan Dampak lingkungan yang telah dijelaskan sebelumnya bisa dikonversi menjadi dampak ekonomi, sebagai bahan pertimbangan pembuatan kebijakan terkait
PertimbanganTeknis
Dalam menghitung implikasi finansial susut pangan, penting untuk diingat bahwa berbagai variabel yang kompleks dapat mempengaruhi nilai ekonomi Ketika entitas hendak menghitung potensi kerugian finansial, faktor seperti volatilitas harga komoditas dan nilai tukar mata uang perlu dipertimbangkan untuk meminimasi risiko menghasilkan keputusan yang kurang tepat
Selain itu, penting juga untuk menentukan implikasi finansial apa yang akan dihitung. Beberapa elemen finansial pada pertanian diantaranya: Harga input pertanian (misalnya biaya benih, pupuk, dan pestisida);
Biaya buruh tani; Nilai dari pendapatan yang hilang (misalnya jika 20% hasil panen ditolak karena alasan kualitas);
Biaya yang timbul karena dampak lingkungan (misalnya emisi gas rumah kaca, penggunaan air dan lahan).
Untuk beberapa elemen finansial di atas, biayanya dapat dihitung secara proporsional. Sebagai contoh, jika seperlima hasil panen berakhir menjadi susut pangan, maka biaya operasional pertanian (misalnya biaya tenaga kerja, biaya input) yang terkait dengan susut pangan bisa dihitung seperlimanya.
Untuk mendapatkan harga produk pertanian bisa diperoleh dari informasi petani, pengepul, atau dari pasar Jika terdapat proses grading saat penyortiran hasil panen di lahan, maka harga produk dapat diperoleh dari rata-rata harga jual seluruh grade yang dijual petani, jika misalnya diasumsikan timbulan susut pangan terdiri dari berbagai grade
Alternatif lainnya adalah menggunakan data daring yang tersedia di berbagai situs pemerintah, misalnya dari : Badan Pangan Nasional (wwwpanelhargabadanpangangoid)
Kementerian Perdagangan (wwwinfohargabappebtigoid)
Bank Indonesia (wwwbigoid/hargapangan)
Selain data harga pangan nasional tersebut, entitas juga bisa menggunakan informasi harga di tingkat lokal yang biasanya diunggah oleh Dinas Pertanian.
Untuk beberapa kasus di pertanian juga jamak dijumpai penjualan dengan sistem tebas. Sistem tebas adalah skema penjualan hasil panen di mana pengepul membeli seluruh hasil panen secara lump sum semenjak tanaman masih dalam fase pertumbuhan atau belum siap panen. Proses panen kemudian dilakukan oleh buruh yang dipekerjakan oleh pengepul tanpa campur tangan petani. Ini berarti susut pangan di lahan tidak menjadi kerugian petani, melainkan kerugian pengepul
Dalam sistem tebas, perlu dipastikan bahwa harga produk yang digunakan merupakan harga komoditas di tingkat pengepul saat proses perhitungan dilakukan, yang informasinya bisa didapat dari wawancara dengan pengepul atau buruh tani pengepul.
Sebagaimana informasi kandungan nutrisi, ketika menggunakan informasi finansial pada susut pangan, juga penting untuk dicek jika informasi yang tersedia mengacu pada bagian yang bisa dimakan saja atau keseluruhan, lalu melakukan penyesuaian jika diperlukan
Sementara itu jika susut pangan berakhir di penanganan tidak dipanen dan tercecer, maka biaya yang timbul dari pengumpulan, pemrosesan, dan pembuangan susut pangan; adalah nihil
Di bawah ini merupakan beberapa contoh studi yang menghitung dampak susut dan sisa pangan dalam unit pengukuran biaya finansial:
Tahun 2021, Laporan Kajian Food Loss and Waste di Indonesia yang diterbitkan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional mengestimasi bahwa kerugian dari timbulan susut dan sisa pangan di Indonesia pada tahun 2000-2019 diestimasikan sebesar 213-551 triliun rupiah/tahun atau setara dengan 4-5% PDB Indonesia.
Referensi
Lembar Bantuan Perhitungan yang bisa digunakan untuk membantu entitas menghitung implikasi finansial dari susut pangan dapat diakses di bit.ly/MBPSPP3.
E.1 PENDAHULUAN
Panduan perhitungan ini selaras dengan rekomendasi universal yang memprioritaskan pencegahan susut dan sisa pangan, salah satunya dengan mengumpulkan pangan layak konsumsi yang berpotensi terbuang, dan menyalurkannya kepada pihak yang membutuhkan Hal ini penting karena dapat membantu menyelesaikan masalah malnutrisi dan kelaparan.
Jika tersedia insentif finansial (seperti misalnya potongan pajak), pendonasian makanan layak konsumsi yang tidak terjual juga membantu menutup kerugian ekonomi yang timbul dari pangan yang telah ditanam, disimpan, dikirimkan, dan/atau dimasak. Pendonasian makanan layak juga membantu mencegah dampak lingkungan negatif dari emisi karbon akibat sampah makanan ketika terdekomposisi.
Mengingat pentingnya penyaluran makanan layak konsumsi ini agar tidak terbuang, lampiran ini memberi pedoman dalam menghitung dan melaporkan berat pangan yang didonasikan
Pendonasian pangan bisa dilakukan lewat program formal atau informal. Pengumpulannya bisa dilakukan di tahap manapun dalam rantai pasok, termasuk dari lahan pertanian, baik lewat field gleaning (pengumpulan hasil pertanian, biasanya oleh relawan) atau didonasikan setelah dipanen.
Pada beberapa daerah di Indonesia, juga terdapat praktik kearifan lokal di mana hasil panen yang tertinggal di lahan diperbolehkan untuk diambil/dipungut oleh warga sekitar untuk dikonsumsi atau dijual. Di Jawa Timur misalnya, proses ini disebut “ngasak” dan merupakan tradisi turun-menurun yang masih dipertahankan meskipun praktiknya mulai memudar
METODE BAKU PERHITUNGAN SUSUT PANGAN PADA PETANI
Praktik baik seperti ini memungkinkan hasil panen yang tertinggal di lahan pertanian yang berpotensi menjadi susut pangan menjadi termanfaatkan untuk membantu warga yang membutuhkan
Terdapat beberapa alasan mengapa suatu negara, perusahaan, koperasi, asosiasi, atau entitas lainnya menghitung dan melaporkan berat makanan yang didonasikan Di antaranya adalah untuk menunjukkan pertanggungjawaban entitas tersebut terhadap makanan yang diproduksi, atau untuk memonitor target pendonasian makanan yang telah dirancang.
Berat dari makanan yang didonasikan dapat diukur oleh entitas yang mendonasikannya (atau disebut “donatur”), atau juga dapat diukur oleh entitas lain yang mengumpulkan dan mendistribusikan makanan tersebut kepada warga yang membutuhkan
Makanan yang diselamatkan, didonasikan, disumbangkan, dipulihkan, atau diredistribusi untuk keperluan konsumsi manusia perlu dihitung dan dimasukkan ke dalam kategori penanganan “donasi/dipulihkan”
Definisi FAO terhadap “pemulihan dan redistribusi makanan yang layak dan bernutrisi untuk konsumsi manusia” dijelaskan di dalam Kotak E.1. Menurut FAO, pemulihan dan redistribusi dapat terjadi dengan atau tanpa biaya.
Di Amerika Serikat, Food Waste Reduction Alliance (FWRA) menggunakan istilah “makanan yang tidak dapat dijual/unsaleable food” yang didefinisikan sebagai “makanan yang
E.3 METODE PERHITUNGAN MAKANAN YANG DIDONASIKAN
Terdapat beberapa cara untuk menghitung berat makanan yang didonasikan. Beberapa metode perhitungan susut pangan yang disebutkan dalam metode baku ini seperti misalnya penimbangan langsung dan sejenisnya, juga bisa diaplikasikan dalam menghitung berat makanan yang didonasikan
Metode perhitungan yang paling langsung adalah dengan menimbang berat makanan yang didonasikan
Sebagai alternatif, jika berat netto masing-masing produk/komoditas telah diketahui (yaitu berat tanpa kemasan), entitas dapat menghitung jumlah produk/komoditas, dan mengalikannya dengan berat netto produk/komoditas
Sebagai contoh, jika seorang petani mendonasikan 5 krat brokoli berisikan 20 kg berat netto brokoli per krat, maka jumlah brokoli yang didonasikan adalah 5 krat x 20 kg = 100 kg
Cara lainnya adalah dengan memberikan informasi atau mentransfer dokumen berisi informasi yang relevan kepada entitas lain yang mengumpulkan atau menerima makanan yang didonasikan, atau kepada pihak ketiga yang melakukan perhitungan atas permintaan donatur atau penerima Cara ini biasanya lebih umum jika pendonasian makanan telah dilakukan secara rutin dan telah terjalin hubungan antara donor dan penyalur
Dalam kasus-kasus di mana entitas mendonasikan makanan dalam bentuk bulk atau jumlah besar (misalnya hasil panen yang dikumpulkan di lahan, atau makanan tanpa standar berat), maka beratnya bisa diestimasi dengan menyimpan data berat aktual dari produk yang didonasikan selama beberapa waktu Entitas juga dapat menghitung berat rata-rata dari setiap unit spesifik lainnya, seperti misalnya berat kontainer yang dipakai
E.4 PERTIMBANGAN LAIN TERKAIT PENDONASIAN
MAKANAN
Beberapa aspek terkait pendonasian makanan yang dijelaskan di bawah ini mungkin dapat berguna untuk dipertimbangkan
KebijakanNasionaluntuk MendukungPendonasian Makanan
Secara global, telah muncul kesadaran dari pemerintah di banyak negara untuk membuat kebijakan yang dapat mendorong pendonasian makanan surplus Kebijakan khusus telah dibuat di beberapa negara Eropa⁵³ , Meksiko, dan Amerika Serikat. Di Amerika Serikat misalnya, kebijakan ini mencakup keringanan pajak berdasarkan nilai jual makanan yang didonasikan dan perlindungan hukum untuk donatur.
Di Indonesia, kebijakan khusus seperti ini belum tersedia meskipun terus didorong oleh berbagai advokasi kebijakan untuk mendorong praktek pendonasian makanan surplus yang masih layak makan. Saat ini Badan Pangan Nasional menjadi inisiator penyusunan regulasi untuk mendorong praktek pemulihan makanan surplus untuk didonasikan.
MenjagaKelestarianPraktik
PengumpulanHasilPanen
Beberapa tradisi turun-temurun dan praktik kearifan lokal seperti ‘ngasak’ (proses pengambilan sisa panen di lahan oleh warga sekitar untuk dikonsumsi atau dijual) di Jawa Timur, perlu terus dilestarikan dan didorong
Praktik seperti ini memungkinkan hasil panen yang tertinggal di lahan yang berpotensi menjadi susut pangan menjadi termanfaatkan untuk membantu warga yang membutuhkan, sekaligus membantu menyediakan makanan bernutrisi bagi warga rentan.
Salah satu kelebihan dari praktik pengumpulan sisa panen ini adalah tidak membutuhkan biaya ekstra untuk mengumpulkan hasil panen yang dapat membebankan petani, karena sisa panen langsung diambil di lahan. Manfaatnya pun langsung dapat dirasakan oleh warga sekitar.
Entitas juga bisa menghitung dampak dari pendonasian makanan surplus dalam unit pengukuran selain berat atau nilai ekonomi, yaitu misalnya dari segi dampak lingkungannya. Salah satu opsinya adalah menggunakan model Waste Reduction Model (WARM) yang dikembangkan oleh United States Environmental Protection Agency, yang mengestimasi energi dan gas rumah kaca yang dapat dicegah lewat pendonasian makanan surplus⁵⁴
Hal ini termasuk menggunakan satuan “porsi makanan” menggunakan faktor konversi berdasarkan berat rata-rata per porsi makanan. Sebagai contoh, ritel makanan Tesco di Inggris menggunakan rasio 420 gram per 1 porsi makanan, yang dihasilkan oleh mitra food bank. Rasio tersebut kemudian dapat digunakan untuk menghitung jumlah porsi makanan yang didonasikan.⁵⁵
MengembangkanProgram PendonasianMakananSurplus
Terlepas dari beberapa perbedaan operasional, mengembangkan program pendonasian makanan surplus pada umumnya membutuhkan beberapa hal berikut:
Memastikan warga sekitar mengetahui bahwa mereka diperbolehkan untuk mengambil hasil panen yang tersisa atau tertinggal di lahan.
Jika hasil panen akan disumbangkan lewat food bank atau penyalur lainnya, logistik untuk menyimpan makanan yang didonasikan sebelum dijemput atau dikirimkan
Teknologi untuk memonitor makanan yang didonasikan, jika tersedia
Keamanan pangan, yang merupakan hal penting dalam menangani pendonasian makanan dan meminimalkan risiko penyaluran makanan yang tidak aman dikonsumsi. Panduan keamanan pangan untuk pendonasian makanan di Indonesia saat ini tengah dikembangkan oleh Badan Pangan Nasional. Sebagai panduan dasar bisa digunakan pengetesan organoleptik, yang merupakan pengetesan kualitas makanan dengan menggunakan panca indera; yaitu indera penglihatan, penciuman, dan perasa
Kemitraan dengan komunitas atau food bank tertentu Telah terdapat beberapa food bank di beberapa kota di Indonesia, meskipun belum merata di seluruh lokasi Beberapa food bank yang bisa dihubungi adalah Garda Pangan, Food Bank of Indonesia, Food Cycle Indonesia, Scholar of Sustenance, Food Bank of Bandung, dan Aksata Pangan Garda Pangan misalnya, mempunyai program khusus untuk melakukan gleaning, yaitu pengumpulan hasil panen yang tertinggal di lahan untuk disalurkan kepada pihak yang membutuhkan
Kekhawatiran terhadap aspek risiko dan legalitas, serta tantangan kultural yang mungkin muncul dalam pendonasian makanan surplus.
Inferensitidakmelibatkanpengukuranataupenaksiransusutpangan,meskipundata yangdisimpulkanbisasajaberasaldariperhitunganataupenaksiransusutpangan sebelumnya
Kerangkasampel Daftarsemuaunitpenghasilsusutpangandalampopulasi,yangakandipilihmenjadi sampel Sebagianunityangterpilihdarikerangkasampelinilahyangdisebutsebagai sampel
MetodeBakuPerhitunganSusutPanganpadaPetanidiperlukansebagaistandarcara pengukuransusutpangan,agardatayangdilaporkankonsistendantransparan Metode bakuinidirancangagarbersifatpraktis,dandapatdigunakanolehpihakmanapununtuk menghitungjumlahsusutpanganyangdihasilkan,sesuaidengantujuanpengukuran yangdiinginkan Penggunaanterminologidanmetodeyangbakumemastikanbahwa datayangdihasilkansesuaidenganstandarinternasional,dandapatdigunakanbaik untukkepentinganinternalatausebagaibahanperbandinganantarentitas
Caradatadiperoleh,dicatat,dandianalisisuntukperhitungansusutpangan Metode bakuinimenyediakanpanduantigametodeperhitungan,yaitupengukuran,penaksiran, daninferensi
Entitasbolehmelakukanpenaksiran,misalnyaketikapengukurantidakmungkin dilakukan Misalnyapenggunaan“satukarung”atau“satupeti”dapatdigunakanuntuk menaksirjumlahsusutpangandarilahanpertanian.Dilahanpertanian,“skalavisual” jugabisadigunakansebagaisalahsatucarauntukmenaksirjumlahgabahyangrusak karenaseranganhama Seorangpetaniyangmengetahuiukurankratbisajugabisa menaksirvolumeisididalamnyadenganmemperkirakanseberapapenuhwadah tersebut
Metodeperhitungansusutpanganmenggunakaninstrumenataualatdenganunit standartertentu Hasilpengukurandituliskandalamunitberat,jumlah,atauvolume Unit selainberatperludikonversikankedalambentukberat
1 Tujuan 123 United Nations Sustainable Development Goals: “Pada tahun 2030 mengurangi separuh sisa pangan per kapita global di tingkat ritel dan konsumen dan mengurangi separuh susut pangan sepanjang produksi dan rantai pasok termasuk kehilangan saat pasca panen.”
2. The Paris Agreement (2015), United Nations Climate Change. Dapat diakses di: https://unfccc.int/process-andmeetings/the-paris-agreement
3 Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, (2022), Pengelolaan Sampah Sektor Lingkungan Hidup dan Kehutanan Dapat diakses di: https://sipsnmenlhkgoid/sipsn/public/da ta/komposisi
4. Barilla Center for Food & Nutrition, (2022), Food Sustainability Index. Dapat diakses di: https://foodsustainabilityeiucom/
5 Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas, (2021), Laporan Kajian Food Loss and Waste di Indonesia – dalam Rangka Mendukung Penerapan Ekonomi Sirkular dan Pembangunan Rendah Karbon.
6. Ibid.
7. Ibid.
8 Ibid
9 Lavigne, F, Wassmer, P, et al 2014, “The 21 February 2005, catastrophic waste avalanche at Leuwigajah dumpsite, Bandung, Indonesia” Geoenvironmental Disasters 1(10).
10 Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas, OpCit
11 Badan Kebijakan Pembangunan
Kesehatan Kementerian Kesehatan RI (2023), BUKU SAKU Hasil Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) 2022.
12. Unit perhitungan yang tepat disebut sebagai “massa” dan dinyatakan dalam kilogram, ton, kwintal, dan sebagainya. Namun, istilah yang lumrah digunakan sehari-hari lebih sering disebut sebagai “berat” sehingga Metode Baku Perhitungan Susut Pangan pada Petani ini menggunakan istilah “berat”
13 “Kategori makanan” mengacu pada jenis makanan yang dimasukkan dalam perhitungan susut pangan (contohnya: daging, susu, kue, buah, dan sayur). Istilah ini berbeda dengan “jenis material”.
14 Codex Alimentarius Commission 2013 Codex Alimentarius Commission, Procedural Manual, 21st edition Rome, Italy: Food and Agriculture Organization of the United Nations and World Health Organization
15. FAO. 2014. Definitional Framework of Food Loss. Working Paper of the Global Initiative on Food Loss and Waste Reduction. Rome, Italy: UN FAO.
16 WRAP (The Waste and Resources Action Programme) 2008 The Food We Waste Banbury, UK: WRAP
17 Dalam Metode Baku Perhitungan Susut
Pangan pada Petani ini, valorisasi bertujuan untuk menambah nilai dari susut pangan, di mana susut pangan dikonversi menjadi bentuk lain yang memiliki daya guna (contohnya diubah menjadi energi atau pupuk).
18. Metode Baku Perhitungan Susut
Pangan pada Petani ini memasuukkan produksi bioediesel (misalnya, melalui pengolahan lemak, minyak, atau gemuk) ke dalam kategori pemrosesan biokimia. Akan tetapi definisi yang diajukan oleh
FUSIONS memasukkan produksi biodiesel ke dalam definisi "susut pangan, " untuk mendorong dari sudut pandang efisiensi sumber daya penggunaan sumber daya ini dalam aplikasi pangan dan pakan. Lihat : FUSIONS 2016 Food Waste Quantification Manual to Monitor Food Waste Amounts and Progression. Paris, France: FUSIONS.
19 CGF (The Consumer Goods Forum)
2015 “Food Waste Resolution” Dapat diakses di: https://www.theconsumergoodsforum.co m/press releases/consumer-goodsindustry-commits-to-food-wastereduction/
20. Sumber referensi untuk hierarki pemulihan makanan di antaranya adalah Sustainable Management of Food Program dari US Environmental Protection Agency; Bagerzadeh, M, M Inamura, dan H Jeong. 2014. Food Waste along the Food Chain. Paris, France: Organisation for Economic Cooperation and Development; UNEP (United Nations Environment Programme). 2014. Prevention and Reduction of Food and Drink Waste in Businesses and Households: Guidance for Governments, Local Authorities, Businesses and Other Organisations, Version 1.0. Paris, France: UNEP;
European Parliament 2014 “Proposal for a directive of the European Parliament and of the Council a mending Directives 2008/98/EC on waste, 94/62/EC on packaging and packaging waste, 1999/31/EC on the landfill of waste, 2000/53/EC on end of- life vehicles, 2006/66/EC on batteries and accumulators and waste batteries and accumulators, and 2012/19/EU on waste electrical and electronic equipment.” COM/2014/0397.; FUSIONS (Food Use for Social Innovation by Optimising Waste Prevention Strategies) 2014a Definitional Framework for Food Waste. Lund, Sweden: FUSIONS.
21 Food Recovery Hierarchy (2017), United States Environmental Protection Agency Dapat diakses di: https://19january2017snapshot.epa.gov/s ustainable-management-food/foodrecovery-hierarchy html
22 Kandungan air, atau kandungan kelembaban, merupakan jumlah air yang terdapat dalam suatu makanan. Biasanya dinyatakan sebagai persentase dalam berat total Lihat: Manitoba Department of Agriculture, Food, and Rural Development. t.t. “Water Content and Water Activity: Two Factors That Affect Food Safety.” Dapat diakses di: https://wwwgovmbca/agriculture/foodsafety/at-the-food-processor/watercontent-water-activity.html
23 Kemasan makanan bisa berbentuk kardus, pembungkus (wrapping), kaleng, keranjang, krat kayu, wadah plastik, brongsong, dan sebagainya. Kemasan yang bisa dimakan dianggap sebagai makanan karena ditujukan untuk konsumsi manusia 166
24 Entitas bisa mendiskusikan keputusan ini dengan peninjau, untuk menentukan kemungkinan dampak dan relevansi dari pengecualian tersebut terhadap laporan perhitungan secara keseluruhan.
25. FAO (2014), Op.Cit.; FUSIONS (2014a), Op.Cit.
26 Unit perhitungan yang tepat disebut sebagai “massa” dan dinyatakan dalam kilogram, ton, kwintal, dan sebagainya Namun, istilah yang lumrah digunakan sehari-hari lebih sering disebut sebagai “berat” sehingga Metode Baku Perhitungan Susut Pangan pada Petani ini menggunakan istilah “berat”
27. Kementerian Kesehatan RI, (2018). Tabel Komposisi Pangan Indonesia 2017. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI
28 Australian Food Composition Database (2023), Food Standards Australia New Zealand Dapat diakses di: https://wwwfoodstandardsgovau/scienc e-data/monitoringnutrients/afcd
29 Ketidakpastian acak mengacu pada ketidakpastian yang berasal dari variasi di sekitar nilai sebenarnya. Jika pengukuran susut pangan harus diulang berkali-kali, ketidakpastian acak berarti nilai susut pangan yang diukur akan membentuk kluster di sekitar nilai sebenarnya Di sebagian besar studi susut dan sisa pangan, penyebab utama ketidakpastian acak berasal dari sampling karena dalam prosesnya cukup sulit untuk mendapat sampel: a) dari seluruh unit penghasil susut pangan dalam populasi, b) mencakup seluruh jangka waktu yang ditentukan dalam perhitungan susut pangan. Karena adanya variasi yang terjadi secara alami dari perhitungan susut pangan yang dihasilkan antar unit penghasil susut pangan dan dalam unit penghasil susut pangan seiring waktu, hal ini menimbulkan ketidakpastian
acak dalam nilai yang dihasilkan
30 Rentang kepercayaan juga dapat dihitung untuk informasi jumlah susut pangan lainnya selain berat total susut pangan. Sebagai contoh, pada perhitungan sisa pangan rumah tangga yang diteliti oleh WRAP, rentang kepercayaan dihitung dan dilaporkan untuk jumlah total sisa pangan dan setiap kategori makanan dan minuman (misalnya apel, roti)
31 Nilai-p adalah probabilitas memperoleh perbedaan yang observasi jika sebenarnya tidak ada perbedaan di antara kedua populasi (atau tidak ada perubahan terhadap waktu), jika asumsi hipotesis nolnya adalah tidak terdapat perbedaan di antara kedua populasi atau tidak ada perubahan seiring waktu. Selain itu dapat juga dihitung probabilitas jika misalnya, suatu target telah tercapai.
32 FUSIONS (2016), OpCit
33 FUSIONS (2016), OpCit
34 Informasi lebih detail mengenai power analysis dapat ditemukan secara daring Salah satu contoh dapat dilihat di: http://www.biostathandbook.com/power.ht ml.
Kalkulator untuk menentukan ukuran sampel juga tersedia di: http://powerandsamplesizecom/Calculator s/ Namun, disarankan bagi entitas yang tidak memiliki cukup keahlian dalam statistik untuk berkonsultasi dengan seorang profesional
35 Penting untuk diingat, saat melakukan perhitungan ini, bahwa meskipun ada 52 minggu lengkap dalam satu tahun, satu tahun memiliki 365 hari, dan tahun kabisat memiliki 366 hari. Hal ini berarti terdapat satu atau dua hari ekstra setiap tahunnya. Oleh karena itu, terdapat 52 1/7 minggu dalam satu tahun biasa dan 52 2/7 minggu dalam satu tahun kabisat
36 FAO tt International Network of Food Data Systems. Dapat diakses di: http://www.fao.org/infoods/infoods/tables -and-databases/en/
37 EuroFIR (European Food Information Resource).t.t. “Food Composition Databases.” Dapat diakses di: https://www.eurofir.org/foodinformation/food-composition-databases/
38. Australian Food Composition Database (2023), Op.Cit.
39 FUSIONS 2014b Standard Approach on Quantitative Techniques to Be Used to Estimate Food Waste Levels Kråkerøy, Norway: FUSIONS.
40 Sumber referensi:
FAO 2013 Food Wastage Footprint: Impacts on Natural Resources Rome, Italy: UN FAO. Dapat diakses di: https://www.fao.org/3/i3347e/i3347e.pd f;
41. GWP adalah faktor yang menggambarkan dampak radiasi (tingkat kerusakan terhadap atmosfer) dari 1 unit gas rumah kaca tertentu dibandingkan dengan 1 unit CO₂.
42. Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas, OpCit
43 FAO and UN Statistics Division 2015
Guidelines on International Classifications for Agricultural Statistics. Rome, Italy: FAO and UN, Global Strategy to Improve Agricultural and Rural Statistics (GSARS)
44 Sakai et al 2014 “Energy Recovery and Greenhouse Gas Reduction Potentials from Municipal Solid Waste Including Food Waste in Japan” Fifth International Symposium on Energy from Biomass and Waste San Servolo, Venice, Italy. November17, 2014.
45. Matsuda et al. 2012. “Life-cycle Greenhouse Gas Inventory Analysis of Household Waste Management and Food Waste Reduction Activities in Kyoto, Japan. ”International Journal of Life Cycle Assessment 17: 743–752.
46 Boulay, A-M, AY Hoekstra, dan SVionnet 2013 “Complementarities of Water Focused Life Cycle Assessment and Water Foot print Assessment”Environmental Science & Technology 47(21): 11926 11927
47. ISO (International Organization for Standardization). 2006. “ISO 14044:2006. Environmental management Life cycle assessment requirements and guidelines”Geneva:ISO
48. Hall, K. D., J. Guo, M. Dore, dan C. C. Chow. 2009. “The Progressive Increase of Food Waste in America and Its Environmental Impact” PloS One 4(11)
49. FAO (2013), Op.Cit.
50 FAO (2013), OpCit
51 WRAP 2013 Household Food and Drink Waste in the United Kingdom 2012. Banbury, UK: WRAP.
52 Lipinski, B, C Hanson, J Lomax, L Kitinoja, R. Waite, dan T. Searchinger. 2013. “Reducing Food Loss and Waste. ”Working Paper, Installment 2 of Creating a Sustainable Food Future Washington, DC: World Resources Institute
53. O’Connor, C., M. Gheoldus, dan O. Jan. 2014. Comparative Study on EU Member States’ Legislation and Practices on Food Donation: Final Report Neuilly-sur-Seine, France: BIO by Deloitte.
54. Di Amerika Serikat, Bill Emerson Good Samaritan Food Donation Act (Public Law 104-210) melindungi entitas yang melakukan donasi Naskah regulasi ini tersedia melalui situs Departemen Pertanian Amerika Serikat di: wwwusdagov/media/blog/archive/tag/gl eaning