6 minute read

Hal

Next Article
Hal

Hal

2022, Produksi Sawit Diprediksi MASIH MENGGAIRAHKAN

Harga minyak sawit mentah (CPO) yang rata-rata berada di atas USD 1.000 per ton sepanjang tahun ini, berpotensi terkoreksi tahun depan. Ini karena kondisi global yang membaik pasca pademi sehingga produksi TBS (tandan buah segar) sawit di Indonesia dan Malaysia akan stabil.

Advertisement

Hal ini terungkap pada acara Indonesian Palm Oil Conference (IPOC 2021) virtual bertema: Role of Palm Oil Industry toward Sustained Economy Recovery (2/12).

Dorab Mistry, analis komoditas Godrej International Limited, mengatakan operasional perkebunan sawit di Malaysia akan mulai normal tahun depan. Masalah kekurangan tenaga kerja yang disebabkan oleh pandemi Covid-19 akan teratasi pada awal tahun 2022. Dengan kondisi tersebut, produksi CPO Malaysia diperdiksi meningkat dari 18 juta ton pada tahun 2021 menjadi 19 juta ton pada tahun 2022.

“Akan tetapi, efek tenaga kerja terhadap produksi baru akan terasa pada kuartal dua tahun 2022,” ungkapnya. Dorab memprediksi produksi CPO Indonesia juga mengalami kenaikan 1 juta ton pada 2022.

Dari sisi permintaan, terjadi peningkatan

permintaan tehadap energi. Permintaan terhadap energi naik pada 20/21 sebanyak 2 juta ton. “Permintaan terhadap energi akan terus mengalami kenaikan 2 juta ton pada tahun 21/22,” ungkap Dorab.

Menurutnya, penggerak utama pertumbuhan energi ada biodiesel. Permintaan terhadap minyak nabati untuk makanan juga naik tiga juta ton setiap tahun. Pada saat pandemi, permintaan tersebut turun dua juta ton. akan tetapi, permintaan mengalami peningkatan dua juta ton pada saat ini.

Sejalan dengan Dorab, CEO Oil World Thomas Milke, memprediksi produksi CPO Indonesia mengalami penimgkatan sebebsar 1,7-1,9 juta ton di tahun 2022. Akan tetapi, menurut Milke, produksi tersebut tidak mengalami peningkatan dibandingkan tahun 2018. Dengan kata lain, pertumbuhan produksi CPO mengalami stagnasi selama 2 tahun.

Selain CPO, produksi minyak nabati lainnya juga diperdiksi meningkat. Pada tahun 2022, produksi minyak nabati dunia naik 25 juta ton dengan mencatatkan rekor sebesar 611 juta ton.

Sementara itu James Fry dari LMC International mengatakan, pandemi Covid-19 yang menghantam China dan India sejak 2020 mengakibatkan penurunan permintaan minyak nabati. Akan tetapi permintaan terhadap minyak nabati kembali pulih pada tahun 2021/2022.

“Hal ini terjadi karena permintaan terhadap minyak nabati lebih kuat dibanding yang diperkirakan. Sedangkan produksi minyak nabati dalam negeri tidak mampu untuk mencukupi kebutuhan.”

Selain melihat kondisi ekonomi dunia, James memprediksi harga CPO dengan menganalisa data Oceanic Nino Index (ONI). Fry melihat adanya kemiripan antara grafik ONI dengan grafik perubahan produksi CPO Indonesia. Menurut analisis dia, peningkatan grafik ONI berkorelasi positif dengan pertumbuhan produksi CPO.

Dari hasil plotting pertumbuhan CPO di Indonesia dan Malaysia dari tahun ke tahun dan perubahan kumulatif pada produksi sejak akhir 2019 dan awal pandemi pada 2020, James menyimpulkan diperlukan 12 bulan lagi sebelum produksi minyak sawit Asia Tenggara dapat melampaui produksinya di akhir tahun 2019.

Dorab memprediksi Indonesia dan Malaysia tidak mengalami perkembangan produksi minyak kelapa sawit.

Togar Sitanggang, Wakil Ketua Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) harga CPO masih akan tinggi sampai dengan semester 1 Tahun 2022. Togar memprediksi, harga CPO berkisar USD 1.000 – 1.250 per ton sepanjang tahun 2022. (*)

Hilirisasi Penting untuk Tingkatkan Pendapatan Negara

Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan hilirasi sawit yang didengungkan Presiden Jokowi sangat penting untuk meningkatkan nilai tambah ekspor mengingat komoditas ini menjadi andalan ekspor Indonesia.

“Semakin hilir meningkat, nilai tambahnya semakin besar sehingga jika diekspor pastinya mendatangkan devisa yang lebih besar yang bisa dipergunakan bagi kesejahteraan Indonesia,” kata Sri Mulyani dalam 17th Indonesian Palm Oil Conference and 2022 Price Outlook di Jakarta, Rabu 1 Desember 2021.

Sri Mulyani menilai, komoditas sawit memiliki potensi yang sangat besar sebagai bahan baku industri dan diolah untuk menjadi produk-produk industri. “Hanya saja, hilirisasi produk kelapa sawit Indonesia belum terkembang. Karena itu, Presiden meminta fokus kebijakan pemerintah pada sektor ini adalah mengembangkan nilai tambah dari produk kelapa sawit melalui hilirisasi.”

Selain meningkatkan pendapatan negara, Sri Mulyani mengatakan, hilirisasi pastinya meningkatkan kesejahteraan petani sawit dan pelaku sektor perkebunan kelapa sawit lain. Menurut Menkeu, sawit punya peran penting tidak hanya bagi perekonomian tapi juga pada kesejahteraan masyarakat.

Berdasarkan catatannya, jumlah tenaga kerja yang terlibat langsung dalam sektor perkebunan ini sebagai petani sebanyak 4,2 juta orang. Sedangkan, sebanyak 12 juta tenaga kerja terlibat secara tidak langsung dengan produk kelapa sawit.

Dalam kesempatan itu, Sri Mulyani meminta Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) untuk mendorong peningkatan produktivitas petani sawit mandiri tersebut.

Hal ini karena sebagian besar perkebunan kelapa sawit dimiliki oleh petani mandiri yang lahannya terbatas dan produktivitasnya lebih rendah dibandingkan perusahaan swasta sawit besar.

"Ini tugas BPDPKS untuk membantu petani mandiri dari sisi replanting dan produktivitas sawit per hektarnya sehingga bisa meningkat kesejahteraan petani sawit," kata Menkeu.

Ia mengungkapkan sumbangan devisa dari sektor ini sebanyak US$21,4 miliar, atau lebih dari 14 persen dari total penerimaan devisa ekspor non migas. "Kami juga menggunakan sawit untuk mengatasi ketergantungan pada impor minyak melalui program biodiesel," kata Sri Mulyani.

(rls)

Sawit Bantu Ekonomi

di Tengah Pandemi

Menteri Koordinator (Menko) Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menilai, para pemangku kepentingan di sektor kelapa sawit punya peran besar dalam membantu perekonomian masyarakat. Selama pandemi covid-19, industri kelapa sawit mampu berkontribusi terhadap kegiatan ekonomi masyarakat dan negara sehingga perekonomian Indonesia kini masih menunjukkan perkembangan positif. Selain menghasilkan devisa yang signifikan, Industri kelapa sawit juga berkontribusi dalam menciptakan lapangan kerja baik langsung maupun tidak langsung.

“Bahkan, sektor ini mampu mempertahankan 16,2 juta tenaga kerja yang tergantung didalamnya ditengah pandemi yang telah berlangsung selama hampir dua tahun,” kata Airlangga Hartarto saat memberikan sambutan dalam pembukaan dalam 17th Indonesian Palm Oil Conference and 2022 Price Outlook, Rabu 1 Desember 2021.

Menurut Menko, pemerintahan Jokowi memiliki visi agar industri sawit Indonesia dapat menjadi produsen sawit terkemuka dengan mendorong hilirisasi atau pengembangan produk turunannya. Dengan luasan lahan 10% dari total lahan global untuk minyak nabati, Airlangga memperkirakan Indonesia mampu menjadi negara produsen kelapa sawit terbesar dan menguasai sebagian pangsa pasar minyak sawit dunia.

Dibandingkan dengan minyak nabati lain seperti biji bunga matahari, sawit lebih kompetitif. Selain luasannya lahannya tidak sebesar perkebunan biji bunga Matahari, produktivitas yang dihasilkan perkebunan sawit di Indonesia jauh lebih tinggi dibandingkan minyak nabati lainnya. “Industri kelapa sawit juga punya kontribusi pada ekspor nasional sebesar 15,6% dari total ekspor di tahun 2020. Nilai tersebut menjadi salah satu penyumbang devisa yang secara konsisten terus meningkat meskipun di masa pandemi,” kata Airlangga.

Hingga kini, luasan tutupan kelapa sawit nasional yang dikoordinasikan oleh Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian pada 2019 teridentifikasi sebesar 16,38 juta hektar dengan rincian, perkebunan sawit rakyat sebesar 41%, perkebunan besar negara sebesar 6%, dan perkebunan besar swasta nasional sebesar 53%.Airlangga juga menegaskan bahwa program peremajaan sawit rakyat (PSR) menjadi krusial sebagai upaya peningkatan produktivitas dan penguatan sumber daya manusia, serta meningkatkan kesejahteraan petani.

Senada dengan Erlangga, ketua umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), Joko Supriyono yakin tahun depan, industri sawit akan terus memberikan kontribusi besar bagi terutama dalam pemulihan ekonomi berkelanjutan.

“Kami yakin di tahun mendatang, industri kelala sawit akan tetap menjadi kontributor besar bagi neraca perdagangan Indonesia,” tegas Joko. Menurutnya, permintaan kelapa sawit akan terus meningkat, terutama pada saat krisis energi di sejumlah negara diantaranya China dan Inggris.

“Terjadinya krisis energi di beberapa negara saat ini, membuka peluang bagu energi tetbarukan seperti berbasis kelapa sawit seperti biodiesel akan menjadi solusi sekaligus alternatif yang berkelanjutan” tegas Joko. (rls)

This article is from: