
7 minute read
ANTARA TAWA DI SELA TANGIS Hal
Bagi Zarkas (55) kenaikan harga sawit telah membuat taraf ekonominya jauh berubah sudah. Sebagai pensiunan dari sebuah perusahaan kini hidupnya lebih dari cukup. Kendaraan roda empat sudah lebih dari satu di rumahnya. Anak-anaknya pun sudah bersekolah tinggi hingga ke pulau Jawa.
Laporan: Helfizon Assyafei
Advertisement

“Alhamdulillah rezeki lewat usaha tani sawit ini lumayanlah pak,” ujar petani sawit asal Kampar ini saat berbincang ringan dengan Sawitplus belum lama ini. Meski demikan menurutnya kenaikan harga sawit ini tidak lama bisa dinikmati para petani karena harga pupuk pun ikut meroket.
“Ya harga pupuk non subsidi ini memang naik hingga 70 persen pak, kami jadi kelabakan karena biaya operasional tentu jadi naik pula. Jadi kalau harga pupuk ini tak terkendali bisa-bisa biaya lebih besar dari hasil,” ujarnya prihatin. Menurutnya kenaikan harga sawit itu ibarat tawa yang belum selesai tiba-tiba tangis datang karena harga pupuk melonjak.
Harga Pupuk Non Subsidi Melonjak
Soal kenaikan harga ini bukan saja dirasakan oleh Zarkas namun juga para petani sawit lainnya di nusantara. Para petani sawit mengeluhkan harga pupuk non subsidi yang melonjak tinggi dalam delapan bulan terakhir. Harga pupuk baik tunggal maupun pupuk majemuk naik antara 70%-120%.
Ketua Umum Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) Dr Gulat Manurung mengungkapkan petani sawit dikatakan penyelamat ekonomi dan pahlawan devisa. Di saat harga tandan buah segar (TBS) sawit tinggi, petani tidak dapat menikmati dan melanjutkan rencana peningkatan produktivitas. Sebab, harga pupuk naik sangat tinggi melebihi kenaikan harga TBS sawit.
“Akan tetapi, di saat yang bersamaan kami diobok-obok semuanya oleh pelaku produsen pupuk,” ujar Gulat Manurung dalam webinar Forum Wartawan Pertanian (Forwatan) bertema “Perbaikan Tata Kelola Pupuk: Realitas dan Fakta”, Jumat (29/10).
Menurut Gulat, para petani sawit selama ini tidak pernah “bermanja” ke pemerintah dengan pupuk subsidi. Di mana para petani sawit tidak menuntut jatah pupuk bersubsidi dan kami memaklumi perhaSaya sebagai Ketua (Apkasindo) sudah kehabisan kata-kata untuk menahan amarah petani sawit dari 145 kabupaten/ kota se-Indonesia. Semua bermula melihat fakta harga pupuk non subsidi meroket tajam hingga 160%.
GULAT ME. MANURUNG
Ketua Umum DPP Apkasindo
tian pemerintah untuk Pupuk bersubsidi dominan dialokasikan kepada para petani yang menanam tanaman pangan dan hortikultura, tapi kami mohon keadilan dan perlindungan harga pupuk saat ini.
“Saya sebagai Ketua (Apkasindo) sudah kehabisan kata-kata untuk menahan amarah petani sawit dari 145 kabupaten/ kota se-Indonesia. Semua bermula


melihat fakta harga pupuk non subsidi meroket tajam hingga 160%,” kata Gulat. Ia mempertanyakan kenaikan harga pupuk yang mengikuti kenaikan harga TBS sawit.
Petani sawit meminta pemerintah untuk segera mencari tahu penyebab kenaikan harga pupuk dan meminta pabrik pupuk pelat merah jangan ikut-ikutan menaikkan harga membabi buta. Harusnya, kata Gulat, PT Pupuk Indonesia (Persero) atau Pupuk Indonesia Holding Company (PIHC) menjadi kontrol terhadap harga pupuk di dalam negeri, bukan sebaliknya malah ikut-ikutan bahkan terdepan menaikkan harga.
“Kami (petani sawit) tidak pernah menuntut (mendapatkan) pupuk subsidi. Kami hanya minta pemerintah serius dan fokus mengontrol harga pupuk non subsidi,” terang dia. Gulat mengatakan Program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) terancam gagal karena anggaran biaya PSR sudah berantakan akibat kenaikan harga pupuk. Sebagai contoh dalam anggaran PSR pupuk urea telah ditetapkan Rp4.500/kg. Namun sekarang sudah mencapai di atas Rp6.000/kg.
Dikatakan Gulat, selama ini petani sawit sudah sangat tertekan dengan adanya kebun sawit petani yang berada di kawasan hutan. Namun sekarang para petani sawit tambah lagi persoalan yakni membubungnya harga pupuk. Melambungnya harga pupuk ini sudah KLB (kejadian luar biasa). Ironisnya, di saat yang bersamaan kementerian terkait (Kementerian BUMN dan Kementan) semua terkesan tiarap.
Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa arga pupuk dipengaruhi tiga faktor utama yakni nilai tukar rupiah terhadap dolar, transportasi dan bahan dasar pupuk tersebut. Menurut pengamatan Gulat, ketiga faktor tersebut dalam keadaan normal, kecuali bahan baku yang sedikit naik. Namun hal ini idealnya tidak mengakibatkan harga naik signifikan. “Kami berharap Komisi IV DPR bisa segera memanggil kementerian terkait untuk mengevaluasinya. Ini sudah KLB” ujar dia.
Harga pokok produksi (HPP) TBS petani sewaktu harga pupuk masih normal sebesar Rp794 per kg. “Namun HPP kami sekarang Rp1.350 per kg karena 58% pengeluaran untuk biaya pupuk,” kata Gulat. Alhasil pendapatan petani sawit sekarang hanya Rp815.000/ha/bulan dari sebelumnya Rp1,1 juta/ha/bulan. “Harga TBS sawit Rp3.000 per kg, tapi kami turun pendapatan,” katanya.
Hal ini diakui oleh Sekjen DPP APKASINDO Rino Afrino. Rino menjelaskan bahwa laporan dari petani sawit APKASINDO di 22 provinsi. Kenaikan harga pupuk ini menurutnya merata baik NPK dan tunggal. Kalau harga pupuk tidak terkendali, biaya produksi dipastikan semakin tak terkendali juga.
Lebih lanjut ia mengatakan bahwa kenaikan ini terjadi untuk harga pupuk hampir disemua loco gudang produsen pupuk. Contohnya, harga pupuk NPK Pelangi Pupuk Kaltim naik 72% dari Rp5.5490/ kg menjadi Rp7500/kg. Begitupula pupuk



NPK Mahkota Wilmar naik sekitar 69% dari Rp5.400/kg menjadi Rp7790/kg. “Ya ini tentu saja di sisi lain membuat biaya operasional jadi naik berlipat sehingga untung petani semakin tipis dan bahkan bisa saja rugi,” ujarnya .
Rino mengatakan dari laporan petani Sumut, harga pupuk NPK naik menjadi Rp11.000/kg. Di Mukomuko, Bengkulu, harga KCl semula tertinggi Rp 280 ribu per sak, sekarang sudah mencapai Rp490 ribu per sak dan pupuk urea sudah mencapai Rp390 ribu per sak.
Sementara itu di Kalimantan Selatan, harga pupuk NPK formula 15-15-15 juga naik antara Rp7.500-Rp8.500/kg. Rino menjelaskan kenaikan harga pupuk ini cukup berat bagi petani. Kalaupun harus naik idealnya 10-15% masih bisa kami maklumi. Apalagi trendnya mulai bulan Februari 2021, cenderung naik setiap bulan dan tidak terkendali.
Rino juga menyampaikan bahwa terkait persoalan tersebut sudah dipertanyakan pihaknya ke beberapa Produsen Pupuk mitra APKASINDO. Seperti Wilmar/ Sentana (Pupuk Mahkota), Pupuk Kaltim dan Petrokimia. Semua mengatakan kenaikan harga dikarenakan naiknya harga bahan baku dari luar negeri. Pupuk kimia yang mereka produksi sekarang bahan bakunya sebagian besar berasal dari Impor.
Dari hitungan pihak Apkasindo, kenaikan harga TBS bulan Mei sampai Agustus sangat tidak berarti bagi Petani Sawit, sekalipun harga TBS naik secara signifikan. Dimana setiap kenaikan harga TBS Rp.100/Kg, maka kenaikan itu akan di ikuti oleh naiknya harga pupuk sebesar Rp75/kg. Selama Juli dan Agustus di Riau, kenaikan harga TBS rerata Rp300-Rp400/ Kg, artinya kenaikan itu hanya menyisakan Rp.75/kg ke Petani.
Lebih lanjut ia mengatakan bahwa kenaikan harga pupuk ini merata di di 22 provinsi sentra sawit di mana APKASINDO berada. “Jadi semua merasakannya. Kami paling miris melihat saudara-saudara kami di Provinsi lain yang rata-rata harga TBS nya lebih rendah 20%-30% dari Riau, Sumut, Sumbar dan Kalbar. Seperti di Sulawesi Selatan dan Banten, dimana
RINO AFRINO
Sekjen DPP Apkasindo
kenaikan harga pupuk disana bisa kebalikan dari Riau. Artinya Setiap kenaikan harga TBS Rp100/kg, maka kenaikan tersebut akan terserap oleh harga pupuk sebesar Rp125/kg. Petani jadi tekor,” urai Rino.
“Kami petani sawit tidak cengeng, tapi kalau sudah seperti ini kenaikan harga pupuk, secara hitungan teori apapun pasti gak masuk akal. Harusnya produsen pupuk plat merah (BUMN) tidak ikut-ikutan mengambil untung berlebih, harusnya menjadi benteng penyeimbang harga,” kata Rino.
Rino mengatakan perusahaan pupuk plat merah malahan menyamakan dirinya dengan produsen pupuk swasta. Ini tidak sesuai dengan harapan Presiden Jokowi perihal percepatan pemulihan ekonomi nasional dampak pandemi covid ini. Tingginya harga TBS sebenarnya momentum bagi petani untuk meningkatkan produktivitas melalui pemupukan dan investasi bidang lain.
“Kalau harga pupuk terus meroket. Ya, petani akan kesulitan untuk memupuk dan belanja sebagaimana keinginan Ibu Menkeu. Faktanya pada bulan Juli dan Agustus NTP Petani sawit menurun hampir diseluruh Provinsi Apkasindo akibat meroketnya harga pupuk,” ungkap Rino yang baru menempuh Pendidikan Doktoral Ilmuingkungan di Universitas Riau.
Rino meminta pemerintah dan Komisi IV DPR RI dapat segera turun tangan untuk membantu kendalikan harga pupuk non subdisi khususnya kepada petani sawit. Sebab, petani sawit tidak pernah berdoa mendapatkan alokasi pupuk bersubsidi. Dalam arti, harus berjuang dengan ongkos biaya produksi sendiri untuk memperoleh pupuk berkualitas bagus.
Pada kesempatan yang sama, Sekretaris Direktorat Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian (Ditjen PSP) Kementerian Pertanian (Kementan) Gunawan mengatakan, pemerintah berkomitmen menjaga stok dan keterjangkauan harga pupuk baik subsidi maupun non subsidi untuk meningkatkan produktivitas lahan petani.
Sementara itu Prof Dr Almasdi Syahza, Ketua LPPM (Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat) Universitas Riau menjelaskan bahwa pupuk (variable cost) berkontribusi 60% bagi komponen biaya produksi sawit. Kalau terus naik, keuntungan petani semakin terpangkas bahkan mengarah minus. Saat ini harga TBS sawit sedang tinggi, kondisi ini merangsang petani untuk memupuk. Apabila petani enggan memupuk karena harganya sudah mahal. Imbasnya hasil panen kebun petani bisa turun dalam satu tahun ke depan.

“Dari informasi kami kumpulkan, kenaikan harga pupuk ini sudah dari produsennya, jadi bukan permainan distributor. Alasan produsen atas kenaikan ini karena terjadi kenaikan harga bahan baku yang sebagian besar diimpor. Pertanyaan kami, bahan baku apa yang naik, apakah semua bahan baku pupuk itu di impor?” tanya Almasdi.
Faktanya tidak semua bahan baku pupuk diimpor. Lalu mengapa kenaikannya diatas ambang normal? Almasdi mengatakan lalu seperti apa nasib petani tanaman pangan dan hortikultura yang kenaikan harga produksinya tidak setinggi kelapa sawit. Karena, secara makro kenaikan harga pupuk akan mempengaruhi NTP Petani dan tentu ini berdampak negatif terhadap multiplier effect kelapa sawit. (elf)