6 minute read

SAWIT DISUKAI, SAWIT DIMUSUHI Hal

Next Article
Hal

Hal

Sawit Disukai, Sawit Dimusuhi

Minyak kelapa sawit adalah suatu komoditas primadona bagi Indonesia. Indonesia memiliki luas perkebunan kelapa sawit sekitar 11 juta hektar menjadikan Indonesia sebagai negara dengan produksi sawit paling besar di dunia. Banyak negara yang membutuhkan minyak sawit Indonesia.

Advertisement

Salah satunya ialah negaranegara di Uni Eropa. Uni Eropa menjadi salah satu tujuan ekspor terbesar Indonesia. Jenis yang paling banyak dibutuhkan ialah minyak sawit mentah atau Crude Palm Oil (CPO) yang nantinya akan diolah menjadi produk turunan menjadi seperti makanan maupun campuran biodiesel.

Anehnya, Parlemen Eropa mengesahkan Resolusi Sawit yang berisi pelarangan minyak sawit Indonesia untuk masuk ke Uni Eropa pada tahun 2017. Larangan yang dimaksud ialah minyak sawit yang diperuntukkan untuk bahan campuran biodiesel dengan alasan

bahwa minyak sawit Indonesia tidak ramah lingkungan dan mengancam habitat satwa hutan. Indonesia pun meradang dan menganggap Uni Eropa melakukan “kampanye hitam”.

Indonesia kemudian melakukan upayaupaya diplomasi dengan harapan Parlemen Eropa menghapus kebijakannya tersebut. Sayangnya, upaya diplomasi tersebut hingga sekarang masih belum berhasil. Padahal potensi produk komoditas alam Indonesia seperti sawit amatlah gemilang. Sebab sawit bisa dikonversi jadi bahan makanan, energy dan juga bahan keperlaun lainnya. Kelebihan lainnya sawit hanya bisa tumbuh baik di iklim tropis membuat negara-negara Eropa tak bisa melakukan hal yang sama. Produk minyak nabati mereka jauh lebih besar biaya dan dampak lingkunganya daripada sawit.

Boleh jadi ada kekhawatiran industri minyak nabati mereka bisa kalah saing di pasar internasional. Maka potensi gemilang ini lalu disudutkan dengan kampanye hitam. Menurut Direktur Eksekutif Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Institute (PASPI) Tungkot Sipayung, menjelaskan bahwa kampanye hitam kepada komoditas alam seperti sawit dan produk kehutanan di Indonesia sudah berlangsung semenjak 1980an, ketika perkebunan dan kehutanan mulai berkembang.

Pemerintah harus mewaspadai penurunan daya saing ekspor komoditas alam Indonesia dalam jangka panjang akibat kampanye hitam yang dijalankan secara terstruktur, sistematis, dan masif. Tergerusnya daya saing ini disebabkan serangan kampanye hitam yang ditujukan kepada konsumen agar produk sawit kehilangan market.

“Saat ini, kelapa sawit dan kehutanan diserang kampanye hitam karena menggunakan isu yang mengada-ada dan berlebihan. Beragam isu tadi harus diwaspadai karena dapat menekan daya Indonesia di pasar internasional,” ujar Tungkot dalam keterangan tertulis beberapa waktu lalu. Menurutnya, pola dan isu kampanye hitam berupaya mempengaruhi perilaku orang supaya tidak lagi menggunakan komoditas alam yang merupakan salah satu kekayaan alam Indonesia. Kampanye ini membidik negara-negara konsumen seperti di Eropa, Tiongkok, dan India. Untuk mengubah selera konsumen terhadap sawit misalkan, dikatakan Tungkot, dimunculkan kampanye palm oil free (bebas minyak sawit) di sejumlah produk makanan. Kampanye hitam ini didukung beragam isu yang memojokkan kelapa sawit seperti merusak ekosistem lingkungan, pembakaran secara masif hingga isu eksploitasi masyarakat lokal.

TUNGKOT SIPAYUNG

Perang Dagang dan Politik Dagang

Mengapa tanaman sawit selalu dipojokkan? Selalu dianggap sebagai perusak lingkungan? Ketua Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit (GAPKI) Riau, Jatmiko mengatakan semua itu tak lepas dari perang dagang. Perang kepentingn bisnis sehingga mengorbankan hal-hal yang sebenarnya positif jadi seolah negatif. Menurutnya kampanye hitam (blackcampaign) selama ini begitu sistematisnya dilakukan sehingga tidak saja di pasar luar negeri tapi sudah merasuk juga ke sendisebdi masyarakat kita.

“Ada NGO pemberian makanan penangkaran hewan di beberapa titik di jawa yang mengalami kesulitan pendanaan karena masa pandemi. Sebenarnya PTPN bisa

JATMIKO KRISNA SANTOSA GULAT ME MANURUNG

memberi bantuan karena konsern lingkungan hidup. Tapi ditolak karena sawit dianggap rusak lingkungan,” ujarnya.

Kadang dianggap merusak hutan karena membuka lahan baru untuk sawit. Padahal 1 ton energi yang dihasilan katakanlah dari 6 hektar sawit bila dihasilkan oleh produk nabati lainnya seperti bunga matahatri dengan luas lahan lebih luas dari sawit dengan hasil yang sama.

Menurutnya lagi sawit juga dituding tanaman yang rakus air. “Data ilmiah justru kedelai memerlukan air dari sawit. Repersit dan tebu itu tumbuhan paling menyerap air. Di nasional ikita sendiri banyak stake holder yang tak mau memhami bahwa kekuatan sawit sebagai produksi nasional kita itu banyak positifnya dibanding negatifrnya,” ujar Jatmiko lagi.

Ketua Umum DPP Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (APKASINDO) Gulat Manurung menegaskan kampanye negatif dengan kedok lingkungan selama ini adalah bagian politik dagang internasional. Tujuannya negara importir bisa membeli CPO dengan harga murah. Fakta lain yang perlu diketahui bahwa isu kampanye negatif tentang sawit berbanding lurus dengan impor dari negara-negara UE.

“Ketergantungan Uni Eropa terhadap minyak sawit sangatlah tinggi. Makanya, Eropa ingin membeli UE CPO Indonesia dengan harga semurah mungkin,” tegasnya. Gulat menyatakan Indonesia harus berani menyerang apabila sawit terus ditekan negara lain. Ibaratnya, “berhenti menjadi penjaga gawang” lalu beralih menjadi penyerang. Harus dipahami bahwa sebagian besar minyak kanola dan minyak bunga matahari dihasilkan oleh petani lokal di Eropa.

“Tak terbantahkan bahwa kampanye negatif tentang sawit bagian politik dagang. Produktivitas sawit yang jauh lebih tinggi membuat penggunaan lahan jauh lebih kecil dibandingkan minyak nabati lainnya. Kalau sawit di-phase out akan memicu deforestasi lebih tinggi untuk memenuhi kebutuhan dunia,” pungkas kandidat Doktor Lingkungan ini.

KASAN MUHRI

Sawit, Kekayaan Nasional yang Harus Dijaga

Sementara itu Kepala Badan Pengkajian dan Pengembangan Perdagangan (BP3) Kementerian Perdagangan Kasan Muhri menjelaskan bahwa komodias sawit sebenarnya adalah kekayaan nasional yang bahkan jadi penyangga ekonomi Indonesia di kala pandemic. Harga sawit relative stabil karena memang dibutuhkan baik untuk produk makanan maupun energy.

Menurutnya maraknya kampanye negatif ditujukan untuk menekan daya saing Indonesia di pasar internasional. Lantaran, tingginya produktivitas komoditas dalam negeri seperti sawit yang menjadi ancaman bagi industri yang dihasilkan negara-negara di Uni Eropa.

“Sebenarnya, hambatan nontarif ini bagian persaingan dagang. Sawit, misalnya, ini head to head dengan minyak nabati lain di Eropa seperti minyak kedelai, minyak bunga matahari, dan kanola. Karena, minyak nabati non sawit ini kalah dari segi produktivitas dan harga. Akibatnya sawit terus diganggu dengan kampanye negatif,” jelas Kasan. Kasan juga memaparkan bahwa kontribusi sawit terhadap ekspor non migas sebesar 13,6 persen sepanjang 2020. Capaian ini menunjukkan selama pandemi, industri sawit tetap tangguh. Sebab, kelapa sawit menjadi bagian dari bahan baku produk sektor makanan, kebersihan, dan kesehatan.

Meski demikian, di pasar internasional ekspor sawit Indonesia masih terus menghadapi tantangan dari hambatan non tarif seperti isu lingkungan dan kesehatan yang dikampanyekan sejumlah LSM internasional seperti yang dilakukan Greenpeace, Mighty Earth, Rainforest Action Network (RAN) dan lainnya belakangan ini.

Saat ini, hambatan utama perdagangan sawit masih berasal dari kebijakan nontarif terutama di Uni Eropa. Maraknya kampanye negatif ditujukan menekan daya saing sawit. Lantaran, tingginya produktivitas minyak sawit menjadi ancaman bagi minyak nabati yang dihasilkan negara-negara di Uni Eropa.

“Jadi kita berharap stakeholder di nasional sendiri memahami hal ini dan tidak ikut-ikutan memusuhi kekayaan sendiri karena tak memahami apa yang sebenarnya berlaku,” ujarnya.

Menurutnya ke depan peran media dan juga asosiasi-asosiasi yang bergerak di bidang sawit penting artinya ikut membantu edukasi publik terhadap potensi ekonomi negara yang selalu dituding lewat kampanye hitam itu padahal sebenarnya tiang penyangga ekonomi nasional. (hzn)

Ucapan HUT Riau Asian Agri

This article is from: