Sanskerta Magazine

Page 1

E DI SI KHUSUS PKKMB 2021

MAJALAH HIMPUNAN MAHASISWA ILMU SEJARAH

Memikirkan Kembali Historiografi Indonesia


DAFTAR ISI MAJALAH SANSKERTA

“Dari sejarah kita belajar bahwa kita tidak belajar apa-apa dari sejarah” - Georg Wilhelm Friedrich Hegel -

PERSPEKTIF

HISTORIOGRAFI TERTINDAS

ZAMRUD KATULISTIWA

APA YANG BENARBENAR ‘SEJARAH’?

ATAS NAMA REMPAH

MENCARI MALUKU DALAM SUARA YANG TERBUNGKAM

…………………………….

6

…………………………….

8

…………………………….

OPINI

OPINI

TOKOH

FETISISME ARSIP DAN ARSIP ALTERNATIF

Mengapa Pembahasan Olahraga Penting Dalam Historiografi Sekarang.

MOHAMMAD YAMIN DAN SARTONO KARTODIRJO

…………………………….

13

…………………………….

14

…………………………….

FEATURE

INTIP

SASTRA

MOHAMMAD YAMIN DAN WAJAH GAJAH MADA

NYIMAS GAMPARAN

CERPEN : INGATAN TENTANG IBU

…………………………….

20

…………………………….

23

…………………………….

SASTRA

RESENSI

RESENSI

PUISI : AKU HANYA DUDUK

FILM: THEY CALL ME BABU

BUKU: PENDEKATAN ILMU SOSIAL DALAM METODOLOGI SEJARAH

…………………………….

29

…………………………….

31

…………………………….

10

16

26

32


PENGAN TA R ED ISI K HUS US PKK MB 2021

MEMIKIRKAN MASA DEPAN HISTORIOGRAFI INDONESIA O L EH REDAKTU R PEL AKS ANA

Majalah kali ini kami mengangkat tema Seminar Sejarah Nasional Indonesia I pada Desember 1957, yang diselenggarakan oleh Kementerian Pendidikan, Pengajaran , dan Kebudayaan. Seminar itu dilaksanakan selama empat hari di Universitas Gadjah Mada dan Universitas Indonesia. Seminar tersebut menjadi seminar sejarah pertama sejak Indonesia diproklamirkan sebagai negara. Dalam acara tersebut dimaksudkan untuk menghimpun saran-saran sebagai bahan untuk menyusun sejarah Indonesia secara Ilmiah dan dapat dipertanggungjawabkan. Acara tersebut digagas oleh Sarino Monggoen Pranoto yang saat itu menjabat sebagai menteri pendidikan, pengajaran dan kebudayaan. Menurut Sarino Monggoen Pranoto, sejarah adalah salah satu dasar pengajaran yang dapat memberi pendidikan kepribadian suatu bangsa. Pendidikan kepribadian suatu bangsa dapat memberikan dasar-dasar kebudayaan dalam kehidupan masyarakat dan akan membentuk suatu identitas masyarakat melalui pengetahuan akan masa lalu. Seminar sejarah tahun 1957 dianggap sebagai tolak awal historiografi Indonesia karena berhasil meletakan dasar-dasar historiografi dan periodisasi sejarah nasional Indonesia. Menurut kami tema tersebut menarik untuk diangkat karena Seminar sejarah tersebut sangat penting untuk historiografi Indonesia. Tulisan-tulisan di dalam majalah kali ini berisi penjelasan mendetail tentang Seminar sejarah nasional 1957 serta masalah-masalah historiografi Indonesia dewasa ini. Pada majalah ini kami mengajak pembaca untuk memikirkan kembali historiografi Indonesia dan menilik masa depan historiografi Indonesia. Kemudian melihat kembali proses perkembangan historiografi Indonesia yang terus mengalami perkembangan. Salah satu perkembangan dalam historiografi Indonesia adalah perubahan perspektif dari Eropasentrisme ke Indosenstrisme. Dalam tulisan ini juga kami ingin mengajak para pembaca untuk mengapresiasi dan menilik kembali kehidupan para tokoh-tokoh penggagas historiografi Indonesia melalui biografi. Kami berharap tulisan-tulisan dalam majalah edisi pertama ini akan memberikan manfaat bagi para pembaca dalam menambah wawasan terutama tentang historiografi Indonesia. Kami tentunya menyadari bahwa majalah edisi pertama ini masih sangat banyak kekurangan, karena itu kami mohon maaf atas kekurangan yang ada. Upaya perbaikan akan kami lakukan terus menerus untuk memperbaiki kualitas majalah pada edisi berikutnya. Serta tak lupa juga kami ucapkan terima kasih kepada seluruh kontributor yang telah mendukung majalah edisi kali ini. Akhir kata selamat membaca, tetap semangat berkarya untuk kita semua. VIVA GESCHICHTE! Penanggung Jawab Flamboyan Dwi Cahyo Pemimpin Redaksi Raihan Risang Anugerah Pratama Editor Irvan Maulana, Artaqi Bi Izza Al Islami Sekretaris Fadhila Husna Asri Bendahara Juwita Panggabean Redaktur Pelaksana Astam Mulyana, Muhammad Eno Al Ikhsan Cover & Ilustrator Maytri Zahra Saraswati, Raymizard Alifian Firmansyah Layouter Raymizard Alifian Firmansyah Kontributor Amos, Raymizard Alifian Firmasyah, Irvan Maulana, Artaqi Bi Izza Al Islami, Juwita Panggabean, Astam Mulyana, Muhammad Eno Al Ikhsan, Faras Pradana, Fajar Wahyu Sejati, Mohamad Ichsanudin Adnan

M AJ AL AH S AN SK ERTA

3

E D I S I K HUS US P KK M B


Ilustrasi dibawah menggambarkan historiografi agraris yang digambarkan seorang petani dan historiografi maritim yang digambarkan seorang nelayan. Dengan bukunya yang berjudul “Pemberontakan Petani Banten 1888”, Sartono Kartodidjo memberi narasi baru dalam historiografi yang sebelumnya hanya menceritakan kisah raja-raja. Seiring berjalannya waktu, Adrian Bernard Lapian dengan bukunya yang berjudul “Orang Laut, Bajak Laut, Raja Laut” memberi narasi baru tentang memperkenalkan dunia maritim Indonesia. DANIEL VICKERS. 1994. FARMERS AND FISHERMEN: TWO CENTURIES OF WORK IN ESSEX COUNTRY, MASSACHUSETTS, 1630-1850. NORTH


HISTORIOGRAFI AGRARIS VIS A VIS

HISTORIOGRAFI MARITIM


P E R S PE K T I F

KIRIMAN PEMBACA

APA YANG BENARBENAR ‘SEJARAH’? OLEH AMOS

Seorang siswa dan siswi yang lolos ke perguruan tinggi telah melewati dua belas tahun belajar sejarah. Pelajar SD pun tahu bahwa 17 Agustus 1945 proklamasi kemerdekaan dibacakan, pelajar SMP pun tahu bahwa Kerajaan Majapahit punya angkatan perang maritim yang hebat, pelajar SMA pun tahu bahwa Soeharto mengawali Orde Baru dengan berbagai strategi politik oportunis. Tapi, apakah semua pembelajaran sejarah belasan tahun itu adalah "sejarah" yang benar-benar sejarah? Apakah "sejarah" yang benar-benar sejarah itu? Apakah tanggal-tanggal, nama tokoh, dan peristiwa adalah "sejarah" yang benar benar sejarah? Pertanyaan besar dalam tulisan ini sederhana sekali, yaitu: "Apakah sejarah yang benar benar "sejarah" itu? Siapakah yang berhak diceritakan dalam sejarah? Siapakah yang menggerakkan sejarah? Apa sejarah hanya soal tanggal, nama tempat, nama tokoh, dan peristiwa? Apa sejarah hanya soal orang-orang penting? Apakah hanya soal kekuasaan, angkatan bersenjata, presiden, parlemen, dan raja? Apakah budak, tukang becak, kuli, budak, gundik, pelacur, dan anak-anak memiliki sejarah?" Menurut G. W. F. Hegel, sejarah yang benarbenar "sejarah" adalah sejarah yang dimaknai dan direfleksikan. Dalam bahasa Jerman, sejarah memiliki beberapa sinonim, beberapa diantaranya adalah historie dan geschichte. Hegel dalam pemikirannya menyebutkan sejarah sebagai "geschichte". Maka, sejarah bagi Hegel bukanlah sebatas "historie" atau dalam bahasa lain: "Sejarah bukanlah sebatas tanggal, nama tokoh, nama tempat, dan peristiwa saja". Hegel bilang bahwa sejarah adalah soal jiwa (geist), jiwa itulah yang menjadi penyebab orangorang memerdekakan bangsanya, penyebab pemimpin negara membunuh masyarakatnya, penyebab sejarah bergerak. Sejarah yang tidak direfleksikan (historie) adalah sejarah yang hanya melihat dunia sebagai

M AJ AL AH S AN SK ERTA

6

runtutan tanggal kejadian, melihat Indonesia sebagai runtutan 1910 - 1928 - 1945 - 1959 - 1966 - 1998. Melalui sejarah sebagai hal yang direfleksikan (geschichte), kita dituntut keluar dari tanggal-tanggal dan peristiwa semata. Tepatnya, "sejarah" konvensional yang selama dua belas tahun diajarkan dan membuat pelajar menguap semenit dua kali karena mengantuk. Apakah sejarah yang membosankan itu adalah sejarah yang benar benar sejarah? Apakah yang bisa dipelajari dalam sejarah yang membosankan itu? Kami harap pembaca bisa menyimpulkan sendiri. Itulah kenapa Hegel bilang bahwa manusia itu tidak pernah benar benar belajar dari "sejarah". Tidak mungkin terdapat sebuah kemajuan dalam sejarah yang tidak direfleksikan dan dimaknai. Itulah kenapa sebuah negara tidak maju, itulah kenapa sebuah masyarakat mundur, dan itulah kenapa sebuah peradaban hancur. Sejarah yang benar-benar "sejarah" memaksa kita untuk melihat segala sesuatu dari banyak sudut pandang. Dan yang terlebih penting, melihat dan memaknai sejarah dari perspektif orang-orang yang dianggap "tidak memiliki sejarah". Dari penulisan sejarah tradisional, kolonial, dan modern, banyak kalangan yang dicap sebagai orang-orang yang kalah dan tidak pantas memiliki sejarah. Dari penulisan sejarah tradisional HinduBudha dan Islam, kita hanya diperkenalkan kisah-kisah kejayaan kerajaan Majapahit, Sriwijaya, Mataram, dan bahkan Keraton Yogyakarta. Namun, narasi-narasi “elit” itu tidak menjelaskan tentang kehidupan orang “alit”. Dalam sejarah Majapahit, sejarah hanya membicarakan Raden Wijaya yang berhasil mengusir orang-orang Mongol dari Jawa. Namun sejarah tidak membicarakan bagaimana Gayatri Rajapatni dan Tribuana Tunggadewi sebagai ratu atau pemimpin perempuan yang memerintah di Majapahit.

E D I S I K HUS US P KK M B


Dalam sejarah Mataram Islam dikisahkan pula bagaimana Sultan Agung yang dianggap pahlawan menaklukan wilayah pantai Jawa Utara seperti Tuban, Pati, Gresik, dan Surabaya sebagai suatu pembenaran bagi kesultanan agraris yang ingin memerangi pusat kekuasaan VOC di Batavia. Namun sejarah tidak pernah benar-benar menjelaskan bagaimana penyerangan itu membuat surutnya perdagangan dan perniagaan di Pantai Utara Jawa. Kisah serupa pada zaman Sunan Pakubuwana II dari Surakarta yang menyerahkan seluruh pelabuhan dan pusat perniagaan di Jawa Utara kepada VOC hanya karena kepentingan mempertahankan kekuasaan semata. Dalam sejarah Maluku, narasi sejarah hanya menceritakan kejayaan rempah dan kejayaan Ternate yang berhasil mengusir Portugis dari tanah moyangnya. Namun hanya sedikit sejarawan yang sadar akan pentingnya membebaskan masyarakat Maluku Pinggiran, hal bahkan tidak dituliskan dalam laporan VOC. Bagaimana 10.000 pohon cengkih dan tanaman rakyat di Kepulauan Seram dibabat habis, bagaimana ratusan orang Banda dibantai dan belasan ribu lainnya dikirim ke Batavia untuk dijadikan budak. Dalam sejarah Bugis, narasi sejarah hanya menceritakan bagaimana Sultan Hasanudin memerangi VOC, namun sejarah seolah-olah lupa bagaimana kisah Arung Palakka dengan membela rakyat Bone yang dikerja paksakan oleh Kesultanan Gowa. Meski hal ini menjadi topik yang perlu dikaji ulang, namun kita dapat mengetahui keberpihakan dalam sejarah. Dalam sejarah perniagaan pada abad ke-17 bukan hanya rempah yang memenuhi komoditas perdagangan kala itu. Namun sejarah sedikit menceritakan tentang budak - budak yang didatangkan dari Bali dan menjadi primadona di Batavia. Dalam sejarah kemerdekaan Indonesia, mungkin hanya narasi kemenangan akan terbentuknya negara baru. Namun kita tidak benar-benar tahu bagaimana beberapa sultan dan penguasa lokal di Sumatera Utara, sebagian Kalimantan, dan bahkan di Jawa dibunuh akibat Revolusi Sosial. Dalam kisah soal Orde Lama, kita

M AJ AL AH S AN SK ERTA

disajikan fakta tentang pembangunan monumen, kemajuan kebudayaan, dan politik Indonesia yang independen. Tetapi tidak banyak dikisahkan bagaimana penduduk di kampung-kota Jakarta hidup kesulitan setiap hari, bagaimana politik kelas menengah begitu rakus dan egoistik, bagaimana pemukiman kumuh di kawasan urban semakin banyak karena kebijakan ekonomi yang tersentralisasi. Tidak banyak dikisahkan bagaimana Soekarno begitu digugat oleh gerakan perempuan karena reduksi politik yang dilakukan pada gerakan perempuan. Tidak banyak dikisahkan bagaimana pejabat pejabat menengah melakukan korupsi besar-besaran dan krisis ekonomi datang sebagai bencana bagi kaum marjinal. Dalam narasi sejarah Orde Baru, banyak kisah tentang kejayaan dan pembangunan. Banyak pembenaran-pembenaran tentang bagaimana Pancasila berhasil menumpas komunis. Namun tidak banyak sejarah yang mencatat bagaimana ratusan ribu orang dibunuh, ratusan perempuan disiksa secara seksual, ribuan anak kehilangan orang tua, masyarakat adat digusur, golongan "kritis" diculik, dan penderitaan hanyalah menjadi kumpulan statistik yang dibaca dalam ensiklopedia. Runtutan sejarah yang pembaca lihat dalam tulisan ini bukanlah jawaban melainkan pantikan, karena "sejarah" yang benar benar sejarah bukanlah kebenaran final yang absolut dan mutlak. "Sejarah" yang benarbenar sejarah itu tidaklah sederhana dan mudah dipahami. Pada akhirnya sejarah yang benar-benar "sejarah" itu adalah "misteri". Ia harus selalu digugat, dicari, digali, dan didalami dalam sebuah usaha yang tak henti-henti. Hegel menyebut proses ini sebagai dialektika, yaitu sebuah proses dimana kita mencari kebenaran dalam perdebatan, gugatan, polemik, dan perbincangan yang mendalam. Tulisan ini tidak bisa menjawab runtutan pertanyaan tentang sejarah yang benar-benar sejarah itu. Justru kitalah yang harus mendefinisikan, mencari, dan menemukan dalam petualangan dialektis selama bertahun-tahun kedepan.

7

E D I S I K HUS US P KK M B


H ISTOR IO GRAFI ORANG TER TINDAS

Atas Nama Rempah Dari ratusan rakyat Banda yang dibunuh, belasan ribu lainnya dikirim ke Batavia untuk dijadikan budak. Sisanya berusaha menyelamatkan diri dengan menyeberangi laut dan memilih menetap di kepulauan terdekat, seperti Seram, Kei, hingga Serua dan Aru. Orang-orang terusir itu harus menjadi aib bagi arsip-arsip kolonial. Bahkan peristiwa pembantaian itu hanya terpusat pada elit minoritas lokal.

M AJ AL AH S AN SK ERTA

8

E D I S I K HUS US P KK M B


Litografi tempat berlabuh kapal di Banda Neira karya Josias Cornelis Rappard (18241898) tahun 1883. T R OPPEN MU SEU M

M AJ AL AH S AN SK ERTA

9

E D I S I K HUS US P KK M B


ZAMRUD KHATULISTIWA

Gambaran Pulau Ambon karya Isaac Commelin (1598-1676) tahun 1646. Joannes Janssonius via Internet Archive

Mencari Maluku dalam Suara yang Terbungkam O L E H R A Y M I ZA R D A L I F I A N F I R M A N S Y AH

Dengan ini rempah bukan lagi anugerah tuhan untuk mensejahterakan, namun sebagai suatu benda yang mengundang kekacauan bagi Maluku. Nusantara adalah gugusan kepulauan yang kaya akan keragaman flora dan fauna. Atas kekayaan yang dikandungnya, membuat ujung jarum kompas dunia tertuju pada Nusantara. Rempah telah berhasil membuat perubahan baru bagi cita rasa masakan dunia sejak diperdagangkan melalui Jalur Sutra. Oleh karenanya rempah menjadi tujuan utama para pedagang Cina, Arab, dan bahkan Eropa. Di kaki gunung Gamalama tumbuhlah pohon cengkih (eugenia aromatica) yang sangat berharga bagi masyarakat Ternate. Tak jauh di selatan Ternate tepatnya di Kepulauan Banda, tumbuhlah pohon pala (myristica fragrans) yang dianggap sebagai pohon surga. Selain pala dan cengkih, fuli (bunga pala) juga menjadi pelengkap 'trinitas' rempah Maluku yang mendunia. Bahkan Giles Milton menggambarkan

M AJ AL AH S AN SK ERTA

bahwa aroma rempah dari Kepulauan Maluku dapat dicium sebelum pulau itu dapat dilihat. Keberadaan trinitas rempah Maluku membuat Portugis berlayar jauh memutari benua Afrika dan berhasil tiba di Banda serta Ternate setelah menaklukkan Goa dan Malaka. Tidak ingin tertinggal dari Portugis, Spanyol memerintahkan sisasisa armada Magellan untuk mencari keberadaan kepulauan rempah dengan memutari Amerika Selatan yang kemudian berhasil tiba di Tidore. Setelah Belanda berhasil memerdekakan diri dari Spanyol, Jacob van Neck berhasil tiba di Maluku dan membawa keuntungan sebesar 400% bagi Belanda. Dengan tibanya para pelaut itu, Maluku benar-benar menjadi pusat perdagangan dunia.

10

E D I S I K HUS US P KK M B


Dibalik kemasyuran perdagangan rempah, para pelaut Eropa berupaya mendapatkan hak monopoli perdagangan rempah dengan menggunakan segala cara. Dalam upaya itu, Portugis dan Belanda menggunakan berbagai kekerasan untuk memuluskan rencana. Gubernur Jenderal Portugis sempat bertindak kejam terhadap rakyat Bacan, Jailolo, dan Tobona. Tindakan itu berhasil membuat rakyat setempat mengalami trauma secara psikologis. Belanda yang berhasil mengusir Portugis dari Maluku juga berperilaku serupa, namun lebih ofensif. Guna mendapatkan monopoli atas cengkih dan pala, Belanda membantai rakyat Banda dan memberlakukan Ekspedisi Hongi. Dari ratusan rakyat Banda yang dibunuh, belasan ribu lainnya dikirim ke Batavia untuk dijadikan budak. Sisanya berusaha menyelamatkan diri dengan menyeberangi laut dan memilih menetap di kepulauan terdekat, seperti Seram, Kei, hingga Serua dan Aru. Setelah berhasil mengusir rakyat Banda dari tanah moyangnya, Belanda merepopulasi Banda dengan mendatangkan budak dan mengubah Banda sebagai sentral perkebunan pala di Maluku. Dengan begitu komoditas pala sepenuhnya menjadi milik kompeni Belanda. Ekspedisi Hongi juga melakukan banyak kekerasan terhadap rakyat Ambon, Seram, Sula, hingga Aru. Namun sasaran dari ekspedisi ini bukan hanya para pemberontak lokal, tapi juga pohon-pohon cengkih rakyat. Ekspedisi ini menebang puluhan ribu cengkih rakyat untuk menjaga harga cengkih tetap tinggi. Sebagai gantinya produksi cengkih hanya dipusatkan di pulau Ambon, Saparua, Haruku, dan Nusalaut. Usai terjadinya genosida dan repopulasi Banda oleh kompeni Belanda. Masyarakat Banda ‘yang baru’ telah menggeser peran penduduk asli yang telah ribuan tahun menghuni kepulauan itu. Memang pada kenyataannya banyak dari peneliti yang kesulitan mengidentifikasi aspek asli (indigenous) Banda. Namun, tergesernya peran penduduk asli dalam hal ini memicu timbulnya kebudayaan baru yang secara tidak sadar mengubah pola kebudayaan lama. Dalam konteks ini bagaimana Banda memandang pala. Begitu pula apa yang dirasakan penduduk Maluku pinggiran lainnya memandang cengkih. Sejak Ekspedisi Hongi dijalankan banyak penduduk yang mencoba sekeras mungkin membuang memori kolektifnya akan cengkih. Cengkih bukan lagi anugerah tuhan untuk mensejahterakan mereka, namun menjelma sebagai suatu benda yang mengundang kekacauan bagi Maluku. Bencana kelaparan dari Seram hingga Hamoal, dapat disimpulkan bahwa sejarah rempah adalah sejarah tentang kekerasan.

M AJ AL AH S AN SK ERTA

Atas keterpurukan berkepanjangan ini secara perlahan menjadi konstruksi akal mereka (baca: Maluku) memandang budayanya. Hegemoni kultural yang terbentuk atas datangnya la conquistadores (para penakluk) ini juga membuat Maluku melupakan cara pandang adat istiadat memandang rempah. Perdagangan tak sehat ini pula menjadikan masyarakat Maluku pinggiran sebagai korban yang kalah sejak dalam pikiran. Konstruksi pemikiran masyarakat yang kalah ini terkaburkan dalam memahami jati diri mereka sendiri. Sebagai contoh, orang Jarjui (Aru) menganggap kekayaan daerahnya berasal dari kapal orang asing yang karam, orang Tobelo bahkan tidak mengenal budaya aslinya, dan orang Sahu bahkan menganggap padi yang berada di daerahnya telah ada sejak zaman nenek moyangnya. Contoh lain yang berasal dari Ternate yang sempat menjadi daerah superior Maluku, berdasarkan arsip Portugis sultan Ternate menyerahkan tanah beserta isinya (vasal) kepada raja Portugis. Menurut pendapat Argensola, Ternate ingin menjadi vasal Portugis karena memang telah menjadi nubuat bagi Ternate. Dapat disimpulkan bahwa narasi ini merupakan salah satu kekerasan kultural (memicu rusaknya perjanjian Moti) yang menyatakan bahwa Portugis merupakan kekuatan superior. Tentunya pemahaman seperti ini dikonstruksikan setelah Portugis berhasil menguasai perdagangan cengkih di Ternate. Dalam keseluruhan rangkaian proses ini, membuat rakyat setempat menemukan diri mereka sebagai penonton pasif di tanah leluhurnya. Jika kita melihat kondisi budaya tak benda Maluku masa kini, banyak masyarakat Maluku yang telah melupakan aspek asli dari wilayahnya. Menurut hasil penelitian Roem Topatimasang, terjadi penyingkiran masyarakat adat dan budaya di Maluku pinggiran. Orang-orang Tobelo, Sahu, Modole, dan Sawai sebagai etnis yang berada di Halmahera, telah menjadi korban atas penyingkiran masyarakat adat atas penanaman nilai-nilai asing di luar aspek keasliannya. Orang-orang Bacan tetap menjadi pecundang dalam lingkaran moloku kie raha, menjadi salah satu kerajaan berdaulat tak menjadikannya memiliki legitimasi. Orang-orang Buru telah kehilangan jati diri, dan masih saja menganggap mereka bagian dari serpihan kekayaan asing dalam suatu kosmik kejayaan rempah. Orang-orang Huaulu yang merupakan suatu masyarakat yang menjadikan alam sebagai bagian darinya, namun kini telah terlepas dari ajaran aslinya. Pola yang sama tetap dapat ditemukan dalam masyarakat lainnya, seperti Waemale hingga Kei dan Aru di timur.

11

E D I S I K HUS US P KK M B


OPINI

LEOPOLD VON RANKE

M AJ AL AH S AN SK ERTA

12

E D I S I K HUS US P KK M B


Fetisisme Arsip dan Arsip Alternatif OLEH RAYMIZARD ALIFI AN FIRMANSYAH

Sejarawan mungkin banyak menganggap arsip tertulis adalah harta karun yang amat berharga. Arsip pada umumnya hanya menjelaskan bagaimana kisah-kisah raja dan ratu, bangsawan, dan orang-orang besar. Lalu muncul suatu pertanyaan yang harus dijawab dan disepakati bersama, yaitu: “Jika arsip hanya membahas orang-orang besar lalu bagaimana orang-orang orang kecil seperti budak, petani, nelayan, atau tukang becak? Bukankah mereka juga harusnya memiliki sejarah?” menjawab pertanyaan ini kita harus mundur dua abad sebelumnya. Anggapan arsip tertulis adalah harta karun bermula pada pemikiran positivistik Leopold von Ranke yang mengatakan “no written document, no history”, ini berarti sejarah yang kita pelajari adalah kumpulan fakta yang dinarasikan. Lalu muncul pertanyaan lagi, “Apakah kajian sejarah kita tertinggal selama dua abad?”, bisa anda simpulkan sendiri. Dewasa ini muncul banyak narasi-narasi metahistori yang mengkritik fenomena sejarah yang usang. Bahkan kini itu, namun bagaimana narasi atas fakta itkita seharusnya tidak hanya berfokus kepada fakta yang dinarasikan u dilabeli kebenaran. Dalam studi kasus, saya menemukan beberapa kejanggalan terhadap arsip-arsip Portugis Dalam Manuel tahun 1518 yang berjudul Carta do Rei de Ternate a El-Rei D . Manuel tercatat “karena tanah (Ternate) dan semua yang berada didalamnya adalah milik anda (Raja Muda Portugis)”. Arsip kolonial mengurangi dikotomi-dikotomi sederhana ini melalui pengungkapannya atas logika yang rumit ini dan resiprositas hasrat. Itu menunjukkan bahwa kesengsaraan si terjajah, paling tidak sebagian, dibentuk dan diperumit oleh paksaan untuk mengembalikan pandangan yang menyidik atas Eropa. Dalam Simposium Internasional Rijksmuseum yang bertajuk “Slavery and Slave Trade”, Stanley H. Griffin mengatakan bahwa ketika kolonial menulis laporannya dalam bentuk jurnal atau dokumen, kaum marginal mengekspresikannya lewat tari-tarian, musik, dan bercerita. Penyanyi, musisi, penari, dan bahkan

M AJ AL AH S AN SK ERTA

13

pemimpin suatu komunitas adalah pusat dari kreasi, penyebaran, dan kelestarian dari suatu informasi, yang kuantitasnya sama dengan apa yang diceritakan dengan tinta dan kertas. Namun banyak sejarawan yang terlalu terjebak dalam fetisisme arsip dan terlalu positivistik dalam mengartikulasikan suatu fenomena atau peristiwa. Itu adalah sebuah politik atas memori yang menjadi ciri pemikiran poskolonial, di mana pengetahuan didefinisikan oleh hegemoni yang diekspresikan dalam bentuk atau format Eurosentris. Di mana yang liyan disebut sebagai kebisingan atau omong kosong. Ini terbukti ketika sejarawan dihadapkan dengan dua sumber lisan dan arsip, di mana sejarawan akan merespon sumber lisan sebagai suatu sumber yang perlu banyak kritik, namun tidak dengan arsip yang sering diasumsikan sebagai kebenaran. Tentu ini menjadi suatu ‘kemandegan’ dalam wacana kesejarahan, dimana masih ada keberpihakan dan buta akan penalaran. Seharusnya sejarawan dapat membebaskan masyarakat yang tidak memiliki suara dalam sejarah, bukan malah mendengarkan narasi glorifikasi semata. Sebagai contoh yang menarik seperti penyanyi dan tarian Gamo dari Addis Ababa, para penyanyi mengekspresikan kesedihan yang mereka alami. Tarian dan nyanyian ini telah ada di Ethiopia sejak abad ke-18 dan 19, bercerita tentang seorang istri yang suami dan anaknya dibunuh oleh penguasa daerahnya. Tarian serupa berada di Indonesia Timur bagian selatan, tepatnya di Pulau Serua hingga Pulau Masela, tarian ini bernama Tari Ehe Lawn mengisahkan tentang pelarian penduduk Kepulauan Banda atas peristiwa genosida oleh VOC, dalam tarian ini digambarkan orang yang sedang mendayung perahu.

E D I S I K HUS US P KK M B


OPINI

Mengapa Pembahasan Olahraga Penting Dalam Historiografi Hari Ini? O L E H FA JAR W AH YU S E JA TI

Sejarah bukan hanya menyoal tentang masa lalu yang dibahas. Tetapi juga dapat mengandung sebuah pembelajaran. Adanya sejarah dapat digunakan untuk menentukan arah dimasa selanjutnya. Dan, sangat penting bagi sebuah kemajuan untuk menengok ke masa lalu. Artikel opini ini merupakan wujud cinta kasih terhadap olahraga yang ada di Indonesia. Negara dengan jumlah penduduk terbanyak ke-4 di dunia dan banyaknya olahraga yang berkembang dan membanggakan negara. Haruslah menjadi bahasan baik dalam historiografi. Artikel ini juga sebagai refleksi dari Seminar Sejarah 1 tahun 1957 di Universitas Gadjah Mada, yang berkaitan dengan nasionalisme dan arah historiografi Indonesia. Mengenai hal ini, saya berpendapat bahwa kemajuan olahraga nasional dengan memompa motivasi dahulu melalui historiografi. Motivasi nasionalisme yang berasal dari kisah heroik armada olahragawan yang berhasil membanggakan bangsa dan negara diceritakan dalam kisah historiografi yang jujur dan objketif. Sebelum saya membahas hal ini, alangkah baiknya saudara mendengarkan dulu narasi dari Bung Helmy Yahya di channel Youtube beliau. Bahasan yang beliau bawa adalah 12 Olahragawan Terbaik Indonesia Menurut Saya!. Pembahasan yang akan saya bawa, akan sangat berkaitan dengan ceramah berbobot dari beliau. Bung Helmy dalam video tersebut berkata bahwa ada tiga hal yang dapat membuat bendera Indonesia berkibar di luar negeri, yaitu di gedung PBB, gedung kedutaan, dan disaat atlet Indonesia memenangkan kejuaraan. Dari penyataan bung Helmy tersebut, saya merasa tersadarkan bahwa olahraga dan nasionalisme saling berkaitan. Saya rasa hal demikian menjadi sebab perlunya historiografi olahraga dikembangkan. Tercatat banyak sekali atlit Indonesia yang mampu memenangkan kejuaraan di luar negeri, dimana bendera kita juga berkibar dengan gagahnya. Olahraga

M AJ AL AH S AN SK ERTA

14

terbukti mampu menumbuhkan rasa nasionalisme kebangsaan masyarakat. Ketika atlet Indonesia bertanding, tak jarang banyak suporter juga meneriakkan yel-yel Indonesia dengan membawa bendera kebangsaan. Saya sempat mengalami kontra terhadap pernyaataan ini. Bagaimana bendera dapat mengukur rasa nasionalisme. Setelah itu, saya menemukan jawaban dari kontra tersebut. Memang bendera tidak dapat mengukur rasa nasionalisme seseorang, tetapi dengan bermain sebagai pemain dibawah panji merah putih dan mendukungnya dengan meneriakkan semangat Indonesia dan membawa bendera—sudah menunjukkan identitas nasional Indonesia. Banyak kisah yang dapat diangkat masuk kedalam pembahasan historiografi nasional. Cabang olahraga Bulutangkis misalnya, jika kita menuliskan historiografinya berulang kali mengharumkan nama bangsa Indonesia. Kejuaraan dunia hingga Olimpiade berhasil Bulutangkis rengkuh. Selain itu, mengutip dari R.N. Bayu Aji dalam Nasionalisme dalam Sepak Bola Indonesia Tahun 19501965 (2013) bahwa Soekarno berpandangan bahwa olahragawan merupakan wakil bangsa dalam kejuaraan. Prestasi olahraga, dalam konteks sumbernya membahas mengenai sepakbola Indonesia memberikan gambaran bagaimana tim sepakbola Indonesia cukup disegani oleh lawan-lawannya. Pada cabang olahraga sepakbola misalnya, kita pernah mencapai babak semifinal Asian Games dan masuk olimpiade. Tercatat kita mampu mendapat peringkat ketiga di Asian Games 1958 dan semifinal di Asian Games 1954. Sedangkan di Olimpiade, meskipun berbau politis dalam langkah lolosnya Indonesia, setidaknya pada laga melawan Rusia berhasil memberikan perlawanan meskipun kalah 4-0 setelah pada laga pertama skor imbang 0-0.

E D I S I K HUS US P KK M B


Penulisan historiografi olahraga juga sebagai motivasi. Motivasi untuk percaya bahwa kita adalah bangsa yang berprestasi dalam bidang olahraga. Menumbuhkan motivasi nasionalisme dari olahraga bagi saya adalah hal yang harus dikembangkan. Supaya kisah nasionalisme dalam historiografi nasional menjadi beragam. Masih sangat jarang yang mengangkat pembahasan khusus mengenai olahraga dalam historiografi nasional. Biasanya peristiwa olahraga terangkat kembali dalam sebuah pembahasan umum, seperti di koran dan buku pelajaran. Pembahasan khusus masih sangat diperlukan. Narasi mengenai peristiwa membanggakan olahraga di masa lalu, biasanya dimuat ketika turnamen atau kejuaraaan akan digelar kembali. Bisa jadi juga, ketika terjadi peristiwa yang menyangkut atlet yang pernah membawa nama Indonesia di pentas Internasional. Sudah banyak contoh kasus seperti ini. Mengambil contoh yang paling dekat adalah event Olimpiade Tokyo 2020. Kenangan akan tradisi medali Indonesia, khususnya Bulutangkis dan Angkat Besi pada gelaran di Rio 2016 kembali menjadi bahasan. Bahkan, olimpiade yang telah lalu juga

M AJ AL AH S AN SK ERTA

menjadi bahasan. Menunjukkan suatu kenangan yang terangkat kembali mendekati event besar tersebut. Peristiwa yang besar ini sangat mengandung makna nasionalisme yang tinggi. Nasionalisme yang terangkum dalam perjuangan atlet dan pendukung demi satu panji: Indonesia. Tak luput juga peran serta dari tim maupun pendukung yang hadir, yang mana menunjukkan cinta tanah air mereka. Sebagai bagian dari paragraf penutup, saya menekankan bahwa penulisan sejarah olahraga Indonesia harus gencar dilakukan. Saya sendiri merasa sebagai mahasiswa sejarah yang telat sadar, betapa olahraga juga berjalan bersama dengan perkembangan Indonesia. Kisah nasionalisme dalam perjuangan mereka dapat dijadikan pembelajaraan dan motivasi. Bagi saya, varian sejarah olahraga akan menyegarkan dalam historiografi Indonesia. Kita sudah dapat banyak mengenai perang, revolusi, kerajaan, hingga pemberontakan. Bahwa selain memenangkan diplomasi dan pertempuran atau mengatasi pemberontakan, bangsa ini juga memiliki hal lain yang patut dibanggakan yaitu dalam bidang olahraga. Salam olahraga kawan-kawan semua!

15

E D I S I K HUS US P KK M B


TOKOH

Mohammad Yamin O L E H AR TA QI BI I Z ZA AL I SL AMI

Kampus Universitas Gadjah Mada menjadi saksi bisu dari perdebatan yang menarik antara Muhamad Yamin dan Soejatmoko tentang filsafat sejarah nasional. Perdebatan ini berlangsung dalam sebuah perhelatan akademik pertama dari para perintis historiografi Indonesia yang berlangsung 60 tahun yang lalu tepatnya pada 14-18 Desember 1957. Dalam pertemuan akademis yang kemudian dikenal sebagai “Seminar Sejarah Nasional I“ ini, Muhamad Yamin memresentasikan poin-poin pemikiran filsafat sejarah nasionalnya yang ia sebut sebagai "Catur-Sila Khalduniah", yaitu empat dalil filsafat kesejarahan yang dirujuk dari seorang filsuf sejarah besar Islam, Ibnu Khaldun. Mohammad Yamin lahir di Talawi, Sawahlunto, di jantung Minangkabau di pulau Sumatera. Ia adalah anak dari Tuanku Oesman Gelar Baginda Khatib. Oesman memiliki lima istri yang dengannya dia memiliki enam belas anak, termasuk Mohammad Yaman Rajo Endah, yang tertua, seorang pendidik; Achmad Djamaluddin, seorang jurnalis; dan Ramana Oesman yang merupakan pelopor korps diplomatik Indonesia.

Yamin adalah seorang sejarawan, penyair, dramawan, dan politisi. Ia menempuh pendidikan di Algemene Middelbare School (AMS) di Yogyakarta, mengambil jurusan sejarah dan bahasa-bahasa Timur Jauh, termasuk Melayu, Jawa, dan Sansekerta. Setelah lulus pada tahun 1927, ia melanjutkan studi hukum di Rechtshogeschool di Batavia. Rechtshogeschool, yang didirikan pada tahun 1924, merupakan cikal bakal Fakultas Hukum yang kemudian menjadi Universiteit van Indonesie, yang berganti nama pada tahun 1950 menjadi Universitas Indonesia, perguruan tinggi terkemuka di negara ini. Yamin meraih gelar doktor di bidang hukum (meester in de rechten) pada tahun 1932. Sebelumnya pada tahun 1928, Muhammad Yamin, menampilkan drama berjudul Ken Angrok dan Ken Dedes pada acara Kongres Pemuda. Naskah ini, didasarkan atas pembacaan dua naskah kuno Jawa: Desawarnana (Negarakartagama) dan Pararaton. Pembuatan karya-karya ini, sebagaimana dikatakan oleh Dr. Andries Hans Teeuw, didasarkan pada kajian yang dilakukan oleh para orientalis Belanda. Drama ini merupakan publikasi sastra yang menampilkan teguran kepada para intelektual pribumi yang sebagian besar berbahasa Belanda. Apa yang disampaikan oleh Muhammad Yamin adalah sebuah upaya untuk menafsir masa lalu Indonesia dengan menunjukkan bahwa kejayaan Indonesia memiliki akar di masa lalu. Model penafsiran seperti ini bukan satu-satunya, tentu saja. Beberapa upaya lain juga dilakukan untuk memberi perspektif yang berbeda.

“Yamin mengupayakan penafsiran tentang kejayaan Indonesia memiliki akar masa lalu”

M AJ AL AH S AN SK ERTA

16

E D I S I K HUS US P KK M B


Sartono Kartodirdjo O L E H AS TAM MU LY ANA

Prof. Dr. A. Sartono Kartodirdjo adalah sejarawan Indonesia sekaligus pelopor dalam penulisan sejarah dengan pendekatan multidimensi. Sartono Kartodirdjo lahir di Wonogiri, Jawa Tengah, 15 Februari 1921. Sartono Kartodirjo dibesarkan di keluarga yang memiliki kepedulian terhadap pendidikan. Ayah Sartono Kartodirjo menyekolahkan Sartono di HIS, MULO dan HIK. Kemudian pada tahun 1942 Sartono Kartodirjo menjadi seorang guru. Sartono Kartodirjo menyelesaikan pendidikan sarjana di Fakultas Sastra Universitas Indonesia pada usia 44 tahun, Lalu melanjutkan pendidikan master degree di Universitas Yale, Amerika Serikat setelah sebelumnya mengajar di Universitas Gajah Mada Yogjakarta dan IKIP Bandung. Ia lulus pada tahun 1964 disusul melanjutkan pendidikan doktoralnya dua tahun kemudian di Universitas Amsterdam. Pada tahun 1968, Sartono Kartodirjo dikukuhkan sebagai guru besar Universitas Gajah Mada Jogjakarta. Dalam disertasi (The Peasants’ Revolt of Banten in 1888, It’s Conditions, Course and Sequel: A Case Study of Sosial Movements in Indonesia) yang di nilai banyak orang sebagai pelopor Historiografi Indonesia. Dalam disertasinya tersebut Sartono Kartodirjo berusaha mengubah pandangan dengan mengangkat keberanian petani dalam melawan ketidakadilan. Sartono Kartodirjo juga mencoba menghilangkan rasa inferioritas terhadap bangsa asing melalui tulisan-tulisannya. Dalam salah satu sesi di seminar sejarah 1957 Sartono kartodirjo mengatakan dalam periodisasi terdapat berbagai macam interpretasi. Jadi diharapkan dalam Penyusunan historiografi nantinya ada standar tertentu.

Perihal Indonesiasentrisme Sartono Kartodirjo mengakui dalam uraiannya bahwa subjektivitas dalam sejarah tidak akan hilang selama yang menulis sejarah itu manusia yang terikat pada tempat dan waktu yang hidup dalam lingkungan masyarakat tertentu. Sartono kartodirjo mengharapkan penulisan sejarah nasional lebih banyak ditekankan terhadap kearifan lokal bangsa Indonesia sendiri. Menurut sartono Kartodirjo banyaknya sumber-sumber yang berlainan juga menjadi salah satu kendala dalam penulisan sejarah Indonesia. Padahal sumber-sumber tersebut sangat menentukan dalam penulisan historiografi Indonesia. Beliau memandang Seminar Sejarah tersebut memang sangat penting untuk dilaksanakan. Dengan adanya Seminar sejarah, Sartono kartodirjo mengharapkan dalam mempelajari sejarah Indonesia dan menyusun sejarah nasional tidak berkisar pada teori berkisar tentang sejarah saja, tenrang filsafat, terapi dengan sungguh-sungguh menuju ke arah terciptanya suatu historiografi yang baru. Gagasan dan pemikiran kartodirjo menjadi fondasi penting untuk periodesasi dan Historiografi Indonesia.

“Sartono Kartodirjo diakui sebagai guru besar utama oleh para sejarawan Indonesia”

M AJ AL AH S AN SK ERTA

17

E D I S I K HUS US P KK M B



I L US T RAS I OL E H IR VA N MAUL AN A


FEATURE

Mohammad Yamin dan Wajah Gajah Mada O L E H AR TA QI BI I Z ZA AL I SL AMI

Gajah Mada lazim digambarkan sebagai sosok berwajah gempal, bermata sipit dengan rambut ikal dan kedua alis tersambung. Gambaran ini menjadi ikon Polisi Militer (PM). Namun banyak orang meragukan bahwa sosok berwajah gempal itu adalah wajah asli Sang Mahapatih Wilwatikta tersebut. Hal ini karena, hingga kini belum pernah ditemukan sumber sejarah baik relief, arca yang merupakan perwujudan sosoknya, maupun manuskrip yang mendeskripsikan rupa Gajah Mada. Lantas bagaimana penggambaran itu bisa tersebar luaS? Adalah Mohammad Yamin, salah satu tokoh perumus Sumpah Pemuda dan juga anggota BPUPKI yang mempopulerkannya. Tokoh dari Suku Minang ini dikenal sebagai orang yang tergila-gila pada sejarah dan kebudayaan Jawa, khususnya Majapahit dan Gajah Mada. Keterpesonaannya ini dimulai sejak ia bersekolah di Algemeene Middelbare School (AMS, setingkat SMA) di Yogyakarta. Pada saat bersekolah, ia banyak membaca buku sejarah dan kitab sastra kuno seperti Pararaton dan Desawarnana yang disadur Prof Hendrik Kern (Ahli bahasa Sanskerta dan Orientalis di Universitas Leiden). Seperti banyak tokoh pergerakan Indonesia pada periode itu, Yamin meyakini bahwasanya "Indonesia" merupakan kelanjutan warisan dari Kemaharajaan Majapahit,

bukan terbentuk lewat kebijakan Pax Netherlandica Belanda yang menghasilkan Hindia Timur Belanda. Pada tahun 1940an, Yamin pergi berkunjung ke kawasan Trowulan, lokasi bekas ibukota Wilwatikta di Mojokerto. Disana ia menemukan secahan terakota, salah satunya adalah celengan berupa wajah seorang pria berwajah gempal dan berambut ikal. Berdasarkan bentuk wajah celengan itu, Yamin menafsirkannya sebagai wajah Gajah Mada. Yamin kemudian meminta seniman Henk Ngantung membuat lukisan seperti terakota tersebut. Hasil lukisan lalu dipampang sebagai sampul muka buku karya Yamin, Gadjah Mada Pahlawan Persatuan Nusantara (1945). Wajah Gajah Mada hasil imajinasi kreatif Yamin disodorkan menjadi "ketetapan umum" sesudah ia menjadi Menteri Pengajaran, Pendidikan, dan Kebudayaan pada tahun 1953. Pada saat itulah bayangan Yamin akan wajah Gajah Mada masuk kedalam kurikulum pendidikan dan menyusup ke dalam buku-buku sejarah. Karena instruksi Yamin, ketetapan soal wajah Gajah Mada ini secara legal kuat sekali, meskipun tanpa dasar sejarah yang kuat, dan akhirnya mempengaruhi opini masyarakat akan Gajah Mada.

PERIHAL WAJAH MAHAPATIH GAJAH MADA Yamin pergi berkunjung ke kawasan Trowulan dan menemukan sebuah terakota wajah, Yamin lalu menafsirkannya sebagai wajah Gajah Mada. Yamin kemudian meminta seniman Henk Ngantung membuat lukisan seperti terakota tersebut. Wajah Gajah Mada hasil imajinasi kreatif Yamin disodorkan menjadi "ketetapan umum".

M AJ AL AH S AN SK ERTA

20

E D I S I K HUS US P KK M B


M AJ AL AH S AN SK ERTA

21

E D I S I K HUS US P KK M B


INTIP

ILUSTRASI NYIMAS GAMPARAN Churchill’s ‘A Collection of Voyages and Travels, some now first printed from original manuscripts others now first printed in English’, printed in 1744 for Henry Lintot and John Osborn.

M AJ AL AH S AN SK ERTA

22

E D I S I K HUS US P KK M B


Nyimas Gamparan O L E H JU WI TA PAN GGAB EA N

Perlawanan dan peperangan tidak senantiasa diidentik dengan kaum lelaki, para wanita juga dapat melakukan hal tersebut. Pemikiran masyarakat Indonesia pada masa kolonial beranggapan bahwa tugas seorang perempuan hanya mengurus rumah, anak, dan suami. Pada masa kolonial kaum perempuan hanya dijadikan pergundikan dan tidak memperbolehkan wanita untuk memiliki pendidikan dan pekerjaan lebih tinggi dari seorang lelaki. Adanya persepsi masyarakat yang menganggap wanita hanya di rumah, dapur, dan kamar mengakibatkan ruang gerak kaum wanita sangat terbatas. Sehingga banyak wanita yang tidak berani mengekspresikan dirinya bahkan tidak berani memberontak terhadap sesuatu yang tidak ia sukai. Jika RA Kartini dan Dewi Sartika muncul sebagai pelopor emansipasi wanita dalam pendidikan maka Nyimas Gamparan hadir sebagai salah satu pahlawan wanita dalam melawan kebijakan yang diterapkan pemerintah kolonial Belanda di Nusantara. Nyimas Gumparo atau Nyimas Gamparan merupakan sosok pejuang wanita yang berasal dari Banten, ia memiliki jiwa semangat dan keras ketika berhadapan dengan kolonial dalam ketidakadilan. Nyimas Gamparan masih memiliki darah Kesultanan Banten sebab pada masa Inggris berkuasa di Nusantara tahun 1813 telah menghapuskan Kesultanan Banten. Sehingga banyak dari keluarga kesultanan berpencar ke berbagai daerah di Nusantara, salah satunya Nyimas Gamparan. Tetapi beberapa tahun kemudian Nyimas Gamparan kembali lagi ke wilayah Banten. Dalam kisahnya Nyimas Gamparan terkenal akan perannya di peristiwa Cikande pada tahun 1829 sampai 1830, dimana Nyimas memimpin para kaum wanita pribumi untuk menolak adanya tanam paksa yang diterapkan oleh pemerintah kolonial pada tahun 1830 di Hindia Belanda. Pada saat itu pihak kolonial Belanda sedang marak-maraknya melakukan culturstelsel atau tanam paksa untuk mendukung perekonomian Belanda dalam membangun jalan Anyer-Panarukan. Tanam paksa merupakan kebijakan untuk mewajibkan para pribumi menanam tanaman pokok saja. Tujuannya agar mendapatkan dana yang banyak karena pada saat itu harga tanaman pokok sangat mahal. Pada awalnya penerapan tanam paksa ini tidak terlalu merugikan mayarakat pribumi namun seiring berjalannya waktu penerapan tanam paksa kian parah

M AJ AL AH S AN SK ERTA

dan menyengsarakan masyarakat pribumi. Awalnya pribumi wajib memberikan 1/5 tanah kepada Pihak Belanda namun nyatanya seluruh tanah wajib diberikan. Diwajibkan untuk menanam komoditi ekspor seperti kopi, tebu, indigo, tembakau, teh, lada dan sebagainya. Hasil dari tanaman akan dijual kepada Belanda dengan harga yang sudah ditentukan, pemilik tanah dikenakan pajak, bagi rakyat yang tidak memiliki tanah maka akan bekerja sepanjang tahun padahal awal perjanjian hanya 66 hari dalam setahun, apabila panennya lebih maka tidak akan dikembalikan namun apabila gagal maka akan ditanggung sendiri oleh petani, upah yang diterima oleh petani sangat sedikit ketimbang dari hasil panen yang diperoleh. Tanam paksa yang diterapkan sangat menyesengsarakan masyarakat pribumi serta munculnya penderitaan masyarakat pribumi dalam kelaparan. Akibatnya pribumi kehilangan lahannya dan juga harus bekerja dalam waktu yang cukup lama hingga mengalami kematian. Melihat kondisi pribumi yang memprihatinkan Nyimas Gamparan mulai menghimpun massa wanita bersama saudara-saudaranya dan juga puluhan para wanita dalam melawan kebijakan tanam paksa yang diterapkan kolonial Belanda. Nyimas Gamparan mulai membentuk pasukan wanitanya di beberapa wilayah, antara lain Balara, Cikande, Jasinga, rangkasblitung, serang, pandeklang. Nyimas bersama kaum wanita menggunakan taktik perang gerilya dalam menghabisi sekumpulan pihak kolonial. Sebelum berperang pasukan Nyimas akan terlebih dahulu memantau musuh dan menyiapkan strategi perang dari tempat persembunyiannya.Pasukan Nyimas memiliki tempat persembunyian di wilayah yang sekarang dikenal sebagai Balaraja, kabupaten Tangerang. Lokasinya berada pada pelosok-pelosok desa yang mana daerah tersebut sangat susah ditemukan oleh pihak kolonial Belanda. Pasukan Nyimas Gamparan akhirnya diadu domba dengan pasukan Ki Demang, Usaha kolonial Belanda dalam politik adu domba guna untuk mengalahkan pasukan Nyimas Gamparan berhasil terwujud. Pada akhirnya pasukan Nyimas Gamparan dapat dikalahkan oleh pasukan Ki Demang. Peristiwa Cikande dianggap lebih dahsyat dari pada pemberontakan Geger Cilegon pada tahun 1888.

23

E D I S I K HUS US P KK M B



SASTRA


CERPEN

Ingatan Tentang Ibu O L EH FAR AS PRA DA NA

K

au kehilangan ibumu, bukan dalam arti ia mati atau pergi ke tempat, tapi dalam maksud yang tidak kau mengerti. Itu wajar. Karena usiamu ketika itu baru lima tahun. Kenangan tentang sosok ibumu yang tersisa dalam kepalamu hanya ada dua. Saat kesadaran pikiranmu menyimpan memori mulai berkecambah, dan saat pengetahuanmu membaca simbol mulai terbentuk. Yang pertama, terjadi saat kau berusia tiga setengah tahun. Kau tidak tahu latar belakangnya bagaimana. Tapi, yang jelas, tiba-tiba kepala ibumu sudah begitu dekat dengan wajahmu, dengan kedua bola matamu. Lalu kaurasakan bibirnya mengecup pipimu yang agak kembung. Kiri-kanan, pipimu menjadi basah. Kau tidak menangis saat itu. Kau tertawa kecil, khas seorang balita. Namun, kau tidak menyadari kenapa kau bereaksi seperti itu. Kini, usiamu sudah 17 tahun, dan mengenyam pendidikan di kelas dua SMU. Sejak tujuh tahun lalu, ketika kemampuan membacamu sudah sempurna, dan kau sering membaca-baca cerita di perpustakaan sekolah, kau jadi suka menerka-nerka apa yang sebenarnya terjadi. Mengapa wajah ibu begitu dekat, tapi tak pernah sekalipun melihat bentuknya secara utuh. Kau membayangkan latar yang cocok untuk memori pertama dalam hidupmu itu. Ia, ibumu, baru saja selesai menyelesaikan suatu pekerjaan di belakang. Entah memasak, mencuci, atau mengumpulkan kayu bakar, atau melakukan hal lainnya. Pilihan-pilihan itu silih berganti setiap kali kau mengimajinasikan keutuhan atas memori itu. Selesai beraktivitas, ia masuk ke dalam kamarmu. Kamarmu bukan bagian yang terpisah dari kamarnya. Sebab kalian sekamar. Perlu diingat, hanya ada sedikit ruangan di rumah. Kamar lainnya digunakan sebagai ruang tamu, ruang berleha-leha, dapur, gudang perabotan, dan satu kamar ditempati adik laki-laki ibumu atau paklikmu. Di dalam kamar, ia menengok dirimu yang bermain sendirian di atas kasur. Bermain

M AJ AL AH S AN SK ERTA

26

sendirian saat itu berarti, kau hanya berguling-guling dan mencabik-cabik bantal mungilmu. Tidak ada mainan apa pun. Sambil mengawasi kau bermain, ia mengeluarkan beberapa pakaian dari dalam lemari yang akan digunakannya sehabis mandi. Sebelum beranjak keluar kamar, ia duduk di pinggir dipan. Ia menaruh kedua tangannya di bawah bahumu. Kau diangkat, ditarik dari kasur. Pada momen inilah, sesuatu di dalam kepalamu bereaksi. Kilatan kecil menyambar kotak dan menghancurkannya. Membuat isi di dalamnya menjadi uap yang menggerakkan titik ingatanmu untuk menangkap adegan yang terjadi selama beberapa detik. Begitulah latar yang sering kaubayangkan, yang menyelimuti ingatan pertamamu. Memori itu sangat sederhana. Tidak ada kejadian istimewa yang terjadi. Tidak ada hal yang magis. Satu-satunya yang menjadikan ingatan itu penting adalah, keterhubungan dengan ingatan kedua, dan jalan hidupmu sesudahnya. Pipimu basah, dan kau merasakannya. Lambatlambat menjadi kering, dan kauberhenti merasakannya. Ingatan pertamamu terputus atau diakhiri oleh warna abu-abu. Setelah itu ada jeda panjang sampai kau memulai ingatan kedua. Kaupikir, pasti kau tertidur setelah diciumi ibumu. Kejadian demi kejadian kemudian berlangsung. Tersimpan dalam kepalamu dan menjadi memori. Memorimu menumpuk sedikit demi sedikit. Selanjutnya sebuah kejadian yang kemudian menjadi penting – karena menjadi ingatan kedua yang tersisa – datang.

E D I S I K HUS US P KK M B


Tangan ibumu memegang sebuah bambu tipis yang panjang. Ia mengarahkan bambu itu pada sebuah papan. Menunjuk satu persatu simbol – yang kemudian kautahu itu adalah huruf, yang ada. “A,” kata ibumu ditirukan banyak suara. “D,” lanjutnya. “I,” sambungnya. “L,” menjadi yang terakhir. Kau tidak melihat wajah ibumu secara sempurna. Sosoknya miring, sehingga yang kaudapati adalah dirinya dari samping. Namun, bukan karena itu juga kau tidak mampu melihat penampakannya secara keseluruhan. Sebab, ketika itu kau sudah mampu membaca huruf, dan kau menjadi lebih tertarik pada huruf yang dituding ibumu daripada kehadiran ibumu sendiri di situ. Terhadap ingatan kedua ini, kau juga berusaha agar memori itu hadir secara lengkap. Kau membayangkan dengan hati-hati, agar tidak salah menempatkan setiap posisi. Ibumu mengajar membaca di sebuah taman kanak-kanak. Bagian ini kaulandasi dari suara-suara yang menirukan penuturan ibumu dalam mengeja huruf. Lagi pula, suara yang ada terdengar cempreng. Tidak nyaring sama sekali. Keberadaanmu di situ, selain karena ibumu takut jauh darimu, juga supaya kaumulai mengasah kemampuan membacamu menjadi lebih baik. Serta agar kau bisa mencari teman di tempat itu. Kekuatanmu terbatas. Tidak seperti ingatan pertama yang mampu kaukreasikan sedemikian rupa menjadi nyaman dituturkan, ingatan kedua jauh lebih sulit karena menyangkut kehadiran banyak orang. Namun, bukan hanya itu. Ada sesuatu yang jauh lebih sulit untuk kaubayangkan. Ingatan kedua dimulai dengan adegan ayunan batangan yang menuding huruf di papan, maka akhir dari adegan itu sulit untuk kaujelaskan. Tidak ada gambaran yang bisa kautangkap. Kau hanya menangkap kehitaman dengan

M AJ AL AH S AN SK ERTA

latar belakang suara yang berisik. Teriakan. Kebisingan dalam latar yang hitam itu dimulai dari suara langkah sepatu lars yang semakin mendekat, semakin keras. Begitu kerasnya suara sepatu lars itu sehingga menimbulkan efek yang tidak terduga padamu. Kau kehilangan banyak adegan yang terjadi dari umur lima tahun sampai tiga setengah tahun. Hanya awal dan ujungnya saja yang tersisa, mengendap, dan kadang menghantui.

*

Hampir tiga bulan lebih, sejak diseret ke tempat itu untuk mengakui perbuatannya, ia tidak pernah bicara bahkan berteriak sekalipun. Disiksa berkali-kali, ia tetap tidak menggerakkan kedua bibirnya. Bukan dengan alasan ingin bertahan ia berbuat seperti itu. Ia menjadi terlihat kuat di mata para penyiksa dan rekan sependeritaan karena ia terus memikirkan anaknya. Gadis kecil yang terakhir kali ia lihat sedang menyimak pengajarannya, memandangi empat huruf di papan tulis. Setiap siang ia ditanya, apakah ia tahu dan terlibat dalam pembunuhan jendral-jendral di Jakarta atau tidak. Ia diam. Selain karena memikirkan anaknya, ia tidak paham maksud pertanyaan interogator itu. Jarak rumahnya di Solo dengan Jakarta begitu jauh, dan ia belum pernah ke ibu kota. Sehingga, mustahil ia mengetahui apa yang terjadi di sana, kecuali dengan membaca surat kabar Harian Rakjat. Pertanyaan lalu diteruskan, apakah ia mengajarkan anti agama kepada anak-anak kecil di Taman Kanak-Kanak Melati. Ia membisu. Sama. Ia memikirkan anaknya, apakah gadis kecilnya itu selamat atau tidak. Sedikit-sedikit ia tersengat juga kata-kata interogator. Bukan karena ia mengalah. Tapi, semakin lama, interogator itu makin menjadi-jadi. Nada suaranya tinggi. Meja yang membatasi antara dirinya dan interogator dipukul-pukul. Kadang, pukulan itu malah kena tubuhnya. Sehingga, lamuan tentang anaknya menjadi tidak fokus. Bayangan anaknya yang ia bangun sebagai kekuatan mendadak terbang. Benteng pertahanan yang ia ciptakan jebol dan harus segera menambalnya. Interogasi dilakukan ketika matahari masih tinggi. Kala bulan menggantikannya, perempuan itu hanya mendapat siksaan. Cara-cara primitif seperti penelanjangan dan pemerkosaan dilakukan selama seminggu awal. Setelah itu, cara-cara lain ditambahkan. Misalnya, puting payudaranya dililit ujung kabel. Sementara ujung kabel yang lain tersambung ke generator listrik. Ketika pertanyaan interogator tidak mendapat sambutan, orang di pojokan ruangan akan menghidupkan generator. Aliran listrik yang kuat mengisi tubuh perempuan itu.

27

E D I S I K HUS US P KK M B


CERPEN Saat percikan-percikan listrik memasuki tubuhnya, perempuan itu akan mengatupkan mulutnya dan merapatkan gigi-giginya kuat-kuat. Sementara kepalanya yang coba didobrak oleh sengatan listrik sekuat tenaga bertahan dengan membayangkan mata anaknya yang menatap papan tulis. “A,” “D,” “I,” dan “L.” Suaranya terdengar menggema, menjadi banyak. Namun ia ingat, suara yang banyak itu bukan suaranya saja. Itu suara dari anak-anak yang diajarnya. Kemudian, wajah gadis kecilnya muncul. Mulutnya terkatup rapat, tidak menirukan seperti anak-anak lainnya. Ia bertanyatanya, apakah anaknya itu tidak mengerti kata itu atau malah sebaliknya, berusaha memahami. Pikiran itu membuatnya bertahan setiap malam. Juga dalam setiap bentuk penyiksaan lainnya.

*

Selama 12 tahun, kau diasuh paklikmu yang tidak menikah. Selama itu pula kau masih tinggal di rumah yang sama seperti ketika ibumu masih ada. Kau masih tidur, di tempat tidur yang sama seperti yang ada dalam memori pertamamu. Hanya ketidakhadiran ibumu saja yang membuat keadaan rumah berbeda. Namun sekaligus membuat paklikmu bekerja lebih giat. Pada kelas dua SMU kau menunjukkan diri sebagai seseorang yang memiliki kematangan berpikir. Hingga di satu titik, kaumulai menyadari bahwa ada yang harus diubah dalam hidupmu. Sebenarnya hal itu sudah terpikir olehmu sejak bertahun-tahun yang lalu. Setiap kali kau merasakan hal yang aneh dan ganjil. Kau sebenarnya ingin mengubur dua ingatan yang terbentuk saat usiamu lima tahun. Dan kauingin memulai kehidupanmu dengan berpijak pada ingatan yang lebih baru, yang tanpa kehilangan. Namun, saat kaumulai memikirkan penghilangan ingatan itu, paklikmu memberi kabar. Ibumu akan kembali. Paklikmu menceritakan kabar itu dengan hati -hati. Katanya, sejak tiga tahun lalu, banyak orang baru yang datang dari Kendal. Orang-orang itu adalah mereka yang dulu ditangkap dan kini sudah dibebaskan meski dengan banyak syarat dan seleksi yang harus ditempuh. Tahun ini, 1978, kata paklikmu, adalah tahun-tahun terakhir pembebasan. Semoga, pungkas paklikmu, ibumu pulang ke rumah ini. Itulah, untuk pertama kalinya paklikmu menyinggung nasib ibumu. Padahal, selama bertahun -tahun tinggal bersama, ia jarang membahas masalah itu. Ia cenderung mengabaikan walau kau sering mencoba memancingnya.

M AJ AL AH S AN SK ERTA

28

Setelah percakapan itu, pembicaraan tentang ibumu berlangsung selama satu setahun penuh, setiap malam. Namun, pada akhir tahun 1979, pembahasan soal ibumu lenyap. Angin telah membawanya ke tempat lain, dan kau bertanyatanya, angin yang mana yang membawa ibumu?

*

Malam itu, perempuan itu disuruh mengepak pakaiannya. Ia tidak takut jika harus dipindahkan ke Pulau Buru seperti kabar yang beredar dari mulut ke mulut para tahanan. Ia masih punya ingatan tentang anaknya. Lengkap, tidak cuil sedikit pun walau sudah 17 tahun tidak bertemu. Sesudah mengepak koper, ia bersama tahanan lainnya bergegas menuju kantor administrasi. Lantas, mereka diberi komando untuk naik ke dalam bus. Tidak tahu akan dibawa ke mana. Yang kemudian terjadi, mereka sudah sampai di Semarang pada malam hari. Oleh petugas administrasi, mereka disuruh menuliskan alamat rumah. Perempuan itu masih ingat dengan persis alamat rumahnya di Solo. Namun, tepat ketika ia menuliskan alamatnya di atas kertas, momen anaknya memperhatikannya mengajar menjadi lebih jelas, dan ia menulis: “A,” “D,” “I,” “L.”

*

ADIL

E D I S I K HUS US P KK M B


PUISI

Aku Hanya Duduk O L EH SU DEN

“Di Beranda kumuh ini, aku hanya duduk” “Apa yang bisa dibanggakan dari seorang laki-laki sepertiku? Seorang laki-laki yang menghabiskan waktunya dengan duduk. Di atas sebuah bangku, menemui bentuk ketidakbergunaannya” “Sedang kota ini terus saja bergerak. Orang-orang sibuk dengan lakunya sebagai buruh, melahap separuh ketukan waktu, lalu menggantinya dengan sesuap nasi. Para pemerhati sibuk beroposisi. Mengadaikan sisibilah emosi, lalu bersetubuh dengan kebernasanya terhadap intelektualisme” “Sedang kota ini masih saja bergerak. Bangku kuliah menjelma kilang-kilang pabrik, mengadaikan selembar ijazah lalu memasangnya pada produk instalasi siap santap” “Sedang kota ini tak akan berhenti bergerak, mengabaikanku yang masih saja dalam keadaan duduk” Desember 2020

M AJ AL AH S AN SK ERTA

29

E D I S I K HUS US P KK M B


RESENSI

FILM

M AJ AL AH S AN SK ERTA

30

E D I S I K HUS US P KK M B


They Call Me Babu O L E H IR VA N MA UL ANA

Perspektif Sejarah Indonesia dari Kacamata Wanita Biasa Alima, seorang wanita biasa yang lahir di masa awal politik etis dan mengabdikan dirinya sebagai seorang Babu kepada keluarga Belanda, sehingga dia bisa mendapatkan kesempatan untuk melihat berbagai peristiwa sejarah bahkan bisa datang ke Negeri Belanda. Tidak berhenti sampai disitu saja, cerita dari Alima ini terus berlanjut hingga dirinya bisa kembali ke tanah airnya dan menjalani berbagai masa-masa mulai dari kedatangan Jepang hingga turut serta dalam peristiwa ‘Bandung Lautan Api’. Alima menjadi tokoh fiksi yang memberikan suara kepada para babu-babu yang masih belum memiliki tempat dalam pembahasan di sejarah Indonesia konvensional. Film yang dibuat oleh seorang diaspora berkebangsaan Belanda Sandra Beerens ini sudah dirilis sejak tahun 2019 dan telah diputar di berbagai festival film diberbagai negara. Film ini menjadi menarik sebab memberikan perspektif baru dalam membahas tentang sejarah panjang Indonesia yang masih dinarasikan dari perspektif orang-orang besar dan mengesampingkan bagaimana kehidupan warga biasa yang masih sering dianggap tidak memiliki sejarahnya sendiri. Padahal, para babu ini tetap berhak mendapatkan ruang dalam pembahasan Sejarah Indonesia sejak zaman kolonial Belanda. Ini menjadi sebuah tantangan bagi para sejarawan Indonesia yang menglorifikasikan Penulisan Sejarah dengan perspektif Indonesia atau para sejarawan-sejarawan sosial. Perlu diingat bahwa, meskipun footage dari film ini menggunakan berbagai macam film dokumenter yang berjumlah sekitar 100 scene dan dirangkai menjadi sebuah adegan-adegan yang berkesinambungan, tetap saja Alima yang disuarakan oleh Denise Aznam ini memiliki andil sebagai upaya untuk menyelaraskan potongan-potongan dokumenter ini menjadi film utuh sehingga terlihat sebagai adegan-adegan yang berkesinambungan. Jadi disini bisa disimpulkan bahwa, Alima ini merupakan tokoh fiksi yang dibuat untuk memberikan suara kepada para babu ini untuk menceritakan pengalaman hidupnya dan keluarga Belanda yang sebagai Tuannya ini merupakan keluarga yang memang benar-benar ada yang

M AJ AL AH S AN SK ERTA

diseuaikan nama dan peristiwanya untuk kebutuhan film ini. Di Belanda sendiri, Film ini mendapatkan respon yang positif dari para warga disana, ketika disana masih gentar pembahasan mengenai isu dekolonisasi antara Belanda dengan Indonesia. Film ini bisa berguna dalam memberikan perspektif baru bagi para warga disana dalam menanggapi fakta bahwa mereka dahulu adalah bangsa penjajah yang menjajah bangsa lain, kemudian saat ini mereka perlu mengakui kesalahan masa lalu serta dosa mereka. Film ini berlatar di Hindia Belanda dan Belanda pada Abad ke 20 awal hingga masa awal kelahiran Indonesia sebagai negara baru. Film dibuka dengan narasi oleh Alima seorang perempuan asli Jawa yang memilih minggat ke Bandung setelah kematian ibunya kemudian mengabdikan dirinya sebagai seorang Babu kepada sebuah keluarga Belanda yang memiliki empat orang anak. Dengan keempat anaknya ini, Alima memiliki kedekatan lebih kepada si bungsu Djantje hingga menganggap sebagai anaknya sendiri Dalam filmpun memberikan pandangan baru seperti yang jarang diangkat bila melihat film-film sejarah Indonesia yang dibuat oleh sineas dalam negeri. Disini Belanda tidak digambarkan sebagai sosok antagonis kejam yang siap membunuh siapa saja orang-orang pribumi yang ada di depan matanya, apalagi film-film ini juga mengambil sudut pandang dari para pejuang yang berkorban jiwa raga demi kemerdekaan. Singkatnya film-film sejarah Indonesia yang berhubungan dengan masa kolonial masih bernuansa heroisme para pejuang. Nah 'They Call Me Babu' ini memberikan nuansa baru bagi perfilman sejarah Indonesia masa kolonial dengan menghadirkan tokoh yang dianggap biasa saja, bahkan tidak dituliskan di buku-buku sejarah Indonesia. Hal lain lagi yang disajikan film ini juga hubungan baik yang memang terjalin antara penjajah dan terjajah atau antara orang belanda dengan para pribumi tanpa mengalami konflikkonflik besar. Dalam film ini juga nuansa ambivalen sangat terasa. Sehingga, film ini merepresetasikan relasi antara si terjajah dan penjajah.

31

E D I S I K HUS US P KK M B


RESENSI

BUKU

Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah O L EH MUHAMMA D EN O A L I KHSA N

Buku yang ditulis oleh Sartono Kartodirdjo merupakan karya yang hendak memberitahu kegundahan yang umumnya menimpa para sejarawan muda mengenai teori dan metodologi sejarah. Sebagai bagian pokok ilmu sejarah yang mulai diketengahkan apabila penulisan sejarah tidak semata-mata bertujuan menceritakan kejadian tetapi bermaksud menerangkan kejadian itu dengan mengkaji sebab-sebabnya, kondisi lingkunganya, konteks sosio-kulturalnya. Langkah yang sangat penting dalam membuat analisis sejarah ialah menyediakan surat kerangka pemikiran atau kerangka referensi yang mencakup berbagai konsep dan teori yang akan dipakai dalam membuat analisis tersebut. Metodologi yang diajarkan Sartono Kartodirdjo dalam studi sejarah harus menuntut penyesuaian yang akan terwujud sebagai perbaikan kerangka konseptual dan teoritis sebagai alat analisis. Hal ini dilakukan dengan meminjam alat analisis dari ilmu-ilmu sosial, seperti sosiologi, antropologi, politikologi, dan lain-lain. Ilmu sejarah seperti ilmu-ilmu lainnya mempunyai unsur yang merupakan alat untuk mengorganisasi seluruh tubuh pengetahuannya serta menstrukturasi pikiran, yaitu metode sejarah. Kalau metode berkaitan dengan masalah “bagaimana orang memperoleh pengetahuan” (how to know), metodologi menyangkut soal mengetahui bagaimana harus mengetahui” (to know how to know). Secara implisit metodologi mengandung unsur teori. Pada tahap awal suatu pengkajian, peneliti perlu menetapkan bagaimana hendak mendekati objek studinya, pendeknya menentukan approach atau pendekatan yang akan diterapkan. Sehubungan dengan itu peneliti perlu dilengkapi dengan alat analisis, konseptual, dan teoritis. Dengan demikian, dia mengamati objek studinya dengan perspektif teoretis, sehingga mampu mengungkapkan aspekaspek atau dimensinya. Pengkajian sejarah yang memakai pendekatan itu akan lebih mampu melakukan eksplanasi (penjelasan) daripada yang membatasi diri pada pengungkapan bagaimana sesuatu terjadi atau menguraikan kejadian sebagai narasi (cerita). Suatu peristiwa harus diterangkan secara lebih jauh dan lebih mendalam mengenai bagaimana terjadinya, latar belakang kondisi sosial, ekonomis,

M AJ AL AH S AN SK ERTA

politik, dan kulturalnya. Di sini kita memperoleh legitimasi dasar mengapa dalam studi sejarah diperlukan metodologi dan teori. Seperti di studi sejarah kritis mengikuti tradisi seperti yang telah dikembangkan di Barat. Adalah sangat wajar apabila dalam kurikulumnya jurusan sejarah mencantumkan teori dan metodologi sejarah sebagai mata kuliah pokok, di samping mata kuliah metode sejarah. Kecuali mempertajam konsep-konsep sejarah, tujuan mata kuliah tersebut juga memperdalam kesadaran bersejarah dengan memperluas cakrawala intelektual serta cakrawala sejarah para mahasiswa. Hal ini tidak hanya berguna untuk memupuk kritisme tetapi juga melatihnya untuk berpikir tentang pikirannya sendiri. Berpikir secara intelektual, dengan maksud senantiasa mengobjektivikasi buah pikirannya sehingga orang tidak mudah menerima segala sesuatu begitu saja, tetapi selalu mampu secara kritis menghadapinya sehingga tidak mudah terjerumus dalam subjektivitas, tidak hanya dalam menggarap sumber sejarah tetapi juga dalam membuat sintesis sebagai bagian dari proses rekonstruksi sejarah. Oleh karena dalam rangka pembangunan bangsa, peranan sejarah amat penting. Terutama untuk membangkitkan kesadaran sejarah sebagai landasan kesadaran nasional, maka studi sejarah kritis berfungsi sangat fundamental dalam mengubah mitos tentang masa lampau menjadi gambaran empiris-rasional tentang pengalaman kolektif bangsa yang secara ilmiah dapat dipertanggungjawabkan berdasarkan kaidah-kaidah metodologinya. Harapan kita setelah membaca buku ini, perkembangan studi sejarah kritis di Indonesia semakin dapat dimantapkan agar pertumbuhan sejarah sejak awal dibangun dengan landasan yang kuat. Adapun kelebihan dan kekurangan yang ada di buku ini yaitu, berbasis ilmiah. Topik-topik yang dibawakan juga berkaitan dengan hal yang perlu kita kuasai apabila ingin menjadi ahli sejarah. Ada juga sedikit ilustrasi yang diberikan oleh penulis supaya kita lebih mudah memahami. Salah satu kekurangannya buku ini terdapat kata ilmiah yang mungkin belum pernah didengar oleh pembaca, sehingga dalam memakainya diperlukan kamus untuk memahaminya.

32

E D I S I K HUS US P KK M B


Penulis Penerbit Tempat Terbit Tahun Terbit Cetakan Ukuran Jumlah Halaman ISBN

M AJ AL AH S AN SK ERTA

: Sartono Kartodirdjo : Ombak : Yogyakarta : 2014 (tahun asli 1992) : Pertama : 21 cm : 310 hlm : 602-258-183-4

33

E D I S I K HUS US P KK M B


TEMUKAN RAGAM INFORMASI DAN TULISAN DI @sanskertaonline.id

M AJ AL AH S AN SK ERTA

sanskertaonline.id

34

E D I S I K HUS US P KK M B


M AJ AL AH S AN SK ERTA

35

E D I S I K HUS US P KK M B


*Ilustrasi kekerasan akibat Pelayaran Hongi


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.