3 minute read

Melestarikan ‘Agus’ lewat Agus Agus Bersaudara Indonesia

Pernah nggak Anda menghitung ada berapa Agus yang menjadi teman atau kenalan Anda? Nama “Agus” begitu akrab di telinga, hingga ada yang menyebutnya sebagai nama pasaran saking banyaknya yang menggunakan. Saking banyaknya, kemudian muncul komunitas-komunitas Agus.

Pendiri komunitas Agus Agus Bersaudara Indonesia (AABI), Agus Mulyadi, menyebut idenya membentuk komunitas itu bermula dari keinginan mencari saudara yang bernama Agus. Melalui media sosial Facebook (FB), dia menemukan 500 “Agus” dalam tempo 2 minggu. “Ternyata banyak yang mengapresiasi dari Jakarta, Bandung, juga dari Jawa Timur,” ujarnya saat dihubungi di kediamannya di Sukabumi.

Advertisement

Saking banyaknya itulah kemudian Gusmul –panggilannya—membentuk komunitas AABI. Beberapa “Agus” kemudian diundang bergabung dalam grup FB. “Awalnya banyak yang tanya ini grup apa. Ya grup silaturahmi saja, untuk menjalin persaudaraan,” terangnya.

Sebagai bentuk apresiasi pada para Agus, mereka mengadakan pertemuan di Jakarta. Setelah pertemuan itu, mereka kemudian sepakat mendeklarasikan Komunitas AABI di Gedung Merdeka Bandung pada 13 Desember 2015 lalu.

Melalui grup FB kemudian terkumpul setidaknya terdapat 2.000 Agus. “Para Agus atau yang namanya punya unsur Agus ini tidak diinvite lagi, tapi meminta bergabung di grup,” lanjutnya.

Saat ini, tambah Agus Saefullah, Ketua Umum AABI periode 2021-2026, sudah terdapat 18 ribu anggota. “Memang tidak semuanya aktif, karena keanggotaan komunitas ini sifatnya terbuka. Mau gabung untuk bersilaturahmi dengan sesama Agus monggo. Namun sejak awal kami sudah tegaskan, komunitas ini tidak akan berpolitik praktis,” ujar pria yang akrab disapa Gus Jam ini yang saat dihubungi sedang berada di rumah Gusmul.

Diakui, memang sempat ada beberapa Agus yang akan memanfaatkan komunitas ini sebagai gerbong kegiatannya. “Namun sesuai komitmen awal, kami ini komunitas sosial yang bertujuan untuk membantu sesama dan bersilaturahmi. Sehingga kalau ada banyak komunitas Agus, bisa jadi itu pecahan dari komunitas kami,” terangnya. Gus Jam menambahkan, kalau seorang Agus masuk di komunitas ini dan berharap bisa mendapatkan sesuatu untuk kepentingan pribadinya, dia dipastikan tak akan lama berada di dalamnya. “Kalau yang mencari keuntungan, paling 2 bulan sudah keluar. Sedang mereka yang benarbenar ikhlas bersilaturahmi akan bertahan lama,” ujarnya. Anggota komunitas AABI ini terdiri dari beragam usia. Termuda berusia 2 bulan dan tertua sekitar 80 tahunan. Dan jumlah laki-laki lebih banyak dibanding yang perempuan. Dikatakan, anggota yang muda-muda dan menguasai teknologi diserahi menangani website. Mereka juga punya aplikasi Rumah Agus yang bisa diunduh dari Playstore. Berbagai kegiatan AABI bisa dilihat di aplikasi tersebut. Untuk legalitas komunitas, mereka juga mendaftarkan nama komunitasnya di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham). Dengan tercatat di Kumham, mereka bisa memiliki hak membuat merchandise dengan tulisan dan logo AABI. Dalam misinya yang antara lain meningkatkan persatuan dan kesatuan Bangsa melalui jalinan silaturahmi yang erat antar anggota, disebutkan pula komunitas ini bermaksud melestarikan nama “Agus” pada generasi mendatang. “Di Ang-

Kalahkan ‘Asep’ dan ‘Sugeng’

garan Dasar juga disebutkan kalau kami ingin melestarikan nama Agus. Sekarang ini kan semakin jarang orang memberikan nama Agus pada anaknya. Karena itu kami memberikan penghargaan pada orangtua, dalam hal ini anggota AABI, yang memberi nama Agus pada anaknya,” terang Gusmul. Diungkapkan, untuk memudahkan komunikasi, kegiatan komunitas biasanya diinfokan lewat FB. Share info di FB terkait Musyawarah Nasional (Mu- nas) di Bogor, rupanya tercium media. Di luar dugaan, Munas di Sekolah Alam Bogor yang awalnya diperkirakan hanya dihadiri 30 orang itu ternyata didatangi 300 orang. “Kelabakan juga. Tapi bangga juga, karena kegiatan kami diliput beberpa media termasuk media televisi. Komunitas Asep yang kemudian tahu kegiatan kami juga memberikan ucapan selamat,” katanya. Dari Munas I yang diadakan pada 2015 terpilih Ketua Umum

Hindari Banyak Komunitas

Meski punya nama Agus, Agus Gede mengaku tak tergabung dalam komunitas “Agus” manapun. “Pernah diajak teman ngumpul sesama Agus di Jateng, 3 ribu orang. Waduh malah membingungkan,” ujarnya sambil tertawa.

AABI periode I. Sedang pada Munas yang diadakan setahun lalu di Malang, Gus Jam terpilih sebagai Ketua Umum. Anggota AABI tersebar dari Sabang sampai Merauke, dan terdiri dari bermacam suku, ras, dan agama, lelaki maupun perempuan. Dalam komunikasi antar anggota, tiap anggota memiliki nama panggilan agar tidak menyulitkan panggil antar anggota yang memiliki kesamaan nama itu. Agus Saefullah mencontohkan dirinya punya panggilan Gus Jam, kemudian Agus Mulyadi punya panggilan Gusmul. Ada juga Gus Bebeb lalu Gus Cupret yang panggilan dari Agus Solihin. “Sekarang anggota sudah sekitar 18.000. Kami ada tingkatannya juga, DAP yaitu Dewan Agus Pusat kantornya di Jakarta, DAD (Dewan Agus Daerah) itu tingkat provinsi, DAC (Dewan Agus Cabang) itu tingkat kabupaten dan kota. Ada juga ranting-ranting,” terang Gusmul. Dia menyebut, DAC beberapa daerah di Jatim bagus responnya. “Saat pengukuhan pengurus DAC Madiun, mereka sangat solid. Apresiasinya luar biasa di berbagai daerah.

Di Malang, Banyuwangi, Pronorogo, Gresik, selain di Madiun sendiri,” tandas Gusmul. Kegiatan Komunitas AABI bersifat sosial, seperti donor darah, memberi santunan untuk anak yatim piatu. “Kami lebih ke sosial, santunan buat yatim piatu itu dananya dari anggota semua. Satu bulan sekali kami adakan santunan itu, dan kami prioritaskan dulu ke dalam, yaitu anak-anak dari anggota,” ujar Gusmul. Saat terjadi bencana alam Cianjur, para Agus juga “turun” melakukan bakti sosial. “Mereka yang secara ekonomi lebih kami ketuk untuk ikut membantu,” tambahnya.ret

This article is from: