Nuansa 129

Page 1


2

Salam Redaksi

Menunggu Mati Tren Bertani

Slenthingan

Edisi 129 TH XXII/ 2010

K

oes Ploes dalam lagu “Kolam Susu” membangun mitos bahwa tanah (air) kita seperti surga. “Tongkat kayu dan batu jadi tanaman,” begitu katanya. Namun sekali lagi, agaknya itu hanya mitos. Bukan tidak mungkin kalimat itu menjadi propaganda politik penguasa untuk mengukuhkan pengaruhnya. Sebab, realitasnya, kita tidak pernah mendapat kelimpahan pangan. Justru di beberapa daerah kelangkaan pangan masih sering terjadi. Diksi surga punya konotasi yang sangat baik. Bahkan cenderung terasa hiperbolis. “Surga”, dalam berbagai teks agama telanjur diceritakan sebagai tempat yang sempurna. Surga telah menyediakan apapun. Surga hanya mengharuskan penghuninya menikmati fasilitas yang tersedia sambil bermalas-malasan. Sesaat nalar ini bisa jadi berpengaruh besar terhadap tren anak muda untuk “tidak” menggeluti bidang pertanian. Mengapa harus bersusah payah bekerja di sawah atau kebun, tanah yang ada toh subur. Batu kerikil saja bisa jadi tanaman, apalagi jika yang kita tanam betulbetul bibit? Aha. Meski demikian, ini jelas bukan faktor tunggal. Faktor yang lebih dominan barangkali bisa kita lihat dari perspektif sosiologis. Bertani kini telah dibanalkan maknanya sebagai aktivitas ekonomi semata. Bertani hanya menjadi cara menusia memperoleh uang. Sekadar

mencukupi makan atau memang sekadar untuk membiyai biaya sekolah anak. Karena itulah, jika sewaktu-waktu bertani tidak lagi menjanjikan keuntungan, segera bisa ditinggalkan. Ini pandangan yang kurang bijak. Sebab, bertani juga melingkupi aspek batin. Bertani adalah jalan yang dipilih masyarakat agraris untuk hidup selaras bersama alam. Aktivitas bertani adalah relasi kultural manusia dengan tanah yang dipijaknya. Tanah menyediakan berbagai sumber

makanan dan kewajiban bagi manusia untuk memanfaatkan (bukan mengesksploitasi)nya. Relasi demikian telah hilang oleh nalar pragmatis saat ini. Kesejahteraan mulai diukur oleh ketercukupan kebutuhan hidup tapi tumpukan uang. Wajar jika sektor pertanian dianggap tidak menjanjikan. Orang (termasuk anak muda) kemudian mulai berpikir untuk mengeruk uang dari kota. Menjadi karyawan, buruh, atau pegawai negeri sipil (PNS) dianggap lebih menjanjikan kenyamanan. Tantangan yang disajikan petani dianggap menjadi sebagai kesulitan. Sekarang kita lebih mudah mendapati anak muda yang mengantri di depan pintu gerbang pabrik daripada anak muda yang membajak. Lebih banyak anak muda yang merasa cukup memperoleh gaji senilai upah minimum kota (UMK) daripada mengeksplorasi tanah yang dimilikinya. Sawah justru semakin identik sebagai tempat “orang tua”. Akankah kecenderungan ini akan terus terjadi? Apa risiko terburuk jika sektor pertanian benar-benar ditinggalkan? Nuansa berusaha menjawabnya, tentu dengan perspektif kami. Tentu ada keterbatasan. Semoga pembaca berkenan memberi masukan. Selamat membaca.

Nanstrip

Pertama kali, Pemira Unnes gunakan sistem online. Kinerja harus nyata. Jangan maya. Petani di Jawa Tengah banyak yang mengijonkan padinya. Kepalang tanggung! Kepepet musti bayar SPL anak ya? Profesi petani dianggap tidak membanggakan. Idola zaman sudah ganti. Dulu Marhen sekarang gayus.

Cak Nans

Tabloid Mahasiswa NuansA diterbitkan oleh Badan Penerbitan dan Pers Mahasiswa (BP2M) Universitas Negeri Semarang Merupakan media komunikasi, informasi dan kreasi sivitas akademika yang memadukan idealisme, objektivitas, dan kreativitas mahasiswa. Terbit Berdasarkan SK Rektor IKIP Semarang nomor 53/1983 Alamat Redaksi Kantor BP2M Unnes, gedung UKM lt.2 Kampus Unnes Sekaran, Gunungpati Semarang 50229 Telp. (024) 70789389 Website: www.bp2munnes.com Email: nuansa@bp2munnes.com

Pembina: Rektor Universitas Negeri Semarang; Penasihat: Pembantu Rektor Bidang Kemahasiswaan; Penanggung Jawab: Drs. Ubaidillah Kamal; Pendamping: Drs. Eko Handoyo, MSi; Pemimpin Umum: Surahmat; Sekretaris Umum: Asri Candra Puspita; Pemimpin Perusahaan: Syarief Hidayat; Bendahara Umum: Afina Lukita; Litbang: Siti Zumrokhatun; Pemimpin Redaksi: M. Taufan Aliyudin; Sekretaris Redaksi: Nur Endah Assalma; Bendahara Redaksi: Afina Lukita; Redaktur Pelaksana: Fajri Esti Nur Amalia, Afina Lukita ; Editor: Rizki Amalia Ulfa; Redaktur Foto & Artistik: Aditya Rustama; Reporter: Aim, Didit, Endah, Estik, Fajri, Fina, Rahmat, Rina, Rizki, Septi, Taufan, Yusri; Fotografer: Aditya Rustama ; Ilustrator: Aliyudin MT; Lay Out: DiditAliyudin MT; Cover: Aliyudin MT; ~ Redaksi menerima tulisan berupa artikel, opini, cerita pendek, puisi, dan naskah lain yang sesuai dengan visi dan misi NuansA. Redaksi berhak mengubah naskah sepanjang tidak menyalahi isi. Semua naskah yang masuk menjadi hak redaksi. Penulis naskah yang dimuat akan mendapat imbalan sepantasnya ~


Surat Pembaca

Edisi 129 TH XXII/ 2010

Pemira Online Cegah Golput

Antara Mahasiswa, Dosen, dan Birokrasi

S

angat sulit dan tidak gampang untuk bisa menjadi seorang mahasiswa sejati, seorang yang selalu digadang-gadang sebagai agent of change. Namun, apakah perubahan itu akan datang, ketika sebuah sistem telah berdaulat? Ya, sendiko dawuh, sebuah frase yang sangat familiar ditelinga dalam mencerminkan suatu sikap yang tak punya pendirian, dan mungkin sebagian orang akan mengatakan lebih dari tak punya pendirian, penjilat. Menghormati dan menghargai itu memang perlu, atau bahkan wajib. Namun, ja-ngan sampai sebuah penghormatan yang kita dapat meninggalkan kekritisan demi sebuah perjuangan menuju perubahan. Sistem yang terjadi saat ini memaksa seorang mahasiswa untuk selalu sendiko dawuh, tanpa harus meng-analisa dan mepertimbangkan baik dan buruknya bagi peradaban bangsa khususnya mahasiswa yang sedang dipersiapkan untuk meneruskan perjuangan. Sistem ini seakan membungkam segala kreasi dan inovasi mahasiswa dalam menyampaikan penda-

pat, ide, kritik, dan saran. Bukankah sebaik-baik manusia adalah yang mau men-

erima kritik dan saran? Paradigma yang berkembang sekarang ini untuk menentukan status mahasiwa di kampus adalah bahwa mahasiswa merupakan bawahan dan birokrat adalah atasan. Bila tidak nurut, maka ia dengan mudah bisa didepak. Jenis pendepakannya pun beragam, mulai dari pencabutan beasiswa, hak-haknya sebagai mahasiswa, bahkan yang paling istimewa adalah drop out. Seharusnya ketika kita sejenak merenung, siapakah mahasiswa? Apakah mahasiswa seorang bawahan? Dengan tegas saya menjawab segala tanya, “ BUKAN”. Mahasiswa ada-

Aksi Massa Dikirim oleh Jilvia Idyarti Mahasiswa Bimbingan dan Konseling 2009

3

lah user yang perlu difasilitasi. Tidak ada bawahan dan atasan. Semuanya saling bersinergi antara mahasiswa, dosen, dan birokrat. Sungguh indah bila harmoni ini mampu diwujudkan dalam peradaban kampus. Sangat potensial dalam mempersiapkan para sarjana, guru, dan professional yang mampu mendidik dan membimbing dimana nantinya mereka berada. Harmonisasi dan sinergisitas inilah yang selama ini selalu kita nanti. Entah sampai kapan. Rasanya tidak mungkin bila kita meninggalkan dua kata, “peduli” dan “butuh”. Bisa menjadi kebanggaan tersendiri bila seorang mahasiwa butuh seorang dosen dan birokrat, dan dosen serta birokrat peduli terhadap mahasiswa. Mungkin akan menjadi daya tarik tersendiri untuk sebuah kampus yang bercita-cita menjadi kampus konservasi. Ya, konservasi sinergisitas. M. Iskandar Farid Mahasiswa Teknik Sipil 2008

P

emilu Raya (Pemira) yang merupakan ajang pemilihan presiden mahasiswa berikut komponen-komponennya seperti Dewan Perwakilan Mahasiswa (DPM) selalu menjadi moment penting bagi semua warga Unnes. Meskipun tidak terlepas adanya beberapa mahasiswa apatis yang tidak mau tahu jalannya Pemira, sehingga tak jarang bermunculan golongan-golongan putih yang membengkak. Tidak hanya mahasiswa yang apatis, kendala dalam pemilihan juga dikarenakan kesalahan dalam pencontrengan; baik itu kertas suara yang tidak sah karena dicotreng lebih dari sekali, contrengan di luar kotak foto, dan lain sebagainya. Menanggapi agar tidak bermunculannya golongan putih itu, penulis mendukung pemilu raya online yang jika bisa, direalisasikan mulai tahun ini. Jalur online dibentuk untuk menghindari adanya kesalahan dalam pencontrengan. Selain itu, Pemira online juga merupakan salah satu upaya pendukung paperless sebagai perwujudan Unnes Konservasi. Secara teknis sama dengan pemilu raya tahun

sebelumnya, hanya media pencontrengan tidak lagi menggunakan kertas melainkan komputer. Lewat web Unnes, mahasiswa melalui tahapan-tahapan seperti login, mencatat kode, setiap mahasiswa nantinya akan memiliki kode masing-masing yang bisa digunakan untuk melihat hasil rekapitulasi data pemenang pemilu raya. Tidak hanya gambar calon presiden mahasiswa ataupun Dewan Perwakilam Mahasiswa (DPM), pilihan untuk abstain pun disediakan. Memang benar adanya jika sistem online ini meminimalisir adanya kesalahankesalahan dalam penyontrengan. Namun, apakah seluruh mahasiswa Unnes sudah siap dengan sistem ini? Selain itu, sistem online jelas menuntut adanya fasilitas yang terkoneksi dengan internet. Nah, seperti yang kita ketahui sendiri bagaimana kondisi hotspot di Unnes? Sinyal yang keseringan nglemot, pastinya akan menjadi kendala juga. Sosialisasi mengenai jalur pemira online kepada seluruh mahasiswa, tentunya juga harus dilakukan sejak sekarang, mengingat semakin dekatnya Pemira. Pipin Nika P. Mahasiswa Ekonomi 2009

Foto Pembaca

Dikirim oleh Afina Lukita Mahasiswa Manajemen 2007 Indahnya Kebersamaan


4

Tesa

Edisi 129 TH XXII/ 2010

Menertawai Politik Air Ludah

P

Agus Yuliono Mahasiswa Sosiologi dan Antropologi

emilu di Indonesia ya suatu government yang bijak, ramah tamah dan tidak bisa diadu domba atau dicerai berai. Mereka tetap memilih dengan kebenaran atau nilai yang nyata, menurut nilai kualitas kerja atau poin yang murni natural give dan tidak bisa di touching dengan intimidation negative work�. Tidak disangka ternyata pernyataan itu muncul dari mulut Toni Edi Suryanto atau bagi pengguna Youtube atau Facebook lebih dikenal dengan nama Toni Blank Show. Bila dikaitkan antara Toni Blank dengan isu pemilu di daerah-daerah maka saya begitu merasa bertambah menertawai negeri ini terutama para politikus yang berebut kekuasaan. Coba saja sandingkan Toni Blank dengan para politikus yang mengumbar janji kosong. Samasama gila, cuma perbedaannya Toni lebih terhormat karena ketika ber-

bicara tidak mempunyai kepentingan ataupun ambisi untuk berkuasa apalagi mengambil hak orang lain. Kadang kala kita perlu belajar tidak hanya pada orang waras tetapi cobalah belajar pada orang gila. Sekarang banyak orang yang mengaku waras tetapi ternyata gila, termasuk gila harta, gila kedudukan, dan gila akan kebohongan. Tiga kegilaan itu sangat dekat dengan politikus yang bertarung di pilkada. Mungkin saja ketika belajar dari orang gila malah kita bisa menjadi waras. Kebohongan politik hanya menebarkan prestasi yang semu. Seperti peningkatan pendapatan daerah. Padahal sudah jelas dengan menambah penarikan dana dari masyarakat tanpa peningkatan kualitas pelayanan, penyediaan sarana prasarana publik dan kualitas hidup masyarakat. Janji kesejahteraan yang didengungkan dalam pilkada hanyalah lip service atau politik air ludah, biarpun hing-

ga berbuih-buih namun tetap saja akhirnya dibuang dan dilupakan. Kesadaran politik dan pengawasan secara aktif oleh masyarakat sangat diperlukan saat ini. Seperti apa yang dinyatakan oleh Ignas Kleden dalam buku Masyarakat dan Negara; Sebuah Persoalan (2004) bahwa masyarakat sendiri harus membuat pemimpinnya menjadi baik dengan mengawasinya secara ketat terus menerus. Pemilihan langsung semestinya rakyatlah yang mempunyai kendali penuh untuk menentukan siapa pemimpinnya yang bisa membawa ke arah mana masa depan daerahnya. Seperti kata Toni Blank saat ditanya apa tujuan pemilu. Dengan lantang Ia menjawab, “Memilih suatu kepala pemerintahan yang bijaksana menurut penilaian putra-putrinya, berdasarkan nilai poin kinerja yang nyata�. Bila dipikir-pikir, siapa yang sebenarnya gila?

Demokrasi adalah Pemborosan

F

Bayu Aji Nugroho Pengurus DPM FBS

antastis! jumlah uang yang dikeluarkan untuk penyelenggaran sebuah demokrasi. Dalam tiga tahun terakhir, sebagian besar Daerah Tingkat I dan II sudah menggelar pilkada, , 20 pilkada gubernur serta 352 pilkada bupati dan wali kota. Saat ini, ada 33 provinsi dan 471 kabupaten/kota di seluruh Indonesia. Berarti, rata-rata ada satu pesta demokrasi di tingkat lokal setiap tiga hari. Itu belum termasuk pemilu legislatif dan presiden lalu. Bahkan, ada beberapa kalangan yang mengusulkan kepala daerah kembali dipilih oleh DPRD. Banyak yang menilai pemilihan langsung terlalu maju bagi bangsa Indonesia yang masih miskin. Selain karena besarnya dana untuk penyelenggaraan pilkada, terlalu seringnya ke TPS juga jadi pertimbangan. Setidaknya, setiap orang

harus lima kali ke TPS untuk memilih gubernur, bupati/wali kota, anggota DPR/DPD/DPRD, dan presiden. Dana pilkada di beberapa daerah bukan main dahsyatnya. Jawa Barat mengucurkan Rp 696,1 miliar; Jawa Timur, Rp 500 miliar; Sumatra Utara, Rp 382 miliar; DKI Jakarta, Rp. 148 miliar; Jawa Tengah, Rp 300 miliar; Bali, Rp 75 miliar; dan Banten, Rp 95 miliar (sumber: Republika) Bahwa pilkada menggerus anggaran, bukanlah cerita kosong. Dana pilkada gubernur di NTT, misalnya sebesar Rp 204,2 miliar. Itu belum termasuk dana dari pasangan calon. Padahal, dari daerah ini kerap muncul berita mengenaskan, seperti gizi buruk dan tingkat kemiskinan tinggi. Biaya yang dikeluarkan calon kepala daerah dapat melampaui angka untuk penyelenggaraan pilkada. Mengutip dari salah satu calon kepala

daerah di Jawa Timur, biaya yang ia keluarkan mencapai Rp 1,3 triliun untuk Pilkada satu putaran saja. Bila anggaran pilkada baik dari APBN, APBD, dan pasangan calon di 33 provinsi dirata-ratakan Rp 100 miliar, maka dana yang dihabiskan Rp 3,3 triliun. Sedangkan bila anggaran pilkada di kab/ kota dirata-ratakan Rp 20 miliar, maka total yang dihabiskan di 471 kab/kota adalah Rp 9,4 triliun. Bila ke semua pemilu itu digabung dengan pemilu legislatif dan pemilu presiden menghasilkan angka yang lebih fantastis yaitu 5 miliar dolar AS atau Rp 46 triliun. Apakah ini harga dari sebuah demokrasi? Mestinya pemilu harus hemat dan praktis. Alangkah baiknya uang yang luar biasa itu bisa ditekan dan dikompensasikan ke sektor-sektor lain yang lebih membutuhkan.

Kesejahteraan Hanya Impian

P

Amalia Mahasiswa Bimbingan dan Konseling 2009

ilkada? Oh..nampaknya bukan hal yang baru lagi untuk kita. Pemilihan kepala daerah atau kerap kali disebut Pilkada ini telah digelar disejumlah daerah. Tentunya, tidak sedikit biaya yang dikeluarkan oleh pemerintah dalam penyelenggaraan Pilkada. Tidak hanya ratusan juta bahkan mencapai angka yang cukup tinggi sekitar puluhan milyar rupiah. Namun apakah dengan pengeluaran yang sebanyak itu akan berdampak positif bagi kehidupan masyarakat di setiap daerah? Belum tentu, alhasil demokratisasi di daerah belum juga berdampak pada kesejahteraan masyarakat. Di Negara kita yang demokrasi ini, tentu saja masyarakat mempunyai kebebasan dalam berpendapat , tetapi hal itu belum cukup untuk masyarakat dalam mengeluarkan aspirasi-aspirasi

mereka. Padahal rakyat adalah pemegang kekuasaan tertinggi di negara demokrasi ini. Demi mewujudkan ambisi menjadi kepala daerah, para calon rela mengeluarkan uang hingga ratusan juta rupiah hanya untuk kegiatan kampanye, padahal belum tentu mereka terpilih menjadi kepala daerah. Tak jarang mereka melakukan caracara kotor seperti money politic supaya terpilih. Masyarakat pastinya senang-senang saja menerima uang dengan cuma-cuma, tapi mereka belum tentu memilih calon tersebut di saat pemilu berlangsung. Nah..di situlah letak masalah yang dihadapi para calon kepala daerah, uang ludes impian menjadi kepala daerah pun sirna. Daripada menghambur-hamburkan uang untuk menyelengarakan Pilkada, mestinya pemerintah lebih memprioritaskan kepentingan

masyarakat yang utama seperti pendidikan dan fasilitas umum. Nyata nya, seringkali uang untuk menyelengarakan Pilkada tersebut disalahgunakan, sehingga uang yang seharusnya dinikmati rakyat untuk mendapatkan kesejahteraan, hilang dengan sia-sia. Rakyat bukannya mendapatkan kesejahteraan seperti yang mereka dambakan selama ini, tetapi mereka hanya memperoleh harapan kosong semata.

Tesa Edisi Depan Program kewirausahaan diluncurkan pemerintah melalui berbagai departemen. Sudah efektifkan mengurangi pengangguran? Tulis pendapat anda sepanjang 3.500 karakter with space, kirim ke nuansa@bp2munnes.com sebelum 15 Februari 2010.


Edisi 129 TH XXII/ 2010

Laporan Utama

5

K

umandang adzan Maghrib terdengar di Jalan Kelud Raya Sampangan. Sebuah kafe sudah menyalakan lampu hias berwarna kemerah-merahan. Saat itulah Saerozi dan Priyono sibuk menguruk sebuah lubang persis di pinggir jalan. Kaki, tangan, cangkul, bahkan baju yang mereka kenakan kotor terkena lumpur. Sabtu petang (4/12) kemarin Sampangan memang terguyur hujan sehingga tanah galian jadi becek. Keduanya adalah tukang gali saluran kabel optik. Mereka tidak hanya berdua. Di titik lain ada 12 kawan mereka yang mengerjakan aktivitas serupa. Mereka berasal dari satu desa di Kecamatan Ndayang, Grobogan. Syamsudin, ketua rombongan, bercerita, ia dan rekan-rekannya sudah tiga hari di Semarang. Total ada 14 pekerja. “Karena di rumah sawah belum musim dikerjakan kami kerja di sini,” ujarnya. Sambil menunggu pick up yang menjemputnya Syamsudin dan rekan-rekannya duduk di bawah pohon. “Anak saya juga ikut. Umurnya 16 tahun,” lanjutnya sambil menunjuk anak laki-laki yang berdiri tidak jauh darinya. Pekerja dari dusun Puluh, Ndayang, Grobogan ini memang hampir semuanya petani. “Tapi sawah kami sedikit,” Syamsudin menambahkan. Karena musim panen sudah selesai, sementara sawah sudah ditanami kedelai, mereka memilih bekerja di Semarang. “Siapa saja

WWW.GETYIMAGES.COM

boleh ikut. Tidak pilah-pilih.” Kardi, yang kini sudah berusia 52 tahun misalnya, memilih ikut karena di rumah tidak punya sawah. Sehari-hari dia bekerja membantu orang di pasar. Kakek satu cucu ini harus tetap bekerja karena punya banyak anak. Yang paling kecil bahkan masih berusia dua setengah tahun. Menurut Sulis, salah satu anggota rombongan, mereka bekerja dengan sistem borongan. Mandor memerintahkan untuk menggali saluran sepanjang 25 kilometer. Biasanya, setiap meter dihargai seribu rupiah. Bayaran akan diterima setelah pekerjaan selesai. Hanya uang makan sebesar Rp 30 ribu yang mereka terima setiap hari. “Kadang-kadang segitu kurang,” lanjut Sulis. Bekerja sebagai tukang gali ternyata tidak mudah. Selain tanah relatif keras, peralatan yang digunakan masih terbilang sangat sederhana. “Hanya pakai cangkul, garu, sama linggis,” terang Saerozi. Pekerjaan akan semakin berat karena di dalam sering ditemukan banyak batu. Karena itulah kadang-kadang mereka harus makan hingga empat kali sehari. “Ndak perlu enak-enak, yang penting ada nasinya,” sambung Sulis. Meski pekerjaan itu melalahkan, mereka mengaku bisa menikmati. Menurut Saerozi tubuhnya tidak lagi terasa pegal-pegal lantaran sudah terbiasa. Memang, jauh hari sebelum menerima order di Semarang, mereka sudah bekerja di berbagai kota. “Pernah di Sumbawa, Madura, Bali, Kalimantan. Pernah juga di Batam,” terang Priyono. “Kalimantannya di mana saya tidak tahu,” sambungnya. “Yang penting Kalimantan.” Satu Rumah Sejak datang di Semarang tiga hari lalu mereka tinggal di sebuah kontrakan yang disediakan mandor. Total ada 30 orang yang tinggal di sana. “Selain kami ada rombongan lain. Dari Jember sama Malang kalau ndak salah,” Sulis

Nuansa/Rahmat

JANGAN MALU JADI PETANI, BUNG! menambahkan. Sebab tidak ada kamar, mereka tidur di atas lantai yang dialasi karpet. Meski tidak kedinginan, mereka mengaku kerap terganggu nyamuk. “Paling kami pakai sarung untuk selimut,” lanjutnya. Usai bekerja mereka mencari hiburan sambil jalanan. Sebab di kontrakan tidak ada televisi. “Jalan-jalan di tempat-tempat seperti ini saja,” ucap Saerozi sambil menunjuk trotoar di seberang jalan. Kalau sedang malas keluar mereka memilih ngobrol sambil menikmati kopi. “Nggedebus sama teman-teman. Biasanya sampai malam,” kata dia. Mereka akan bertahan di kontrakan hingga pekerjaan selesai. “Mungkin sekutar 20 hari,” ujar Syamsudin. Meskipun Grobogan tidak terlalu jauh, mereka akan pulang kampung sebelum pekerjaan selesai. Karena itulah mereka sering kangen keluarga di rumah. “Sering inget anak sama istri,” ujar Saerozi. Tidak hanya itu. Karena berpisah lama, mereka juga kerap kangen bermesraan dengan istri. Lalu bagaimana? “Ya kami empet. Kami tahan saja. Puasa,” ujar Saerozi. “Kami tidak ‘macam-macam’. Takut dosa,” timpal Sulis tersenyum geli. Kisah mereka menjadi potret getirnya kehidupan petani. Sawah tidak seberapa luas, harga fluktuatif, dan terbatasnya kemampuan mangerial membuat pertanian menjadi kurang menajnjikan. Akhirnya mereka memilih merantau, menjadi buruh. Tren semacam itu ternyata terus berlanjut. Anak muda saat ini nyaris tidak ada yang berminat menjadi petani. Para sarjana justru memilih mengincar jabatn publik sebagai Pegawan Negeri Sipil (PNS) atau karyawan perysahaan swasta. Selain jaminan gaji yang sempulur, bekerja sebagai PNS dan karyawan relatif lebih terhormat. Sedangkan petani? Konon tidak lagi membanggakan. Benarkah demikian? Mengapa?


6

Laporan Utama

Edisi 129 TH XXII/ 2010

PILIH NGANTOR KETIMBANG TRAKTOR Sejengkal harapan yang diberikan dari profesi tani menjadi acuan lulusan perguruan tinggi tidak memilih profesi tersebut. Menjadi pegawai negeri sipil dengan gaji, tunjangan yang terus naik dan pensiunan telah membutakan mata hati pemuda dari warisan bumi agraris ini.

B

alutan baju putih dan celana hitam dikenakan lebih dari dua ribu orang saat mengikuti tes tertulis Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) Badan Pusat Statistik (BPS) Jawa Tengah di GOR Stadion Jatidiri Semarang pertengahan pekan ketiga bulan November lalu. Terlihat mereka sangat serius untuk memperebutkan kursi sebagai abdi negara. Perebutan kursi pegawai saat ini banyak dijadiakan perjudian oleh wisudawan kuliah. Dari data yang dihimpun buletin Express dengan sampel mahasiswa Unnes, sejumlah 68 persen mahasiswa memilih melamar pekerjaan. Dan yang memilih bergelut di bidang pertanian hanya kurang dari lima persen. Tangan-tangan terampil para pelamar pekerjaan itu seakan tengah membiasakan bermesra-mesraan dengan pena, modal yang dibawanya sejak pertama kali mengenyam pendidikan. Bahkan modal yang digunakan orang tua mereka - cangkul, arit, bajak dan kerbaunya - untuk mencari biaya sekolah sepertinya mulai terenyahkan. Seperti yang dilakukan Nazrul Kurniawan, lulusan Teknik Komputer Universitas Sebelas Maret Surakarta (UNS). Sehari sebelum tes dilaksanakan, Dia telah berangkat dari Sragen - kota asal anak petani itu - menuju

Nuansa/Rahmat Semarang untuk mengikuti tes CPNS Badan Pusat Statistik (BPS) Jawa Tengah. Dia memilih bermalam di Semarang karena tidak ingin kelelahan jika harus berangkat pagi-pagi. Semalaman persiapan itu dilakukannya. Dengan mengenakan baju putih yang sudah terlihat agak coklat, optimisme tengah dikantonginya. Keyakinan bahwa kursi kepegawaian itu masa depan, telah tersemen dalam jiwa. Saat ditanya mengenai mengapa tidak memilih menjadi petani, ia menuturkan bahwa pilihannya menjadi pegawai sudah sangat tepat. Jika ilmu yang didapatnya ketika kuliah hanya digunakan untuk bekerja sebagai petani sangat tidak relevan. Menurutnya, bertani itu rekoso. Hasil yang didapat dari bertani pun juga tak sepadan dengan kucuran keringat yang keluar.

Akhir-akhir ini sayembara-sayembara untuk memperebutkan posisi sebagai abdi negara banyak dirilis oleh pemerintah. Seolah matahari terbit dengan cerah, setelah hujan deras melanda ketika malam harinya. Para wisudawan seperti mendapat semangat baru untuk berpetualang dengan menggunakan selembar kertas yang didapatnya dari bangku kuliah, ijasah. Mereka tak peduli, berapa musuh yang akan bersaing demi kursi pegawai negeri sipil. Ibaratnya, saingan hanyalah tembok besar yang telah rapuh dan mudah diruntuhkan. Karena iming-iming tunjangan tengah nongol didepan mata. Lomba jadi Pegawai Di beberapa daerah, pelamar CPNS jumlahnya begitu fantastis. Misal, di Jambi, dari 371 kursi yang tersedia, pela-

mar yang mengirim berkas lamaran lebih dari 22.000. Hal serupa juga terjadi di beberapa daerah di Indonesia. Soloraya, Kabupaten Sukoharjo menjadi daerah yang mendapati pendaftar CPNS terbanyak, yakni 24.531 pendaftar. Dibandingkan Sragen yang hanya dilamar 10.709 dan Wonogiri 10.999 pendaftar. Sukoharjo menjadi jawara keempat dari persaingan banyaknya pelamar CPNS di Provinsi Jawa Tengah yakni dengan 24.531 pendaftar, disusul Kabupaten Brebes 16.967 pendaftar serta Jepara 15.247 pendaftar. Sementara itu, di Palembang, sejumlah lebih dari 105.000 pelamar mengirimkan berkas-berkas ketentuan untuk melamar gawean, itupun masih diseleksi lagi. Lebih dari itu, sekitar 14.475.000 lebih pendaftar CPNS Kominfo mengikuti tes tertulis yang diselenggarakan serentak di Indonesia, Sabtu (27/11). Padahal tidak seperti itu adanya, negeri ini butuh petani-petani bersemangat untuk bertani. Pada empat tahun terakhir, jumlah produksi dan konsumsi beras di Indonesia mencapai tingkatan yang hampir sama. Tak lebih dari 1,5 persen produksi beras mengungguli tingkat konsumsi dari 38.400 ton (rata-rata empat tahun terakhir) beras yang diproduksi. Terlebih lagi, 98 persen penduduk Indonesia

sudah menjadikan beras sebagai makanan pokok. Akan tetapi, produksi yang dihasilkan tidak sebanding dengan kebutuhan konsumen. (Kompas, 30/8) Alih-alih ingin memajukan negara dengan mengabdi sebagai antek-antek pemerintah, para pemuda seakan telah lupa akan bumi pertiwi yang dulu pernah berjaya sebagai penghasil temulawak. Negeri agraris ini seakan tengah lapar akan budaya menghidupkan sektor pangan. Tangan pemuda tak urung halnya sudah tak mengenal cangkul, arit, dan bajak, bahkan kerbau sekalipun. Kini buku, pena, angka dan huruflah yang menjadi tumpuan hidup. Harpannya, perusahaan-perusahaanlah masa depan itu ada, bukan lembutnya campuran air dan lumpur di sawah. Nazrul hanya salah satu contoh dari ribuan pemuda yang mnginginkan mejadi PNS. Sebelum kembali ke Sragen, ia mengatakan, banyak harapan yang didapat jika ia menjadi pegawai. Setidaknya ia bisa membahagiakan orang tua yang telah menyekolahkan sampai ke bangku kuliah. “Kalau bisa kamu itu jadi pegawai saja. Jangan seperti bapak ini, yang kerjaannya cuma menggarap sawah dan hasilnya hanya cukup untuk makan,” ungkapnya menirukan perkataan bapaknya. Aditya Rustama

Ini Warisan, tak “Bisa” Ditawar Harga mati bagi petani, ketika mereka lebih memilih sawahnya dibandingkan uang ganti rugi dari pemerintah daerah.

iskandarhadji.blogspot.com

K

ulitnya legam karena sering terbakar terik matahari. Topi menutupi rambut yang telah memutih, ukiran kerut terlihat dari paras wajah tuanya. Dialah Wakidin, petani dari desa Tegongan, Pejagan, Brebes. Akan tetapi, sema ngat untuk bekerja tidak surut meskipun ditelan usia. Lumpur menempel pada kemeja batik bermotif Kor pri dan celana pendek selutut yang telah rombeng menjadi seragam “dinasnya” sehari-hari. Pria 80 tahun itu terus mengayunkan cangkulnya memahat seperempat hektar petakan sawah miliknya. Sembari sesekali mengusap keringat yang membasahi wajahnya, pria

tua itu menanggapi obrolan diantara kami sambil tersenyum ramah. Dia mengajak kami ke gubug kecil di tengah sawahnya. Setiba di sana, ia menceritakan keluarga dan kehidupannya sebagai petani. “Enam anak saya tak satupun mau menjadi petani, padahal profesi ini sangat menyenangkan menurut saya,” ungkap Wakidin sembari memandangi hamparan sawah yang ditanami padi. Seperempat hektar sawah merupakan luas yang sangat minim untuk sebuah keluarga dengan enam anak seperti Wakidin. Dalam sekali panen, ia hanya mampu meraup lima hingga tujuh kuintal gabah. Bahkan tak jarang jika burung, tikus, dan wereng, lebih dulu

"memanen" padi miliknya ketimbang ia sendiri. Jika sudah demikian, maka ia harus mencari pinjaman uang untuk digunakan sebagai modal menanam selama empat bulan ke depan. Sebuah pilihan bagi Wakidin ketika pemerintah menawar sawahnya untuk dijadikan area pembangunan tol Kanci-Pejagan dengan harga Rp 250.000/ m2. Jumlah yang menggiurkan menurutnya. Namun, ia menolak uang ganti Rp 250.000/m2 daripada harus kehilangan sawahnya. Sawah tersebut dapat dikatakan sudah menjadi harga mati bagi Wakidin sehingga akan terus dijaga dan dipertahankan olehnya. Peristiwa yang dialami Wakidin merupakan salah


Laporan Utama

Edisi 129 TH XXII/ 2010

7

MINA PADI UNTUK KESEJAHTERAAN PETANI Tingginya zat kimia yang terkandung dalam pupuk anorganik menuntut manusia untuk bisa berinovasi. Mina padi dan pupuk organik kini mulai dikembangkan untuk mewujudkan masyarakat sehat.

A

gus Hartoko, Dosen Perikanan dan Peneliti Jurusan Perikanan serta salah satu Tim Pengabdian Masyarakat Undip dari Fakultas Perikanan dan Kelautan duduk di ruang kerjanya di lantai tiga gedung

dari Jurusan Sumber Daya Perairan. Mina padi adalah salah satu tipe budidaya ikan di sawah. Pengolahan lahan persawahan dengan sistem mina padi memberikan hasil tambahan bagi para petani. Hal ini juga bertujuan menyejahterakan

Agus Hartoko dan Petani

jurusannya. Dengan santai dan gamblang ia menjelaskan apa itu mina padi kepada NuansA. Saat ini, Universitas Diponegoro sedang mengembangkan mina padi dengan menggunakan pupuk organik hasil penelitian

masyarakat. Salah satu metode yang digunakan agar budidaya tersebut berjalan yaitu dengan menggunakan pupuk organik. Ke-oraganik-an itu diperoleh dari tanaman yang menggunakan pupuk Chitosan dan pupuk orga

satu potret dari maraknya konversi lahan persawahan. Konversi dapat diartikan sebagai perubahan dari satu bentuk ke bentuk yang lain. Dalam hal ini yaitu perubahan dari sawah menjadi jalan tol. Juga dapat diartikan sebagai perpindahan dari satu pemilik ke pemilik yang lain. Perpindahan tersebut dari milik para petani menjadi milik Pemerintah Daerah setelah memberikan ganti rugi atas tanah tersebut. Konversi merupakan masalah besar dalam pertanian bagi para petani seperti Wakidin. Konversi lahan pertanian selain digunakan untuk jalan tol, juga sebagai tempat hunian dan industri. Sebagai salah satu contohnya, pembangunan jalan tol sepanjang 652 kilometer dari Cikampek, Jawa Barat, hingga Surabaya, Jawa Timur, itu memakan 4.264 hektar lahan, yang sebagian

besar areal persawahan (Kompas, 17/11). Data yang didapat dari Badan Koordinasi Penataan Ruang Nasional menyebutkan konversi lahan pertanian di Jawa, terutama di jalur pantai utara (pantura), memang sangat marak dalam dua dasawarsa terakhir. Kepala Seksi Serealia Dinas Pertanian, Perkebunan, dan Peternakan Kabupaten Cirebon Wasman mengatakan, kecenderungan alih fungsi lahan di Cirebon terus meningkat pada rentang tahun 2003-2007. Dalam rentang itu, luas lahan sawah menyusut dari 56.068 hektar menjadi 54.671 hektar. Sekitar 280 hektar areal persawahan berubah menjadi pabrik, perumahan, dan jalan tol. Di Kabupaten Purwakarta, alih fungsi terlihat di sepanjang jalur tengah di Kecamatan Campaka dan

nik cair. Chitosan merupakan zat anti bakteri yang berbahan dasar cangkang rajungan. Agus menjelaskan, bahan untuk pembuatan Chitosan ini tidak beracun dan tidak pula menimbulkan efek samping pada manusia. Produk lainnya, pupuk organik cair “Bhakti Diponegoro�, adalah larutan cair berisi mikroba yang digunakan pada lahan sawah untuk memasok unsur mikroba prebiotik yang sangat dibutuhkan dalam dekomposisi organik tanah. “Jika setiap petak sawah tidak lagi memakai bahanbahan kimia dalam proses penanaman maupun perawatan maka binatang kecil yang biasa hidup pada ekosistem persawahan akan tetap hidup,� ungkap Agus, Selasa (26/10). Salah satu lahan yang digunakan Undip untuk meningkatkan hasil panen dengan menggunakan Chitosan dan pupuk Organik ini adalah Kelurahan Jabu ngan Kecamatan Banyumanik Semarang. Menurut Agus, Jabungan menjadi sasaran utama pengabdian masyarakat karena selain lokasinya dekat Undip, tempat tersebut juga dinilai potensial untuk dikembangkan. Setelah dua tahun berjalan, hasilnya memuaskan. Kegagalan panen dapat dikurangi karena ekosistem sawah terjaga. Disamping tanaman padi, para petani juga memperoleh tambahan

hasil berupa belut. Belut mempunyai nilai ekonomi yang tinggi selain dari kandungan gizinya. Undip juga mengembangkan mina padi di Remabang untuk pemeliharaan tanaman bakau, tambak udang di Mangkang, pertanian di Salatiga, dan Semarang.

Cibatu. Areal persawahan semakin sulit ditemui di jalur utama penghubung Purwakarta-Subang tersebut. Selain pabrik, di jalur itu kini berdiri sejumlah perumahan baru, terutama di sekitar Pintu Tol Sadang. Di Semarang, Direktur Wahana Lingkungan Hidup Jawa Tengah Arief Zayyin mengemukakan, bila proyek jalan tol Semarang-Solo dan

tol Semarang-Losari tetap dibangun, akan memangkas rata-rata 10-15 persen lahan sawah di tiap-tiap kabupaten. Jumlah lahan pertanian yang sebagian besar diubah menjadi jalan tol, secara tidak langsung telah memangkas areal persawahan. Maka dari itu, solusi untuk mengatasi terjadinya konversi lahan tidak bisa hanya

Nuansa/Rahmat

Keunggulan yang lain adalah pada tanaman padi yang menggunakan pupuk organik dan Chitosan adalah tanaman tidak mudah ambruk dan bulirnya mentes. Tanah persawahan menjadi gembur karena terdapat banyak cacing dan belut.

Contoh Produk

Keunggulan Chitosan dan Pupuk Organik Chitosan tidak hanya dipakai untuk pertanian, tetapi dapat juga digunakan untuk pengawetan makanan serta sebagai larutan pencuci darah yang tengah dikembangkan Undip. Chitosan juga mempunyai banyak fungsi unggulan, diantaranya fungsi anti-bakteri, anti-Jamur, menyerap dan mengendapkan bahan beracun di lahan sawah, menjernihkan air (koagulan).

Hambatan Meskipun proses pembuatannya mudah, akan tetapi hal yang paling sulit adalah ketika menganjurkan para petani menggunakan Chitosan dan pupuk Organik. Para petani masih tergantung pada pestisida atau pupuk kimia. Hampir 40 tahun mereka menggunakan pestisida maupun pupuk kimia, sehingga untuk merealisasikannya harus secara perlahan dan bertahap. Menurut Agus, kesadaran petani jauh lebuh berharga. Dengan tidak lagi menggunakan pestisida atau pupuk kimia maka dapat mengurangi resiko berbahaya. Jika petani menggunakan pestisida atau pupuk kimia, maka tanaman yang dihasilkan tidak organik dan ketika dimakan sudah mengandung racun. Hal ini sangat membahayakan bagi kesehatan. Kelemahan lain yang ditemui adalah pupuk tersebut sudah diproduksi tetapi bukan dalam skala besar karena baru awal, sehingga barang ini perlu diinduksi. Rina Widyastuti

disandarkan pada upaya pemerintah lewat kebijakankebijakan utamanya dalam pertanian. Solusi yang biasa ditawarkan salah satunya dengan meningkatkan kualitas petani Indonesia. Baik melalui pendidikan maupun penambahan akses informasi atas apa yang mereka gunakan. Melalui pendidikan, petani dapat memperoleh kedaulatan untuk menentukan apa yang bisa mereka lakukan di tanahnya sendiri dan melakukan berbagai macam inovasi. Hal tersebut memang dapat dikatakan sebagai hal yang utopis saat ini. Namun, jika pemerintah benar-benar melakukan program peningkatan kualitas petani, serta kesiapan dari anak bangsa untuk membangun serta meningkatkan pertanian di Indonesia. Yusri Maulina, Estik Wijayasari


8

Laporan Utama

Edisi 129 TH XXII/ 2010

KENAL KUR REJEKI BAKAL NGUCUR swaberita.com

Era globalisasi telah mengubah kisi-kisi berbagai bidang kehidupan. Tak terkecuali bidang ekonomi negara ini.

S

aat ini, kelompok usaha tani tengah berjuang mengembalikan kejayaan dunia pertanian. Namun, perlu disadari bahwa ada banyak hal yang mempengaruhi perkembangan usaha dibidang pertanian tersebut. Tenaga kerja, kemampuan membaca pasar serta modal merupakan tiga hal yang menjadi kendala utama. Dari ketiga hal tersebut, modal menjadi kendala awal saat usaha akan dimulai. Maka para petani harus pandai-pandai dalam mencari serta mengolah modal yang ada. Baru-baru ini, pemerintah bersama pihak bank mengadakan program Kredit Usaha Rakyat (KUR) untuk petani. Masyarakat terutama terutama para petani sangat antusias dengan hadirnya program tersebut. Harapan besar timbul karena kredit yang ditawarkan bernilai besar dan bank mengemukakan persyaratan

yang mudah, masyarakat pun perlu mengenali program KUR, sehingga bisa mendapatkan modal dan memperoleh keuntungan. Modal usaha bagi kelompok tani merupakan permasalahan yang cukup pelik. Maka muncullah komitmen dari pihak bank untuk membantu mengembangkan bidang pertanian serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Salah satu bentuk komitmen itu adalah dengan dibukanya kredit untuk modal usaha bagi petani yang disebut dengan Kredit Usaha Rakyat (KUR) untuk para petani. Biasanya pihak bank agak sulit untuk memberikan kredit modal usaha bagi petani, karena petani terbiasa dengan bantuan sehingga dianggap memiliki resiko yang cukup tinggi bagi bank. Dengan pemberian kredit modal usaha ini diharapkan akan meningkatkan akses pembiayaan dan mengembangkan dunia pertanian. Harapan lebih jauh dengan modal usaha melalui KUR, angka penganggu-

m.kompas.com

Dokumentasi

ran dan angka kemiskinan dapat dikurangi. Mempermudah penyaluran modal usaha bagi petani diharapkan mampu mendorong tumbuhnya ekonomi secara signifikan. Pada dasarnya, KUR merupakan modal kerja dan kredit investasi yang disediakan secara khusus untuk unit usaha produktif melalui program penjaminan kredit. Perseorangan, kelompok, atau koperasi dapat mengakses program ini dengan kredit maksimum Rp 500 juta. Sumber dana adalah bank yang ditunjuk dengan tingkat bunga maksimum 16 persen per tahun. Persentase kredit yang dijamin adalah 70 persen dari alokasi total kredit yang disedikan oleh bank tersebut. Masa pinjam kredit untuk modal kerja maksimum tiga tahun dan tahun untuk investasi. Untuk agribisnis, bidang usaha yang layak adalah input produksi hingga penyediaan alat dan mesin pertanian, aktivitas onfarm, serta pengolahan dan pemasaran hasil-hasil pertanian. Untuk ketentuan dan pembagian jenis KUR pada tiap bank berbeda-beda rinciannya, tetapi hampir semua bank mengajukan persyaratan yang sama. Sebagai contoh Bank Rakyat Indonesia yang ikut serta dalam program KUR tersebut. Ada tiga Skim yang dapat dilayani oleh KUR ini, yaitu : Pertama, KUR Ritel, Modal Usaha dengan plafond Rp. 5 Juta s/d Rp. 500 juta dapat dilayani Kantor Cabang BRI dan Kantor Cabang Pembantu. Kedua, KUR MIKRO, Modal Usaha dengan plafond dibawah Rp 5 juta, dapat dilayani oleh BRI Unit. Ketiga, KUR Linkage, ditujukan untuk BKD, KSP/ USP, BMT, LKM lainnya dapat dilayani di Kantor Cabang dan Kantor Cabang Pembantu. Plafond kredit

Rp 5 Juta s.d Rp 500 juta. Pinjaman LKM ke pengguna akhir maksimal sebesar Rp 5 juta. Dalam prosesnya, ada ketentuan-ketentuan pengajuan kredit modal usaha KUR. Calon penerima KUR bisa dari individu baik perorangan ataupun badan hukum, kelompok, dan koperasi. Debitur harus bisa melakukan usaha produksi yang layak. Besar kredit yang dikucurkan maksimal Rp 500 juta dengan jangka waktu minimal enam bulan dengan waktu maksimal yang ditentukan sesuai dengan besarnya pinjaman. Selain itu, calon penerima harus melengkapi perijinan yang terbagi menjadi dua ketentuan. Kredit berjumlah sampai dengan Rp 100 juta maka diperlukan Surat Izin Usaha Penerbitan (SIUP), TDP dan SITU atau Surat Keterangan Usaha dari Lurah atau Kepala Desa. Sedangkan kredit berjumlah lebih 100 juta rupiah maka diperlukan minimal SIUP atau sesuai ketentuan yang berlaku. Hal lain yang wajib dipenuhi individu untuk mengajukan kredit adalah melampirkan Kartu Tanda Penduduk dan Kartu Keluarga. Kredit bagi kelompok wajib disertai Surat Pengukuhan dari Instansi terkait atau Surat Keterangan dari kepala Desa/Kelurahan atau Akta Notaris. Sedangkan kredit untuk koperasi ataupun badan usaha lain disesuaikan dengan ketentuan yang berlaku. Pokok: Dapat hanya berupa agunan pokok apabila sesuai keyakinan Bank Proyek yang dibiayai cashflownya mampu memenuhi seluruh kewajiban kepada bank (layak). Tambahan:Seperti tanah/bangunan/kendaraan (tidak wajib dipenuhi). Nur Endah Assalma


Laporan Utama

Edisi 129 TH XXII/ 2010

9

KUNCINYA ADALAH INOVASI

Nuansa/Rahmat

gan itu bisa berubah setiap saat. Jika kondisi ekonomi labil NTP bisa anjlok sehingga kesulitan memenuhi kebutuhan hidupnya. Menurut pakar pengelolaan keuangan mikro Jurusan Manajemen Bisnis Undip Bulan Prabawani, ada dua kendala utama yang menyebabkn petani kurang berkembang. “Selain mo dal, umumnya petani kecil tidak punya manajemen keungan,” tuturnya. Kandidat doktor sebuah universitas di Perth, Australia, ini mendapati banyak petani yang bekerja asal dapat memenuhi kebutuhan hidupnya. “Kalaupun sesekali memtik hasil lebih mereka kerap membelanjakan uangnya untuk keperluan konsumtif,” ujarnya Rabu sore 2 Desember lalu. Kepala Badan Penyuluh Perikanan, Pertanian, Perkebunan, dan Kehutanan (BP3K) Kecamatan Tersono Batang Miftahul Ulum menyoroti manajemen pascapanen petani di daerahnya yang kurang baik. “Banyak

Konversi lahan pertanian untuk perumahan turut mengurangi produktivitas petani.

punya strategi khusus menggunakan tanah yang dimilikinya. Sebagaimana kebanyakan warga Kecamatan Rakit lain, ia bertani ala kadarnya. Hasil yang ia peroleh biasanya ditabung untuk menyiapkan musim tanam berikutnya. Sisanya, selain untuk membiayai hidup, ia gunakan untuk membeli perabot rumah tangga. Tidak ada perencanaan khusus supaya hasil bertani bisa terus tumbuh. Padahal Slamet, juga petani lain, dan masyarakat menghadapi inflasi. Badan Pusat Statistik (BPS) Jawa Tengah merilis Nilai Tukar Petani (NTP) Jawa Tengah Bulan Oktober 2010 memang mengalami kenaikan indeks sebesar 0,02 persen, yaitu dari posisi indeks 102,60 pada Bulan September 2010 menjadi 102,62 pada Bulan Oktober 2010. Namun kencederun-

jualan terendahnya agar petani tidak kecele,” lanjut Bulan. Banyak petani yang rugi karen ahasil pertaniannya justru tidak cukup menutupi biaya produksi. Kendala Kultural Bulan memaklumi kondisi itu karena sebagian besar petani memang bukan berasal dari kalangan terdidik. Menurutnya, kondisinya kaan lebih baik jika sarjana yang menjalankan usaha bidang pertanian. Namun kendalanya, “petani masih dianggap sebagai profesi kelas rendahan. Jarang mahasiswa yang mau menekuni,” ungkap Bulan. Ada bahkan, sarjana pertanian dari sebuah perguruan tinggi ternama yang berencana bertani justru tidak diizinkan orang tuanya. “Buat apa Bapak dan Ibu menyekolahkan kamu jauh-jauh kalau hanya mau jadi petani seperti bapakmu yang ndak sekolah,” demikian Bulan menirukan tuturan seorang koleganya. Persepsi buruk terhadap profesi petani itulah yang membuat anak muda yang bertani terus menurun. “Sekarang sawah banyak yang dialihfungsikan ke bidang lain yang lebih produktif.” Harga keekonomisan tanah pertanian dengan kapling perumahan atau pertokoan memang terpaut jauh. Persoalan psikologis juga andil, sehingga anak-anak muda enggan bertani. Seperti dikutip Tabloid Bali pada 8 Juli 2010, bertani tidak bisa membuat anak muda merasa bangga. “Ini sangat masuk akal! Lihat saja para petani tradisional di desa-desa. Siklus kehidupan mereka sejak dulu hingga hari ini tak ubahnya sebuah gasing yang dipaksa menja-

yang mengijonkan padi mereka sehingga harganya sering jatuh,” ucapnya. Padahal, lanjutnya, pemerintah sudah menetapakan harga eceran terendah gabah. Supaya keuangan petani terencana baik, lanjut Bulan, mereka sebaiknya membentuk kelompok, baik dalam bentuk koperasi, kelompok tani, maupun membentuk usaha bersama. Dengan cara ini pemerintah akan lebih mudah melakukan pembinaan. “Masalahnya, sekarang pendampingan dari pemerintah dan perguruan tinggi sering dilakukan secara masal sehingga tidak efektif,” lanjutnya. “Mestinya pendampingan personal.” Selain itu, pemerintah mustinya menetapkan harga penjulana terendah untuk setiap komditas pertanian. “Hitung biaya produksinya, lantas tetapkan harga pen- Pemanfaatan teknologi pertanian.

Miftahul Ulum

di bandul jaman. Berputar dan tergantung di tempat semula dan tak bisa beranjak. Acapkali berbenturan dengan berbagai masalah, lalu terkapar dalam kondisi yang sama di tempat yang sama pula. Sementara sistem yang ada dan tangan-tangan kebijakan yang memainkan gasing sekaligus bandul itu, bisanya hanya bersorak menebar slogan, tanpa pernah mampu menolong dengan sungguh-sungguh dan tuntas,” tulisnya, menyoroti kondisi pertanian di Bali yang nyaria “ambruk”. Tren seperti ini bukan saja mengancam ketahanan pangan, tapi juga mengancam tradisi bertani. Karena itu, pemerintah mestinya mendorong inovasi agrikultur besar-besaran. Pemerintah harus me-rebranding profesi petani dari aspek kultural. Dengan begitu anak-anak muda tidak selalu ingin merantau hanya karena di kampung hasil pertanian tidak menanjikan. Hal ini pernah dilakukan anak-anak muda dari pesisir Kulon Progo, Yogyakarta. Kompas, Jumat, 11 April 2008 mengungkap dari 15an ribu petani lahan pasir di Kulonprogo, 70 persennya pemuda. Mereka tergabung dalam gabungan dalam Paguyuban Petani Lahan Pasir

(PPLP) Kulon Progo. Di Desa Pakembinangun, Kecamatan Pakem, Sleman, gerakan petani muda juga membentuk gabungan kelompok tani (gapoktan) yang terdiri dari 30 kelompok tani (KT). Dan setiap KT ini beranggotakan 1030 petani. ”Sebanyak 80 persen anggota gapoktan adalah pemuda, usia antara 20 hingga 40 tahun. Ratarata tamatan SMA. Bahkan ada yang lulus sarjana,” kata Bambang Sugeng, Ketua II Gapoktan Pakembinangun. Wasiatno , Sekretaris KT Rukun Dusun Padasan yang tergabung dalam Gapoktan Pakembinangun, mengatakan, menjadi petani bukanlah pilihan keterpaksaan. Anak muda di tempat itu melihat kegiatan bertani sangat menjanjikan jika dikerjakan dengan perencanaan yang rasional. “Prinsipnya, jadi petani harus mandiri dan kreatif,” kata tamatan SMA ini. Buktinya, dari kreativitas mereka bertani, banyak anak muda yang kini telah hidup mandiri. Dibandingkan dengan rekan-rekan yang memilih merantau, kondisi ekonomi mereka bahkan bisa dibilang cukup mapan. Mereka tidak hanya memiliki aset cair seperti uang, tapi punya tanah dan sapi. Ya, mereka mengombinasikan pertanian dengan peternakan sapi. Kotoran sapi menjadi pupuk organik bagi tanaman mereka, mengurangi ketergantungan pada pupuk kimia. ”Selain memiliki sepeda motor, petani di sini rata-rata punya sapi sendiri,” kata Widodo. Surahmat

Nuansa/Rahmat

J

alan alternatif Banj a r n e g a r a - Pu r b a lingga yang melintasi Kecamatan Rakit sudah mulai lengang. Memang, masih ada kendaraan roda dua, mobil pribadi, dan angkutan yang melintas, tapi tidak seramai pagi hari. Slamet, 24 tahun, masih mengerjakan rutinitasnya di ladang. Ia bersama istri dan kedua orang tuanya hilir mudik dari satu bedeng tanah ke bedeng lain. Sebagai petani muda penghasilan Slamet memang tidak terlalu besar. Tidak ada pendapatan pasti yng bisa dikalkulasi. Ia juga tidak pernah kejar setoran. Bagi dia, yang terpenting ia bisa merawat tanaman sebaik mungkin. Kalau pada saatnya panen toh ia akan menuai hasil, meski entah berapa besar nilainya. “Tapi selama ini cukup,” ujar Slamet mengomentari kondisi keuangan keluarganya. “Tapi ya musti pinter-pinter ngakali” selorohnya kemudian. Slamet mengaku tidak


10

Wawancara

Edisi 129 TH XXII/ 2010

PONENDI HIDAYAT

PEMBANTU DEKAN I FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN

SARJANA PERTANIAN, KEMANA?

I

ndonesia adalah negara agraris. Sektor pertanian masih menjadi sektor yang paling strategis untuk dikembangkan. Potensi pertanian di Indonesia sebenarnya mampu untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Bahkan kita bisa menguasai pasar dunia jika memiliki strategi pengembangan yang mapan dan berkelanjutan. Sayangnya sekarang ini minat para pemuda untuk mengembangkan bidang pertanian menurun. Jarang sekali ada pemuda yang memilih jadi petani. Kebanyakan mereka memilih bekerja kantoran atau jadi PNS. Petani dianggap sebagai pekerjaan kasta terendah. Bahkan, ketika seorang pemuda diberi pilihan untuk menjadi petani atau tukang ojek, mereka lebih memilih menjadi tukang ojek. NuansA mendapat kesempatan mewawancarai salah seorang ahli dibidang pertanian terkait permasalahan ini. Beliau adalah Ponendi Hidayat, Pembantu Dekan I Fakultas Pertanian Universitas Negeri Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto. Pria asal Tasikmalaya ini lahir tanggal 20 September 1961. Memiliki seorang istri dan tiga orang putra. Menyelesaikan Studi Strata 1 Agronomi di Unsoed kemudian melanjutkan Strata 2 dan strata 3 Pemuliaan Tanaman di Universitas Padjajaran (Unpad) Bandung. kami:

“

Petani itu bisa manager, bisa pengusaha, dan sebagainya. Bukan sebagai petani yang kita bayangkan sebagai tukang cangkul.

“ Dari dulu memang permasalahannya sepert itu. Makanya dulu itu pernah dipertanyakan kenapa sarjana petanian bekerja diluar bidang pertanian. Berarti anda setuju bahwa minat pemuda terhadap bidang pertanian sekarang ini menurun? Kelihatannya begitu. Kalau pertanyaan tadi indikatornya pemuda yang masuk perguruan tinggi jurusan pertanian sekarang meningkat, tapi kelihatannya sarjana-sarjana pertanian yang bekerja dibidang pertanian sedikit. Kenapa? Apa karena petani dianggap sebagai pekerja kasta terendah? Sebenarnya petani itu kan bukan apa yang biasa dibayangkan orang. Petani itu bisa manager, bisa pengusaha, dan sebagainya. Bukan sebagai petani yang kita bayangkan sebagai tukang cangkul. Kalau sekarang saya membayangkan petani itu tukang cangkul, mana ada sih yang mau jadi tukang cangkul, petani sawah seperti itu? Tidak ada kan?

Berikut petikan wawancara

Lalu petani yang seperti apa?

***

Paling tidak kita bisa jadi manager, peneliti dalam bidang-bidang pertanian dan sebagainya.

Bagaimana minat Pemuda di bidang pertanian, dalam hal ini mereka yang masuk jurusan-jurusan pertanian? Kalau ditanya minat barang kali sekarang ini sudah mulai meningkat, bagus. Itu dalam artian ingin masuk Perguruan Tinggi Fakultas Pertanian. Dari sisi akademis ya meningkat. Tapi kan tanda petik. Sebab apa? Sekarang kalau melihat alumnialumni pertanian masih banyak yang berkutat di luar bidang pertanian.

Apakah kurangnya teknologi menjadi masalah bagi petani kita? Teknologi bukan jadi masalah menurut saya. Kita tidak ketinggalan

teknologi. Apa sebenarnya yang jadi masalah? Yang jadi masalah, pemudapemuda sudah teracuni paradigma apa-apa uang. Makanya sering kali ketika pemuda diberi uang untuk berwirausaha pasti bingung. Bukan uang sebenarnya yang jadi masalah sekarang, tetapi keinginan dan kemauan berjuang dari nol yang tidak dimiliki para pemuda. Bagaimana supaya mereka tertarik untuk bertani? Mereka bisa tertarik dengan cara melihat. Mereka bisa tertarik setelah melihat ada yang berhasil. Mungkin dari situ kita bangun pemuda kita, dengan meperlihatkan contoh-contoh supaya tidak hanya teori. Apa yang mesti dilakukan pemerintah supaya para pemuda mau bertani lagi? Menurut saya kembali pada kebijakan pemerintah. Sejauh mana regulasi-regulasi pemerintah untuk mengatur bidang pertanian. Seperti dengan menguatkan koperasi misalnya. Saat harga-harga anjlok, pemerintah bisa apa? Di pasar, siapa yang menguasai barang-barang itu? Mafia. Kalau pemuda-pemuda melihatnya seperti itu mau apa? Kalau ada koperasikan petani tidak akan rugi. Jadi apakah regulasi-regulasi pemerintah selama ini tidak menguntungkan petani?

Nama: Ponendi Hidayat, Lahir: Tasikmalaya 20 September 1961. Pendidikan: S1 Agronomi di Unsoed, S2 dan S3 Pemuliaan Tanaman di Universitas Padjajaran (Unpad) Bandung. Pekerjaan: Pembantu Dekan Bidang Akademik Fakultas Pertanian Unsoed.

Bagaimana regulasi-regulasi pemerintah bidang pertanian? Tidak kuat masalahnya. Oleh karena itu mari kita kuatkan koperasi, tapi koperasi bukan simbol saja.padahal itu bagus menurut saya, sebab semua anggota koperasi punya hak dan kewajiban yang sama sebagai anggota. Itu dikuatkan, tapi skalanya bukan kelas ecek-ecek. Harus mencakup melingkupi semua wilayah. Nah itu diperlukan komitmen kuat dari pemerintah, berdayakan semua koperasi dibidang pemerintah. Mengapa pemerintah sering kali menggunakan lahan pertanian untuk dijadikan jalan tol atau pusat bisnis? Saya tidak tahu ini, apakah ini karena otonom. Rencana umum tata ruang kota harus matang. Berapa sih daya dukung tanahnya? Berapa raya dukung lingkungannya? Harus diperhitungkan secara matang. Disatu sisi membangun jalan atau pusat bisnis bisa mengembangkan bisnis di daerah tersebut. Namun disisi lain justru mematikan bidang pertanian. Padahal untuk mereklamasi lahan yang sudah beralih fungsi tidak semudah membalikan tangan. Butuh proses yang sangat panjang. Bagaimana peran Perguruan Tinggi untuk mengatasi turunnya minat pemuda untuk kembli bertani? Kita sebetulnya punya inkubator bisnis, didalam kaitannya dalam kewirausahaan. Apa itu inkubator bisnis? Mahasiswa yang ingin berwirausaha sementara dimodali oleh Diknas. Mereka diberi modal untuk bertani atau usaha apa saja. Lalu di inkubator itu mereka di pelihara dengan iklim kondusif. Diberikan konsultasi , aspek penjualan dibantu, dibantu mencari jaringan. Nah setelah dirasa mampu, mereka dilepas. Apa saja program-program Perguruan Tinggi untuk membantu memajukan bidang pertanian? Program perguruan tinggi masih relatif terbatas programnya dalam membantu memajukan bidang pertanian. Program yang telah dibuat seperti inkubator bisnis. Selain itu juga membuat desa-desa binaan seperti dengan beternak itik maupun bercocok tanam. [] Aliyudin MT


Analisis

Edisi 129 TH XXII/ 2010

11

IRONI NEGERI AGRARIS

J

TOTO SUBANDRIYO Sarjana Teknologi Industri Pertanian IPB, kini bekerja sebagai Kepala BP4K Kab.Tegal

ujur saja, saya pernah kehilangan kata-kata saat didaulat menjadi nara sumber sebuah seminar kemudian dihadapkan pada sebuah pertanyaan dari seorang peserta. “Apakah masih pantas saat ini Indonesia menyandang sebutan sebagai negeri agraris?� Secara normatif, kalau kita mengacu pada definisi negara agraris seperti yang diajarkan oleh para guru kita, jawaban pertanyaan tersebut tentu sangat mudah. Menurut Sensus Pertanian 2003, jumlah rumah tangga petani mencapai 25,4 juta, merupakan entitas sosial terbesar di negeri ini, jadi tidak salah kalau Indonesia disebut negara agraris. Namun jika dihubungkan dengan besarnya impor komoditas pangan saat ini, jawaban tersebut sangat layak untuk diperdebatkan. Angka statistik menunjukkan, setiap tahun devisa kita terkuras Rp 50 triliun untuk impor bahan pangan. Lebih besar dibanding total anggaran sektor pertanian per tahun. Angka itu juga setara dengan besaran APBD lebih dari 50 tahun bagi kabupaten/kota di Indonesia. Rata-rata APBD kabupaten/kota di Indonesia kurang dari Rp 1 triliun/ tahun. Ironis memang! Saat ini tercatat beberapa komoditas pangan yang masih harus diimpor, mulai dari beras, kedelai, jagung, gula, daging, bawang merah, buah-buahan, hingga garam dapur. Komoditas garam menjadi cerita ironi tersendiri. Meski negeri ini memiliki panjang pesisir 95.181 kilometer dengan luas perairan 5,7 juta kilometer persegi, namun setiap tahun harus mengimpor 1,58 juta ton garam senilai Rp 900 miliar.

ditandai dengan dominasi tenaga kerja tua kurang produktif, tengah melanda sektor pertanian negeri ini. Survei yang pernah dilakukan di Jawa beberapa tahun lalu mendapatkan bahwa petani berusia di atas 50 tahun mencapai 75 persen, antara 30-49 tahun sebanyak 13 persen, 12 persen sisanya di bawah 30 tahun. Kurangnya insentif yang diberikan negara kepada petani, baik secara fiskal maupun non fiskal, telah mengakibatkan terjadinya alih fungsi lahan secara besar-besaran. Menurut catatan Badan Pertanahan Nasional, hingga tahun 2004 konversi lahan irigasi mencapai 3,099 juta hektar. Seorang petinggi negeri ini pernah keseleo lidah mengatakan bahwa lebih untung mendirikan pabrik daripada mempertahankan sawah. Pandangan ini mewakili sifat myopic pemerintah yang memandang peran pangan dalam domain yang sempit. Mengabaikan pentingnya kemandirian pangan karena akses impor sangat mudah. Inkonsistensi negara agraris juga ditunjukkan oleh derasnya arus urbanisasi ke kota-kota besar karena desa atau pertanian tidak lagi menjanjikan sebagai sandaran hidup. Fenomena ribuan sekretaris desa se Jawa dan Madura yang nglurug ke Jakarta menuntut diangkat jadi PNS, merujuk pada premis ini. Sejarah panjang negeri ini telah menempatkan seorang Kepala Desa dan Sekretaris Desa sebagai tokoh yang dihormati. Sebagai imbalan pengabdian, mereka mendapatkan tanah bengkok yang cukup menjadikan mereka kaya dan terpandang di desa.

Gerontokrasi Kenyataan ini membuka mata kita betapa pekerjaan rumah di sektor pertanian dan ketahanan pangan masih jauh dari selesai. Kecilnya alokasi anggaran pembangunan sektor pertanian hanyalah satu indikator dari kurangnya perhatian itu. Selebihnya adalah dampak salah urus negara di sektor pertanian serta kurangnya komitmen dari para penentu kebijakan selama berpuluhpuluh tahun. Posisi sosial yang inferior menyebabkan kaum muda tidak tertarik bekerja di sektor pertanian. Padahal di era tahun 70-an, seorang lulusan SMP merasa sangat bangga jika diterima di Sekolah Pertanian Menengah Atas Negeri (SPMAN) Yogyakarta. Menjadi mahasiswa fakultas pertanian IPB atau UGM sangat didambakan oleh tamatan SMA. Namun sekarang ini Fakultas Pertanian dan SMK Pertanian banyak yang gulung tikar karena sepi peminat. Fenomena gerontokrasi, yang

Keberpihakan Ketika para penentu kebijakan di negeri ini tidak lagi memberikan perhatian kepada sektor pertanian, sejatinya mereka telah mematikan sumber hidup bangsa. Keberpihakan para penentu kebijakan mutlak diperlukan untuk membangun kembali pertanian republik ini. Alasan pemihakan tersebut menurut pemenang hadiah Nobel Ekonomi tahun 2001, Joseph E Stiglitz, karena adanya kegagalan pasar (market failure) akibat tak terpenuhinya asumsi-asumsi pembangunan. Citra pertanian sebagai sektor tradisional, kumuh, dan berlumpur, harus dikikis dengan pembaruan paradigma pendidikan pertanian yang berorientasi pada perkembangan teknologi. Selain itu hal yang tak kalah penting adalah menciptakan iklim yang kondusif bagi investasi di sektor ini. Tanpa investasi yang memadai, maka program revitalisasi pertanian akan berjalan stagnan. Perluasan akses kredit bagi

petani harus menjadi prioritas. Meskipun menjadi salah satu pilar pembangunan, namun kredit sektor pertanian saat ini kurang dari 10 persen dari total kredit bank. Jika 130 bank yang ada di Indonesia mengalokasikan kredit 20 persen saja di sektor pertanian, maka alokasi kredit pada sektor ini akan mencapai Rp 46 triliun. Jumlah kredit sebesar itu diprediksi mampu menggerakkan pembangunan pertanian lebih cepat. Terkait dengan akses kredit ini perlu diupayakan pemberian bantuan legalisasi tanah-tanah milik petani yang sebagian besar belum bersertifikat. Upaya ini merupakan bagian dari upaya revolusioner berupa land reform. Harus ada perubahan secara struktural persoalan pertanahan, baik dari aspek legal, maupun kebijakan. Menurut Ekonom Peru, Hernando de Soto, tanah yang belum bersertifikat akan menjadi modal mati (death capital). Upaya menjaga tingkat produksi tinggi secara berkelanjutan harus diprioritaskan. Dimulai dari pembangunan dan perbaikan berbagai sarana infrastruktur pertanian dan perdesaan, serta menjamin pemenuhan berbagai sarana produksi yang dibutuhkan petani seperti benih unggul, pupuk, obatobatan, dan alat mesin pertanian. Perhatian yang besar juga harus diberikan pada pengembangan riset dan teknologi di bidang pertanian. Saat ini petani kita membeli benih jagung hibrida produksi perusahaan multinasional seharga Rp 40-60 ribu/kg, padi hibrida Rp 30-40 ribu/kg. Giliran petani menjual hasil panen mereka hanya dihargai tak lebih dari Rp 2.000/kg. Jika teknologi produksi benih hibrida sudah dikuasai bangsa ini tentu harganya tidak akan mencekik leher petani. Anthony Giddens (1999), pernah mengingatkan bahwa globalisasi perdagangan tidak akan membentuk perkampungan global (global village), namun lebih mirip penjarahan global (global pillage). Pestisida berbahaya dan benih transgenik yang di negara asal MNC telah dilarang, namun di negara-negara berkembang seperti Indonesia masih dijual secara bebas di pasaran. Program revitalisasi pertanian hanya dapat dilaksanakan dengan hasil optimal jika ada sinergi dan visi yang sama antara ABG (Academicans, Businessman, and Government). Tanpa itu semua boleh jadi negeri agraris yang dicitrakan layaknya tanah surga, tukul kang sarwo tinandur, gemah ripah loh jinawi, hanya akan tersisa dalam kidung dan cerita legenda.


12

Perjalanan

Edisi 129 TH XXII/ 2010

MENIKMATI “PERAWAN” TANPA SAMPAH Pesona Krakal, Sadranan, dan Kukup yang jarang terjamah menampilkan eksotisme pemandangan alam pantai

P

disebut dengan Daerah Karst. Terdapat banyak aktivitas menyenangkan yang bisa dilakukan di Pantai Krakal. Misalnya, kita dapat bermain dengan ombak Samudra Hindia. Krakal juga menawarkan aktivitas lain yang sangat menyenangkan seperti bermain layang-layang dan sepakbola di atas pasir putih atau berburu ikan hias dan batu karang. Mencari Ikan Hias dan

perjalanan menuju ketiga pantai tersebut, mata kita dimanjakan oleh keindahan pemandangan bukit-bukit kapur serta bongkahanbongkahan batu karang. Banyaknya bongkahan batu karang di kiri dan kanan jalan menuju Pantai Krakal, Sadranan, dan Kukup

Batu Karang Pantai Krakal terletak di Kampung Krakal Kelurahan Ngestirejo Kecamatan Tanjung Sari atau 37 kilometer ke arah selatan dari pusat Kabupaten Gunung Kidul. Pantai Krakal juga banyak ditumbuhi lumut.

Salah satu warga sekitar Pantai Krakal, Sajiwo, menyatakan, di pantai ini terdapat banyak ikan hias. Untuk menangkapnya, kita dapat menggunakan condet (sesek kecil) yang telah disediakan (disewakan) atau tangan kosong. Ikan-ikan hias biasanya muncul sekitar tanggal 1 hingga 4 atau saat air laut surut. Ikan-ikan tersebut bersembunyi di balik batu karang. “Ikan hias yang berada di pantai Krakal beragam, seperti Kepe, Bustum, dan Pogat yang berukuran besar serta ikan hias Tliger yang berukuran kecil,” ujar Sajiwo, Jumat (16/10). Sayang sekali, kunjungan kami bertepatan dengan pertengahan bulan saat air laut pasang. Jadi, kami tidak menjumpai ikanikan hias yang berenang dengan lincahnya. Kegiatan lain yang bisa kita lakukan di Pantai Krakal adalah mencari batu karang untuk dijadikan bahan dasaran akuarium. Bagi nelayan di Pantai Krakal, mencari batu karang bisa dijadikan pekerjaan sampingan untuk mendapatkan tambahan penghasilan mereka selain mencari ikan. Batu karang ini didapatkan nelayan dari ombak air laut yang membawa patahan-patahan terumbu karang dibawah laut. “Nelayan biasanya mengeringkan batu karang di tepi pantai selama 1-2 hari agar bisa dijual untuk dasaran akuarium,” tutur Sajiwo. Tidak ada tiket masuk, hanya uang parkir untuk kendaraan bermotor seharga Rp 2 ribu serta uang untuk membersihkan badan seribu rupiah saja. Eksotisme Pantai Kukup

Yogyakarta Selain Krakal, pemandangan pantai Kukup tidak kalah eksotis. Pantai ini dapat ditempuh dengan sepeda motor dalam waktu

pun mulai berdatangan untuk mendapatkan ikan. Terkadang para pemancing ini tidak terlalu mengindahkan keselamatan diri dengan berjalan menuju

satu setengah jam dari Krakal. Jika kita datang pada pagi atau siang hari, air laut sedikit surut, sehingga kita dapat turun ke daerah laut yang dangkal untuk berendam. Di Pantai Kukup juga terdapat sebuah gardu pandang yang terletak di sebuah batu karang yang menyerupai sebuah pulau. Dari gardu pandang ini, kita dapat menikmati pemandangan sekitar Pantai Kukup berupa garis pantai dengan tebing curam. Seperti kita ketahui, karakteristik Pantai Selatan Pulau Jawa adalah bertebing dan curam dengan ombak yang cukup besar. Di sore hari, keindahan Pantai Kukup semakin terlihat. Namun, kita harus lebih berhati-hati karena air laut mulai pasang dan ombak semakin besar. Sunset juga akan menjadi momen yang sangat indah di pantai ini, terutama ketika matahari berada di sebelah selatan dunia (sekitar bulan Oktober-April). Pemancing

bibir pantai menantang ombak. Deretan pantai selatan ini terlihat sangat indah karena pasirnya yang putih berkilau-kilau dan belum banyak tercemar polusi. Hanya sedikit sampah yang terlihat di Pantai Krakal, Kukup dan Sadranan. Itu yang membuat pantai ini terlihat berbeda dengan Parangtritis yang sudah mengalami kerusakan yang diakibatkan oleh ulah manusia yang tidak menjaga kebersihan lingkungan. Kehidupan masyarakat yang cenderung agraris juga merupakan daya tarik tersendiri. Di Pantai Krakal, Sadranan dan Kukup saya tidak menemukan satu perahu pun yang berlayar, mungkin karena karakteristik pantainya merupakan karang, sehingga tidak ada perahu yang berlayar dan mendarat di pantai tersebut. Aimatul Husna

Nuansa/Aim

Nuansa/Aim

agi itu, Jumat (16/10), kami berangkat menuju objek wisata yang belakangan mulai terkenal di Yogyakarta yaitu pantai Krakal, Sadranan, dan Kukup yang terletak di Kabupaten Gunung Kidul. Untuk sampai di pantai Krakal, Sadranan, dan Kukup menempuh jarak sekitar 65 kilometer dari Kota Yogyakarta atau kurang lebih dua jam perjalanan. Di sepanjang

Nuansa/Aim


Jepret

Edisi 129 TH XXII/ 2010

13

Sayembara Abdi Negara Pilihan menjadi pegawai negeri sipil (PNS) mungkin jalan yang sangat menggiurkan. Sulitnya mencari pekerjaan, membuat sebagian mahasiswa lulusan pendidikan bingung. Selain gaji yang terus naik, tunjangan dan pensiunan juga tengah menanti ketika jabatan telah diduduki. Mungkin rasa peduli dengan banyaknya saingan sudah tak terbesit dalam benak. Iming-iming kesuk-

Kartu Test

sesan menjadi PNS tengah di depan mata, padahal belum tentu. Terlebih lagi ada yang merelakan untuk mengikuti test di kota lain. Sungguh mengecewakan jika melihat para lulusan sarjana hanya berebut kursi pekerjaan. Padahal jika melihat kualifikasi pendidikan, mungkin mereka tidak dapat diragukan lagi. Semestinya mereka sudah pada tingkatan budidaya pencipta pekerjaan, bukan malah menjadi pencari. Teks dan Foto : Aditya Rustama

Fokus

Menata Berkas

Tekun

Giat


14

Nuansa Khusus

Edisi 129 TH XXII/ 2010

KULIAH KERJA (KOK) “NYANTE”?

M

Nuansa/Fina

Banyak kisah unik dan menarik yang dialami mahasiswa saat KKN. Seru, senang, menarik, unik, bahkan ada yang mengaku bosan.

Nuansa/Fina

alam 22 Agustus 2010, saya kesulitan tidur. Ada sesuatu yang sedang saya nantikan. Lonceng jam terdengar, artinya sudah pukul 00.00 WIB. Langsung saja saya membuka portal kkn.unnes. ac.id. yang saat itu menjadi website paling laris. Berbondong-bondong mahasiswa mendatangi warnet untuk mengakses portal KKN. Ada antrean panjang persis seperti ada pembagian zakat. Namun, ini tidak sampai menelan korban, hanya saja menguji kesabaran dan adrenalin hampir semua mahasiswa semester tujuh. Kesabaran dikala harus mencoba dan mencoba mengakses website yang nglemot dan juga adrenalin yang terpacu ketika harus menerima kenyataan bila ditempatkan ditempat yang tidak dikehendaki. Seperti yang diumumkan sebelumnya. Kali ini KKN untuk mahasiswa nonkependidikan mendapatkan jatah di tiga tempat, yaitu Kabupaten Semarang, Temanggung, dan Wonosobo. Berawal dari pengumuman itulah para mahasiswa tersebut bertemu enam mahasiswa yang pada mulanya tidak saling kenal satu sama lain. Adanya program KKN diharapkan mahasiswa dapat mengerti bagaimana rasanya terjun langsung ke lapangan dan menggali potensi daerah tersebut guna peningkatan sumber daya manusianya. Menyatukan karakter yang berbeda dengan background yang berbeda pula ternyata tidak lah gampang. Apalagi tidak semua mahasiswa merupakan mahasiswa yang aktif berorganisasi. Sehingga tak jarang muncul gap atau salah paham dalam memaknai arti KKN. Berbeda dengan KKN tahun lalu yang merupakan KKN Tematik, untuk tahun ini merupakan KKN Lokasi. Mahasiswa tidak lagi diamanatkan untuk memberantas buta aksara, namun memberikan ilmu ataupun dorongan guna peningkatan kualitas hidup masyarakat. Sebagai awalan, mahasiswa diberikan waktu tiga hari dimulai saat penerjunan untuk mengenal potensi dan permasalahan yang ada di desa. Mahasiswa hanya bertindak sebagai moderator bukan fasilitator.

KKN ngapain? “Lah, nek KKN e udu memberantas buta aksara, terus acarane ngopo wae ya?” itulah gumaman salah satu teman saya pada hari terakhir pembekalan KKN. Banyak teman yang sama sekali tidak mengetahui program apa saja yang kiranya akan dilakukan selama KKN. Apalagi ketika Dosen Pendamping Lapangan (DPL) mengatakan bahwa setiap mahasiswa harus mengampu empat program. Ada semacam ketakutan tersendiri ketika harus membayangkan tentang bagaimana desa yang akan ditempati, baik warga; fasilitas; sumber air; dan program apa yang kiranya akan dilakukan. Program yang terbagi dalam empat bidang; bidang kesehatan, ekonomi, lingkungan, dan pendidikan mewajibkan mahasiswa harus kreatif. Andaikan tiap mahasiswa diwajibkan mengampu empat program, berarti setiap kelompok harus mempersiapkan empat dikalikan enam atau sama dengan 24 program kerja. 24 program yang dalam kurun waktu 45 hari. Oleh karena itu tak ayal program-program lebay (berlebihan-red) pun dituangkan dalam progja, masalah terwujud atau tidak dinomorakhirkan, terpenting pada saat Rapat Koordinasi Mahasiswa Kecamatan (Rakorcam) rekapan progja sudah beres. Program andalan yang dilakukan mahasiswa KKN mayoritas adalah pendidikan, seperti memberikan les siswa SD atau SMP, mengajar TIK, atau penyuluhan PHBS (Perilaku Hidup Bersih dan Sehat). Selain itu ada pula program event seperti lomba futsal, mewarnai, cerdas cermat. Bahkan program penghidupan kembali pasar desa. Namun, dari semua program yang direncanakan tak jarang pula ada yang luput dari target. Hal ini dikarenakan cuaca yang tidak menentu atau tak jarang warga yang segan untuk mengikuti program mahasiswa KKN. Menyiasati kekosongan waktu ketika tidak ada program, tak jarang dihabiskan dengan acara jalanjalan ke tempat wisata, silaturahmi ke posko-posko atau ngumpul sambil ngrumpi dan ngeditin foto hasil jalan-jalan. Yah, nyantai gitu lah. Suka Duka KKN Terbesit ketakutan besar ketika terbayang harus tinggal selama 45 hari didesa yang sama sekali belum dikenal, bahkan namanya saja masih asing. Minggu pertama menjadi saat paling memuakkan, terlebih ketika mendekati rapat koordinasi tingkat

kecamatan dan program kerja harus sudah dimantapkan. Banyak kisah unik dan menarik semasa KKN. Ada beberapa mahasiswa yang mendapatkan tempat KKN di desa yang sangat terpencil bahkan nyaris tidak ada sinyal telepon seluler. Ada pula yang mendapat di perkampungan mewah dengan fasilitas serba ada. Hengky Yovika, mahasiswa KKN di salah satu desa di Kabupaten Semarang, bahkan menceritakan bahwa ditempat KKNnya ia kesulitan untuk mandi. “Terkadang kami mandi di sendang dan tak jarang pula kami melihat ibu-ibu telanjang,” begitu tuturnya sambil tertawa, Rabu (10/11). Tidak hanya fasilitas MCK yang kurang memadai, dia juga kesulitan untuk mendapatkan air bersih dan sehari-harinya harus bergaul dengan sapi-sapi yang berkeliaran bebas kesana kemari. Nur Hayati juga menuturkan, KKN merupakan ajang uji nyali, terutama nyali untuk ke kamar mandi. Ia bercerita, ketakutan terbesar adalah ketika tengah malam ingin kekamar mandi, “Kalau mau ke kamar mandi, kita harus melewati kebun yang gelap gulita, trus kamar mandinya cuma satu, jadi harus antri,” ungkapnya, Sabtu (2/10). Begitu juga dengan salah satu mahasiswa KKN yang tidak mau disebutkan namanya. Ia mendapat tempat KKN di Kabupaten Temanggung dan minimnya air bersih membuat kendala tersendiri baginya. Ketika musim penghujan, air bak yang bersumber dari pegunungan seketika tersulap menjadi air keruh. “Airnya itu persis kaya coffeemix, jadi tak jarang sehari mandi sekali saja,” ungkapnya, Senin (22/11). Ada beberapa mahasiswa yang mengalami kesulitan menyesuaikan diri dengan berbagai macam kekurangan yang ada. Namun, ada pula mahasiswa yang mendapatkan tempat KKN seperti villa dengan berbagai macam fasilitas. Tentunya lengkap atau tidaknya fasilitas tidak menjadi indikator utama, yang terpenting adalah bagaimana mahasiswa menyikapi keadaan yang serba terbatas itu dengan sikap nrimo dan tidak memandang segala sesuatu dari sudut kelemahannya. Toh, mahasiswa diterjunkan KKN sebagai upaya untuk memberdayakan warga agar desa tersebut menjadi lebih maju. Bukan berarti segala keminiman fasilitas menjadi penghambat untuk melaksanakan niat baik yang sudah dituangkan dalam program kerja. Afina Lukita


Ragam

Edisi 129 TH XXII/ 2010

T

idak dipungkiri di era yang semakin modern ini, style dalam dunia fashion makin berkembang. Tidak hanya dalam hal berpakaian, tetapi kelengkapan semacam sandal ataupun sepatu, juga diperhatikan oleh generasi muda saat ini. Hal yang ingin ditunjukkan oleh generasi muda saat ini adalah kematching-an dalam berpenampilan mulai dari ujung rambut sampai ujung kaki, sehingga alas kaki termasuk dalam kategori yang tidak bisa dipandang sebelah mata. Semakin majunya dunia permodelan, tidak hanya dari segi pakaian ataupun aksesoris saja yang semakin beraneka ragam, kreativitas manusia dituntut untuk memanfaatkan segala sesuatunya menjadi hal yang bisa dijual. Salah satunya yaitu dengan adanya inovasi baru penciptaan sandal jepit dengan bahan baku kain flannel. Tentunya siapa yang tak kenal sandal? Sepasang benda yang selalu menempel di kaki dan menemani kemanapun kita pergi. Semakin berkembangnya zaman, variasi sandal pun berganti-ganti,

Kolaborasi Sandal Berbahan Flanel tidak hanya sandal jepit, bakiak, muncul pula sandal selop dengan berbagai aksesories. Melihat peluang itu, Siti Muji Alfi Nikmah, Anggun

Prafita S., dan Brahma Panji pun tidak mau ketinggalan untuk menuangkan inovasi dan kreativitas mereka melalui Program Kreativitas Mahasiswa

unik yaitu sandal dari kain flanel. Kenapa kain Flanel? Kain flanel adalah kain yang dibuat dari benang wol yang ditenun. Selain mudah didapatkan, kain felt atau yang biasa disebut kain flanel juga tersedia dalam beraneka ragam warna, sehingga jika dipadu-padankan dengan baju menjadi mode yang menarik. Selain dapat mengasah kemampuan mengembangkan imajinasi serta ketrampilan dan jeli melihat peluang pasar melalui program wirausaha, hasil karya dari kain flanel ini memiliki nilai jual. Kain flanel yang biasanya dibuat

Produk Sadnel siap jual

Kewirausahaan (PKMK). Hal baru yang ditampilkan kelompok ini adalah dengan membuat produk yang

untuk hiasan boneka, gantungan kunci, pigura foto, dan berbagai macam aksesoris lainnya. Nah, disinilah

Waspadai Bahaya Abu Vulkanik

K

ata wedhus gembel pasti sudah bukan kata yang asing lagi di telinga kita. Apalagi sejak Letusan Gunung Merapi pada 26 Oktober 2010 lalu yang telah menelan banyak korban jiwa dan harta benda. Setelah letusan gunung yang letaknya di perbatasan Magelang dan Yogyakarta ini, rupanya delapan gunung lainnya berurutan dinyatakan dalam status waspada. Mayoritas gunung berapi di Indonesia terpasak pada satu sabuk, mulai dari Aceh menuju Selat Sunda, menyusuri Jawa, Bali, Nusa Tenggara, Maluku hingga Sulawesi Utara. Jumlahnya 13 persen dari semua gunung berapi di bumi. Sebut saja gunung yang terkenal di Indonesia seperti Merapi, Kelud, Semeru, Guntur, Krakatau, dan “anaknya” termasuk grup gunung agresif dari 35 gunung berapi aktif yang

15

Erupsi Gunung Bromo

menjadi pasak Pulau Jawa. Indonesia yang dikenal sebagai negara gunung, disabuki gunung berapi sepanjang 7.000 kilometer, melintang di pulau-pulau seperti disebut di atas. Akan tetapi, kaya gunung tak berarti akrab dengannya. Terutama ketika kedatangan lahar, lava, debu, dan awan panas saat erupsi. Bahaya Abu Vulkanik Abu vulkanik sebenarnya merupakan partikel batu (tephra) dan silica (bahan seperti kaca) yang ukurannya sangat kecil, kurang dari 1 mm. Partikel-partikel ini bentuknya runcing, keras ,dan tajam sehingga dapat

merusak permukaan-permukaan yang lunak. Deposit tephra sendiri lambat laun dapat mengeras membentuk batu. Sifatnya yang padat menutup permukaan yang ditempatinya. Debu yang menempel pada mata akan memancing reflek menggosok mata, yang mana justru berbahaya karena memperbesar resiko gesekan komponen tajam debu vulkanik tersebut dengan selaput mata anda. Debu yang terhirup akan bergesekan dengan mukosa atau lapisan kelenjar di saluran pernafasan, menempel dan menimbulkan reflek batuk serta memunculkan respon peradangan di saluran nafas, inilah mengapa sangat banyak kasus infeksi saluran pernafasan pada masyarakat korban erupsi gunung berapi. Beberapa penyakit akibat letusan gunung berapi: 1. Konjungtivitis Peradangan pada konjungtiva yang bisa dise-

letak keunikannya. Ketika kain flanel yang biasanya digunakan untuk aksesoris kecil digunakan sebagai bahan dasar pembuatan

sandal. Virtual Promotion Berbicara produk Proses produksi sandal ini tak lepas dari bagaimana pula cara pemasarannya. untuk itu, diperlukan strategi tertentu untuk menggaet minat konsumen. Incaran pasar dari produk ini adalah mahasiswa disekitar Kampus Unnes. Hal ini dikarenakan mahasiswa menyukai sesuatu yang unik, berbeda, dan berwarna. Mahasiswa merupakan incaran pasar yang strategis. Ditinjau dari segi lokasi, wirausahawan sandal flanel tidak perlu mengeluarkan banyak dana karena muah dijangkau. Selain memanfaatkan faktor lokasi, pemasaran produk yang diberi nama Sadnel juga melalui kemitraan dengan toko lain. Di samping itu, arus informasi melalui perkembangan

teknologipun dimanfaatkan juga, yaitu melalui toko online. Melalui toko online (virtual promotion) calon pembeli dapat mengakses dan memesan dimanapun ia berada. Pembeli tinggal meng-klik produk pilihannya, proses pembayaran pun melalui transfer, setelah itu produk dikirimkan ke alamat pembeli. Cara pembuatan Sandnel Pada dasarnya kain flanel merupakan kain yang mudah dibentuk, warna-warnanya yang beranekaragam juga memudahkan dalam penentuan berbagai macam bentuk atau gaya yang kita inginkan. Pembuatannya pun mudah, tinggal bagaimana kekreativitasan kita menuangkan ide kedalam bentuk gambar lalu dituangkan diatas kain. Pembuatan Sadnel pun tidak sulit, hanya bermodal utama kain flanel, spon, kain sponbond, karet alas sandal, dan tali kur maka terciptalah sebuah kreasi sandal unik. Mudah bukan? Jadi, selagi ada waktu, tidak ada salahnya mencoba ketrampilan untuk memanfaatkan kain flanel. Lumayan kan, melalui sedikit kreativitas dapat mempertebal isi dompet? Afina, Estik

Pengetahuan babkan oleh berbagai macam hal, termasuk debu vulkanik. Penanganan konjungtivitis dengan segera mencuci mata (irigasi) dengan air bersih atau larutan saline dan hindari menggosok mata. Konjungtivitis dapat sembuh sendiri dalam 2-3 hari, namun untuk meringankan gejalanya dapat ditetesi air mata buatan. 2. Infeksi Saluran Pernafasan Infeksi saluran pernafasan resikonya lebih tinggi terutama pada orang-orang yang sebelumnya sudah memiliki penyakit saluran nafas yang mendasari seperti asma atau penyakit paru kronis lainnya. Kekam-

Perbesaran Partikel Abu Vulkanik

buhan asma pada masyarakat korban letusan gunung berapi meningkat cepat. Penanganannya tentu saja dengan konsumsi obat anti asma baik dalam bentuk tablet maupun inhaler. 3. Silikosis Silikosis adalah peradangan pada paru yang disebabkan oleh tumpukan debu silika. Sifatnya sebagai benda asing menimbulkan respon peradangan dari dalam tubuh. Gejala silikosis adalah batuk-batuk, nafas yang pendek dan cepat (mirip asma) dan jika berlanjut dapat menyebabkan sianosis (kebiruan pada tubuh karena kekurangan oksigen). Penanganannya adalah dengan drainase lendir akibat respon inflamasi (melalui fisioterapi) dan tentu saja menghentikan paparan saluran nafas terhadap silika. Selain itu dapat diberikan antibiotik sebagai pencegahan terhadap infeksi sekunder. Source/Fajri Esti N. A


16

Opini

Edisi 129 TH XXII/ 2010

PUTRI NARITA PANGESTUTI

A

Siapkah “S.Pd” jadi Pendidik?

da suatu pertanyaan yang tiba-tiba menggelitik saya. Mengapa pendidikan di Indonesia tidak kunjung maju? Adakah yang salah dari pendidikan di negara kita? Pertanyaan-pertanyaan itu kemudian mengantar saya pada fenomena di sekitar. Saya dapati banyak anak bolos sekolah. Mereka bermain di warnet, playstation, mall, dan tongkrongan di pinggir jalan. Selain itu, saya temukan pula fenomena di dalam ruang kelas, tampak bahwa anak jenuh dengan proses pembelajaran yang telah menjadi rutinitasnya setiap hari. Kalau dari sudut pandang guru, anak yang suka bolos dicap nakal, anak yang nilainya jelek dicap bodoh, anak yang sukanya tampil dicap hiperaktif. Sungguhkah demikian yang sebenarnya terjadi pada anak-anak itu? Sungguhkah mereka nakal, bodoh, hiperaktif? Perlu kita tahu julukan-julukan nakal, bodoh, hiperaktif, dan yang lain-lain itu sangat tidak enak di dengar, Apalagi bila masuk ke hati. Sudahkah guru-guru mengintropeksi diri? Seorang guru tidak cukup hanya menguasai materi ajar dan teori model pembelajaran. Ia juga harus memiliki jiwa seni, mengasuh, serta berwawasan luas. Guru harus bisa hadir dan beradaptasi dengan beragam karakter anak didik. Bukan anak didik yang harus menyesuaikan karakter guru. Bertahun-tahun kita bersekolah alam bawah sadar kita menganggap bahwa belajar di sekolah hanyalah ritual yang harus dijalani tanpa kita paham maknanya. Akibatnya

proses belajar di sekolah hanya menjadi proses belajar yang mekanis dan mencetak manusia-manusia robot yang pandai menghafal rumus dan teori tetapi kosong dalam pemaha-

ujian itu tidak bisa menilai potensi unggulnya. Ternyata anak-anak yang sering bermasalah, keras kepala, dicap nakal, ia justru sudah memiliki inst-

“ Bertahun-tahun kita bersekolah alam bawah sadar kita menganggap bahwa belajar di sekolah hanyalah ritual yang harus dijalani tanpa kita paham maknanya. “ man. Belajar Sesuai Talenta Setiap anak memiliki kombinasi kecerdasan yang berbeda-beda. Namun, sayangnya anak-anak yang memiliki talenta di bidang seni kurang mendapatkan penghargaan di masyarakat kita. Padahal dalam kehidupan nyata seseorang sangat dituntut untuk kreatif, jujur, dan empati. Di manakah kita dapati pemikiran kreatif, jujur, dan empati itu? Otak kanan dan hatilah yang banyak bekerja. Kalau kita perhatikan anakanak yang cenderung dominan otak kanannya, ia tahu apa yang ia mau dan tahu apa yang dia tidak mau, ia mau mengerjakan apa yang ia mau, dan bila dipaksa ia cenderung melawan dan menghindar (keras kepala). Maka, kita harus tahu potensi unggul anak kita serta memfasiltasinya dan bahwa kegagalan di sekolah bukan berarti membuat ia gagal dalam kehidupannya. Bisa jadi sekolah dan

ing belajar alami. Sifat-sifat yang kita dapati dari anak-anak yang cenderung dominan otak kanan, itu malah sama halnya dengan yang dimiliki Einstein, Leonardo da Vinci, Newton. Anak yang memiliki pola pikir seperti itu, seperti prinsip Leonardo da Vinci yaitu bahwa “Jika aku ingin membuat karya-karya yang spektakuler maka aku harus mengawalinya dari proses kreatif baru kemudian logis”. Prinsip ini yang selanjutnya dikenal dengan “arte & science”. Terkadang karena rasa sayang yang lebih, orang tua mengekang anaknya dengan kehidupan seperti yang diinginkan orang tua. Dengan maksud yang baik, guru juga melakukan seperti apa yang kebanyakan orang tua lakukan pada anak. Sepertinya semua kebutuhan anak tercukupi. Pernahkah guru dan orang tua bertanya pada anak: “Apakah kamu bahagia dengan yang ibu/ bapak berikan selama ini padamu?” Terlalu sempit jika harapan orang tua dan guru hanya agar anak bisa lulus

ujian, mendapat ijazah, bisa bekerja serta hidup mapan. Pernah seorang murid saya bilang pada saya: “Bu, kenapa si harus ada ujian? Kenapa sekolah bertahuntahun nasibnya hanya ditentukan dari ujian? Saya capek dengan segala rutinitas, di sekolah belajar dari jam tujuh sampai jam tiga, nanti jam empat sudah mulai les.” Kaji Ulang Kurikulum Mungkin KTSP sudah menjadi pilihan kurikulum yang baik. Namun sangat disayangkan, KTSP belum bisa sepenuhnya terealisasikan. Contoh sekolah-sekolah di wilayah yang penduduknya sebagian besar bermata pencaharian seebagai petani. Di sekolah itu tidak diberikan materi tentang bertani, apalagi anak didik dilatih terjun langsung ke sawah. Setelah lulus, sebagian anakanak tersebut malah berbondongbondong mencari pekerjaan di kota Kalau tidak begitu, mereka menjual sawah dan kebunnya kepada para pebisnis karena enggan menjadi petani. Menurut strata kehidupan di masyarakat pun petani menduduki strata rendah. Itulah yang terjadi di masyarakat kita. Semua itu adalah suatu fenomena hasil pendidikan yang belum bisa menjadikan anak-anak bangsa Indonesia menjadi manusia seutuhnya. Masihkah kita akan ikut terhanyut membudayakan pendidikan yang sudah turun temurun ini? Akankah kita sadar dan menghentikan budaya itu, lalu mendidik anak kita sebagaima mestinya? Sudahkah kita lulusan sarjana pendidikan siap dan pantas menjadi pendidik?


Opini

Edisi 129 TH XXII/ 2010

17

DYAH PRABANINGRUM, MAHASISWA PENDIDIKAN BAHASA INDONESIA 2007

Warnai Dunia dengan Tulisanmu

H

al yang paling menyenangkan di dunia ini setelah kita mengenal kata dan mampu membaca serta menulis, adalah menulis. Dengan menulis kita mampu mengekspresikan diri kita secara bebas. Di kala kita sendiri, di kala banyak sekali masalah yang melanda diri kita, di kala orang lain tak mau mendengarkan kita, maka tulislah apa yang ada di benak kita. Seperti pernah disinggung oleh Annie Dillard dimuka umum ketika menerima penghargaan Pulitzer “Rangkaian kata dalam tiap kalimat, menunjuk hatimu sendiri, sehinggan kamu merasa menjadi ada, tidak sendirian dalam mengarungi hidup.Tiap huruf dalam kata – katamu yang kamu rajut, menunjukkan arti siapa kamu dan apa yang ingin kamu capai! Cepat atau lambat dengan demikian kamu tidak akan kehilangan makna hidup.” Ya begitulah menulis. Dengan menulis, kita bisa merasa diri kita ada karena apa yang kita rasa tersampaikan. Di dalam tulisan kita, kita bebas memilih menjadi apa yang kita mau. Misalnya saat kita menulis cerpen, di dalamnya kita bebas menjadi yang kita suka, akankah kita menjadi tokoh yang protagonis ataukah kita menjadi tokoh yang antagonis.

Kita yang lemah dan tak sanggup membalas penganiayaan seseorang pun menjadi kuat lewat tulisan atau lebih terhormat karena tulisan, seperti yang dialami oleh penulis muda yang kisahnya banyak menginspirasi semua orang berikut ini. Joni Ariadinata, ia hanya seorang petani di Desa Majapahit, Majelengka, dia berkemauan keras untuk bersekolah dan ia pun mengadu nasibnya di Yogyakarta sebagai buruh bangunan di siang hari dan sebagai tukang becak di malam hari. Ketika ia menjalani profesi menjadi tukang becak, peristiwa bersejarah itu terjadi. Ia ditinju seorang gali pada mulutnya. Ia sedih, ia marah. Kata Joni dalam majalah Annida, “Saya sedih pada badan saya yang kecil, pada otot s a y a yang keremprempeng, dan kesialan nasib saya kenapa harus bertemu mahluk yang begitu kasar. Tapi mau apa? Melawan tidak berani. Akhirnya saya pulang dengan penuh dendam.” Sesuatu yang besar dimulai dari ia bertemu seorang penulis produktif Zainal Arifin Thoha yang meminjamkan pada Joni cerpen sederhana untuk dibacanya. Ia pun keranjinan

membaca dan mencoba menulis di media massa. Penolakan demi penolakan kerap terjadi, tapi ia tak patah semangat. Berapa banyak cerpen yang ditolak? “Saya tak pernah menghitung dengan cermat. Barang kali seratus, dua ratus, atau bahkan lima ratus? Satu hal yang membuat saya tabah adalah kesadaran spiritual bahwa saya diwajibkan terus menerus berusaha”,kata Joni menuturkan sebagaimana dimuat dalam majalah Annida Jumbo edisi Pertama. Dan Alhasil sekarang ia tak harus lagi menjadi tukang bangunan ataupun tukang becak . Ia terbang kemana – mana, ke Paris untuk membacakan cerpen dan memberikan motivasi, ke Den Haag juga dalam rangka yang sama, ke Malaysia untuk memenuhi undangan mengikuti PSN-X dan pertemuan Sastra Malaysia -1 di Johor Bahru Malaysia dan masih banyak lagi. Karena tulisan pula peradaban baru dimulai. Negara Yahudi

Raya yang bernama Israel barang kali tidak pernah ada seandainya seorang Benyamin Se’eb alias Teodore Herzl tidak menulis sebuah buku tipis bertajuk Der Judenstaat (The Jewish State) bersama dengan karya fiksinya Altheuland (Old New Land). Buku inilah yang menginspirasi gerakan masyarakat Yahudi untuk merampas hak - hak orang Palestina. Melihat kenyataan di atas akankah kita tetap berpangku tangan? Ayo mulailah menulis, goreskan tinta kita untuk ikut mewarnai dunia, masuklah ke dalam komunitas tulis menulis, misalnya saja BP2M, Laboratorium Jurnalistik, Forum Lingkar Pena, atau lainnya. Mungkin pula bisa memilih jalan lain yaitu mencoba menjadi penulis lepas. Yakinlah bahwa kita akan banyak mendapat pengalaman dan pengetahuan tentang dunia kepenulisan. Bagaimana jika tidak ada? Carilah teman yang hobi menulis, bentuklah komunitas sendiri dan bangun jejaring dengan orang-orang yang sudah berpengalaman di bidang kepenulisan. Kalau masih tidak ada? Baiklah, anda bisa bergabung dengan milis-milis kepenulisan di internet, grup-grup di FB atau menulis buku diary. Ya, dimulai dari menulis buku diary karena anda akan terlatih dan terbiasa menulis. Bukankah So Hog Ghie terkenal karena catatan harian? Jadi tunggu apa lagi? Mulailah menulis! Warnai dunia dengan tulisanmu!

RIZKY AMALIA ULFA, MAHASISWA SASTRA INGGRIS 2007

Perempuan dalam Birokrasi Pabrik

K

alau anda pernah menonton The Devil Wears Prada, anda pasti tidak asing dengan Miranda Priestly yang diperankan oleh Meryl Streep. Dalam film tersebut, Miranda merupakan pemimpin redaksi sebuah majalah fashion terkemuka di New York, Runway. Sosoknya anggun, cerdas, keras kepala, serta berwibawa sehingga terkesan galak. Sebagai salah satu otak dibalik kesuksesan Runway, hampir semua perkataan dan tingkah lakunya mempengaruhi pengambilan keputusan perusahaan. Cerita di atas hanyalah gambaran perempuan karir kelas eksekutif. Mereka merupakan wanita perkasa penjawab tantangan zaman. Kaum feminis aristokrat ini biasanya menduduki jabatan penting dalam perusahaan, termasuk pabrik. Virginia Woolf, pelopor feminis masa kini, menyatakan, “Women must challenge the prevailing, false cultural notions concerning their gender identity and develop a female discourse that will accurately portray their relationship to the world of reality and not to the world of men.” Sekarang bukan zamannya perempuan selalu ‘disetir’ oleh lelaki. Kita sering melihat atau mendengar

kisah sukses businesswomen. Bahkan, ada pula yang mengembangkan usaha otomotif dan IT – usaha yang selama ini identik dengan maskulinitas. Para wanita tersebut mendobrak tatanan pola pikir tradisional. Web resmi Woman Research Institute (WRI) mencatat, lapangan kerja paling dominan di negara-negara berkembang pada tahun 1970-an adalah sektor pertanian. Dua puluh tahun kemudian, perempuan yang bekerja di sektor pertanian berkurang drastis. Faktor penyebabnya antara lain para perempuan terdidik tidak mendapat tempat di pedesaan serta berkurangnya lahan pertanian akibat pertambahan penduduk. Orangorang pedesaan umumnya menomorduakan kaum perempuan. Kaum perempuan desa biasanya dididik untuk ngendon di rumah, dapur, dan melayani suami. Diskriminasi gender juga terjadi di daerah perkotaan. Para perempuan yang merantau ke kota dan berpendidikan tidak terlalu tinggi umumnya menjadi buruh pabrik. Dalam perkembangannya yang positif, keadilan gender terjadi ketika kedua pihak bisa saling mendukung untuk mencapai suatu konsensus dan kondisi kesetaraan (Stone, 1988). Tetapi yang lebih sering terjadi adalah

kondisi ketidakadilan yang dapat bersifat langsung, yaitu pembedaan perlakuan secara terbuka dan berlangsung, baik disebabkan perilaku/ sikap, norma/nilai, maupun aturan yang berlaku. Ketidakadilan tidak langsung, seperti peraturan sama, namun pelaksanaanya menguntungkan jenis kelamin tertentu. Selain itu ketidakadilan sistemik, berakar dalam sejarah, norma atau struktur masyarakat yang mewariskan keadaan yang bersifat membeda-bedakan. Melawan Arus Ketidakadilan tersebut mendorong beberapa perempuan untuk melawan arus. Mereka membuka usaha sendiri, atau menempuh pendidikan tinggi agar mendapat pekerjaan yang lebih baik. Satu persatu perempuan mengambilalih peran kaum adam dalam kepemimpinan sebuah perusahaan atau birokrasi. Namun, menjadi seorang pemimpin atau orang penting dalam struktur organisasi utama tidak menjamin perempuan terbebas dari ketidakadilan. Para perempuan pemimpin sering dianggap remeh dan tidak cekatan Tantangan lain yang perempuan pemimpin harus hadapi adalah bagaimana mengusahakan keadilan yang benar-benar adil bagi kaum

mereka. Seperti R.A Kartini yang menegakkan emansipasi wanita dengan cara mendirikan sekolah bagi perempuan. Begitu pula dalam birokrasi pabrik. Mereka tidak hanya menaikkan derajat mereka sendiri, namun juga mengajak perempuan yang masih menjadi buruh untuk memperjuangkan keadilan. Ada beberapa cara yang dapat perempuan pemimpin gunakan. Pertama, mereka dapat membuat peraturan baru yang isinya memperbolehkan kaum perempuan buruh mendapat hak istimewa. Perempuan kelas pekerja rentan terhadap perlakuan semena-mena dari (para) atasannya, terutama lelaki. Untuk itu, para perempuan pemimpin yang tentunya lebih memahami kondisi lahir batin secara general dari kaumnya, hendaknya lebih peka terhadap persoalan sekecil apapun. Selain kebijakan yang bersifat “searah” yang dikemukakan tadi, ada baiknya perempuan pemimpin menyelenggarakan bincang-bincang khusus perempuan buruh dengan mendatangkan para ahli. Bincangbincang tidak melulu berisi keluh kesah para buruh. Mereka dapat saling bertukar informasi dan pendapat bagi kemajuan pabrik.


18

Opini

Edisi 129 TH XXII/ 2010

FAJAR RANDI YOGANANDA, MAHASISWA FAKULTAS EKONOMI 2006

Ganefo, Hari yang Terlupakan

I

stilah We can’t escape History (Kita tidak bisa melupakan sejarah) benar adanya. Hampir semua orang Indonesia menganggap tanggal 10 November sebagai hari pahlawan. Sedikit orang yang mengingat bahwa di hari ini ada hari bersejarah yang terlupakan, Ganefo Games of the New Emerging Forces (Permainan Angkatan Baru). Ganefo bermula karena dalam pelaksanakan Asian Games 1962, Indonesia melarang Israel dan Taiwan mengikuti Asian Games dengan alasan simpati pada Republik Rakyat Cina dan negara-negara Arab. Aksi Indonesia ini diprotes oleh Komite Olimpiade Internasional (KOI) yang mempertanyakan legitimasi Asian Games di Jakarta. Akhirnya, Indonesia diskors dilarang mengikuti Olimpiade Tokyo 1964. Soekarno marah sehingga ia keluar dari KOI dan menuduh KOI merupakan antek imperialisme dan mengancam akan membuat penyaing olimpiade. Satu tahun kemudian, pada November 1963, Indonesia membentuk Ganefo yang dilaksanakan di Jakarta dan berlangsung dari tanggal 10 sampai 22 November 1963 (Wikipedia).

Pada dasarnya, penyelenggaraan Ganefo mutlak untuk menentang imperialisme yang dikhawatirkan oleh Soekarno. Dia menganggap, skorsing KOI pada Indonesia merupakan rekayasa semata. Menurut Soekarno, skorsing ini diberikan karena Indonesia memberi dukungan pada Republik Rakyat China (RRC) dan negara-negara Arab yang sedang berkonflik dengan Taiwan dan Israel, padahal Taiwan dan Israel adalah

anggota resmi PBB. Melihat nilai historis yang tersirat dalam hari Ganefo tidak bisa kita maknai sebagai hari bersejarah saja, tapi ada beberapa hal yang bisa kita gali dari sini. Pertama, dengan adanya pelaksanaan Ganefo, kita bisa membuktikan pada dunia bahwa negara kita tidak gentar menghadapi kecaman dan sanksi dari dunia luar. Kita tidak menyerah dan takluk dengan sanksi akan tetapi berpikir bagaimana menghadapi semua itu. Kedua, untuk mempersiapkan ganefo sendiri persatuan mutlak diperlukan. Bukti persatuan ini bisa kita lihat dari adanya pembangunan saran penunjang Ganefo diantaranya Istana Olahraga (Istora) selesai dibangun pada 21 Mei 1961, Kompleks stadion olahraga dibangun selama dua setengah tahun, siang dan malam oleh 14 insinyur Indonesia, 12 ribu pekerja sipil dan militer bergantian dalam tiga shift. Pembangunan tersebut kemudian ditambah dengan Hotel Indonesia. Penyelenggaraan Ganefo terbukti berhasil dengan indikasi Ganefo sukses diselenggarakan dengan partisipasi 2.200 atlet dari 48

negara di benua Asia, Afrika, Amerika, dan Eropa. Tidak kurang dari 450 wartawan dari berbagai belahan dunia datang ke Senayan. Semboyan Onward! No Retreat! (Maju Terus Pantang Mundur), menjadi pemicu semangat rakyat Indonesia untuk mensukseskan penyelengaraan Ganefo. Makna Olahraga Bung Karno mengatakan, olahraga harus lepas dari politik. Olahraga sejati adalah wadah untuk mempersatukan bukan untuk sekadar cari juara. Karena itu, tugas atlet selain menunjukan prestasi adalah membina hubungan baik dengan atlet lain. Melalui Ganefo rasa nasionalisme mampu dipupuk karena kekuatan untuk menunjukan kemampuan atlet demi harumnya nama bangsa. Sayangnya, Ganefo hanya satu kali terlaksana. Saat ini Ganefo berwujud tugu di lokasi api abadi di daerah Mrapen. Semoga tugu Ganefo memberikan kita sebuah makna perenungan tentang kejayaan prestasi penyelenggaraan event olahraga dan pretasi atlet kita serta sebuah harapan baru bahwa kelak kita akan bisa mewujudkannya kembali.

SABIQ ALWANI, MAHASISWA PENDIDIKAN KIMIA 2008

“Pangan Ndeso Mantap Roso”

S

aat ini sulit menemukan jajanan seperti getuk, serabi, apem,klepon, ketan, nogosari, dan lemper di pasaran. Jajanan tradisional kini kalah bersaing dengan jajanan modern. Penampilan luar jajanan modern yang menarik, promosi dan tempat nongkrong yang dibuat luar biasa mampu menghipnotis selera lidah masyarakat jaman sekarang. Jajanan tradisional seolah hampir hilang diburu jaman. Apa gerangan yang telah terjadi? Mungkin masyarakat berfikir, sekarang adalah jaman yang serba canggih dan cepat dalam memilih jajanan. Kehadiran fast food langsung disukai oleh masyarakat karena cocok untuk gaya hidup orang modern. Cara penyajiannya cepat sehingga semua orang bisa menyantapnya sambil berdiri atau berjalan di taman kota atau tempat wisata. Sebut saja fried chicken (ayam goreng tepung), french fries, hamburger, pizza, dan sejenisnya. Termasuk juga donat impor yang berukuran besar dengan macam-macam citarasa, cemilan ek-

struksi (semacam Chiki), minuman berkarbonasi, dan sebagainya. Tapi tahukah kita bahwa jenisjenis jajanan yang ditawarkan di atas termasuk atau sangat berpotensi sebagai junk food alias makanan sampah?

Produk pangan disebut junk food jika kandungan nutrisinya sangat rendah atau kalorinya terlalu tinggi dan hanya mengandalkan rasa yang enak. Umumnya, yang termasuk dalam golongan junk food adalah makanan berkadar garam, gula, dan lemak tinggi namun sedikit kandungan nutrisi lain seperti protein, vitamin, dan mineral. Salah satu ciri junk food antara lain mengandung banyak sodium, lemak jenuh, dan kolesterol. Junk food juga mengandung

banyak tambahan pangan atau aditif sintetik untuk memperkuat citarasa (seperti MSG). Maka, junk food berpotensi menimbulkan obesitas, rematik akibat penimbunan asam urat, tekanan darah tinggi, serangan jantung koroner, stroke, dan kanker. Zat-zat aditif berbahaya tersebut bukan hanya terdapat pada jajanan modern saja. Makanan rakyat yang sering kita nikmati seperti bakso dan mie ayam pun tak terlepas dari ancaman zat berbahaya. Setelah saya dan teman-teman melakukan uji laboratorium, ternyata 90 persen bakso atau mie ayam disekitar SekaranBanaran terindikasi positif mengandung formalin dan borax. Perlu diketahui, borax merupakan garam Natrium Na2B4O7 10H2O yang banyak digunakan dalam berbagai industri non pangan khususnya industri kertas, gelas, pengawet kayu, dan keramik. Gelas pyrex yang terkenal dibuat dengan campuran borax. Borax dan asam borat (H3BO3) digunakan untuk deterjen, mengurangi kesadahan, dan antiseptik lemah. Ketika asam borat masuk ke dalam tubuh, dapat menyebabkan mual, muntah, diare, sakit perut, penyakit kulit, kerusakan ginjal, kegagalan sistem sirkulasi akut, dan bahkan kematian. Jika tertelan 5-10g borax oleh anak-anak bisa menyebabkan shock dan kematian. Sedangkan Formalin adalah larutan formalde-

hida dalam air dan dilarang digunakan dalam industri pangan sebagai pengawet. Formaldehida digunakan dalam industri plastik, anti busa, bahan konstruksi, kertas, karpet, tekstil, cat dan mebel. Formaldehida juga digunakan untuk mengawetkan mayat dan mengontrol parasit pada ikan. Formalin diketahui dapat menyebabkan kanker dan bila terminum dapat menyebabkan rasa terbakar pada tenggorokan dan perut. Seorang teman saya menjaga berat badan dengan berbagai cara, baik itu diet ketat maupun olahraga. Hingga pada akhirnya, ia mulai sering mengkonsumsi camilan sehat. Camilan favoritnya adalah ubi manis yang umumnya berwarna merah atau ungu. Ia berkata, ubi manis memiliki kalori yang cukup untuk aktivitas sehari-hari serta mengandung sedikit lemak, banyak kalori dan serat serta air. Ubi yang berwarna merah memiliki kandungan vitamin A hingga mencapai 2310 mcg. Ubi ungu dianggap kaya antioksidan dan pektin yang berfungsi sebagai penurun kolesterol. Terlepas dari berbahaya atau tidak, menyehatkan atau tidak. Kenyataannya sekarang dengan kehadiran makanan cepat maka hidup kita menjadi ‘sedikit’ tertolong. Kita harus pandai dan selektif dalam memilih makanan dan selalu menjaga pola hidup sehat.


Budaya

Edisi 129 TH XXII/ 2010

Pelajaran Pertama Tentang Cinta buat Kosim Oleh: M. Rifan Fajrin

K

osim melongo. Sambil sedikit ngos-ngosan, sesekali ia mengusap wajahnya: minta ampun! Demi Tuhan, ia tak menyangka Jamilah berubah jadi galak. Samber geledhek! Sebuah poster perempuan telanjang menggantung di dinding kamarnya ketawa ngakak. Mengejek Kosim yang urung action, padahal Kosim sudah menyiapkan kamera video. Napas menghempas ranjang kapas. Langit-langit kamar mengumpat, dilempar kaos bolong Kosim yang secepat kilat nekat mencelat. Dua ekor cicak menggerutu, sempoyongan tersipu terbirit menjerit. Ia tak sempat mengecek, mata Kosim sudah mulai micek. Lalu Kosim mendengkur. Celananya masih terbuka. *** Sungguh, tiga bulan lebih melulu sms-an, chatting lewat Facebook, saling ngewall dan komentar genit, serta sesekali memantau perkembangan lewat fotofoto paling gress, tak cukup buat Kosim! Bagaimanapun Kosim lebih bahagia membelai rambut Jamilah yang wanginya – bagi Kosim – tak habis-habis, daripada

sekadar membelainya lewat puisi. Meski begitu, melihat foto Jamilah ternyata membuat hati Kosim bagai tertusuk-tusuk duri dan itu lebih sakit daripada ketika dicubit pinggangnya oleh Jamilah. Syair Kosim: O, Jamilah! Jika aku kini tengah terluka, maka luka itu semata dari engkau. Aku kini tengah terbaring sakit, sedangkan penyakit adalah virus yang engkau tanam di tubuhku. O, Jamilah, sungguh nyata cinta ini menyapa. Segalanya adalah sakit. Dan engkaulah dokter, obat sekaligus resepnya! Hahaha! O, Jamilah, mengertilah! Kosim kini tak lagi waras. Tahukah, kau telah sukses membuat hari-hari Kosim menjadi sempurna hambar bagai roti dingin tak tercelup kuah manis, roti tanpa madu, atau teroles mentega? Oh, benarbenar Kosim yang malang! Maka, Kosim langsung paham apa yang pertama kali harus ia lakukan saat sebentar lagi perjumpaannya dengan Jamilah bukan hanya omong kosong. “Aku akan menyambutmu dengan gembira, Jamilah, kekasihku, bungaku, permataku, mataku, hatiku, matahatiku, hidungku, telingakuuu....!”

Kosim histeris. “Tapi sepertinya aku hanya akan singgah sebentar, Bang,” suara merdu Jamilah di kuping kanan Kosim. “Tak apa, Jamilah! Meski sebentar, perjumpaan akan sangat lama membekas, bahkan tak lekang hingga matahari terbit dari barat!” Menggebu. Ruang pengap menjelma surga. Bidadari malaikat hinggap pada tiap

Jamilah, lihatlah! Jijik Jamilah serupa melihat neraka: tulang-belulang Kosim. Dada tlah terbuka, segala hormat siap membawamu kemana. Plak!!! Ruang rindu pucat tersekat. “Kau!” “Ada apa? He, kau berubah Jamilah?!” “Dan kau! Kau masih saja tak berubah!” Meradang. “Lihat matamu! Apalah guna dirimu sebagai lelaki! Membungkus harga diri pada selembar cawat banci!” Diam. Dan kau terbangkan dirimu saat aku hendak menciummu, Jamilah! Kosim merutuk. *** Bukanlah salah Jamilah memilih niat suci ingin mandiri. Mengantongi selembar kertas sakti, ijazah university, Jamilah memilih mengabdi. Tak kurang tiga bulan sudah, Jamilah mengajar siswa-siswi, membimbing anak-anak negeri ini berlatih berdiri. Hanya saja, Jamilah juga sempat ngeri. Ia menyadari, sejak saat itu, di sini, terpatri sebuah harga mati: hubungan dua orang “saling mencintai”, selain suamiistri oleh Pak Kepala tak dikehendaki! Oo, Wahai Kosim, sang pemilik hati, mengertilah keadaan ini! Aku mencintai kamu dengan sembunyi. “Anda mengerti. Anak-anak adalah perekam, pembelajar paling sempurna.” Pak Kepala sungguh berwibawa. “Ya, saya mengerti konsekuensi.” Jamilah berkeringat. Pak Kepala, apakah Anda belum beristri, sehingga untuk perkara remeh ini Anda perlu iri?

“Lihat matamu! Apalah guna dirimu sebagai lelaki! Membungkus harga diri pada selembar cawat banci!” vas bunga, lukisan berwarna, dan pada boneka kesayangan Kosim saat hangat memeluk bayang-bayang Jamilah. Hingga bayang itu menebal dan lantas menjelas nyata, saat derap langkah Jamilah menaiki tangga. Sigap Kosim mendekap. Alam wangi berlari menghampiri. Telaga kautsar gemerincing menyapa dahaga Kosim. Menjerit. Memaki.

Membatin. Jamilah pernah kepergok membonceng satpam. Berdua kena semprot. Sekadar membonceng, sebatas itu dianggap melenceng? “Namun Anda tak perlu khawatir. Lembaga ini tak pernah berjalan dengan setengah hati. Anda sepakat dengan gaji tinggi, itu pun telah kami beri. Dan lagi, disini silakan, Anda bebas

19

gunakan setiap teknologi. Kami sangat menghargai profesi!” “Baik, Pak Kepala. Saya mengerti.” Sementara, mendung menggayut. Langit mulai cengeng. Rintik-rintik air meleleh. Bagi Satipan, satpam penjaga sekolah, itu sih sudah biasa! *** Demi Tuhan! Panas bertahun-tahun dihapus hujan sehari. Kisah cinta Kosim-Jamilah yang pedas, akhirnya kandas. Demi setan, Kosim kalap menghajar sweet memoriesnya bersama Jamilah. Sungguh alangkah, Kosim menyapu semua tentang Jamilah dengan pahitnya ludah! Kini, tak ada lagi puisi indah buat Jamilah. Tak ada lagi romantisnya kisah. Barangkali jika melihat wajah Kosim saat itu, orang akan menyangka Kosim pernah sejenak singgah di neraka yang tak ramah: artinya Kosim benar-benar marah! Kosim mendengus. Status Hubungan di Facebook pun tegas ia ganti: bercerai! Mendengar nama Jamilah, mendadak ia begitu benci. Penolakan Jamilah baginya sama saja membanting harga diri. Belum lagi, kata-kata Jamilah: “Apalah guna dirimu sebagai lelaki! Membungkus harga diri pada selembar cawat banci!”, membikin semua ini harus diakhiri. Kosim menyetel kaset. Satu penggal syair lagu memberi dia inspirasi: Daripada ribut-ribut terus nggak sempat make love, mestinya memang lebih baik kita pisah saja dulu!(1) Asyik-masyuk. Handphone-nya berdering. Kosim tak sadar, itu panggilan dari Jamilah. Ia sama sekali tak tahu kalau Jamilah sedianya ingin minta maaf sebab telah menolaknya tanpa berikan satu alasan atau kepastian. Tapi, Kosim telah terburu muak dan benci. Maka setelah handphone-nya berhenti meraung, tanpa kata sayangku, kekasihku, bungaku, permataku, mataku, hatiku, matahatiku, de-el-el, begitu bernafsu ia mengetik pesan singkat buat Jamilah: Kita putus, Jamilah! Kamu tidak hamil, kan? [] *(1) Diambil dari lirik lagu Slank, Pisah Saja Dulu, Album Generasi Biroe, tahun 1994. Kamar Berisik dini hari, 2010.


20

Budaya

Edisi 129 TH XXII/ 2010

SURAHMAT, MAHASISWA BAHASA DAN SASTRA INDONESIA

MERAYAKAN PRESTASI KEMANUSIAAN

A

ksi heorik penyelamatan 33 penambang Cile yang terkurung 67 hari di kedalaman 625 meter mengharu biru warga dunia (Kompas, 15/10). Kekuatan yang muncul dari cinta manusia terhadap sesamanya ternyata mampu meleburkan batas mungkin dan mustahil. Cinta bermetamorfosa menjadi kekuatan yang menjanjikan. Sehingga, “Tidak ada alasan untuk berputus asa bahkan ketika kita yakin hidup akan segera berakhir.” Tidak hanya bagi warga Cile, peristiwa tersebut patut dirayakan sebagai prestasi kemanusiaan umat manusia. Di tengah kering kerontangnya penghargaan kemanusiaan akibat dominasi logika kapitalisme, manusia ternyata masih bisa mengandalkan cinta sebagai sumber kekuatan. Peristiwa ini sekaligus menjadi pepeling bahwa sikap yang ditunjukkan antarsesama manusia selama ini ada yang keliru. Relasi psikologis dan kultural nyaris musnah oleh desakan yang terus-menerus didesak kepentingan (ekonomi). Dalam keseharian, kita mulai terbiasa mendengar kabar tentang kebengsian manusia. Pertengkaran, saling memaki, bahkan saling membunuh telah menjadi sajian sehari-hari di televisi. Aksi saling melukai juga telah menjadi peristiwa yang tidak lagi mengagetkan. Kita terbiasa mendengar dan karena itu pula mulai tidak peduli. Aksi kekerasan seolah bisa ditolerir karena telanjur jamak dilakukan. Bahkan, aksi-aksi itu menjadi tontonan yang kita santap sebagai hiburan. Ya, kita menenontonya bukan dengan segenap iba, tapi dengan hasrat menghibur diri layaknya ketika menyaksikan sinetron dan kontes dangdut. Kebiasaan mendengar dan menyaksikan kebengisan membuat kepekaan manusia (tentu saja kita salah satunya) mulai tumpul. Kemampuan bersedih, berempati, dan peduli yang secara alami dimiliki manusia perlahan hilang. Akibatnya, kita melewatkan kebengisan sebagai peristiwa biasa, atau bahkan niscaya. Kita menjadi permisif dan memilih mengambil jarak dengan orang lain. Kita merasa menjadi dimensi lain yang dibatasi ketidakpedulian. Acuh. Angka 145 yang merujuk pada jumlah korban banjir bandang di Wasior mestinya cukup membuat bulu kuduk berdiri. Mestinya, ilustrasi tentang 200 korban meninggal akibat erupsi merapi bisa membuat kita merinding. Terlebih mereka adalah saudara yang memiliki ikatan kultural dengan kita sebagai manusia Jawa dan manusia Indonesia. Tapi nyatanya, bencana

mereka kita pandang sebagai “mereka”. Sekalipun masyarakat berinisiatif membantu dengan mengirim berbagai bantuan, ekspresi itu lebih terbaca sebagai kelatahan. Hanya sebagian dari kita yang menangis. Di tanah air kita, ternyata nyawa manusia begitu mudah melayang. Nyawa, sesuatu yang paling esensial untuk menjaga kelangsungan hidup, mulai tidak dihargai. Alih-alih kepedihan mendalam, justru yang muncul adalah pembiaran. Dan ingat, komentar seorang anggota DPR terhadap korban tsunami Mentawai; kalau tidak mau kena tsunami ya jangan tinggal dipantai, bahkan menyerupai olok-olok. Demikian pula ketika berita tentang mutilasi di Jakarta beberapa hari lalu menghiasi layar televisi. Frasa “bagian tubuh yang terpisah” yang digunakan dalam beberapa pemberitaan sudah tidak mampu lagi menyedot kesedihan. Jangankan tetes air mata, kita bahkan mulai menanggapnya sebagi peristiwa biasa. Pemerkosaan, pembunuhan, pemerkosaan, dan entah apalagi tidak mampu membuat kita menitihkan air mata. Ke mana naluri kemanusiaan kita? Hati yang Tuli Manusia melalui narasi sejarah yang ditulisnya tidak pernah berhenti mengklaim diri sebagai makhluk paling welas asih, selain sebagai makhluk paling cerdas. Namun sejarah justru membuktikan bahwa manusia juga bisa menjadi makhluk paling keji. Berbagai kebengisan, yang umumnya didorong oleh hasrat yang meleteup-letup, pernah manusia lakukan. Hati yang menjadi tuntunan berperilaku kian tuli oleh prioritas hidup yang mengedepankan pemenuhan materi. Di tengah kehidupan yang tergesa-gesa akibat kompetisi ekonomi yang demikian ketat, aktivitas melatih kepekaan hati tampaknya tidak menjadi prioritas lagi. Nalar ekonomi membuat kata hati manusia kerdil, menempati sudut kecil dalam relung kemanusiaan. Tuntutan dunia supaya manusia menjadi pemenang, agar tidak tergilas persaingan, membuat kata hati menjadi suara minor yang dianggap tidak penting. Ia kerdil, tuli, kemudian tidak berfungsi. Manusia Jawa yang mengklaim diri berperilaku adiluhung juga tidak lepas dari libasan ideologi universal yang mengutamakan kepentingan ekonomi. Memang, hingga kini pun ada kelompok yang masih mempertahankan identitas kebudayaan lokalnya yang luhur. Namun sebagian besar lainnya menunjukkan perilaku yang sebaliknya.

Dunia telah telanjur rata dan sistem nilai yang dulu berlaku pada kelompok-kelompok kecil mulai tidak diakui, tergantikan sistem nilai yang mondial. Kebenaran dinilai oleh sistem nilai universal yang dikendalikan modal. Mari bertanya, saat ini adakah kelompok masyarakat yang mengakui kebenaran subjektif kemanusiaan sebagai sumber kebenaran utama? Rasanya tidak. Kebenaran dalam sistem hukum kita misalnya, justru diukur oleh kesesuaian realitas dengan bunyi teks UndangUndang. Karena itulah sistem hukum tidak pernah menganal belas kasihan, sehingga pada saatnya tega mengganjar nenek tua dengan satu setengah bulan hukuman penjara hanya karena mengambil tiga buah kakao dari sebuah perkebunan. Sedangkan pada saat yang sama hukum tidak berani memenjarakan pejabat yang terindikasi korupsi karena dibela puluhan pengacara. Kasus Gayus, Artalita, juga Anggodo hanya salah satu akibat menghilangnya nilai kemanusiaan dari sistem hukum dan sosial kita. Logika kemanusiaan memang logika yang tidak terukur. Kadang dinilai absurd karena sulit dideskripsikan. Kebenarannya bersifat relatif. Namun, bukan berarti logika kemanusiaan tidak bisa menjadi sistem nilai yang berlaku massal. Ia bisa saja menjadi pranata sosial meski hanya pada kelompok kecil. Tujuannya, agar dimensi kemanusiaan menjadi pertimbangan utama sebuah keputusan bersama. Rasanya kita sudah terlalu lama mengingkari kewajiban untuk memanusiakan-manusia. Identitas kemanusiaan kita mulai dan terus tanggal. Pada tingkat personal, hati nurani sering terdesak pertimbangan ekonomi. Kita dihadapkan pada pilihan sulit untuk memprioritaskan logika humanistik atau kebanalan kebutuhan hidup. Pada tingkat sosial, kita lihat, hukum dijauhkan dari rasa keadilan. Negara bahkan telah menjadi sistem kekuasaan komersial sehingga kerap terjebak pada indikator-indikator kauntitatif. Bisakah kondisi ini dinetralkan kembali, setidaknya dijaga agar tidak semakin bertambah parah? Melalui berbagai pranata yang kita miliki tentu saja bisa, meski sulit. Sebab, sistem sosial kita pun sudah disusun untuk mengikuti nalar ekonomis. Bahkan sekolah, yang mestinya “suci”, justru menjadi konstituen paling setia. Sekolah menjadi representasi kehendak politik penguasa. Lantas, bagaimana?

Makplekuthik Makplekuthik thukul Makplekuthik semi Makplekuthik mekar Makplekuthik mati Makplekuthik macak Makplekuthik manak Makplekuthik mantu Makplekuthik mutu Makplekuthik mati Makplekuthik menclok Makplekuthik mabur Sanajan mung makplekuthik Urip kudu bisa uthik-uthik kadonyan Temah thukul kabecikan lan katresnan Kang tansah cumawis Makplekuthik....grewal....

Pangestika Tuhu Kristanti Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Jawa

Perkosa Guru, kau perkosa dirimu dan juga muridmu Sadarkah kau? Kau tak lagi pernah tuang ilmu kehidupan dalam cawan jiwamu Apalagi pada cawan jiwaku. Sekolahku hanya mengenal rupa fisik ilmu Dan jumlah bintang yang tersandang di namanama kita. Apakah ini pertanda bahwa kegelapan mulai tiba? Guru, aku takut. Jangan lagi kau perkosa aku. Hingga aku perkosa diriku. Putri Narita Pangestuti Semarang, 5 Oktober 2010

Bosan Adakah nafas yang berhembus pelan Dimaknai penuh perasaan? Ketika rutinitas berjalan merangkak Tertatih pelan Mengelabuhi segala keinginan Melebur jadi pasir – pasir hiburan Bosan… Dengan segala jengkal kehidupan Salah siapakah kebosanan? Lepaskan belenggu kerikatan Hapus segala beban kehidupan Jangan biarkan Detik demi detik terlewatkan Terbawa arus kehidupan Jangan biarkan Jiwa ini mati tertindih batu kebosanan. Walidah Fatkhul Khikmah (PBSI 2010)

Surat dari Papua ruh pulang tak diusung doa, duka bandang mencatat senyum nisan, menggenang entah sampai kapan di kubur lautan. Putri Narita Pangestuti Semarang, 5 Oktober 2010


Pesona

Edisi 129 TH XXII/ 2010

21

21

Menikmati Alam Bersama Monyet Ekor Panjang Hujan mangguyur lereng gunung Lawu kala itu. Terlihat segerombolan monyet tak memperdulikannya. Pohon nan rindang dan balutan bulu keabu-abuan suda cukup untuk memberikan mereka sebuah perlindungan.

W

pada jam-jam tertentu, butir—butir air tersebut membiaskan cahaya berwarnawarni membentuk bianglala atau pelangi. Dekat kaki air terjun terdapat mata air terjun terdapat mata air yang menurut kepercayaan masyarakat setempat airnya membuat awet muda bila digunakan untuk membasuh muka. Selain Pinus (Pinus Mercussi) yang dilestarikan, vegetasi yang tumbuh di TWA Grojogan Sewu diantaranya Suren (Toona Surei), Puspa (Schimaa Wallicii), Bulu Karet (Ficus Elastica), Beringin (Ficus Sp.) dan Kayu Manis (Cinamommum Burnamii). Tumbuhantumbuhan tersebut dirawat sebagai salah satu bentuk pelestarian terhadap alam. Kepala PT. Duta Djaya Indonesia yaitu perusahaan yang menaungi TWA Grojogan Sewu, Widodo mengatakan, setiap bulannya ada kegiatan penanaman pohon yang dilakukan disekitar lereng Gunung Lawu yang dikelola Departemen

Nuansa/Rustama

isata alam menjadi salah satu pilihan untuk menghabiskan akhir pekan bagi sebagian orang. Menjelang siang kabut tebal menyelimuti lereng gunung Lawu pekan terakhir bulan Oktober lalu, seakan menunjukkan ciri dari sebuah lereng gunung. Berjarak 45 km dari pusat kota Solo, tepatnya di kecamatan Tawangmangu, Kabupaten Karanganyar terdapat sebuah air terjun setinggi kurang lebih 81 meter. Air terjun yang pernah digunakan Didi Kempot sebagai setting video klip lagu Sewu Kuto pada awal abad 21 tersebut bernama Grojogan Sewu. Suasana alami mulai terpancar ketika memasuki pintu masuk Taman Wisata Alam (TWA) Grojogan Sewu, populasi Monyet

Grojogan Sewu

Nuansa/Rustama

memanjakan pengunjung.

Kawanan Monyet Ekor Panjang

Kehutanan. Selain itu, pelestarian yang dilkukan juga mengarah pada populasi monyet yang tinggal di area wisata. Setiap hari sebanyak sekarung ubi jalar dipersiapkan untuk dimakan monyet. Monyetmonyet tersebut merupakan fauna asli dari Gunung Lawu yang telah menetap di sekitar tempat wisata. Namun, populasi monyet tersebut kini mulai meresahkan pengunjung. Sering para monyet merebut makanan yang dibawa oleh pengunjung. “Sebenarnya mereka tidak berbahaya, tetapi kita mesti waspada dan tidak mengganggunaya,� himbau Widodo saat ditemui di ruangannya. Sejak dua tahun yang lalu, PT. Duta Djaya Indonesia selaku perusahaan yang menaungi kawasan Grojogan Sewu berusaha menambah fasilitas outbond seperti fliying fox, kolam renang, arung jeram mini, dan tempat bermain yang lain untuk

Nuansa/Rustama

Ekor Panjang (Macaca Fascicularis) bebas berkeliaran sekitar objek wisata. Ada yang bergelantungan di pohon, di jalan, bahkan menunggangi mobil yang terparkir di sekitaran tempat tersebut. Tingginya pohon-pohon Pinus (Pinus Mercussi) juga menambah kekentalan nuansa alam. Cukup dengan waktu 15 menit menapakkan kaki pada anak tangga sejumlah 664 selebar 1 meter akan mengantarkan sampai ke lokasi Grojogan Sewu. Di kanan dan kiri ketika berjalan mata ini akan disuguhi banyak tumbuhan yang menghijau. Sebagian ada yang memperlihatkan bunganya seakan mengatakan kepada pengunjung bahwa keberuntungan berada di pihak mereka karena tengah berkunjung. Di kaki air terjun tercipta uap air yang melayang-layang di udara. Bila matahari bersinar terang

Sate Kelinci Setelah lelah berkeliling TWA Grojogan Sewu yang luasnya sekitar 2 hektar terdapat beberapa kios warung untuk sekadar meregangkan otot dan sendi yang capai. Jika kesana jangan lupa mampir di salah satu kios yang menjual sate kelinci. Karena salah satu keistimewaan di TWA Grojogan sewu adalah sate kelincinya. Menurut salah satu penjual, sate kelinci dapat berkhasiat menambah stamina tubuh. Daging dari sate kelinci juga lembut sehingga tidak terlalu sulit

untuk mengunyahnya. Kuncoro, pengunjung dari Jogja yang sengaja berakhir pekan di TWA Grojogan Sewu mengatakan bahwa Dia merasa nyaman ketika berwisata di alam. Sepertinya ketika berlibur akan terasa kurang jika belum didokumentasikan. Salah satu cara mendokumentasikan peristiwa yang berkesan adalah mengbadikannya dalam bentuk foto. Disana ada penjual jasa sebagai fotografer yang bisa membantu pengunjung mengabadikan moment saat berada di Grojogan Sewu. Cukup menunggu 30 menit setelah difoto, gambar sudah bisa dibawa sebagai oleh-oleh kenang-kenangan. Aditya Rustama

Kuda, salah satu kendaran yang dapat disewa di TWA


22

Komunitas

Edisi 129 TH XXII/ 2010

Ketika Hati Bicara, Pamrihpun Musnah Sering bencana mengkerdilkan harapan korban bencana. Hanya ulur tangan dari sesama yang dapat menghapus beban mereka. Bukan berapa materi yang diberikan, tetapi tenaga yang dicurahkan.

H

ujan abu dan gempa tektonik masih terasa pada pekan pertama bulan November lalu, bahkan letusan terbesar juga terjadi di salah satu hari dalam pekan tersebut. Merapi meletus. Tak nampak orang yang tahu kapan bencana melanda, karena bencana memang kiriman dari Sang Pencipta. Akhir-akhir ini juga cukup banyak bencana alam -entah dibelahan dunia manapun- tengah melanda. Di Indonesia, tiga bencana besar dan menerjang bumi pertiwi. Banjir bandang di Wasior, tsunami Mentawai, dan Merapi yang tengah erupsi. Belum lagi, beberapa Gunung berapi di Indonesia yang tengah berstatus awas. Namun, hal itu tak semata-mata merupakan bencana. Sosok relawan telah menghapuskan paradigma bencana adalah ‘bencana’. Itu tak berarti bagi mereka. Pada setiap bencana yang terjadi ada nilai yang tekandung didalamnya. Berbekal niat yang kuat untuk menolong sesama, para relawan tak pernah menyerah untuk menumbuhkan sikap menolong sesama. Entah apa yang ada dalam pikiran mereka, relawanrelawan tak henti-hentinya berdatangan untuk sekedar memuaskan jiwa dan meringankan korban bencana alam.

yang bergerak pada bidang tersebut, yaitu Mahapala Unnes. Pada saat erupsi Merapi bulan lalu, Mahapala mengirim beberapa anggotanya untuk menjadi relawan. Tidak hanya di kampus, banyak segerombolan pemuda yang merasa mereka adalah pecinta alam. Di Gemolong, Sragen misalnya, disana terdapat organisasi Pecinta Alam bernama Wong Salam (Wong Seneng Alam) yang dibentuk dari pemuda-pemuda di sekitar daerah tersebut. Pada erupsi Merapi lalu, mereka menggalang dana di jalan raya Solo-Purwodadi tepatnya di perempatan Gemolong. Sejumlah anggota juga

Dok. Ajusta Brata

Dok. Wong Salam

dikumpulkan untuk menjadi relawan di daerah bencana Kabupaten Magelang.

Relawan tak urung halnya adalah malaikat bagi korban bencana. Mereka membantu tanpa kenal lelah, dan pamrihpun dienyahkan. Tak satupun mayat dari korban bencana dikenalnya, tapi hal itu mereka tandaskan hanya untuk satu tujuan, meringankan beban sesama. Biasanya relawan-relawan tersebut tergabung dalam sebuah organisasi yang mengatas namakan pecinta alam. Di kampus-kampus sering dikenal sebagai Mapala (Mahasiswa Pecinta Alam). Di Unnes misalnya, ada Unit Kegiatan Mahasiswa

Peran relawan sangatlah diperhitungakan ketika terjadi bencana alam. Mereka dengan rela menjadi tenaga bantu yang ditempakan didaerah bencana. Seperti yang dilakukan Mas Bobo -panggilan akrabnya- lima tahun silam. Ketika itu, gempa berskala 5 SR yang menimbulkan Tsunami memporak-porandakan Aceh Desember 2004 lalu. Lelaki asal Boyolali tersebut merupakan alumni Ajusta Brata, Mapala dari Fakultas Teknik Universitas Sebelas Maret Suarakarta itu menjadi salah satu relawan dari golongan mahasiswa. Bersama dua temannya mereka siap menjadi relawan. Selain rasa bangga karena bisa terpilih menjadi salah satu relawan, dia juga senang karena bisa membantu sesama. “Waktu itu, seleksinya cukup ketat. Jadi cukup bangga juga ketika terpilih,” tutur Mas Bobo. Lelaki yang kini sudah menjadi Bapak tersebut merasa, pengalaman yang diperolehnya saat menjadi relawan di Aceh merupakan suatu

anugerah. Ia yakin bahwa yang dilakukannya merupakan sangu donya, walau sangat memeras energi. Saat terjadi tsunami lalu, Serambi Makkah seakan telah diratakan dengan tanah oleh gunungan ombak besar. Jumlah korban meninggalnya pun mencapai ribuan. Ketika itu Mas Bobo ditugaskan selama 40 hari di daerah Nanggroe Aceh Darussalam. “Padahal waktu itu masih terjadi konflik di sana (Aceh-red). Bahkan letusan-letusan tembak masih terasa kental waktu itu,” ungkapnya mengulas pengalaman empat tahun silam. Seminggu setelah tsunami melanda Aceh, mayat-mayat korban terjangan ombak besar masih banyak yang belum dievakuasi. Ketika dilakukan evakuasi bau menyengat dari mayat tersebut terasa masuk kedalam tubuh, bahkan sendi-sendipun tersa ngilu saat aroma itu tercium. Tak bisa dibayangkan lagi, mayat itu telah tergeletak selama tujuh hari lebih dan masih tercampur air laut sisa tsunami. “Wah, baunya itu lho! Sampai gak doyan makan lagi. Padahal sampai 40 hari,” lanjutnya lirih, seakan mengingat wajah-wajah mayat yang telah dievakuasinya. Dia melanjutkan, menjadi relawan memang sangat melelahkan. Bahkan, bisa berkibat fatal jika tidak hati-hati. Seperti contoh di Selo kemarin. Salah satu relawan meninggal saat menjalankan tugasnya menjadi relawan. Namun, dirinya mengakui ada suatu kebanggaan ketika ia menjadi relawan bencana. Minimal pengalaman yang bisa diceritakan kepada anak-cucu. “Walau tak dapat apa-apa, tapi saya yakin ada manfaat ketika kita menjadi relawan,” ungkapnya lirih seperti pikirannya mengingat masa lalu yang tak pernah mengecewakan. Aditya Rustama


Resensi

Edisi 129 TH XXII/ 2010

23

Satu Lompatan Mengubah Duniamu

T

idak seperti cerita novel pada umumnya, kisah humoris sekaligus dilematis dituangkan J.C. Michaels dengan bahasa yang sederhana. Firebelly sebuah novel perjalanan menuju inti pemikiran. Meskipun tokoh utama dalam cerita ini adalah seekor katak, namun memberikan banyak pembelajaran akan pentingnya arti kehidupan, pembaca digiring untuk memahami hakekat keberadaan. Firebelly seekor binatang amphibi, yang bingung untuk mengklasifikasikan dirinya; apakah ia seeokor katak atau kodok. Dilahirkan dengan hanya memiliki 2 buah kaki belakang dan 2 kaki depan yang buntung membuat Firebelly merasa menjadi hewan ternaas di dunia. Hidup bersama berbagai binatang ditoko hewan peliharaan membuat hidupnya semakin tertekan karena kekurangannya itu. Petualangan pun dimulai, Caroline-gadis cilik manis tertarik akan firebelly. Kehidupan nyaman pun dimulai semenjak Firebelly menjadi hewan peliharaan Caroline. Kenyamanan hidup sendiri didalam akuarium dengan batu-batuan

Judul Buku Pengarang Tahun Ukuran Tebal Harga Penerbit

: Firebelly : J. C. Michaels : September 2010 : 20,5x13 cm : 323 halaman : Rp 49.000 : PT SERAMBI ILMU SEMESTA

nyaman untuk tempat bertengger, setiap hari disuguhkan serangga yang notabene makanan kesukaannya. Namun, apalah arti kehidupan jika segala sesuatunya berjalan nyaman-nyaman saja. Hidup menjadi hewan peliharaan memang menjadi impian, tapi hidup tanpa tantangan sangat menyedihkan. Kebimbangan muncul seiring makin tuanya Firebelly, keinginannya untuk melihat dunia luar dan membuktikan bahwa kecacatan bukan hambatan untuk merintangi alam bebas. “Ketika aku menyadari bahwa satu langkah dapat mengubah hidupku, aku mulai takut dan khawatir aku tidak akan melangkah kemanapun”. Itulah kalimat yang digumamkan Firebelly ketika kebimbangan melanda.

Apakah Firebelly mempunyai nyali besar untuk menaklukan ketakutannya dan memulai hidup baru diluar aquarium kesayangannya, untuk melihat kehidupan yang tiada batas? Bagaimana pula dengan perut merah api Firebelly yang tiba-tiba menyala? Kisah ini dikemas dengan bahasa sederhana dengan kalimat penuh makna, sehingga tidak heran jika dalam waktu singkat J. C. Michaels menjadi Writers Notes Magazine Winner Book Award. Meskipun novel ini mendapatkan penghargaan, namun tak luput pula dari kekurangan. Dalam bagian ketiga pembaca dibuat bingung karena

secara tiba-tiba tokoh utama d a l a m c e r i t a berubah, tanpa adanya perawalan pengenalan t o k o h . Dihalaman t e r a k h i r terdapat pula pengeditan yang kurang jeli, ukuran huruf yang tidak teratur untuk beberapa halaman. Namun, bagi penggemar novel fiksi jangan sampai terlewatkan untuk membaca novel ini. Selain disisipi dialog humor, pembaca juga disuguhkan pemikiran-pemikiran tentang makna kehidupan yang sebenarnya-terutama akan pentingnya makna “keberadaan”. Afina Lukita

Semua itu karena Niat Judul Penulis Halaman Penerbit Tahun Terbit Harga

S

: Padang Bulan dan Cinta di Dalam Gelas : Andrea Hirata : XIV & 253 serta VIII & 265 hlmn : Bentang : 2010 : Rp 76 500

iapa yang tak kenal dengan Andrea Hirata? Penulis yang makin menanjak kariernya setelah sukses dengan novelnya Laskar Pelangi. Tak puas dengan Laskar pelangi Andrea Hirata kembali menelurkan karya terbarunya yang kali ini dibalut dalam bentuk buku dwilogi dengan judul Padang Bulan dan Cinta di Dalam Gelas. Andrea menunjukan kemampuannya dalam menampilkan sisi lain dari karakter tokoh-tokohnya yang tidak pernah kita duga sebelumnya. Padang Bulan dalam

dwiloginya yang pertama, penulis mengisahkan tentang pergolakan nasib seorang gadis perempuan berumur 14 tahun bernama Enong, yang begitu semangat untuk belajar berbahasa Inggris. Dengan bermodal kamus “Bahasa Inggris 1 milyar kata”, Enong mencoba meraih mimpinya untuk menjadi guru bahasa Inggris. Ditengah perjalanan meraih mimpinya Enong harus di hadapakan kenyataan, bahwa ia harus mengambil alih seluruh tanggung jawab keluarganya. Bahkan cobaan pun datang silih berganti. Kiranya, apakah yang membuatnya seperti itu? dan Apakah ia bisa bertahan diri menghadapi cobaan untuk berjuang meraih mimpinya menjadi guru Bahasa Inggris? Dalam Dwilogi pertama ini, kisah Enong dikisahkan seperti sebuah epos, penulis berhasil memperlihatkan kepada para pembaca kekuatan-kekuatan besar

yang tersembunyi didalam diri manusia, kekuatan alam bawah sadar kita. Kekuatan terbesar yang muncul karena adanya niat dan tekad untuk meraih cita-cita. Nah, tanpa kita duga-duga penulis memasukkan tokoh Ikal pula dalam ceritanya, Ikal yang kita kenal sebagai laki-laki pendek, hitam, berambut keriting, dan memendam cinta ke Aling. Penulis mengemas cerita ini dengan menarik, alur yang mengalir dengan disisipi dialogdialog lucu berbahasa melayu. Penulis mempertemukan Ikal dengan Enong dan dimulailah petualangan-petualangan baru yang penuh makna. Bagaimanakah kisah 2 makhluk gigih itu? Dikemas dengan bahasa yang sederhana, sehingga pembaca terimajinasi dan dapat menginterpretasikan cerita dalam novel ini. Menyusul dalam novel kedua yang berjudul “Cinta di Dalam Gelas”, berisi tentang kelanjutan kisah si Enong. Dalam Dwilogi kedua ini Enong hadir sebagai sosok yang kuat dan pantang menyerah dalam mempelajari suatu hal baru. Hal ini bisa kita lihat dalam petikan dialog dalam buku ini. “Berikan aku sesuatu yang paling sulit, aku akan belajar,” Penulis mengajak pembaca berkesimpulan bahwa belajar adalah sikap berani menantang segala ketidakmungkinan. Ilmu yang tak dikuasai akan menjelma di dalam diri manusia menjadi sebuah

ketakutan. Belajar dengan keras hanya bisa dilakukan oleh seseorang yang bukan penakut. Dalam Dwilogi kedua ini Enong bertemu dengan tokoh – tokoh baru yang tidak ia duga; ada preman pasar pagi, detektif yang bercita-cita menjadi teknisi parabola, dan seorang grandmaster catur perempuan dari Negara Norwegia. Pertemuan dengan ketiga tokoh ini di karenakan keinginan kuat dari Enong yang ingin ikut dalam perlombaan catur, sebagai upaya menentang tradisi bahwa Catur merupakan permainan lakilaki. Berhasilkah enong menentang tradisi ini? Tidak kalah dengan karyanya Laskar Pelangi, dalam kurun waktu 2 minggu novel ini berhasil terjual sebanyak 25 ribu eksemplar, sehingga layak memperoleh gelar Mega Bestseller. Meskipun jika tanpa kejelian pembaca akan dibuat bingung pada dwilogi pertama karena adanya tokoh Enong dan Ikal yang diceritakan masing-masing lalu pada akhir bagian baru dipertemukan. Namun, bagi anda penggemar kisah epos, sangat disayangkan bila melewati novel ini. Banyak nilainilai kehidupan yang diceritakan, terutama memotivasi pembaca bahwa kekurangan bukanlah kendala dalam meraih cita-cita. Asalkan ada niat, semua tantangan pasti terlewatkan dan cita-cita tak sekedar menjadi impian. Selamat membaca?!! Fajar Randi Y.


Rileks

FOKUS

Namanya si Udin. Udin bilang dia mahasiswa. Kemanamana pakai kaos oblong. Dibelakangnya ada tulisan “Agent of Change”. Tulisannya besar. Pakai celana komprang. Udin suka bicara. Bicara apa saja. Bicara politik. Bicara pendidikan. Bicara ekonomi. Bicara sosial. Kebudayaan juga. Udin berjalan. Udin bertemu anggota DPR. “Aku ingin jadi aktivis,” kata Udin. Anggota DPR manggutmanggut. “Biar pintar ngomong,” lanjutnya. Anggota DPR melengos. “Belajar politik biar jadi politikus.” Bibir anggota DPR jadi berbentuk O. “Jadi politikus banyak duit.” Anggota DPR tersenyum. “Tapi kerja dikit.” Anggota DPR mendelik. Udin pergi. *** Udin mampir ke warung. Warung kopi Bu Sum. Udin ngopi-ngopi. Warung sepi. Bu Sum goreng pisang. Orang-orang di kantor. Pisang goreng matang. Udin nyomot satu. Pisang goreng masih panas. “Aku belajar ekonomi,” kata Udin mangap-mangap. Pisang goreng Udin ngepul asap. “Aku ingin jadi pengusaha,” lanjutnya. Bu Sum bikin kopi buat Udin. “Jadi pengusaha bisa ngatur harga.” Dahi Bu Sum mengerut. . “Harga diatur supaya makmur,” lanjut Udin sambil nyruput kopi. Pisang habis. Udin nyomot lagi.

“Pengusaha bisa beli pisang murah.” Pisang goreng tidak panas lagi. Udin nyaplok separo. “Tapi bisa jual selangit,” Udin habis dua pisang. Bu Sum goreng pisang lagi. Orang kantor pada datang. Udin bayar. Bayangan matahari hilang. Udin ngilang. *** Udin ke kampus. Nongkrong-nongkrong sama teman. Teman-teman Udin kagum. Udin bisa apa saja. Politik bisa. Sastra bisa. Ekonomi bisa. Tidak ada yang tidak bisa. Udin coba semua. Belajar semua. Udin ikut UKM. UKM teater Udin ikut. UKM Pers juga ikut. UKM Kethoprak ikut. UKM Gaple udin juga Ikut! Semua Udin ikut. Teman perempuan Udin cuma bisa nyanyi. Namanya Sunny. Belajarnya Cuma nyanyi. Nyanyi dangdut. Udin juga bisa nyanyi. Udin pernah les nyanyi. *** Dulu Udin lulus semester 14. Dua tahun setelah Udin lulus. Udin ketemu sama Sunny. Sunny jadi penyanyi. Penyanyi dangdut terkenal. Bayarannya pake cek. Sunny bertanya. “Udin jadi apa?” Udin bisu. “Anggota DPR?” Udin gedeg. Geleng kepala. “Jadi Pengusaha?” Udin juga gedeg. “Terus?” lanjut Sunny. “Buruh pabrik,” jawab Udin. Pelan. Hampir tak terdengar. Sunny kaget. Dulu Udin serba bisa. Multitalent. Sekarang tak jadi apa-apa. [] Aliyudin MT

Profil

Latifah SEHAT DENGAN OBAT HERBAL

P

ekerjaan sebagai dosen Kimia di Unnes memaksa Latifah berkutat di dalam lautan larutan dan zat-zat kimia serta tabungtabung dan bejana. Pengetahuannya tentang teori tidak ingin ia hentikan begitu saja. Ia berusaha menerapkan teori kimianya pada praktek dengan konsep yang lebih natural. Kejenuhannya terhadap zat kimia yang digunakan di semua produk kebutuhan sehari-hari mendorongnya menciptakan satu inovasi. Ia berhasil menciptakan 22 formula yang dijadikan berbagai jenis produk seharihari yang terbuat dari herbal alam. Salah satu produk yang paling banyak digemari masyarakat adalah sabun dari bahan susu yang berkhasiat memutihkan, melembabkan kulit, mencegah flek hitam, memutihka lipatan paha, dan mengurangi pecah pada kaki. Selain sabun herbal, ia juga menciptakan minyak zaitun, minyak urut, sampo, pencuci piring, dan berbagai produk rumahan lain. Wanita kelahiran solo, 7 Januari 1961 ini tidak pernah menyangka jika produknya ternyata begitu digemari, “Mulanya niat saya menolong orang, tidak tahunya ternyata mereka membuktikan sendiri dan mempromosikan kepada yang lain sehingga kini banyak dikenal”. Meskipun ia sangat akrab dengan bahan kimia, ia mengaku sangat menghindari penggunaan bahan kimia untuk diri sendiri. Semua produk yang ia ciptakan tidak menggunakan bahan kimia sedikit pun namun menggunakan herbal alam yang keamanan dan kehalalannya telah diuji. Benar-benar kembali ke alam. Selain itu, ia mengaku ingin memberi pelatihan kewirausahaan pada mahasiswa. Dengan tujuan menghasil-

kan SDM jurusan kimia sejajar jurusan lain. Untuk distribusi produk, selain pada agen, salon, toko, warung, dan beberapa di swalayan. Saat ini prodaknya sudah berkembang antar provinsi dari jakarta, bekasi, balik papan, bengkulu, banjar masin dan lainnya. Meskipun produksi dan pengemasan masih ditangani sendiri dan handmade namun dengan motto alami, halal dan ramah lingkungan ia yakin prodaknya mampu memberikan manfaat. “Saya berharap produk saya dikenal sampai internasional, sehingga dapat mengangkat prodak Indonesia yang herbal, tanpa bahan kimia”, tutur wanita yang meski usianya menginjak 50 tahun namun tetap segar wajahnya. Fajri

TAUFIK BRIAN Awalnya Kurang Percaya Diri

T

erinspirasi konyolnya komik Beny and Mice, Taufik Brian berhasil membuat kejutan dengan menyumbangkan satu dari enam medali emas yang diperoleh kontingen Jawa Tengah pada gelaran Pekan seni Mahasiswa Nasional X (Peksiminas) tahun 2010 yang diadakan di Universiatas Tanjungpura, Pontianak beberapa bulan lalu. Adalah komik bertemakan kreativitas masyarakat kecil yang phobia tabung gas elpiji yang mengantar Taufik menjuarai tangkai komik strip. Mahasiswa Seni Rupa Universitas Negeri Semarang angkatan 2005 kelahiran Semarang, 7 Maret 1986 ini awalnya tak pernah mengira akan merebut medali emas di ajang seni mahasiswa tingkat nasional, mengingat ini adalah kali pertama bagi Taufik ikut dalam sebuah kompetisi seni semenjak dia menjadi mahasiswa. Sebenarnya, sewaktu TK dulu Taufik pernah menjuarai lomba mewarnai dan sewaktu SD pernah juara II lomba menggambar dan mewarnai tingkat Jawa Tengah. Namun, karena malu dan kurang percaya diri Taufik pernah mengundurkan diri ketika harus mewakili sekolah mengikuti lomba

poster sewaktu SMP. Bakat Taufik semakin terasah ketika dia memutuskan untuk masuk ke jurusan Seni Rupa Unnes. Sebelumnya, Taufik pernah mencicipi bangku kuliah jurusan Teknik Elektro di Politeknik Semarang dan sempat juga diterima dibeberapa perguruan tinggi di Semarang, seperti UNDIP dan Unisula. Bakat terpendam Taufik rupanya dipantau oleh salah satu dosen di jurusan. Taufik pun diajak untuk mengikuti seleksi lomba komik untuk Peksiminas 2010. Meskipun awalnya sempat menolak karena tidak percaya diri, akhirnya Taufik pun mengikuti dan berhasil mewakili Jawa Tengah di ajang dua tahunan itu. Hingga akhirnya Taufik membawa pulang sekeping medali emas yang menjadikan Jawa Tengah Juara Umum Peksiminas X tahun 2010. Taufik bercita-cita setelah lulus nanti ingin mendirikan sanggar seni untuk mengajari anak-anak yang kurang mampu belajar menggambar. “Anakanak kurang mampu tidak bayar atau bayarnya terserah mereka yang penting bisa berkarya,” ujar Taufik sambil tersenyum. Septi


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.