Nuansa 125

Page 1

N ua n s A 125 TH XX/2009


2

Salam Redaksi

N ua n s A 125TH XX/2009

Mendukung dengan Kedewasaan

(Nuansa/ Zakki)

Salam..

S

egala puji kami panjatkan kepada Tuhan yang jiwa kami berada dalam genggaman-Nya, atas terbitnya Tabloid Nuansa edisi 125 yang telah sampai ke tangan pembaca sekalian. Cukup menegangkan ketika dalam waktu kurang lebih satu bulan kami harus segera menyelesaikan edisi ini sebagai wujud tanggung jawab kami menyampaikan informasi kepada seluruh civitas akademika. Sekali lagi kami bersyukur, kami mampu menyelesaikannya. Edisi kali ini mengangkat Unnes yang tengah bersiap mendeklarasikan diri sebagai Kampus Konservasi. Sebagai bagian dari civitas akademika, program ini tentu harus didukung. Ini menjadi invesatsi jangka panjang yang kita semai untuk dipanen beberapa tahun ke depan. Masalahnya, di mana dan bagaimana kita mengambil peran?

S L E N T I N G A N

Unnes sebagai Konser-vasi.

Nuansa mencatat, akibat pengelolaan sampah dan tata kota yang semrawut telah terjadi beberapa kerusakan. Tumpukan sampah di beberapa sudut kampus jelas merusak keindahan. Namun akibat paling parah yang dirasakan adalah surutnya sumber air di Sekaran. Saat ini satu-satunya sumber air bersih bagi penduduk Sekaran adalah sumur. Saat musim kemarau sumursumur banyak yang kering. Padahal saat ini di Sekaran tidak ada lagi sungai atau sumber air bersih lain. Jika sumur benar-benar kering, dapat dipastikan warga Sekaran beserta puluhan ribu mahasiswa Unnes yang tinggal di sana akan mengalami krisis air. Rentannya kerusakan lingkungan di Sekaran memaksa warga Sekaran dan Unnes merencanakan pembangunan terpadu. Selama ini pembangunan di wilayah Sekaran masih dilakukan terpisah oleh masing-masing pemilik lahan.

Unnes yang memiliki otoritas penggunaan lahan di kampus hanya melakukan penataan pada lahan yang dikuasainya. Begitupun warga Sekaran, terkesan semaunya dalam memanfaatkan lahan. Salah satu sebab kerusakan lingkungan di Sekaran adalah mahasiswa Unnes. Hingga tahun 2008, jumlah mahasiswa Unnes mencapai 21.845 mahasiswa. Dari jumlah itu, diperkirakan lebih dari 13.000 di antaranya tinggal di Sekaran dan sekitarnya. Kepadatan penduduk di Sekaran membuat sampah yang dihasilkan melimpah. Karena itulah di Sekaran rentan kerusakan lingkungan. Produksi sampah yang besar tidak diimbangi dengan pengelolaan sampah yang baik. Sampah yang dihasilkan mahasiswa Unnes dan penduduk Sekaran umumnya hanya dibuang atau dibakar. Proses ini tentu tidak mampu menampung seluruh sampah sehingga penduduk lebih memilih membuang sampah di kebun atau sungai. Pengelolaan sampah juga tidak maksimal karena truk pengangkut sampah tidak masuk ke gang-gang di sekitar Sekaran. Truk-truk sampah hanya lewat di sekitar jalan raya sehingga sampah yang berada di gang-gang kecil tidak terangkut. Selanjutnya, agar kerusakan lingkungan tidak semakin parah, pembangunan di wilayah tersebut harus dilakukan secara terpadu. Masyarakat menggunakan lahannya dengan mempertimbangkan kondisi kampus, sedangkan Unnes melakukan pembangunan dengan mengakomodasi kepentingan warga. Jika keduanya tidak sepakat melakukan pengembangan terpadu, penanaman 15 ribu pohon di kampus Unnes tidak akan banyak

berarti. Sekaran yang sepuluh tahun lalu masih hijau bisa gersang, tak nyaman dihuni. Banyaknya mahasiswa yang tinggal di Sekaran mengundang pertumbuhan berbagai sektor usaha. Kondisi ini memicu bermunculannya berbagai gedung, baik yang diperuntukkan sebagai tempat tinggal, rumah kos, maupun tempat usaha. Bangunan di Sekaran makin menjamur karena kelurahan dan pemerintah kota tidak memiliki aturan yang jelas tentang tata kota. Bangunan di sekitar kampus Unnes seringkali dibangun tanpa memperhitungkan aspek keindahan. Emha Ainun Nadjib dalam ceramahnya pada Alun-Alun Purnama Spesial, Oktober lalu menyarankan Unnes untuk membuat Piagam Konservasi. Dirjen Dikti juga telah menyatakan bahwa tahun 2010 nanti, Unnes akan diberi kesempatan untuk mempresentasikan proses dan kesungguhannya mencapai Universitas Konservasi di hadapan 195 negara yang tergabung dalam United Nation Educational, Scientific, and Cukture Organization (UNESCO). Dalam mewujudkan Unnes sebagai Kampus Konservasi, pendekatan budaya lebih ditekankan pihak universitas. Ini patut kita apresiasi. Tak banyak berkata, hanya mencontohkan. Sebagai satu proses pendewasaan, mengajarkan kepada kita untuk tanggap sasmito terhadap keadaan-keadaan yang ada di sekitar. Langkah ini menuntut kita untuk pandai bersikap dan mengambil tindakan. Akhirnya, selamat membaca! Salam. (Redaksi)

N A N S T R I P

Universitas

-Bukan hanya konser tiap bulan purnama, kan, Pak? Pembangunan kian pesat. -Jangan lupa pembangunan intelektual mahasiswanya juga ya?! Unnes menanam seribu pohon -Menanam moral, kapan?

s

an Cakn

NuansA Tabloid Mahasiswa Universitas Negeri Semarang

Tabloid Mahasiswa NuansA diterbitkan oleh Badan Penerbitan dan Pers Mahasiswa (BP2M) Universitas Negeri Semarang merupakan media komunikasi, informasi, dan rekreasi sivitas akademika yang memadukan idealisme, objektivitas, dan kreativitas mahasiswa. Terbit berdasarkan SK Rektor IKIP Semarang nomor 53/1983. Alamat Redaksi Kompleks Joglo Unnes Kampus Sekaran Jl Raya Sekaran Gunungpati Semarang 50229 Telp. (024) 70789389 Web Site: www.bp2mgroup.com E-mail: nuansa.bp2m@gmail.com

Pembina: Rektor Universitas Negeri Semarang; Penasihat: Pembantu Rektor Bidang Kemahasiswaan; Penanggung Jawab: Dra Martitah, M.Hum; Pendamping: Drs Eko Handoyo, MSi; Pemimpin Umum: Muqsith Ary Wibowo; Sekretaris Umum: M. Rifai Fajrin; Pemimpin Perusahaan: M. Noor Ahsin; Bendahara Umum: Yuli Resista; Litbang: M. Ulil Amri; Pemimpin Redaksi: M. Rifan Fajrin; Sekretaris Redaksi: Siti Zumrokhatun; Bendahara Redaksi: Ayu Purwaningrum; Redaktur Pelaksana: Surahmat, Yuli Resista; Editor: Siti Zumrokhatun, Rizki Amalia Ulfa; Reporter: Amri, Surahmat, Yuli, Zumrokhatun, Ayu, Rizki, Zakki, Yudi, Lina, Taufik, Estik, Taufan, Wita, Astrid, Fajri, Endah, Luciana, Fina, Rifa (Nonaktif), Sheila (Nonaktif) Fotografer: Arif Z. Nurfauzan; Ilustrator: Taufan Aliyudin, Lay-out: Zakki, Cover: Yudi Ristu ~ Redaksi menerima tulisan berupa artikel, opini, cerita pendek, puisi, dan naskah lain yang sesuai dengan visi dan misi NuansA. Redaksi berhak mengubah naskah sepanjang tidak menyalahi isi. Semua naskah yang masuk menjadi hak redaksi. Penulis naskah yang dimuat akan mendapat imbalan sepantasnya.~


N ua n s A 125 TH XX/2009

Green Campus Untuk Kesejahteraan Rohani

Tesa

3

Oleh Samsiati*

Komitmen Unnes melestarikan lingkungan menuju kampus konservasi terwujud dalam beberapa program, seperti Green Campus, pengelolaan sampah, paperless (mengurangi pemakaian kertas) dan solar cell (penggunaan energi tenaga surya). Rektor Unnes, Sudijono Sastroatmodjo bertekad akan menjadikan Unnes salah satu kampus hijau (Green Campus) yang peduli terhadap lingkungan. Berbagai kegiatan selama ini rutin dilakukan Unnes, di antaranya penanaman ribuan pohon, pengelolaan sampah, dan peduli lingkungan kampus. Pengadaan pepohonan, hutan kota, danau di dalam kampus, dan jalur sepeda, adalah contoh dari upaya Unnes dalam mewujudkan program tersebut. Lingkungan kampus tentu berpengaruh terhadap pembentukan kejiwaan dan budaya warganya yaitu civitas akademia. Seperti yang disampaikan Mujiyono Abdillah, Guru Besar Islam dan Lingkungan Hidup IAIN Walisongo dalam ceramah dan talkshow dengan tema “Teologi Lingkungan dalam

Perspektif Islam” di gedung Auditorium Unnes Jumat (10/7), “Keberadaan kampus yang nyaman, sejuk, dan teduh akan membentuk warganya lembut, santun, dan cerdas. Sedangkan kampus yang bising, panas, gersang akan membentuk warganya cenderung temperamental, keras, dan sok jagoan.” Mujiyono menambahkan, kesempurnaan kampus surgawi harus didasari oleh grand design kampus ramah lingkungan yang baik dan didukung oleh gaya hidup ramah lingkungan civitas akademikanya. Hiasilah kampus dengan tanaman peneduh, taman dan hutan kampus, kanal dan danau buatan, serta pengolahan limbah kampus. Kampus surgawi adalah cermin keberimanan civitas akademikanya. Tak heran jika kampus Unnes perlu melakukan aksi untuk menjaga bumi ini agar kehidupan tetap berlangsung dengan baik. Serta melaksanakan pepatah “muda menanam, tua menuai” untuk membuat bumi tersenyum. Dampaknya manusia tidak dilanda kekeringan yang berkepanjangan serta generasi mendatang tetap bisa merasakan keindahan dan kekayaan alam di kampus Unnes. Untuk mewujudkan konsep Green Campus, setidaknya ada dua hal yang harus segera dirumuskan. Pertama, kebijakan hijau tentang rencana strategis dan tata ruang. Bangunan, infra-

struktur, dan masalah limbah misalnya, tidak boleh mengganggu ruang terbuka hijau di Unnes. Kedua, sosialisasi kepada setiap elemen kampus. Seluruh civitas akademia Unnes harus dilibatkan, sehingga diharapkan perhatian masyarakat Unnes terhadap lingkungan khususnya di Unnes semakin diperhatikan kelestariannya. Tak kalah penting, Unnes harus mampu mengaplikasikan Tri Darma perguruan tinggi yang terintegrasi dengan pola pembangunan yang berkelanjutan. Ini dapat dilaksanakan melalui pendidikan, penelitian dan pengabdian masyarakat. Pendidikan misalnya, Unnes sebagai pengkader generasi selanjutnya harus dapat menghasilkan lulusan yang sadar akan lingkungan. Perlu penambahan jumlah SKS pada sebaran mata kuliah yang berkaitan dengan lingkungan. Selain itu riset tentang konservasi dan lingkungan juga perlu ditingkatkan. Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat di Unnes juga mendukung Unnes mewujudkan green campus dengan mencetak lulusan yang sadar lingkungan, menambah jumlah SKS yang berkaitan dengan lingkungan, melakukan penelitian tentang kesehatan lingkungan, pengelolaan limbah, dan lainnya. Tak beda dengan jurusan lain yang tentu akan mendukung Unnes mencapai brand image yang baru. Bicara upaya pencapaian green

campus, tak bisa lepas dengan masalah manajemen. Untuk mencermati lingkungan secara baik, masalah energi, daur ulang, penanganan limbah, dan masalah kebersihan harus menjadi perhatian khusus. Tentu saja membutuhkan leader unit. Sebagai organisasi pelaksana koordinasi untuk kampus hijau ini, Unnes perlu membentuk Unit Pelaksana Teknis (UPT) Kebun yang punya wawasan lingkungan baik. Oleh karena itu marilah bersamasama menjaga bumi ini agar kehidupan tetap berlangsung dengan baik. Serta melaksanakan pepatah “muda menanam, tua menuai” untuk membuat bumi tersenyum sehingga tidak kepanasan lagi, tidak lagi dilanda kekeringan yang berkepanjangan serta generasi mendatang tetap bisa merasakan keindahan dan kekayaan alam kampus Unnes. Kesadaran pribadi turut mendukung keberhasilan Unnes menjadi Green Campus. Selain itu juga mendukung program yang dicanangkan pemerintah untuk menjadikan Indonesia Hijau kembali. Jadi, Unnes yang ‘siap grak’ dengan green campus akan segera ‘maju jalan’. * Samsiati Mahasiswa Ilmu Kesehatan Masyarakat FIK

Melangkah Menuju Universitas Konservasi Oleh Khaerul Hamzah*

Tak lama lagi Un i v e r s i t a s Negeri Semarang (Unnes) akan menemukan jati dirinya. Layaknya seorang pemuda yang harus berpikir ke depan untuk menentukan langkah hidupnya, begitu juga universitas tercinta kita ini. Saat banyak universitas besar berlomba-lomba menamakan dirinya sebagai Universitas Riset, tetapi tidak dengan Unnes. Dalam mengamalkan Tri Dharma Perguruan Tinggi, Unnes bersiap-siap untuk memdeklarasikan diri sebagai Universitas Konservasi. Bukan mimpi kosong atau pun sesuatu hal yang asal saja tercetus. Tengoklah pembuatan dua embung yang sedang berjalan di sebelah MUA dan lapangan FE. Begitu besar manfaat embung sebagai penyimpan air buangan rumah tangga maupun air hujan sehingga bisa dimanfaatkan saat musim kemarau. Pembuatan trotoar berkanopi untuk pejalan kaki sebagai usaha mempopulerkan berjalan kaki di dalam kampus dan

kenyamanan bagi penikmatnya. Rindangnya Kebun Biologi dan Hutan Mini Kampus Mahapala yang ditanam sejak tahun 90-an merupakan upaya pelestarian flora dan fauna di dalam kampus. Penanaman 40 Ha yang dimotori oleh Mahapala berupa penanaman Block Grant Dinas Pariwisata Kota Semarang kerjasama dengan PT.RPI, Hari Menanam Nasional yang melibatkan seluruh elemen Unnes, dan Peresmian Taman Keanekaragaman Hayati Endemik Jawa Tengah pertama kali oleh Menteri Lingkungan Hidup di Unnes. Seluruh kegiatan tersebut merupakan usaha temanteman Mahapala untuk menyentuh lahan Unnes di kawasan Trangkil seluas 64 Ha yang terbengkalai dan labil sejak dahulu. Penanaman pohon jarak sebagai bahan pembuat biodiesel, menuju penggunaan sumber energi yang dapat diperbaharui. Peringatan Hari Bumi Se-Dunia Mahapala 2008 dan 2009 merupakan langkah awal kampanye penggunaan kendaraan ramah lingkungan di dalam kampus yaitu penggunaan sepeda onthel, pembuatan pupuk kompos dari sampah organik dan seminarnya, pembuatan biopori, serta pengadaan tong sampah or-

ganik dan anorganik di seluruh lingkungan kampus bekerjasama dengan Lemlit. Hasilnya, komitmen Rektor secara konkret mewajibkan pimpinan memakai sepeda onthel dalam kegiatannya antarunit di dalam kampus. Pengembangan pembuatan pupuk kompos hingga pabriknya oleh teman-teman UKM di bawah bimbingan Lemlit. Serta pengelolaan sampah yang lebih baik dari sebelumnya. Beralihnya administrasi akademik dari manual ke sistem online juga merupakan salah satu usaha penekanan pemakaian kertas di kampus, dengan begitu secara tidak langsung Unnes berperan dalam penekanan konsumsi kayu di Indonesia. Sejak awal tahun 2009 sudah terbentuk tim Universitas Konservasi yang terdiri dari orang-orang yang komitmen akan hal ini di bawah arahan Purek I dan Purek III. Naskah akademik sudah terbentuk, langkah-langkah konkret sudah banyak terealisasi. Jadi, sangatlah pantas jika universitas tercinta kita ini mendeklarasikan dirinya sebagai Universitas Konservasi. Ke depan program-program yang akan terus dikembangkan adalah sebagai berikut:

- Conservation of biodiversity - Environmental management - Green space management - Green architecture - Green internal transportation - Waste management - Papperles policy - Green energy policy Pengembangan SDM melalui pembentukan Kader Konservasi di tiap fakultas Konservasi seni budaya Perlu komitmen tinggi dari semua unsur di Unnes untuk merealisasikan hal-hal yang kita cita-citakan bersama ini, dan mengembangkan semua yang sudah berjalan. Di mana dari dalam diri (jiwa) masingmasing manusia yang hidup di Unnes haruslah memiliki nilai-nilai konservasi/ramah lingkungan dalam setiap kegiataannya. Tidak mudah memang, namun sedikit demi sedikit bukan hal yang tidak mungkin untuk merealisasikan semua hal tersebut. Ketua Mahapala periode 2009


4

Tesa

N ua n s A 125TH XX/2009

Green Campus Minimalisir Efek Global Warming Oleh Yuli Resista*

Pemanasan global sekarang ini sudah menjadi ancaman serius bagi semua makhluk di bumi. Hal ini mengindikasikan bahwa masa depan dunia berada pada bayangbayang suramnya lingkungan hidup. Pemanasan global merupakan refleksi kemajuan teknologi yang tidak diimbangi oleh kepedulian manusia terhadap lingkungan hidup. Berbagai upaya pun mulai dilakukan oleh manusia-manusia yang sadar lingkungan tak terkecuali Unnes yang notabene sebagai lembaga pendidikan yang menginginkan terciptanya sebuah kampus berwawasan lingkungan. Untuk mencapai hal tersebut, mau tak mau warga Unnes harus menerapkan gaya hidup ramah lingkungan mulai dari sekarang. Berbagai macam strategi dilakukan untuk mewujudkan visinya menjadi universitas konservasi yang aktif memelihara kelestarian alam dan mewujudkan kampus hijau. Strategi

tersebut seperti penanaman ribuan pohon untuk penghijauan, pengelolaan sampah, paperless (mengurangi pemakaian kertas), dan peduli lingkungan kampus. Jika dilihat dari usaha yang dilakukan, Unnes rupanya tidak mainmain dalam menciptakan universitas konservasi.Tidak tanggung-tanggung, untuk pengelolaan sampah, Unnes melakukan studi banding ke Kobe, Jepang. Kobe dipilih karena telah berhasil menerapkan pengolahan sampah dengan sistem “reduce, reuse, and recycle (3R)”. Kepedulian lain terhadap lingkungan juga ditunjukkan dengan akan dibangunnya tiga embung (semacam waduk penampung air hujan) yang sedianya akan dijadikan sebagai cadangan air untuk kebutuhan masyarakat sekitar. Semua usaha tersebut bermuara pada cita-cita Unnes menjadi Green Campus. Mewujudkan hal itu adalah program besar yang harus ditangani secara serius. Semua elemen memiliki andil untuk menyukseskannya. Program ini perlu mendapat dukungan dari semua pihak karena selain untuk menyelamatkan bumi juga biaya yang harus dikeluarkan tidaklah sedikit. Sebagai contoh, pembangunan embung pertama

yang terletak di samping MUA menelan dana sekitar 800 juta. Belum lagi dana-dana lain yang digunakan untuk pengadaan sepeda, tanaman, dan fasilitas-fasilitas penunjang lainnya. Sehingga jika peran dari semua warga Unnes tidak maksimal, maka hasilnya juga tidak akan memuaskan. Namun demikian, kita perlu menengok ke belakang. Pesan dapat tersampaikan dengan baik melalui sebuah komunikasi yang baik dan jelas. Hal ini tentu dilakukan dengan sosialisasi karena program besar ini tergolong baru di telinga mahasiswa. Sehingga jika hal ini tidak disosialisasikan dengan gencar, maka warga Unnes akan kesulitan mengidentifikasi kebermanfaatan dari fasilitas yang diberikan dalam

mewujudkan Green Campus. Untuk memaksimalkannya butuh sebuah publikasi yang gencar dan sosialisasi menyeluruh melalui kampanye dan dilakukan kontinyu bagi seluruh warga Unnes. Tanpa dukungan dari semua pihak, cita-cita besar ini akan sulit terwujud. Semua harus terlibat dan sadar akan perannya dalam program ini. Tanpa kesadaran dari tiap elemen, program ini hanya akan menjadi angin lalu. Yuli Resista Mahasiswa Manajemen Fakultas Ekonomi 2006

Tesa Mendatang: Bagaimanakah mahasiswa memandang seni? Tulis opini Anda sepanjang 2500 - 3500 karakter, dilampiri foto dan identitas diri secara lengkap, lalu kirim ke redaksi Nuansa atau bisa lewat e-mail di nuansa.bp2m@gmail.com. Tesa diterima redaksi paling lambat sebulan setelah NuansA edisi ini terbit. Bagi yang Tesa-nya dimuat akan mendapat imbalan sepantasnya.

Surat Pembaca

Waspadalah... Ada suatu perkumpulan yang meluaskan jaringannya dengan merekrut mahasiswa. Mahasiswa ditargetkan menjadi salah satu kekuatan absolutnya. Sasarannya akan diformat menjadi santri, sedangkan orang tua,dan keluarga mereka dijadikan sebagai simpatisan atau obor-obor sebagai wadah gerakan yang berwajah ekonomi, politik, budaya, dan pendidikan. Organisasi ini menciptakan sistematika tauhid secara serampangan, dengan membaginya ke dalam 3 substansi tauhid, yaitu: Tauhid Rububiyah, Tauhid Mulkiyyah dan Tauhid Uluhiyyah tanpa dasar disiplin ilmu sedikit pun. Pertama, mereka mengumpamakan Tauhid Rububiyah dengan akar kayu, Mulkiyyah adalah batang kayu, Uluhiyyah adalah buahnya. Selain itu mereka juga menafsirkan Rububiyah dengan undang-undang, Mulkiyyah adalah negara, dan Uluhiyah adalah ummatnya. Kedua, mereka juga meyakini kerasulan dan kenabian itu tidak akan berakhir selama masih ada orang yang menyampaikan da’wah Islam kepada manusia. Kesimpulan mereka, bahwa setiap orang yang menyampaikan da’wah Islam pada hakikatnya adalah Rasul Allah. Ketiga, menciptakan ajaran dan keyakinan tentang adanya otoritas nubuwwah pada diri dan kelompok mereka dalam menerima, memahami, dan menjelaskan serta melaksanakan maupun dalam memperjuangkan AI-Qur’an dan Sunnah Rasul SAW hingga tegaknya syari’ah dan kekhalifahan di muka bumi. Dengan menetapkan

doktrin tentang Al-Qur’an dan AsSunnah secara serampangan serta sangat menyesatkan. Keyakinan mereka itu tidak sesuai dengan surat An-Naas yang menegaskan bahwa Allah itu Robbin Naas (Pemelihara, Pengatur seluruh manusia), sekaligus sebagai Malikin Naas (Raja atau Pemilik Manusia), Ilahin Naas (Sembahan manusia). Al-Qur’an adalah wahyu yang diturunkan kepada Muhammad SAW untuk menata dunia secara baik dan benar menurut yang dikehendaki dan ditetapkan Allah. Dengan demikian AI-Qur’an juga sebagai Undangundang, hukum dan tuntunan yang harus diterima dan dilaksanakan manusia. Namun dalam prakteknya bagaimana mereka menyikapi, memperlakukan ataupun dalam memahami AI-Qur’an maka itu terserah manusia, yakni bebas melakukan ta’wil maupun tafsir baik terhadap ayat yang muhkamat maupun yang mutasyabihat. Sedangkan As-Sunnah adalah perilaku Nabi Muhammad SAW dalam melaksanakan Al-Qur’an yang ternyata mengikuti milah (ajaran) dan tata cara pengabdian Nabi lbrahim Alaihissalam. Organisasi ini menggunakan nama-nama Nabi untuk hierarki kepangkatan (jabatan struktural dan fungsional), sehingga menimbulkan kesan bahwa Nabi yang satu bisa diperintah oleh Nabi lainnya yang berada pada struktur lebih tinggi. Tak luput juga melakukan tipu daya kepada pengikutnya dengan memberikan iming-iming pangkat maupun

jabatan serta futuh (kemenangan) terhadap penguasa Rl, dan meyakinkan melalui doktrin bahwa secara diamdiam sekitar 50 persen dan kekuatan TNI-PoIri (ABRI) telah berpihak kepadanya sehingga pasti menang, yang dalam istilah mereka menunjuk kepada sebuah ayat yang berbunyi: Nashrun minallahi wa fathum qariib. Parahnya, shalat tidak diwajibkan lima waktu. Lebih mengutamakan shalat aktivitas dari pada shalat ritual, yang maksudnya shalat aktivitas adalah menjalankan program, yaitu merekrut umat supaya masuk dalam kelompok pengajian mereka dan menggalang dana semaksimal mungkin demi kepentingan organisasi dengan menghalalkan segala cara. Yang di luar mereka dianggap kafir termasuk ibu, bapak ataupun saudara selama tidak mau berhukum dengan syari’at Islam. Jika melakukan pelanggaran syari’at Islam, maka didenda dengan harus membayar denda, seperti denda berzina harus diganti sebesar Rp. 500.000,00. Shalat di Republik Indonesia tidak sah, karena dianggap Indonesia seperti tong sampah yang kotor (jahiliyyah). Jika shalat berarti mencampuradukan

yang haq dengan yang bathil. Alasannya, negara Indonesia berhukum jahiliyah (kotor, negara sampah), maka harus hijrah ke suatu tempat yang masih wilayah Indonesia. Yang lebih ngeri lagi adalah upaya pemerasan terhadap sasarannya. Sebagai contoh Shadaqah Musyahadah (Shadaqah yang diambil disaat melaksanakan bai’at untuk pembersiban jiwa) sebesar Rp 1.000.000,00. Harakat Qiradl (Pinjaman wajib oleh Negara kepada warga negara berbentuk emas) ratarata 100 gr yaitu Rp 5.000.000,00. Oleh karenanya, marilah kita semua belajar dari sejarah, baik sejarah pembangunan Daulah dan peradaban Islam, maupun sejarah para Sahabat dalam mempertahankan berlakunya syari’at dan tegaknya Daulah Islam. Karena dengan melihat dan merujuk kepada sejarah tersebut yang telah mendapat pujian serta hidayah dari Allah, insya Allah kita bisa mengambil contoh keteladanan yang tepat dan tidak tersesat. Waspadalah!. Samsiati Mahasiswa Ilmu Kesehatan Masyarakat FIK Unnes

SURAT PEMBACA Diketik 1,5 spasi maksimal satu folio, ditandatangani dan dilengkapi identitas diri. Isi sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Redaksi tidak melayani permintaan identitas yang dirahasiakan. Redaksi berhak melakukan editing.


N ua n s A 125 TH XX/2009

Nuansa Utama

5

(Nuansa/M. Rifan Fajrin)

Unnes Menuju Green Kampus

Komitmen Saja, Cukupkah? Tanpa peran serta yang nyata dari civitas akademika, universitas konservasi hanya cita-cita.

K

etika bicara pada acara Alun-alun Purnama Spesial, Kamis malam 8 Oktober lalu Emha Ainun Najib sempat menyarankan supaya Unnes membuat Piagam Konservasi. Menurutnya, piagam konservasi diperlukan supaya gagasan menjadi universitas konservasi terjaga meski pimpinan universitas berganti. “Sebab kita terbiasa seperti itu. Ganti menteri ganti kurikulum, ganti presiden ganti undang-undang,” ucapnya. Piagam konservasi barangkali hanya istilah Emha untuk mendeskripsikan sebuah kesepakatan sebagai pengawal program. Selain piagam, kesepakatan bisa berbentuk aturan lain, baik berupa produk hukum semacam peraturan Rektor maupun aturan tidak tertulis. Rektor Unnes Sudijono Sastroatmodjo menuturkan, untuk menjadi universitas konservasi, Unnes telah membuat rancangan program. Kesungguhan Unnes untuk menjadi universitas konservasi, menurutnya, terwujud dalam berbagai program yang telah direncanakan, seperti paperless; biogas, solar cell, one man one tree, pengolahan pupuk kompos, hingga penanaman seribu pohon, dan yang paling sering didengar mas-yarakat yakni Green Campus. “Sebagian program itu telah selesai dilaksanakan, sebagian tengah dikerjakan,” ujar Sudijono, 9 Oktober lalu. Sebagai Rektor, ia memang lebih senang melakukan pendekatan budaya untuk menyukseskan program yang digagasnya bersama pimpinan lain universitas. Produk hukum menurutnya perlu diminimalisir dan lebih menguatkan pendekatan budaya. “Kita langsung memberi contoh pada mahasiswa dengan selalu ikut serta dalam agenda khusus, yaitu menanam pohon.” Sudijono mengakui masih banyak civitas akademika yang belum menunjukkan sikap kooperatif dan mendukung terwujudnya universitas konservasi. Hal tersebut bisa terjadi ka-

rena kesadaran yang kurang, tetapi juga karena belum ngeh. Ia mencontohkan, saat ini banyak mahasiswa yang memilih menggunakan sepeda motor untuk berangkat ke kampus meski jaraknya hanya beberapa meter. Selain itu, sepeda yang diberikan kepada Dekan dan jajarannya sebagai sarana transportasi jarak dekat belum banyak digunakan. Sepeda-sepeda tersebut masih rapi tersimpan di Dekanat masing-masing fakultas. Belum terbangunnya kultur ramah lingkungan, menurutnya, adalah sesuatu yang wajar. Apalagi kampanye green campus memang belum optimal sehingga tidak setiap civitas akademika mengerti. “Kita tanamkan kepada para pejabat kampus, dosen-dosen, serta karyawan terlebih dahulu, hingga ke mahasiswa. Sehingga kemudian seluruh civitas akademika ini akan menyadarinya,” ungkapnya. Dosen Biologi FMIPA Unnes yang didaulat menjadi penanggungjawab program Green Campus Margareta Rahayu juga melihat perlu kerja keras mendorong kesadaran lingkungan pada warga kampus. ”Hal seperti itu biasa, yang penting kita tetap semangat dan tidak putus asa,” tutur kandidat Doktor UGM ini. Sudijono menegaskan Green Campus tidak diterjemahkan secara sumir sebagai kampus yang ijo royo-royo. Meskipun program penanaman, pemeliharaan, dan pengawetan keenakeragaman hayati yang termaktub dalam Green Campus terkait langsung dengan lingkungan, kata green tidak bisa diartikan secara kasat mata. “Dalam Green Campus tidak hanya hijau lingkungan, namun juga merupakan keseimbangan antara hak dan kewajiban tiap orang dalam menjalani hidup termasuk dalam memelihara lingkungan.” Dirjen Dikti telah menyatakan bah-wa tahun 2010 nanti, Unnes akan diberi kesempatan untuk mempresentasikan proses dan kesungguhannya

dalam mencapai Universitas Konservasi kepada sekitar 195 negara yang tergabung dalam United Nation Educational Scientific and Cultural Organization (UNESCO). “Meskipun hanya pernyataan tanpa hitam di atas putih, hal itu dapat menjadi dorongan bagi kita untuk lebih bersemangat dalam mencapai universitas konservasi,” ujar Sudijono. Keanekaragaman Hayati Menurut Margareta, Green Campus juga harus memberi perhatian khusus pada keanekragaman hayati yang dimiliki Unnes. Menurutnya Unnes memiliki keanekaragaman flora dan fauna yang luar biasa sebab merupakan daerah ekoton atau wilayah bertemunya berbagai habitat. “Kita lihat saja, berbagai habitat seperti persawahan, sungai, hutan, permukiman penduduk, dan lahan terbuka ada di sekeliling Unnes. Ini tentu saja mengakibatkan keanekaragaman hayati,” ungkapnya. Dari hasil pengamatan yang Margareta lakukan, dari tahun 2004 hingga tahun 2009 terdapat peningkatan populasi jenis burung dan kupu-kupu. “Hal ini tentu saja sangat mendukung Unnes untuk menuju Universitas Konservasi.,” tandasnya. Supaya keanekaragaman tidak siasia Margareta menganjurkan beberapa program, seperti penanaman tanaman yang dapat mendatangkan serangga dan burung serta mulai menginventarisasi tanaman. Ia juga merasa Unnes perlu segera menambah koleksi tanaman langka, penanaman seribu pohon, dan melestarikan spesies burung di sekitar kampus. Bagi sebuah lingkungan, lanjut Margareta, keberadaan spesies burung sangat penting karena berfungsi sebagai indikator tingkat kesehatan lingkungan. Semakin banyak spesies burung yang ada, semakin sehat pula lingkungan tersebut. Oleh karena itu, perempuan yang senang mempelajari hayati ini sangat bersemangat untuk

selalu menjaga ekosistem yang telah ada di Unnes. “Ini juga karena dorongan pimpinan universitas yang sangat semangat untuk melanjutkan program ini,” tuturnya bersemangat. Berdasarkan pengamatan yang dilakukannya, Margareta mengungkapkan bahwa berbagai spesies burung, baik yang endemik Jawa maupun yang dilindungi pemerintah terdapat di Unnes, seperti Madu Jawa, Cekakak Jawa, Prenjak Padi, dan masih banyak lagi. Namun, ia menyayangkan masih banyak penduduk yang tinggal di sekitar Unnes ini menangkap burungburung tersebut. Menurutnya, hal ini diakibatkan ketidaktahuan penduduk mengenai pentingnya burung-burung tersebut untuk lingkungan. “Rencananya, Unnes akan memberikan sosialiasi kepada masyarakat tentang apa saja yang tidak boleh dilakukan dan yang harus mereka lakukan, namun tentu saja, kita akan memulai dari intern Unnes dahulu,” jelasnya. Mengenai proses sosialisasi, Sudijono mengadaptasi pepatah Jawa ‘lambe sak tumang gari sak merang’. Menurutnya beberapa program sosialisasi bagi mahasiswa dan masyarakat telah dilakukan baik melalui workshop, seminar, maupun perkuliahan. Namun demikian, Unnes tidak memberikan jangka waktu kapan seluruh civitas akan memahami tentang Universitas Konservasi. Ia lebih menekankan pada proses sedikit demi sedikit yang tengah dirintis Unnes. Margareta pun sependapat, “Untuk program Universitas Konservasi ini kita lihat dulu hingga tahun 2012 nanti, apa yang telah kita capai kita perbaiki lagi. Untuk kesadaran masyarakat sendiri nanti akan muncul seiring dengan makin besarnya usaha kita.” Wita, Estik


6

Nuansa Utama N u a n s A 1 2 5 T H X X / 2 0 0 9 Green Campus, Sepeda, dan Apatisme Mahasiswa Unnes tidak tanggung-tanggung menasbihkan diri sebagai conservatory university. Setelah sempat ke Jepang untuk studi banding, perburuan ilmu pengelolaan universitas konservasi dilanjutkan ke negeri gajah putih, Thailand.

P

erseteruan elit politik di Thailand antara Thaksin Sinawatra dan Abhisit Vejajiva membuat negara itu menjadi perhatian dunia. Nama negara ini berkali-kali disebut di sidang Dewan Keamanan PBB dan membuatnya tercantum sebagai headline di berbagai surat kabar dunia. Tetapi bagi Pembantu Rektor III Unnes Masrukhi keunikan Thailand justru terletak pada Kasetsart University yang telah diakui dunia memiliki pengelolaan lingkungan yang baik, bahkan disebutsebut sebagai yang terbaik di Asia. Untuk mempelajari pengelolaan lingkungan di Kasetsart, PR III Masrukhi bersama PR I Supriyadi Rustad berkunjung ke sana beberapa waktu yang lalu. Kunjungan tersebut dilakukan karena saat ini Unnes juga telah mencanangkan diri menjadi universitas konservasi. Menurut Masrukhi, selain program dan konsep yang matang, cita-cita menjadi universitas konservasi memerlukan komitmen dari pemimpin. ”Harus ada komitmen yang kuat,” terangnya, Rabu 29 Oktober lalu.Untuk mewujudkan Unnes sebagai universitas konservasi, menurut Masrukhi, ada empat program yang telah dicanangkan. Pertama, green campus yang diwujudkan dengan penanaman pohon, biopori, pembuatan embung, dan pembuatan sumur resapan. Saat ini unnes telah mulai menjalankan program-program tersebut, salah satunya pembuatan embung. ”Dua lokasi embung sudah mulai di bangun, bahkan sebentar lagi embung-embung itu sudah mulai dapat di pergunakan,” ucap Masrukhi. Selain embung, sumur resapan juga sudah mulai dicanangkan. Di FIS mis-

alnya, ada contoh sumur resapan yang akan dijadikan model. Embung dan sumur resapan dibangun untuk menaggulangi meluapnya air saat musim hujan sekaligus sebagai penampung air ketika musim panas. ”Itu (embung dan sumur resapan-red) dapat mengurangi limitnya air bagi anak kost ketika musim panas datang,”lanjut Masrukhi. Kedua, Unnes berusaha mengurangi penggunaan kertas dengan memaksimalkan pemanfaatan email. ”Penggunaan kertas berlebih mulai di kurangi,” ujar Masrukhi. Para dosen mulai diarahkan untuk menggunakan e-mail untuk mengumpulkan tugas kuliah. Penggunaan kertas berlebih akan mengakibatkan pohon semakin banyak yang ditebang. Selain itu, paper less akan menguntungkan mahasiswa karena tidak perlu menggunakan print out saat mengumpulkan tugas. ”Dalam satu semester lebih dari sepuluh makalah yang akhirnya akan terbuang dengan sia-sia, jika satu makalah bernilai 5 ribu maka kerugian yang diderita mahasiswa adalah 50 ribu, dan sayangnya lagi itu terbuang dengan siasia.” Ketiga, mengingat kegiatan di kampus juga memproduksi sampah, Unnes akan mengolahnya menjadi pupuk. Sampah dari berbagai Jurusan akan dipilah sesuai jenis (organik dan

aorganik) sebelum diolah menjadi produk olahan dan kompos. ”Jadi tidak diperbolehkan membakar sampah, karena sampah itu akan berguna untuk dijadikan pupuk,” ungkap Masrukhi. Keempat, pemanfaatan energi alternatif cahaya matahari. Salah satunya penggunaan angkutan bertenaga accu yang ramah lingkungan. Tidak menimbulkan pencemaran udara yang akan memanfaatkan energi matahari. Di Kasetsart University terdapat area parkir sepeda onthel yang siap dipinjam oleh siapa saja, termasuk warga, untuk berbagai keperluan. ”Jadi di sana hanya jalan kaki, sepeda, atau kendaraan yang telah menggunakan energi biodiesel yang diperbolehkan,” ucap Masrukhi. Penggunaan sepeda dipandang sangat besar dalam mengurangi polusi karena satu sepeda motor enisitas buangnya harus diimbangi dengan penanaman tiga pohon. ”Itu sangat kontras dengan kebiasaan masyarakat kita yang membeli motor dengan menebang pohon semaunya,” terang Masrukhi lagi. Menuju Universitas Konservasi Hingga saat ini sebagian mahasiswa Unnes masih menggunakan sepeda motor sebagai alat transportasi utama. Jumlah pengguna sepeda motor bahkan terus mengalami peningkatan, setidaknya terlihat dari banyaknya. Dalam

waktu dekat Unnes akan membuat dua tempat parkir besar di sebelah Barat dan Timur. Parkiran Barat untuk kawasan Rektorat, FBS, dan FMIPA, sedangkan parkiran Timur untuk kawasan FIP, FIS, FE, FH, FIK, dan FT. Masrukhi menjelaskan, dalam parkiran itu akan disediakan sepeda dengan jumlah besar yang akan digunakan untuk mengelilingi kampus. Nanti, mahasiswa yang dari kos atau rumah membawa sepeda motor atau mobil harus diparkirkan di tempat parkir itu. Untuk menuju fakultas mereka menggunakan sepeda yang telah tersedia, atau berjalan kaki. ”Hal itu kelihatan sederhana, namun berdampak luar biasa bagi lingkungan,” terangnya. Dalam waktu dekat, Rektor akan menghubungi sebuah perusahaan besar CSR untuk memesan sepeda onthel dalam jumlah ribuan. ”Nantinya sepedasepeda itu akan diberi merk Unnes,” terang Masrukhi kembali. Untuk tahun pertama, langkah yang akan ditempuh yaitu penanaman pohon dan bunga. ”Rencananya akan dilaksanakan setelah musim penghujan tahun ini,” tukasnya. Selain penanaman pohon dan bunga, akan segera menyusul embung, biopori, kompos, dan solar sell. Oleh karena itulah Masrukhi berharap rencana mewujudkan universitas konservasi didukung oleh mahasiswa dan masyarakat sekitar kampus. ”Mulailah menanam pohon, apapun, di manapun. Walaupun pohon itu dipandang kurang ada manfaatnya, namun tetap bisa bermanfaat untuk mengurangi polusi,” tegas Masrukhi. Lina, Astrid

Pengubah Wajah Kampus Unnes Mahapala, GC, dan CBF turut serta mengawal berbenahnya Unnes mewujudkan green campus.

G

reen Campus adalah program penghijauan area kampus Unnes yang sudah mulai direalisasikan tahun 2008 lalu. Salah satu yang dilakukan ialah dengan penanaman sejumlah pohon di kebun pendidikan Unnes (kebun biologi). Acara ini diikuti oleh delegasi tiap fakultas serta para pejabat Unnes. Respon yang beragam dari para mahasiswa baru pun bermunculan. Kebanyakan merespon positif dan antusias atas terselenggaranya acara tersebut. Seperti yang diungkapkan Wulida Maghfiroh, mahasiswi jurusan Biologi yang mengaku antusias pada program penghijauan tersebut. “Menurut saya, penghijaun kampus itu penting karena dapat memengaruhi ekosistem lingkungan,” ucapnya. Ia berharap akan ada program lanjutan mengenai penghijauan kampus. Ada beberapa UKM yang bidang pengelolaannya mengenai lingkungan hidup. UKM itu di antaranya Green Community (GC), Cempaka Bio Farm (CBF), dan Mahapala Unnes. Green Community dan CBF adalah UKM yang bernaung di bawah garis koordinasi Himpunan Mahasiswa (Hima) Biologi dan bergerak di bidang konservasi lingkungan. Green Community saat ini mengupayakan penangkaran kupu-kupu yang berada di belakang Gedung D11 (Laboratorium Biologi-red). Penangkaran

ini bertujuan untuk mengonservasi spesies kupu-kupu khususnya di wilayah Unnes. Tetapi tidak menutup kemungkinan kupu-kupu diperoleh dari tempat lain di luar Unnes. Spesies yang sudah ada di penangkaran ini beragam. Antara lain, Pappilio Memnon, Euplea Hypermenestra, Danaus Cryssipus, sedangkan larva kupu-kupu antara lain, Amathusia Pidippus, Hipolimnas Bolina (kupu gajah) Graphium Dosson, Graphium Agamemnon, dan Papillio Polites. Spesies tersebut memang bukan tergolong spesies langka karena penangkaran ini masih dalam taraf belajar. Penangkaran ini bertujuan untuk menangkarkan spesies kupu-kupu yang populasinya mulai menurun di wilayah Unnes. Kendala yang dialami adalah peralatan untuk penangkaran yang masih tergolong sederhana. “ Kami berusaha membuat penangkaran kupu-kupu ini, walaupun peralatannya masih seadanya saja,” ucap Mochammad Samsul Arifin, Direktur Green Community pada minggu awal Oktober. Dalam pengelolaanya, Green Community menggunakan sistem shift atau piket khusus untuk anggotanya. Sampai saat ini, program tersebut masih rutin dilakukan dan terkontrol. Beberapa waktu lalu Green Community telah menginventararisasi jenisjenis pohon yang meliputi jenis tumbuhan, diameter batang, dan daerah persebarannya dalam lingkup kampus Unnes. Hasil dari inventarisasi terse-

but selanjutnya akan digunakan sebagai pertimbangan untuk menentukan jenis pohon yang akan ditanam di area kampus yang masih kosong. Arie Yuni, anggota Green Community ini mengatakan bahwa dirinya ikut dalam proses inventarisasi tumbuhan tersebut. Selain menjalankan tugas dari Green Community, ia juga ingin mengetahui vegetasi-vegetasi yang ada di area kampus dan bagaimana perkembangannya. “Vegetasi di kampus Unnes ini beragam dan perlu adanya monitoring supaya lebih berkembang jenis dan jumlahnya,” ungkapnya di hari ketujuh November. Selain itu, ia juga mengikuti program penangkaran kupu-kupu, penanaman di kebun pendidikan Unnes dan pengelolaan kebun pendidikan biologi. Ia berharap mahasiswa dapat berperan aktif dalam menjaga kondisi lingkungan Unnes termasuk peran serta dalam program penghijauan tersebut “Mungkin dengan bergabung dengan UKM tertentu, maka mahasiswa akan lebih bisa merealisasikan sikap untuk menghijaukan lingkungannya,” lanjutnya. Selain Green Community, Cempaka Bio Farm (CBF) juga telah mengupayakan tamanisasi di area kebun pendidikan Unnes. Namun, saat ini belum dapat terealisasikan karena musim kemarau. Hal inilah yang menjadi kendala utama. Bulan lalu, Cempaka Bio Farm telah mengajukan proposal permoho-

nan bantuan tanaman hias kepada Dinas Pertamanan dan Pemakaman. “Kami telah menyampaikan proposal permohonan bantuan tanaman hias dan alhamdulillah disetujui,” ungkap Titan Ajiyana, ketua Cempaka Bio Farm (8/10). Cempaka Bio Farm berhasil mendapatkan 367 tanaman hias. Diantaranya Palem, Bakung, Puring, Agave, dan Bawang-bawangan. Program ini tampaknya belum sepenuhnya diketahui mahasiswa. Sebagian masih tertinggal informasi mengenai rencana penghijauan kampus dikarenakan kurangnya sosialisasi secara langsung. Sosialisasi yang ada saat ini masih bersifat umum dan tidak menarik, sehingga kebanyakan masih menganggap angin lalu. Wahyu Arif Prabowo, mahasiswa jurusan PJKR semester 5, mengatakan, “Saya malah tidak tahu sama sekali dengan adanya program penghijaun kampus,” katanya. Menurutnya, banyaknya mahasiswa yang masih belum tahu adanya program ini dikarenakan masih kurangnya sosialisasi di dalam kampus. Senada dengan ucapan Wahyu, Satrio Utomo, mahasiswa FIS ini juga tidak mengetahui adanya program tersebut. “Penghijauan di kampus yang saya tahu itu cuma di kebun pendidikan. Lainnya saya tidak tahu,” ungkapnya (12/10). Endah, Uun


N ua n s A 125 TH XX/2009

Nuansa Utama

7

Seribu Pohon, Apa Kabar?

(Nuansa/Zakki)

Beberapa rutin dirawat,selebihnya tak terurus.

S

yang lalu, tanggal 27 November 2008 bertepatan dengan Hari Menanam Nasional, Rektor Universitas Negeri Semarang (Unnes), Sudijono Sastroadmodjo bersama Menteri Negara Lingkungan Hidup Rachmat Witoelar dan Gubernur Jawa Tengah Bibit Waluyo meresmikan perhelatan penanaman seribu pohon di lingkungan sekitar Unnes dan di kawasan TrangkilAyodya. etahun

(Nuansa/ Zakki)

Penanaman seribu pohon ini sesuai dengan arahan Rektor yang mencanangkan bahwa Unnes menuju Conservatory University. Demikian pernyataan Widi Widayat, Bagian Rumah Tangga. Pernyataan Widi tersebut juga didukung oleh Sekretaris Pusat Penelitian Kependudukan dan Lingkungan Hidup Sri Mantini yang mengatakan bahwa ada beberapa hal yang harus dilakukan Unnes agar dapat menjadi universitas konservasi. ”Menggunakan air harus diperhatikan, pembuatan Biopori, dan pembuatan sumur resapan,” begitu tuturnya, Senin (5/10). Hingga kini pohon-pohon tersebut masih terus dikontrol dan dirawat. ”Untuk penanaman pohon di lingkungan Unnes selama setahun ini, perkembangannya bisa anda lihat sendiri di lahan dekat gerbang utama,” ungkap Ketua Mahapala Khaerul Hamzah Jumat (23/10). Khaerul mengatakan, pohon-pohon yang ditanam di samping kanan dan kiri gerbang utama Unnes tumbuh dengan baik. Dari hasil pengamatan, ketinggian pohon saat ini bervariasi antara 1 hingga 2,5 meter. Perawatannya ditangani oleh Bagian Rumah Tangga (RT). Setiap harinya petugas rutin memberikan pengairan. Berbeda dengan perawatan pohon di lingkungan Unnes, untuk

pohon-pohon di kawasan Trangkil-Ayodya dibiarkan tumbuh liar. Perawatan hanya dilakukan oleh Mahapala Unnes bekerja sama dengan petani Banaran dan Kali Alang yang menggarap lahan milik Unnes. Khaerul mengatakan, dua kali dalam sebulan ada pengecekan yang dilakukan oleh Mahapala untuk memantau pertumbuhan pohon-pohon di sana. Untuk mempermudah pengontrolan pohon-pohon di kawasan TrangkilAyodya, Unnes sedang membangun jalan inspeksi di sekitar Gunung Ledek sampai Ayodya. ”Ini supaya lebih mudah mengontrol, maka dibuatkan jalan setapak yang digunakan sebagai jalan inspeksi. Walaupun ada beberapa pohon yang harus dikorbankan atau kena gusur, tapi tidak apa-apa jalannya kan bermanfaat, ” tambah Widi Widayat Senin (5/10). Tidak Semua Lahan Subur Pertumbuhan pohon-pohon di kawasan Trangkil ternyata tidak sebaik pohon-pohon yang berada di lingkungan Unnes. ”Di kawasan Trangkil kondisi alamnya tidak terlalu bagus, karena sedikitnya unsur hara dan air yang terkandung dalam tanahnya,” ungkap Khaerul. Guna mengatasi masalah tersebut Unnes memberikan pupuk kandang dan obat-obatan untuk membasmi hama kepada petani yang merawat pohon-pohon milik Unnes. Khaerul menambahkan, jumlah pohon yang tumbuh bisa dikatakan cukup banyak, walaupun tanah dalam keadaan gersang. ”Dari semua pohon yang ditanam, mungkin hanya 60 sampai 70 persen saja yang bisa tumbuh,” ungkapnya. Ia menambahkan, dari sekitar 64 Ha lahan di kawasan Trangkil yang dimiliki Unnes, tidak semua lahan dapat dimanfaatkan untuk ditanami pohon, karena kontur lahan berupa jurang.

Pohon-pohon yang ditanam dibedakan dalam blok-blok tanaman sesuai dengan jenis pohonnya. Berdasarkan data dari Sikadu 70 Ha lahan telah ditanami. Lahan seluas 25 Ha ditanami pohon keras , 15 Ha ditanami pohon buah dan Keanekaragaman Hayati (Kehati), 15 Ha ditanami pohon jarak sebagai bahan baku altenatif bioenergi., serta jenis pohon lainnya. Termasuk dalam tanaman pohon keras adalah pohon-pohon yang menghasilkan kayu. Diantaranya seperti pohon Mahoni, Gemelina, Akasia, Jati dan lainnya. Sedangkan tanaman Kehati atau yang lebih tepat disebut tanaman endemik khas Jawa Tengah adalah tanaman yang ada di daerah-daerah di Jawa Tengah, tetapi tidak ada di daerah lain. Misalnya Duren Montong, Kayu Manis, Belimbing Demak, Bisbul, Kepel. Kliwak dan sebagainya. ” Bisa juga disebut tanaman langka karena hanya ada di daerah itu saja,” jelas Khaerul.. Tak menutup kemungkan kebun tanaman Kehati tersebut dijadikan sebagai tempat alternatif untuk rekreasi,. Untuk mendukung gerakan hijau itu semua mulai tahun ini bagi mahasiswa baru wajib menanam satu pohon dan mereka juga diwajibkan untuk merawat pohonnya tersebut sampai mereka lulus dari Unnes. ”Tahun ini sudah diberi arahan dan ini merupakan program Rektor, bahwa setiap mahasiswa baru wajib menanam satu pohon dan mereka harus merawatnya sampai mereka lulus. Untuk tanamannya dan akan ditanam di mana itu terserah mahasiswa. Ini dimaksudkan supaya sumber oksigen di Unnes tetap melimpah dan agar kesegaran udara tetap terjaga,” tambah Sri Mantini. Luciana, Taufan


8

Nuansa Utama

Dari Gunungpati Menengok UI

N ua n s A 125TH XX/2009

Universitas Indonesia memberi banyak inspirasi menuju conservatory university. Bukan tidak mungkin Unnes juga mampu mewujudkannya.

P

agi itu, Kota Jakarta sudah mulai ramai dengan segala kesibukannya. Jalan-jalan protokol dipenuhi berbagai jenis kendaraan yang lalulalang mengantarkan warga ibu kota beraktivitas. Terik yang sudah mulai menyengat menemani perjalanan Nuansa dari terminal Lebak Bulus menuju kampus UI Depok. Sesekali, keringat bercucuran akibat penuh sesaknya bis yang Nuansa tumpangi dan panasnya suhu udara di Jakarta. Dengan banyaknya semburan asap knalpot armada bermotor, maka tak mengherankan bahwa Ibu Kota Indonesia ini menjadi salah satu kota terpolusi di dunia. Setelah satu jam perjalanan menaiki bus, dari kejauhan tampak sesuatu yang berbeda. Sebelumnya kita hanya melihat gedung-gedung pencakar langit yang berdiri kokoh, kemacetan lalu lintas, dan berbagai hingar-bingar Kota Jakata akhirnya kami menemukan sesuatu yang berbeda. Kami menyaksikan suatu lingkungan yang sangat teduh, hijau, dan asri dengan berbagai macam pohon besar di sekelilingnya. Pandangan kami akhirnya terpecah ketika kernet bus meneriakkan nama tempat yang menjadi tujuan kami. “UI… UI…. Kampus UI…..!

(Nuansa/ taufik)

Rasa letih setelah semalaman menempuh perjalanan dari SemarangJakarta seakan hilang menyaksikan pemandangan yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Kami duduk di sebuah halte yang sangat nyaman dan dipenuhi dengan mahasiswa yang tengah menunggu bus. Setelah menempuh sepuluh jam perjalanan, akhirnya kami sampai di UI, kiblat conservatory university yang kini sedang coba diusung Universitas Negeri Semarang. Salah satu program yang getol digalakkan ialah Green Campus. Kami mencoba mencari beberapa hal menarik yang mungkin bisa dijadikan sebagai salah satu referensi dalam menyukseskan program Green Campus di Unnes. Bikun yang sangat nyaman Bikun (bis kuning) merupakan salah satu sarana transpostasi bagi mahasiswa UI yang tidak dipungut biaya. Pada dasarnya program pengadaan armada bus ini sudah ada sejak UI pindah ke Depok tahun 1987. Saat itu, mahasiswa masih terkendala masalah transportasi. Oleh sebab itu, pimpinan UI menyediakan bus untuk mahasiswa dan karyawan. Namun, masyarakat umum juga diperkenankan menggunakannya tanpa biaya. Meskipun armada ber-AC ini gratis, tetapi sangat nyaman dan kondusif untuk belajar. Di dalam bus, banyak mahasiswa yang mengisi waktu dengan membaca buku. Sungguh suasana yang edukatif. Bus ini hanya beroperasi di lingkungan kampus UI mulai pukul 7 pagi hingga 9 malam. Rute bus dari asrama mahasiswa kemudian mengeli(Nuansa/ Yudi) lingi UI dan kembali ke asrama setelah

melalui jalan lingkar. Pagi sampai sore Bikun melayani mahasiswa regular sedangkan malam hari untuk melayani mahasiswa yang mengambil program ekstensi. Sampai saat ini armada yang ada sekitar 30 unit. 20 unit bus lama dan 10 lainnya masih baru dengan fasilitas AC dan musik. Untuk merawat bus-bus UI memiliki bengkel khsus yang dibiayai dana kemahasiswaan. Setelah program Bikun tersebut, UI berencana menerapkan Green Campus Highway. Mahasiswa, dosen dan seluruh pekerja di lingkungan kampus dilarang menggunakan kendaraan bermotor dengan jarak tempuh dekat di dalam lingkungan kampus. “Nantinya akan dibuat parkiran untuk menampung kendaraan dosen mahasiswa dan karyawan UI,” jelas Budimanto, pengelola Bikun UI. Dari parkiran tersebut warga UI akan diangkut bus atau bersepeda. Sepeda Kuning Selain bus, UI juga menyediakan sekitar 200 sepeda khusus bagi civitas akademika. Saat meminjam sepeda, warga kampus harus menunjukkan kartu anggota. Jalur khusus sepeda telah disediakan sendiri, yaitu trek berwarna merah si pinggir jalan. Setelah selesai digunakan sepeda tersebut bisa dikembalikan di setiap fakultas dan lokasi-lokasi lain. Apabila tidak menaati aturan akan diberi sanksi oleh petugas. Pengadaan sepeda ini merupakan salah satu upaya yang dilakukan UI untuk mengurangi emisi gas yang mempunyai efek besar bagi kelangsungan hidup manusia. Gas emisi yang dihasilkan kendaraan bermotor telah membuat banyak kerusakan lingkungan. Selain membuat udara pengap, karbondioksida sisa pembakaran berkontribusi pada perusakan lapisan ozon. Namun yang menjadi kendala saat ini, mahasiswa yang menggunakan fasilitas ini sedikit. Hal ini terlihat dengan banyaknya sepeda yang tidak terpakai di setiap tempat peminjaman sepeda. “Penggunaan sepeda sampai saat ini masih kurang efektif. Lihat saja hanya beberapa mahasiswa saja yang menggunakan sepeda,” ungkap Budimanto.

Danau yang asri Untuk menjaga keseimbangan lingkungan, sebagai upaya untuk menjadi kawasan penyangga Kota Jakarta dan sekitarnya, UI telah membuat situ yang berfungsi sebagai daerah resapan air.

(Nuansa/ Yudi) Ada 6 situ yang telah mereka buat. Pertama, Danau Kenanga, terletak di antara Gedung Rektorat Balairung dan Masjid UI, dibangun tahun 1992 dengan luas 28.000 m2. Kedua, dana Aghatis, terlatkan di antara kampus FMIPA Politeknik Negeri Jakarta dibangun tahun 1995 dengan luas 20.000 m2. Ketiga, danau Mahoni, terletak di utara dan selatan Kampus dan dibatasi jalan utama lingkar selatan (Sebelah timur FIB & PSI, sebelah Barat FE). Danau ini dibangun tahun 1996 dengan luas 45.000 m2. Keempat, danau Puspa, terletak di antara Danau Ulin dan Danau Mahoni, dibangun pada tahun 1995 dengan luas 20.000 m2. Kelima, danau Ulin yang di antara Danau Puspa dan Danau Salam, dibangun tahun 1998 dengan luas 72.000 m2. Sedangkan keenam, danau Salam, yang bersejajar sesuai aliran dari Selatan ke Utara sebagai bagian rangkaian Danau Ulin dan Danau Puspa, dibangun tahun 1998 dengan luas 42.000 m2. Untuk memperindah kawasan ini di sekitar danau ditanami berbagai tanaman. Danau-danau ini pun menjadi tempat bersantai mahasiswa. “Saya biasanya sering kumpul-kumpul sama teman-teman untuk refreshing sejenak di sini setelah selesai kuliah. Soalnya asyik sih!” jawab Dewi, mahasiswa Fakultas Kesehatan Masyarakat. Danau ini dibersihkan setiap hari karena air yang masuk ke danau banyak sampah. “Sampah-sampah ini berasal dari Depok,” ungkap salah satu petugas kebersihan danau yang tengah bertugas. Kawasan hutan kampus yang luas Tidak hanya hijau yang nampak di kawasan UI, tetapi juga sangat teduh dan asri. Semua ini berkat keberadaan ribuan pohon dan tanaman yang mengitari kawasan seluas 200 hektar itu. Sejak tahun 1987, UI telah mengelola hutan kota yang mempunyai kelembapan tinggi. Hutan tersebut mencirikan ekosistem hutan tropis dengan tiga bentuk ekosistem unggulan yaitu: Ekosistem pepohonan yang bersumber dari Indonesia Bagian Timur Ekosistem pepohonan wilayah Indonesia Bagian Barat Komplek vegetasi asli Jabodetabek yang dipadu serasi dengan zoning Hutan Jati Mas yang tumbuh hijau menghampar di antara Gedung Rektorat UI dan Fasilkom serta Fisip UI.Taufikurrohman, Yudi


N ua n s A 125 TH XX/2009

9

Nuansa Utama

Menjadi Universitas Tanpa Kertas Seiring dengan visi Unnes menjadi Universitas Konservasi, paper less jadi agenda yang mulai dirintis untuk dapat diterapkan.

E

xpress 5 November 2009 memberitakan ada 1.037 proposal Program Kreativitas Mahasiswa (PKM) yang dikumpulkan mahasiswa untuk dikirim ke Dirjen Dikti sebagai pertimbangan untuk didanai. Jika tebal sebuah proposal rata-rata tiga puluh halaman, ada 31.110 lembar kertas yang dihabiskan mahasiswa untuk mengikuti program tersebut. Padahal, biasanya mahasiswa diwajibkan mengumpulkan proposal rangkap tiga. Jika diakumulasikan, program PKM saja telah menghabiskan lebih dari 93.330 lembar kertas yang jika ditumpuk tingginya bisa mencapai 9,3 meter. Tidak hanya PKM, puluhan program yang telah dan akan dilaksanakan Unnes jelas sangat memerlukan kertas. Misalnya, untuk kepentingan administrasi di Rektorat, Fakultas, juga Jurusan menghabiskan puluhan hingga ratusan lembar per hari. Di luar itu, pencetakan buku ajar, laporan penelitian dosen, dan penerbitan jurnal juga memerlukan kertas yang tidak sedikit. Mahasiswa juga tak kalah boros. Selain dalam bentuk buku dan referensi kuliah, mereka memerlukan kertas untuk membuat makalah, paper, dan skripsi. Jika kertas yang pernah digunakan oleh civitas akademika Unnes diakumulasikan, tumpukannya barangkali puluhan kali lebih tinggi daripada gedung auditorium. Berangkat dari kenyataan itulah Unnes mulai mengurangi penggunaan kertas. Dengan cara seperti itu Unnes diharap mampu mengurangi penebangan pohon yang digunakan dalam industri pulp. Rektor Unnes Sudijono Sastroatmodjo menuturkan ada beberapa upaya yang dilakukan untuk mengurangi pemakaian kertas, misalnya dengan mengirimkan surat undangan melalui email dan transkrip nilai yang tidak perlu dicetak karena dapat dilihat di Sikadu. “Pengisian KRS juga menggunakan Sikadu, bukan lagi kertas,” ucapnya. Meski demikian, Rektor mengakui bahwa paper less belum berjalan secara efektif. Tetapi kegiatan-kegiatan yang diupayakan untuk menghemat pemakaian kertas terus dilakukan. Hal ini tentu tidak secara drastis merubah dari yang tadinya memakai kertas menjadi

tidak sama sekali. Perubahan seketika dirasa tidak mungkin karena segala sesuatu mesti butuh proses. Apalagi hingga saat ini tidak semua karyawan menguasai teknologi informasi. “Ini menjadi kendala tersendiri bagi kelancaran suatu kebijakan,” lanjut Rektor. Selain mengurangi penebangan pohon, Rektor mengungkapkan bahwa paper less juga memiliki keuntungan. Dengan mengalihkan media kertas menjadi IT, otomatis kertas jadi berkurang sehingga pemakaian kertas jadi lebih hemat. Dulu sebelum kebijakan ini disosialisakan sekitar sebelum tahun 2008 Tata Usaha (TU) di Rektorat menghabiskan kertas sampai ribuan, tetapi sekarang penggunaan kertas jadi setengahnya. Dampak positif dari hal tersebut adalah jumlah sampah kertas jadi berkurang. Tata Usaha Rektorat memang secara pasti tidak menyebutkan berapa jumlah kertas yang berkurang. “Tapi sekarang sudah berkurang,”

ungkap Subag Hutala Zikri. Ia menambahkan telah menerima imbauan untuk membatasi penggunaan kertas. “Setiap hendak memakai, harus jelas penggunaannya untuk apa.” Hal tersebut sudah berjalan satu tahun ini. Adapun upaya-upaya yang dilakukan demi mengurangi pemakaian kertas yaitu dengan mengecek ulang baik dari format penulisan, isi dan sebagainya agar setelah dicetak tidak terjadi kesalahan sehingga tidak membuangbuang kertas. Zikri menambahkan bahwa untuk keperluan kantor perihal surat menyurat sudah memakai email meskipun tidak semua surat. Untuk peraturan, kearsipan dan sebagainya, sekarang sudah mulai diolah dalam bentuk CD, tetapi tetap memiliki data dalam bentuk kertas. “Ini karena paper less masih merupakan suatu kebijakan yang baru dirintis jadi tidak bisa dilaksanakan secara drastis tanpa memakai kertas. “

Ia mengakui bahwa sampai saat ini tidak ada kendala yang dihadapi. Semua berjalan dengan lancar, hanya saja dia menginginkan ada sosialisasi lagi. Memang dulu sudah pernah diadakan sosialisasi, namun soal paper less masih kurang mendetail. Zikri berpendapat bahwa sekarang saja dengan sosialiasasi yang baru dilaksanakan satu kali, kebijakan ini bisa dibilang berjalan lancar apalagi jika diadakan sosialisasi lagi pasti akan lebih bagus. Menurutnya, program ini sangat berguna karena dapat menghemat uang negara. “Sebab Unnes memang masih dibiayai oleh negara melalui dana APBN.” Berbeda dengan yang diungkapkan Zikri, Administrasi TU Perpus Pusat Asri Rejeki mengungkapkan bahwa penggunaan kertas di Perpus Pusat tidak secara signifikan berkurang. Jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya paling hanya satu atau dua rim saja. Menurutnya, hal itu karena perpustakaan selalu berhubungan dengan kertas ataupun buku. “Misalnya, meski sekarang sudah ada perpus on line tapi mahasiswa masih tetap mencari sumber yang berasal dari buku.” Selain itu, pemakaian kertas di Perpustakaan sulit ditekan karena penggunaan berbagai keperluan. “Seperti melepas keanggotaan bagi wisudawan, statistik harian, kenaikan pangkat pustakawan, proposal pelatihan, lembar kerja, peminjaman buku, dan surat menyurat.” Ia mengakui bahwa urusan surat menyurat sudah mulai dilakukan melalui email meski hanya antarfakultas saja. Untuk surat keluar masih menggunakan kertas, kecuali jika dari instansi luar meminta dalam bentuk email. Meskipun penggunaan kertas di perpustakaan belum dapat tergantikan, pihak perpustakaan berusaha ikut melaksanakan kebijakan paper less. Usaha yang dilakukan pihak perpustakaan seperti pembuatan arsip selain dicetak dalam bentuk kertas ada juga yang disimpan di flash disk. Karya tulis atau skripsi juga dibuat dalam bentuk buku dan CD. Estik

Terbit Setiap Kamis

Membuka Cakrawala

Foto by Zakki


10

Nuansa Utama

N ua n s A 125TH XX/2009

Green Campus Bukan Sekadar Hijau

B

aliho yang mengampanyekan Unnes sebagai universitas konservasi sudah sejak lama terpampang di sudut-sudut kampus. Selain di pertigaan BNI dan gerbang utama, reklame juga terpasang di Roundabouts. Reklame di Roundebouts bahkan sangat atrakif dan menyita perhatian karena berputar seperti roda gila, siang malam. Meski begitu, tidak semua mahasiswa konsep pengembangan Unnes menjadi konservatori. Jauh hari sebelum Unnes, Universitas Indonesia ternyata telah lama mencanangkan program green campus. Pantas lah jika kampus universitas tertua di Indonesia itu menjadi kiblat pengembangan lingkungan kampus di Indonesia. Untuk mengetahui pengelolaan lingkungan di kampus tersebut, reporter Nuansa Yudi Ristu Prihawan dan Taufikurrohman mewawancara Tarsoen Waryono, salah seorang penggagas konsep green campus di UI. Dosen FMIPA UI itu sedang asyik berbincang di kantornya di lantai 2 Dekanat FMIPA UI, Rabu (27/10). Berikut petikan wawancaranya. UI merupakan referensi kampus berwawasan lingkungan bagi universitas lain di Indonesia. Bagaimana awal mula konsep Green Campus di UI? Sejak dulu civitas akademika UI sudah menanam pohon, ketika saya datang, saya bertanya ke mereka, menanam pohon untuk apa? Untuk penghijauan. Penghijauan yang bagaimana? Penghijauan yang penting hijau. Punya konsep tidak? Tidak punya konsep. Oke, saya buatkan konsep. Konsep seperti apa? Konsep itu saya sebut dengan “Mahkota Hijau�, mahkota merupakan kuluk-kuluk para raja, dengan ini saya berharap UI mempunyai mahkota dan wajah yang hijau. Itu penting sehingga saya membuat suatu rencana, dan rencana itu cukup menarik. Saya bawa rencana itu ke dinas pendidikan dan ternyata ditolak karena tolak ukuranya tidak ada, jangankan anda mau membangun ratusan hektar tanah menjadi kawasan hijau, untuk beli pohon saja tolak ukurnya tidak ada. Perlu beberapa milyar untuk menghijaukan kawasan pendidik a n

(UI), menteri pendidikan mengatakan seperti itu. Akhirnya saya lari ke departemen kehutanan, saya temui menteri kehutanan dan diberilah dana yang tidak terlalu besar. Dengan dana tersebut pada mulanya saya memulai proyek asal hijau.

Kapan proyek tersebut dilaksanakan? Seperti apa proyek tersebut? Program tersebut saya lakukan dari tahun1985 sampai tahun 1987. Jadi proyek asal hijau itu yang penting hijau dulu karena keterbatasan dana. Bagaimana tanggapan birokrat UI? Saat itu saya ditantang orang banyak, ditantang 6 profesor UI dari fakultas kedokteran, fakultas teknik, dan yang lainnya tetapi bukan profesor tanaman. Saya berjanji dalam jangka waktu 9 bulan akan UI akan hijau dan alang-alang akan tertutup. Pada saat itu saya ketahuan menanam tanaman akasia umur 3 bulan, para profesor itu bilang bahwa mereka sudah berkali-kali menanam tanaman berukuran 2 meter, 3 meter dan tidak berhasil. “Kok Anda menanam dengan 20 centimeter,� kata mereka. Saya tidak bisa ngomong, apalagi yang namanya profesor tidak mau disalahkan. Akhirnya ada seorang dokter anak bernama Prof. Wahidin yang membela saya dan mengatakan bahwa saya benar karena menggunakan teori adaptasi. Ibarat ada sepasang suami istri berumur lebih dari 40 tahun yang memiliki anak berumur satu tahun lalu berangkat ke Amerika, maka yang lebih mudah beradaptasi adalah anak umur satu tahun karena tingkat adaptasinya masih tinggi, begitu juga pohon. Ternyata dalam jangka waktu 6 bulan saya berhasil. Pada saat itu seorang profesor bernama Mawardi menemui saya dan menjabat tangan saya mengucapkan selamat. Mereka mulai percaya pada saya. Apa tindakan selanjutnya? Tidak berhenti sampai situ saja, dengan proyek asal hijau saya kembali ke departemen kehutanan, ditinjau oleh menteri dan dinyatakan berhasil tetapi menteri kehutanan tidak akan memberikan dana lagi. Saya diharuskan untuk berjuang sendiri. Saya jadi tukang minta-

minta, artinya saya datang menemui Mobile Oil, Freeport, datang ke Epson Mobile, tetapi ternyata mereka tidak suport. Akhirnya diprakarsai Pemda DKI Jakarta muncul program hijau royo-royo. Dalam program tersebut saya berjanji UI akan ditanami pohon sesuai perjanjian yang disepakati. Jadi UI merupakan milik Indonesia, dari Sabang sampai Merauke, sehingga mahasiswanya dari Sabang sampai Merauke, pegawainya juga dari Sabang sampai Merauke, hingga pepohonan pun diambil dari Sabang sampai Merauke. Kita mengambil pohon-pohon yang memiliki nilai politik, sosial, ekonomi, dan biologis. Secara biologi saya memilih pohon-pohon endemis yaitu jenisjenis yang tidak diketemukan di tempat lain, misalnya pohon pinus merkusi yang berasal dari Aceh, sampai matoa dari Irian, target kita ada sekitar 800 jenis pohon inti yang akan ditanam. Saat ini baru sekitar 30 persen yang sudah ditanam. Bagaimana konsep green campus UI saat ini? Kami memiliki strategi pembangunan kawasan hijau dalam kancah mewujudkan green campus. Green campus merupakan kampus yang ramah lingkungan jadi bukan hanya kampus yang hijau. Kampus UI memiliki luas 312 Ha, di mana 100 Ha adalah ekosistem hutan kota, 150 Ha bangunan, landscape 32 persen, dan ekosistem perairan 30 persen. Jadi itu merupakan suatu kesatuan. Justifikasi green campus ada 2, science park adalah taman ilmu, dan eco-science park sebagai penunjang taman ilmu. Di dalam taman ilmu terdapat pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat. Sedangkan di dalam eco-science park terdapat konservasi dan rekreasi yang mendukung human development dan proses pendidikan. Hal ini dalam rangka mencapai Research University. Green campus bukan kampus yang hijau, tetapi kampus yang ramah lingkungan, proses belajar mengajar juga ramah terhadap lingkungan. Masuk kampus tidak usah pakai kendaraan bermotor, naik sepeda itu sehat. Gedung-gedung juga diusahakan tidak memakan banyak energi. Komitmenlah yang harus dibangun.

Langkah-langkah yang dilakukan? Jadi kami memiliki 8 paket pembangunan, yaitu paket infrastruktur dasar, paket sosio-edukasi, paket utilitas umum, paket rekreasi, paket hijau konservasi, paket hijau landscape, paket konservasi air, paket eco-tourism, masing-masing paket pembangunan memiliki sub paket pembangunan di dalamnya. Kata intinya harus ada rencana hidup, rencana hidup sebagai project management approach yang di dalamnya meliputi rencana induk, program induk, konsep desain, pengembangan desain. Semua pihak berpartisipasi melaksanakannya. Untuk melaksanakannya dibutuhkan investasi yang berasal dari paket sosio-edukasi, paket eco-tourism, dan paket rekreasi. Pemasukan berasal dari karcis masuk, uang sewa, retribusi, konsinyasi, konsensi, dan sponsorship. Kerjasama dengan pihak luar? Ya, kami juga melakukan pola kontribusi silang yang menggandeng masyarakat untuk berpartisipasi dalam program eco-science park kami karena manfaat semua ini tidak hanya dirasakan oleh civitas akademika UI, tetapi juga masyarakat sekitar kita. Pihak luar juga bisa memilih berbagai model partisipasi, seperti memberikan donasi mur(NuansA/ Yudi) ni, berpartisipasi sebagai pelaksana unit

program maupun sebagai pengunjung, berpartisipasi dalam program promosi (penyertaan nama), dan yang lainnya.

Sampai saat ini program apa saja yang telah dilaksanakan UI? Kami sudah melakukan peningkatan taman lingkungan di fakultas atau lembaga, kami selalu melakukan enrichment species yaitu pengayaan species tanaman-tanaman yang berasal dari Indonesia bagian barat sampai timur, ada juga kebun bibit, pembangunan tandon air dan pengendali limbah berupa danau-danau buatan, jalan setapak dan jalur sepeda, sepeda kampus, pembangunan habitat kandang satwa rusa sudah kita laksanakan. Jadi nanti kalau anda di sana (Unnes) perlu kijang, saya bisa memberikan asal ada tempatnya. Kalau untuk pagar hutan, kami masih merayu orang-orang yang punya duit. Berapa anggaran yang dibutuhkan untuk membiayai proyek green campus UI? Total dana sekitar 132 milyar. Saya juga ditanya sama rektor dari mana dana itu, saya bilang Freeport sudah menyediakan dana sebesar itu. Ketika itu saya dengan biaya sendiri dan hanya diberi surat jalan oleh UI pergi ke Freeport untuk mengajukan ide saya. Apa yang harus dilakukan universitas-universitas di Indonesia jika ingin menjadi sebuah green campus? Yang jelas di mana saja sama, Unnes, UGM, IPB, UI, sama-sama institusi pemerintahan. Kata kuncinya adalah niat dan kesungguhan pimpinan tertinggi, kalau tidak punya niat, nol. Yang kedua, tata ruang kampus harus jelas, sekarang ada UU No. 26 Tahun 2007, dimana ruang terbuka hijau (RTH) 30 persen dari luas lahan. Unsur RTH yang utama adalah pohon dan tumbuhanyang fungsinya meresapkan air ke dalam tanah dan pabrik oksigen. Saya sering terangkan pada guru-guru agar mereka mengajak anak didiknya untuk tidak memusuhi pohon. Bayangkan saja kalau kita masuk rumah sakit, satu menit oksigen saja Rp 1.750,-.Kita harus berterima kasih kepada pohon. Bagaimana dengan Unnes ? Anda harus tahu terlebih dahulu Semarang itu bagaimana. Semarang terdiri dari dataran rendah, pegunungan, dan daerah peralihan. Tiap daerah memiliki timbuhan yang berbeda. Dengan keberagaman itu, koleksilah tanaman lokal, kalau mau regional koleksilah tanaman yang ada Jawa Tengah. Seperti nama kami Universitas Indonesia, jadi kami koleksi tanaman dari Sabang sampai Merauke. Banyaknya pohon dilihat dari segi politik, sosial, ekonomi, dan biologis, itu strateginya. Langkah selanjutnya lakukan kampanye untuk menunjukkan bahwa inilah saatnya green campus dibangun. Untuk menjaga keberlangsungan green campus (Unnes), Rektor tinggal berhubungan dengan Walikota, jika sudah memiliki koleksi berbagai tanaman atau pepohonan, kampus akan dimasukkan sebagai Ruang Terbuka Hijau. Setelah itu mintalah agar ada orang yang berkompeten untuk mengawasi RTH tersebut baik dari Dinas Pertanian dan Perkebunan, atau Perum Perhutani. Kalau anda punya danau, punya pohon pasti akan diberi anggaran untuk menjaga RTH tersebut. Yang terpenting adalah kerjasama Rektor Unnes dengan Pemerintah Kota Semarang untuk menghijaukan Unnes dan Kota Semarang pada umumnya. Yudi, Taufik


N ua n s A 125 TH XX/2009

Nuansa Khusus

11

USA; Harapan dan Kenyataan Pengantar Redaksi Zaman telah membuktikan ilmu tidak mengenal ruang dan waktu. Jarak ribuan mil dan lautan yang membentang luas tidak membatasi orang untuk mencarinya. Tidak hanya lintas negara, tapi lintas benua. Salah satu mahasiswa Unnes yang berkesempatan belajar ke luar negeri adalah Imas Istiani. Anggota BP2M asal Kuningan ini belajar di Humboldt State University California. Sebagai gadis Sunda ia mengamati Amerika dari perspektif berbeda. Ia bahkan mengalami banyak kejadian menggelikan karena benturan budaya. Berikut laporan yang Imas tuliskan untuk Nuansa tentang perjalanannya berburu ilmu ke Amerika.

D

i salah satu apartemen kampus Humboldt State University, 5 mahasiswa dari 5 negara berkumpul-kumpul setelah kekenyangan ice cream, Minggu malam (9/11). Niat awal untuk belajar tergantikan sejenak oleh ngobrol ngalor-ngidul tentang kehidupan mereka di Amerika Serikat. Saw Htet Aung Khant (18) yang berasal dari Burma merasa mendapatkan kesempatan yang begitu besar ketika ia lolos beasiswa World Learning untuk program Global Undergraduate. Cita-citanya untuk menjadi guru bahasa Inggris terasa lebih mudah karena kini ia bisa belajar bahasa Inggris sekaligus mempraktikannya tiap saat. “Selain jurusan Sosial, di universitasku Bahasa Inggris adalah salah satu jurusan terpopular. Aku suka bahasa Inggris karena bahasa Inggris adalah bahasa internasional. Jika kamu ingin berkembang, kamu harus bisa bahasa Inggris,” ungkap Saw ketika ditanya mengapa ia tertarik menekuni bidang ini. Lain halnya dengan Myagmarjav Lkhagvasuren (19) asal Mongolia. Sebelum ke USA, ia sudah menginjak tahun ke-2 di Mongol Ulsin Ih Surguuli (Universitas Negeri Mongolia) pada Jurusan Wildlife di Fakultas Biologi. Ia sangat mencintai kehidupan liar karena ia sering bepergian ke daerah terpencil di daerahnya bersama sang ayah yang seorang ahli mammalia atau mammalogist. ”Sejak umur 6 tahun, aku sudah tahu bahwa aku ingin menjadi wildlife biologist. Aku mencintai alam dan bi-

natang. Aku adalah bagain dari alam,” Halloween. Ada lelaki mabuk yang keterangnya. mudian memanjat monumen kota. PoMiga menyukai metode pengajaran lisi tidak peduli, malah ikut menonton yang dilakukan oleh para dosen HSU. sambil berseru, ‘Hey, ada lelaki telan“Mereka merekomendasikan kami jang yang sedang menaiki monumen!’,” untuk banyak membaca dan mereka cerita Miga. hanya menuntun kami mengenai apa “Mungkin karena mereka tidak yang harus dipelajari. Di universitas melakukan hal yang buruk terhadap asliku, para dosen terlalu banyak bi- orang lain sehingga polisi itu tidak pecara dan kami tidak diharuskan untuk duli,” Imas Istiani (19), dari Indonesia banyak membaca. Hal ini membuat berpendapat. kami menjadi jelek dalam mencari in“Ya, mungkin. Tapi di negaraku, formasi karena mereka memberi tahu memanjat monumen adalah hal yang kita secara langsung tanpa menyaratkan buruk,” balas Miga. riset,”ungkap Miga. “Ya, orang-orang di sini aneh-aneh. Saw juga meMereka mewarnai nyetujui apa yang rambutnya, menindik Miga kemukakan. badannya,” Saw ber“ Di sini, kami mekata. “Aku dulu permiliki banyak sekali nah mau ditindik, di diskusi. Para dosen alisku. Tidak sakit sih, membiarkan kami cuma susah, jarumnya berpendapat. Di susah menembus alisnegaraku, gurunya ku dan akhirnya aku hanya menerangkan memutuskan untuk tidan kami menulis. dak menindik alisku,” Kami juga memiliki kenang Miga yang rudiskusi tapi tidak sepanya pernah menjadi banyak di sini. Tiap drummer suatu band orang hanya pergi rock. ke sekolah, menulis Di atas semua kecatatan mengenai bebasan berpakain apa yang guru katadan berekspresi, Imas kan dan lalu pulang memiliki kesan poke rumah,” kenang sitif tersendiri,”dulu Saw pada situasi sebelum berangkat, pelajar dan pendi- Imas bersama rekan-rekannya di Hum- aku khawatir dengan dikan di negaranya. boldt State University (Dok. Pribadi) kerudung yang aku ”Dosen yang aktif, kenakan. Namun, mahasiswa yang aktif, banyak tugas, pas di sini, semua orang tidak peduli tapi aku menyukainya.” dengan apa yang aku kenakan karena USA juga tidak sempurna, terle- ini merupakan kebebasan untuk berpabih kekayaan kulinernya. Shi Li, gadis kaian.” campuran Singapura, China dan InPengalaman buruk Miga adalah kedonesia ini berseru kencang, ”Semua tika uang di kartu rekeningnya dicuri makanan di sini terlihat begitu lezat orang. “Ada seseorang yang mengirimtapi rasanya sungguh tidak.” Miga me- ku email dan kemuudian menelponku, nyetujuinya,” Saw dan aku melihat kue menanyakan nomor kartu rekeningku. yang terlihat begitu enak di toko. Ke- Dia berkata bahwa aku akan mendatika kami memakannya hooeekkksss,” patkan uang 10,000$ dan aku berkata, ia memperagakan orang yang sedang ‘ok!’,” kenangnya. “Itu konyol sekali!” muntah.”Ya, aku melihat telur yang timpal Shi, memberikan kartu rekening digoreng bersama keju. Ketika meli- pada orang yang tak dikenal. Selain hatnya, aku berseru, oh my God! Dan itu, ia juga melakukan online shopping ketika aku memakannya, oh my God! sembarangan. Akibatnya, ia kehilangan Sungguh tidak enak!” uang hingga lebih dari seratus dolar “Tapi yang aneh bagiku di sini hingga kartunya memiliki saldo minus adalah orang-orangnya, terutama pas puluhan dolar. Ia kemudian menga-

dukan masalah ini ke bank dan pihak bank mengganti kartunya dengan yang baru, tapi uangnya tidak bisa kembali. Tapi USA juga telah memberinya pencerahan baru. Dulu, ia memiliki sentimen yang tinggi terhadap China. “Dulu Mongolia berperang dengan China. Hingga sekarang, jika ada mongolian yang pergi ke China, dipastikan banyak yang terbunuh. Bahkan, banyak orang China yang berdiam di Mongolia untuk membunuh rakyat Mongolia. Pernah ada seorang temanku yang pergi kuliah di USA. Ketika gilirannya untuk presentasi, ada seorang China yang berkomentar,’kamu tidak usah presentasi lagi. Sebentar lagi negaramu akan jadi negaraku’.” Tak ayal, Miga sangat tidak menyukai China. Namun, ketika ia mendarat di USA untuk pertama kalinya, ia bertemu dengan Lu dari China yang mengurus semua keperluan asramanya. Ia juga sekamar dengan Chen yang juga dari China. Pengurus asrama yang ia tinggali, Du, juga dari China. Mereka semua tidak memiliki dendam terhadap Mongolia dan memperlakukan Miga sama baiknya terhadap yang lain. “Mungkin hanya generasi tua atau juga generasi muda yang terlalu terobsesi dengan sejarah yang memusuhi Mongolia. Sekarang, aku memiliki keyakinan untuk tidak menghakimi seseorang berdasarkan negaranya,” simpul Miga. Bagi Elvira Bonaga (22) yang berasal dari Panama, Amerika Tengah, hal yang tidak ia sukai adalah anggapan kebanyakan orang bahwa American hanyalah untuk penduduk Amerika Serikat. “USA disebut American. Orang dari Amerika Tengah disebut Latino. Hal ini seperti kepercayaan bahwa sebutan Amerika hanyalah bagi orang yang tinggal di USA. Untuk membedakan kami, mereka menyebut kami Latin. Mereka tahu mereka salah tapi bukan mereka sajalah yang American,” tandasnya. Imas menyetujuinya, “Sebelum ke sini, aku sebenarnya bingung perbedaan antara Amerika dan USA. Setahuku Amerika adalah benua, tapi kenapa yang dirujuk kebanyakan itu USA,” lanjutnya, “tapi kemudian di sini kebanyakan orang yang pendidikannya tinggi akan menyebut USA alih-alih hanya Amerika saja.”

Tersesat di Komunitas “Aneh”

K

etika mendengar kabar lolos seleksi beasiswa ke Amerika, aku berjanji akan menggunakan kesempatan ini sebaik-baiknya. Berbagai tingkah konyol dan memalukan terjadi karena semangat 45 ini; semangat untuk kemajuan bangsa (heroik sekali bukan?). Untuk memuluskan misi mendapatkan ilmu, pengetahuan dan pengalaman sebanyak-banyaknya, aku rajin menekuri poster ataupun info di situs kampus. Saya antusias mengikuti berbagai kegiatan. Kebanyakan hanya karena ingin sekadar tahu atau lebih banyak lagi karena tertarik dengan jaminan free, entah itu free food maupun free entrance. Pernah, Kamis sore pada awal semester, karena tidak ada acara yang harus kulakukan, aku menggeret Miga, teman Mongoliaku untuk mengikuti acara Queer Community Reception. Ia menanyakan acara apa yang akan kami ikuti. “I don’t know, but they have free food!” bujukku. Meski kami baru saja makan siang, tapi kesempatan untuk mengikuti acara gratis dengan makanan gratis juga, mau tak mau membu-

atku bergemuruh. Acara yang dimulai jam 4 sore itu sudah dibuka. Kami menuliskan nama, email atau telepon kami di meja resepsionis. “Cowok di sini ko manis-manis ya?” pikirku ketika melihat seorang mahasiswa yang menjaga meja resepsionis berdiri di dekat pintu. Ia melemparkan senyuman. Karena konsep acaranya yang hanya resepsi, tidak ada pembukaan, sambutan apalagi doa penutup. Kami langsung menyerbu stan makanan yang sudah membuat cacing-cacing di perutku menggeliat. Miga meraup cokelat dan permen sebanyak-banyaknya, sedangkan aku lebih tertarik melirik strawberi yang merah merona, segar menggoda. Kami lalu mencari tempat duduk dan makan sambil mengamati peserta lain yang hilir mudik. Selesai menyikat strawberi, aku beranjak pergi untuk mengambil brownies. Sambil mencicipi cokelat yang begitu manis, aku melihat ada beberapa meja yang ditujukan sebagai stan MCC (Multi Cultural Club). Rupanya MCC lah yang mengadakan acara ini. Aku berpikir bahwa Queer Community ini

berhubungan dengan cultural, tapi budaya apa, aku tidak memiliki gambaran sama sekali. Ketika kuamati stan itu lebih jelas lagi, ada beberapa brosur mengenai Queer Community dan barang-barang yang berkaitan dengan komunitas itu. Ada buku-buku mengenai transgender, homoseksual, save sex, bahkan di sana juga dipajang kondom berbagai rupa. “Duh Gusti Allah,” pikirku. Aku mengernyit, mengurungkan niatku untuk menanyakan lebih lanjut mengenai komunitas ini pada seorang wanita penjaga stan yang tampak sporty dan sangat maskulin. Aku lalu mengamati poster-poster yang terpajang di beberapa sudut ruangan. Ada gambar-gambar simbol kromosom yang menyiratkan XX YY XY XYX YXY dan lainnya. Ketika kuperhatikan pula orang-orang di sekeliling, para pria yang kebanyakan lembut dan manis, para wanita yang tampak sangar ataupun gentle, wajahku pucat pasi dan berlari menghampiri Miga dan memaksanya untuk segera pergi meninggalkan ruangan. Miga, yang belum sadar apa yang terjadi, keheranan karena tiba-tiba

kupaksa pergi. Ketika keluar ruangan, kami bertemu dengan seorang teman. Ia menanyakan apa yang barus saja kami lakukan. Miga menjawab dengan polos,“We just came from Queer Community Reception for free food.“ Wajah teman kami tadi membulat seolah bicara,’Ooohhh..’. Hal itu juga terjadi pada temanku yang lain ketika aku menjawab baru saja menghadiri resepsi tersebut. Penasaran, aku lari ke kamar dan mengambil kamus untuk mencari arti kata queer. Ternyata artinya, aneh atau ganjil. Tapi aku belum mendapat jawaban. Jawaban baru saya peroleh ketika pada malam harinya kami menonton film Milk yang diperankan aktor gaek Sean Penn. Ia berperan sebagai senator gay yang pertama kali menyuarakan gagasan kebebasan untuk kaum homoseksual (queer comunity). Oalahh... Kecurigaanku terbukti. Acara yang kami hadiri sore itu ternyata acara para Lesbian, Gay, Bisexual, Transgender, Queer and Intersex (LGBTQI) yang keberadaannya memang sudah dilegalkan di AS. Aduh Emak.


12

Ragam Vermi: Pupuk Cair Organik dengan bantuan Cacing

P

emakaian pupuk anorganik secara terus menerus ternyata dapat berakibat buruk bagi kondisi hara tanah.Tanah yang sering diberi pupuk anorganik, lama-kelamaan akan menjadi keras, sehingga sulit diolah dan mengganggu pertumbuhan tanaman. Dalam bidang pertanian, cacing tanah mampu menghancurkan bahan organik sehingga memperbaiki aerasi dan struktur tanah. Lahan menjadi subur dan penyerapan nutrisi tanaman menjadi baik. Keberadaan cacing tanah akan meningkatkan populasi mikroba yang menguntungkan tanaman. Di pihak lain, banyaknya sampah organik dari warga Sekaran di sekitar Unnes yang melimpah menjadi masalah tersendiri apabila tidak dikelola dengan optimal. Sampah organik milik warga di kawasan Unnes apabila dikelola sungguh-sungguh dapat diubah menjadi pupuk cair organik dengan bantuan cacing tanah. Potensi peternakan cacing dalam usaha pembuatan pupuk cair organik di kawasan Unnes merupakan peluang usaha yang sangat menjanjikan. Apalagi dengan menggunakan pekarangan koskosan yang selama ini belum dimanfaatkan secara optimal. Sampah organik

dari warung maupun kos dapat pula digunakan sebagai pakan cacing. Sehingga dengan membuat peternakan cacing skala kecil di pekarangan kos, tentunya merupakan hal yang menguntungkan bagi mahasiswa. Selain menuntut ilmu melalui bangku kuliah, mahasiswa juga dapat berwirausaha. Berangkat dari latar belakang di atas, Dian Sri Asmorowati, M Imaduddin, M. Frantau Baskara, Nafis Herowati, Indriyani membuat ide pembuatan pupuk organik ramah lingkungan yang diajukan dalam Program Kreativitas Mahasiswa Kewirausahaan (PKMK) dengan Judul, “Usaha Pembuatan Vermi Pupuk Cair Organik Berbasis Peternakan Cacing dengan Memanfaatkan Pekarangan Kos dan Sampah Organik Rumah Tangga di Kawasan Unnes.� Pada tahun 2009, Judul PKMK yang mereka ajukan pun dibiayai Oleh Dirjen Dikti. Dengan bimbingan Drs. Nanik Wijayati, M. Si, setelah melalui seleksi yang ketat dari Dirjen Dikti, karya mereka pun lolos Pekan Ilmiah Mahasiswa Nasional (Pimnas) ke Universitas Brawijaya (Unibraw) Malang. Karya Dian dkk merupakan 1 dari 12 karya PKM mahasiwa Unnes yang lolos Pimnas ke Unibraw Malang. Tujuan yang ingin dicapai dalam program pembuatan pupuk Vermi antara lain: melatih budaya kewirausahaan dengan cara membuat pupuk cair organik dari usaha beternak cacing dan mengembangkan usaha pola kerja sama antara mahasiswa dengan petani dan toko-toko pertanian. Metode yang digunakan dalam program kewirausahaan yang dilakukan Dian Sri Asmorowati dkk adalah sebagai berikut: Pertama persiapan, pelaksanaan, evaluasi, dan penyusunan laporan. Karakteristik produk Produk ini berupa pupuk cair organik yang dapat

N ua n s A 125TH XX/2009

digunakan sebagai alternatif pengganti pupuk anorganik yang semakin mahal harganya disamping ketidakramahan pupuk anorganik terhadap lingkungan. Nama dari produk ini yaitu VERMI Pupuk Cair Organik yang merupakan hasil dari sampah-sampah organik rumah tangga yang telah diuraikan oleh cacing tanah yaitu berupa kotoran cair cacing. Adapun karakteristik dari Pupuk Cair Organik “Plus� ini adalah sebagai berikut. Pertama berbentuk cair sehingga lebih mudah diserap oleh akar tanaman. Kedua, Kaya kandungan hara mikro maupun makro yang sangat dibutuhkan oleh tanama. Ketiga, tanpa bahan kimia yang dapat merusak keseimbangan kesuburan alami tanah. Keempat, diolah dari bahan alami yaitu sampah organik rumah tangga. Kelima, meningkatkan produktifitas tanaman jenis sayuran (misalnya cabe, sawi, selada, kubis, tomat, bawang dan lain sebagainya) dengan asupan unsur hara yang tinggi. Ketujuh, tidak menghasilkan residu bahan kimia pada hasil panen petani sehingga aman bagi kesehatan. Hasil dari program ini adalah VERMI pupuk cair organik yang ramah lingkungan dengan harga yang terjangkau. VERMI 660ml dijual dengan harga Rp 15.000,00 sedangkan pupuk cair dengan volume yang sama di pasaran dijual dengan harga Rp 25.000,00. Prospek VERMI Pupuk Cair Organik Usaha peternakan cacing merupakan usaha yang tergolong langka karena selama ini sebagian besar masyarakat menganggap cacing adalah hewan menjijikkkan. Selain itu, sebelumnya belum ada usaha peternakan cacing di kawasan Unnes. Padahal pengembangan usaha ini sangat potensial jika dilakukan dikawasan Unnes. Kawasan Unnes merupakan kawasan pegunungan dengan areal persawahan dan perkebunan rakyat di sekelilingnya. Dengan mempertimbangkan hal tersebut, tentu saja peternakan cacing merupakan lahan bisnis potensial di kawasan ini karena dapat menghasilkan pupuk cair organik yang dapat dipasarkan kepada petani sekitar kawasan. Selain itu, usaha ternak cacing dan pupuk cair ini dapat dilakukan dengan mudah. Pekarangan kos mahasiswa yang belum termanfaatkan dapat dijadikan lahan beternak cacing karena ha-

nya memerlukan lahan yang tidak begitu luas. Sampah organik rumah tangga yang dapat diperoleh dari warung dan rumah makan di sekitar kampus pun dapat digunakan sebagai makanan cacing. Dengan demikian, usaha peternakan cacing dan pembuatan pupuk cair organik ini sangat berpeluang untuk dijadikan sebagai lahan bisnis baru yang menjanjikan. Keunggulan VERMI Pupuk Cair Organik VERMI Pupuk Cair Organik ini merupakan hasil yang diperoleh dari peternakan cacing. Pupuk ini dapat dijadikan sebagai alternatif baru untuk mensiasati mahalnya pupuk kimia. Pupuk ini juga mampu menggantikan fungsi dari pupuk kimia (anorganik) serta sangat efisien. Disamping itu pupuk ini dalam formula cair yang akan lebih mudah diserap oleh akar tanaman. Kandungan unsur hara baik mikro maupun makro yang tinggi akan meningkatkan produktifitas tanaman. Bahan baku dari VERMI Pupuk Cair Organik ini berupa bahan alami yaitu sampah organik rumah tangga yang telah diuraikan oleh cacing tanah sehingga tidak akan meninggalkan residu berupa bahan kimia pada hasil panen sehingga produk hasil panen yang dihasilkan lebih aman bagi kesehatan. Melihat karakteristik kawasan Unnes seperti demikian, maka untuk memperoleh bahan baku dan memasarkan produk usaha ini tergolong tidak terlalu sulit. Bahan baku dapat diperoleh dari sampah makanan rumah-rumah makan di kawas a n

Unn e s ataupun dari sampah organik rumah-rumah penduduk. Sedangkan lahan untuk beternak cacing dapat dengan mudah ditemukan yaitu dengan memanfaatkan pekarangan kos mahasiswa. Dengan menggunakan sampah organik sebagai makanan cacing, dapat diperoleh pupuk cair organik yang bebas bahan kimia berbahaya. (Muhammad Noor Ahsin)


N ua n s A 125 TH XX/2009 Jejak perjuangan para pahlawan memang patut dikenang. Tapi, nilai kepahlawanan adalah ‘benda’ abadi selama dijaga kelestariannya. Penghormatan terhadap pahlawan, sekaligus usaha untuk mempertahankan semangat juangnya, bisa dilakukan dengan berbagai cara. Semarang Onthel Club (SOC) misalnya, mengekspresikan penghormatan kepada pahlawan dengan mengenakan pakaian khas perang kemerdekaan. Tepat pada peringatan Hari pahlawan 10 November lalu komunitas ini melakukan parade di Jalan Pahlawan Kota Semarang. Pakaian boleh lusuh, Onthel kita kayuh, semangat tak boleh luruh. (Foto: Arif Z. Nurfauzan, Teks: Rahmat)

Jepret


14

Perjalanan

N ua n s A 125TH XX/2009

Keindahan Pesanggrahan Sultan di Taman Sari Setiap purnama Sultan beserta keluarga berkunjung ke Taman Sari untuk bersenang-senang, tetirah, dan bersemadi.

S

berkeliling seputar Keraton Yogyakarta dan salat dzuhur di Masjid Gedhe Yogyakarta, saya bersama kawan saya, Irvan Muzaki, meluncur ke Taman Sari, sekitar 0,5 km sebelah selatan Keraton Yogyakarta. Cuaca panas coba saya kikis dengan membayangkan kesegaran kolam pemandian Sultan. Taman Sari merupakan taman kerajaan atau pesanggrahan Sultan Yogya dan keluarganya. Sebenarnya selain Taman Sari, Kesultanan Yogyakarta memiliki beberapa pesanggrahan, antara lain: Warungboto, Manukberi, Ambarbinangun, dan Ambarukmo. Semuanya berfungsi sebagai tempat tetirah dan bersemadi Sultan beserta keluarga. Namun, hanya pada masa Sultan Yogya I hingga Sultan Yogya III saja Taman Sari digunakan. Taman Sari dibangun pada masa Sultan Hamengkubuwono I, yakni sekitar akhir abad XVII Masehi, tepatnya pada tahun 1691 M (tahun 1765 pada kalender Jawa). Dengan sentuhan arsitektur bangsa Portugis, Taman Sari menjelma menjadi sebuah bangunan bercitarasa seni Gapura Panggung (Pintu Belakang) - Sejak di sekitar Gapura Agung (Pintu Utama) terbangun rumah-rumah penduduk, Gapura arsitektur Eropa yang sangat kuat. Panggung menjadi pintu depan bagi para wisatawan. Gambar bawah: Kalamakara - Kalamakara adalah salah satu simbol Hindu Meski demikian, makna-makna yang masih melekat dalam arsitektur Taman Sari, berfungsi sebagai penangkal bala. (NuansA/M. Rifan Fajrin) simbolik Jawa juga erat melekat. Jika diamati, makna unsur bangunan Jawa tetap lebih dominan. selesai mandi. Selain itu, arsitektur Taman Sari Dahulu setiap purnama, atau sebenarnya juga merupakan perpa- ketika Sultan menghendaki, Sultan duan dari berbagai agama dan kea- beserta keluarga akan mengunjungi rifan berbagai kebudayaan. Simbol tempat ini. Mereka masuk melewati dari agama Hindu pun terdapat Gapura Agung yang akan langspada bangunan ini. Salah satunya ung disambut dengan tari-tarian adalah Kalamakara yang terdapat penyambutan seperti tari Serimpi, di setiap gapura Taman Sari. Ka- atau tari-tarian lain yang diciptakan lamakara diyakini merupakan pe- sendiri oleh Sultan. nolak bala yang hendak masuk ke pesanggrahan Sultan. Sedangkan Bagian-bagian Taman Sari pintu-pintu yang dirancang tidak Secara umum Taman Sari terterlalu tinggi sehingga seseorang bagi menjadi tiga bagian. Pertama yang hendak melewatinya akan se- adalah bagian Sakral, yaitu sebuah dikit menunduk, memiliki makna bangunan yang agak menyendiri. bahwa setiap orang haruslah saling Di dalamnya terdapat ruangan semenghargai sesamanya. bagai tempat pertapaan Sultan dan Setelah membayar tiket masuk keluarganya. seharga Rp. 3.000,- saya masuk leBagian kedua adalah kolam pewat Gapura Panggung yang sebenar- mandian, yakni bagian yang dinya pada awalnya merupakan pintu gunakan Sultan dan keluarganya belakang. Pintu utama pada awal- untuk bersenang-senang. Bagian nya adalah Gapura Agung. Namun, ini terdiri dari tiga kolam, yang disejak di sekitar Gapura Agung ter- sebut dengan Umbul Sari, Umbul bangun rumah-rumah penduduk, Pamuncar, dan Umbul Binangun. Gapura Panggung kemudian menjaUmbul Sari adalah kolam temdi pintu masuk bagi para wisatawan. pat Sultan mandi bersama selirnya Setelah masuk, saya langsung yang terpilih pada saat itu. Umbul melihat empat bangunan di kanan Sari terpisah dari Umbul Pamuncar kiri saya. Empat bangunan itu dina- dan Umbul Binangun, dipisahkan makan Gedong Sekawan. Gedong dengan bangunan bertingkat. UmSekawan adalah tempat para pena- bul Pamuncar adalah kolam tempat buh gamelan yang mengiringi tari- mandi para selir Sultan. Sedangkan tarian untuk menghibur raja setelah Umbul Binangun adalah kolam etelah


N ua n s A 125 TH XX/2009

15

Perjalanan

Gambar Kiri: Seorang pengunjung melihat-lihat hasil kerajinan batik lukisan yang banyak dijumpai di sekitar Taman Sari. Di sini, pengunjung bisa pula mencoba sendiri membatik di atas kain. Gambar kanan: Sauna – Inilah tempat Sultan beristirahat, menghangatkan badan setelah mandi di kolam. (NuansA/M. Rifan Fajrin)

tempat mandi anak-anak Sultan. Air selalu memancar dari pancuran berbentuk singa. Di pinggir-pinggir kolam terdapat pot-pot besar, dan kurungan tempat binatang kesukaan Sultan, ayam bekisar. Di sekitar kolam juga terdapat beberapa ruangan yang berfungsi sebagai tempat sauna Sultan dan tempat ganti pakaian. Bagian ketiga adalah Pulau Kenanga. Bagian ini terdiri dari beberapa bangunan, yaitu Pulau Kenanga atau Pulau Cemeti, Sumur Gemuling, dan lorong bawah tanah. Pulau Kenanga atau Pulau Cemeti adalah sebuah bangunan tinggi yang berfungsi sebagai tempat beristirahat, sekaligus sebagai tempat pengintaian. Disebut Kenanga karena jika dilihat dari atas, bangunan seolah-olah menyerupai bunga teratai di tengah kolam yang sangat besar.

Sumur Gemuling adalah sebuah bangunan melingkar yang berbentuk seperti sebuah sumur yang di dalamnya terdapat ruangan-ruangan yang konon dahulu berfungsi sebagai tempat salat. Adapun lorong-lorong yang ada di kawasan ini dahulu konon berfungsi sebagai jalan rahasia yang menghubungkan Taman Sari dengan Keraton Yogyakarta. Bahkan, terdapat legenda yang menyebutkan bahwa lorong ini tembus ke pantai selatan yang merupakan jalan bagi Sultan Yogyakarta untuk bertemu dengan Nyai Roro Kidul. Sayang sekali, saya belum berkesempatan mengunjungi Pulau Kenanga. Sebab, bagian ini sedang dalam proses renovasi. Masjid Saka Tunggal, Kerajinan Batik, dan Pasar Ngasem Berjalan beberapa meter dari

bangunan utama, saya menjumpai Masjid Saka Tunggal yang memiliki keunikan hanya satu buah tiang pada bangunan utama. Keunikannya inilah yang menjadikan Masjid Saka Tunggal sebagai aset wisata hingga saat ini. Masjid ini dibangun pada abad XX, selesai dibangun pada Jumat Pon 21 Rajab 1392 H atau 1 September 1972 M. Oleh Sri Sultan Hamengkubuwono IX, Masjid Saka Tunggal diresmikan pada Rabu Pon, 28 Februari 1973. Keunikannya tetap dapat menjadi aset di kompleks ini. Selain keunikan itu, Taman Sari juga terkenal dengan kerajinan batiknya. Para wisatawan yang berkunjung dapat berbelanja maupun melihat secara langsung pembuatan batik yang berupa lukisan atau konveksi. Bahkan, terkadang para wisatawan pun dapat pula menjajal membatik sendiri di atas kain.

Tidak jauh dari Taman Sari, dapat dijumpai Pasar Ngasem yang merupakan pasar tradisional dan pasar burung terbesar di Yogyakarta. Beberapa daya tarik pendukung inilah yang membuat Taman Sari menjadi salah satu tujuan wisata Keraton Yogyakarta.[] M. Rifan Fajrin

Gambar Bawah: Umbul Sari – Umbul Sari adalah kolam tempat mandi Sultan bersama selir yang terpilih. (NuansA/M. Rifan Fajrin)


16

Artikel Jateng Pelopor Energi Alternatif

N ua n s A 125TH XX/2009

Oleh Surahmat *

P

emadaman listrik bergilir yang dilakukan PLN di berbagai daerah adalah buntut panjang dari kelangkaan minyak. Kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM), kelangkaan gas elpiji, dan pemadaman bergilir bisa jadi merupakan kejadian yang saling berkorelasi. Buktinya PLN kerap mengatakan pemadaman terjadi karena pengurangan pasokan BBM ke pembangkit sehingga produksi listrik berkurang. Meski seruan peghematan sudah lama didengungkan, tapi tak membawa dampak besar. Di sejumlah daerah, bahkan ibu kota Jakarta, pemadaman terus terjadi. Meski bukan yang pertama, krisis energi yang kita alami, bisa jadi adalah yang terburuk sepanjang sejarah kelistrikan nasional. Bar kali ini pemerintah mengemukakan ide-yang sedikit gila-untuk merubah hari libur bagi sejumlah produksi agar penggunaan listrik merata. Akibatnya, pengusaha yang mengaku terus menerus merugi protes. Mereka mengancam akan memPHK sejumlah karyawan. Sedangkan investor asing juga tak klah geram, mereka mengancam memindahkan investasinya ke negara lain. semua itu terjadi karena satu hal; kelangkaan energi.. Sebenarnya, untuk meningkatkan produksi listrik nasional dalam waktu dekat PLN akan membangun 40 pembangkit baru. Produksi listrik ke 40 pembangkit baru itu ditarget mencapai 10.000 MW. Namun 75 persen di antaranyaa masih menggunakan bahan bakar batu bara, sehingga rentan menimbulkan masalah lingkungan. Menurut data PLN, dari seluruh pembangkit listrik yang dimiliki, 30 persen masih

menggunakan BBM, sedangkan 23 persen lainnya menggunakan batu bara. Menipisnya cadangan minyak nasional kian memprihatinkan. Meski ladang-ladang minyak baru terus dibuka, hasil produksi nasional tidak cukup untuk menghandle kebutuhan minyak dalam negeri. Disarankan, Pertamina juga mesti mulai berinisiatif menambah kepemilikan ladang minyak di luar negeri, seperti di Timur tengah atau Afrika. Namun untuk mewujudkannya, diperlukan pendekatan politik yang intensif dan sistematis. Sedangkan selama ini diplomasi kita dikenal masih lemah. Sudah saatnya, minyak tidak menjadi tumpuan produksi energi nasional. Selain terus mengeksplorasi ladangladang minyak, diperlukan langkah sistematis agar kelangkaan energi seperti yang saat ini kita alami tidak terulang. Pemerintah, baik pusat maupun daerah, mesti fokus pada pemberdayaan potensi lokal, termasuk dengan mengembangkan sumber energi alternatif. Energi Alternatif Di Indonesia, cadangan panas bumi yang tersebar di seluruh wilayah diperkirakan mencapai 27.000 MW, sedangkan yang dapat dimanfaatkan baru 900 MW. Artinya, hanya 3, 34 persen energi yang tersedia yang sudah dapat dimanfaatkan. Di Jawa Tengah juga terdapat sumber energi panas bumi, antara lain tersebar di Dieng (Wonosobo), Guci (Tegal), Baturaden (Banyumas) dan Gedongsongo (Semarang). Selain potensi tambang, Jawa Tengah sebenarnya memiliki keunggulan dalam produksi energi bio diesel. Iklim tropis, luas lahan, kesuburan tanah, dan curah hujan sangat memun-

gkinkan pertumbuhan bahan baku biodiesel seperti kelapa sawit, tebu, singkong, jagung, dan sorghum. Belum lagi adanya nipah, jarak, sagu dan enceng gondok. Namun sumber energi alternatif tersebut belum dimanfaatkan sepenuhnya. Pengolahan bijih buah jarak contohnya, Sebenarnya dapat diolah sebagai pengganti minyak. Namun, meski ide ini muncul sejak lama, belum ada produksi secara massal, baik oleh pemerintah maupun swasta. Padahal di Jawa Tengah tersedia lahan cukup luas untuk membudidayakan jarak. Sedangkan tebu, yang antara lain dimiliki daerah Brebes dan Bumiayu sejauh ini hanya dimanfaatkan sebagai bahan baku gula. Padahal tebu juga dapat diolah sebagai penghasil etanol. Potensi peternakan Jawa Tengah, antara lain di daerah Sragen, Banyumas, dan Blora juga potnesial dikembangkan gas biodiesel berbahan baku kotoran ruminansia. Jika diproduksi massal, gas ini dapat menggantikan fungsi elpiji, baik untuk rumah tangga maupun industri. Sedangkan di Boyolali terdapat potensi pabrik tahu yang ampasnya dapat diolah menjadi bahan bakar gas (BBG). Aliran sungai besar di Jawa Tengah, dengan debit air 1,57-552 m2 /detik, juga terkesan kurang pemanfaatan. Gerak air dapat dimanfaatkan sebagai pembangkit listrik mokrohidro. Ini mungkin dilakukan mengingat beberapa sungai di Jawa Tengah memiliki debit air yang cukup. Sungai–sungai potensial ini antara lain tersebar di Banyumas, Jepara, Kendal, Kebumen, Cilacap, Banjarnegara, dan Blora. Oleh penduduk setempat, aliran sungai sebe-

narnya pernah dimanfaatkan. Namun karena keterbatasan alat, listrik yang dihasilkan masih sangat kecil dan hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga. Dalam pemberitaan di sebuah televisi nasional, pernah pula ditayangkan seorang warga di sekitar waduk Jenderal Soedirman (Banjarnegara) yang mengolah tanaman enceng gondok menjadi gas. Melalui proses fermentasi, enceng gondok dapat diolah menghasilkan etanol. Oleh penemunya, gas tersebut hanya digunakan untuk keperluan rumah tangga seperti memasak. Hal ini membuktikan bahwa masyarakat sebenarnya sudah memiliki inisiatif, namun belum terfasilitasi. PLN Jateng dan DIY mencatat, terjadi peningkatan rumah tangga pengguna listrik hingga 2,12 persen. Hingga 2007 saja tinggkat elektrifikasi mencapai 66,23 dari keselurah jumlah penduduk. Angka tersebut diperkirakan akan terus meningkat mengingat pertambahan penduduk dan perluasan jaringan. Bahkan PLN Jateng dan DIY menargetkan pertambahan pelanggan hingga 200.000 per tahun. Jika tidak diimbangi dengan peningkatan jumlah pembangkit, pasokan listrik tidak akan mencukupi. Target PLN mungkin akan sulit terwujud jika pembangkit masih mengandalkan BBM. Sudah saatnya produksi listrik berpaling ke energi alternatif yang lebih efisien dan ramah lingkungan. Dan dengan potensi yang dimilikinya, Jawa Tengah bisa menjadi pelopor. Mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia FBS Unnes

Kampus Konservasi, Jangan Sekadar Nama Oleh Yudi Ristu Prihawan* Berbagai spanduk bernada dukungan serta permohonan dukungan, baliho besar yang dipenuhi harapan dan tujuan. Pemandangan tersebut jamak terlihat akhir-akhir ini, semuanya menyuarakan keinginan Unnes unuk menjadi kampus konservasi. Keinginan Unnes untuk menjadi kampus konservasi sejauh ini masih terlihat sebagai keinginan sekumpulan orang atau kelompok, dalam hal ini pihak rektorat. Mahasiswa Unnes yang merupakan bagian dari kampus ini seperti masih kurang dilibatkan dalam kegiatan Unnes menuju kampus konservasi, padahal kita tahu bahwa mahasiswa merupakan bagian dari civitas akademika Unnes yang memiliki jumlah paling besar. Mahasiswa kurang mendapatkan informasi seperti apakah konsep Unnes sebagai kampus konservasi, mereka kurang mendapatkan pengarahan tentang apa dan bagaimana peran mereka dalam menyukseskan program ini, bahkan ada yang tidak tahu apa itu kampus konservasi. Komunikasi yang kurang baik antara rektorat dengan mahasiswa dan civitas akademika Unnes lainnya berdampak pada kurangnya kesadaran civitas akademika Unnes tentang arti penting menjaga lingkungan. Belum berhasilnya program tong sampah organik dan anorganik hasil kerjasama Lemlit Unnes dan Mahapala Unnes,

AC kantor di fakultas-fakultas yang menyala 24 jam, semakin banyaknya kendaraan bermotor di lngkungan kampus, sampai sepeda beberapa Dekan dan Pembantu Dekan yang terparkir rapi karena tidak digunakan. Hal-hal seperti ini yang dapat menjadi duri dalam daging jika Unnes ingin menjadi kampus konservasi. Un tuk menumbuhkan jiwa cinta lingkungan pada warga Unnes terutama mahasiswa,ada beberapa cara yang dapat digunakan. Para pejabat selayaknya memberikan contoh yang menunjukkan bahwa mereka serius menjadikan Unnes sebagai kampus konservasi. Di samping itu, mahasiswa harus dili-

batkan dalam program-program Unnes yang terkait dengan kampus konservasi, sehingga mereka merasa menjadi bagian di dalamnya. Langkah Unnes untuk menjadi kampus konservasi patut kita hargai. Selagi kampuskampus lain sibuk dengan pembangunan gedung-gedung megahnya, Unnes menyempatkan diri untuk mengabdi pada lingkungan. Menunjukkan kepedulian Unnes dalam mengatasi masalah yang sedang dihadapi seluruh warga bumi, pemanasan global. Program kampus konservasi Unnes tidak akan berjalan lancar jika tidak ada kerjasama antar civitas akademika Unnes. Jika pun berhasil,

akan sulit menjaga dan merawatnya tanpa kesadaran civitas akademika tentang arti penting program ini. Dibutuhkan gerakan bersama, kesadaran bersama,dan kerjasama seluruh civitas akademika Unnes dalam mewujudkannya. Untuk mengubah sesuatu yang besar, mulailah dari hal yang kecil, hal yang ada di dekat kita, serta diri kita sendiri. Kampus koservasi bukan hanya sebuah nama, kampus konservasi adalah kampus yang mampu membuat, menjaga, dan memperbaiki ekosistem di dalamnya, kampus yang mampu melestarikan flora dan fauna langka di kawasannya (Jawa Tengah), kampus yang ramah lingkungan, serta kampus yang mampu membawa warganya untuk mencintai lingkungan. Usaha Unnes menjadi kampus konservasi diharapkan membuka jalan menuju kampus yang sehat, unggul, dan sejahtera. Sehat, unggul, dan sejahtera bagi seluruh civitas akademika Unnes dan warga sekitarnya. Mahasiswa Jurusan Kurikulum dan Teknologi Pendidikan Unnes 2007


N ua n s A 125 TH XX/2009

17

Artikel

Televisi Jadi Kebutuhan Primer Fajri Esti Nur Amalia

T

elevisi saat ini merupakan media yang pasti tak asing lagi di telinga kita. Bahkan, menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam kahidupan. Televisi sudah bukan barang mewah, hampir semua orang memiliki kotak ajaib ini. Saat ini televisi telah menjangkau lebih dari 90 persen penduduk di negara berkembang. Televisi yang dahulu mungkin hanya menjadi konsumsi kalangan tertentu, saat ini bisa dinikmati semua kalangan. Menonton televisi bukan lagi dijadikan sebagai hiburan, namun kebutuhan primer yang harus dipenuhi. Tercatat Indonesia merupakan salah satu negara dengan frekuensi menonton televisi yang tidak sedikit, berkisar 7 jam per hari. Di Jepang dan Singapura frekuensi menonton televisi hanya 2 jam per hari, sedang di Malaysia hanya 3,5 jam per hari. Fakta di atas membuktikan bahwa masyarakat Indonesia hampir sepertiga waktunya sehari digunakan untuk menonton televisi. Berbagai tayangan disuguhkan untuk memanjakan pemirsa mulai dari reality show, kuis, infotainment, sinetron, drama, komedi, hingga tayangan musik yang saat ini sedang marak. Suguhan acara televisi yang variatif dan menarik membuat orang tak bisa beralih dari televisi, bahkan di saat bekerja pun orang masih dapat meluangkan waktunya untuk menonton televisi. Pemakaian televisi saat ini tidak lagi efektif karena fungsinya tidak lagi sebagai hiburan, namun kebutuhan primer hingga nampaknya sehari tidak menonton televisi tidak bisa dilakukan masyarakat Indonesia. Terlalu banyak menonton televisi

membawa dampak negatif bagi pecandunya, seperti terabaikannya tugas dan kewajiban, menumbuhkembangkan sifat malas, meningkatkan obesitas (kegemukan) dengan suguhan cemilan, mengurangi intensitas bermain pada anak-anak, hingga alzaimer (pikun). Bahkan dampak negatif bagi kesehatan dapat merusak mata. Waktu menonton televisi 7 jam per hari seharusnya dapat digunakan untuk hal yang lebih bernanfaat seperti belajar, berlatih musik ataupun kegiatan lainnya daripada menonton tayangan yang tidak jelas manfaatnya. Berdasarkan survei, lebih dari setengah anak-anak di AS mempunyai televisi di kamar mereka. Usia remaja paling banyak menonton televisi di kamar dan hampir sepertiga anak-anak prasekolah memiliki televisi di kamar mereka dan menghabiskan lebih banyak waktu untuk menonton televisi. Tanpa disadari televisi merupakan media yang paling cepat masuk dan merangsang otak manusia. Penyampaian melalui audio visual yang dapat dicerna indera penglihatan dan pendengaran melalui tayangan gambar dan suara mudah masuk dan dirangsang otak sehingga tak jarang otak kita dikendalikan televisi tanpa kita sadari. Kasusnya biasanya dijumpai ketika seorang ibu menitikkan air mata ketika menonton telenovela di televisi, hal tersebut karena pengaruh televisi masuk ke dalam perasaan dan otak ibu tersebut. Sedikit banyak pengaruh televisi telah banyak membentuk pola pikir manusia. Hendaknya televisi menjadi media penyampai informasi yang memberikan tayangan yang dapat memberikan tuntunan dan manfaat bagi masyara-

kat. Apabila televisi tidak bisa memberikan tuntunan sebagaimana mestinya maka televisi dapat merusak generasi muda Indonesia. Seringkali kita jumpai anak-anak yang mengaplikasikan apa yang ia tonton di televisi dalam kehidupan seharihari. Banyaknya tontonan yang tidak mendidik saat ini seharusnya menjadi wacana tersendiri bagi pemerintah. Hendaknya seorang anak didampingi ketika menonton televisi dan dalam menonton televisi masyarakat harus lebih pandai menyeleksi mana tontonan yang sekaligus dapat menjadi tuntunan. Berbagai channel menghiasi televisi, dampaknya masyarakat menonton lebih dari satu channel dalam satu waktu. Apalagi saat ini persaingan antarstasiun televisi semakin gencar. Tanpa disadari hal tersebut membawa dampak negatif bagi pekembangan jiwa manusia, seperti menurunnya konsentrasi. Penelitian Hancox RJ.Association of Television Viewing During Childhood with Poor Educational Achievement Arch Pediatr Adoelesc Med 2005 menunjukan anak lebih dari 3 tahun yang menonton televisi mengalami gejala penurunan uji membaca, uji mrmbaca komprehensif, dan penurunan materi serta dapat menurunkan daya intelektualitas pada anak usia 3 tahun. Anak yang terlalu banyak menonton televisi cenderung mengalami gejala

penurunan uji menulis dan membaca karena terlalu sering mendengar bahasa lisan atau audio visual pada televisi. Agar penggunaan televisi dapat efektif, tidak adanya salahnya kita mulai membatasi diri dalam menonton televisi dengan mengurangi frekuensi menonton, serta lebih selektif dalam memilih tontonan televisi. Selain itu mendampingi anak bila menonton televisi. Jadikan televisi sebagai selingan hiburan, bukan kebutuhan atau kebiasaan! MahasiswaPendidikan Seni Rupa 2008

Trisula Rakyat (Seharusnya Tak) Saling Jerat Oleh M. Taufan Aliyudin

T

risula dalam mitologi Hindu adalah senjata milik Dewa Siwa berupa tombak bermata tiga. Menganalogikan trisula sebagai senjata penegak hukum, maka ketiga mata tombaknya adalah Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri), Kejaksaan Agung (Kejagung), dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Tiga lembaga institusi penegak hukum yang berkewajiban menegakkan keadilan dan memberikan rasa aman dan nyaman kepada masyarakat. Siwa sebagai dewa perusak bagi orang yang bijaksana adalah dewa penyeimbang alam semesta. Sementara bagi orang yang penuh dosa, Siwa digambarkan sangat menyeramkan dan begitu menakutkan. Maka, begitulah seharusnya lembaga-lembaga penegak hukum di Indonesia, mampu berperan sebagai penyeimbang dan tegas terhadap setiap pelanggaran. Namun, sebuah preseden buruk ketika aparat dari dua institusi negara, Polri, dan KPK terlibat konflik dan saling cekik. Sebuah kondisi yang justru merusak citra dan melemahkan kedua institusi sebagai lembaga penegak hukum. Sesuatu yang seharusnya tidak perlu terjadi jika tidak ada suatu kepentingan yang menunggangi. Ini terjadi karena ketiga institusi (Polri, Kejagung, dan KPK) memiliki tugas yang serupa. Hal inilah yang menyebabkan terjadinya tumpang tindih kewenangan yang memicu gesekan antara kepentingan masing-masing lembaga. Meski sebenarnya masing-

masing institusi memiliki tanggung jawab dan wilayah kerja sendiri-sendiri. Wilayah kerja itulah yang menentukan kewenangan setiap institusi. Kejaksaan Agung (Kejagung) adalah lembaga penyelenggara kekuasaan negara di bidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan undangundang, yang berkedudukan di ibukota dan daerah hukumnya meliputi wilayah kekuasaan Negara Republik Indonesia. Sementara Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) adalah Kepolisian Nasional Indonesia yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden. Polri sebagai institusi penegak hukum, memiliki tugas utama menjaga keamanan dan ketertiban di dalam negeri. Sebagai pengayom masyarakat, Polri dituntut untuk memberikan rasa aman dan nyaman kepada masyarakat. Di satu sisi, permasalahan yang harus diselesaikan Polri begitu kompleks. Mulai dari ancaman terorisme, pemberontakan, masalah kriminalitas, korupsi, masalah lalu lintas, dan sebagainya. Untuk menanganinya, Polri memiliki prosedur dan kewenangan untuk menyelidiki, menangkap, menahan, dan memperkarakan suatu pelanggaran ke pengadilan. Namun dengan anggaran yang kecil dan tanggung jawab yang begitu besar, Polri tak mampu menangani seluruhnya. Maka untuk menangani permasalahan korupsi yang tak mampu diselesaikan secara optimal oleh Polri, pada tahun 2003 dibentuk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). KPK dibentuk bertujuan untuk mengatasi,

menanggulangi, dan memberantas korupsi di Indonesia secara profesional, intensif dan berkesinambungan. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, KPK adalah lembaga negara yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun. Dalam UU No 30 Tahun 2002 tersurat bahwa salah satu tugas dan wewenang KPK adalah berkoordinasi dengan pihak berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi. Maka jelas, perseteruan dan saling serobot wewenang antar lembaga penegak hukum ini semestinya tak terjadi, karena lembaga-lembaga ini seharusnya saling mendukung dalam memberantas korupsi yang merajalela di negeri ini. Kisruh Polri-KPK Kisruh antara Polri dan KPK adalah murni kasus oknum-oknum terkait yang tak seharusnya melibatkan institusi dari kedua lembaga tersebut. Namun, ada orang-orang yang berkepentingan ikut memperkeruh suasana. Ada pihakpihak yang sengaja ingin mendiskriditkan kepolisian dan KPK sebagai lembaga penegak hukum. Polri dalam hal ini sebagai lembaga hanyalah kambing hitam dari pihak yang menginginkan pembubaran terhadap KPK. Polri dijadikan alat yang seolah-olah hendak mengerdilkan KPK. Hal ini dikarenakan kepolisian adalah lembaga yang paling sering bergesekan ketika ada kasus-kasus yang

menjerat orang-orang di KPK. Sementara KPK adalah sebuah lembaga independen yamg memiliki prestasi cemerlang dalam mengungkap kasus-kasus korupsi di negeri ini. Langkah sigap KPK dalam memberantas korupsi membuat para koruptor ngeri. Tak terhitung berapa koruptor yang telah diseret KPK ke meja hijau. DPR, pejabat, kepolisian, bahkan kejaksaan agung pun jadi incaran KPK. Maka tak heran kalau ada pihak-pihak yang mencoba menghentikan langkah berani KPK. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengatakan kasus polri dan KPK tidak hanya masalah hukum, tapi sudah masuk ke ranah sosial politik. Disadari orang yang paling bergembira dari perang saudara yang terjadi dalam tubuh instansi pemerintahan ini adalah para koruptor yang dapat bebas berkeliaran menjarah uang rakyat. Pemerintah dalam hal ini presiden seharusnya mampu mengambil langkah-langkah yang tepat dan bijak untuk menyelamatkan dua lembaga penegak hukum ini..Bagi Polri, Kejagung, dan KPK sebagai trisula rakyat semestinya tak saling jerat dan saling sikat. Tiga mata tombak ini seharusnya saling jaga dan melindungi untuk kepentingan rakyat. Maka, selalu ada yang terluka dalam setiap pertempuran, tetapi sebisa mungkin yang terluka tak lantas ditinggalkan dan dibiarkan mati berlahan. Mahasiswa Fakultas Bahasa dan Seni (FBS) Unnes


18

Bumi, Kita & Air

Artikel

N ua n s A 125TH XX/2009

Oleh Yassir A. Hatta El-Makoalloe*

B

agi kita di sini mendapatkan air bukanlah hal yang sukarsukar amat, tinggal putar kran, air mancur dihadapan. Akan tetapi, di sejumlah negara Afrika dan Asia ada mereka yang harus berjalan kaki enam kilometer bahkan lebih (± 12 km/pp), hanya untuk mendapatkan satu jerigen air bersih. Sebagian anak-anak di sana bahkan tak lagi punya waktu buat bersekolah karena harus mengambil air dan meminumi ternak. Bumi kita sering disebut juga sebagai planet biru karena memang setidaknya 75 persen permukaan bumi tergenang air laut. Di kulit bundar bola dunia, refleksi langit di permukaan lautan tampak biru bila dipandang dari bulan. Bahkan dalam Buku Cerdas, Edi Sigar (2003) sempat disebutkan bahwa hampir 95 persen kulit bumi sebenarnya terendam air. Hanya 5 persen daratan yang membentuk gugus pulau dan benua yang “nongol” di permukaan laut. Itulah sebabnya, 97.5 persen dari seluruh jumlah air di bumi adalah air asin, dan hanya 2.5 persen saja yang merupakan air tawar. Dan dari jumlah yang sedikit itu, pun tidak semua manusia di bumi ini mudah mendapatkannya. Hanya 0.025 persen saja yang dengan cukup mudah bisa digunakan karena berada di permukaan kulit bumi: sungai-sungai, rawa, danau, sungai, dan kali. Diperkirakan 1.5 miliar orang di berbagai belahan dunia terpaksa menggunakan air yang tercemar atau meminum air yang sudah terpolusi. Diperkirakan pula 15 orang meninggal setiap hari akibat air tercemar yang mereka minum. Dalam air yang terkontaminasi (tercemar) terkandung berbagai bakteri, virus, dan renik (microorganisme) berbahaya bagi kesehatan yang dapat memicu demam, diare, serta berbagai penyakit. Seberapa Penting Air bagi Kehidupan Kita? Tubuh manusia 65 persen terdiri dari cairan. Hampir seluruh bagian dan organ tubuh kita membutuhkan air:

otot, kulit, saraf, anggota tubuh dari ujung kaki hingga ujung rambut memerlukan air. Para ahli sepakat, mampu bertahan hidup tanpa minum selama lebih dari enam hari dapat dikatakan sebuah keajaiban.

Berapa Banyak Air di Bumi? Va z k e n Andréassian, seorang ahli air dari Perancis, dalam bukunya Allons Nous Manquer d’Eau menuliskan persediaan air di muka bumi adalah sekitar 40 triliyun meter kubik. Jumlah air itu tidaklah berkurang volumenya, ia tetap sama sejak dahulu hingga sekarang. Akan tetapi, kebutuhan kita akan air-lah yang terus meningkat seiring jumlah penduduk bumi yang semakin padat dan industri terus bertambah-lipat. Air yang bisa kita minum dan gunakan juga menyusut karena pencemaran. Air comberan di got depan rumah adalah bagian dari 40 ribu miliar meter kubik volume air di muka bumi ini, tetapi masih maukah meminum dan mandi dengan air hitam itu? Air tawar permukaan yang digunakan untuk pengairan tanaman pangan dan peternakan mencapai 75 persen. Untuk mengolah berbagai bahan sehingga menjadi sepotong hamburger dibutuhkan sekitar 2.400 liter air, dan untuk membuat satu unit laptop dip-

erlukan sekitar 1.500 liter. Dan pabrik elektronik membutuhkan sekitar 18 juta liter air per hari guna membersihkan rangkaian panel-panelnya. Jumlah itu setara dengan kebutuhan air sebuah kota berpenduduk 60.000 jiwa. Ongkos yang harus kita bayar, suatu ketika, untuk 1 liter air mungkin akan lebih mahal ketimbang harga 1 liter beras dan bensin. Saat ini saja gejala itu sudah mulai kita rasakan. Di Afrika saat kemarau b e rk e p a n jangan, harga sebotol air minum bisa ditukar dengan seekor anak kambing atau domba. S u m ber daya air merupakan salah satu unsur penting penopang kehidupan. Kerusakan dan kehancuran ekosistem air dapat memicu ekosida (ecocide), kepunahan suatu masyarakat beserta peradabannya. Untuk hidup masyarakat bergantung kepada kemurahan alam, baik sebagai ruang hidup, sumber pangan, penghasil oksigen, penyedia air, dan alam sebagai lingkungan (ecosystem) penopang kehidupan. Penurunan kualitas dan kerusakan ekosistem air akan berdampak luas, seperti hilang sumber-sumber pangan dan vegetasi (tetumbuhan) penting dapat berujung kepada kekeringan dan kelaparan, bencana alam, serta kepunahan berbagai spesies yang hidup dari

mata rantai ekosistem air. Penyusutan daya dukung alam bagi kehidupan sebuah masyarakat atau bangsa manusia juga dapat memicu konflik dan peperangan. Di Afrika misalnya, Somalia, Burundi, dan Kongo terlibat dalam perang Darfur yang salah satu akar konfliknya adalah perebutan sumber daya air (Kompas 16/04/09, Brigita Isworo L: Jalan Menghindar dari Ekosida)

Konflik antarnegara juga mungkin terjadi karena sebuah sungai tidak mengenal istilah perbatasan. Ia melintasi beberapa negara sekaligus. Sungai Euphrate misalnya, bersumber di Turki, aliran airnya melintasi Syiria, dan berakhir di Irak. Menjelang beberapa kilometer dari perbatasannya dengan Syiria, Turki membangun kanal-kanal irigasi untuk membelokkan aliran sungai Euphrate ke arah lahan pertanian mereka.

Apa Yang Bisa Kita Perbuat? Menumbuhkan kesadaran. Kesadaran untuk menggunakan air secara bijaksana, berhemat, menjaga dan melestarikan sumber-sumber air bersih, serta bersungguh-sungguh mengurangi pencemaran. Bagaimana caranya? Meninggalkan kebiasaan-kebiasaan buruk, seperti membuang sampah dan limbah ke kali dan sungai, tidak menggunakan pestisida secara serampangan, serta tidak “berfoya-foya” saat mandi dan mencuci, sebab selain boros, deterjen dari sabun mandi dan cucian termasuk bahan yang mencemari tanah dan air bersih, membiarkan kran mengucurkan air percuma, dan tentu saja segala bentuk perbuatan yang merusak alam dan lingkungan kita. * *Komprador “Gerakan Hemat Air Bersih” Sumber Referensi:

Geo Ado No. 73 Mars 2009 >> www.geoado.com Sigar, Edi. 2003. Buku Cerdas. PT. Pustaka Delaprasta. Kompas 16 April 2009. Pusat Dokumentasi El-Makoalloe. Berbagai sumber.

Kemiskinan Struktural Oleh Peni Kisworo W)* “Mas Bendi masih ingat kan, teman-teman kuliah kita dulu? Agar mendapatkan beasiswa, mereka harus meminta surat keterangan tidak mampu kepada Pak Lurah.” (Mujiana A. Kadir, 2005:119) Kini, kemiskinan sebagai bagian struktur negara dan bangsa. Adanya bantuan langsung tunai (BLT) dari dana kompensasi kenaikan harga BBM memberikan wacana baru terhadap kemiskinan. Paling tidak ini dinyatakan oleh paguyuban kepala desa/lurah seJawa Tengah, “bila dulu orang merasa malu terdaftar sebagai warga miskin, sekarang orang menggunakan berbagai cara agar dia termasuk miskin.” Ya, hal itu memang sangat fenomenal. Sungguh tak pernah terbayangkan, bila bangsa ini ternyata telah mengalami pergeseran pandangan, dari merasa malu miskin menjadi tidak malu, bahkan berjuang untuk miskin. Ada apa sebenarnya dengan kemiskinan di negeri ini? Apa sebenarnya yang menyebabkan bangsa ini ternyata tidak hanya miskin materi tetapi juga miskin moral

dan bermental miskin? Bagi yang masih berpikir waras, tentu akan sangat menyadari, menjadi orang miskin memang memalukan. Tentang pergeseran pandangan dan sikap masyarakat terhadap keniskinan, tentu tidak terjadi begitu saja dan tiba-tiba. Secara logika kausatif, adanya akibat pasti karena ada sebab. Lalu, apa sebab yang mengakibatkan bangsa ini mengalami pergeseran sikap ingin menjadi miskin yang didororng oleh mental miskin. Penyebab tersebut dapat ditelusuri sejak terjadinya krisis moneter pada sekitar awal tahun 1998. Sejak itu, pemerintah melalui Departemen Sosial (Depsos) kala itu, membagikan nasi bungkus gratis kepada rakyat yang memang mengalami kesulitan memenuhi kebutuhan pokok. Lalu, pada tahuntahun berikutnya disusul dengan bantuan beras bagi kaum miskin (raskin). Mengalami kejadian ini, masyarakat masih malu-malu kucing untuk menerima bantuan. Tetapi, karena kondisi perekonomian di negeri ini tak kunjung membaik dan masyarakat semakin tertekan, bantuan itu menjadi sebuah harapan. Apalagi, ada oknum-oknum yang menyunat, atau bahkan menggel-

apkan raskin itu, lalu hidupnya menjadi kecukupan. Ini membuat masyarakat sadar, ternyata haknya yang disia-siakan telah membuat segelintir orang lebih sejahtera. Selain itu, masyarakat yang mulai frustasi menghadapi kehidupan yang tak kunjung menjadikan nasib membaik, perlahan mulai merasakan enak mendapat bantuan. Di sisi lain, pemerintah yang berkuasa karena didorong oleh kepentingan politik, semakin ofensif memberikan sumbangan-sumbangan secara langsung, bahkan ada program pengentasan kemiskinan. Program itu dilakukan secara sistematis dan strukturalis dengan menginventerisasi dan mengklasifikasi keluarga yang ada di negeri ini. Ada keluarga prasejahtera, sejahtera I, dan keluarga sejahtera. Standar yang digunakan, seberapa besar dalam ukuran nominal, pengeluaran keluarga itu untuk memenuhi kebutuhan konsumsi. Karana standar yang digunakan pemenuhan kebutuhan konsumsi, maka pemerintah memberikan bantuan beras. Mungkin, agar keluarga yang mendapat bantuan tidak susah-susah lagi bekerja, tapi sudah dapat makan gratis. Tanpa disadari, dan mungkin tak

pernah dipikirkan oleh siapa pun, pejabat pemerintah, anggota perwakilan rakyat, pejabat negara, bahkan akademisi, bahwa hal itu akan membentuk mental miskin pada masyarakat kita. Mengapa? Yah, karena ternyata bangsa ini hanya berfikir dan memandang segala persoalan secara parsial dan insendental, tidak terbiasa berfikir dan memandang secara komprehensif dan memecahkan masalah secara subtansial. Kini, masyarakat telah sadar, bahwa miskin adalah bagian dari struktur bagsa dan negara ini, sehingga mereka merasa rugi bila tidak miskin. Mujiana A Kadir, dalam novelnya Dua Perempuan mengungkapkan, kemiskinan harus dientaskan, semata-mata sebagai pijakan politikus untuk menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), atau agar bisa menjadi pejabat, bukan orang-orang miskin yang dientaskan. Orang-orang miskin itu cukup di tempatkan pada posisi strukturalis, agar lebih jelas dan sistematis.)*. * Alumni Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, FBS, Unnes.


N ua n s A 125 TH XX/2009

19

Budaya

Kritik Sastra Akademis Telah Mati Oleh Surahmat*

N

Eres, penyair muda yang sedang menempuh pendidikan di Universitas Negeri Semarang, barangkali satu-satunya mahasiswa yang berkesempatan menempatkan puisinya pada Kumpulan Puisi Pena Kencana 2008 yang diklaim berisi 60 puisi Indonesia terbaik 2008. Dengan begitu ia berkesempatan menyejajarkan puisinya dengan puisi-puisi lain karya penyair besar seperti Timur Sinar Suprabana, Ikranegara, atau bahkan Triyanto Triwikromo, meski capaian esetetisnya tetap berbeda. Sayangnya, sebagai mahasiswa ia tidak mendapat suplai kritik sastra yang cukup dari perguruan tinggi tempatnya belajar. Meski produktif berkarya Nana Eres seperti linglung ke mana harus membawa puisi-puisinya. Di tengah hingar bingar kehidupan akademis ia justru merasakan kesepian di tengah belantara sastra. Oleh karena itulah sekali waktu penyair ini berselingkuh dengan karya ilmiah dan jurnalistik, dunia yang sebenarnya cukup berjarak dengan dunia kepenyairan. Persoalan Nana Eres adalah miniatur kondisi kritik sastra akademis kita beberapa tahun belakangan ini. Perguruan tinggi ternyata tidak mampu menumbuhkan iklim kritik sastra yang baik meski lembaga ini dikenal sangat getol pada pengembangan keilmuan. Lebih ironis lagi karena kondisi ini tidak melulu terjadi pada mahasiswa tetapi juga pada dosen-dosen fakultas atau jurusan sastra. Realitas ini terjadi karena mahasiswa dan dosen terjebak pada rutinitas keilmuan yang profan. Dosen, bahkan di fakultas sastra sekalipun, terjebak rutinitas mengajar, sedangkan mahasiswa terjebak rutinitas kuliah. Dosen terjebak kesibukan mencari mata pencaharian, sedangkan mahasiswa terjebak keasyikan mencari nilai supaya mendapatkan ijazah yang dapat melegitimasi gelar kesarjanaannya. ana

Sudah sejak lama fakultas dan jurusan sastra dikritik karena tidak mampu menghasilkan sastrawan. Kritikan tersebut patut terus ditujukan mengingat kondisi fakultas sastra memang demikian sampai sekarang. Sastrawansastrawan b e s a r yang lahir, seti-

daknya dalam satu dekade terakhir, kebanyakan justru lahir dari disiplin ilmu lain. Untuk membela diri, fakultas sastra biasanya berdalih bahwa kurikulum fakultas sastra memang tidak didesain untuk menghasilkan sastrawan melainkan kritikus sastra. Namun jika dicermati, dalih itu rasanya juga kurang dapat dipertanggungjawabkan mengingat iklim kritik sastra di perguruan tinggi juga redup, untuk tidak dibilang mati suri. Musabab persoalan ini dapat diidentifikasi melalui tiga perspektif. Pertama, ada kekeliruan mendasar dalam pengajaran sastra di perguruan tinggi. Hingga kini masih saja ada anggapan bahwa sastra adalah karya yang diciptakan melalui keterampilan imajinasi dan intuisi belaka sehingga tidak mungkin dipelajari. Padahal keterampilan mencipta karya sastra adalah proses yang bisa ditempuh melalui latihan.

Memang harus diakui, pencapaian estetis dalam proses penciptaan karya sastra awalnya memang melalui imajinasi dan intuisi. Namun penjelama-

an i n tuisi d a n imajinasi dalam karya sastra sudah barang tentu berupa struktur bahasa yang dapat dipelajari. Misalnya, pencapaian estetis melalui gaya bahasa, diksi, dan topografi adalah hal yang tampak dan tentu saja bisa dipelajari. “Wahyu dan wahyu ada dua. Tidak semua wahyu adalah wahyu,” kata Chairil Anwar. Wahyu dalam proses penciptaan karya sastra pertama berupa imajinasi dan intuisi, sedangkan wahyu kedua adalah tahap penjelmaan wahyu pertama, berupa teknik. Kekeliruan kedua, para akademisi tampaknya terhegemoni oleh filsuf dan pujangga lama yang menempatkan sastra dalam tahta agung intelektualitas. Dosen sastra masih menganggap sastra sebagai jenis seni yang luhur sehingga tidak bisa disentuh oleh sembarang orang. Demikian pula kritik sastra, masih dianggap sebagai ilmu para empu sehingga tidak patut jika dimiliki siapa saja. Realitas ini dapat kita lihat pada tradisi kritik sastra yang selama ini hanya melibatkan sastrawan dan kritikus di kalangan ekslusif. Untuk mengkritik puisi karya Sapardi Joko Damono

yang telah sohor, misalnya, hanya bisa dilakukan kritikus sekelasnya. Dalam contoh lain, cerpen-cerpen Triyanto Trikromo yang dua di antaranya masuk dalam Kumpulan Cerpen Terbaik Kompas 2008, seolah-olah hanya patut dikritisi Linda Christanty atau Rocky Gerung yang sama sohornya. Ketiga, terdapat renggang yang sangat lebar antara kehidupan sastra di perguruan tinggi dengan dinamika kesusasteraan yang sebenarnya. Sebagai sebuah produk budaya, sastra mengalami akselerasi setiap saat. Bahkan karena pencapaian estetis karya sastra sering dilakukan dengan mendobrak pakempakem lama, pembaruan terus menerus terjadi. Sedangkan kehidupan sastra di perguruan tinggi dapat dikatakan lamban karena terkungkung ketentuan akademis-ilmiah yang kaku. Mau tidak mau kita harus mengakui bahwa cara berpikir akademis-ilmiah adakalanya menjebak dosen dan mahasiswa pada pola pikir struktural. Semua hal, termasuk kritik sastra, harus dilakukan dengan prosedur yang telah ada sesuai struktur karya sastra. Kondisi ini membuat hanya kritik sastra strukturalis yang berkembang di perguruan tinggi. Semua jenis karya sastra, baik puisi, prosa, maupun drama, seolah hanya patut dikritisi dengan pendekatan struktural yang cenderung linear dan menyerupai anualitas bongkar-pasang karya sastra. Padahal, tulis Acep Iwan Saidi dalam Matinya Dunia Sastra (2006), kritik sastra mestinya bergerak bebas ke segala arah. Jarak yang terlalu lebar membuat akademisi sastra seperti hidup dalam keasyikan dunia teori tanpa persinggungan dengan dinamika sastra yang sesungguhnya. Mahasiswa sastra pun terlalu asyik berkelana dari teori sastra satu ke sastra lain tanpa aktualisasi yang memadai. Memprihatinkan bukan? * Penikmat karya sastra Pegiat Komunitas Nawaksara

Anekdot Sangat Miskin

Mahasiswa Biologi dan Mahasiswa Ilmu Komputer

Hakim dan Pencuri

Seorang bapak dengan baju compang-camping datang berobat ke dokter. Setelah diperiksa, dokter pun memberi penjelasan. Dokter : “Pak, setelah sampai di rumah minum obat ini tiga sendok sehari ya.” Bapak : “Waduh nggak bisa dokter.” Dokter : “Kenapa?” Bapak : “Sendok saya di rumah cuma dua!” Dokter : “???”

Ada mahasiswa Biologi tengah berbincang dengan mahasiswa Ilmu Komputer (IKom) .

Seorang dokter melihat Dalam persidangan ada pasiennya sedang membuat kopi, kemudian meseorang pencuri yang sudah beberapa kali ma- masukkan sebutir obat ke dalamnya. Dengan pesuk bui. nasaran dokter bertanya Hakim berkata kepada terdakwa : “Saya sudah kepada si pasien. “Obat apa yang kamu masukan katakan kepada kamu, saya tidak ingin melihat ke kopimu?” “Obat penurun panas, biar kamu di sini lagi.” kopinya cepat dingin,” ka“Pak Hakim,” pencuri tanya. berkata, “saya sudah berusaha mencoba untuk menjelaskan kepada polisi, tetapi mereka selalu tidak mau mendengarkan. “

Mahasiswa Biologi : “Pusing nih. Sampai sekarang aku ngga tahu kapasitas otak manusia itu berapa?!” Mahasiswa IKom : “Ah, masa gitu aja susah?!” Mahasiswa Biologi : “Emang kamu tahu jawabannya?” Mahasiswa IKom : “Gampang aja. Klik kanan aja trus pilih properties ntar ada tuh keterangannya di sana.”

Obat Panas

Ayu Purwaningrum


20

Budaya

N ua n s A 125TH XX/2009

Pertobatan Parmin Oleh M. Rifan Fajrin*

D

ari sebuah bilik kamar yang cukup sederhana, sayup-sayup terdengar desah nafas yang terputus-putus, suara seorang lelaki yang sedang mengaji dengan nada yang tak beraturan, terbata-bata, dan seringkali tersendat dan berhenti. Jika ada orang yang cermat menyimaknya, dan kebetulan juga tahu artinya, lelaki itu berhenti pada tempat-tempat yang tidak pas, baik pada pemenggalan kata atau kalimatnya. Harakat fathah, kasrah, tanwin, dan sebagainya pun juga terbaca masih sering keliru daripada betulnya. Namun demikian, sangat bisa dirasakan kesungguhan hati lelaki yang membaca ayat-ayat Quran itu. Setelah selesai membaca ayat, lelaki itu pun menyempatkan diri membaca terjemahnya. Tidak seperti halnya ketika membaca ayat, dalam membaca terjemah, lelaki itu sangat lancar. “Dan Kami perintahkan kepada manusia agar berbuat baik kepada kedua orang tuanya. Ibunya telah mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula). Masa mengandung sampai menyapihnya selama tiga puluh bulan, sehingga apabila dia (anak itu) telah dewasa dan umurnya mencapai empat puluh tahun, dia berdoa, ‘Ya Tuhanku, berilah aku petunjuk agar aku dapat mensyukuri nikmat-Mu yang telah Engkau limpahkan kepadaku dan kepada kedua orang tuaku, dan agar aku dapat berbuat kebajikan yang Engkau ridai, dan berilah aku kebaikan yang akan mengalir sampai kepada anak cucuku. Sungguh aku bertobat kepada Engkau, dan sungguh aku termasuk orang muslim.” (Al-Ahqaf: 15) Setelah selesai, dengan penuh adab lelaki itu menutup mushafnya pelan, menciumnya agak lama dengan mata sedikit terpejam, kemudian meletakkannya di atas lemari pakaiannya. Lelaki itu tak lain dan tak bukan adalah Parmin. Sungguh! Siapa pun tak pernah menyangka, bahwa di usianya yang hampir kepala empat, Parmin berubah begitu frontal. Kehidupan yang semrawut: sekujur badan penuh tato bunga-bunga, tengkorak, wajah atau body perempuan telanjang, hingga tato anjing, mulai dari kaki, punggung, hingga leher; rambut berantakan; berulang-kali keluar-masuk bui; tak pernah punya penghasilan tetap, kecuali hanya sebagai tukang palak, juga preman jalanan; saban hari nenggak ciu, pil koplo, main perempuan; ternyata bisa juga dia berubah jadi orang alim. Sungguh-sungguh subhanallah! Belum jelas apa sebabnya. Namun, bagi orang-orang yang rindukan ketenangan, tentu, apa pun sebab-musababnya, mereka tak mau terlalu ambil pusing. Kejadian langka ini patut disyukuri. Terutama bagi ibunya Parmin, Mak Paini, yang sampai menangis antara percaya dan tidak percaya. Yang jelas Mak Paini dan juga semua orang menyambutnya dengan sangat bahagia. Jika ada yang tak bahagia, pastilah bala kurawanya Parmin yang jadi merasa kecut sebab kekuatannya anjlok. Walaupun memang masih ada juga perasaan was-was di benak orang-orang, masih ada keraguan, kalau-kalau Parmin belum benar-benar tobat. Janganjangan Parmin cuma tobat sementara. Cuma kamuflase! Wah, ini yang namanya bahaya laten! Artinya suatu saat Parmin bisa saja kembali jadi bajingan! Hingga kejadian ini menjadi perbincangan yang meluas seantero kampung, Parmin sendiri belum membe-

rikan konfirmasi atau keterangan apa pun perihal perubahannya itu. Ia belum menggelar konferensi pers, istilah canggihnya, seperti yang dilakukan artis-artis. Parmin masih saja bungkam. Ada satu-dua yang bilang, semua itu gara-gara polisi sekarang lagi gencargencarnya razia preman yang selama ini dianggap cukup meresahkan. Siapapun memang sudah mafhum jika ditanya bagaimana kekurangajaran Parmin. Maka, sangat mungkin bagi Parmin kalau situasi itu cukup membuatnya gelisah. Jadilah ia memilih tobat, berhenti jadi preman. Tapi opini publik yang paling santer berhembus, pertobatan Parmin itu bukan lantaran razia preman. Melainkan telah terjadi pengala-

man spiritual dalam diri Parminlah yang membuatnya berubah. Mak Paini yang dianggap paling tahu luar dalam tentang Parmin menuturkan, dua hari sebelum pendeklarasian pertobatan Parmin, pada dini hari yang sepi Parmin menangis dan berlutut di kakinya. Terang saja Mak Paini yang sedang meniup tungku hendak membuat api untuk masak bubur, kaget campur heran atas kejadian yang tak disangkanya itu. “Kamu ini ada apa to, kok pagi-pagi begini nangis keras-keras?” “Ampuni Parmin, Mak. Huu huu huu…” “Iya, tapi ada apa?” “Huu huu huu… Saya ngimpi ketemu Bapak, Mak. Terus Bapak marahmarah. Huu huu huu.” “Lha kenapa marah?” “Bapak bilang, ‘Kamu sudah tua, Parmin! Tapi masih suka bergurau seperti bocah bayi! Lihat ibumu yang payah memberimu makan saban hari!’

begitu kata Bapak, Mak,” Parmin tersengal-sengal. “Oalah to Le, Le. Bapakmu bilang begitu?” “Iya, Mak. Malah kalau Parmin tak segera tobat, Parmin bisa masuk neraka, katanya. Aduh mati aku, Mak, Bapak bilang tidak mau menolong jika benar kejadiannya begitu!” Emak cuma terbengong-bengong, termenung dan mengelus-elus tengkuk Parmin yang tampak kusam dengan tato kepala anjing. “Makanya, Min, mulai sekarang kamu mesti jadi orang bener...” Parmin terus menangis. “Tapi, gimana nanti orang-orang?” “Nggak usah dipikirin!” *** Sebagaimana Hittler yang menjadi te-

nar sebab menjagal ribuan nyawa, ternyata memang tidak melulu orang baikbaik saja yang bisa terkenal, bajingan tengik macam Parmin juga bisa kondang meski levelnya masih antarkampung. Karena kebrengsekannya, Parmin menjadi banyak dipergunjingkan orang. Malah jika dipikir-pikir, mendadak Parmin justru menjelma mirip-mirip selebritis yang memainkan peran-peran antagonis. Ia dibenci, tapi sekaligus dicari-cari. Diam-diam banyak juga lho yang penasaran ingin lihat tampangnya si Parmin. Tidak dulu tidak sekarang, bukan Parmin namanya kalau tidak bikin sensasi, selalu membuat heboh orangorang. Setelah membuat heboh dengan pertobatannya itu, kini Parmin menggemparkan seisi kampung dengan mengutarakan niatnya ingin pergi haji bersama ibunya, Mak Paini. Dimin yang pertama kali tahu keinginan Parmin, sebab Parmin sendiri yang langsung mengutarakan niatnya

itu kepadanya, dengan cepat membagi hot gossip itu kepada orang-orang. Hasilnya tak usah ditanya, di mana-mana orang – kecuali anak-anak yang memang belum cukup umur dan juga belum cukup mengerti akan hitam-putih kehidupan – membicarakannya, baik anak-anak muda lelaki dan perempuan, bapak-bapak, dan tak ketinggalan ibuibu. Dan dasar isi kepala orang memang berbeda, ada-ada saja yang mereka perbincangkan meski tetap satu tema, niat Parmin untuk naik haji. “Parmin mau naik haji? Apa tidak salah dengar?” “Benar! Orang dia sendiri yang bilang kok! Dan aku belum tuli, tau?!” sahut Dimin mangkel tapi sekaligus bersemangat. Sebab, ibarat wartawan ia merasa telah menulis headline, laporan utama. “Aneh-aneh saja si Parmin. Naik haji kan juga perlu ongkos. Lha terus dari mana ongkos kalau dia cuma pengangguran begitu?” “Ah, mungkin dia punya tabungan.” “Tabungan dari mana? Dari sisa nyopet dulu?” “Hush! Awas kedengaran si Parmin nyahok kamu!” Parmin sendiri juga tidak terlalu menggubris ocehan orang-orang. Ia tak menanggapi serius aduan dari Dimin yang cerita soal tanggapan orang-orang itu. Tak seperti dulu yang bawaannya marah-marah melulu, Parmin sekarang terlihat lebih santai. Ia hanya senyumsenyum saja. Dalam hati ia membatin, toh tidak ada yang tahu, bahwa ia telah menyiapkan kotak khusus untuk menyisihkan uang demi keperluan naik haji, dan benda itu tidak boleh diganggu gugat untuk kepentingan apa pun maupun kondisi bagaimana pun juga! Setiap hari kotak itu selalu diisinya, meski tidak seberapa rupiah yang dimasukkannya. Namun, Parmin rupanya sudah terlanjur sangat percaya pada perkataan Ustad Mansur tentang kesaktian Tuhan yang sangat mungkin dengan kuasa-Nya mudah saja melipatgandakan uangnya menjadi berpuluhpuluh, beratus-ratus, atau beribu-ribu kali lipat, bahkan sekehendak-Nya. “Sudahlah, Kang. Biarkan saja. Niat itu ada dalam hati kok.” *** Sebenarnya bukan seratus persen salah Parmin yang rasan-rasan ke Dimin soal naik haji itu. Tapi, niat soal sesuatu yang masih baru rencana sebaiknya memang jangan cepat-cepat disiarkan secara luas, begitulah nasihat Rasul. “Lha sekarang, kalau ditanya mau dengan apa kamu naik haji, bagaimana? Naik haji itu ongkosnya mahal lho, Min. O-En-Ha sekarang naik. Tidak cukup tiga puluh juta! Kalau kamu berdua sama emakmu, hitung saja biaya yang musti kau keluarkan!” cerocos Dimin. “Aku juga sedang berusaha kok, Kang,” kata Parmin santai. “Setidaknya kalau memang mentok tidak bisa, aku sudah punya niat! Dan niat baik itu kata Ustad Mansur sudah berpahala lho, Kang!” “Iya, iya. Aku juga tahu! Tapi bagaimana jika ditanya seperti tadi? Aku kan bingung menjawabnya? Mana aku yang jadi tempat konfirmasi!” gerutu Dimin. “Salah sendiri bilang-bilang.” “Lha kan kamu sendiri yang ngomong ke aku?” protes Dimin. “Iya, tapi waktu itu aku kan ngomong ke sampeyan, jangan disebar ke orang-orang, bisa ribut mereka nanti!” ***


21

N ua n s A 125 TH XX/2009 Berita keinginan Parmin untuk naik haji itu akhirnya sampai juga ke telinga Ustad Mansur. Ia menjadi agak-agak merasa bersalah. Bagaimana pun ustad kan juga manusia. Ia merasa sedikit tidak enak kepada Parmin yang lama-lama – karena memang sifatnya sekarang yang tidak terlalu cepat terbawa emosi dan lebih sering tersenyum saja – orang semakin berani mengoloknya, atau lebih tepatnya mengolok niat Parmin untuk naik haji. Padahal dulu pas jadi preman, tidak banyak yang berani sama Parmin. Termasuk Ustad Mansur yang sedikit enggan juga untuk sekadar mendekati Parmin, apalagi mengajaknya kepada ketaatan. Sejak Parmin bertobat, memang Ustad Mansurlah yang paling sering menasihatinya perihal kewajiban beragama. Beliau yang memperbarui syahadat Parmin, menekankan pentingnya salat lima waktu kepadanya, menganjurkan menyisihkan rizki untuk berzakat, dan mewanti-wanti agar jangan sampai meninggalkan puasa Ramadhan. Dan entahlah, apa mungkin karena kesempatan, aji mumpung, atau memang karena skenario dari Tuhan yang memang dirancang seperti itu – yang mana Parmin kebetulan masih mau belajar agama, sebelum dia bosan – Ustad Mansur gigih menyemangati dan menjejali otak Parmin dengan macam-macam ibadah. “Dan dengan menunaikan haji ke tanah suci berarti telah menyempurnakan agama, Min!” ucapnya waktu itu. Tak disangkanya, ucapan itu begitu membekas di relung hati Parmin yang diam-diam begitu berhasrat untuk menunaikannya. Satu hal yang membuat Ustad Mansur sedikit bisa bernafas lega adalah usia Parmin yang kini telah genap empat puluh tahun, bahkan lebih sedikit beberapa bulan. “Berapa umurmu sekarang?” tanya Ustad Mansur suatu ketika. “Empat puluh jalan, Ustad,” jawab Parmin tanpa tahu maksud Ustad Mansur menanyakan hal itu kepadanya. “Alhamdulillah,” sahut Ustad Mansur dengan tersenyum. Ustad Mansur sangat lega men-

dengar jawaban Parmin. Sebab, ia masih meyakini, bahwa seseorang yang di usia empat puluh tahun berhasil mendapatkan hidayah, maka sejatinya itu adalah tanda-tanda bahwa ia akan selamat, berakhir baik, khusnul khatimah. Selanjutnya, kehidupan yang dijalaninya adalah kehidupan yang baik, memperbanyak amal, dan meminimalisir kemungkaran. Sebaliknya, seseorang yang hingga usia empat puluh tahunnya masih saja berkubang dalam lumpur dosa, maka itu adalah tanda-tanda bahwa ia akan berakhir buruk, suul khatimah. Dan Parmin dalam analisis Ustad Mansur adalah tipe orang yang pertama. *** Sikap Parmin sih berubah begitu frontal, menjadi tidak garang lagi. Barangkali itu salah satu alasan di samping ketakjelasan mengenai apa pekerjaannya sekarang, menjadikan orang-orang semakin ngawur saja menggunjing Parmin. Dan siapa yang patut disalahkan jika akhirnya bahaya laten itu benar-benar menyeruak, Parmin kembali menjadi sampah? Siapa pula yang paling menyesal? Kejadian yang sangat patut disesalkan itu bermula ketika seperti biasa Dimin sedang nongkrong-nongkrong bersama orang-orang. Seperti biasa pula, mereka membicarakan perkembangan Parmin. Aneh memang, topik mengenai Parmin memang tak pernah basi sepertinya. “Eh, usut punya usut ternyata Parmin benar-benar sungguh-sungguh ingin pergi haji. Setiap hari ia menyisihkan uangnya dalam satu kotak khusus yang ditulisi H-A-J-I T-I-K-E-T S-UR-G-A. Subhanallah!” “Iya, tapi masalahnya tetap sama, dari mana uang itu? Apa mungkin duduk-duduk saja di masjid bisa menghasilkan uang?” “Uang bisa turun dari langit kali?” “Eh, tapi kan Mak Paini jualan bubur?” “Lho itu kan Mak Paini? Siapa yang pernah melihat Parmin ikut jualan? Tidak ada kan?”

“Ya ya ya.” “Jangan-jangan Parmin sudah dikasih mantra oleh Ustad Mansur.” “Ah! Ustad Mansur juga nggak kayakaya amat, kok!” “Tapi hajinya sudah tiga kali, tau?!” “Iya, tapi buat Parmin mungkin beda. Apa jangan-jangan Parmin memalak orang lagi dengan cara yang lebih halus?” “Maksudmu ngemis?” “That’s right! Betul!” “Ah, mana mungkin, ah! Orang Parmin sudah tobat kok.” “Tobat ya tobat. Tapi niat jadi orang baik dengan kondisi tak pernah punya uang, sedangkan ia sudah terlanjur biasa cari uang tanpa susah, menurutmu apa itu tak logis?” “Iya, ya. Hahaha!” Tawa riuh terdengar. “Awas! Hati-hati! Kalau kedengaran Parmin bisa nyahok kita! “Ah, Parmin sekarang lemah lembut, kok!” “Hahaha!” “Kayak putri Solo!” “Hahaha!” “Hahaha!” “Kok putri Solo? Memangnya Parmin perempuan?” “Habis lembut sih.” “Hahaha!” “Hahaha!” Tawa riuh kembali terdengar. Tapi gerumbulan laki-laki rumpi itu mendadak menjadi hening sejenak dan selanjutnya kocar-kacir berantakan ketika secara tiba-tiba Parmin menggasak kepala-kepala mereka dengan balok kayu, memukulinya tanpa ampun. Dengan menyingsingkan lengan bajunya, hingga memperlihatkan tato ular naga di sepanjang lengannya, sangat bernafsu Parmin mengayunkan balok itu. “Setan kalian!” “Ampun!” “Sorry, Min! Janji nggak ngolok lagi!” “Aaah!!!” Parmin semakin kalap saja menghajar kepala-kepala dan badan yang telah basah oleh darah itu. Mak Paini adalah orang yang paling

PUISI Keterpuruka n Dunia Aku menangis,. Menyaksikan dunia.. yang seolah tak peduli pada nenek-nenek tua renta tergopoh-gopoh berjalan di tengah keramaian kota, menyaksikan dunia yang mulai luntur nilai-nilai kemanusiaanya terkikis oleh masa menyaksikan dunia yang seolah tak punya hati menindas satu sama lain hanya untuk menaikkan dirinya, menyaksikan dunia yang tak peduli pada sekitar hanya dirinya, dirinya dan dirinya dalam benaknya! menyaksikan dunia yang setega itu menginjak keluarga demi keuntungan yang tak seberapa menyaksikan dunia yang semudah itu merampas yang bukan haknya sementara hak itu mendarah biru menyaksikan dunia yang semakin rusak karena tingkahnya menyaksikan dunia yang selalu haus akan hasratnya hingga lupa akan nikmat-Nya menyaksikan dunia yang tergilas oleh jaman hingga dipenuhi keserakahan! Setelah semua jauh, baru terasa dekat Setelah hilang baru terasa ada Setelah pergi baru terasa bermakna Ironisnya kita menyaksikan sendiri kejadian itu namun tak bisa berbuat apa-apa. Hanya terdiam tak berdaya!

Fajri

merana mendengar kabar penganiayaan itu. Dan itu diperparah lagi dengan kembalinya Parmin menjadi brengsek. Parmin minggat, sebab menurutnya jadi orang baik ternyata sama saja susah! Ia sudah melupakan sama sekali pertemuan dengan bapaknya dalam mimpi. Barangkali pula karena memang razia preman sudah tidak terlalu digalakkan lagi. Dan kini justru tersiar kabar kalau ia malah makin dihormati oleh anak buahnya dulu. Walhasil, dalam perkembangan selanjutnya, Mak Paini menjadi orang yang paling murung di kampung itu. Ia menjadi sering menangis karena ingat anaknya, Parmin. Ia juga selalu menangis ketika membaca Quran, sebab ia hanya bisa membaca terjemahan saja, dan selalu yang ia baca adalah terjemahan Quran surat Al-Ahqaf ayat 15, ayat favorit yang sering dibaca Parmin. Mak Paini sungguh menyesal, bahwa Parmin yang beberapa saat lalu sempat membahagiakan hatinya dengan sungguhsungguh berniat berbakti kepadanya, selalu menghibur dan bahkan mengajaknya naik haji, kini malah minggat tanpa sempat ia mencoba menyadarkannya kembali. Namun, Mak Paini bisa berbuat apa? Bahkan siapa yang patut disalahkan pun ia tak tahu. Setelah Mak Paini, tentu saja yang paling menyesal adalah Ustad Mansur. Ia hanya bisa geleng-geleng kepala menyadari keadaan. Setidaknya ia memperoleh pelajaran bahwa usia empat puluh bukanlah pakem mutlak yang menentukan akhir hayat seseorang seperti yang selama ini diyakininya. Juga pelajaran soal kehati-hatian membimbing seseorang. Ia benar-benar menyesal dan tak yakin dirinya bisa membimbing dan menasihati Parmin lagi. Diamdiam Ustad Mansur merasa takut jika suatu saat berhadapan muka dengan Parmin, jangan-jangan Parmin sangat membencinya! Wah bisa gawat! Kalau lagi tobat sih ia berani, ustad kan juga manusia! [] Ambarawa, 2009.

Tarian Sang Bintang Kini ku fahami… Yang indah tak mesti indah…. Yang serupa kau rayu mengoda…. Bila ingin kau peluk batin ku…. Meski itu aku…!!! Yang kau sinari dengan cahaya perak mu… Kau adalah kelembutan eksotis... Biar langit menderu sewarna... Mengapa bintang bersinar….?? Adakah dunia yang hendak ia beri untuk ku….?? Biar redup sinarnya dan kau lelah menari…. Mengapa bintang berkedip…?? Andai semua adalah mimpi… Kan ku ambil sepotong dan ku beri bingkai… Biar…!!! Biar abadi selamanya…. Kan ku pajang sebagai hiasan bilik hatiku… Bila hujan adalah takdir, Senja yang telah membawaku menemui takdir itu… Meski jauh…. Terbakar rasa, terbangkan asa tersisa…. Ku ingin lihat semua jadi indah….. Aliyudin M. Top


22

resensi

Menyatukan Tiga Kepingan Bonang Judul Pengarang Penerbit Tahun Kota Tebal halaman

: BONANG : Surahmat : Cipta Prima Nusantara : 2009 : Semarang : 312

Keniscayaan dalam dunia literer, khususnya sastra, adalah pembagian tugas antara penulis dan pembaca. Pembaca bertugas mengkonstruksikan makna, setelah penulis menyelesaikan tugas menghamburkannya. Relasi penulis dan pembaca dalam novel berjudul Bonang juga demikian. Sejumlah makna disajikan penulis secara berserakan, dan menuntut ketelatenan pembaca untuk merangkainya. Novel Bonang bercerita tentang sebuah keluarga kecil yang bertahan hidup di tengah kemarau panjang pertengahan tahun 60-an. Empat anak dalam keluarga ini diberi nama persis dengan gemelan. Si sulung bernama Kendang, adiknya bernama Saron, Bonang, dan Gambang. Sejatinya, kepala keluarga ini mengidamkan lahirnya seorang bocah laki-laki lagi agar kemudian diberi nama Bagong atau Gong. Meski hidup di desa, keluarga ini tak bisa menghindar ketika kisruh politik tahun 1965 mengemuka. Bahkan akibatnya dirasakan keluarga ini demikian parah, hingga pada akhirnya membuatnya berantakan.

Tiga Perspektif Cerita pokok yang diungkap penulis dalam novel ini mencakup tiga as-

pek kehidupan, yakni agama, sosial, dan budaya. Semuanya tersusun secara resiprokal menjadi bagian yang saling menyokong. Fakta-fakta sosial diungkapkan melalui pendekatan budaya dan agama. Pada aspek keagamaan penulis agaknya bersungguh-sungguh memberikan penekanan. Meski berusaha menghindari cap sebagai novel religius, konflik agama muncul dalam porsi yang dominan. Tidak semata-mata konflik antara penganut Islam dan golongan atheis, tapi juga hamba kepada Tuhannya. Sebab dalam konsep beragama yang berkembang masa itu, hubungan hamba dan Tuhan adalah pokok ajaran beragama. Dominasi persoalan agama tidak hanya muncul menghiasi tarik ulur cerita. Sejak awal, bahkan melalui pengantarnya yang singkat, penulis menekankan ada masalah serius dalam kehidupan beragama masyarakat kita. Keimanan yang setengah-setengah pada akhirnya tidak akan membawa pencerahan. Keraguan-raguan seorang pemeluk agama justru akan menjadi dilema, untuk tidak percaya atau iman secara total. Tampaknya persoalan agama sengaja dimunculkan penulis sebagai satire terhadap kehidupan agama dewasa ini.

N ua n s A 125TH XX/2009

Buktinya, meski diungkapkan dalam kerangka setting tahun 60-an persoalan tersebut ternyata sangat mutakhir. Problem keyakinan masih bisa dijumpai saat ini, bahkan di sekitar kita. Penyakit ragu dan mang-mang dalam beragama bisa jadi juga diidap oleh keluarga atau saudara-saudara kita. Setelah persoalan agama, aspek yang mendapat porsi besar penceritaan adalah masalah sosial-politik. Novel ini menuturkan secara detail bahwa kemiskinan memang bisa menjadi sumber persoalan. Tak hanya masalah keluarga, kemiskinan bisa memicuu konflik pelik antar kelas. Bagi korban sekaligus pelaku, kemiskinan adalah bencana yang amat mengerikan. Karena dari situlah bencana-bencana lain kemudian muncul. Kemiskinanlah yang pada akhirnya merubah perangai manusia yang penuh budi menjadi makhluk beringas tanpa batas. Berawal dari kemiskinan seluruh potensi kriminal bermunculan. Berlawanan dengan korban, bagi masyarakat kelas atas kemiskinan adalah kesempatan. Jika dikelola dengan baik, kemiskinan adalah sumber kekuatan yang luar biasa besar. Sebab, golongan miskin (yang sekaligus tidak cerdas) dapat digerakan untuk komoditas tertentu. Mereka direkrut menjadi sukarelawan pergerakan atau anggota partai demi kekuatan politik tertentu. Persoalan agama dan kemiskinan ternyata tidak cukup untuk melekatkan cerita dalam novel ini menjadi kerangka masalah yang utuh. Agar mampu melihat persoalan secara komprehensif diperlukan pemahaman budaya. Perspektif ini diperlukan mengingat tokoh dalam novel ini adalah kaum Jawa pinggiran. Memahami laku orang Jawa tanpa memahami aspek budayanya tentu akan nihil. Pembaca yang pemahaman budaya-

nya kosong tentu akan sangat geram menyimak laku tokoh Ibu dalam cerita ini. Ia sudah tahu bahwa suaminya berselingkuh, tapi masih mencium tangan saat suaminya pulang. Ia tahu bahwa suaminya pernah meninggalkannya, tapi masih merawatnya ketika sakit. Bahkan dengan sigap ia memberanikan diri menjadi tulang punggung keluarga ketika sang suami sakit. Sikap ini bisa dipahami dari perpekstif Jawa. Sebab istri (garwa) dalam entitas kebudayaan Jawa adalah sigaring nyawa, tindakan ini menjadi nalar. Bahkan sudah biasa. Di balik sikap sumeleh-nya, perempuan Jawa selalu bersikap cuncut tali wanda, yang dalam konsepsi Jawa diartikan sebagai tindakan siap bertanggung jawab mengambil alih komando keluarga. Cerita Bonang sangat mengagumkan. Penulis, yang tak lain adalah mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia FBS Unnes, memasukkan nilai edukasi dan history yang dikemas dalam bentuk cerita sehingga pembaca tidak merasa bahwa ia baru saja belajar tentang sejarah yaitu peristiwa G/30/S/PKI. Cerita yang menggunakan alur sorot balik ini begitu menggoda, penggunaan bahasa yang mudah dimengerti serta cerita yang tidak bertele-tele membuat pembaca tidak merasa jenuh, dan penulis berhasil menciptakan rasa penasaran kepada pembaca untuk segera menyelesaikan membaca buku ini. Sangat luar biasa, buku pendobrak peradaban. Sayangnya, cerita yang bagus ini tidak diimbangi dengan editing yang baik pula. Sayang sekali buku ini masih banyak kesalahan dalam pengejaan dan terdapat halaman yang sama. Blunder yang fatal. Sandra Novita Sari. Mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia UNNES

Menggerakkan Kemudi Harapan udul Buku : Bright Angel Time Pengarang : Martha McPhee Halaman : 448 halaman Cetakan : April 2009 Penerbit : Serambi

“Musim panas yang lalu, pada hari orang-orang pertama kali mendarat di bulan, Papa meninggalkan kami. Padahal, pagi itu dia berjanji pada kami akan menyetel TV kami di halaman menggunakan kabel panjang, jadi kami bisa mendongak menatap bulan sambil nonton tayangan TV dan menyaksikan bagaimana para astronot berjalan-jalan di sana. Papa janji akan menjelaskan kepada kami geologi bulan, tapi ternyata malah kabur bersama istri teman masa kecilnya dan membangun hidup barunya sendiri”. Kalimat tersebut disampaikan Kate Cooper, narator novel Bright Angel Time, setahun setelah ayahnya, Ian Cooper, meninggalkan rumah dan tidak pernah kembali untuk melanjutkan pernikahannya. Musim semi tahun berikutnya Eve, ibu Kate, jatuh cinta kepada lelaki bernama Anton Furey yang mampir di New Jersey sehubungan dengan pekerjaannya sebagai ahli terapi Gestalt. Anton bukanlah seorang pria lajang. Ia sedang terikat pernikahan dengan seorang mantan biarawati kaya dan memiliki lima anak. Namun, Anton memang memiliki daya tenung yang mampu

meluluhkan hati siapa pun, termasuk Kate dan dua kakaknya, Julia dan Jane. Lebih dari sebulan Anton meninggalkan New Jersey, Eve memutuskan menyusulnya. Anton telah berjanji akan menikahi Eve. Eve berniat mengejar cintanya, sedangkan ketiga anaknya, bertekad melindungi ibu mereka. Demi Anton, Eve membiarkan anak-anaknya terlepas dari kenyamanan rumah dan membawa mereka ke dalam perjalanan yang tidak nyaman. Saat rombongan Kate berjumpa dengan anak-anak Anton, mereka diperkenalkan dengan aktivitas dan percakapan yang tidak biasa dilakukan anak-anak. Anak-anak Anton adalah anak-anak hippie, biasa minum bir dan merokok. Pembicaraan mereka pun melampaui dunia Kate, seputar masa-

lah orang dewasa seperti aborsi dan perang Vietnam. Namun, kebiasaan anak-anak liar itu tidak menghentikan niat Kate dan saudara-saudaranya untuk menjalin persaudaraan. Apalagi, Eve, ibu mereka akan menjadi ibu anak-anak itu juga. Tinggal dalam satu naungan sebagai keluarga besar tidak jarang meletupkan pertikaian. Anak-anak Anton tidak sepenuhnya membiarkan diri mereka menghargai Eve. Suatu kali, masalah anak-anak itu memicu pertengkaran sengit antara Eve dan Anton hingga Eve nyaris meninggalkan Anton. Dalam hatinya, Kate sebenarnya ingin pergi ke Grand Canyon. Sebelum Ian meninggalkan rumah, Kate hidup dalam pesona cerita ayahnya tentang salah satu bebatuan Grand Canyon yang kerap dinyanyikan sang ayah dengan gembira, “Bright Angel –nama itu sungguh indah, meskipun sebenarnya tidak sesuai untuk nama suatu batuan, suatu shale dari periode Cambrian yang menunjukkan bahwa usianya sudah jutaan tahun.” Pada akhirnya, keingintahuan Kate itu menggerakkan kemudi menuju Grand Canyon, membuka jalan menuju harapan: masa Bright Angel–masa penuh berkat Tuhan, masa penuh janji. Tidak akan mudah, namun harapan tetap ada. Keistimewaan novel ini terletak pada penggunaan narator bocah perempuan berusia delapan tahun. Dalam keluguannya, ia tidak hanya menuturkan apa yang terjadi dalam hidupnya sepeninggal ayahnya. Tetapi juga mengangkat kehidupan orang dewasa di sekitarnya yang hidup seenaknya dan mengabaikan tanggung jawab. Menenteng

kesedihan dalam perjalanan, dibayangbayangi kenangan sang ayah, Kate tidak terpuruk ke dalam kondisi kehabisan harapan. Sebagai seorang anak yang mulai bisa memilah yang baik dari yang buruk, harapan menjadi modal penting bagi Kate untuk mengarungi hidup. Itulah yang tertangkap pada banyak tempat dalam narasinya. Keistimewaan lainnya adalah karakterisasi yang unggul. Para karakter dipersiapkan dan dibangun dengan kuat, akan gampang menjadi sosok tiga dimensi bagi pembaca. Selain itu, latar Amerika masa lalu yang mungkin merupakan kenangan si penulis terasa nyata. Walaupun dalam gaya penuturan masa kini, pembaca bisa meresapi suasana dan panorama masa lalu yang dituturkan pengarang. Novel ini lemah karena plot yang lambat dan kejutan yang nyaris nihil dari bab ke bab. Selain itu, munculnya keluarga seorang novelis pada bab ke17 dalam kilas balik cukup terkesan janggal karena pada bab-bab sebelumnya tidak pernah disinggung. Lagipula, kehadiran mereka tidak berkontribusi signifikan terhadap perkembangan dan penutupan novel. Secara keseluruhan, novel ini mampu menyampaikan pesan moralnya secara jelas, yaitu bahwa hidup ini semestinya dijalani secara apa adanya, dan tetaplah berharap walau dalam kondisi terjepit. (Ayu Purwaningrum - Mahasiswa Pendidikan Bahasa Inggris 2007)


N ua n s A 125 TH XX/2009

23

resensi

Demokrasi Itu Harga Mati Judul buku : Demokrasi La Roiba Fih Pengarang : Emha Ainun Nadjib Tahun Terbit : Juli 2009 Penerbit : Penerbit Buku Kompas

P

elaku utama demokrasi bukanlah Parpol, Majelis, dan Dewan Perwakilan Rakyat, Pemerintah atau Lembaga Negara apa pun yang lain. Pemeran utama demokrasi adalah rakyat yang sudah membuktikan diri sebagai rakyat yang bukan hanya tak bisa ditipu lagi politisi kelas manapun. Lebih dari itu, pada diri rakyat Indonesia sudah tak bisa dijumpai lagi alasan-alasan untuk diremehkan oleh masyarakat dunia. Warga negara dan pemimpin-pemimpin masyarakat yang mengambil keputusan untuk mencalonkan diri menjadi anggota legislatif bukanlah orang-orang yang sedang bermain-main di dunia politik. Paling tidak ada dua indikator bahwa mereka tidak mainmain. Pertama, mereka rela berkorban uang dalam jumlah banyak yang kadang melebihi jangkauan mereka sendiri. Untuk itu mereka harus menerapkan salah satu dimensi ”sufisme”, yakni ”rela kehilangan dunia”. Indikasi yang kedua, kebanyakan mereka bukan orang pengangguran yang men-caleg-kan demi ikhtiar penghidupan atau meningkatkan karier. Banyak yang dari mereka sudah sukses menjadi pengusaha, ulama mapan dengan segmentasi umatnya, ada juga artis ternama yang sudah ternama dan kecukupan, sehingga apa yang me-

reka sudah miliki tak a k a n b i s a ditamb a h i apa-apa dengan d i a menjadi wakil rakyat. Caleg adalah orang yang dermawan, sebelum pemilihan caleg membagikan kepada rakyat uang, karpet pengajian, pesawat televisi, pengaspalan jalan, pembangunan jembatan, dan bermacam-macam lagi. Sebenarnya bukan maksud mereka menonjol-nonjolkan kedermawanan, tetapi mereka harus berkorban agar masyarakat mengetahui dengan mata kepala sendiri bahwa mereka membutuhkan wakil rakyat yang mencintai mereka, yang orang baik dan dermawan, kalau perlu siap mengorbankan nyawa mereka demi kepentingan rakyat yanng suci. Kemurahan dan kedermawanan itu sangat gamblang menunjukkan betapa caleg ini bukan manusia mata duitan, tidak gila harta, mana mungkin orang yang gila harta malah bagi-bagi duit? Mustahil orang yang gila harta malah

membagi-bagikan harta, apalagi dalam jumlah yang sangat melimpah untuk ukuran masyarakat kebanyakan. Semula para caleg itu memang tulus ikhlas memberikan uang dan harta benda itu. Tetapi karena masyarakat banyak yang memfitnah bahwa caleg itu pamrih, membagi-bagikan harta untuk memenuhi ambisi, maka muncul kemuliaan spiritual dan kesadaran batin dari caleg itu. Jadi satu-satunya jalan untuk membebaskan mereka dari neraka adalah mengubah fitnah itu menjadi tuduhan yang mengandung kebenaran. Maka supaya masyarakat berubah status dari memfitnah menjadi pengungkap kebenaran, para caleg itu itu terpaksa berpamrih, demi keselamatan masyarakat yang semula memfitnahnya. Itulah latar belakang kenapa sesudah pengumuman pilcaleg, banyak di antara caleg yang tidak terpilih lantas meminta kembali uang dan macammacam harta itu dari masyarakat. Demi kemerdekaan masyarakat dari dosa fitnah dan dahsyatnya api neraka. Ada caleg yang rela berkorban berkeliling dari rumah ke rumah penduduk membawa cangkir sambil berkata ”Kembalikan uangku, kembalikan uangku” (halaman 40). Begitu cerdas dengan dibarengi humor yang dikemas secara apik, juga dengan bahasa yang komunikatif Cak Nun melalui Demokrasi La Roiba Fih mampu menyajikan hal yang rumit menjadi kalimat-kalimat yang enak dibaca namun multi tafsir, pemihakan pemerintah atau pemihakan pada masyarakat. Sebuah pandangan yang berbeda tentang demokrasi dan pemilihan legislatif. Membaca buku ini bagai dihadapkan pada problem-problem yang

dihadapi masyarakat, namun dengan cara pandang yang berbeda yang dapat memberi sebuah wacana untuk masyarakat dan pemerintah. Diakhir buku ini, Cak Nun memberikan contoh seorang pedagang bakso yang mempunyai jiwa khalifah, yang setiap kali menerima uang dari orang yang membeli bakso, ia mendistribusikan uang itu ke tiga tempat, ke laci grobaknya, ke dompetnya, dan ke kaleng bekas tempat roti. Selalu seperti itu, hingga Cak Nun bertanya padanya alasan menyimpan uang di dalam tiga tempat. Dengan tersenyun penjual bakso itu menjawab bahwa uang hasil kerjanya terdapat hak milik keluarga, milik orang lain, dan milik Tuhan. Uang yang dimasukkan dompet adalah hak anak dan istrinya, uang yang dimasukkan ke laci adalah hak fakir miskin, dan uang yang diletakkan di dalam kaleng itu ntuk nyicil biaya naik haji. Cerita pada tulisan terakhirnya ini membuat Cak Nun tertampar, betapa tidak, orang yang tidak melebihi pendidikannya, tidak lebih luas pengalamannnya, dan mungkkin bisa disebut kelas sosialnya tidak lebih tinggi darinya, namun ia tidak pernah mengucapkan kalimat seperti yang diucapkan tukang bakso itu, ”Di antara pendapatanku ini terdapat milik keluargaku, orang lain, dan milik tuhan. Keseluruhan tulisan Cak Nun memberikan ketenangan batin, mencerahkan hati dan pikiran kita. Memberikan jalan bagaimana seharusnya kita bersikap terhadap berbagai persoalan di negeri kita atau mengenai negeri orang lain. Nur Laili Naomy

Info Pengetahuan

Penemuan Air di Bulan

B

ukti kuat tentang adanya air di permukaan bulan telah ditemukan oleh tiga penelitian spektroskopis berbasis-satelit terpisah. Meskipun jumlah air yang ada kelihatannya kecil, namun ini dianggap berpotensi bermanfaat bagi para astronot yang mengunjungi bulan. “Pemeriksaan-pemeriksaan sebelumnya hanya mendeteksi hidrogen dan tidak pernah dibuktikan dengan apa hidrogen tersebut terikat,” kata Roger Clark di US Geological Survey di Denver, yang juga terlibat dalam dua dari penelitian ini. “Sekarang telah dilaporkan pendeteksian ikatan kimia OH dan H2O.” Carle Pieters di Brown University, US, dan timnya – yang anggotanya termasuk Clark – menganalisis data

yang diambil selama berlangsungnya misi India’s Chandrayaan-1 di akhir tahun 2008. Spektrometer M3 (moon mineralogy mapper) NASA merekam serapan inframerah (IR) di dekat 2,8 sampai 3,0 mikrometer – yang konsisten dengan OH dan H2O – mendekati kutub lunar pada permukaan teratas dari bulan. Clark selanjutnya menganalisis ulang data spektroskopis IR yang dikumpulkan pada pesawat Cassini di tahun 1999. Dia kembali mengidentifikasi serapan di dekat 3 mikrometer dekat ke kutub dan pada ketinggian rendah. Dia mengatakan bahwa jumlah air “yang terlihat” kelihatannya berkisar antara 10 sampai 1000 ppm. Diduga bahwa ketika permukaan bulan terpapar terhadap ion-ion hidrogen dalam solar wind, oksigen terlepas dari mineral-mineral lunar dalam bentuk OH dan H2O Dukungan tambahan untuk keberadaan air ini datang dari Jessica Sunshine di University of Maryland, US, dan rekan-rekannya yang mengumpulkan data di bulan Juni 2009 pada pesawatsatelit Deep Impact. Memenuhi permintaan tim Pieter mereka mengkaji tempat-tempat sama pada waktu yang berbeda dengan menggunakan spektrometer IR. Mereka mendeteksi OH dan H2O terikat yang menutupi banyak permukaan bulan. Sunshine menambahkan bahwa pola harian yang diamati timnya menunjukkan bahwa pembentukan

dan retensi OH dan H2O merupakan sebuah proses kontinyu. Temuan-temuan ini semakin membenarkan “solar wind theory” tentang mengapa ada air di bulan, tambah Sunshine. Teori ini menyebutkan bahwa ion-ion hidrogen dalam solar wind melepaskan oksigen, dalam bentuk OH dan H2O, dari permukaan bulan. “Hasil Chandryaan-1 merupakan penemuan yang pertama tetapi instrumen M3 hanya mencakup sebagian panjang gelombang yang relevan,” kata Paul Lucey, seorang ahli dalam sains planet dan penginderaan jarak jauh di University of Hawaii. “Pengukuran Cassini mencakup semua panjanggelombang relevan, sehingga mengkonfirmasi dan menguatkan temuan ini tetapi pada resolusi yang sangat rendah. Pengukuran Deep Impact juga mencakup kisaran panjang-gelombang yang diperulkan untuk konfirmasi, dan mampu mengukur tempattempat sama pada waktu-waktu yang berbeda, yang menunjukkan bahwa air tersebut sedang bermigrasi pada permukaan bulan.” Untuk memberikan gambaran tentang kuantitas air yang ditemukan itu, Sunshines mengatakan: “Jumlah

air yang kita bicarakan ini masih lebih kecil dari jumlah air yang terdapat dalam tanah padang pasir yang paling kering di Bumi.” Para peneliti tertarik dengan ide untuk mengumpulkan air tersebut. “Ada kemungkinan sumber air statis dapat dijebak secara langsung oleh para astronot,” kata Lucey. Tetapi dia mengingatkan bahwa sumber tersebut akan sangat kecil dan memerlukan kolektor yang sangat besar. Disadur dari: chemistryworld http://www.chem-is-try.org/ artikel_kimia/berita/kelanjutanpenemuan-air-di-bulan/


24

Profil

Tommy Yuniawan

Menulis Menjadikan Kita ”Kaya” Bagi Tommy awan, Dosen Bahasa dan Sastra Indonesia, kecintaan pada bidang tumenulis perlu dibumikan. diwawandi selaper-

Yuni-

lis Saat cara sela kuliahan outdoor hal a -

man depan B1, pria kelahiran 17 Juni 1975 ini percaya bahwa dengan menulis akan membuat kita ‘kaya’. “Kaya bukan berarti sekadar memiliki banyak materi. Namun, kaya dalam arti yang lebih luas, yaitu meliki banyak teman, ilmu, dan jaringan (networking),” katanya, Jumat (6/11). Pekerjaannya sebagai dosen bahasa dan sastra Indonesia menuntutnya untuk bisa menulis. Karena itu, ia juga berusaha memotivasi mahasiswanya untuk mempunyai semangat menulis. “Sepertinya aneh jika saya menyuruh mahasiswa menulis, tapi saya sendiri tidak bisa menulis. Sama saja tong kosong nyaring bunyinya,” kata ayah dua anak ini. Melalui kecintaannya di dunia tulis menulis inilah Tommy Yuniawan yang juga staf ahli PR III dan pembina karya tulis ilmiah menjabat sebagai koordinator tim pembina tingkat fakultas dan universitas sejak tahun 2004-2009. Alumni Unnes ini memang selalu aktif. Saat menjadi mahasiswa, ia sering mengikuti lomba karya ilmiah mulai tingkat fakultas maupun universitas. Ia pernah meraih juara 1 karya ilmiah LKIP FPBS. Menjadi mahasiswa teladan 1 pada tahun 1996 dan dosen teladan pada tahun 2003.

T

atkala api yang dinyalakan Namrud untuk membakar Ibrahim mulai berkobar-kobar dahsyat dan Ibrahim telah dilemparkan dengan ketapel raksasa ke dalamnya, risaulah seekor burung pipit. Ia tak tahan melihat manusia pilihan itu dibakar hidup-hidup. Ia mondar-mandir, terbang kesana kemari tak menentu. Akhirnya, burung kecil itu melihat kilauan cahaya dari sebuah genangan air. Terbanglah ia menghampiri air itu, menciduknya, dan menyimpannya di dalam paruhnya. Sejurus kemudian, ia melesat sangat tinggi ke atas api yang berkobar-kobar itu. Ia terbang sangat tinggi sebab ia tak mampu menahan panas yang sangat terasa bahkan sangat jauh di atas, dari tempatnya melayang. Lalu, ia menyiramkan air dari dalam mulutnya itu dengan maksud memadamkan api Namrud. Tes! Belum sempat tetesan air itu menyentuh api, air itu telah lenyap

Tommy yang selalu ingin meningkatkan kualitas keilmuaannya, lalu meneruskan studi S2 di UGM jurusan Linguistic Humaniora. Ia juga pernah short course bidang tes dan evaluasi di Seameorlc, Singapura. Dia tetap aktif menulis sampai sekarang. Dalam sebulan ia dapat menghasilkan satu atau tiga tulisan dalam bentuk jurnal atau artikel, walaupun terkadang tidak sama sekali. Istri dan anak kembarnyalah yang menjadi penyemangat dalam penciptaan hasilhasil tulisannya. Artikelnya sering dimuat di Lembaran Ilmu Pendidikan (Unnes). Selain itu, pernah juga dimuat di jurnal UGM dan Udayana. Tinggi atau rendah kuantitas proposal karya ilmiah mahasiswa Unnes dari tahun ketahun, tidak lepas dari campur tangannya. Namun, menurutnya kuantitas harus dibarengi dengan peningkatan kualitas. Caranya yaitu dengan penyegaran melalui info-info baru tentang penyusunan proposal karya ilmiah. Tugasnya sebagai koordinator tim pembina yaitu merancang pembinaan selama setahun, mengadakan workshop, sosialisasi, melakukan pemantapan tim dan bimbingan yang sifatnya freelance. Ia berusaha untuk melayani mahasiswa sebaik mungkin. Bahkan, mahasiswa di luar jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia dapat berkonsultasi dengannya. Menurutnya, kuantitas karya ilmiah di Unnes semakin meningkat dari tahun ketahun, Bahkan tahun 2008-2009 mencapai yang terbanyak. Ia berharap, mahasiswa Unnes semakin banyak yang aktif untuk turut serta membuat karya ilmiah. “Sebab, bagaimanapun karya itu perlu dibumikan,” ungkap pria asal Brebes ini. Keberhasilan tidak jauh dari masukan dan bantuan dari mahasiswa yang sudah membuat karya ilmiah dan menang dalam LKTI. Terlepas dari bimbingan dosen, mahasiswa juga harus aktif mencari informasi dan memiliki pemikiran yang kreatif. “Ia berharap mahasiswa tidak sungkan untuk mencari info-info tentang karya ilmiah di sistem informasi kemahasiswaan (Simawa). “Sebab, bagaimanapun mahasiswa sendirilah kunci utamanya,” pungkasnya. Afina Lukita

N ua n s A 125TH XX/2009

Pantang Menyerah Taklukkan Kilimanjaro

Ivan Hafidh benar–benar tidak menyangka bahwa dirinya akan menginjakkan kaki di gunung tertingi di benua Afrika. Agustus lalu, ia dan kedua temannya, Manik Maya (Geografi) dan Priyo Handoko (PTB) berhasil menaklukan Kilimanjaro. Menurut pria yang lahir 21 Februari ini, kecintaannya akan mendaki gunung sudah ada sejak SMA. Ia sempat bergabung dengan kelompok pecinta alam di sekolahnya. Setelah masuk universitas, ia masih melanjutkan hobi menaklukan puncak gunung. Ia menjadi anggota Mahapala Unnes sejak semester awal. Berbagai puncak gunung telah ia jajal. Kini giliran puncak gunung tertinggi di Benua Afrika yang ia jamah. Untuk dapat ikut dalam pendakian ke Kilimanjaro, ia dan kedua rekannya harus menghadapi berbagai macam tes seperti tes psikologi, wawancara, tes fisik, mental, kesehatan, pengetahuan umum serta beberapa pelatihan untuk persiapan di lapangan. Setelah menjalani tes kelayakan, mereka harus menjalani latihan fisik selama delapan bulan. Meskipun melalui proses yang panjang, Ivan mengaku senang. “Kesempatan ini merupakan suatu keberuntungan bagi saya, karena semua peserta memiliki potensi yang sama untuk dapat mendaki Kilimanjaro,” tutur pria yang menjabat sebagai Dewan Kehormatan Mahapala ini, Rabu (28/10). Ia menuturkan, untuk dapat sampai ke puncak Kilimanjaro mereka membutuhkan waktu enam hari. Bahkan

Belajar dari Burung Pipit menguap. Para malaikat pun heran melihatnya. “Kenapa sih kamu musti repot-repot seperti itu? Bukankah sangat nyata, apa yang kau lakukan itu sia-sia belaka, burung kecil?” Namun, burung pipit tak ambil peduli. Diulangi perbuatannya itu, berkali-kali! Burung itu berkata, “Hanya inilah yang bisa kulakukan. Soal hasil, itu bukan urusanku!” Hanya saja pipit tidak tahu, Ibrahim tak memerlukan pertolongannya. Bahkan, ketika datang tawaran bantuan dari malaikat pembawa air dan peniup angin untuk memadamkan api, Ibrahim menolaknya. Ia hanya berkata, “Cukuplah Tuhan sebagai penolongku.” Atas perintah Tuhan, api pun kemudian dingin, dan selamatlah Ibrahim. *** Siapapun tahu, apa yang dilakukan burung itu memang sama sekali tak berpengaruh. Namun, telah melakukan

Mahapala - Ivan Hafidz

apa yang ia bisa, apa yang ia mampu. Barangkali jika yang terjadi adalah burung pipit itu diikuti oleh jutaan burung pipit yang memenuhi langit dan meneteskan air dari paruhnya masingmasing, padamlah api itu. Seekor burung pipit memberi contoh kepada kita, bagaimana cara bersikap (yang pada manusia hal itu berarti berani menuruti apa yang dikatakan oleh hati nurani). Dalam keseharian, kita dihadapkan dengan masalah, bagaimana kita bersikap, dan mengambil tindakan. Akan tetapi, kita justru sering tak mengambil sikap apa pun hanya karena berpikir bahwa tindakan itu sia-sia. Wah, itu keliru! Lakukan saja apa yang kita bisa. Satu contoh sederhana, soal global warming, akibat dari emisi gas karbondioksida yang berlebihan di udara. Orang banyak mengeluhkan suhu bumi yang semakin panas juga ketakutan pada akibat yang bakal ditimbulkan oleh meningkatnya permukaan air laut

ia dan teman-temannya secara bergantian sempat mengalami gejala awal Mountain Sickness seperti pusing-pusing, perut mual, dan muntah-muntah. Terutama sejak ketinggian mencapai 5500 mdpl mereka mengalami sakit kepala yang luar biasa. Air yang mereka bawa membeku, juga lampu senter sebagai penerang perjalanan mereka mulai meredup. Mereka harus menahan rasa haus karena air hangat yang mereka minum hanya membuat perut mereka sakit. Dengan sisa tenaga dan semangat mereka melanjutkan ekspedisi ini. Usaha mereka tak sia-sia, tepat pada 17 Agustus 2009 mereka berhasil mengibarkan Sang Saka Merah Putih di puncak Uhuru Peak (5895 mdpl). Tidak hanya berhenti di Kilimanjaro, ia berkeinginan untuk mengikuti ekspedisi pendakian tujuh puncak tertinggi di dunia bersama rekan-rekan Mahapala. Menaklukkan Seven Summit (tujuh puncak) merupakan agenda jangka panjang Mahapala. Sehingga ia berencana akan terus melakukan pendakian walaupun tidak lagi terdaftar sebagai mahasiswa. Selama di Tanzania, Afrika, mereka mengunjungi beberapa tempat untuk mengetahui dan mempelajari sistem SAR, pengelolaan Taman Nasional Kilimanjaro, dan sosial budaya. Perjalanan ini memberikan pelajaran bagi mereka bahwa mereka bangga menjadi bangsa Indonesia. Perjalanan ini merupakan langkah awal untuk menaklukan ketujuh puncak tertinggi di dunia. Ivan berharap nasionalisme pemuda Indonesia terus meningkat untuk Indonesia yang lebih baik. Perjalanan ini membuka mata mereka bahwa alam Indonesia sangat kaya dan subur.ke Benua Afrika, membuka matanya akan kekayaan alam Indonesia. Di sana, mereka hanya menjumpai tanah kering dan gersang. “Sehingga bersyukurlah ia terlahir di Indonesia yang kaya akan sumber daya alam.” Yuli Resista

Ri l e k s kira-kira satu sentimeter per sepuluh tahun. Namun, untuk menghadapi global warming itu, apa yang bisa dilakukan? “Waduh, Mas. Saya ndak tau istilah apa itu? Global warming? Yang penting saya tidak buang sampah sembarangan, menjaga lingkungan, dan sebisa mungkin mengurangi pencemaran udara.” Dari hal-hal kecil, kalau sudah membudaya dan dicontoh banyak orang, nanti baru akan nampak hasil. Tak ada satu pun di dunia yang mengajarkan mencuri atau buang sampah sembarangan. Tetapi, garagara ada orang yang melakukan pencurian atau buang sampah sembarangan, lama-lama muncullah profesi pencuri, muncul pula seorang yang suka buang sampah sembarangan. Lagipula peribahasa mengajarkan, sedikit demi sedikit lama-lama menjadi bukit, atau sedikit demi sedikit lamalama habis sebukit.[] M. Rifan Fajrin


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.