

it’s ok to not be ok
It's OKAY not to be OKAY
Istilah “mental health” atau kesehatan mental belakangan ini sedang marak dibahas. Tren ini membawa dampak baik karena banyak orang yang semakin peduli terhadap kesehatan mentalnya. Namun di sisi lain, banyak juga yang terlalu cepat mendiagnosis dirinya mengalami gangguan kejiwaan tertentu. Istilah “depresi”, “gangguan kecemasan”, “bipolar”, dan lain-lain, yang seharusnya hanya digunakan untuk menggambarkan gangguan kejiwaan, digunakan juga untuk menggambarkan kondisi wajar yang dapat dialami oleh orangorang normal.
Tanda Utama Gangguan Kejiwaan
Setiap gangguan kejiwaan memiliki simtomnya masing-masing. Saat mencari informasi di internet tentang gangguan kejiwaan tertentu, kita dapat menemukan sederet daftar simtom atau karakteristik dari gangguan tersebut. Sering kali kita merasa pernah mengalami beberapa simtom. Hal ini membuat kita dengan cepat menyimpulkan bahwa kita mengalami gangguan kejiwaan. Padahal, syarat utama kita mengalami gangguan psikologis adalah adanya gangguan yang signifikan dalam tiga area kehidupan, yaitu: ranah bantu diri atau kemandirian, ranah pendidikan (bagi anak usia sekolah) atau pekerjaan (bagi orang dewasa), dan ranah sosial. Jika simtom-simtom tersebut
https://nl.pinterest.com/










Menjaga Kesehatan Mental Anak di Tengah Pandemi









Pandemi Covid-19 yang telah berlangsung selama dua tahun, bukan hanya mempengaruhi mental orang dewasa, tetapi juga anak-anak dan remaja. Stres yang berlangsung terus-menerus, ketakutan, rasa duka, dan ketidakpastian yang disebabkan oleh Covid-19 telah memengaruhi kesehatan mental anak-anak dan remaja. Banyak dari mereka yang mengalami masamasa sulit dan merasakan kesulitan memproses emosi mereka dengan baik. Menjadi seorang anak-anak dan remaja saja sudah sulit, dan pandemi membuat hidup mereka menjadi lebih sulit. Sekolah-sekolah ditutup dan kegiatan dibatasi, sekolah online, membuat mereka kehilangan masa-masa penting dalam kehidupan muda mereka. Mereka juga kehilangan masa-masa bermain di luar dengan teman-teman, partisipasi dalam kegiatan sekolah, dan mengobrol dengan teman-teman.
Banyak keluarga kehilangan pekerjaan dan kesulitan memenuhi kebutuhan sehari-hari, seperti: sekolah, layanan kesehatan, dan akses untuk belajar (seperti keterbatasan sinyal, alat komunikasi yang tidak memadai, sekolah yang tidak mampu menyediakan program belajar daring, dan sebagainya). Belum lagi, tidak semua keluarga dan rumah adalah tempat yang aman untuk anak. Keluarga yang bertengkar terus-menerus, perlakuan kasar dari lingkungan terdekat, dan keterbatasan lainnya.
































































Dr. Willem Jacobus Cardinal Eijk, Mgr. Dr GJN de Korte (uskup di Hertogenbosch) dan Mgr. Dr. CFM Van Den Hout (Uskup di Groningen Leeuwarden). Ada sekitar 100 imam yang ikut berkonselebrasi bersama para bapa uskup ini. Misa berlangsung dengan khidmat di dalam Basilika Santo Petrus dan dihadiri kurang lebih 600-an orang. Hari berikutnya juga diadakan Misa syukur di Gereja Karmel Santa Maria Traspontina di Roma.
• Bagaimana antusiasme dan sukacita para umat di sana? Umat tentu sangat senang apalagi para pencinta spiritualitas Karmel. Kurang lebih 2000-an peziarah yang berasal dari belahan dunia datang meminta tiket (secara gratis) melalui Ordo Karmel agar boleh ikut serta pada perayaan Misa kanonisasi ini.
Di Italia sendiri antusias umat juga tampak dengan diadakannya berbagai seminar tentang Titus Brandsma. Kehadiran para umat dari berbagai daerah di Italia membuktikan antusias dan cinta umat terhadap Ordo Karmel.

Perlu dicatat juga bahwa umat yang berasal dari Belanda juga sangat antusias. Konferensi Waligereja di Belanda bahkan mengorganisasi perjalanan bagi umat yang ingin datang menghadiri perayaan kanonisasi ini.
• Bagaimana suasana saat upacara kanonisasi berlangsung? Upacara kanonisasi berlangsung dengan sangat khidmat. Paus Fransiskus, meskipun mengalami kesulitan dalam berjalan tetap memimpin Misa dengan baik.
Dalam kotbahnya Paus Fransiskus memulai refleksinya dengan pertanyaan: Apa artinya








SAKRAMEN TOBAT DAN KESEHATAN MENTAL (Sebuah




tinjauan liturgis)
Diceritakan ada seorang ibu berusia sekitar 50-an tahun pernah mengisahkan perjalanan hidupnya kepada seorang biarawati Katolik. Ia menceritakan bahwa setiap kali melihat seorang wanita hamil ia selalu merasa pening, ada perasaan ingin muntah, merasa tidak nyaman, dan setelahnya timbul rasa sedih bercampur marah yang tidak ia pahami. Hal ini sudah dialaminya selama bertahun-tahun. Suaminya bahkan pernah berprasangka bahwa istrinya memiliki gangguan mental. Namun semua keadaan itu kini tinggal kenangan, ibu itu kini hidup dengan damai dan semua hal yang ia alami dulu kini tidak dialaminya lagi. Permulaan hidup baru ini berawal dari perjumpaannya dengan biarawati Katolik di atas. Dalam perjumpaan itu, ibu ini mengisahkan keadaannya. Sang biarawati mendengarnya dengan penuh perhatian dan kemudian dengan seizin ibu itu ia coba mengorek beberapa informasi seputar masa lalu ibu itu. Akhirnya, dengan air mata bercucuran ibu

itu mengakui bahwa pada masa mudanya ia pernah melakukan tindakan aborsi karena kalau sampai diketahui orang tuanya maka ia akan mendapat masalah besar. Rahasia ini disimpannya sendiri selama puluhan tahun. Setelah mendengar kisah ibu itu, sang biarawati kemudian menganjurkan agar ia menjumpai seorang imam untuk mengakukan dosanya. Imam lalu berkata bahwa dosa seperti ini adalah dosa berat atau mortal sin dan hanya bisa dilepaskan oleh uskup atau seorang imam yang mendapatkan delegasi dari bapa uskup. Dengan diantar oleh imam, ibu itu menjumpai bapa uskup dan mulai mengaku dosa.
Setelah pengakuan dosa dan mendapatkan absolusi dan penitensi serta disempurnakan dalam Ekaristi, ibu itu kini hidup dengan damai tanpa mengalami lagi kesulitankesulitan fisik dan mental yang mengganggunya selama bertahuntahun.

Sakramen dalam Gereja Sakramen adalah tanda yang

NAPAK TILAS
NAPAK JERO: PERJALANAN HATI (3)
Oleh: Stephani Getta Noviana
Menghayati lalu merenungkan kegiatan jalan kaki sepertinya hal yang kurang lazim bagi kita. Berbeda dengan para pelaku Napak Jero. Mereka menjadikan jalan kaki sebagai sarana ziarah, retret pribadi, dan juga kontemplasi. Mereka mengikuti kegiatan ini dengan bekal dan motivasi masingmasing. Ketika ditanya apa yang memotivasi mereka, banyak hal terlontar dari pengalaman mereka. Begitu kaya pengalaman mereka dalam proses perjalanan mencapai garis akhir. Salah satunya Pak Tedjo, peserta dengan usia yang tak lagi muda ini bercerita bagaimana pengalamannya menyelesaikan perjalanan ini. Pak Tedjo merasa bahwa ia telah berhasil melampaui dirinya dengan terus berpegang dan berserah pada Tuhan. Ia merasa tiap langkah kaki yang digerakkan untuk menyelesaikan perjalanan ini masih jauh lebih ringan daripada langkah kaki Yesus yang memanggul salib ke Bukit Golgota.
Lain hal dengan Ibu Fifi dan Pak Yustinus Rizal yang mengikuti kegiatan ini untuk mempersiapkan
Inspirasi Hati dan Budi
diri mereka mengikuti Camino. Berbekal poster kegiatan Camino de Santiago, Pak Yustinus dan Ibu Fifi bertekad bulat menyelesaikan perjalanan ini sekaligus mengukur berapa waktu dan jarak tempuh sesuai dengan kekuatan mereka. Anak-anak muda yang (mungkin) lebih sering mendaki gunung, merasakan sensasi tersendiri ketika mengikuti kegiatan ini. Gurman, Natan, Arnold, dan Wisnu menganggap bahwa perjalanan Napak Jero adalah perjalanan yang berbeda. Sepanjang perjalanan mereka sering kali berada pada momen yang sama. Mereka siap dengan segala kemungkinan yang terjadi selama proses perjalanan. Romo Teguh juga terkadang berkesempatan berjalan bersamasama dengan mereka. Romo Teguh mengajak untuk mendedikasikan rasa sakit yang mereka rasakan sebagai doa untuk mengiring perjalanan mereka.
Romo Budi sebagai salah satu pemrakarsa kegiatan ini juga membagikan sebuah prinsip yang datang dari trekking pole miliknya,
NAPAK TILAS
















































tenaga yang hampir terkuras habis. Pak Tedjo salah satu peserta membagikan pengalamannya bahwa ketika melakukan perjalanan, ia mendengarkan renungan rohani untuk menguatkan langkahnya. Sempat dalam perjalanan saya tahu ia menjauh dari tempat tujuan. Lekas saya mengejarnya dan memberikan arahan yang benar.





Aula Gereja St. Mateus Pare Kediri menjadi tempat peristirahatan para peserta Napak Jero di hari kedua. Para peserta Napak Jero tidak hanya sekadar beristirahat, di sana mereka juga di cek kesehatan dan kondisi fisiknya. Seperti pada hari sebelumnya setelah
membersihkan diri, mereka menutup hari dengan perayaan Ekaristi, lalu beristirahat untuk stamina dan tenaga yang prima di esok hari. Matahari selalu masih belum muncul ke permukaan ketika perjalanan dimulai. Mengawali hari ketiga dengan doa dan pemanasan sebelum berjalan, para peserta Napak Jero semangat meski tenaga kuat tak kuat. Sekitar 32 km harus ditempuh di hari ketiga untuk mencapai garis akhir, Gua Maria Pohsarang Kediri. Matahari pukul 06.00 pagi sudah mulai terlihat, para peserta juga sudah cukup jauh dari tempat dimana mereka memulai. Beberapa hal mereka sampaikan kepada saya ketika bertemu. Ada yang bercerita bahwa mereka bertemu warga lalu diberi bekal air minum. Ada yang bertemu warga lokal dan akhirnya berjalan bersama dan berpisah di persimpangan. Napak Jero bukanlah perlombaan, namun Pak Tedjo adalah peserta pertama yang mencapai finish. Kegigihannya menyelesaikan perjalanan, serta kebiasaannya berjalan setiap pagi membuat ia menjadi peserta pertama sekaligus tertua yang mencapai garis akhir. Sesi sharing di hari terakhir dimulai. Para peserta diminta memberikan 1 hingga 3 kata
peserta bertemu akhirnya