

ini, Paus mengubah (amandemen) pada kanon 230 §1 dari Kitab Hukum Kanonik (KHK 1983), yang semula bunyinya: “Orang awam putra yang sudah mencapai usia dan mempunyai sifatsifat yang ditentukan oleh dekret konferensi para uskup, dapat diangkat secara tetap untuk menjalankan pelayanan sebagai lektor dan akolit dengan ritus liturgi yang ditentukan; tetapi pemberian tugas-tugas itu tidak memberikan hak atas sustentasi atau remunerasi yang harus disediakan oleh Gereja” (Kan. 230 §1), menjadi:
“
Orang awam yang sudah mencapai usia dan mempunyai sifat-sifat yang ditentukan oleh dekret konferensi para uskup, dapat diangkat secara tetap untuk menjalankan pelayanan sebagai lektor dan akolit dengan ritus liturgi yang ditentukan; tetapi pemberian tugas-tugas itu tidak memberikan hak atas sustentasi atau remunerasi yang harus disediakan oleh Gereja” (Kan. 230 §1).
Frasa orang awam pria diubah
menjadi orang awam, berarti artikel ini ditujukan kepada seluruh kaum awam, siapa pun dia entah lakilaki atau perempuan. Motu Proprio ini memberikan jawaban atas berbagai pertanyaan mengenai ketidakseragaman praktik dalam Gereja Katolik dalam hal pemberian kesempatan menjadi misdinar, asisten imam, dan lektor untuk perempuan. Paus Fransiskus memastikan pemberian izin secara yuridis bagi peran perempuan dalam liturgi seperti yang sudah disebut di atas. Yang penting adalah mereka memiliki syarat yang dibutuhkan untuk pelayanan tersebut, yakni dapat menjalankannya dengan kesalehan yang jujur, tertib, saksama diresapi semangat liturgi ( SC, 27). Untuk itu, mereka perlu dididik agar dapat membawakan peranannya dengan baik dan teratur (SC, 29).
Tuhan berkehendak, hal yang mustahil sekalipun akan terjadi.”
Di masa pandemi Covid-19, Bunda Anne, sang desainer kebaya dan batik yang memulai kariernya sebagai desainer dari rumah kontrakan dengan modal dua mesin jahit pada tahun 1989 itu ikut terkena imbasnya. “Bagaimana di saat pandemi ini, ratusan orang termasuk keluarganya dititipkan Tuhan pada saya. Tapi saya tidak bisa melakukan apa-apa, Tuhan. Usaha saya hancur!” Sejenak Bunda Anne merasa mendengar suara Tuhan, “Anne Avantie, kamu jangan khawatir bersama dengan-Ku ya, teruslah pegang jemari-Ku, jangan kaulepaskan!” Saat itu juga Bunda
Anne percaya bahwa mukjizat itu terjadi. Satu per satu tingkap-tingkap masalah dapat dilewati. “Banyak perkara, tapi setiap perkara itu kalau tidak kita permasalahkan nggak jadi masalah. Masalah besar dikecilkecilin, masalah kecil buang-buangin". Bunda Anne mengajak kita fokus pada suara Tuhan yang membimbing kita. Saat kita fokus, maka mukjizat terjadi saat ini dan di tempat ini. “Di mana usaha yang baru, menjadi tempat berlindung dan bergantung ratusan jiwa, saya percaya Tuhan hadir. Tuhan memberikan jalan keluar karena saya percaya bahwa masalah itu datang sepaket dengan jalan keluarnya". Di saat pengalaman jatuh tersungkur dalam usahanya, Bunda Anne menemukan banyak kemuliaan Tuhan. Dalam industri
yang dibangunnya dengan berdarahdarah dan terpuruk, Tuhan tetap buka jalan saat tiada jalan! Beliau sangat percaya, “Ketika Tuhan sudah buka pintu, tidak ada satu orang pun yang bisa menutupnya dan ketika Tuhan sudah menutup pintu tuh nggak ada satu orang pun yang bisa membukanya.” Inilah kenapa Bunda Anne tidak mengandalkan kekuatan sendiri, entah itu sebagai publik figur, ataupun sebagai pribadi. “Saya ini bukan siapa-siapa. Siapakah saya di hadapan Tuhan? Saya percaya pada kuat kuasa Tuhan, bahwa Tuhan berkehendak sedang merawat dan melawat hidup saya.”
Akhirnya Bunda Anne berpesan, “Tuhan itu adalah Allah yang Mahakuasa, Allah yang Mahatahu setiap tetes air mata. Dia yang mengatakan tetaplah percaya walaupun tidak melihat. Semoga peristiwa-peristiwa yang saya alami, mungkin juga terjadi atas setiap kita, menguatkan iman dan kepercayaan kita atas kuasa doa. Saya sangat percaya bahwa doa mampu mengubah yang mustahil sekalipun.” Maukah kita makin percaya dalam doa-doa kita, seperti pengalaman Bunda Anne?
Berkunjung ke tempat ini tidak pernah terpikir dalam benak saya. Seperti para pelancong pada umumnya, saya merencanakan Yogyakarta dengan tempat-tempat wisata yang terlampau umum. Malioboro, pantai-pantai di daerah Gunungkidul, wisata kuliner malam di alun-alun utara, dan museummuseum bersejarah masih menjadi jujugan utama. Setelah mengunjungi tempat ini, ternyata saya wajib memasukkan tempat ini ke dalam bucket list. Gua Maria! Ya, salah satu tempat di mana orang Katolik berdoa dengan perantaraan Bunda Tuhan. Menempuh perjalanan darat selama kurang lebih 2 jam dari pusat Kota Yogyakarta, saya sampai di gua ini sekitar pukul 10 pagi. Keadaan sekitar masih sepi dan tidak banyak kendaraan di tempat parkir. Suasana hening langsung terasa ketika turun dari kendaraan yang sudah terparkir. Memang, pemandangan yang kita lihat bukan langsung gua yang menjadi tujuan utama mendatangi tempat ini. Jarak dari tempat parkir menuju ke bibir gua kurang lebih 500 meter sehingga saya harus berjalan sekitar 15 menit untuk sampai di pintu gua. Suasana hening dan meditatif langsung saya rasakan sejak di halaman parkir. Bunyibunyian serangga khas di ladang jati yang sunyi menambah kesan alam nan syahdu tempat ini. Untuk menuju ke sana, saya harus berjalan di tengah-tengah ladang pohon jati.
Konstruksi masyarakat yang mengotak-ngotakkan manusia dan profesinya berdasarkan jenis kelamin telah menciptakan banyak ketimpangan. Kebebasan manusia mengaktualisasikan diri seakan dikekang. Patricia Yora Wenas ingin mengubah pola itu. Ia ingin menunjukkan bahwa kebebasan untuk berekspresi termasuk dalam memilih profesi yang diinginkan bisa membawa hal baik bagi lingkungan sekitar. Ia menjadi salah satu pilot perempuan di Indonesia yang memilih “terbang” dengan kebebasannya sebagai seorang perempuan. Ia bebas memutuskan pilihannya dengan pertimbangan-pertimbangan logis dan terukur. Saat ini, pilot yang mengidolakan Santa Teresa Kalkuta dan Paus Fransiskus ini sedang menyelesaikan pendidikan magister di Universitas Katolik Atma Jaya jurusan Psikologi. Yuk, simak bincang-bincang dengan Patricia Yora.
Saat ini dengan jam terbang 4481 jam sebagai pilot, apakah profesi ini sudah menjadi citacita sejak kecil?
Saya bercita-cita ingin menjadi psikolog. Saat itu, saya sudah diterima di S1 Psikologi, tetapi akhirnya saya batalkan. Bersamaan dengan itu, selepas lulus SMA
perempuan atau laki-laki. Tidak terbatas gender. Yang membatasi itu sebenarnya adalah konstruksi sosial yang terjadi di masyarakat sendiri. Misal, seorang chef identik dengan memasak yang menurut konstruksi sosial, memasak identik dengan perempuan. Ternyata kita tahu chef-chef terkenal malah kebanyakan laki-laki. Jadi, kita memang tidak mengotak-ngotakkan atau membatasi suatu pekerjaan, yang membatas itu adalah konstruksi sosial yang ada. Jadi menurut saya, profesi apa pun bisa dilakukan. Untuk mereka yang mungkin masih takut, jangan takut mematahkan stereotip yang sudah ada, jangan takut mendobrak kebiasaankebiasaan yang sudah ada konstruksi sosialnya. Kalau memang itu passion kita, kejar terus, pasti kita akan struggling dengan sebaik-baiknya untuk bekerja sesuai dengan bidang yang kita minati. Jadi, be your self.
Dengan semua hal yang sudah dicapai saat ini, sebenarnya apa moto hidup yang menjadi penggerak untuk semua pencapaian itu?
Moto saya cuma just do it Kadang-kadang, orang terlalu banyak berpikir, terlalu banyak
pertimbangan. Mau menentukan profesi, memilih memulai bisnis atau pilihan yang lain. Ini memang benar, tapi kalau terlalu lama berpikir, kadang itu juga yang menjatuhkan kita. Padahal, intinya "udah lakuin aja". Just do the best and God will do the rest. Asal kita do the best dulu; selalu lakukan yang terbaik, ambil kesempatan supaya nanti Tuhan bisa bekerja untuk menyempurnakan segala pekerjaan dan juga kehidupan kita.
Berdasarkan wawancara dengan
Patricia Yora Wenas .