1 minute read

Air mata senyap

DINGIN DI BULAN Desember terasa lebih dari biasanya. Aku baru saja merebahkan tubuh lelahku di atas kasur single tipis. Bukan hal mudah untuk terlelap bagiku. Semakin lelah tubuhku, otakku akan mengaktifkan sinyal ‘on’ dan membuatku terjaga.

Ku putuskan membuka galeri di ponsel tua milikku. Melihat setiap foto yang ku ambil sejak tiga tahun lalu. Tanganku berhenti menggulir layar saat seorang gadis kecil tersenyum dengan gigi kelincinya terpampang di sana. Mataku berembun. Aku melewatkan kata pertama yang ia ucapkan, aku melewatkan langkah pertamanya, aku melewatkan semua saat dimana aku seharusnya ada disana.

Kristal bening itu kini meleleh membasahi bantal di bawah kepalaku. Kembali ku gulir layar ponselku. Semakin cepat ku gulir ke bawah karena dadaku mulai terasa sesak.

Dan lagi, ibu jariku berhenti di sebuah foto lama. Foto diri mudaku enam tahun lalu.

Cukup. Ponsel itu ku lempar tepat ke atas bantal. Aku merasa begitu bodoh dan tersakiti. Sekeras mungkin ku remas lenganku dan sekuat mungkin ku tahan tangis yang hampir meledak. Tenggelam dalam tangis sia-sia malam itu.

Dua jam berkubang dalam penyesalan cukup membuat mataku terlihat bengkak. Itu belum cukup membuatku lelah. Ku raih kembali ponsel tak bersalah yang ku lempar tadi. Ah, sudah tengah malam ternyata. Dengan tak berperasaan aku memutuskan untuk menghubungi seseorang yang tentu saja sudah terlelap di tengah malam buta begini.

By Anisa

“Ma…” suaraku tercekat memanggil seseorang yang tengah tersambung denganku.

“Ada apa, nak? Ada apa?”

Ah, suara itu. Menenangkan sekaligus membawaku semakin dalam pada penyesalan.

“Maaf.” hanya itu yang mampu ku katakan.

“Hei hei, ada apa, sayang? Ada apa? Kamu baik-baik saja di sana?”

Bodoh. Satu kata itu justru membuatnya merasa cemas sekarang. Dan parahnya aku tidak lagi mampu menahan isak yang sedari tadi siap meledak.

“Maaf, aku membuang tenaga serta waktumu. Aku menyia-nyiakan kerja keras papa. Jika saja aku tau nasibku akan menjadi seperti ini, aku tidak akan pernah meminta kalian untuk mengirimku kuliah ke kota. Sedangkan sekarang, aku hanya bekerja di rumah orang lain. Memasak di dapur yang bukan milikku, tidur di ranjang yang juga bukan milikku, membersihkan kamar mandi yang tidak ku pakai. Maaf, ma.”

Dengan terpaksa aku menggigit bibirku dengan keras demi menghentikan tangis yang mulai menjadi senggukan.

“Hei hei. Dengarkan mama. Mama, juga papamu tetap bangga. Meski kamu bukan lagi perawat, atau petugas bank dengan seragam. Mama bangga saat kamu wisuda. Papa bilang ‘tugas kita berkurang’ sebagai orang tua. Mama bangga saat kamu kasih mama gaji pertamamu.