1 minute read

Manuk Nom Makanan Penutup Khas Yogyakarta

Dalam sejarah, makanan selalu menjadi lambang kemewahan dan kekuasaan. Di berbagai negara, termasuk di Nusantara, makanan penutup khusus sering dihidangkan untuk para raja dan bangsawan sebagai simbol kemewahan dan prestise. Salah satu makanan penutup yang terkenal di kalangan raja dan bangsawan Jawa pada masa lalu adalah Manuk Nom

Advertisement

Manuk Nom, yang dalam bahasa Jawa diartikan sebagai 'Si Burung Muda'. Hidangan penutup ini sudah ada sejak era Sri Sultan Hamengkubuono ke-VII yakni pada tahun 1890an yang diberi nama manuk nom yang dalam bahasa indonesia berarti burung muda. Pada masa Sri Sultan Hemengku Buwono VII (1877-1921), Beliau menikmati hidangan ini sebagai dessert. Namun, uniknya di era Sri Sultan Hamengku Buwono VIII (1921-1939) disajikan sebagai hidangan pembuka.

Manuk nom sendiri merupakan hidangan berbahan dasar telor, susu, dan tapai ketan ijo. Penamaan manuk nom sendiri terinspirasi dari tekstur karena burung yang baru menetas dari telur memiliki tekstur yang lembut seperti burung muda yang sedang mengepakkan sayapnya.

Selain sebagai makanan penutup, Manuknom juga memiliki nilai simbolis yang kuat. Bentuknya yang menyerupai burung melambangkan kebebasan, keanggunan, dan kekuatan. Dalam konteks kerajaan, makanan ini juga melambangkan keberlimpahan dan kekayaan yang dimiliki oleh

Manuk Nom merupakan wujud simbol kekayaan dan keberlimpahan, yang secara tradisional disajikan dalam acara-acara kerajaan atau perayaan istimewa. Jika dahulu

Manuk Nom menjadi makanan spesial dan khusus yang hanya dapat dinikmati oleh para raja di Keraton Yogyakarta. Namun saat makanan tersebut bisa dicicipi di restoran-restoran sekitar kraton salah satunya seperti restoran Bale Raos dan juga dapat membuat sendiri melalui resep yang telah dibagikan dari buku Warisan

Kuliner Kraton Yogyakarta yang di tulis oleh Ibu BRAy Nuraida

Joyokusumo Manuknom dianggap sebagai makanan penutup yang sangat berharga dan dihargai di kalangan para raja dan bangsawan

Jawa pada masa lalu. Proses pembuatannya yang rumit, menggunakan bahan-bahan yang langka dan mahal, serta dihidangkan hanya pada acara-acara khusus menjadikannya sebagai hidangan istimewa dan mewah.

This article is from: