Edisi #3: Masyarakat Adat - Masyarakat Adat dalam Cengkeraman Delusi Kemajuan

Hutan Harapan yang Meredam Asa

Antropologi Dental: Melihat Kebudayaan Masyarakat Adat Lebih Luas Melalui Gigi

Masyarakat Adat dalam Cengkeraman Delusi Kemajuan

Edisi 003 - Agustus 2021 Tema: Masyarakat Adat

PENGANTAR MAJALAH Masyarakat adat adalah sekelompok masyarakat yang tetap dan teratur dimana saling terikat oleh kaitan duniawi seperti tempat tinggal, kaitan rohani seperti tempat pemujaan atau keagamaan, serta hubungan kekerabatan dari satu leluhur, baik secara pertalian adat maupun perkawinan. Masyarakat adat dikualifikasikan sebagai pejabat kewibawaan dan pendukung hak.

Mereka memiliki sistem hukum adat tersendiri yang terbentuk dan dipertahankan oleh keputusan para pejabat kewibawaan sebagai suatu kristalisasi kenyataan sosial. masyarakat adat menyatakan dirinya sebagai pendukung hak karena memiliki hak-hak atas tanah, air, tanaman, bangunan, benda-benda keramat, dan hal-hal lainnya yang dianggap sebagai bagian dari mereka.

Bertepatan dengan hari Masyarakat Adat Internasional yang jatuh pada tanggal 9 Agustus 2021, masyarakat tidak boleh acuh dari isu-isu mengenai pemenuhan hak-hak dan eksistensi masyarakat adat di bumi Indonesia, hingga mancanegara. Masyarakat adat dan individu memiliki hak untuk mendapatkan kesetaraan dan kebebasan dari segala jenis diskriminasi.

Masing-masing dari mereka berhak untuk memiliki kebebasan atas hak sipil dan politik, mengidentifikasikan dirinya, hingga mendapatkan kesetaraan ekonomi, sosial, dan budaya.

Dengan atau tidaknya simbol hari sebagai peringatan, berbagai peristiwa dan fenomena yang terjadi pada masyarakat adat harus selalu direfleksikan. Bertahun-tahun memang telah ada perubahan menuju kesejahteraan, entah itu perubahan pengakuan hak, ataupun pencapaian penghargaan dalam berbagai bidang. Tetapi tidak kritis rasanya jika meminggirkan isu-isu yang masih menjadi tantangan kepada masyarakat adat hanya karena terpaksa untuk dipinggirkan oleh pihak yang lebih kuat.

Tulisan-tulisan yang ada dalam edisi kali ini menjadi salah satu langkah kontribusi dalam rangka menyuarakan kepada khalayak mengenai ragam kelompok masyarakat adat yang memiliki identitas penting di Bumi Indonesia ini. Dimulai dari hasil kebudayaan hingga isu-isu pemenuhan hak atas konflik, tulisan-tulisan dalam edisi ketiga ini akan menyuguhkan pengetahuan baru mengenai masyarakat adat yang perlu untuk dibawa ke permukaan.

Redaksi Survivor Magz

AK A DE M IK Susunan

Redaksi Penanggung Jawab: Dr.phil., Dra. Toetik Koesbardiati

Pimpinan Redaksi: Aldila Putri Syarifah

Editor: Achmad Bayu Setyawan Firsta Regina Citasmara Naura Ashyffa

Penulis: Layouting: Fitria Novita Sari Fajri Al Insani Hayah Nisrina Firdaus Cindy Rismayanti Mahesa Puncak Firmansyah Nokya Suripto Putri Putra Pradana Kusuma Hartas

Antropologi Dental: Melihat Kebudayaan Masyarakat Adat Lebih Luas Melalui Gigi Penulis: Fitria Novita Sari Editor: Aldila Putri Syarifah

Antropologi dental merupakan salah satu cabang ilmu dari antropologi ragawi yang menggunakan gigi sebagai sumber informasi dan pengetahuan untuk menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan antropologi (Scott, 2017).

Antropologi dental sangat berkaitan dengan budaya manusia yang mempelajari pengetahuan seperti untuk apa saja gigi digunakan dalam suatu masyarakat, penyakit gigi apa saja yang dapat menjangkiti suatu masyarakat, bagaimana cara masyarakat menjaga kesehatan gigi, dan lain-lain (Artaria, 2009).

Dengan mempelajari perubahan bentuk gigi, kita dapat mengetahui perilaku dan budaya manusia pada masanya.

Menurut G. Richard Scott, terdapat empat perilaku yang dapat mengubah bentuk gigi manusia, yaitu: 1.) tingkah laku yang berkaitan dengan makanan, 2.) tingkah laku yang berkaitan dengan peralatan, 3.) memodifikasi gigi dengan sengaja, dan 4.) memodifikasi gigi secara tidak sengaja (Permatasari & Artaria, 2015). Poin ketiga yaitu ‘modifikasi gigi Survivor Edisi 3 | Masyarakat Adat

Dokumen Toetik Koesbardiati

secara sengaja’ banyak dilakukan oleh masyarakat adat untuk tujuan tertentu. Seperti di masyarakat Bali misalnya, terdapat tradisi Metatah di mana mereka memotong sebagian dan meratakan gigi mereka karena memiliki kepercayaan bahwa gigi memiliki sifat buruk seperti amarah dan iri hati. Lalu tradisi dilakukan untuk menghilangkan sifat buruk tersebut. Tradisi Metatah ini masih dipertahankan sampai sekarang oleh masyarakat Hindu di Bali (Kasnowihardjo et al, 2013).

Di tempat lain seperti suku Maya kuno, modifikasi gigi digunakan untuk tujuan estetika dan sebagai tanda status sosial yang tinggi pada seseorang.

Perempuan di Suku Maya kuno menghias gigi dengan cara melubanginya dan kemudian memasukkannya dengan batu 02

Sumber: elitereaders.com

masih sangat sederhana seperti getah tanaman yang dicampur dengan bahan kimia lain. Modifikasi gigi ini membuktikan bahwa suku Maya cukup maju dalam penguasaan ilmu kedokteran gigi pada masanya, karena mereka telah memahami susunan anatomi gigi dan mampu mengebor gigi tanpa mengenai pulpa di dalamnya (Gillan, 2021). Hebatnya lagi, dengan menggunakan alat yang sederhana seperti bor busur mereka mampu melubangi gigi tanpa menyebabkan infeksi dan memicu patahnya gigi. Tradisi ini menurut Miller (2009) juga merupakan sebuah proses ritus untuk menuju kedewasaan.

Selain untuk tujuan kepercayaan dan status sosial, modifikasi gigi juga berfungsi sebagai identitas sebuah suku.

Suku Mentawai yang terletak di Sumatra Barat misalnya, mereka Survivor Edisi 3 | Masyarakat Adat

memodifikasi gigi dengan cara memutilasi atau meruncingkan gigi demi identitas sebagai seorang Mentawai. Jika gigi tidak diruncingkan, mereka merasa dirinya bukanlah seseorang yang berasal dari suku Mentawai.

Selain berfungsi sebagai identitas, modifikasi gigi pada Suku Mentawai juga bertujuan untuk nilai estetika dan mempermudah dalam mengunyah binatang buas. Sayangnya, tradisi peruncingan gigi tersebut menyebabkan proses pengunyahan makanan menjadi tidak sempurna sehingga membuat gangguan terhadap sistem pencernaan. Meskipun tradisi

Sumber: kumparan.com dan travel.tribunnews.com

03

ini sangat unik, tetapi mulai banyak generasi muda Suku Mentawai yang tidak lagi mengikuti tradisi dari nenek moyangnya tersebut karena sudah dianggap kuno dan merasa malu jika giginya diruncingkan (Suriyanto & Koesbardiati, 2010).

Seiring dengan perkembangan waktu, modifikasi gigi masih terus berjalan hingga saat ini. Hal tersebut dilakukan tidak hanya bertujuan sebagai estetika (fashion), kepercayaan, dan identitas diri saja, tetapi juga digunakan untuk tujuan kesehatan seperti behel yang bertujuan untuk merapikan gigi.

Artaria, M. D. (2009). Antropologi Dental. Yogyakarta: Graha Ilmu.

Gillan, J. (2021, Februari). Ancient Origins. Dikutip dari ancientorigins.net: https://www.anc i e n t - o r i g i n s . n e t / n e w s - h u m a n - o r i g i n s - s c i e n c e / jewel-capped-teeth-and-golden-bridges-14000-years-dentistry-001427 Kasnowihardjo, G., Suriyanto, R. A., Koesbardiati, T., & Murti, D. B. (2013, November). Human teeth modification in Binangun and Leran : New findings in the northern coast of Rembang district, Central Java. Berkala Arkeologi, 3(2), 174-176.

Miller, M. (2009, Februari). Extreme Makeover : How painted bodies, flattened foreheads, and filed teeth made the Maya beautiful. Archaeology Archive, 62, 38. Dikutip dari https://archive.archaeology.org/0901/abstracts/maya.html Permatasari, W. A., & Artaria, M. D. (2015, Oktober). Daily habit and the condition of dentition. ResearchGate, 182. DIambil dari https://www.researchgate.net/publication/307611398 Scott, G. R. (2017, September). Dental Anthropology. ResearchGate, 3. Diambil dari https://www.researchgate.net/publication/320283739 Suriyanto, R. A., & Koesbardiati, T. (2010, Juni). Dental modifications : a perspective of Indonesian chronology. Dental Journal, 43(2), 87-88.

Survivor Edisi 3 | Masyarakat Adat

04

Hutan Harapan yang Meredam Asa Penulis: Ahmad Dzul Ilmi Muis Editor: Aldila Putri Syarifah

Sumber: pexels.com

Sejak jaman dulu masyarakat Suku Anak Dalam yang bertempat di Desa Bungku, Jambi hidup berdampingan dengan alam.

Lingkungan mereka yang merupakan hutan yang asri dengan kekayaan sumber daya alam menjadi penunjang kehidupan mereka sehari-hari. Mereka terus-menerus memanfaatkan kekayaan Survivor Edisi 3 | Masyarakat Adat

alam dan terus menjalin interaksi baik dengan alam. Bahkan mereka lebih memilih untuk mengasingkan diri dengan dunia luar (Idris, 2017). Dalam hutan tempat Suku Anak Dalam ditemukan pula beberapa flora dan fauna yang bisa dibilang cukup langka untuk bisa ditemukan. Tidak hanya sekedar flora fauna langkanya, namun hutan tersebut juga gudang bagi berbagai jenis tanaman yang ternyata berfungsi sebagai obat tradisional. Sebagaimana dikatakan oleh Pujayanti (2005) bahwa masyarakat asli setempat selalu menggantungkan hidupnya dengan apa yang ada dalam kekayaan alam tersebut.

Namun seluruh kejayaan hutan masyarakat Suku Anak Dalam kini hanya tinggal kenangan. Pasalnya bahkan masyarakat setempat yang sudah hidup ratusan tahun berdampingan dengan alam harus rela menjadi korban atas perampasan wilayah mereka. hutan-hutan di sana banyak dialihfungsikan menjadi proyek untuk kepentingan perusahaan kelapa sawit (Hein, 2019). Penghuni asli hutan tersebut yang bahkan 05

sudah beratus tahun hidup berdampingan dan merawatnya kini harus berjuang melawan perusahaan kelapa sawit.

Bahkan perjuangan mereka tidak hanya sampai di sana saja, mereka juga harus melawan usaha proyek Hutan Harapan yang digarap oleh PT REKI. Mirisnya sebagaimana yang telah dituliskan oleh Hein (2019), masyarakat Suku Anak Dalam di Desa Bungku tersebut harus rela untuk diusir dari lahan yang selama ini telah

Sumber: pexels.com

Survivor Edisi 3 | Masyarakat Adat

mereka anggap sebagai rumah sendiri tersebut. Mereka merasa rumah mereka saat ini tidak hanya didatangi oleh orang asing, namun orang asing tersebut sekarang juga sudah mengambil alih lahan yang masyarakat adat sejak awal tempati.

Ibarat di dalam rumah yang sedang menerima tamu, namun tamunya ternyata adalah seorang perampok dan balik mengancam keselamatan tuan rumah.

Masih banyak orang yang mungkin akan memperdebatkan apa yang penulis katakan ini, karena di sini penulis berusaha untuk menerapkan perspektif emik, sebagaimana yang telah diajarkan oleh Antropologi pada penulis. Dalam hal ini penulis mencoba untuk berpandangan sebagaimana sudut pandang yang dimiliki oleh masyarakat adat Suku Anak Dalam ketika menyikapi berbagai perubahan menyangkut hutan yang selama ini telah mereka tempati.

Sangat berpotensi menjadi perdebatan adalah posisi PT Restorasi Ekosistem Indonesia (REKI) dalam konteks kasus ini. Sebenarnya tujuan utama dari PT REKI adalah mencoba untuk menghijaukan kembali hutan yang sudah dirusak oleh kegiatan proyek kelapa sawit.

06

PT REKI juga memiliki dukungan langsung dari pemerintah demi upaya penghijauan kembali tersebut. Namun yang menjadi permasalahan adalah ketika upaya penghijauan yang dilakukan oleh PT REKI justru menjadikan posisi Suku Anak Dalam selaku masyarakat adat setempat juga menjadi korban.

Gagasan Hutan Harapan yang digarap oleh PT REKI membuat masyarakat adat setempat merasa tidak nyaman karena banyak sekali kegiatan warga lokal yang harus dibatasi karenanya (Hein, 2019).

Alih-alih menjadi penyelamat hutan dan membebaskan lahan masyarakat adat, justru proyek Hutan Harapan banyak dinilai oleh masyarakat setempat tidak ada bedanya dengan penjajahan yang dilakukan oleh perusahaan kelapa sawit. Hein (2019) berhasil mengungkapkan bahwa ternyata ada tukar tambah politik di balik seluruh peristiwa pelegalan proyek PT REKI untuk membuat Hutan Harapan di Jambi tersebut.

Indonesia sendiri bahkan sempat sesumbar akan menjadi negara percontohan bagi bangkitnya kembali penghijauan hutan di dunia dengan menyumbangkan porsi oksigen paling besar di dunia karena memiliki Survivor Edisi 3 | Masyarakat Adat

dataran hutan yang banyak.

Proyek yang terkesan membantu kelestarian alam tersebut ternyata juga dimanfaatkan untuk mencari prestise oleh negara-negara besar yang turut menjadi donatur utama PT REKI (Hein, 2019). Ada satu hal penting yang luput untuk diperhatikan oleh PT REKI dan pemerintah dalam melakukan upaya penghijauan kembali hutan tersebut. Mereka sama sekali mengabaikan produk sosial dari masyarakat setempat yang telah hidup di sana sejak ratusan tahun (Lefebvre, 1976; Lefebvre, 1991; Soja, 1980). Hutan di sini bukanlah hanya sekedar ruang secara fisik atau materiil, namun ada pemaknaan masyarakat adat setempat terkait hutan tersebut yang telah diturun-temurunkan.

Terdapat ikatan sejarah, pengalaman, kultur dan sebagainya yang tercermin dari bagaimana warga setempat berperilaku (Soja, 1989).

Seperti yang juga sempat penulis singgung bahwa beberapa masyarakat Desa Bungku merasa bahwa dengan adanya proyek Hutan Harapan mengganggu aktivitas mereka sehari-hari. Karena seperti yang dikemukakan oleh Lefebvre bahwa hutan sebagai ruang juga 07

pasti di dalamnya terdapat mode produksi untuk pemenuhan kehidupan sehari-hari masyarakat setempat. Proyek Hutan Harapan tersebut mengganggu mode produksi yang dilakukan bahkan sejak ratusan tahun oleh masyarakat adat.

Penulis berpendapat apabila semisal proyek penghijauan Hutan Harapan tersebut benar-benar juga melibatkan masyarakat adat dalam seluruh prosesnya maka besar kemungkinan konflik agraria tidak akan terjadi. Masyarakat tidak akan merasa terancam dan terusir dari rumahnya sendiri, dan di satu sisi keberhasilan penghijauan hutan akan bisa lebih dimaksimalkan. Daripada pihak lain melihat bahwa hutan hanyalah sekedar lahan atau ruang yang sama sekali tidak memiliki nilai pemaknaan di dalamnya, maka sangat penting dalam berbagai kebijakan pemerintah untuk juga memahami konteks sosio-kultural pada masyarakat yang bersangkutan. Kembali lagi bahwa konteks sosio-kultural yang ada dan melekat dalam masyarakat setempat tidak bisa serta-merta dibuang begitu saja. Mungkin niat baik pemerintah untuk menghijaukan kembali hutan patut kita apresiasi, namun bagaimana pelaksanaan mereka yang justru membuat masyarakat adat merasa terancam dan menimbulkan konflik merupakan hal yang patut untuk kita benahi.

Hein, J. I. (2019). Political ecology of REDD+ in Indonesia: Agrarian conflicts and forest carbon (p. 230). Taylor & Francis.

Idris, N. (2017). Mengkaji ulang pola komunikasi pemerintah dalam pemberdayaan suku anak dalam di provinsi jambi. Jurnal Penelitian Pers Dan Komunikasi Pembangunan, 21(1), 37-48.

Lefebvre, H., & Enders, M. J. (1976). Reflections on the politics of space. Antipode, 8(2), 30-37.

Lefebvre, H., & Nicholson-Smith, D. (1991). The production of space (Vol. 142). Blackwell: Oxford.

Pujayanti, A. (2016). Lsm internasional dan dilema pelestarian di hutan harapan provinsi jambi. Jurnal Politica Dinamika Masalah Politik Dalam Negeri dan Hubungan Internasional, 5(1).

Soja, E. W. (1980). The socio-spatial dialectic. Annals of the Association of American geographers, 70(2), 207-225.

Soja, E. W. (1989). Postmodern geographies: The reassertion of space in critical social theory. Verso.

Survivor Edisi 3 | Masyarakat Adat

08

Dinamika Pelaksanaan Hak Ulayat di Indonesia Penulis: Putra Pradana Kusuma Hartas Editor: Achmad Bayu Setyawan

Sumber: Elviza Diana/Mongabay Indonesia

Hak atas kepemilikan tanah memiliki banyak penyebutan. Djojodigoenoro menyebut sebagai hak purba. Soepomo menyebut sebagai hak pertuanan.

Sedangkan dalam Undang-undang Pokok Agraria, hal itu disebut sebagai hak ulayat.

Menurut Pasal 1 RUU Sumber Daya Agraria, hak ulayat merupakan kewenangan masyarakat hukum adat untuk mengatur secara bersama-sama pemanfaatan tanah, perairan, tanaman serta binatang yang ada di wilayah hukum bersangkutan, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional (Rosalina, 2010).

Hak ulayat diakui dalam Survivor Edisi 3 | Masyarakat Adat

Pasal 3 UU No 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA).

Meskipun pengakuan tersebut tidak secara deklaratif, karena memiliki tiga persyaratan yang masih harus dipenuhi, yaitu masih terdapat dalam masyarakat, sesuai dengan kepentingan nasional dan tidak bertentangan dengan undang-undang dan peraturan yang lain.

Konsep mengenai hak ulayat adalah konsep yang bersifat komunalistik religius yang mengandung unsur kebersamaan. Secara konsep, hak ulayat memberikan otonomi kepada setiap anggota masyarakat hukum adat dalam men09

gelola dan memanfaatkan tanah dan sumber daya yang terkandung demi kesejahteraan masyarakat hukum adat (Safiuddin, 2018).

Namun pada kenyataannya, seperti yang terkandung dalam Pasal 1 RUU Sumber Daya Agraria, hak-hak ulayat seringkali dikalahkan oleh kepentingan- kepentingan tertentu oleh negara (dalam hal ini pemerintah) dengan dalih kepentingan nasional.

Contoh dominasi ini terjadi pada masyarakat adat Laman Kinipan di Lamandau, Kalimantan Tengah.

Wilayah adat mereka akan dikonversi menjadi perkebunan kelapa sawit oleh PT Sawit Mandiri Lestari (SML).

Pada dasarnya, itu adalah wilayah ulayat yang dimana masyarakat adat Kinipan berhak untuk mengelola dan memanfaatkannya.

Namun karena negara memberikan izin untuk mendirikan perkebunan sawit, maka masyarakat adat Kinipan yang telah secara turun-temurun hidup selaras dengan alam, terpaksa harus tergusur.

Menurut teori kekuasaan negara yang dikemukakan oleh Van Vollenhoven, menyatakan bahwa negara adalah lembaga Survivor Edisi 3 | Masyarakat Adat

Sumber: pexels.com

dari suatu bangsa yang diberikan kekuasaan untuk mengatur segala sesuatunya, dan memiliki kewenangan dalam peraturan hukum (Safiuddin, 2018). Oleh karena itu, pelaksanaan hak ulayat juga terpengaruh oleh kekuasaan yang dimiliki negara.

Tumpang tindih pemberian izin lahan untuk perkebunan kelapa sawit di tanah ulayat mengindikasikan bahwa terjadi kelemahan birokrasi dari pemerintah yang tidak menindaklanjuti pendaftaran 12 peta adat (Sahala, 2021).

Tidak adanya pengakuan hak ulayat Laman Kinipan oleh negara, tentu sangat disayangkan. Fungsi negara yang menjadi pengayom bagi warga yang rentan, termasuk msyarakat adat seakan hilang, kalah oleh ‘kepentingan nasional’.

Dengan demikian memperlihatkan bahwa ancaman terbesar dari pelaksanaan hak 10

ulayat di Indonesia, khususnya di Kinipan, adalah negara itu sendiri.

Maka dari itu, harus ada regulasi yang jelas mengenai pengakuan hak ulayat agar statusnya menjadi lebih kuat.

Kinasih, S.E .2012. Buku Ajar Hukum Adat. Surabaya: Revka Petra Media.

Rosalina. Eksistensi Hak Ulayat di Indonesia. Jurnal Sasi, 16(3).

Safiuddin, S .2018. Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat dan Hak Menguasai Negara di Tanam Nasional Rawa Aopa Watumohai. Mimbar Hukum, 30(1).

Sahala, R .2021. Konflik Terus Berlanjut, Komunitas Adat Laman Kinipan Menggugat. h t t p s : // w w w . l i p u t a n 6 . c o m / r e g i o n a l / r e a d / 4 4 5 1 7 9 9 / k o n f l i k - t e r us-berlanjut-komunitas-adat-laman-kinipan-menggugat. Diakses pada 14 Juli 2021.

Survivor Edisi 3 | Masyarakat Adat

11

OPINI Survivor Edisi 3 | Masyarakat Adat

12

Masyarakat Adat Ata Modo vs “Jurassic Park” TNK: Apakah Hak Rakyat Hanyalah ‘Penghambat’ Semata?

Penulis: Nokya Suripto Putri Editor: Firsta Regina Citasmara

Sumber: GenPi.co

Sering kali kita mendapati banyaknya konflik agraria yang terjadi di Indonesia. Aksi demo, tidur di jalanan proyek, pertentangan-pertentangan, hingga timbulnya korban membuktikan betapa krisisnya perlindungan masyarakat adat dalam memperjuangkan hak tanah mereka. Tidak adanya pengakuan berupa sertifikat yang sah bagi tanah masyarakat adat menjadi senjata para kapitalis untuk melakukan eksploitasi tanah ulayat secara agresif.

Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menyebutkan, sepanjang tahun 2019-2020 terjadi ledakan konflik agraria sebanyak 520 konflik, baik vertikal Survivor Edisi 3 | Masyarakat Adat

maupun horizontal. Perelokasian masyarakat adat Ata Modo/Desa Komodo dari Taman Nasional Komodo (TNK) menjadi salah satu contoh konflik agraria horizontal berupa sengketa tanah ulayat masyarakat adat dengan pemerintah daerah. Gubernur NTT, Viktor Bungtilu Laiskodat menyebutkan akan merelokasi Ata Modo ke Pulau Padar dan Pulau Rinca agar tidak mengganggu pengembangan konservasi Komodo pada proyek pembangunan “Jurassic Park”. Hal tersebut mendapat dukungan dari Presiden Jokowi dengan tujuan supaya Ata Modo memiliki sertifikat tanah dan menjadi warga 13

negara yang jelas.

Proyek “Jurassic Park” TNK dilakukan sebagai upaya pengembangan penelitian dan konservasi terhadap komodo serta menjadikannya sebagai wisata premium berkelas dunia yang akan berkontribusi bagi perekonomian nasional. Namun dibalik itu, terdapat perampasan tanah adat milik Ata Modo dan usaha lokal yang kalah saing dengan Perusahaan besar yang memiliki izin investasi di TNK, seperti PT. Segara Komodo Lestari (SKL) dan PT. Komodo Wildlife Ecotourism (KWE).

Tindakan yang dilakukan pemerintahan daerah dianggap membahayakan kehidupan masyarakat adat Ata Modo. Bagi masyarakat adat Ata Modo, tanah adat merupakan harta pusaka tinggi yang dapat menjamin keberlangsungan hidup mereka. Jika perelokasian tetap dilaksanakan, hal tersebut akan berdampak bagi kehidupan, baik segi perekonomian maupun sosial budaya mereka. Tidak mudah bagi masyarakat adat Ata Modo untuk beradaptasi dengan lingkungan dan pekerjaan baru, ditambah dengan adanya perusahaan besar yang berdampak pada kalah saingnya usaha lokal mereka. Hal ini tentu tidak selaras dengan Pasal 27 Survivor Edisi 3 | Masyarakat Adat

Ayat (2) dan Pasal 33 Ayat (3) UUD NRI 1945.

Pengakuan dan eksistensi hak ulayat telah tercantum dalam Pasal 2 dan 3 UUPA No. 5 Tahun 1960, di mana pelaksanaannya harus sesuai dengan kepentingan nasional dan tidak boleh bertentangan dengan peraturan negara tertinggi. Kata “kepentingan nasional” mengacu pada perelokasian masyarakat adat akibat proyek pengembangan konservasi bagi komodo. Seharusnya peran masyarakat adat Ata Modo dibutuhkan dalam pelaksanaan proyek tersebut, karena mereka telah lama tinggal berdampingan bersama komodo dan menjadi saudara sejak awal munculnya Ata Modo ribuan tahun yang lalu. Karena proyek pengembangan konservasi komodo berada di tanah ulayat mereka, seharusnya Ata Modo berhak untuk melibatkan diri di dalamnya. Oleh karena itu, berbagai pihak menentang rencana tersebut karena tidak ada alasan yang kuat untuk perelokasian masyarakat adat Ata Modo.

Tidak hanya itu, perebutan tanah adat dibalut kata “perelokasian” merupakan tindakan manipulatif yang seakan-akan menyalahkan Ata Modo karena tidak memiliki sertifikat 14

tanah yang sah. Padahal jika kita ketahui lebih dalam, tanah ulayat cukup sulit untuk disertifikatkan karena tanah tersebut milik bersama.

Mulai dari penggarapan tanah, pengelolaan tanah, serta tempat tinggal biasanya dilakukan secara bergantian lalu diturunkan ke anak cucu mereka. Oleh sebab itu, tidak mudah untuk mendapatkan sertifikat tanah ulayat karena perlu adanya persetujuan bersama.

Sudah seharusnya Pemerintah Daerah NTT bersikap hati-hati, adil, dan melakukan dialog bersama masyarakat setempat. Pelaksanaan proyek pengembangan konservasi bagi komodo dan pembangunan wisata premium “Jurassic Park” juga harus melihat berbagai aspek sosial, terutama keberadaan Ata Modo. Sikap tegas harus ditunjukkan untuk melindungi hak dan eksistensi masyarakat adat Ata Modo dengan membuat peraturan daerah seperti yang dilakukan oleh pemerintahan daerah Provinsi Sumatera Barat yang membuatkan Peraturan Daerah (PERDA) No. 16 Tahun 2008 tentang tanah ulayat dan pemanfaatannya bagi masyarakat adat Sumatera Barat. Tidak hanya itu, presensi masyarakat adat Ata Modo harus dilibatkan dalam program konservasi komodo dengan harapan dapat membantu meningkatkan perekonomian Ata Modo. Sehingga, pembangunan nasional yang selaras dengan perlindungan hak masyarakat adat dapat terlaksana dengan baik.

Survivor Edisi 3 | Masyarakat Adat

15

Masyarakat Adat dalam Cengkeraman Delusi Kemajuan Penulis: Mirza Yusuf Athaya Editor: Naura Ashyffa

Sumber: Pinterest

Hingga hari ini, narasi mengenai masyarakat adat terus saja bergulir. Konflik agraria menjadi salah satu konflik yang kerap ditemui dari narasi dengan masyarakat adat. Masyarakat adat diharuskan berhadapan dengan berbagai persoalan agraria, perampasan tanah, pengalihan hutan adat menjadi kawasan produksi, dsb. Walaupun sedari awal kemerdekaan bangsa ini eksistensi masyarakat adat dan kawasan adat sudah termaktub dalam UUD 1945. Dalam perjalanannya, masyarakat adat seringkali dihadapkan dengan konflik agraria yang dalam banyak kasus menempatkan masyarakat adat menjadi pihak yang tersubordinasi. Bahkan pada tahun 2019, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) menSurvivor Edisi 3 | Masyarakat Adat

mencatat setidaknya ada 51 anggota masyarakat adat yang dikriminalisasi.

Salah satu konflik yang mencuat kembali di tahun 2020 ialah konflik masyarakat adat Dayak Kinipan dengan perusahan perkebunan sawit PT. Sawit Mandiri Lestari (SML). Konflik yang bergulir sejak 2005 tersebut mencuat kembali di media pada tahun 2020. Suku Dayak Kinipan yang memiliki tradisi dalam mata pencaharian berladang merasa tanah yang diberikan turun temurun dirampas oleh perusahaan sawit. Konversi lahan yang dilakukan perusahaan sawit tersebut merusak ekosistem hutan, membuat berbagai satwa langka seperti orangutan, gajah kalimantan, dan harimau sumatra kehilangan tempat tinggal dan terancam punah.

Berbagai kriminalisasi terhadap para anggota masyarakat adat setempat seringkali dilakukan perusahaan, termasuk terhadap Effendi Buhing, ketua adat setempat. Fenomena konflik semacam ini tersebar hampir di seluruh Indonesia, Pulau Sumatra, Papua, bahkan Pulau Jawa.

Masyarakat adat sendiri 16

merupakan suatu masyarakat yang menurut Hazairin memiliki piranti-piranti yang membuatnya sanggup berdiri sendiri, seperti memiliki kesatuan hukum, kesatuan pengusaha, dan kesatuan lingkungan hidup berdasarkan hak bersama atas tanah dan air bagi semua anggotanya (Walid, 2017). Secara de-jure eksistensi masyarakat adat sudah diatur sejak bangsa ini dibangun, tepatnya dalam pasal 18 UUD 1945. Namun, dalam amandemen-amandemen selanjutnya kita akan menemui kontradiksi hukum. Seperti pada pasal 18 UUD ‘45 yang menggunakan istilah “masyarakat adat” sedangkan pada pasal 28 ayat 1 menggunakan “masyarakat tradisional” padahal kedua pasal tersebut merujuk pada entitas yang sama (Haba, 2010).

Problematika hukum tersebut terus berlanjut dengan berbagai peraturan pemerintah lainnya, yang kemudian membuat masyarakat adat seringkali terhimpit dalam konflik agraria.

Berbagai konflik agraria ini bersumber pada diamininya liberalisasi ekonomi yang menjadikan tanah terlempar dalam sistem mekanisme pasar. Hal ini berdampak pada distribusi tanah dan memunculkan suatu konflik berkepanjangan.

Survivor Edisi 3 | Masyarakat Adat

Mekanisme pasar yang dilandasi hukum ekonomi supply and demand menjadikan tanah makin hari harganya semakin melambung tinggi ke angkasa.

Tentu dengan ini pihak yang memiliki modal akan dengan mudah memasuki arena pertarungan dan memenangkan pertarungan. Padahal kita tahu jumlah tanah tak akan pernah berubah, terkecuali dengan reklamasi yang tentu lagi-lagi

Sumber: Pinterest 17

hanya pemilik modal yang bisa mewujudkannya.

Pada zaman Soekarno, kebijakan reformasi agraria (Land Reform) sempat digulirkan guna menyediakan akses tanah bagi rakyat agar dapat dikelola secara kolektif. Tanah tersebut diperuntukan hanya pada masyarakat dan tidak untuk penguasa maupun pemodal. Namun, seperti yang dapat

Sumber: Pinterest

kita prediksi, program semacam ini tidak bertahan lama. Tumbangnya kekuasaan Soekarno oleh Soeharto membuat program ini berhenti dan hanya berumur 5 tahun saja. Kemudian Soeharto memutus dan melanjutkannya dengan berpihak kepada para pemodal: mengkonversi hutan agar bernilai ekonomi.

Survivor Edisi 3 | Masyarakat Adat

Wacana investasi demi melesatnya perkembangan ekonomi hingga hari ini masih menjadi hal yang berulang kali digulirkan oleh pemerintah.

Wajah pembangunan Indonesia terasa sangat kapitalistik.

Ekonomi-Investasi menjadi kata yang sering berdengung dari sang penguasa.

Walaupun dalam konteks yang lebih luas tentu aspek ekonomi tak dapat begitu saja diindahkan. Namun, kebijakan tentu tidak berfungsi untuk manfaat praktis dan jangka pendek saja. Ada banyak aspek yang tentu juga harus dikalkulasi dari berbagai kebijakan yang dilahirkan. Salah satu aspek yang penting dikalkulasi adalah aspek lingkungan.

Cita-cita negara maju hanya akan menjadi delusi semata jika bangsa ini tetap memilih jalan pintas percepatan ekonomi dengan eksploitasi di berbagai lini. Tanpa mempertimbangkan aspek lingkungan dan kebudayaan pilihan itu hanya akan menghasilkan problematika yang lebih besar.

Kembali pada masyarakat adat, dengan cengkraman kebijakan pemerintah yang menghamba pada hierarki ekonomi membuat masyarakat adat akan sulit eksis kedepannya. Program yang seringkali 18

seringkali melahap mereka atas nama pembangunan sesungguhnya menjadi ancaman bom waktu bagi bangsa ini. Program pembangunan yang mengindahkan pola pengetahuan lokal dan aspek lingkungan hanya akan menjadi delusi kemajuan. Oleh karenanya, pembangunan berkelanjutan sudah seharusnya diterapkan dengan serius.

Sustainable development menurut Kothari merupakan “kumpulan metode untuk menciptakan dan mempertahankan pembangunan yang berupaya untuk mengentaskan kemiskinan, menciptakan standar hidup yang adil, memenuhi kebutuhan dasar semua orang, dan membangun praktik politik yang berkelanjutan, sambil memastikan bahwa tidak ada kerusakan permanen pada sumber daya dan sumber daya alam” (Adhuri, 2009).

Selain memastikan keberlanjutan lingkungan, paradigma pembangunan yang ditawarkan oleh Kothari juga penting untuk diperhatikan.

Kothari juga menekankan bahwa jawaban soal pembangunan yang awalnya diperkirakan dapat terjawab oleh sains modern, hari ini pengetahuan tradisional juga menawarkan wawasan dan praktik yang kritis yang layak untuk Survivor Edisi 3 | Masyarakat Adat

diperhitungkan (Adhuri, 2009).

Salah satu gambaran kearifan budaya yang bisa kita lihat sebagai upaya revolusioner bagi keberlanjutan ekologis ialah istilah mamar yang terdapat di Kabupaten Timor Tengah Utara, Provinsi Nusa Tenggara Timur.

Walaupun daerah tersebut memiliki curah hujan yang rendah, masyarakat Atoin Meto—nama suku setempat—dapat menjaga ekosistem setempat dan terhindar dari krisis air. Di Timor, krisis air seringkali terjadi disebabkan oleh penebangan kayu yang berlebihan. Namun di Desa Femnasi, dengan adanya istilah mamar, di mana istilah tersebut merujuk pada terdapatnya tanaman di kawasan hutan rakyat yang dipercaya dapat melindungi sumber daya air serta mempunyai nilai magis religius (Openg, 2015). Bentuk-bentuk kebudayaan semacam ini dapat banyak kita jumpai di berbagai wilayah di Indonesia.

Program-program pembangunan sudah seharusnya memperhatikan praktik-praktik sema19

macam mamar. Sebuah praktik yang jauh lebih revolusioner dibandingkan bagaimana modernitas mempraktikan usahanya menyeimbangkan ekosistem. Karena dalam suatu kebudayaan, praktik menjaga keseimbangan alam semacam itu tidak terletak pada tataran praktis—aturan-aturan tertulis---namun masuk hingga sistem ide—kepercayaan atau nilai-nilai yang dipegang.

“Masyarakat Adat dalam Cengkeraman Delusi Kemajuan”

Survivor Edisi 3 | Masyarakat Adat

20

Eksistensi Disabilitas dalam Ruang Adat: Bayang-Bayang Stigma dalam Perwujudan Portal Menuju Inklusi Penulis: Naura Ashyffa Editor: Mahesa Puncak Firmansyah

Sumber: Pinterest

Manusia terlahir dengan kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Dalam kehidupan masyarakat modern dewasa ini, isu-isu terkait disabilitas menjadi salah satu sorotan penting dalam keseharian kita. Berbagai permasalahan yang mendiskreditkan para penyandang disabilitas kerap menjadi isu-isu yang sering diangkat dalam surat-surat kabar. Terkait penyandang disabilitas sendiri telah diatur dalam pasal 1 UU No. 18 tahun 2016 yang menyebutkan bahwa penyandang disabilitas adalah setiap orang yang mengalami keterbatasan fisik, intelektual, mental atau sensorik dalam jangka waktu lama yang dalam interakSurvivor Edisi 3 | Masyarakat Adat

sinya dengan lingkungan dapat mengalami hambatan dan kesulitan untuk berpartisipasi secara penuh dan efektif dengan warga negara lainnya berdasarkan kesamaan hak.

Kondisi disabilitas perlu menjadi perhatian khusus dan perlunya komitmen bersama dalam masyarakat untuk senantiasa menghormati, melindungi, dan mengusahakan hak-hak mereka agar tetap terpenuhi.

Seperti yang tertuang dalam Pasal 28H ayat (2) UUD 1945, “para penyandang disabilitas berhak mendapatkan kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan”.

21

Selain itu, para penyandang disabilitas juga sangat berhak untuk mendapatkan penghormatan atas integritas mental serta fisiknya berdasarkan kesamaan dengan orang lain. Para penyandang disabilitas rentan terhadap perilaku diskriminatif sebagai akibat dari lekatnya stigma-stigma lekat pada diri mereka. Stigma-stigma seperti patut dikasihani, dianggap berbeda dengan orang lain, dan tidak bisa berdiri sendiri selalu membayangi arus gerak mereka dalam beraktivitas sehari-hari.

Perilaku-perilaku diskriminatif kepada para penyandang disabilitas tidak semestinya dibenarkan, karena hak-hak yang mereka miliki adalah sama dengan orang-orang normal lainnya.

Kini permasalahannya ialah: jika dalam masyarakat modern sendiri masih banyak ditemukan perlakuan diskriminatif kepada para penyandang disabilitas, lantas bagaimana dengan para penyandang disabilitas dalam lingkup masyarakat adat? Kerentanan terhadap perilaku diskriminatif menjadi bertambah, mengingat masyarakat adat sendiri masih dipandang sebelah mata. Isu mengenai kondisi disabilitas pada masyarakat adat masih Survivor Edisi 3 | Masyarakat Adat

dipandang sebelah mata. Isu mengenai kondisi disabilitas pada masyarakat adat masih belum banyak mendapat perhatian dari masyarakat luas. Padahal, dalam CRPD (Convention on the Rights of Persons with Disabilities) dan hukum negara Indonesia sendiri yang tertuang dalam Undang-Undang No. 8 tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, mengungkapkan bahwa kondisi disabilitas bisa menimpa siapa saja. Kondisi disabilitas tidak diharapkan dan diinginkan untuk terjadi, namun kondisi tersebut bisa menimpa siapapun dalam lapisan masyarakat yang beragam pula.

Isu disabilitas dalam masyarakat adat masih sering terabaikan. Kondisi disabilitas dalam lingkup masyarakat adat sendiri menghadapi berbagai tantangan dan bukan tidak mungkin sangat berpotensi mengalami diskriminasi ganda, yaitu diskriminasi sebagai masyarakat adat dan diskriminasi sebagai penyandang disabilitas. Situasi ini cukup memprihatinkan, dimana mereka tersisih dari hak-haknya atas akses dalam kehidupan. Akses pendidikan, kesehatan, pekerjaan, dan bantuan-bantuan serta jaminan sosial masih belum terakomodir dengan layak.

Bagaimana 22

Sumber: Pinterest

negara ini bisa maju jika dalam realitanya sendiri masih banyak masyarakat dengan kebutuhan khusus saja masih belum terjangkau?

Padahal jika ditinjau melalui UU No. 19 tahun 2011 tentang Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas yang meratifikasi Konferensi PBB tentang hak penyandang disabilitas menjadi momentum baru untuk melibatkan mereka dalam pembangunan berbasis hak asasi manusia, tak terkecuali para penyandang disabilitas dalam lingkup masyarakat adat.

Paradigma pembangunan yang adil dan merata sepertinya belum menjangkau dan melibatkan seluruh lapisan masyarakat secara aktif. Pembangunan ini belum sepenuhnya memberikan perhatian terhadap kelompok-kelompok tertentu, dalam konteks ini adalah masyarakat adat penyandang disabilitas. Kesadaran atas pembangunan inklusi yang tidak semata memperhitungkan pertumbuhan ekonomi, namun juga aktif melibatkan masyarakat secara menyeluruh perlu semakin digalakkan. Pembangunan inklusi merupakan suatu bentuk pembangunan yang melibatkan para stakeholder, dimana pemerintah, masyarakat, dan sektor-sektor publik bekerja sama mengatasi isu pembangunan dan secara khusus melibatkan kelompok masyarakat marginal, termasuk para penyandang disabilitas dalam lingkup masyarakat adat untuk ikut serta bekerja sama. Pembangunan inklusi ini dapat berjalan dengan baik jika seluruh pihak yang terkait mampu menciptakan kesetaraan, partisipasi, dan kesempatan yang sama melalui prinsip hak asasi manusia yang non-diskriminatif. Jika pembangunan inklusi ini bisa diterapkan hingga menjangkau masyarakat adat secara menyeluruh, maka pembangunan yang adil dan merata dapat terwujud.

Survivor Edisi 3 | Masyarakat Adat

23

SENI Survivor Edisi 3 | Masyarakat Adat

24

Ibu, Jangan Tiada

Penulis: Hayah Nisrina Firdaus Editor: Firsta Regina Citasmara

Jika ibu tiada, kami pun ikut tiada. Ibu tidak pernah memikirkan kematian, karena kami berjuang supaya ibu tidak mati. Siapa lagi yang akan menjaga ibu kalau bukan kami yang setia? Sepanjang hari dirawat dengan penuh kasih sayang. Tak luput memberi makan sembari mengelus halus. Ibu tersayang akan abadi sepanjang masa.

Siapa lagi yang memberiku pesan kalau bukan ibu? Setiap kali berkunjung, aku akan mengambil pesan dan mendengarkannya selepas pulang.

Pesan-pesan ibu kusimpan rapat agar tetap melekat dalam jiwa dan ingatan.

Terkadang, orang-orang merasa heran mengapa aku selalu memungut pesan dari ibu. Mereka tidak tahu bahwa yang kupungut adalah pesan, bukanlah tanah biasa. Mereka juga tidak mengerti apa yang kudengar sepulang dari meninggalkan ibu.

Di kala fajar menyingsing, ayam jantan berkokok membangunkan orang-orang yang merindukan ibu, kami terbangun dan mulai melangkah keluar rumah. Setapak demi setapak mengarungi alam yang asri. Orang dewasa, remaja, dan anak-anak membaur saling sapa. Para tokoh adat berjalan beriringan dengan kegagahan yang sangat dihormati masyarakat.

Survivor Edisi 3 | Masyarakat Adat

25

Sumber: mongabay.co.id

"Jangan sampai ada perusahaan yang merampas hutan di tanah adat kami!," seru pemimpin adat seraya menebas para eukaliptus yang menghalangi jalan menuju ibu. Eukaliptus yang ditanam oleh para pemilik perusahaan kian tumbuh meliar, seolah hendak menghadang langkah kami menuju hutan. Tidak hanya itu, para eukaliptus dapat mengancam hutan adat kami. Aku yang sudah di dalam ibu mendengarnya, ibu pun juga demikian.

"Hei anak muda, mau kau apakan tanah itu?," tanya salah seorang tokoh adat kepadaku, yang sudah berada sekitar satu meter di hadapanku.

Tugasnya mengawasi dan menjaga keadaan ibu. Sepertinya ia tidak sengaja melihatku sedang memungut sejumput tanah pada diri ibu.

Segera tanah tersebut kumasukkan ke dalam kotak bambu mungil berbentuk lingkaran seukuran koin dengan tinggi setengah dari jari kelingkingku. Penutupnya pipih dan dapat menutup rapat—dirancang untuk menyimpan pesan ibu.

"Mengambil pesan dari ibu," jawabku seraya menunduk sopan lalu bergegas menyusuri bagian ibu yang lain untuk menyampaikan pesanku. Para tokoh adat itu memanglah tampak garang. Namun sejatinya, mereka tidak pernah berang terhadap anak muda. Baginya, biarlah kami bersenang-senang atau bekerja, yang penting tidak merusak ibu.

Survivor Edisi 3 | Masyarakat Adat

26

Sesampainya di samping salah satu pohon kokoh, aku menyampaikan pesanku, "Ibu, terima kasih sudah memberi kesempatan kami mendapat nafas segar.”

Aku mengelus halus batang pohon itu.

Masih banyak pohon-pohon lain yang tidak perlu dielus satu persatu. Namun yang terpenting, ibu sudah merasakannya.

“Itulah alasan kami hidup, Bu. Ibu juga harus selalu hidup." Lanjutku pada elusan terakhir, sebelum akhirnya meninggalkan ibu menuju tempat tinggalku. Dalam perjalanan pulang, aku melihat orang-orang berbusana rapi terus memandangi ibu layaknya pengintai. Aku yakin ibu pasti merasakan tatapan tanpa kasih sayang mereka yang terasa sangat mengganggu. Sayang, ibu tidak bisa berbuat apapun untuk menyelamatkan diri. Harus kami yang memperjuangkannya. ibu telah memberi kehidupan kepada kami. Tapi siapa aku yang hanya pemungut tanah—maksudku pesan ibu.

Survivor Edisi 3 | Masyarakat Adat

27

Di dalam rumah, kubuka kotak bambu mungil berisi pesan ibu. Kali ini warna coklatnya tidak begitu pekat dengan tekstur yang jauh lebih kering dari biasanya. Tidak sehalus debu pantai, namun tidak gembur seperti pesan-pesan ibu biasanya. Aku memeriksa kotak-kotak pesan ibu sebelumnya. Mereka tidak hanya tanah, tetapi bisa remahan batang pohon yang tidak sengaja rontok ketika kuelus. Cukup satu sampai tiga jumput saja, aku sudah mendapatkan pesan ibu.

Benar saja, kali ini memang jauh lebih kering. Setahuku, kunjungan tadi tidak sedang gersang. Ah, sudahlah. Segera kudekatkan beberapa jumput dalam kotak bambu mungil itu ke telinga. Sudah terdengar pesan ibu dengan suaranya yang sungguh menyejukkan. Namun, kali ini lain dari biasanya. Aku tidak tersenyum apalagi menikmati pesan ibu.

“Selamatkan ibu. Ibu tak ingin tiada.”

MOTHER

Survivor Edisi 3 | Masyarakat Adat

28

Amanat Leluhur – Eksistensi, Tantangan, dan Fotografer Azhar Adys Praditya

Meski terus diterjang arus modernisasi, masyarakat adat Baduy tetap berpegang teguh pada kearifan lokal yang berbasis pada amanat leluruh. Amanat yang diberikan leluhur ialah untuk selalu memelihara keseimbangan dan keharmonisan alam semesta. Maka tidak heran jika keseharian masyarakat Baduy hidup dengan sederhana dan apa adanya, membatasi segala hal yang berkaitan dengan pemenuhan materi yang berlebihan dan hidup dengan berpedoman pada adat yang telah dipelihara.

Survivor Edisi 3 | Masyarakat Adat

29

Moment of Devotion Fotografer Putri Angelin

Faith can be seen in a lot of forms and a lot of things, but faith and beliefs in the existence of higher powers, gods and goddesses proofs how fragile we are as humans who always seem to seek for certainty.

Survivor Edisi 3 | Masyarakat Adat

30

INTERMEZZO Survivor Edisi 3 | Masyarakat Adat

31

REKOMENDASI CHANNEL YOUTUBE Penulis: Naura Ashyffa

Sumber: Techradar

National Geographic National Geographic Channel atau biasa disingkat sebagai Nat Geo merupakan program yang sangat dikenal oleh masyarakat mancanegara.

Program ini berupa siaran dokumenter lintas negara dan budaya yang meliput alam, ilmu pengetahuan (sciences), dan sejarah. Dokumenter seperti suku dan budaya masyarakat adat yang tersebar di berbagai belahan dunia juga kerap diangkat menjadi highlight dalam setiap liputannya.

Sumber: Youtube

Planet Doc Full Documentaries Mirip seperti National Geographic Channel, Planet Doc Full Documentaries juga menyuguhkan liputan-liputan dokumenter seperti kehidupan alam dan kebudayaan-kebudayaan tertentu. Channel ini juga mengenalkan beberapa masyarakat etnis dunia seperti contohnya kelompok etnolinguistik Senufo di Afrika Barat dan masyarakat Suku Bajau di Filipina Selatan.

Survivor Edisi 3 | Masyarakat Adat

32

REKOMENDASI CHANNEL YOUTUBE Penulis: Naura Ashyffa

Sumber: Youtube

Life That Matters Channel ini fokus mengulas tentang kehidupan masyarakat adat dunia dan kebudayaan sehari-harinya. Unggahan liputan-liputannya seperti Pygmy Tribes in Congo, Inuit Tribes in Arctic, dan Hmong Tribes in Vietnam dikemas dalam video dokumenter berdurasi selama kurang lebih 50 menit.

Sumber: Youtube

Tracks (The Culture and Travel Channel) Tracks (The Culture and Travel Channel) merupakan channel yang berupa vlog perjalanan yang fokus mengeksplorasi kebudayaan dan tradisi-tradisi dari budaya mancanegara. Ulasan mengenai tradisi, ritual, dan sejarah dari kebudayaan tersebut diceritakan dan dikemas dengan menarik dalam setiap unggahan barunya.

Survivor Edisi 3 | Masyarakat Adat

33

REKOMENDASI CHANNEL YOUTUBE Penulis: Naura Ashyffa

Sumber: artfolio.io

DW Documentary “Discover the world around you with us” Selaras dengan slogannya, DW Documentary mengajak kita untuk menjelajahi dunia di sekitar kita bersama channel ini. Beragam permasalahan urban dan lingkungan serta fenomena-fenomena mancanegara diangkat dan diulas dengan apik. Tak ketinggalan, permasalahan-permasalahan yang dihadapi suku-suku di dunia seperti pada unggahannya yaitu The Akha Tribe in Laos: Between Tradition and Modernity dan The Last Nomads of Borneo ikut menjadi isu yang layak untuk dikupas secara mendalam.

Survivor Edisi 3 | Masyarakat Adat

34

“

Meski masa-masa sulit saat pandemi masih berlanjut, bukan berarti kita harus selalu merasa sedih dan khawatir. Yuk, temukan kembali positive vibe mu dalam Survivor Playlist #3 berikut ini. Let’s check it out~

THE WORLD IS IN CHAOS, LET’S STAY POSITIVE WITH SURVIVOR PLAYLIST #3 Survivor Edisi 3 | Masyarakat Adat

”

35

BTS - Permission to Dance

The Aces – Daydream BTS IS BACK! Setelah sukses dengan Butter, BTS kembali merilis lagu terbaru bertajuk ‘Permission to Dance’ yang menjadi kolaborasi kedua bersama Ed Sheeran sebagai co-writer. Dengan genre pop-disco yang asik, melodi dan groove yang catchy, BTS ingin membangkitkan semangat kita di tengah pandemi Covid-19 yang terus berlanjut.

Koreografi lagu tersebut juga menggabungkan bahasa isyarat internasional untuk kata-kata seperti "fun", "dance" dan "peace", di mana memiliki makna positif serta mudah diikuti semua orang.

Survivor Edisi 3 | Masyarakat Adat

Band alternative-pop asal Amerika, The Aces merilis single berjudul ‘Daydream’ sebagai bagian dari album mereka, “Under My Influence.” Meski berkisar pada kegiatan kecil sebagai upaya menjaga diri agar tetap waras ketika jauh dari orang terkasih, ‘Daydream’ bukanlah lagu melankolis. Dengan serenade gitar yang bersih, permainan bassline yang epic, harmoni vokal yang halus, dan sentuhan synth-pop breezy era 80-an berhasil menyajikan ‘Daydream’ dalam balutan euphoria serta emosi nostalgia yang hangat dan terkesan fresh.

36

Sigala, Ella Eyre, Meghan Trainor, French Montana -Just Got Paid

Matter Halo – Runway Lights

Band indie-rock asal Jakarta, Matter Halo melepas single bertajuk ‘Runway Lights’ sebagai pembuka menuju album mereka, “Nightvision” pada tahun 2020 lalu. Inspirasi utama dalam produksi lagu ini berasal dari grup Rockabilly dan Indo-rock terkenal di tahun 1960-an seperti Elvis Presley dan The Tielman Brothers, serta perjalanan Ibnu menggunakan kereta di Jepang pada tahun 2016. ‘Runway Lights’ menyampaikan pesan kepada pendengarnya bahwa hanya kitalah yang bertanggung jawab terhadap keselamatan dan rasa bahagia di tengah situasi yang tak terkontrol saat ini.

Survivor Edisi 3 | Masyarakat Adat

“I just got paid. I'm broke, but I'm ballin',” begitulah sepenggal lirik dari lagu ‘Just Got Paid’. Sebuah kuartet yang tak pernah terprediksi akan melakukan kolaborasi, namun nyatanya mampu melahirkan masterpiece yang luar biasa. Lagu electronic dance music bernuansa ala-ala club ini semakin meriah dengan usungan disco funk retro oleh Sigala, penyajian vokal yang bulat dan poppy dari Meghan dan Ella, serta sempalan rap yang keren dari French Montana. ‘Just Got Paid’ memberikan sindiran kepada orang-orang yang kerap menerapkan gaya hidup mewah tapi budget yang terbatas.

37

Palmy Chiller feat. Mayu Wakisaka - Rizky Biz

Palmy Chiller, yaitu proyek synthpop milik produser pop bernama David Amber menggandeng Mayu Wakisaka, seorang penyanyi-penulis lagu, komposer, dan penulis lirik asal Jepang dalam perilisan single bertajuk ‘Risky Biz’. Lagu bergenre Japanese City Pop ini berkisah tentang kondisi atau situasi seseorang yang beresiko terluka karena cinta. Dengan kombinasi elemen new wave, pop, city pop, synthwave serta rock, Palmy Chiller berhasil membalut ‘Risky Biz’ dalam nuansa retro dan sentuhan modern yang asik dan menyegarkan.

Survivor Edisi 3 | Masyarakat Adat

38

AFTER REPORT: STUDI BANDING BERSAMA HURIA UNPAD Penulis: Valmai Alzena Karla Editor: Aldila Putri Syarifah

Pada Sabtu, 29 Mei 2021, himpunan Mahasiswa Antropologi Unair telah menggelar sebuah acara studi banding yang diadakan bersama Huria Mahasiswa Antropologi Universitas Padjadjaran. Acara studi banding tersebut bertemakan “Adaptasi” dimana HIMA Antropologi Unair dan HUMAN Unpad saling berbagi topik mengenai bagaimana cara beradaptasi dalam keadaan pandemi dengan mengadakan seluruh acara secara daring. Studi banding ini dilaksanakan melalui media zoom dengan para peserta menghadiri acara di rumah mereka masing-masing.

Terdapat beberapa tujuan di balik pelaksanaan acara studi banding ini. Pertama, yaitu untuk menambah wawasan serta relasi baik bagi para anggota HIMA Antropologi Unair juga HUMAN Universitas Padjadjaran. Selain itu, dengan diadakannya studi banding ini para anggota Divisi Hubungan Masyarakat HIMA Antropologi Unair selaku penyelenggara acara juga mengharapkan kedua belah pihak yang hadir dalam pelaksanaan acara studi bandSurvivor Edisi 3 | Masyarakat Adat

banding ini para anggota Divisi Hubungan Masyarakat HIMA Antropologi Unair selaku penyelenggara acara juga mengharapkan kedua belah pihak yang hadir dalam pelaksanaan acara studi banding senantiasa tetap bisa mendapatkan pengalaman berorganisasi dalam kondisi pandemi.

Pada pelaksanaan acara Studi Banding HIMA Antropologi Unair X HUMAN Universitas Padjadjaran ini telah berlangsung pemaparan struktur organisasi serta program kerja dari masing-masing organisasi. Pembahasan yang dipaparkan sangat lengkap, mulai dari arti kabinet hingga rencana seperti apa program kerja akan dijalankan nantinya.

Selain itu, juga diadakan diskusi di per-divisi yang terbagi ke 39

dalam beberapa break out room guna menambah masukan dan kesempatan untuk berdiskusi dengan anggota yang bergerak di bidang yang serupa. Tak lupa, pada acara studi banding kali ini juga terdapat quiz yang tidak hanya menambah keseruan acara, tetapi juga menambah ilmu pengetahuan umum serta ilmu seputar Antropologi.

Dengan ditambahkannya hadiah bagi para pemenang quiz juga semakin menambah antusias para peserta untuk berpartisipasi dalam acara ini.

Dengan dilaksanakannya acara studi banding antara HIMA Antropologi Unair dengan HUMAN Universitas Padjadjaran, terdapat beberapa hal yang dapat menjadi bekal untuk masing-masing organisasi. Selain menjadi gambaran mengenai program kerja baik di HIMA Antropologi Unair dan HUMAN Universitas Padjadjaran yang secara langsung dapat berbagi insight yang telah diimplementasikan pada organisasi masing-masing, kegiatan ini juga menghasilkan tambahan relasi yang mana para anggota yang tergabung dalam kedua organisasi dapat saling menjalin serta mempererat ikatan sebagai mahasiswa Antropologi.

Survivor Edisi 3 | Masyarakat Adat

40

Referensi

Sumber: pexels.com

Sumber: pexels.com

Sumber: pexels.com Survivor Edisi 3 | Masyarakat Adat

Sumber: unsplash

Sumber: pexels.com

Sumber: unsplash

Sumber: pexels.com

Survivor Edisi 3 | Masyarakat Adat

Masyarakat Adat

dalam Cengkeraman Delusi Kemajuan

Departemen Antropologi Universitas Airlangga c 2021