Tabloid Jumpa #43 (2013)

Page 5

JUMPA UTAMA

halaman 5

Jejak Langkah Dewi Sartika Indra Nurrahmattullah/ALBA 22

Dwi Reinjani

R. Dewi Sartika dalam bingkai sketsa.

S

iapa yang tak mengenal Raden Ajeng Kartini? Pahlawan wanita yang membuka pintu kesetaraan hak antara pria dan wanita di Indonesia. Bahkan negara kita memiliki hari khusus untuk mengingat jasa-jasanya. Setiap tanggal 21 April, sebagian kanak-kanak dan pelajar mengenakan pakaian adat daerah dan berpawai. Bukan sekadar bereuforia, namun mereka juga menyuarakan nada-nada semangat persatuan dan hak bagi para rakyat Indonesia. Kartini berbeda dengan pahlawan wanita lainnya, seperti Cut Nyak Dien, Cut Nyak Mutia atau Dewi Sartika yang terkenal di daerah-nya saja. Memang contoh ketiga pahlawan tersebut tidak memiliki hari khusus, nama pahlawannya dikenal ketika duduk di bangku Sekolah Dasar, atau pada buku yang dijajakan pedagang asongan di bus. Namun apakah benar nama Dewi sartika dikenal sosoknya oleh masyarakat Bandung? Atau namanya hanya diketahui sebagai nama salah satu jalan. “Tau sih, Dewi Sartika itu pahlawan soalnya namanya dipakai untuk penaman jalan raya,” ucap Siska, Pelajar SMA Pasundan Bandung. Hal senada juga diucapkan oleh Muhammad Agus Muharram, mahasiswa Fakultas Pendidikan Akuntansi, Universitas Pasundan ini mengenal Dewi sartika hanya sebatas jalan. “Iya tahu, Dewi Sartika itu nama jalankan?” ucapnya. Mengenal Dewi Sartika dan Keluarganya Pemilik nama lengkap Raden Dewi Sartika ini biasa disapa Uwi, lahir di Bandung pada 4 Desember 1884. Uwi anak kedua dari lima bersaudara yang lahir dari pasangan suami istri Raden Rangga Somanagara dan Raden Ayu Rajapermas. Ayahnya adalah seorang Patih Afdeling yang kemudian diangkat menjadi Patih Bandung. Uwi adalah anak kedua dari lima bersaudara. Kakaknya bernama R. Somamur dan ketiga adiknya bernama R. Saripamerat, R. Entis dan R. H. Yunus. Sebab ayahnya adalah seorang patih, maka ia dan adik perempuannya diperbolehkan untuk sekolah di Eerste Klasse

School, setingkat Sekolah Dasar bagi para anak laki-laki bangsawan. Ketika itu ia dan keluarganya menempati sebuah rumah besar yang terletak di Kepatihan Straat, agar jarak rumah mereka dengan rumah dinas Bupati atau biasa disebut Pendopo Dalem lebih dekat. Sewaktu kecil Uwi mengalami sebuah kecelakaan yang membuat tangan kanannya patah akibat terjatuh saat bermain. Pengobatan yang dilakukan pun masih sangat tradisional hanya diurut dan dibalut ramuan, akibatnya semenjak pristiwa itu Uwi menjadi seorang yang kidal. Ia termasuk anak perempuan yang cukup tomboi, peringainya lincah, dan lugas dalam berbicara. Keluarganya yang berkecukupan ditambah dengan jabatan ayahnya membuat kehidupan mereka sangat tertata. Pulang pergi dengan kereta kuda, berpenampilan sopan dan bersahaja juga kehidupan mewah yang selalu mengelilingi mereka pernah ia rasakan. Namun pada Januari 1894 ayahnya diasingkan ke Ternate karena dituding sebagai pemberontak akibat pertentangan politik yang sedang terjadi di Bandung. “Ayahnya dibuang ke Ternate lalu Dewi Sartika dititipkan pada Uwa-nya (paman, -red) Raden Aria Suriakarta, Patih Cicalengka,” ucap Dinni Krisna Harahap, cucu Dewi sartika. Semenjak saat itu ia diperlakukan sebagai abdi dalem karena dianggap anak pemberontak perlakuan tersebut membuatnya sering merasa sedih. Jika ia merasa seperti itu, maka ia akan duduk di antara anak tangga yang berada di dalam rumah tersebut sambil melihat remaja wanita dari kalangan menak ke bawah berlatih menjadi perempuan yang baik dan menawan bagi para calon-calon suaminya. Namun ada yang mengusik hatinya pada saat itu. Para remaja tersebut diajari banyak hal dari mulai makan, minum, berbicara sampai berjalan akan tetapi mereka tidak diajari bagaimana caranya membaca dan menulis. Sehingga dari semua remaja menak tersebut mengalami buta huruf. Memulai Aksi dari Simpati Delapan tahun berlalu, Uwi tumbuh menjadi wanita yang cantik dan memesona. Kecantikan itulah yang membuat R. Kanjun seorang anak Patih Cicalengka ingin mempersuntingnya. Namun karena ia tidak ingin menganut paham poligami ia menolak pinangan itu secara halus. Tidak lama setelah ia menolak pinangan R. Kanjun, datang berita bahwa ayahnya telah wafat di pembuangan dan ibunya kembali ke Bandung. Mengingat nasib para wanita menak yang sering berlatih tata krama di rumah pamannya dahulu, ia akhirnya berusaha untuk memperjuangkan hak pendidikan bagi kaum wanita saat itu dengan mendirikan sekolah di halaman rumahnya. Sekolah tersebut terus berkembang hingga halaman rumahnya tidak muat lagi menampung siswa.

Dewi Sartika (duduk) bersama guru-guru Sakola Kautamaan Istri. [Sumber foto : Buku Meniti Jembatan Emas | Yan Daryono]

Walaupun sempat ditentang oleh ibunya, Dewi Sartika datang ke Bupati Bandung untuk meminta izin mendirikan sekolah, menurutnya dari ibu yang baiklah maka akan terlahir generasi yang baik pula. Melihat kegigihan dan kesungguhan Uwi untuk membangun Sekolah Khusus Wanita, Bupati Bandung pun luluh dan memberikan izin. Tepat pada tanggal 16 Januari 1904 Sakola Istri dibentuk. Dengan tiga orang pengajar yaitu R. Oewit, R. Poerwa dan R. Dewi Sartika sendiri. “Beliau aktif menulis untuk kaum wanita dalam Bahasa Sunda, aktif di organisasi dan pembangunan pendidikan. Sosok yang sangat berpengaruh bagi Jawa Barat dan Indonesia,” ucap Hawe Setiawan, Budayawan Sunda. Dewi Sartika Dewasa dan Pilihannya Menginjak usia ke 20 tahun, Uwi mendapat sebuah pinangan dari Pangeran Djajadiningrat, seorang menak dari Banten. Namun karena ia tidak mau menikah dengan pria yang belum dikenalnya, maka ia menolak pinangan tersebut. Hingga suatu hari ia bertemu dengan R. Kanduruan Agah Suriawinata di sebuah pengajian. R. Agah adalah seorang pengajar di Sekolah Eerste Klasse School daerah Karang Pamulang. R. Agah hanyalah seorang guru biasa sedangkan ia adalah putri dari Patih Bandung yang dulu sangat disegani masyarakatnya sehingga hubungannya ditentang keluarganya. Ditambah lagi statusnya sebagai duda beranak dua dipandang tidak sesuai dan tidak pantas untuk dijadikan suaminya. Karena kecewa dengan penolakan dari keluarganya akhirnya R. Agah melakukan semedi di depan pusara R. A. A. Wiranatakusumah, kakek Dewi Sartika. Ia mendapat jawaban atas doa yang ia panjatkan, ditandai dengan munculnya cahaya biru dari cungkup pusara tersebut. Maka benar saja, ibunda Uwi menyetujui hubungan mereka dan mengizinkan ia meminang putrinya. Maka pada tahun 1906 Dewi Sartika resmi diperistri oleh Raden Agah.

JUMPA, EDISI 43/Th.XVIII/2013

Kehidupan rumah tangga mereka sangatlah harmonis dan tidak kaku, sebagai seorang ayah, R. Agah menjadi sosok pengayom dan penyayang bagi keluarganya, membimbing istrinya dan selalu menjadi penyemangat Uwi saat membina didikannya. Namun tidak disangka, pada 25 Juli 1939 R. Agah mengalami kecelakaan dan meninggal dunia saat akan menghadiri undangan rapat Alim Ulama. Kesedihan menyelimuti Uwi karena ditinggal oleh suami tercinta yang begitu tiba-tiba. Namun di tengah kesedihanya ia sadar, bahwa ia harus bangkit untuk keluarganya, anak-anaknya juga perjuangannya dalam pendidikan. Maka ia terus merambah dan memperluas dunia pendidikan di Bandung. Hingga sampailah pada tahun 1947. Ketika itu ia sedang berada di Cineam yang sedang terjadi agresi militer guna menyergap DI/TII. Dalam kondisi seperti itu, Uwi pun jatuh sakit dan penyakitnya menjadi lebih kronis pada saat itu. Tim medis yang ada pun sudah berusaha menolong pemulihan Uwi namun Tuhan berkehendak lain, Uwi berpulang pada 11 September 1947, seluruh masyarakat Cineam pun berduka telah kehilangan sosok pendidik. Awalnya Dewi Sartika dimakamkan di Cineam. Namun pada tahun 1960 sesuai dengan permintaannya sebelum meningal makamnya dipindahkan ke makam keluarga Bupati yang terletak di Karang Anyar bersama suaminya. Menurut penuturan Hawe Setiawan, saat ini belum ada sosok wanita tangguh yang mampu menggantikan sosok R. Dewi Sartika yang mau peduli dengan kesejahteraan wanita dan menulis untuk wanita juga memiliki rasa keibuan yang besar. Hawe pun berpesan agar generasi muda bisa mengenal dan mencontoh perjuangannya. “Bacalah buku-buku Dewi Sartika agar bisa mengenal dan terinspirasi sehingga dapat membangun daya juang dengan versi tersendiri untuk peranan perempuan,” harapnya. [Reporter : Dwi, Ai Chintia, Eriel]


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.