
7 minute read
SURO DAN SEGALA KEUNIKANNYA
Oleh: Alfina Rusliana
Bulan suro merupakan bulan yang berasal dari istilah suro yang telah lama dikenal oleh masyarakat Indonesia khususnya
Advertisement
Jawa, berasal dari ‘asyura (bahasa Arab) yang berarti kesepuluh (maksudnya tanggal 10 bulan suro). Istilah itu kemudian dijadikan sebagai bulan permulaan hitungan dalam takwim jawa. Sementara itu dalam Islam, istilah suro sebagaimana yang telah dipahami oleh mayoritas masyarakat Islam, adalah bulan Muharam. Muharam adalah bulan yang telah lama dikenal sejak pra Islam.
Kemudian di zaman Nabi hingga Umar Ibnu Khattab di resmikan sebagai penanggalan tetap Islam.
Banyaknya mitos yang beredar di bulan suro ini pun juga masih menjadi tolak ukur warga jawa. Beberapa mitos bulan Suro yang sangat dipercaya oleh masyarakat Jawa di nusantara: nasib buruk bagi pengantin, kepercayaan muncul sejak zaman Hindu Mataram.
Menunda pindah rumah
Masyarakat Jawa sangat mempercayai bahwa ada yang disebut hari baik dan ada pula hari burul. Menurut kepercayaan masyarakat Jawa, hari-hari di bulan Suro bukanlah hari baik sehingga tidak dianjurkan melakukan pindahan rumah. Siapapun yang menentang aturan ini akan mengalami kesialan dan ketidakharmonisan dalam rumah tangga. Bulan Muharram disebut bulan haram memiliki keutamaan yang terkandung di dalamnya.Selain itu, kepercayaan masyarakat khususnya orang jawa mengatakan ada beberapa pantangan yang harus dihindari, salah satunya membangun rumah.Menurut mitos yang beredar, hari-hari di bulan Muharram atau Suro tidak baik untuk membangun rumah atau pindah rumah.
Dilarang mengadakan pesta hajatan
Tidak boleh mengadakan pernikahan
Dalam adat budaya dan tradisi masyrakat Jawa sangat melarang orang tua menikahkan anakanaknya di bulan Suro. Menurut kepercayaan mengadakan pernikahan di bulan Suro hanya akan mendatangkan kesialan kepada pihak keluarga. Sebagian mengatakan bahwa kepercayaan ini hanyalah sebuah mitos yang tak berdasar. Beberapa beranggapan bahwa mengadakan pernikahan di bula n Suro akan menyaingi ritual keraton yang akan dirasa sepi. Sebagian masyarakat Jawa percaya, menikah di bulan Suro bisa mendatangkan
Bulan Suro dianggap sebagai bulan yang buruk sehingga sangat dianjurkan untuk mengadakan berbagai pesta hajatan seperti pernikahan, sunatan, dan lainnya. Namun kepercayaan ini oleh sebagian masyarakat Jawa dianggap sebagai mitos belaka. Alasannya sama, beberapa beranggapan mengadakan pesta hajatan di bulan Suro hanya akan menyaingi ritual-ritual di keraton yang dirasa akan sepi.
Berdiam diri di rumah
Tepat pada saat malam satu Suro, sangat dilarang untuk keluar rumah atau melakukan aktivitas di luar rumah. Masyarakat Jawa sangat percaya bahwa keluar rumah di malam satu Suro akan mendatangkan musibah dan hal buruk dalam hidup.Larangan ini sangat ditekankan untuk tidak dilanggar pada hari 1 Suro. Hal tersebut dilakukan karena pada malam 1 suro pintu gerbang gaib sedang terbuka, sehingga tempat yang paling aman untuk berlindung adalah rumah. Selain itu, dengan cara berdiam di rumah merupakan sebagai bentuk penghormatan terhadap para leluhur yang datang ke rumah anggota keluarganya yang masih hidup. turun temurun di desa setempat. Pihaknya berupaya untuk melestarikan tradisi tersebut.
Masyarakat Gunungkidul memaknai
Rasulan sebagai hari raya ketiga selain Idul Fitri dan Idul Adha. Jadi, even budaya ini mirip dengan tradisi lebaran, di mana seseorang datang ke tempat kerabatnya untuk bersilaturrahmi dan menikmati hindangan spesial yang disediakan oleh tuan rumah. Oleh karena itu, pada hari “H” pelaksanaan
Foto: Tepas Tandha Yekti

Tapa Bisu
Tapa Bisu merupakan salah satu ritual masyarakat Jawa berupa mengelilingi benteng
Keraton Yogyakarta dengan tidak berbicara, makan, minum, bahkan merokok sekalipun sangat dilarang saat menjalankan ritual ini.
Biasanya Tapa Bisu dilakukan pada tanggal satu Suro oleh para abdi dalem keraton.
Dimana puluhan warga Dusun Dawe, desa Mojoroto, kecamatan Mojogedang, Karanganyar, gelar acara ritual tradisi bersih dusun yang dipertahankan turun-temurun.
Lokasi acara bersih di dusun digelar di sendang Bejen, Jumat (16/8) siang.Pantauan RMOLJateng, sejumlah warga Dusun Dawe, Desa Mojoroto, Kecamatan Mojogedang, Karanganyar, terlihat membawa gunungan kecil yang berisi sayur-mayur dan jodang (tempat berisi makanan) yang dipanggul.
Rombongan masyarakat yang berbusana khas
Jawa baik pria dan wanita berjalan sekitar 500 meter menuju lokasi acara bersih dusun yang berlokasi di sendang desa yang oleh sebagian masyarakat disebut Petilasan Raden Mas Said.
Kepada RMOLJateng disela acara bersih dusun, Kepala desa Mojoroto, Ngatman, sampaikan acara bersih dusun ini merupakan tradisi
Rasulan ini, setiap keluarga biasanya membuat makanan spesial untuk tamu-tamu mereka. Dengan demikian, keberadaan tradisi Rasulan ini menjadi salah satu wadah bagi masyarakat Gunungkidul untuk memupuk semangat kekeluargaan dan mempererat tali persaudaraan antarwarga.
Tradisi Rasulan yang digelar setiap tahun oleh masyarakat Dusun Sumberalit, Desa Sedayu, Kecamatan Pracimantoro, Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah, merupakan ungkapan syukur atas hasil panen para petani. Sekaligus berharap, hasilnya tak berkurang dan warga terhindar musibah.
Tradisi Rasulan mempunyai dua makna yaitu gerakan bersih yang dilakukan gotongroyong dan persembahan terhadap leluhur, serta ibu pertiwi yang memberikan hasil panen. Falsafah Jawa mengajarkan manusia hidup menyatu dengan alam.Generasi muda menjadi isu krusial di Dusun Sumberalit. Tak sampai sepuluh orang yang mengecap pendidikan tinggi di dusunnya. Rata-rata berpendikan menengah atas, selanjutnya bekerja, merantau.Festival ini hanya nama kegiatan. Mengambil momen saat rasulan, tujuannya memberdayakan generasi muda Dusun Sumberalit agar memaksimalkan potensi desa yang ada dan menjaga lingkungan.
Penanaman pohon dilakukan warga
Sumberalit, Desa Sedayu, Kecamatan Pracimantoro, Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah, di kawasan pilang guna menjaga serapan air.
Menelusuri Keunikan Upacara Adat Karanganyar: Tradisi yang
Masih Tetap Dijaga Hingga Kini
Oleh: Alfina Rusliana
Daerah di jawa tengah yang masih terkenal dalam melestarikan adat di bulan sura terutama adat rasulan dengan berbagai kebidayaan yang berbeda adalah Kabupaten
Karanganyar. Dimana di kabupaten ini tiap daerah memiliki adat yang berbeda dalam melaksanakan ritual rasulan. Berikut merupakan beberapa adat di daerah
Kabupaten Karanganyar :
Upacara Adat Mondosiyoar Belakang
Salah satu desa yang masyarakatnya tetap menjaga dan melestarikan upacara bersih desa sehingga menjadi budaya tradisi yang harus dipertahankan adalah Desa
Pancot Kalurahan Blumbang Kecamatan
Tawangmangu. Budaya bersih desa di Pancot Blumbang Tawangmangu ini dinamakan
Mondhosiyo, yaitu upacara sedekah bumi yang dilaksanakan bersamaan dengan pelaksanaan bersih desa. Upacara bersih desa ini diselenggarakan dalam beberapa hari, dan pada puncak upacara dipentaskan kesenian lokal. Nama upacara tradisional bersih desa Mondhosiyo ini erat hubungannya dengan pakuwon yang dianut masyarakat Jawa pada saat itu, terutama pada cerita Prabu Watugunung dan Dewi Sinta. Hal ini dikarenakan keduanya melahirkan anak yang jumlahnya 28 orang yang kemudian menjadi nama wuku-wuku di tanah Jawa.
Upacara Adat Dhukutan
Satu lagi upacara bersih desa yang sampai saat ini masih dilestarikan. Lain di Pancot lain lagi di Nglurah meskipun samasama di Kecamatan Tawangmangu dan samasama dalam menyelenggarakan upacara bersih desa. Upacara ini lebih dikenal dengan upacara Dhukutan. Upacara Dhukutan dilaksanakan setiap hari Selasa Kliwon Wuku Dhukut pada kalender Jawa.
Upacara Adat Wahyu Kliyu.
Wahyu Kliyu adalah upacara adat selamatan berupa sedekah apem. Apem yang diselenggarakan oleh masyarakat Dusun Kendhal, Desa Jatipuro setahun sekali pada bulan Muharam (Sura) tepatnya pada malam bulan purnama tanggal 15 Sura (Kalender Jawa)
Upacara Adat Suran Jomboleka.
Sejarah Arya Kusuma Jomboleka, di Dusun Talpitu Desa Ngemplak Kecamatan Karangpandan Kabupaten Karanganyar terdapat makam Arya Kusuma Jomboleko yang masih keturunan Prabu Brawijaya V raja Majapahit terakhir. Belum banyak yang mengetahui akan keberadaan makam tersebut. Bahkan sejarah adanya makam tersebut juga belum banyak diketahui oleh masyarakat di Kabupaten Karanganyar. Upacara Adat Pasar Kumandang.
Pasar Kumandang diselenggarakan dalam rangka mengisi bulan Suro (penanggalan Jawa). Sudah menjadi kegiatan rutin/tradisi oranng Jawa pada bulan Suro dianggap sebagai bulan untuk melakukan tirakat. Banyak permohonan kepada Tuhan Yang Maha Esa untuk mencari berkah, kesehatan, keberhasilan baik dibidang pertanian maupun perdagangan dan atau kesuksesan. Bulan untuk perenungan dengan apa yang telah dilakukan. Bulan untuk bebenah diri.
Pasar Kumandang yang ada di Tawangmangu adalah suatu kegiatan ritual do’a bersama yang dilakukan oleh para pedagang pasar tradisional pada hari Minggu Paing bulan Suro (penanggalan Jawa) setiap tahunnya, dimulai dari pukul 08.00 sampai selesai biasanya sore hari. Kegiatan ini diselenggarakan/dipusatkan di pasar tradisional atau pasar wisata. Pada saat dilaksanakan kegiatan Pasar Kumandang itu praktis semua pedagang berhenti dari kegiatan jual beli.
Upacara Adat Purnamasidi
Bulan Sura merupakan bulan penuh tirakat dan upacara slamatan. Wilujengan
Purnama Sidi di laksanakan bertepatan pada saat bulan purnama, merupakan ucapan syukur akan keagungan Tuhan Yang Maha Kuasa yang diwujudkan dalam upacara jawa.
Wilujengan biasa di adakan pada malam hari di Candi Sukuh maupun Candi Ceto yang di ikuti oleh para tokoh spiritual, tokoh budaya, pametri budaya dan masyarakat di sekitar Lereng Lawu.
Upacara Adat Tutup Suro.
Upacara Tutup Sura merupakan ucapan syukur dari rangkaian kegiatan selama satu bulan. Kegiatan ini dilaksanakan di Candi Sukuh dengan diikuti oleh tokoh budaya, pametri budaya dan masyarakat sekitar lereng lawu. Selain diisi dengan lantunan tembang –tembang macapat juga di meriahkan dengan kesenian rakyat.
Upacara Adat Mahesa Lawung / Sesaji Nagari
Sesaji Rajawedha atau Wilujengan
Nagari Mahesa Lawung (Penanaman
Kepala Kerbau sebagai sesaji) Di Hutan
Krendhawahana Gondangrejo. Sebenarnya yang dikatakan wilujengan nagari Rajawedha, seperti yang disebutkan dalam Surat Pustaka
Raja dan Wita Radyo dari Paheman Sasana
Pustaka Karaton Surakarta Hadiningrat, telah dilaksanakan sejak jaman dahulu kala dengan nama Sesaji Rajawedha. Para Raja-raja di Jawa semua melaksanakan Wilujengan Rajawedha, artinya wilujengan sodakohan dari Para Raja tiap awal tahun, untuk melaksanakan upacara do’a keselamatan Negara beserta isinya.
Upacara Adat Bersih Desa Dalungan.
Dalungan sebenarnya adalah nama sebuah desa di Kecamatan Kebakkramat.
Tepatnya Desa Dalungan, kelurahan Macanan
Kecamatan Kebakkramat Kabupaten
Karanganyar. Desa Dalungan mempunyai suatu kegiatan upacara bersih desa, yang akhirnya membudaya dan tetap dilestarikan sebagai suatu tradisi masyarakat, dan akhirnya kegiatan bersih desa itu disebut Dalungan.
Mubeng Gunung Lawu.
Tradisi mubeng Gunung dilakukan masyarakat disekitar wilayah Tawangmangu dan Ngargoyoso secara turun temurun, dengan berjalan kaki mengelilingi Gunung Lawu. Di laksanakan pada hari kesepuluh dan limabelas penaggalan Jawa pada bulan Sura. Mereka percaya dengan melakukan ritual ini keinginan dan usahanya akan berkat dari Tuhan Yang Maha Esa.
Labuhan Gunung Lawu.
Labuhan berasal dari kata labuh yang artinya sama dengan larung, yaitu membuang sesuatu ke dalam air (sungai atau laut). Upacara labuhan dalam hal ini berarti memberi sesaji kepada roh halus yang berkuasa di suatu tempat. Asal mula upacara labuhan pada awal masa pemerintahannya Panembahan Senopati mencoba mencari dukungan moril untuk memperkuat kedudukannya. Dukungan itu diperoleh dari Kanjeng Ratu Kidul yaitu makhluk halus penguasa laut selatan (Samudra Indonesia).
Upacara Adat Cembengan (Giling Tebu).
Grebeg Giling merupakan upacara tradisi sebelum dimulainya Giling tebu. Grebeg Giling yang lebih dikenal di daerah dengan sebutan Cembengan bisa dikatakan sebagai pesta rakyat dengan penyelenggaranya adalah Pabrik Gula.“Cembengan” PG Tasik
Madu Berbeda dengan PG Semboro Jember
Jawa Timur dan PG Jatibarang, Brebes, Jawa
Tengah, PG Tasikmadu, Karanganyar Jawa
Tengah, menyebut prosesi awal “pesta kebun tebu” ini dengan istilah Cembengan. Upacara
Cembengan semula hanya merupakan upacara ritual yang dilakukan oleh para pekerja di dalam PG untuk meminta keselamatan dan hasil produksi yang baik.